BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gagal Jantung Gagal jantung adalah keadaan saat jantung tidak mampu lagi memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Gagal jantung juga dapat didefinisikan sebagai gejala klinis yang kompleks yang disebabkan gangguan jantung yang menurunkan kemampuan ventrikel untuk mengalirkan dan memompa darah (Francis, 2008). Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh sehingga otot jantung menjadi kaku dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan adekuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering merespon dengan menahan air dan garam (retensi). Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh penderita menjadi bengkak (kongestif) (Udjianti, 2011). Tierney, dkk. (2002) dan Gray (2005) mengemukakan bahwa fungsi sistolik jantung ditentukan oleh empat determinan utama, yaitu kontraktilitas miokardium, preload (beban pada ventrikel sebelum kontraksi sistol dan dihasilkan oleh volume akhir-diastolik ventrikel), afterload (beban pada ventrikel ketika berkontraksi selama ejeksi ventrikel kiri), dan frekuensi denyut jantung. Fungsi jantung dapat menjadi tidak adekuat akibat perubahan beberapa determinan tersebut.
9
10
2.2 Jantung 2.2.1 Anatomi Jantung Jantung adalah organ yang berfungsi mensirkulasi darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dada (thoraks), di antara kedua paru (Ruhyanudin, 2007). Jantung terdiri dari empat ruang, yaitu atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri, dan ventrikel kiri. Atrium kanan berfungsi menampung darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior dan vena cava inferior. Pada dinding atrium kanan terdapat nodus sinoatrial, yaitu sumber listrik jantung. Ventrikel kanan menerima darah dari atrium kanan dan melalui katup trikuspidalis mengalirkannya ke paru-paru. Atrium kiri berfungsi menerima darah yang teroksigenasi dari paru-paru melalui vena pulmonalis. Sedangkan ventrikel kiri menerima darah yang teroksigenasi dari atrium kiri melalui katup bicuspidalis (katup mitralis) yang selanjutnya dipompakan ke seluruh tubuh melalui katup semilunar aorta. Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Kerja saraf simpatis adalah mengatur kerja otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis adalah mengontrol irama jantung dan denyut jantung (Oemar, 1998). 2.2.2 Siklus Jantung Menurut Aaronson dan Ward (2007), siklus jantung adalah urutan kejadian mekanik yang terjadi selama satu denyut jantung tunggal. Saat menuju akhir diastol, semua rongga jantung berelaksasi. Pada saat ini katup atrio-ventrikuler (AV) terbuka dan darah mengalir dari atrium ke ventrikel. Katup aorta dan pulmonalis tertutup karena tekanan di aorta dan pulmonalis lebih besar dari
11
tekanan di ventrikel yang berelaksasi sehingga darah mengumpul di ventrikel. Periode ini disebut diastol. Volume darah dalam ventrikel sesaat sebelum kontraksi disebut volume-akhir diastol. Saat ventrikel berkontraksi, tekanan pada ventrikel menjadi lebih besar dari tekanan di atrium sehingga katup AV tertutup. Kemudian tekanan dalam aorta dan arteri pulmonalis lebih besar daripada tekanan di ventrikel sehingga katup aorta dan pulmonalis tertutup. Karena semakin tingginya tekanan di ventrikel, katup aorta dan pulmonalis terbuka dengan cepat sehingga darah mengalir keluar ventrikel dengan kecepatan dan tekanan tinggi. Periode ini disebut sistol. Pada akhir sistol, ventrikel kembali berelaksasi, siklus pengisian dan pengosongan kembali berulang (Corwin, 2008). 2.2.3 Denyut Jantung Dalam kondisi normal, jantung berdenyut sekitar 70 kali permenit yang dikontrol sendiri oleh jantung. Regulasi denyut jantung dipengaruhi oleh saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis akan meningkatkan denyut jantung, sedangkan stimulasi saraf parasimpatis akan menghambat peningkatan denyut jantung (Mutaqqin, 2009) 2.2.4 Curah Jantung Curah jantung adalah volume darah yang dipompa jantung permenit, yaitu isi sekuncup x denyut jantung permenit. Pada pria normal dengan berat badan 70 kg, curah jantung saat istirahat sekitar 5 L/menit. Namun selama latihan fisik berat, curah jantung dapat bertambah hingga 25 L/menit. (Aaronson & Ward, 2007)
12
2.3 Patofisiologi Gangguan fisiologi gagal jantung bersifat kompleks, namun gangguan pada kemampuan jantung dalam memompa tergantung pada bermacam-macam faktor yang saling terkait. Gagal jantung dapat dikatakan adalah proses yang kronis namun progresif, karena patofisiologinya memperlihatkan perubahanperubahan
yang
terus-menerus
yang
pada
awalnya
bertujuan
untuk
mempertahankan keseimbangan kardiovaskular, namun pada perjalanannya menjadi
kontraproduktif.
