BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Ekosistem Perairan Daratan Ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang tersusun dari bagian-bagian yang hidup dan tidak hidup, yang saling berinteraksi (Nyabakken, 1988:222). Sedangkan menurut Barus (2002:4) ekosistem merupakan satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup (komponen hayati) dengan berbagai komponen nirhayati yang berinteraksi membentuk suatu sistem. Komponen hayati yang dimaksud adalah manusia, hewan, dan tumbuhan sedangkan komponen nirhayati yaitu air, tanah, dan udara. Ekosistem perairan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni ekosistem air tawar, ekosistem air laut, dan ekosistem air payau. Dari ketiga ekosistem perairan tersebut, air laut dan air payau merupakan bagian yang terbesar, yaitu lebih dari 97% dan sisanya merupakan ekosistem air tawar yang justru digunakan oleh manusia dan banyak jasad hidup lainnya (Barus, 2002:2). Odum (1998:368) menjelaskan bahwa habitat air tawar atau ekosistem perairan yang terdapat di daratan dapat dibagi menjadi dua seri, yaitu habitat lentik atau air tergenang dan habitat lotik atau air mengalir. Contoh air tergenang atau lentik adalah danau, waduk, rawa, kolam sedangkan contoh air mengalir atau lotik adalah mata air, aliran air atau sungai. Perbedaan utama
22
antara perairan lentik dan perairan lotik adalah dalam hal kecepatan arus. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2002:21). Habitat air tawar menempati daerah relatif kecil pada permukaan bumi, dibandingkan dengan habitat laut dan daratan, tetapi bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Hal tersebut disebabkan karena: (1) habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik dan industri (2) komponen air tawar adalah daerah kritis pada daur hidrologi (3) ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan memadai dan paling murah (Odum, 1998:368). Dilihat dari efisiensi penggunaan sumberdaya air tawar tersebut, bukan tidak mungkin efek negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan perairan juga begitu besar apabila pemanfaatannya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Akibat dari kegiatan manusia, ekosistem air telah mengalami pencemaran misalnya pembuangan berbagai jenis limbah ke dalam badan air tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai komponen lingkungan yang membentuk suatu ekosistem air dan menyebabkan gangguan pada kehidupan biota air secara keseluruhan (Barus, 2002:11).
23
2. Tinjauan mengenai Perairan Waduk Perairan lentik atau menggenang dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yakni rawa, danau, dan waduk. Waduk merupakan perairan menggenang yang terbentuk akibat pembendungan aliran sungai. Berdasarkan tipe sungai yang dibendung dan fungsi air, dikenal dengan tiga jenis waduk, yaitu waduk lapangan (field reservoir), waduk irigasi (irrigation reservoir), dan waduk serbaguna (multipurpose reservoir) (Barus, 2002:100). Tabel 1. Ciri berbagai tipe waduk Ciri-ciri
Waduk Lapangan
Waduk Irigasi
Waduk Serbaguna
Sungai asal waduk
Episodik
Intermiten
Permanen
Luas perairan (ha)
< 10
10 – 500
> 500
Kedalaman max (m)
5
25
100
Masa berair (bulan)
6–9
9 - 12
12
Kegunaan (fungsi)
Lokal
Irigasi
Listrik, irigasi, dll
Sumber: (Suwignyo, 1990 dalam Barus, 2002:101) Waduk adalah bangunan untuk menampung air pada waktu terjadi surplus air di sumber air agar dapat dipakai sewaktu-waktu terjadi kekurangan air sehingga fungsi utama waduk adalah untuk mengatur sumber air. Waduk sebagai perairan darat tenang mempunyai ciri khas, yakni arus air yang sangat lambat bahkan tidak ada arus sama sekali. Perbedaan intensitas cahaya dan suhu pada kolom air perairan waduk menggambarkan stratifikasi kualitas air secara vertikal. Stratifikasi kualitas air di perairan waduk dipengaruhi oleh kedalaman air dan musim (Effendi, 2003:31).
24
Barus (2002:101-102) menjelaskan bahwa daya tembus cahaya matahari ke dalam lapisan air dapat dibedakan menjadi dua, yakni zona fotik dan zona afotik. Zona fotik merupakan zona yang terletak di bagian atas yang dapat ditembus oleh cahaya matahari, sedangkan zona afotik merupakan zona yang terletak di bagian bawah yang tidak dapat ditembus oleh cahaya matahari. Selain fotik dan afotik, juga dikenal dengan nama zona benthal, yaitu zona substrat dasar yang dibagi menjadi zona litoral dan zona profundal. Zona litoral merupakan bagian dari zona benthal yang masih dapat ditembus oleh cahaya matahari, sedangkan zona profundal merupakan bagian dari zona benthal yang terletak di perairan yang dalam dan tidak dapat ditembus lagi oleh cahaya matahari. Pada umumnya, plankton hidup pada zona limnetik yang terletak di zona fotik dimana masih terdapat asupan cahaya matahari yang masuk ke dalam kolom air sampai batas penetrasi cahaya. 3. Tinjauan mengenai Plankton Definisi plankton secara umum diartikan sebagai hewan dan tumbuhan renik yang terhanyut di suatu perairan. Nama plankton berasal dari akar kata Yunani “plantos” yang mempunyai arti mengembara atau menghanyut. Pada tahun 1887, Victor Hensen selaku direktur Ekspedisi Jerman melakukan ekspedisi yang dikenal dengan “Plankton Expedition” dimana untuk pertama kalinya menerapkan istilah plankton untuk menentukan dan membuat sistematika organisme laut (Nontji, 2008:11). Menurut Odum (1998:374) plankton merupakan organisme mengapung yang pergerakannya kira-kira tergantung pada arus dan secara keseluruhan plankton tidak dapat melawan
25
arus. Pernyataan Odum mengenai pengertian plankton tersebut diperkuat oleh Nyabakken (1988:36) bahwa plankton mempunyai kemampuan berenang yang lemah sehingga pergerakannya dipengaruhi oleh gerakan-gerakan air. Istilah plankton yang dikemukakan oleh para ahli tersebut merupakan acuan umum yang digunakan para peneliti dalam menentukan pengertian dari plankton. Menurut Barus (2002:23) yang menjadi penyebab pergerakan plankton sangat terbatas dan dipengaruhi oleh pergerakan arus air adalah alat gerak dari plankton tersebut, yaitu flagella dan cilia. Alat gerak tersebut tidak dapat mengimbangi gerakan arus air sehingga pergerakan plankton akan mengikuti arus air disekelilingnya. Plankton kerap disangkut-pautkan dengan daur hidup atau siklus hidupnya karena pada saat stadium dewasa sifat planktonik terkadang akan mengalami fase perubahan dan menempuh lebih dari satu cara hidup. Menurut Nybakken (1988:37) plankton dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan daur hidupnya. 1.
