BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keberadaan Jentik Nyamuk Ae. aegypti Keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti di suatu wilayah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Ae. aegypti di wilayah tersebut. Menurut Depkes RI (2005b), apabila Angka Bebas Jentik (ABJ) < 95% atau House Indeks (HI) > 5%, berarti di tempat tersebut terdapat populasi nyamuk penular DBD. Tingginya tingkat kepadatan nyamuk Ae. aegypti akan meningkatkan resiko penularan virus dengue. Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas, akan muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas dan penularan virus dengue akan terulang kembali (Depkes RI, 2005b, 2007a). Hasil penelitian Widia (2009), di Kelurahan Ploso, Kecamatan Pacitan, menemukan bahwa keberadaan jentik dalam kontainer secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD dengan nilai p = 0,001. Demikian juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Usman (2002) di Bandar Lampung yang dipublikasikan pada tahun 2004, menemukan bahwa penghuni rumah dengan TPA berjentik mendapatkan resiko terjadinya DBD sebesar 5,2 kali lebih besar dibanding penghuni rumah dengan TPA tidak berjentik. Untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk Ae. aegypti di suatu wilayah, dilakukan survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap
10
11
semua tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang diperiksa dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Metode Survei jentik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu (Depkes RI, 2005b): 1) Single larva Survei ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut. 2) Visual Survei ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa melakukan pengambilan jentik. Dalam program Pengendalian DBD Depkes RI, survei jentik yang biasa digunakan adalah secara visual. Jentik Ae. Aegypti di dalam air dapat dikenali dengan ciri-ciri antara lain selalu bergerak aktif dan mempunyai ukuran 0,5-1 cm (Depkes RI, 2007a). Gerakannya naik turun dari bawah ke atas permukaan air secara berulang-ulang. Gerakan ini dilakukan untuk bernafas. Jika terkena cahaya jentik akan bergerak menjauhi sumber cahaya. Pada waktu istirahat posisi jentik berada tegak lurus dengan permukaan air (Depkes RI, 2007b). 2.2 Ukuran Kepadatan Jentik Nyamuk Ae. aegypti Ada beberapa indikator untuk jentik nyamuk Ae.aegypti yaitu: Angka Bebas Jentik (ABJ), House Indeks (HI), Container Index (CI) dan Breteau Index (BI).
12
Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Ae. aegypti tersebut adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005b, WHO, 2011): a. Angka Bebas Jentik (ABJ) Angka Bebas Jentik adalah persentase antara rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik terhadap seluruh rumah/bangunan yang diperiksa.
ABJ
Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik x 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
b. House Index (HI) House Index (HI) adalah persentase antara rumah/bangunan di mana ditemukan jentik terhadap seluruh rumah/bangunan yang diperiksa.
HI
Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik x 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
c. Container Index (CI) Container Index (CI) adalah persentase antara kontainer yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa.
CI
Jumlah container dengan jentik x 100% Jumlah container yang diperiksa
d. Breteau Index (BI) Breteau Index (BI) adalah jumlah kontainer yang positif jentik per seratus rumah/bangunan yang diperiksa.