Kunci
terjadinya
gagal
jantung
adalah
tidak
berfungsinya sejumlah sel miokard setelah terjadinya cidera pada jantung. Menurunnya kemampuan kontraksi miokard memegang peran utama pada kejadian gagal jantung, akan tetapi kontraksilitas miokard sulit untuk diukur (Prabowo, 2003) Cidera pada jantung dapat disebabkan oleh infark miokard akut, toksin (alkohol atau obat-obatan), infeksi (virus atau parasit), stres kardiovaskular (hipertensi atau penyakit katup jantung), dan penyebab-penyebab lain yang tidak diketahui. Tidak berfungsinya sejumlah miokard menyebabkan jantung bereaksi agar fungsinya tetap stabil dengan melakukan beberapa mekanisme yang disebut mekanisme kompensasi. Menurut Manik (2006) secara garis besar, ada dua mekanisme kompensasi yang dilakukan jantung, yaitu mekanisme hemodinamik dan mekanisme neurohormonal. 2.3.1 Mekanisme Hemodinamik Mekanisme hemodinamik merupakan mekanisme yang dilakukan jantung untuk mempertahankan keseimbangan sirkulasi darah agar tetap memadai untuk
13
memberikan suplai oksigen yang cukup ke seluruh jaringan. Mekanisme ini mengikuti hukum Frank-Starling yang menyatakan bahwa volume sekuncup jantung atau jumlah darah yang dipompakan jantung akan meningkat sebagai respon terhadap peningkatan volume darah yang mengisi jantung pada volume akhir diastolik. Karena preload meningkat, serabut-serabut otot jantung lebih banyak meregang sebelum berkontraksi agar dapat berkontraksi lebih kuat. Dengan meregangnya serabut-serabut otot jantung yang akan memberikan kontraksi lebih kuat akan meningkatkan volume sekuncup, yang berakibat pada peningkatan curah jantung sewaktu sistol. 2.3.2 Mekanisme Neurohormonal Selain mekanisme hemodinamik, jantung juga melakukan kompensasi melalui mekanisme neurohormonal, yaitu mekanisme yang dilakukan jantung untuk tetap mempertahankan fungsionalnya melalui pengaktifan hormon-hormon. Gangguan pada sejumlah miokard yang mengurangi fungsi sistolik, menyebabkan berkurangnya aliran darah ke aorta. Kekurangan ini mengaktifkan saraf simpatis sehingga reseptor β-adregenik pada sel miokard sehat terangsang dan menghasilkan peningkatan denyut jantung, kemampuan kontraksi jantung, dan vasokonstriksi pada vena dan arteri. Sebagai akibat vasokonstriksi vena, aliran balik vena ke jantung akan meningkat sehingga meningkatkan preload. Sedangkan vasokonstriksi pada arteri, khususnya arteri renal akan menyebabkan aliran darah di ginjal berkurang dan ginjal memberi reaksi berupa retensi garam dan air (Udjianti,
2011).
Aktivasi
neurohormonal
juga
memacu
peningkatan
noradrenalin, angiotensin II, vasopresin, dan aldosteron yang merangsang
14
terjadinya vasokonstriksi, retensi natrium di ginjal, dan dilatasi hipertofi miokard (remodelling) yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung. Meskipun belum diketahui mekanisme mana yang lebih dulu bekerja ketika terjadi gangguan fungsi ventrikel, kedua mekanisme ini bekerja saling melengkapi, namun ketika terjadi perbaikan fungsi ventrikel, kedua mekanisme ini aktivitasnya tidak segera berhenti. Bahkan ketika mekanisme kompensasi ini mulai dan atau sedang bekerja juga terjadi reaksi ikutan di dalam tubuh termasuk pada jantung. Ketika mekanisme hemodinamik dan neurohormonal aktif, terjadi dilatasi ventrikel serta aktivasi sistem simpatis yang berakibat stres pada dinding jantung saat diastol sehingga merusak rongga jantung dan meningkatkan konsumsi oksigen otot jantung untuk pengeluaran energi jantung. Pada saat itulah gejala gagal jantung berkembang (Manik, 2006). 2.4 Klasifikasi Gagal Jantung 2.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kemampuan Fungsional New York Heart Assosiation (NYHA) mengklasifikasikan gagal jantung menurut keluhan yang dialami penderita sebagai berikut. a. Kelas I Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik pada penderita. aktivitas fisik biasa tidak menimbulkan keluhan fatique, dispnea, atau palpitasi. b. Kelas II Sedikit keterbatasan aktivitas fisik, merasa nyaman bila istirahat, tetapi aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan fatique, dispnea, atau palpitasi
15
c. Kelas III Keterbatasan yang nyata pada aktivitas fisik, merasa nyaman saat istirahat namun gejala akan muncul saat melakukan aktivitas fisik yang lebih ringan dari yang biasa d. Kelas IV Rasa tidak nyaman saat melakukan aktivitas fisik apapun. Gejala sudah muncul bahkan saat istirahat dan semakin parah ketika melakukan aktivitas fisik (Manik, 2006). 2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Manifestasi Klinis a. Gagal Jantung Kiri dan Gagal Jantung Kanan Jantung memompa darah kaya oksigen dari paru-paru ke atrium kiri kemudian ke ventrikel kiri, yang memompa darah ke seluruh tubuh. ventrikel kiri memang memiliki kekuatan yang paling besar untuk memompa darah ke seluruh jaringan tubuh, namun pada gagal jantung kiri, bagian kiri jantung harus bekerja lebih keras lagi dari yang normal untuk curah jantung yang sama. Ada dua tipe gagal jantung kiri, dengan pengobatan yang berbeda, yaitu gagal jantung sistolik dan gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik terjadi ketika ventrikel kiri kehilangan kemampuan kontraksi secara normal. Jantung tidak dapat berkontraksi dengan tekanan yang cukup untuk memompa darah secara normal. Sedangkan gagal jantung diastolik (disfungsi diastolik) terjadi jika ventrikel kiri kehilangan kemampuannya untuk berelaksasi secara normal (karena otot jantung menjadi kaku) sehingga jantung tidak dapat terisi dalam jumlah yang tepat saat periode akhir diastol.