Holoplankton, yaitu suatu organisme akuatik yang seluruh daur hidupnya mulai dari telur, larva sampai stadium dewasa bersifat planktonik.
2.
Meroplankton, yaitu organisme-organisme akuatik yang hanya sebagian daur hidupnya bersifat planktonik dimana pada saat stadium dewasa hidup sebagai bentos atau nekton.
Organisme planktonik biasanya ditangkap menggunakan jaring-jaring yang
mempunyai
ukuran
mata
jaring
26
yang
berbeda-beda
sehingga
penggolongan plankton dapat pula dilakukan berdasarkan ukuran dari plankton (Nybakken, 1988:37). Berdasarkan ukurannya, plankton dapat dibedakan menjadi lima golongan (Barus, 2002:25), yakni: 1.
Ultraplankton, dengan ukuran tubuh < 2 µm
2.
Nanoplankton, dengan ukuran tubuh 2 – 20 µm
3.
Mikroplankton, dengan ukuran tubuh 20 – 200 µm
4.
Makroplankton, dengan ukuran tubuh > 500 µm
5.
Megaplakton, dengan ukuran tubuh yang sangat besar seperti kelompok medusa, kelompok ini merupakan kelompok plankton yang sangat jarang ditemukan dan umumnya hidup pada habitat laut.
Plankton dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme plankton yang bersifat tumbuh-tumbuhan sedangkan zooplankton adalah organisme plankton yang bersifat hewan. Perbedaan yang paling mencolok dari kedua jenis plankton tersebut adalah kemampuan yang dimiliki oleh fitoplankton yakni dapat melakukan fotosintesis dengan tersedianya klorofil dalam sel-sel organisme. Kemampuan fotosintesis tersebut menjadikan fitoplankton termasuk dalam kelompok produsen. Keberadaan fitoplankton di ekosistem air menjadi sangat penting terutama dalam mendukung kelangsungan hidup organisme air lainnya, seperti zooplankton, bentos, ikan, dsb (Barus, 2004:65). 4. Tinjauan mengenai Fitoplankton Fitoplankton disebut juga plankton nabati adalah tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang dalam perairan yang mempunyai ukuran sangat
27
kecil, yaitu berksar antara 2-200µm (1µm = 0,001mm). Fitoplankton umumnya berupa individu bersel tunggal, akan tetapi terdapat juga fitoplankton yang berbentuk rantai (Nontji, 2008:11). Menurut Sachlan (1982:17) fitoplankton merupakan organisme berklorofil yang pertama ada di dunia dan merupakan sumber makanan bagi zooplankton yang berkedudukan sebagai konsumen primer. Populasi konsumer dengan jenjang tropik yang lebih tinggi umumnya mengikuti dinamika populasi plankton. Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan sangat penting dalam ekosistem air karena mempunyai kandungan klorofil yang berguna untuk proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton yang berperan sebagai produsen merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang berperan sebagai konsumen. Konsumen tersebut dimulai dari zooplankton hingga organisme akuatik lainnya yang
membentuk
rantai
makanan
(Barus,
2002:26).
fitoplankton pada struktur komunitas komponen biologi
Perkembangan bersifat dinamis,
artinya dominasi satu spesies dapat diganti dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan dengan kualitas perairan yang tertentu pula (Prabandani, 2007:51). Barus (2002:27-28) menjelaskan bahwa pada zona limnetik yang terdapat pada daerah temperata, kepadatan populasi fitoplankton akan bervariasi secara musiman. Kepadatan yang sangat tinggi dicapai pada saat musim semi yang terjadi dalam waktu yang singkat dan sering disebut dengan blooming. Kepadatan yang tinggi tersebut dicapai akibat meningkatnya kadar nutrisi pada
28
saat musim dingin yang tidak digunakan karena intensitas cahaya dan temperatur yang sangat rendah, sehingga laju fotosintesis sangat lambat. Meningkatnya intensitas cahaya pada saat musim semi tiba, diikuti dengan naiknya temperatur air serta ketersediaan nutrisi yang tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan populasi fitoplankton dengan cepat. Kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan air tawar umumnya terdiri dari diatom dan ganggang hijau serta dari kelompok ganggang biru. Jenis yang umumnya sangat banyak ditemukan pada perairan adalah dari genus Oscillatoria, Aphanizomenon, Anabaena dan spesies Microcystis aeruginosa (Barus, 2002:27). Sachlan (1982:12) mengelompokkan fitoplankton menjadi 5 divisi yaitu Chrysophyta, Pyrrophyta, Chlorophyta, Cyanophyta, dan Euglenophyta (hanya hidup di air tawar) kecuali Euglenophyta semua kelompok fitoplankton ini dapat hidup di air tawar dan air laut. Berikut adalah beberapa fitoplankton yang terdapat di perairan air tawar, yaitu: a.