13
BI
Jumlah container yang positif x 100% Jumlah rumah yang diperiksa
Dalam program Pengendalian Penyakit DBD, indikator yang dipakai untuk menentukan bebas atau tidaknya suatu wilayah dari DBD adalah ABJ. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005b), menetapkan bahwa ABJ yang dianggap aman untuk penularan penyakit DBD adalah > 95% (dari 100 rumah yang diperiksa yang mempunyai jentik tidak boleh lebih dari 5%) atau House Index (HI) < 5% (Depkes RI, 2007a). Kantachuvessiri (2002), menyatakan angka CI di atas 10% sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD, angka BI di atas 50% sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD. ABJ dan House Index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah (Depkes RI, 2003, 2005b). 2.3 Epidemiologi Jentik Nyamuk Ae. aegypti Jentik nyamuk Ae. aegypti hidup di dalam air pada tempat-tempat perindukan/perkembangbiakan (breeding place) nyamuk tersebut. Soegijanto (2003), menyebutkan bahwa tempat perkembangbiakan utama adalah tempattempat penampungan air di dalam maupun di sekitar rumah. Biasanya tidak melebihi jarak 500 (lima ratus) meter dari rumah. Nyamuk Ae. aegypti biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah (Soeroso, 2000, Depkes RI, 2005b). Soeroso (2000), membedakan tempat perindukan/perkembangbiakan nyamuk menjadi 2 kelompok utama yaitu: 1) tempat perindukan alamiah, yakni perindukan nyamuk pada tempat-tempat alami, seperti ketiak daun, tempurung
14
kelapa, potongan bambu, lubang di pohon, lubang batu, kulit kerang, pelepah daun, dan lain-lain; 2) perindukan non alamiah, yakni perindukan nyamuk pada tempat penampungan air bersih manusia seperti bak air, ember, maupun tempattempat penampungan air lainnya yang ada di sekitar pemukiman penduduk. Depkes RI (2005b), mengelompokkan jenis-jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti menjadi 3 kelompok yaitu: 1) tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari (TPA), seperti : tempayan, bak mandi, bak WC, drum, bak penampungan air, ember, sumur dan lain-lain; 2) tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non TPA), seperti : tempat minum hewan piaraan (tempat minum ayam, burung, dan lain-lain), barang-barang bekas (ban bekas, kaleng bekas, botol, pecahan piring/gelas), vas bunga, saluran air yang tidak sehat, pot tanaman hias yang menampung air dan lain-lain; 3) tempat penampungan air alamiah, seperti : lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pelepah pisang, potongan bambu, talang penampungan air hujan dan lain - lain. Untuk meletakkan telur, nyamuk betina tertarik pada kontainer berair yang berwarna gelap, terbuka lebar dan terutama terlindung dari sinar matahari (Depkes RI, 2005b). Penelitian Mochammadi et al. (2002), tentang Analisis Densitas Ae. aegypti pada Daerah Endemis Demam Berdarah di Kecamatan Sawahan Kotamadya Surabaya, menunjukkan tipe-tipe tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti yang paling banyak adalah bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak WC, tempayan, ember dan tempat wudhu. Penelitian yang dilakukan Upik et al. (2006), menemukan persentase larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan pada
15
tangki air (33,3%), kemudian bak WC (17,6%) dan bak mandi (11,8%). Di Bangkok dilaporkan bahwa jenis wadah seperti gentong sebagai tempat penyimpanan air yang terbuat dari tanah dan perangkap semut yang berada di dalam rumah merupakan habitat utama (Depkes RI, 2003). Sedangkan di Kota Denpasar keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti pada tahun 2011 ditemukan sebagai berikut: bak mandi (36%), pot bunga (19%), ban bekas (9%), barang bekas (8%), gentong (7%), dispenser (6%), bak penampungan air di belakang kulkas (5%), ember (4%), tempat minum burung (2%), tempat tirta/coblong (2%), tempat boreh (2%) (Dikes Kota Denpasar, 2011). 2.4 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Ae. aegypti Hendrik L. Blum dalam penelitiannya di Amerika Serikat (1974) yang dikutif dalam Notoatmodjo (2005), menyimpulkan bahwa status kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan (karakteristik individu). Keempat faktor tersebut selain berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja yang berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan tergeser di bawah optimal.
16
2.4.1 Pengetahuan Pengetahuan masyarakat akan mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti karena pengetahuan mempunyai efek terhadap perubahan perilaku penduduk. Terbentuknya perilaku baru pada seseorang dimulai dari seseorang tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada seseorang tersebut, selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap seseorang terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Seseorang akan melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) apabila mereka mengetahui tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan dan bahaya-bahaya yang akan datang (Notoatmodjo, 2007a). Namun demikian, dalam kenyataan stimulus yang diterima oleh seseorang dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu terhadap makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap (Notoatmojo, 2007a). Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007a), mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut telah terjadi beberapa proses berurutan antara lain: (1) awarness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek); (2) interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek
17
tersebut, di sini sikap orang tersebut sudah mulai timbul; (3) evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap orang tersebut sudah lebih baik lagi; (4) trial, di mana orang telah mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus; (5) adoption, di mana orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Pengetahuan responden tentang penyakit DBD, vektor/nyamuk penular, cara pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan faktor yang mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti sangat diperlukan untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan jentik nyamuk Ae. aegypti sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah. Kurangnya pengetahuan akan berpengaruh pada tindakan yang akan dilakukan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ririh dan Anny (2005), di Surabaya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan responden dengan keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti di Kelurahan Wonokusumo (p = 0,001). Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Budiyanto (2008), menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap responden kaitannya dengan penyakit DBD (p < 0,001), di mana responden yang berpengetahuan rendah mempunyai kemungkinan 3,097 kali akan mempunyai sikap kurang baik berkaitan dengan pencegahan penyakit DBD. Juga dinyatakan bahwa ada
18
hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan responden dengan perilaku responden (p < 0,001), di mana responden yang berpengetahuan rendah mempunyai kemungkinan 2,25 kali akan berperilaku buruk dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit DBD. Prayudhy (2006), menyatakan bahwa secara statistik ada hubungan bermakna antara keberadaan jentik dengan tingkat pengetahuan (p = 0,002), di mana resiko terdapat jentik Ae. aegypti di rumah tangga yang penghuninya berpengetahuan rendah tentang pengendalian jentik adalah 3,23 kali lebih besar dibandingkan yang berpengetahuan tinggi (95% CI = 1,85 - 5,65). 2.4.2 Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek yang manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi adalah merupakan
predisposisi
tindakan
suatu
perilaku.