16
Jantung memompa darah untuk mengembalikan darah ke jantung melalui vena ke atrium kanan lalu ke ventrikel kanan. Kemudian ventrikel kanan memompa darah kembali ke jantung melalui paru-paru untuk diisi dengan oksigen. Gagal jantung kanan biasanya terjadi karena efek gagal jantung kiri. Ketika terjadi gagal jantung kiri, tekanan cairan meningkat, dan hasilnya, kembali ke paru, yang pada akhirnya mengganggu bagian kiri jantung. Ketika bagian kanan jantung kehilangan kemampuan untuk memompa, darah kembali ke pembuluh darah tubuh dan biasanya menyebabkan pembengkakan pada pergelangan kaki (AHA, 2014). Gabungan kedua gagal jantung ini disebut gagal jantung kongestif, dimana kedua bagian jantung gagal memompa dengan efisien (Mutaqqin, 2009) b. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik Gagal jantung akut terjadi dengan cepat, sehingga mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif, terjadi perubahan gejala secara cepat sehingga membutuhkan penanganan yang cepat pula. Gagal jantung akut dapat terjadi sebagai serangan pertama gagal jantung, namun dapat pula terjadi akibat gagal jantung kronik sebelumnya. Gambaran klinis pada gagal jantung akut yaitu adanya kongesti paru, penurunan curah jantung, dan hipoperfusi jaringan (Manurung, 2009). Sedangkan menurut Ghanie (2009), gagal jantung kronik adalah sindrom klinik yang komplek disertai keluhan sesak, rasa lelah baik pada saat istirahat maupun beraktivitas. Gagal jantung kronik berlangsung dalam waktu relatif cukup lama dan biasanya merupakan hasil akhir dari peningkatan ketidakmampuan mekanisme kompensasi jantung yang efektif. Biasanya gagal
17
jantung kronis terjadi karena hipertensi, penyakit katup, atau penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) (Udjianti, 2010). c. Gagal Jantung Backward dan Gagal Jantung Forward Menurut Udjianti (2010), gagal jantung backward terjadi akibat ventrikel tidak mampu memompa darah keluar, sehingga darah terakumulasi dan meningkatkan tekanan dalam ventrikel, atrium, dan sistem vena baik pada bagian kanan maupun bagian kiri jantung. Sedangkan gagal jantung forward terjadi akibat ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung yang kemudian menurunkan perfusi jaringan. Karena jantung merupakan sistem jaringan tertutup, gagal jantung backward dan gagal jantung forward selalu berhubungan satu sama lain. d. Gagal Jantung Low-output dan Gagal Jantung High-output Udjianti (2010) juga mengemukakan bahwa gagal jantung low-output terjadi jika jantung gagal sebagai pompa, yang mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan vasokonstriksi perifer sehingga curah jantung menjadi di bawah normal. Bila curah jantung tetap normal atau di atas normal namun tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolik tubuh, maka terjadi gagal jantung high-output. e. Klasifikasi menurut American College of Cardiology dan American Heart Association American College of Cardiology dan American Heart Association telah mempublikasikan klasifikasi baru mengenai evolusi dan progresi gagal jantung.. Berikut stadium gagal jantung.
18
1. Stadium A Pasien dengan risiko tinggi gagal jantung namun tanpa kelainan struktur jantung 2. Stadium B Pasien dengan kelainan struktur jantung namun tidak pernah menunjukkan gejala gagal jantung. 3. Stadium C Pasien dengan kelainan struktur jantung dan mengalami atau pernah mengalami gejala gagal jantung sebelumnya. 4. Stadium D Pasien dengan stadium akhir yang sulit disembuhkan dengan pengobatan standar dan membutuhkan intervensi khusus (Handler & Coghlan, 2009) 2.5 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang dapat diamati pada pasien gagal jantung dapat dilihat dari aspek respirasi, hemodinamika, renal, abdomen, dan ekstremitas. 2.5.1 Respirasi Dari aspek respirasi dapat dilihat dengan adanya kongesti vaskular pulmonal yang ditandai oleh dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal (DNP), batuk, dan edema pulmonal. a. Dispnea Dispnea dikarakteristikkan sebagai pernapasan cepat, dangkal, dan keadaan yang menunjukkan pasien sulit mendapatkan udara yang cukup. Terkadang
19
pasien mengeluh adanya insomnia, gelisah, kelemahan yang disebabkan dispnea. b. Ortopnea Ortopnea merupakan ketidakmampuan berbaring datar karena dispnea. Pasien hanya dapat berbaring dengan posisi kepala jauh lebih tinggi. Namun kondisi ini harus dikaji lebih teliti karena bisa saja pasien memang memiliki kebiasaan tidur dengan posisi kepala yang tinggi, sehingga hal ini bukan termasuk gejala dari gagal jantung. c. Dispnea nokturnal paroksimal (DNP) Keluhan ini yaitu terbangun di tengah malam karena mengalami napas pendek yang hebat. Dispnea nokturnal paroksimal diduga disebabkan oleh perpindahan cairan dari jaringan ke dalam kompartemen intravaskular akibat posisi telentang. Pada saat pasien melakukan kegiatan di siang hari, tekanan hidrostatik vena meningkat, khususnya pada bagian bawah akibat gravitasi, peningkatan volume cairan, dan peningkatan tonus simpatis. Karena peningkatan tekanan hidrostatik ini, sejumlah cairan keluar masuk ke jaringan secara normal. Namun dengan posisi telentang, tekanan pada kapiler-kapiler menurun dan cairan diserap kembali ke dalam sirkulasi. Peningkatan cairan pada sirlukasi akan mengakibatkan penambahan jumlah darah yang masuk ke jantung untuk dipompa tiap menit (peningkatan beban awal). d. Batuk Gejala ini sering tidak menjadi perhatian pada dari kongesti vaskular pulmonal, namun dapat menjadi gejala dominan. Batuk pada kongesti vaskular pulmonal
20
dapat produktif tetapi biasanya kering dan pendek. Gejala ini dihubungkan dengan kongesti mukosa bronkial dan berhubungan dengan peningkatan produksi mukus. e. Edema pulmonal Edema pulmonal merupakan gambaran klinis yang paling bervariasi dari kongesti vaskular pulmonal. Edema pulmonal akut terjadi bila tekanan kapiler pulmonal melebihi tekanan yang cenderung mempertahankan cairan di dalam saluran vaskular (kurang lebih 30 mmHg). Pada tekanan ini, akan terjadi transduksi cairan ke dalam alveoli, namun sebalikya, tekanan ini akan menurunkan tersedianya area untuk transpor normal oksigen dan karbon dioksida dari darah dalam kapiler pulmonal. Edema pulmonal akut dicirikan dispnea hebat, batuk, ortopnea, ansietas, sianosis, berkeringat, kelainan bunyi pernapasan, nyeri dada yang sering, sputum berwarna merah muda, berbusa yang keluar dari mulut 2.5.2 Hemodinamika a. Penurunan tekanan darah perifer Gejala ini ditandai dengan melemahnya denyut nadi perifer. Menurunnya tekanan darah disebabkan penurunan volume sekuncup. Sedangkan hipotensi sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat. b. Bunyi jantung tambahan Pada jantung normal, hanya ada bunyi jantung pertama (S1) dan kedua (S2). Namun pada pasien gagal jantung, tanda fisik dapat dengan mudah dikenali dengan adanya bunyi jantung ketiga (S3) dan keempat (S4). Bunyi jantung