Divisi Chrysophyta Divisi
Chrysophyta
dikelompokkan
menjadi
tiga
kelas,
yakni
Xanthophyceae (hijau kekuningan), Chrysophyceae (coklat keemasan), dan Bacillariophyceae (kuning kecoklatan). Dari beberapa kelas tersebut, fitoplankton yang umum dijumpai di perairan air tawar adalah kelas Bacillariophyceae (Diatom). Diatom hidup dalam suatu kotak gelas yang unik dan tidak memiliki alat-alat gerak (Nybakken, 1988:37). Diatomae merupakan jasad renik bersel satu yang masih dekat dengan flagellata dengan bentuk sel yaitu bilateral dan sentrik. Sel diatom mempunyai
29
inti dan kromatofora berwarna kuning coklat yang mengandung klorofil-a, karotin, santofil, dan karotenoid lainnya yang menyerupai fikosanin, sedangkan beberapa jenis diatom yang tidak mempunyai zat warna hidup sebagai saprofit. Didalamnya terdapat pirenoid namun tidak dikelilingi oleh tepung. Hasil asimilasinya ditimbun di luar kromatofora berupa tetes-tetes minyak dalam vakuola dan terkadang leukosin. Diatomae adalah indikator yang baik untuk menentukan kualitas air (Odum, 1998:380). Diatom adalah alga bersel satu, umumnya mikroskopik dengan ukuran berkisar 0,01-1,00 mm. Habitat diatomae umumnya di perairan tawar, laut, dan tanah-tanah yang basah dengan cara hidup membentuk koloni ataupun soliter. Menurut Tjitrosoepomo (2001:48) kelompok diatom yang paling banyak ditemui di perairan tawar adalah Asteromella, Melosira, Synendra, Naviculla, Nazchia, dll. Sedangkan Barus (2002:27) mengungkapkan bahwa dari kelompok diatom yang umum dijumpai adalah Stephanodiscus hantzchii, Cyclotella meneghiniana, Melosira granulata, Asterionella formosa, dan Synendra acus. b.
Divisi Chlorophyta (Kelas Chlorophyceae) Chlorophyta memiliki ciri-ciri berwarna hijau yang disebabkan adanya
kloroplas dengan butir-butir pirenoid ditengahnya. Butir-butir pirenoid sendiri berfungsi untuk menghasilkan amilum dalam proses fotosintesis. Warna hijau tersebut juga diakibatkan adanya klorofil-a dan b, karoten (kuning kemerahan), xantofil (kuning) namun kandungan klorofil-a sangat dominan. Dinding sel chlorophyta tersusun atas dua lapisan, yakni lapisan bagian dalam selulosa dan
30
lapisan bagian luar adalah pektin. Cadangan makanan disimpan dalam bentuk amilum, minyak, dan protein. Chlorophyta termasuk bentuk sel tunggal seperti desmid, bentuk benang yang terapung atau terikat, dan berbagai bentuk koloni yang terapung. Klorofil pada Chlorophyta tidak tertutup oleh pigmen lain sehingga terlihat hijau (Odum, 1998:380). Chlorophyta
bersifat
uniseluler
atau
berkoloni
dan
multiseluler.
Chlorophyta uniseluler memiliki flagella yang bergerak aktif sedangkan chlorophyta multiseluler berbentuk benang lembaran atau seperti tumbuhan tingkat tinggi. Bersel satu (Chlorella), berkoloni (Volvox), dan bersel banyak membentuk benang/spiral (Spyrogyra). Chlorophyta umumnya hidup secara fotoautotrof di perairan tawar dan minoritas hidup di laut sebagai fitoplankton. Beberapa genus memiliki bentuk kloroplas yang berlainan seperti bentuk benang/spiral
(Spyrogyra),
lembaran
(Ulva),
rumput
(Chara),
jala
(Hydrodiction), bintang (Zygnema), ladam (Ulothrix), dan butiran klorofil yang tidak teratur. Barus (2002:27) menjelaskan bahwa kelompok Chlorophyta yang sering ditemui adalah Scenedesmus quadricauda, Ankistrodesmus acicularis, Coelastrum reticulatum, Euglena pisciformis, genus Chlamydomonas dan Pandorina morum. c.
Divisi Chyanophyta (Kelas Chyanophyceae) Chyanophyta disebut juga dengan ganggang biru atau ganggang belah atau
ganggang lendir merupakan golongan ganggang bersel satu yang memiliki struktur tubuh yang sederhana dan berbentuk benang. Ganggang ini memiliki warna biru kehijauan (fikosianin), autotrof, memiliki inti, dan tidak ditemukan
31
kromatora. Ganggang biru kehijauan ini umumnya terdapat di perairan pantai dan perairan payau. Chyanophyta membentuk koloni dengan klorofil yang tersebar (tidak terpusat pada kromatoplas) tertutup ole pigmen biru-hijau. Kelompok ini penting secara ekologis karena biomas yang besar yang dapat terbentuk pada kolam dan danau yang tercemar (Odum, 1998:380). Ganggang ini hidup secara soliter atau berkoloni. Individu yang berkoloni biasanya berbentuk benang atau filamen dan memiliki selubung. Ganggang biru kehijauan ini biasa ditemukan di air tawar, air laut, tempat lembab, batubatuan yang basah, menempel pada tumbuhan atau hewan, kolam yang banyak mengandung bahan organik (nitrogen) di sumber air panas, dan perairan tercemar. Chyanophyta dapat mengikat nitrogen menjadi nitrat, jadi perannya sama seperti bakteri pengikat nitrogen dalam tanah (Odum, 1998:380). Chyanophyta merupakan makhluk hidup pertama yang memberi kemungkinan hidup pada makhluk hidup lain di tempat yang sulit dijadikan tempat hidup karena dapat mengikat bahan organik dan gas nitrogen dari atmosfer (Tjitrosoepomo, 2001:56). d.