Sikap
adalah
suatu
kecenderungan untuk berespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu (Notoatmodjo, 2007b). Azwar (2007), mengatakan bahwa sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut lebih berupa predisposisi
perilaku
yang
akan
direalisasikan
apabila
kondisi
situasi
memungkinkan. Menurut Notoatmodjo (2005), sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen pokok yaitu: (1) kepercayaan atau keyakinan, ide, konsep terhadap objek, yakni
19
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, yaitu bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek; (3) kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam menentukan sikap yang utuh tersebut, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Menurut Azwar (2007), faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan sikap dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, pengalaman pribadi dan emosi. Faktor eksternal meliputi media massa, institusi pendidikan, institusi agama dan masyarakat Sikap seseorang dalam upaya mencegah penyakit infeksi dengue merupakan hal yang sangat penting, karena setelah seseorang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai penyakit infeksi dengue, maka seseorang akan memiliki keyakinan dan melakukan upaya tindakan. Hasil penelitian Santoso dan Budiyanto (2008), menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara sikap responden dengan perilaku responden (p = 0,005), di mana responden yang mempunyai sikap yang kurang baik mempunyai kemungkinan 1,62 kali akan berperilaku buruk dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit DBD. Hal ini berpengaruh terhadap keberadaan jentik Ae. aegypti.
20
2.4.3 Perilaku Menurut Notoatmodjo (2007a), perilaku adalah respon atau reaksi konkret seseorang terhadap stimulus atau objek. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap anggota keluarga yang sudah positif untuk menguras, menutup tempat penampungan air (TPA) dan mengubur barang bekas dalam rangka PSN DBD harus didukung dengan fasilitas yang memadai yaitu: sikat, tutup TPA, cangkul atau sekop dan sumber air bersih yang cukup. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya suami, istri, orang tua atau mertua dan anggota keluarga lainnya. Notoatmodjo (2007a), juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak di dalam individu itu sendiri (keturunan dan motivasi) dan sebagian dari luar individu yaitu faktor lingkungannya Lewrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007a), menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni: (1) faktor predisposisi (predisposing
factors),
yaitu
faktor-faktor
yang
mempermudah
atau
mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, antara lain: pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan sebagainya; (2) faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang
21
memungkinkan atau mendukung seseorang atau masyarakat untuk mewujudkan perilaku yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat; (3) faktor penguat (reinforcing factors), meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. Keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti sebagai salah satu indikator besarnya resiko penularan penyakit DBD di masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas. Menurut teori belajar sosial (The Social Learning Theory) dari Bandura (1971), dinyatakan bahwa perilaku manusia berada dalam hubungan timbal balik (interaksi) yang berkesinambungan dengan faktor personal (kognitif, afektif dan proses biologis) dan lingkungan. Menurut Santrock et al. (2008), lingkungan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku, seperti motivasi insentif dan fasilitasi. Motivasi insentif adalah penggunaan hadiah atau hukuman untuk memodifikasi perilaku, dan fasilitasi adalah proses di mana alat, sumber daya, dan perubahan lingkungan dipersiapkan untuk mempermudah dilakukannya perilaku baru. Perubahan pada satu aspek akan mengubah yang lainnya. Sebagai contoh, setiap perilaku dapat mengubah cara berfikir seseorang. Demikian pula lingkungan di mana seseorang dibesarkan mempengaruhi perilakunya, seperti pola pikir seorang ayah akan menentukan lingkungan di mana anak-anaknya dibesarkan. Terdapat tiga konsep utama dalam teori belajar sosial, yaitu: (1) keyakinan bahwa orang dapat belajar melalui pengamatan perilaku dan sikap orang lain
22
(pemodelan/modeling).