21
ketiga (S3) atau gallop ventrikel merupakan tanda penting dari gagal ventrikel kiri dan sering tidak ditemukan bila tidak terdapat penyakit jantung yang signifikan. Kebanyakan dokter setuju bahwa tindakan intervensi terhadap gagal jantung diindikasikan dengan adanya tanda ini. Bunyi jantung ketiga (S3) terdengar pada awal sistolik setelah bunyi jantung kedua (S2) dan berkaitan dengan periode pengisian ventrikel pasif dengan cepat. Bunyi ini terdengar paling baik dengan bell stetoskop yang diletakkan tepat di apeks, akan lebih baik dengan posisi pasien berbaring miring kiri, dan pada akhir ekspirasi. Sedangkan bunyi jantung keempat (S4) atau gallop atrium dihubungkan dengan mengikuti kontraksi atrium dan terdengar paling baik dengan bell stetoskop yang ditempelkan tepat pada apeks jantung. Pasien diminta berbaring miring ke kiri. Bunyi jantung keempat (S4) ini terdengar sebelum bunyi jantung pertama (S1) dan tidak selalu merupakan tanda pasti kegagalan jantung, tetapi dapat menunjukkan adanya peningkatan kekakuan miokardium. Hal ini dapat dijadikan indikasi awal kegagalan jantung. Bunyi S4 umumnya ditemukan pada pasien dengan infark miokard akut dan mungkin tidak memiliki prognosis bermakna, tetapi dapat menunjukkan kegagalan yang baru terjadi. c. Crackles Crackles atau ronkhi basah halus secara umum terdengar pada dasar posterior paru dan sering dikenali sebagai bukti gagal ventrikel kiri. Pada saat pemeriksaan pasien diintruksikan untuk batuk dalam yang bertujuan membuka alveoli basilaris yanng mungkin mengalami kompresi karena berada di bawah
22
diafragma. Jika crackles tidak menghilang setelah batuk, maka perlu dilakukan evaluasi adanya bunyi S3 pada apeks untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. d. Peningkatan vena jugularis Peningkatan vena jugularis dapat dievaluasi dengan melihat pada vena-vena di leher. Pasien diinstruksikan untuk berbaring di tempat tidur dan kepala tempat tidur ditinggikan antara 30 sampai 60 derajat, sehingga kolom darah di venavena jugularis eksternal akan meningkat. Pada orang normal, hanya beberapa milimeter di atas batas klavikula. Namun pada pasien gagal ventrikel kanan akan tampak sangat jelas dan berkisar antara 1 sampai 2 cm. Peningkatan vena jugularis terjadi dengan mekanisme sebagai berikut. Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi terhadap kegagalan ventrikel kiri, akan terjadi dilatasi dari ruang ventrikel, peningkatan volume, dan tekanan pada diastolik akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel, dan peningkatan lanjut pada tekanan atrium kanan. Peningkatan tekanan ini akan diteruskan ke hulu vena kava dan kemudian dapat diketahui dengan peningkatan vena jugularis. e. Kulit dingin Kulit yang terasa dingin disebabkan oleh kegagalan pada ventrikel kiri yang menimbulkan tanda-tanda yang menunjukkan berkurangnya perfusi ke organorgan. Karena darah dialirkan ke organ-organ vital terlebih dahulu seperti jantung dan otak untuk mempertahankan perfusinya, maka manifestasi lanjut dari kegagalan ventrikel ini adalah berkurangnya perfusi ke jaringan lain seperti kulit dan otot-otot rangka. Kulit tampak pucat dan terasa dingin karena
23
pembuluh darah perifer mengalami vasokonstriksi dan kadar hemoglobin yang tereduksi meningkat sehingga akan terjadi sianosis. 2.5.3 Renal Perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung oleh karena penurunan volume intravaskular dan atau penurunan curah jantung. Penurunan fraksi ejeksi ataupun hipertropi ventrikel kiri saja sebelum munculnya gejala klinis disfungsi ventrikel (gagal jantung) sudah menyebabkan terganggunya aliran darah ginjal dan
aktivasi
renin-angiotensin-aldosterone
system
(RAAS)
yang
dapat
meningkatkan kadar cystatin C sebagai petanda dini gangguan fungsi ginjal (Sarraf, et.al, 2009). Pada gagal jantung yang berat, terjadi pelepasan neurohormon vasokontriktor dan penyebab retensi sodium dan air seperti angiotensin II, norepineprin, endothelin, adenosin dan arginin vasopressin. Namun terjadi juga pelepasan hormon vasodilator dan natriuresis seperti natriuretic peptide, prostaglandin, bradikinin, dan nitrik oksida sebagai efek penyeimbang. Ketidakseimbangan kedua kedua kelompok hormon inilah yang memiliki peranan penting untuk terjadinya perburukan fungsi ginjal dan retensi natrium pada gagal jantung (Carbajal, 2003) 2.5.4 Abdomen a. Hepatomegali Hepatomegali atau pembesaran hepar terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Bila bagian kanan atas abdomen ditekan akan terasa nyeri. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong masuk ke rongga abdomen, yang menyebabkan suatu kondisi yang
24
disebut asites. Penumpukan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma sehingga pasien dapat mengalami distres pernapasan. b. Anoreksia Hilangnya selera makan atau anoreksia dan mual dapat terjadi akibat pembesaran vena di dalam rongga abdomen. 2.5.5 Ektremitas a. Edema Edema sering ditemukan bila gagal ventrikel kanan telah terjadi sehingga sering pula dipertimbangkan sebagai tanda gagal jantung. Bila edema tampak dan berhubungan dengan kegagalan ventrikel kanan, ini tergantung pada lokasi. Bila pasien berdiri atau bangun, edema akan ditemukan secara primer pada pergelangan kaki dan akan terus berlanjut ke bagian atas tungkai bila kegagalan makin buruk. Bila pasien berbaring, bagian tubuh yang tergantung adalah area sakrum sehingga edema harus diperhatikan pada daerah tersebut. Manifestasi klinis gagal ventrikel kanan yang tampak adalah edema ekstremitas bawah, yang biasanya merupakan pitting edema. Pitting edema merupakan cara pemeriksaan edema di mana edema akan tetap cekung setelah penekanan ringan dengan ujung jari dan akan jelas terlihat setelah terjadi retensi cairan minimal sebanyak 4,5 kg. Edema dimulai pada kaki dan tumit yang secara bertahap akan meningkat hingga ke bagian tungkai dan paha dan pada akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah.