Divisi Euglenophyta (Dinoflagellata) Euglenophyta disebut juga dengan ganggang hijau terang merupakan
ganggang uniseluler dengan bintik berwarna merah (stigma), memiliki alat gerak berupa flagella, tidak berdinding sel, dan bergerak aktif seperti hewan namun memiliki klorofil dan berfotosintesis seperti tumbuhan. Filum ini sebagian besar hidup di air tawar dengan banyak terdapat kandungan bahan organik seperti nitrat dan fosfat.
32
Dinoflagellata dikenal dengan adanya dua flagella yang digunakan sebagai alat gerak, tidak mempunyai kerangka luar tetapi memiliki dinding pelindung yang tersusun atas selulosa. Cara hidup dinoflagellata secara soliter dan bereproduksi dengan membelah diri seperti diatom (Nyabakken, 1988:39-40). Beberapa jenis dari Dinoflagellata dapat menghasilkan toksik yang dapat membahayakan organisme akuatik lain sehingga ketika terjadi blooming berdampak negatif bagi makhluk hidup lain. Contoh dari dinoflagellata adalah Ceratium, Nocticula, Gymnodium, Protocentrum, dan Protoperidium (Rachma, 2011:4). 5. Tinjauan mengenai Zooplankton Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka ragam, dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan (Nybakken, 1988:41). Menurut Sachlan (1978:82)
zooplankton
terdiri
dari
holoplankton
dan
meroplankton.
Meroplankton waktu masih dalam stadium telur atau larva dari macam-macam avertebrata maupun vertebrata akan berkedudukan sebagai plankton dan setelah menjadi dewasa tidak berkedudukan sebagai plankton lagi. Zooplankton dapat berenang dengan melakukan gerakan migrasi vertikal (menuju ke bawah atau dasar perairan) pada siang hari dimana fitoplankton sebagai sumber makanannya berada. Zooplankton bersifat heterotrofik, yaitu tidak dapat memproduksi makanan sendiri atau mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik sehingga kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada produsen primer, yakni fitoplankton (Rachma, 2011:5). Barus (2002:30)
33
menjelaskan bahwa kepadatan zooplankton di suatu perairan lotik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton, artinya besar kemungkinan kepadatan zooplankton di perairan lentik lebih banyak jika dibandingkan dengan fitoplankton karena zooplankton banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus yang rendah serta kekeruhan air yang sedikit. Nybakken (1988:41) menjelaskan bahwa dari sudut ekologi hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting, yaitu filum Arthropoda, kelas Crustaceae, sub kelas Copepoda). Copepoda merupakan plankton golongan holoplanktonik yang mendominasi ekosistem perairan yang berperan sebaga mata rantai antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil. Barus (2002:30) juga memperkuat penjelasan Nybakken dimana kelompok zooplankton yang banyak terdapat di ekosistem perairan adalah dari kelas Crustaceae (Copepoda dan Cladocera) serta filum Rotifera. a.
Filum Protozoa Protozoa dibagi menjadi 4 kelas, yakni Sporozoa, Flagellata, Ciliata, dan
Rhizopoda. Kelas Sporozoa tidak ada yang hidup sebagai plankton karena semua jenis Sporozoa merupakan parasit yang hidup di tubuh manusia dan ikan. Kelas Flagellata diklasifikasikan menjadi fitoflagellata dan zooflagellata, namun karena pigmen fotosintesis yang berjumlah sedikit dan makan dengan cara
memangsa
maka
Flagellata
dimasukkan
kedalam
Zooplankton.
Zooflagellata yang hidup sebagai plankton (hidup bebas) semuanya termasuk tipe holozoik dari alga yang berflagel, seperti dari Pyrrophyta yaitu Nocticula
34
sp, Pyrocystus, dll. Sedangkan zooflagellata yang tidak hidup bebas hidup sebagai parasit pada tubuh manusia atau vertebrata lain (Sachlan, 1978:83). Kelas Ciliata merupakan golongan protozoa yang berperan sebagai spesific consumer dan tidak ada contoh yang jelas bahwa golongan Protozoa ini berasal dari Alga. Ciliata sebagian besar hidup bebas di air tawar dan beberapa hidup di laut. Ciliata memang tidak merupakan zooplankton sejati di air tawar, tetapi banyak hidup diantara Perifiton, didasar sebagai bentos, dimana terdapat banyak detritus yang membusuk. Kelas Rhizopoda mempunyai bentuk seperti kaki-kaki atau akar tumbuhan yang tidak teratur. Rhizopoda mempunyai peranan penting di air tawar maupun air laut karena sebagai makanan bagi organisme trofik jenjang yang lebih tinggi. Rhizopoda terdiri dari dua Ordo, yakni Amoebina Foraminifera-Radiolaria dan Heliazoa (Sachlan, 1978:83-85). b.