Dengan
melihat
perilaku
orang
lain,
seseorang
membentuk ide tentang bagaimana untuk melakukan perilaku baru dan menyimpan informasi untuk kemudian digunakan sebagai panduan untuk bertindak; (2) keyakinan bahwa keadaan mental internal merupakan bagian penting dari proses ini; 3) perilaku yang dipelajari tidak selalu akan menghasilkan perubahan perilaku (Bandura, 1971, Suzette, 2011, Kendra, “tt.”). Bandura juga menyebut teorinya ini sebagai teori belajar observasional atau modeling (The Social Cognitive Theory). Dalam teorinya, Bandura juga menyatakan bahwa penguatan eksternal (lingkungan), bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi pembelajaran dan perilaku. Penguatan intrinsik sebagai bentuk penghargaan internal seperti kebanggaan, kepuasan, dan rasa berprestasi juga merupakan faktor penting yang turut berpengaruh (Bandura, 1971, Suzette, 2011, Kendra, “tt.”). Meskipun para ahli perilaku berpendapat bahwa belajar menyebabkan perubahan permanen dalam perilaku, pembelajaran observasional membuktikan sebaliknya, yakni orang yang mampu belajar informasi baru tanpa menunjukkan perilaku baru. Tidak setiap perilaku yang diamati efektif dipelajari. Agar proses pembelajaran berhasil, langkah-langkah tertentu harus diikuti. Langkah-langkah tersebut meliputi: (1) perhatian (attention), pengamat harus memperhatikan model (2) retensi (retention), orang harus mampu mengingat perilaku yang telah dimodelkan. (3) reproduksi (reproduction), pengamat harus mampu mengulangi tindakan. Pengulangan tindakan akan mengarah pada peningkatan keterampilan; dan (4) motivasi (motivation), pengamat harus ingin menunjukkan apa yang telah
23
mereka pelajari. Penguatan dan hukuman memainkan peran penting dalam motivasi. Misalnya, jika pengamat melihat mahasiswa lain dihargai dengan kredit tambahan oleh karena ke kelas tepat waktu, pengamat mungkin mulai menunjukkan masuk beberapa menit lebih awal setiap hari (Bandura, 1971, Suzette, 2011, Kendra, “tt.”). Terkait dengan keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti, faktor perilaku yang berpengaruh terutama adalah kebiasaan masyarakat dalam melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) dan menggantung pakaian bekas di sembarang tempat di dalam rumah. PSN DBD adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD (Ae. aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Hasil penelitian Ririh dan Anny (2005), menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tindakan responden dalam upaya PSN DBD dan abatisasi dengan dengan keberadaan jentik di rumahnya (p = 0,001). Demikian pula hasil penelitian Prayudhy (2006), di wilayah Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung, bahwa ada hubungan bermakna antara keberadaan jentik di rumah tangga dengan perilaku penghuninya (p < 0,001), di mana besarnya resiko terdapat jentik di rumah tangga yang penghuninya berperilaku kurang baik dalam pengendalian jentik adalah 12,57 kali lebih besar dibandingkan yang berperilaku baik (95% CI = 6,07-25,99). Keberadaan benda-benda bergantungan seperti baju, tirai, handuk merupakan tempat yang disukai oleh nyamuk Ae. aegypti untuk hinggap (istirahat) (Depkes RI, 2003). Penelitian Presti (2011), di Kecamatan Tembalang Kota Semarang,
24
bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD (OR = 2,923, 95% CI = 1,142 - 7,482). Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan dengan 3 cara, yaitu: (1) fisik yang dikenal dengan kegiatan 3M Plus, terdiri dari menguras (dan menyikat) bak mandi, bak WC, dan lain-lain, menutup tempat penampungan air (TPA) rumah tangga (tempayan, drum, dan lain- lain), baik yang dipakai maupun tidak dipakai dan TPA alamiah, mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barangbarang bekas (seperti kaleng, ban, ember bekas dan lain-lain), plus pemakaian kawat kasa nyamuk, mencegah adanya barang-barang yang berserakan dan pakaian-pakaian bergelantungan di kamar/ruang yang remang-remang atau gelap dan lain sebagainya. Pengurasan tempat-tempat penampungan air harus dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu, hal ini mengingat pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu selama 9-10 hari; (2) kimia dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah temephos (Abate). Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram (lebih kurang satu sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai residu 3 (tiga) bulan; (3) biologi dengan menggunakan
beberapa
agent
biologis
yang
sudah
terbukti
mampu
mengendalikan vektor DBD antara lain kelompok bakteri yaitu Bacillus thuringiensis var Israeliensis (Bti), predator alami seperti memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang/tempalo, ikan cetul dan