25
b. Mudah Lelah Pasien dengan gagal jantung akan cepat merasa lelah, hal ini terjadi akibat curah jantung yang berkurang sehingga menghambat sirkulasi normal dan suplai oksigen ke jaringan serta pembuangan sisa hasil metabolisme. Kelelahan ini juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distres pernapasan dan batuk. Selain itu, kelelahan juga terjadi akibat perfusi yang kurang pada otot-otot rangka. Gejala ini dapat dipicu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau anoreksia. 2.6 Epidemiologi 2.6.1 Distribusi Frekuensi a.
Menurut Orang Gagal jantung umumnya terjadi pada orang dewasa. Menurut data AHA
(2015), di Amerika Serikat prevalensi penderita gagal jantung pada tahun 2012 sebanyak 5,7 per 100.000 orang pada usia ≥20 tahun dengan jumlah penderita terbanyak pada usia 80 tahun ke atas. Sedangkan di Inggris, berdasarkan data BHF (2014), pada tahun 2012-2013, jumlah penderita gagal jantung tertinggi pada usia 75 tahun ke atas. Sedangkan menurut jenis kelamin, berdasarkan data AHA (2015), di Amerika Serikat jumlah penderita laki-laki sebanyak 2,7 per 100.000 orang dan perempuan sebanyak 3 per 100.000 orang. Berdasarkan penelitian Afina (2012) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, penderita gagal jantung dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu 65,6% dan perempuan sebanyak 34,4%.
26
b. Menurut Tempat Penderita gagal jantung tersebar di berbagai negara, namun jumlahnya cenderung lebih tinggi pada negara maju dan negara berkembang. Hal ini disebabkan pola hidup di negara maju dan negara berkembang cenderung lebih konsumtif dan kurangnya aktivitas fisik. Di negara maju seperti Amerika Serikat, sekitar 5,1 juta orang menderita gagal jantung dan sekitar setengah dari jumlah penderita gagal jantung meninggal dalam waktu 5 tahun setelah didiagnosis (Go, et.al., 2013). Sedangkan di negara berkembang seperti di Indonesia, gagal jantung menjadi satu dari sepuluh peringkat besar penyakit tidak menular penyebab rawat inap di rumah sakit pada tahun 2009 dengan proporsi 2,52% (SIRS, 2010–2011). c.
Menurut Waktu Jumlah penderita gagal jantung dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Hasil penelitian yang dilakukan Pakpahan (2012) di RSU Herna Medan diketahui bahwa jumlah penderita gagal jantung yang dirawat inap tahun 2009 adalah sebanyak 97 orang dan pada tahun 2010 sebanyak 75 orang. 2.6.2 Determinan a. Umur Gagal jantung dapat terjadi pada orang dengan berbagai usia. Namun pada umumnya semakin tua usia seseorang, maka semakin rentan terserang berbagai penyakit, termasuk gagal jantung. Hal ini terjadi karena kemampuan tubuh, termasuk otot jantung dan pembuluh darah semakin menurun sehingga kemungkinan untuk menderita gagal jantung meningkat. Menurut penelitian Pakpahan (2012), di Rumah Sakit Umum Herna Medan pada tahun 2009-2010,
27
proporsi penderita gagal jantung pada kelompok umur ≥ 40 tahun sebesar 96,5% dan pada kelompok umur < 40 tahun sebesar 3,5%. b. Jenis Kelamin Pria memiliki risiko lebih besar terkena gagal jantung daripada wanita yang belum menopause. Namun, setelah masa menopause, wanita cenderung lebih rentan daripada pria karena kemampuan tubuh untuk memproduksi estrogen menurun (World Heart Federation, 2015). Wanita yang menopausenya cepat, baik secara alami maupun karena histerektomi, dua kali lebih berisiko menderita gagal jantung daripada wanita dengan usia yang sama namun belum memasuki masa menopause (National Institutes of Health, 2014). Berdasarkan penelitian Afina (2012) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, penderita gagal jantung dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu 65,6% dan perempuan sebanyak 34,4%. c. Merokok dan Konsumsi Alkohol Menurut AHA (2015), merokok merupakan faktor risiko utama dalam kejadian penyakit kardiovaskular. McGowen (2001) menyatakan bahwa merokok dapat mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam membawa dan mengirimkan oksigen, menurunkan level HDL-C (kolesterol baik) di dalam darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel penggumpalan darah. Pengumpalan cenderung terjadi pada arteri jantung, terutama jika sudah ada endapan kolesterol di dalam arteri. Sedangkan menurut WHO (2010), merokok diperkirakan menyebabkan 71% kanker paru, 42% penyakit pernapasan kronis, dan hampir 10% penyakit kardiovaskular.
28
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol mengubah keseimbangan cairan, memperburuk hipertensi, dan mempresipitasi aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan juga dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2% sampai 3% dari kasus (AHA, 2014). d. Kurang Aktivitas Fisik Aktivitas fisik dapat menurunkan tonus saraf simpatik, mendorong penurunan berat badan, dan meningkatkan metabolisme tubuh sehingga peredaran darah menjadi lebih lancar (AHA, 2014). Orang-orang yang kurang aktivitas fisik memiliki risiko 20% sampai 30% lebih tinggi untuk mengalami penyakit. Aktivitas
fisik
yang
rutin
dapat
mengurangi
risiko
terkena
penyakit
kardiovaskular, diabetes, kanker payudara, kanker kolon, dan depresi (WHO, 2010). American Heart Association (2008) merekomendasikan anak-anak melakukan aktivitas fisik minimal 60 menit perhari (termasuk aerobik, dan penguatan tulang dan otot). Sedangkan bagi orang dewasa dianjurkan minimal 150 menit untuk aktivitas sedang dan 75 menit untuk aktivitas berat. e. Diet Tidak Sehat Konsumsi garam yang tinggi merupakan determinan penting dalam peningkatan risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya. Restriksi natrium yang tinggi mengakibatkan ginjal bekerja lebih keras yang pada akhirnya berpengaruh pada kerja jantung. Para ahli menganjurkan untuk membatasi asupan natrium hingga < 2 g perhari guna meminimalkan retensi cairan.