Filum Coelenterata atau Cnidaria Filum Coelenterata atau Cnidaria terdiri dari 2 kelas, yakni Hydrozoa-
scyphozoa
dan
Anthozoa.
Hanya
kelas
Hydrozoa-scyphozoa
yang
berkedudukan sebagai plankton karena bersifat holoplanktonik, seperti uburubur kecil serta koloni-koloni yang kompleks dan aneh yang dikenal sebagai sifonofora. Ubur-ubur kelas Scyphozoa merupakan organisme terbesar dan kadang-kadang terdapat dalam jumlah besar (Nybakken, 1988:45). c.
Filum Ctenophora Filum Ctenophora secara taksonomik masih dekat dengan filum Cnidaria
yang sebagian besar bersifat planktonik, tetapi kemudian dipisahkan karena tidak mempunyai nematocys dan hanya mempunyai struktur-struktur seperti
35
sisir (Sachlan, 1978:87). Semua filum Ctenophora adalah karnivora yang rakus. Filum ini menangkap mangsanya dengan menggunakan tentakel-tentakel yang lengket atau dengan mulutnya yang sangat lebar. Pergerakan didalam air menggunakan deretan-deretan silia yang besar (Nybakken, 1988:45). d.
Filum Annelida Filum Annelida cukup banyak terdapat di laut sebagai meroplankton
sedangkan di perairan air tawar hanya terdapat lintah (ordo Hirudinae) yang dapat menjadi parasit pada ikan-ikan (Sachlan, 1978:90). Filum Annelida diwakili dalam holoplankton oleh beberapa anggota yang bentuknya telah mengalami spesialisasi yang berjumlah tidak begitu melimpah. Termasuk dalam Annelida adalah berbagai cacing polikaeta dari famili Tomopteridae dan Alciopidae (Nybakken, 1988:45). e.
Filum Mollusca Filum Mollusca merupakan filum terbesar kedua dalam dunia hewan.
Mollusca terdiri dari 4 kelas, yakni Gastropoda, Pelocypoda, Valvae, dan Cephalopoda. Mollusca biasanya dianggap sebagai hewan-hewan bentik yang lamban. Namun, terdapat mollusca yang telah mengalami adaptasi khusus agar dapat hidup sebagai holoplankton. Mollusca planktonik yang telah mengalami modifikasi tertinggi ialah pteropoda dan heteropoda. Kedua kelompok tersebut secara taksonomik dekat dengan siput dan termasuk kelas Gastropoda. Pada perairan air tawar, meroplankton dari kelas Gastropoda dan kelas Valvae tidak begitu mempunyai peranan penting (Sachlan, 1978:99).
36
f.
Filum Arthropoda Bagian terbesar dari organisme zooplankton adalah anggota filum
Arthropoda dan hampir semuanya termasuk kelas Crustaceae (ordo Copepoda). Dari filum Arthropoda tersebut, hanyalah Crustaceae yang dapat hidup sebagai plankton yang merupakan zooplankton terpenting bagi ikan baik di air tawar maupun di air laut. Crustaceae memiliki tempurung yang tersusun dari kitin atau kapur. Crustaceae dibagi menjadi 2 golongan, yakni Entomostraco (udang-udangan tingkat rendah) dan Malacostraco (udang-udangan tingkat tinggi).
Golongan
Entomostraco
terdiri
dari
beberapa
ordo,
yakni
Branchiopoda, Ostracoda, Copepoda, dan Cirripeda. Sedangkan golongan Malacostraco terdiri dari ordo Mycidacae, Amphipoda, Decapoda, dan Euphausiacea. Kebanyakan Crustaceae yang disebutkan tersebut merupakan hewan-hewan holoplanktonik, mereka makan dengan cara menyaring fitoplankton dan atau hewan-hewan kecil dari air (Nybakken, 1988:45). g.
Filum Echinodermata Dari Filum Echinodermata hanya larva-larva saja dari beberapa ordo yang
merupakan meroplankton. Terdapat beberapa larva-larva dari Chordata dan berhubungdengan bersamaan bentuk larva-larva tersebut sehingga muncul anggapan bahwa Chordata merupakan keturunan dari Filum Echinodermata (Sachlan, 1978:100). h.
Filum Chordata Filum Chordata mempunyai 4 sub-filum, yakni Entoropneusta, Uro-
chodata, cephalo-chordata, dan vertebrata. Dari keempat sub-filum tersebut
37
hanya Entoropneusta dan Uro-chodata yang hidup sebagai plankton. Kelas dari Filum Chordata yang hanya bersifat planktonik adalah Kelas Thaliacea dan Larvacea, bertubuh seperti agar-agar dan makan dengan cara menyaring makanan dari air laut (Sachlan, 1978:101). 6. Tinjauan mengenai Parameter Fisika dan Kimia Perairan Kualitas suatu perairan terutama perairan lentik atau perairan menggenang dapat dilihat dari fluktuasi naik turunnya populasi biota air yang terdapat di perairan tawar terutama plankton (dalam hal ini fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen). Fluktuasi populasi fitoplankton dapat mempengaruhi tingkatan trofik pada jenjang yang lebih tinggi akibat kondisi lingkungan perairan yang dinamis. Faktor lingkungan perairan menjadi sangat penting bagi kehidupan plankton dan biota lainnya. Perubahan berbagai kondisi lingkungan perairan dapat ditentukan berdasarkan kajian mengenai parameter fisika dan kimia perairan. a.
Parameter Fisika Perairan 1.