25
lain-lain predator sebagai pemakan jentik) (Depkes RI, 2005b; Sukowati, 2010, WHO, 2011). 2.4.4
Lingkungan Keberadaan nyamuk dan jentik Ae. aegypti dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaaan jentik nyamuk Ae. aegypti antara lain adalah: 1) Vektor penular DBD DBD dapat ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Sampai saat ini umumnya yang paling berperan adalah Ae. aegypti, karena hidupnya di dalam dan sekitar rumah, sedangkan Ae. albopictus di kebun-kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia yang tersebar di rumah-rumah penduduk dan tempat-tempat umum (Depkes RI, 2005b). a) Ciri-ciri nyamuk Ae. aegypti Ciri-ciri nyamuk Ae. aegypti adalah (Depkes RI, 2007b, 2008b): 1) Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih 2) Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat umum 3) Berkembang biak di air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat minum burung dan lain-lain
26
4) Jarak terbang ± 100 meter 5) Nyamuk betina bersifat multiple biters ( menggigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat). b) Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti Nyamuk Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur, jentik (larva), kepompong (pupa), nyamuk dewasa. Stadium telur, larva dan pupa hidup di dalam air, sedangkan stadium dewasa hidup di luar air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari dan stadium kepompong berlangsung 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2005b). c) Perilaku nyamuk Ae. Aegypti Nyamuk Ae. aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia dari pada darah binatang. Perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara tiga sampai empat hari. Jangka waktu tersebut disebut satu siklus gonotropik (Depkes RI, 2005b). Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang, dengan dua puncak aktivitas antara pukul 09.00 - 10.00 dan 16.00 - 17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Ae. aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali, untuk memenuhi
27
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Depkes RI, 2005b). Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap, lembab dan sedikit angin. Di dalam rumah, nyamuk Ae. aegypti biasanya beristirahat (hinggap) pada benda-benda yang bergantungan seperti pakaian, kelambu dan handuk, di tempat tersembunyi atau pada bangunan, mebeler, termasuk tempat tidur, kloset, kamar mandi dan dapur (Depkes RI, 2003, 2008b). Di luar rumah nyamuk Ae. aegypti suka beristirahat (hinggap) pada tumbuh-tumbuhan yang ada di halaman dan sekitar rumah di dekat tempat berkembang biaknya (Depkes RI, 2009). Di tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Setelah proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2°C sampai 42°C, dan bila tempattempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat. (Depkes RI, 2008a). Nyamuk Ae. aegypti sehari-hari mempunyai kebiasaan terbang dekat permukaan tanah dan bergerak ke semua arah untuk mencari mangsa, mencari tempat bertelur, mencari tempat beristirahat dan melakukan perkawinan. Nyamuk betina dapat terbang rata-rata.40 meter, maksimal 100 meter, namun secara pasif
28
misalnya karena angin atau terbawa kendaraan nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh. Di daerah yang padat penduduknya dan cukup banyak tempat air untuk bertelur, kemungkinan terjadi penyebaran sampai jauh sedikit sekali (Soeroso, 2000, Depkes RI, 2003). d) Penyebaran nyamuk Ae. aegypti Nyamuk Ae. aegypti tersebar luas di daerah tropis. Di Indonesia, nyamuk ini tersebar luas di rumah-rumah penduduk maupun di tempat umum. Nyamuk ini dapat berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1000 meter dari permukaan laut. Di atas ketinggian tersebut tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu dingin sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2003). 2) Jarak antar rumah Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk yang jarak terbangnya pendek yaitu rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter. Apabila rumah penduduk saling berdekatan maka nyamuk dapat dengan mudah berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya kemudian berkembang biak. Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit (Depkes RI, 1998). Penelitian Awida (2008), di Pekanbaru, menemukan bahwa orang yang jarak rumahnya ≤ 5 meter dengan tetangga sebelah menyebelah mempunyai kemungkinan menderita DBD 1,79 kali dibanding orang yang jarak rumahnya > 5 meter dengan tetangga sebelah menyebelah (OR = 1,79, p = 0,014).