29
Konsumsi lemak jenuh dan asam lemak jenuh juga berkaitan dengan penyakit jantung. Konsumsi buah dan sayuran yang cukup dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, kanker lambung, dan kanker kolorektal. Membatasi konsumsi makanan yang mengandung kadar garam, kolesterol dapat mengurangi risiko aterosklerosis dan restriksi natrium yang merupakan pemicu gagal jantung (Gray, dkk. 2005) Sedangkan konsumsi kafein memiliki banyak efek bagi metabolisme tubuh, seperti menstimulasi sistem saraf pusat, mengeluarkan asam lemak jenuh dari jaringan adiposa, meningkatkan urinasi, yang dapat memicu dehidrasi. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi kafein dan penyakit jantung koroner (AHA, 2014). f. Hipertensi Ketika tekanan dalam pembuluh darah terlalu tinggi, jantung harus memompa lebih kuat dari keadaan normal agar sirkulasi darah tetap stabil. Hal ini menjadi beban bagi jantung dan menyebabkan ruang-ruang jantung menjadi semakin lebar dan lemah (AHA, 2014). Menurut penelitian Waty (2012) di Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun 2011, sebanyak 66,5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. g. Penyakit Jantung Koroner Ketika kolesterol dan lemak menumpuk di arteri, darah yang sampai ke otot jantung menjadi berkurang, yang disebut aterosklerosis. Hal ini mengakibatkan nyeri dada (angina), jika aliran darah terhambat sama sekali akan menyebabkan serangan jantung. Penyakit jantung koroner juga berkontribusi
30
dalam peningkatan tekanan darah yang dapat memicu gagal jantung. Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal jantung. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung (Hellerman, 2003). Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal jantung (Mann, 2008). Bahkan dua pertiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh penyakit jantung koroner (Doughty dan White, 2007). h. Infark Miokard Serangan jantung terjadi saat arteri yang mensuplai darah ke otot jantung terhambat. Kekurangan oksigen dan nutrisi dapat merusak jaringan otot jantung. Jaringan yang rusak ini tidak dapat berkontraksi dengan baik sehingga mengurangi kemampuan jantung untuk memompa darah. i. Kelainan Katup Jantung Kelainan katup jantung dapat diakibatkan oleh penyakit, infeksi (endokarditis), atau cacat lahir. Ketika katup tidak dapat membuka atau menutup dengan baik saat jantung berdenyut, otot jantung harus memompa lebih kuat agar darah tetap mengalir. Jika kerja jantung terlalu berat, terjadilah gagal jantung (AHA, 2014) j. Kardiomiopati Beberapa hal yang dapat merusak otot jantung, seperti efek samping obat dan penggunaan alkohol, infeksi virus, maupun alasan lain dapat meningkatkan risiko gagal jantung. Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung,
31
dimana otot jantung menjadi melebar, menebal, atau kaku. Pada beberapa kasus, jaringan otot jantung berubah menjadi jaringan parut. Kardiomiopati terdiri dari beberapa jenis, diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip, Gibbs, dan Beevers, 2000). Jenis kardiomiopati lainnya yaitu hipertrophic cardiomiopathy yang bersifat herediter. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel. Kardiomiopati jenis lain, yaitu restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normalm (Scoote, Purcell, dan Wilson, 2005). Ketika
kardiomiopati
semakin
buruk,
jantung
semakin
lemah.
Kemampuan jantung memompa darah ke seluruh tubuh dan mempertahankan irama jantung pada kondisi normal menurun. Hal ini memicu terjadinya gagal jantung atau denyut jantung yang tidak teratur yang disebut aritmia. Akibatnya terjadi pembengkakan di paru, pergelangan, kaki, betis, dan abdomen.
32
k. Lain-lain Pada orang yang memiliki kelainan jantung bawaan, jantung dan ruangruangnya tidak terbentuk dengan sempurna, bagian jantung yang sehat harus bekerja lebih keras untuk menutupi kekurangannya. Gagal jantung juga rentan pada orang dengan penyakit paru berat, karena jantung harus bekerja lebih keras karena tubuh tidak mendapat oksigen yang cukup akibat paru tidak bekerja dengan optimal. Sedangkan orang dengan diabetes cenderung mengalami hipertensi dan aterosklerosis karena kadar lemak yang meningkat di dalam darah. Diabetes juga menyebabkan mekanisme perubahan struktur dan fungsi miokardium yang menyebabkan kerja miokard yang sehat semakin berat sehingga berakhir pada gagal jantung. Demikian pula pada penderita obesitas, peningkatan kolesterol meningkatkan risiko penyakit jantung koroner yang pada akhirnya menyebabkan gagal jantung. 2.7 Penyakit Penyerta Gagal jantung seringkali tidak berdiri sendiri melainkan disertai dengan kondisi patologi lain yang prosesnya terjadi bersamaan (komorbid/penyakit penyerta). Dalam kaitannya dengan gagal jantung, komorbid ini diartikan sebagai keadaan, di luar penyakit penyebab, yang mencakup faktor pencetus, faktor pemberat, dan komplikasi yang ketiganya harus dikelola dengan baik agar tidak memperburuk gagal jantung yang terjadi. Pada pasien usia lanjut, sering ditemukan lebih banyak komorbid, akibat dari kegagalan multi-organ, dibandingkan pasien usia dewasa. Namun demikian, distribusi setiap komorbid ini tidak sama untuk masing-masing kelompok umur. Terjadinya tumpang tindih
33
antara tanda dan gejala proses menua dengan penyakit kardiovaskular serta banyaknya komorbid pada penderita usia lanjut sering menyulitkan dokter untuk melakukan diagnosa dan memberikan penanganan pada penyakit kardiovaskular ini. Hal yang sangat disayangkan, komorbiditas yang terjadi pada kasus gagal jantung seringkali diabaikan oleh para praktisi klinis sehingga berakibat fatal bagi pasien (Gani, 2006). Menurut penelitian Dewi (2007), jumlah penderita gagal jantung yang dirawat di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang pada tahun 2006 yang disertai komorbid sebanyak 64 orang dari 72 penderita (88,9%). Komorbid yang banyak terjadi di kelompok usia lanjut adalah hipertensi, diabetes mellitus, pneumonia, dan insufisiensi renal. Komorbid yang banyak terjadi di kelompok usia dewasa adalah hipertensi, diabetes mellitus, atrial fibrilasi, dan hiperuricemia. 2.8 Rawat Inap Ulang Pasien-pasien gagal jantung tidak jarang harus dirawat inap ulang (rehospitalisasi). Rawat inap ulang ini biasanya diakibatkan oleh eksaserbasi dari gejala klinis gagal jantung sehingga rawat inap menjadi salah satu pilihan terapi bagi pasien mengalami rawat inap ulang adalah nyeri dada (angina), sesak napas, dan edema. Gejala yang menyebabkan pasien mengRawat inap ulang juga menjadi salah satu faktor yang menentukan prognosis gagal jantung. Pasien yang mengalami rawat inap ulang, 50% meninggal pada 6 bulan setelah dirawat inap dan 25-35% meninggal pada 12 bulan setelah dirawat inap (AHA, 2009). Menurut studi yang dilakukan Zaya, Phan, dan Schwarz (2012), setelah menjalani rawat