Intensitas Cahaya Matahari Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi
sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya plankton dan humin yang terlarut dalam air. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan
38
mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya (Barus, 2002: 43). Energi yang diperlukan agar ekosistem bahari di bumi dapat berfungsi hampir seluruhnya bergantung pada aktivitas fotosintesis tumbuhan bahari. Di antara tumbuhan bahari fitoplanktonlah yang mengikat bagian terbesar dari energi walaupun fitoplankton hanya menghuni suatu lapisan air permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari (Nybakken, 1988:58). Menurut Barus (2002:26) fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan fotosintesis. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Nybakken (1988:59) bahwa fotosintesis hanya dapat berlangsung apabila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Fotosintesis oleh fitoplankton bergantung pada adanya cahaya. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas tinggi dan menurun bila intensitas cahaya menurun. Sebaliknya, laju respirasi fitoplankton dapat dikatakan konstan di semua kedalaman. Ini berarti bahwa bila suatu sel alga tenggelam menjauhi permukaan air, laju fotosintesis semakin menurun dengan semakin jauhnya sel alga dari permukaan sehingga di suatu kedalaman tertentu laju fotosintesis sama dengan laju respirasi (Nybakken, 1988:62).
39
2.
Suhu atau Temperatur Pengukuran temperatur atau suhu air merupakan hal yang mutlak
dilakukan pada penelitian ekosistem air. Hal tersebut disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologisfisiologis di dalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh temperatur atau suhu. Menurut hukum VAN’T HOFFS, kenaikan temperatur sebsar 10oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisma dari organisme 2 - 3 kali lipat. Peningkatan laju metabolisme tersebut menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air akan berkurang (Barus, 2002:44-45). Nybakken (1988:12) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit, yakni 0-40oC. Tetapi ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas dan sedikit di bawah batas-batas tersebut, misalnya ganggang hijau-biru yang hidup pada suhu 85oC di sumber air panas. Air mempunyai beberapa sifat unik yang berhubungan dengan panas yang secara bersama-sama mengurangi perubahan suhu sampai tingkat minimal sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dari udara. Organisme akuatik sering kali
40
mempunyai toleransi yang sempit terhadap variasi suhu dalam air (Odum, 1998:369-370). Kristanto (2002:77) mengungkapkan bahwa naiknya suhu air akan menimbulkan akibat sebagai berikut: a. Menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air b. Meningkatkan kecepatan reaksi kimia c. Mengganggu kehidupan biota air d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, biota air lainnya besar kemungkinan akan mengalami kematian 3.
Kekeruhan Kekeruhan menunjukkan sifat optis air yang mengakibatkan
pembiasan cahaya ke dalam air. Kekeruhan membatasi masuknya cahaya ke dalam air. Kekeruhan ini terjadi karena adanya bahan yang terapung dan terurainya zat tertentu, seperti bahan organik, jasad renik, lumpur tanah liat dan benda lain yang melayang atau terapung dan sangat halus sekali. Semakin tinggi daya hantar listriknya dan semakin banyak pula padatannya (Kristanto, 2002:81). Odum (1998:370) menjelaskan bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman. Kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, seringkali penting sebagai faktor pembatas. Sebaliknya, bila kekeruhan disebabkan oleh organisme, ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktifitas.
41
Menurut Effendi (2003:60) kekeruhan banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan partikel-partikel halus yang dapat mengendap seperti lumpur. Tingginya nilai kekeruhan tersebut dapat menghalangi penetrasi cahaya yang akan menghambat fitoplankton untuk berfotosintesis. 4.
Penetrasi Cahaya Satino (2010:13) menjelaskan bahwa kedalaman perairan memiliki
peranan penting terhadap kehidupan biota pada ekosistem perairan. Suhu, kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya, dan tekanan hidrostatik
terbentuk
akibat
semakin
dalamnya
suatu
perairan.
Pembentukan komponen dalam perairan tersebut mengakibatkan respon yang berbeda pula pada biota air yang hidup di dalamnya. Menurut Barus (2002:43) Pada batas akhir penetrasi cahaya, cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan serta konsentrasi karbondiokasida dan oksigen berada dalam keadaan relatif konstan sehingga memungkinkan bahwa keberadaan plankton optimal terdapat pada batas akhir penetrasi cahaya matahari dari suatu perairan. b. Parameter Kimia Perairan 1.
pH Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yakni 6 sampai 8,
sedangkan air tercemar, misalnya limah (buangan) berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya (Kristanto, 2002:73). Organisme air dapat
42
hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah (Baur 1987, Brehm & Meijering 1990, Brakke et al, 1992 dalam Barus, 2002:61). Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2002:61). Tabel 2. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan Nilai pH
Pengaruh Umum 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun
6,0 – 6,5
2. Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas tidak mengalami perubahan 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak
5,5 – 6,0
2. Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti 3. Alga hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral 1. Penurunan keanekaragaman plankton dan bentos
5,0 – 5,5
2. Semakin besar terjadi penurunan kelimpahan total, biomass zooplankton dan bentos 3. Alga hijau berfilamen semakin banyak proses nitrifikasi terhambat 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun
4,5 – 5,0
2. Penurunan kelimpahan total dan biomass zooplankton dan bentos 3. Alga hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat
Sumber: (Effendi, 2003:73-74) Nilai pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium yang bersifat toksik
43
semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme
air.