29
3) Kepadatan penghuni Kepadatan penghuni rumah ikut menunjang penularan penyakit DBD. Semakin padat penghunian suatu rumah, maka kemungkinan penularan virus dengue semakin mudah. Kepadatan penghuni di dalam ruangan yang berlebihan akan mempengaruhi kelembaban dalam ruangan tersebut, hal ini berpengaruh terhadap habitat dan perkembanganbiakan nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Ae. Aegypti bersifat antropofilik (lebih menyukai darah manusia daripada darah binatang), rumah yang padat penghuninya lebih disenangi oleh nyamuk Ae. Aegypti dan akan berpengaruh terhadap keberadaan jentik nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005b; WHO, 2010). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Cendrawirda (2008), yang menyimpulkan bahwa rumah dengan hunian yang padat mempunyai risiko terjadinya penyakit DBD pada anak 14,48 kali lebih besar bila dibandingkan dengan rumah yang huniannya tidak padat. Sesuai dengan KepMenKes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 dalam Depkes RI (2005), jumlah penghuni yang tinggal dalam satu rumah dikatakan tidak padat apabila setiap satu orang menempati luas ruang tidur minimal seluas 4 m². 4) Kebersihan dan kerapian rumah Kebersihan dan kerapian rumah yang berpengaruh terhadap keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti adalah keberadaan barang-barang yang berserakan di dalam rumah/bangunan. Adanya perabotan rumah tangga, dan barang bekas yang berserakan, tumpukan pakaian, kardus dan lain-lain di dalam rumah/bangunan
30
menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk (Depkes RI, 2003, 2008b). 5) Keberadaan tanaman hias dan tanaman pekarangan Banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan mempengaruhi tingginya kelembaban dan kurangnya pencahayaan dalam rumah. Keadaan ini merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap beristirahat (Soegijanto, 2003). Hal ini sejalan dengan penelitian Agustin (2010), yang menyatakan keberadaan tanaman hias secara bermakna berpengaruh terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Timur Kota Tegal (p value = 0,009; OR = 5,400, 95% CI = 1,602 - 18,204), demikian pula dengan keberadaan tanaman di pekarangan (p value = 0,007; OR = 3,567, 95% CI = 1,400 - 9,088). Bila banyak tanaman hias dan tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap/istirahat. Brigit et al. (2004) dalam Wahyono et al. (2010), dalam penelitian cross sectional dengan 1750 sampel, menemukan bahwa responden dengan densitas tumbuhan dekat rumah ≥ 14 pohon mempunyai kemungkinan terkena DBD 0,43 kali dibanding responden dengan densitas tumbuhan dekat rumah < 14 pohon (OR = 0,43%, 95% CI = 0,19 - 1,91). 6) Keberadaan kontainer Keberadaan TPA/kontainer sangat berperan terhadap kepadatan vektor DBD, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan semakin padat jentik serta populasi nyamuk Ae. aegypti (Depkes RI, 2003). Kontainer merupakan tempat yang bisa menampung genangan air. Nyamuk Ae.