34
inap yang ke dua atau ketiga resiko kematian bagi pasien gagal jantung, khususnya gagal jantung kongestif sebesar 30%. 2.9 Pencegahan Beberapa hal berikut dapat dilakukan untuk mencegah, menurunkan risiko gagal jantung maupun memperlambat perkembangan gagal jantung. 2.9.1 Pencegahan Primer Pencegahan primer ditujukan bagi masyarakat sudah menunjukkan risiko gagal jantung. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengatur diet, mengecek tekanan darah secara teratur sehingga dapat hmemperole informasi dini terhadap peningkatan tekanan darah yang dapat menjadi penanda gejala awal gagal jantung. Menghindari konsumsi alkohol dan mengurangi konsumsi kafein, juga dapat menurunkan risiko menderita gagal jantung (AHA, 2014). 2.9.2 Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder ditujukan pada orang yang sudah terkena gagal jantung agar gagal jantung tidak berlanjut ke stadium yang lebih berat, di antaranya: 2.9.2.1 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan keadaan umum pasien yang diduga gagal jantung dapat dilakukan melalui evaluasi apakah terdapat gejala-gejala seperti disebutkan di atas (dispnea, ortopnea, DNP, batuk, edema pulmonal). Pemeriksaan lainnya juga dapat dilakukan dengan palpasi untuk mengevaluasi denyut nadi yang menurun, auskultasi untuk mengetahui adanya bunyi jantung tambahan, serta perkusi untuk mengetahui batas jantung yang mengalami pergeseran yang menunjukkan adanya
35
hipertrofi jantung (kardiomegali). Kondisi fisik pasien juga dapat dilihat melalui kesadaran pasien, pada pasien dengan gagal jantung berat sering ditemukan sianosis perifer. Urine pasien juga dapat dievaluasi apakah terdapat oliguria yang merupakan tanda awal adanya syok kardiogenik pada gagal jantung. Pemeriksaan lainnya juga dapat dilakukan apakah terdapat edema yang umumnya dapat dilihat di bagian ekstremitas. Edema ekstremitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan pitting edema di mana edema akan tetap cekung setelah penekanan ringan dengan ujung jari. Selain pemeriksaan-pemeriksaan di atas, pemeriksaan yang paling penting dan paling menunjukkan keadaan pasien gagal jantung adalah tes latihan fisik. Tes ini dilakukan dengan menggunakan treadmill (Mutaqqin, 2009) 2.9.2.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan
penunjang
bertujuan
memastikan
diagnosis
klinis,
mengidentifikasi penyebab, faktor pencetus, mengkaji keparahan, mengarahkan terapi, dan menentukan prognosis. a. Ekokardiografi Ekokardiografi adalah pemeriksaan penunjang dengan teknik ultrasound sehingga dapat dikatakan sebagai ultrasonografi (USG) pada jantung. Metode ini digunakan dengan memanfaatkan gelombang bunyi untuk memberikan diagnosis disfungsi jantung dan informasi yang berkaitan dengan penyebab terjadinya disfungsi jantung dengan segera. Namun pemeriksaan ini sangat bergantung pada kualitas gambar yang dihasilkan dan interpretasinya. Jantung dan pembuluh darah merupakan organ tubuh yang dinamis dan sangat dipengaruhi
hemodinamik pasien (tekanan darah, frekuensi jantung, fase
36
inspirasi maupun ekspirasi pernapasan) pada saat pemeriksaan. Karena itu gambaran
yang diberikan bisa saja berubah-ubah. Keuntungan dari
ekokardiografi yaitu sifatnya non-invasif, karena mengevaluasi organ dalam hanya melalui gelombang suara sehingga tidak merusak anatomi dan fisiologi tubuh (Limantoro, 2012). Gambaran yang paling sering ditemukan pada gagal jantung yaitu penyakit jantung iskemik, kardiomiopati dilatasi, penyakit jantung iskemik, dilatasi ventrikel kiri, penebalan ventrikel, stenosis aorta, dan infark miokard (Mutaqqin, 2009 dan Handler & Coghlan, 2008). b. Rontgen Toraks Pemeriksaan rontgen toraks atau sering disebut chest X-ray bertujuan untuk menggambarkan secara radiografi organ yang terdapat pada rongga dada. Teknik rontgen toraks terdiri dari bermacam-macam posisi yang harus dipilih sesuai dengan indikasi pemeriksaan. Foto rontgen toraks posterior-anterior dapat menunjukkan adanya hipertensi vena, edema paru, kardiomegali, penebalan hilus, gambaran bats wing, gambaran Kerley B, dan efusi pleura (Corr, 2011). Bukti yang menunjukkan adanya peningkatan tekanan vena paru adalah adanya diversi aliran darah ke daerah atas dan adanya peningkatan ukuran pembuluh darah (Mutaqqin, 2009). c. Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) sudah luas digunakan untuk memeriksa kondisi jantung. Pemeriksaan ini merekam aktivitas elektrik jantung dan menginterpretasikannya dalam bentuk gelombang pada monitor EKG. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) meskipun memberikan informasi yang
37
berkaitan dengan penyebab, tetapi tidak dapat memberikan gambaran yang spesifik. Pada pemeriksaan EKG yang normal, perlu dicurigai bahwa hasil diagnosis salah. Untuk klien gagal jantung, melalui EKG dapat dilihat kelainan sebagai disfungsi ventrikel kiri, penyakit jantung iskemik, stenosis aorta, penyakit jantung hipertensi, aritmia, dan disfungsi ventrikel kanan (Handler & Coghlan, 2008). 2.9.2.3 Penegakan Diagnosis Gagal jantung merupakan kumpulan proses patologis yang kompleks. Meskipun penyebab umum yang paling sering ditemukan adalah penyakit jantung iskemik dan hipertensi, komorbiditasnya, baik organik seperti disfungsi renal dan dispnea maupun psikologis seperti depresi sering menyertai gagal jantung sehingga mempersulit pengkajian dan penatalaksanaannya. Adapun kriteria Framingham dibuat untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. Diagnosis dibuat berdasarkan adanya dua atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor (gejala yang terjadi tidak disebabkan oleh kondisi lain) (Chang, 2006).