sedangkan
pH
yang
tinggi
akan
menyebabkan
keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik Nilai pH suatu ekosistem air dapat berfluktuasi terutama dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis (Barus, 2002:61-62). 2. Dissolved Oxygen (DO) DO atau oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air. Berbeda dengan faktor temperatur yang mempunyai pengaruh yang merata terhadap fisiologis semua organisme air, konsentrasi oksigen terlarut dalam air hanya berpengaruh secara nyata terhadap organisme air yang memang membutuhkan oksigen terlarut untuk respirasinya. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur dan jumlah garam terlarut dalam air. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme air (Barus, 2002:56-57). Konsentrasi oksigen terlarut akan meningkat apabila suhu atau temperatur menurun dan konsentrasi oksigen terlarut akan menurun apabila suhu atau temperatur meningkat. Jika oksigen terlarut terlalu rendah, maka organisme anaerob (organisme yang tidak membutuhkan
44
oksigen) mungkin akan mati dan organisme aerob (organisme yang membutuhkan
oksigen)
akan
menguraikan
bahan
organik
dan
menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm (5 part per million atau 5 mg oksigen untuk setiap liter air). Selebihnya bergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu air, dan sebagainya (Kristanto, 2002:77-78). Pernyataan Kristanto tersebut diperkuat oleh Barus (2002:58) yang menyatakan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya tidak lebih kecil dari 8 mg/l. Tabel 3. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO No
Golongan
Kandungan DO (mg/l)
Kualitas Air
1.
I
> 6,0
Tidak Tercemar
2.
II
4,5 – 6,0
Tercemar Ringan
3.
III
2,0 – 4,5
Tercemar Sedang
4.
IV
< 2,0
Tercemar Berat
Sumber: (Lee et al., 1978) 3.
Biochemical Oxygen Demand (BOD) Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20oC (Forstner, 1990 dalam Barus, 2002:65). Mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanyadalam menguraikan senyawa organik yang terdapat pada limbah rumah tangga secara sempurna. Waktu tersebut dianggap terlalu lama sehingga ketika
45
pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran secara umum yang dilakukan ialah pengukuran selama 5 hari (BOD5) (Barus, 2002:65). Tabel 4. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD No
Kandungan BOD (mg/l)
Kualitas Air
1.
< 3,0
Tidak Tercemar
2.
3,0 – 5,0
Tercemar Ringan
3.
5,0 – 15
Tercemar Sedang
4.
15
Tercemar Berat
Sumber: (Lee et al., 1978) BOD atau uji kebutuhan oksigen biokimia menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Organisme aerob membutuhkan oksigen untuk proses reaksi biokimia, yaitu untuk mengoksidasi bahan organik, sintesis sel, dan oksidasi sel (Kristanto, 2002:87). 4.
Chemical Oxygen Demand (COD) Uji COD (Chemical Oxygen Demand) yang juga disebut dengan uji
kebutuhan oksigen kimia merupakan suatu uji untuk menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikromat
46
yang digunakan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. COD dapat dijadikan alternatif untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air karena waktu uji yang lebih cepat dari BOD. Selain itu, COD mengacu pada reaksi kimia dari suatu bahan oksidan sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih tinggi dari BOD untuk air yang sama (Kristanto, 2002:88). Barus (2002:66-67) menyatakan bahwa dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis. Nilai COD dinyatakan dalam mg O2/l. 7. Tinjauan mengenai Struktur Komunitas Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yang telah ditentukan. Komunitas dibagi menjadi dua, yakni komunitas utama dan komunitas minor. Komunitas utama adalah komunitas dominan yang memiliki kelengkapan organisasi cukup besar dan tidak bergantung pada hasil masukan komunitas didekatnya. Komunitas minor merupakan komunitas yang tidak dominan dan sebagian besar bergantung pada komunitas didekatnya (Odum, 1998:174). Komunitas tidak hanya mempunyai status trofik dan pola arus energi yang khas tetapi juga mempunyai komposisi bahwa jenis-jenis tertentu akan berpeluang hidup secara berdampingan berdasarkan waktu dan ruang sehingga secara fungsional komunitas yang serupa dapat memiliki komposisi jenis yang berbeda.
47
Odum (1998:180) menjelaskan bahwa komunitas dapat diklasifikasikan menurut (1) bentuk atau sifat struktur utama seperti misalnya jenis dominan, bentuk-bentuk hidup atau indikator-indikator (2) habitat fisik dari komunitas (3) sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional seperti misalnya tipe metabolisme komunitas. Analisis komunitas didasarkan pada dua pendekatan, yakni pendekatan secara zona dan gradien. Pendekatan secara zona dimana komunitas yang terputus-putus dikenal kemudian diklasifikasikan dan didaftarkan, sedangkan pendekatan secara gradien melibatkan penyusunan populasi, persebaran frekuensi, dan koefisien kesamaan atau statistik. Struktur komunitas dapat dipelajari melalui: 1.
Komposisi jenis Komposisi jenis menggambarkan persebaran atau distribusi relatif
suatu spesies dalam suatu komunitas. 2.
Indeks keanekaragaman jenis (Diversity index) Indeks keanekaragaman jenis merupakan nisbah-nisbah antara jumlah
jenis dan nilai-nilai penting (jumlah, biomas, produktivitas, dll) individuindividu. Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah dalam ekosistemekosistem yang secara fisik terkendali dan akan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Odum, 1998:184). Keanekaragaman spesies merupakan karakteristik yang unik dari tingkat komunitas dalam organisasi biologi yang diekspresikan melalui struktur
komunitas.
Suatu
komunitas
dikatakan
mempunyai
keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies
48
dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata, sebaliknya dikatakan keanekaragaman spesies yang rendah apabila di dalam suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata (Barus, 2002:121). 3.