31
aegypti suka berkembang biak di tempat-tempat yang bisa menampung genangan air tersebut. Kontainer-kontainer tersebut keberadaannya sangat dekat dengan rumah. Dengan dekatnya jarak perindukan dan rumah maka akan memudahkan nyamuk Ae. aegypti mencapai rumah (Phuong et al. 2008). Penelitian Suyasa (2008), menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan keberadaan vektor DBD dengan koefisien kontigensi sebesar 0,235. Penelitian Azizah dan Faizah (2008) yang dipublikasikan pada tahun 2010, menyatakan bahwa keberadaan kontainer > 3 memiliki resiko untuk mengalami DBD 6,75 kali lebih besar daripada responden yang mepunyai kontainer ≤ 3. 7) Keberadaan tutup kontainer Tempat penampungan air (TPA) yang tertutup longgar lebih disukai oleh nyamuk betina sebagai tempat bertelur dibandingkan TPA yang terbuka, karena tutupnya jarang dipasang secara baik dan jarang dibuka sehingga ruang di dalamnya relatif lebih gelap dibandingkan tempat air yang terbuka (Depkes RI, 2003). Wadah/tempat penampungan air harus ditutup dengan penutup yang rapat atau kasa agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti. Setelah air digunakan harus dijaga agar wadah tetap tertutup. Cara ini cukup efektif seperti telah dilakukan di Thailand (Depkes RI, 2003). 8) Jenis kontainer Jenis TPA/kontainer sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti dibedakan menjadi 2 kelompok utama yaitu: 1) TPA non alami yang terdiri dari: a) TPA untuk keperluan sehari-hari, b) TPA bukan untuk keperluan
32
sehari-hari (Non TPA); 2) TPA alamiah, TPA/kontainer ini pada umumnya ditemukan di luar rumah dan biasanya jarang ditemukan jentik nyamuk Ae. aegypti (Soeroso, 2000, Depkes RI, 2005b). Di Asia Tenggara sumber utama perkembangbiakan Ae. aegypti di sebagian besar daerah pedesaan adalah TPA yang digunakan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari termasuk wadah dari keramik, tanah liat dan bak semen yang berkapasitas 200 liter, tong besi yang berkapasitas 210 liter (50 galon), dan wadah yang lebih kecil sebagai tempat penampungan air bersih atau hujan (Depkes RI, 2003). Hasil penelitian Sungkar et al. (1994), menemukan kecenderungan jentik nyamuk Ae. aegypti mempunyai kesenangan dan berkembang biak dengan cepat pada jenis kontainer dari bahan bukan plastik. Angka kematian larva terendah didapatkan pada TPA semen dan tertinggi pada TPA keramik. Kemungkinan hal ini terjadi karena mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih mudah tumbuh pada dinding TPA yang kasar dan lebih sulit tumbuh pada dinding TPA yang licin. Jenis TPA berkaitan dengan ketersediaan makanan untuk larva/jentik nyamuk Ae. aegypti. Ketersediaan makanan tersebut berkaitan dengan bahan dasar TPA. Pada TPA dengan dinding yang kasar kepadatan larva lebih tinggi dibanding TPA dengan dinding yang licin. Hasyimi dan Soekino dalam penelitiannya di Tanjung Priok (2001) yang dipublikasikan pada tahun 2004, menemukan bahwa jentik nyamuk Ae. aegypti paling banyak terdapat pada TPA yang terbuat dari logam (45,2%), tanah (37,5%), semen (20,9%), plastik (12,3%) dan terkecil dari keramik (5%).
33
8) Ketinggian tempat Ketinggian merupakan faktor penting yang membatasi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Variasi ketinggian tempat berpengaruh terhadap syaratsyarat ekologis yang diperlukan oleh vektor penyakit. Pada wilayah dengan ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Ae. aegypti karena pada ketinggian tersebut suhu terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk (Depkes RI, 2003, Sukamto, 2007). 9) Curah hujan Curah hujan akan mempengaruhi kelembaban udara dan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk alamiah. Perindukan nyamuk alamiah di luar ruangan selain di sampah-sampah padat seperti botol bekas, kaleng-kaleng juga potongan bambu sebagai pagar sering dijumpai di rumah-rumah penduduk desa serta daun-daunan yang memungkinkan menampung air hujan merupakan tempat perindukan yang kondusif untuk bertelurnya nyamuk Ae. aegypti. Dari hasil pengamatan penderita DBD yang selama ini dilaporkan di Indonesia diketahui bahwa musim penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim penghujan (Soeroso, 2000, WHO, 2010). Hasil penelitian Sukamto (2007), di Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jumlah curah hujan dengan kejadian DBD. Risiko untuk kejadian DBD pada sampel yang mempunyai curah hujan ≥ 140 mm adalah 2 kali lebih besar dibandingkan dengan sampel yang mempunyai jumlah curah hujan < 140 mm.