Indeks dominansi (Dominant index) Komunitas secara trofik mempunyai produsen, makrokonsumen, dan
mikrokonsumen, golongan-golongan tersebut yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan mempengaruhi lingkungan secara kuat dari semua jenis lainnya disebut dominan-dominan ekologi. Derajat dimana dominansi dipusatkan dalam satu, beberapa, atau banyak jenis dapat dinyatakan dengan indeks dominansi (Odum, 1998:178). 4.
Indeks kemerataan (Evenness index) Indeks kemerataan menggambarkan persebaran individu setiap jenis.
Kemerataan suatu spesies berkaitan dengan diversity dan dominansi jenis dalam suatu komunitas. 5.
Indeks kesamaan (Similarity index) Indeks kesamaan atau indeks similaritas digunakan untuk melihat
tingkat kesamaan dari dua sampling area atau zona yang berbeda. 6.
Indeks kekayaan (Richness index) Indeks kekayaan menggambarkan hubungan jumlah spesies dengan
jumlah
total
individu.
Secara
garis
besar
indeks
merepresentasikan jumlah total spesies dalam satu komunitas.
49
kekayaan
8. Deskripsi Wilayah Waduk Wadaslintang Waduk Wadaslintang secara geografis terletak pada koordinat 366134 mT; 9158932 mU. Titik koordinat tersebut di plotting dengan menggunakan GPS tepat berada di area tepi perairan waduk bagian pintu masuk sebelah selatan. Waduk Wadaslintang secara administratif terletak di sebelah selatan Desa Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dan sebelah utara Desa Padureso Kabupaten Kebumen. Bendungan waduk atau pintu air waduk terletak di sebelah selatan waduk yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Kebumen. Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSSO) menjelaskan Waduk Wadaslintang termasuk ke dalam tipe Waduk Serbaguna. Ciri-ciri Waduk Serbaguna yaitu memiliki aliran air yang bersifat permanen dari inlet sungai, luas area waduk >500 Ha (luas area Waduk Wadaslintang mencapai 2.626 Ha), kedalaman perairan waduk maksimal 100 m (berdasarkan tinggi bendungan kedalaman Waduk Wadaslintang mencapai 116 m), dan kegunaan waduk yang banyak, seperti sarana irigasi, PLTA, pengendali banjir, penampung air, perikanan (budidaya KJA), dan pariwisata (pemancingan ikan). Keadaan topografi daerah bagian utara berupa daerah perbukitan yang merupakan daerah kering setengah tandus. Bagian tengah merupakan daratan rendah berupa areal persawahan, sedangkan di bagian selatan merupakan tanah pasir. Tujuan utama pembangunan adalah untuk penyediaan sarana pengairan untuk menunjang peningkatan produksi pangan guna meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran rakyat (http://bbws-so.net).
50
Gambar 1. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia daerah Wadaslintang
51
B. Kerangka Berpikir Waduk Wadaslintang memiliki fungsi dan pemanfaatan untuk irigasi (pengairan), PLTA, pengendali banjir, perikanan (KJA), dan pariwisata. Dampak negatif dari pemanfaatan irigasi yaitu adanya sedimen yang masuk langsung ke badan air waduk seperti limbah domestik pertanian, PLTA mempunyai dampak negatif pada kekeruhan air yang disebabkan karena sistem kerja dari alat PLTA, pengendali banjir mempunyai dampak negatif pada volume air yang tertampung di waduk, sektor perikanan terutama keramba jaring apung mempunyai dampak negatif yakni nutrien yang masuk ke badan air waduk sehingga dapat menyebabkan eutrofik (pencemaran) di perairan waduk, dan dari sektor pariwisata seperti tempat wisata mempunyai dampak negatif yakni pembuangan limbah ke badan air waduk. Dampak negatif tersebut mengakibatkan kondisi perairan dan terganggunya keseimbangan ekosistem Waduk Wadaslintang. Pendekatan ilmiah untuk mengkaji kondisi perairan waduk dapat diteliti dengan kajian mengenai fisika perairan (suhu, intensitas cahaya, kekeruhan, dan penetrasi cahaya), kimia perairan (pH, DO, BOD, COD), dan biologi perairan (plankton). Kajian mengenai fisika dan kimia perairan secara langsung akan mempengaruhi kelangsungan hidup plankton yang berperan sebagai bioindikator di perairan Waduk Wadaslintang. Dari kajian ilmiah tersebut, maka dapat ditentukan struktur komunitas plankton di perairan Waduk Wadaslintang berdasarkan indeks keanekaragaman, indeks dominansi, indeks kemerataan, indeks kesamaan, indeks kekayaan, dan komposisi jenis.
52
Waduk Wadaslintang
Fungsi dan Pemanfaatan Waduk
Irigasi (Pengairan)
PLTA
Pengendali Banjir
Perikanan (KJA)
Pariwisata
Sedimen yang masuk
Kekeruhan air
Volume air yang tertampung
Nutrien yang masuk badan air
Pembuangan limbah
Kondisi Perairan Waduk
Fisika Perairan
Biologi Perairan
Kimia Perairan
Perifiton, Plankton, Nekton, Bentos, dll
1. Suhu air 2. Intensitas cahaya 3. Kekeruhan air 4. Penetrasi Cahaya
1. 2. 3. 4.
Plankton Zooplankton Konsumen tingkat I
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Fitoplankton Produsen Primer
Indeks Keanekaragaman Indeks Dominansi Indeks Kemerataan Indeks Kesamaan Indeks Kekayaan Komposisi jenis
Struktur Komunitas Gambar 2. Diagram Alir Kerangka Berpikir
53
pH DO BOD COD