34
10) Suhu udara Suhu udara berpengaruh langsung terhadap aktivitas dan kemampuan vektor. Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolisme yang sebagian diatur oleh suhu. Virus dengue umumnya endemik di wilayah tropis. Rata-rata suhu optimum untuk perkembangan nyamuk Ae aegypti adalah berkisar 25°C - 27°C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C. Pada Suhu udara berkisar antara 27°C-30°C rata-rata umur populasi nyamuk akan berkurang. Pada suhu lebih dari 35°C proses fisiologis nyamuk akan melambat (Erliyanti, 2008, WHO, 2011). 11) Kelembaban nisbi Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara mempengaruhi umur nyamuk (Atmodjo, 2003, WHO, 2010). Pada kelembaban nisbi kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor, karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah nyamuk. Pada kelembaban nisbi 55% umur nyamuk betina 88 hari dan nyamuk jantan 50 hari. Apabila kelembaban meningkat menjadi 85% maka umur nyamuk betina 104 hari (bila tidak makan darah) dan dapat mencapai 122 hari (bila makan darah), sedangkan umur nyamuk jantan 68 hari (Atmodjo, 2003). Soegijanto (2003), menyatakan bahwa kelembaban optimum bagi nyamuk Ae. aegypti adalah 70% - 80%.
35
12) Kecepatan angin Angin secara tidak langsung akan mempengaruhi penguapan air dan suhu udara. Pengaruh angin yang langsung terhadap nyamuk adalah pada saat terbang. Bila kecepatan angin 11-14 meter per detik atau 25-31 mil per jam atau 22-28 knots maka aktivitas terbang nyamuk akan terhambat dan penyebaran nyamuk menjadi terbatas (Depkes RI, 1998). 13) Pencahayaan di dalam rumah Pencahayaan yang cukup merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Memberikan kesempatan cahaya matahari masuk dengan intensitas yang cukup kurang lebih 60 lux akan mampu membunuh kuman-kuman patogen. Jika pencahayaan kurang dari 60 lux, ruangan menjadi relatif gelap dan situasi ini disenangi oleh nyamuk Ae. aegypti. Untuk kepentingan tersebut diperlukan ventilasi yang baik dan cukup yaitu berukuran lebih kurang 10-20% dari luas lantai. Ventilasi yang baik akan memberi udara segar dari luar (Depkes RI, 2005a). 2.4.5
Pelayanan Kesehatan Peran pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan seperti
penyuluhan tentang pencegahan dan pemberantasan (pengendalian) penyakit DBD, program pemantauan jentik berkala (PJB), PSN DBD dan larvasidasi melalui kunjungan rumah oleh juru pemantau jentik (jumantik), mempengaruhi keberadaan jentik Ae. aegypti (Sungkar, 2007).
36
2.4.6 Karakteristik Individu 1) Pendidikan formal Pendidikan tidak berpengaruh langsung terhadap terjadinya DBD tetapi mempunyai peranan dalam upaya pencegahan penyakit DBD. Tingkat pendidikan individu/masyarakat akan mempengaruhi cara berfikir dalam penerimaan penyuluhan dan tindakan pemberantasan DBD yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan mampu mempersiapkan dirinya dan melakukan tindakan
preventif
dalam
upaya
pengendalian
penyakit
DBD
melalui
pemberantasan vektor DBD (Sutomo, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Arman (2004), di Kota Makasar menunjukkan bahwa faktor pendidikan secara bivariat merupakan faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan container index jentik nyamuk Ae. aegypti (p = 0,023 < 0,005). 2) Pekerjaan Individu atau masyarakat yang pekerjaannya banyak menghabiskan waktu di luar rumah mengakibatkan individu/masyarakat tersebut kurang mempunyai waktu luang untuk melaksanakan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk penular DBD (PSN DBD). Selain itu, pekerjaan terkait dengan penghasilan keluarga. Individu atau masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan rendahnya kondisi sosial ekonomi akan menyebabkan individu atau masyarakat tersebut lebih fokus mencari pekerjaan untuk menambah penghasilan sehingga kurang memperhatikan kegiatan PSN DBD di rumah dan lingkungannya. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberadaan jentik nyamuk Ae aegypti. Sebuah penelitian
37
yang dilakukan oleh Amrul (2007), di Bandar Lampung, menemukan bahwa pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap mempunyai risiko 2,03 kali lebih besar untuk terjadinya DBD bila dibandingkan dengan yang berpenghasilan tetap.