38
Tabel 2.1 Kriteria Framingham untuk Penegakan Diagnosis Gagal Jantung Kriteria Mayor
Kriteria Minor
Dispnea nokturnal paroksimal
Edema pergelangan kaki
Peningkatan vena jugularis
Batuk di malam hari
Ronkhi
Hepatomegali
Kardiomegali
Efusi pleura
Edema pulmonal akut
Takikardia ≥120 kali permenit
Bunyi jantung ketiga (S3)
Penurunan berat badan >4,5 kg
Peningkatan tekanan vena (>16 cmH2O)
dalam
Waktu sirkulasi ≥25 detik
penanganan
waktu
5
hari
setelah
Refleks hepatojugularis Sumber: McKee, et,al. “The Natural History of Congestive Heart Failure: The Framingham Study dalam Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan (2006)
2.9.2.4 Terapi Farmakologis Beberapa terapi farmakologis yang dapat dilakukan untuk pasien dengan gagal jantung adalah sebagai berikut. a. Diuretik Diuretik meningkatkan pengeluaran cairan melalui ginjal dengan mengurangi reabsorpsi air (Davidson, Macdonald, Paull, et.al., 2003). Terapi ini menyebabkan tubuh membersihkan diri dari cairan dan natrium melalui urin yang juga membantu kerja jantung. Selain itu juga mengurangi penumpukan cairan di paru dan di bagian tubuh lainnya, seperti kaki dan pergelangan kaki. Setiap diuretik memiliki cara kerja yang berbeda dalam mengeliminasi cairan. Terapi ini juga berguna untuk membantu menurunkan tekanan darah (Tierney, McPhee, dan Papadakis, 2002).
39
b. Penghambat Angiotensin-converting Enzyme (ACE) Penghambat
Angiotensin-converting
Enzyme
(ACE)
bekerja
dengan
menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron yang pada awalnya berperan penting dalam mekanisme neurohormonal perkembangan gagal jantung. Terapi ini menurunkan jumlah angiotensin II sehingga darah dapat mengalir lebih mudah dan kerja jantung menjadi lebih ringan dan efisien dengan cara mengurangi resistensi pembuluh darah perifer. Hal ini mengurangi konsumsi oksigen miokardium sehingga memperbaiki curah jantung yang selanjutnya meminimalkan pembuluh darah dan hipertrofi vaskular (Davidson, Leung, dan Daly, 2008) c. Beta Blocker Beta blocker bekerja dengan memblok kerja kompensasi sistem saraf simpatis sehingga menurunkan ukuran dan massa ventrikel kiri. Perubahan ini menurunkan denyut jantung dan curah jantung. Terapi ini digunakan untuk menurunkan tekanan darah dan digunakan juga untuk terapi aritmia dan angina serta dapat mencegah serangan jantung di kemudian hari pada pasien penyakit jantung. Sejumlah uji klinis menunjukkan jika beta blocker diresepkan dan dimulai dengan tepat, penanganan jangka panjang dengan beta blocker dapat mengurangi gagal jantung kronis, meningkatkan status klinis pasien, meningkatkan perasaan sehat, mengurangi angka masuk rumah sakit, dan menurunkan mortalitas (Gibbs, Davies, dan Lip, 2000)
40
d. Glikosida Digitalis Terapi ini dikenal pula sebagai digoksin yang bekerja dengan menghambat pompa natrium sehingga meningkatkan kadar natrium intraseluler yang memfasilitasi pertukaran natrium. Kondisi ini akan meningkatkan kalsium sitosolik yang pada akhirnya meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga denyut jantung dapat berfungsi teratur. Terapi ini biasanya digunakan pada pasien yang tidak menunjukkan kemajuan meskipun telah diberi diuretik dan penghambat ACE. e. Vasodilator Prinsip kerja obat vasodilator merupakan antagonis neurohormonal, terutama ACE. Obat ini bekerja dengan mendilatasi otot arteri sehingga dapat mengurangi afterload ventrikel kiri. Vasodilator dapat berupa pil yang ditelan, tablet kunyah, maupun krim. f. Penghambat Kanal Kalsium Penghambat kanal kalsium bekerja dengan cara menghambat kalsium menuju sel jantung dan pembuluh darah sehingga dapat menurunkan kekuatan memompa jantung dan meregangkan pembuluh darah. g. Antikoagulan Antikoagulan digunakan untuk mengurangi koagulasi darah, terutama pada pasien dengan emboli arterial sistemik sehingga peredahan darah menjadi lebih lancar (Tierney, McPhee, dan Papadakis, 2002)
41
2.9.2.5 Terapi Non-Farmakologis Terapi non-farmakologis diberikan pada pasien dengan pemberian terapi oksigen dan perubahan gaya hidup. Terapi oksigen terutama diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai dengan edema pulmonal. Pemenuhan oksigen akan akan mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh. Perubahan gaya hidup dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi fisik dan sebagai penatalaksanaan mandiri terhadap faktor risiko yang meliputi aktivitas fisik, asupan garam dari makanan, penatalaksanaan berat badan, dan menghentikan kebiasaan merokok (Handler dan Coghlan, 2008). 2.9.2.6 Mencegah Influenza dan Pneumonia Influenza dan pneumonia lebih berbahaya bagi penderita gagal jantung daripada orang sehat. Pneumonia mengganggu penggunaan oksigen dalam tubuh secara efisien. Jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sementara orang dengan gagal jantung harus menghindari stress berat bagi jantungnya. Karena itu, pada klinisi merekomendasikan vaksin influenza dan pneumokokus bagi penderita gagal jantung (AHA, 2014). 2.9.3 Pencegahan Tersier Pencegahan tersier dilakukan bagi penderita gagal jantung untuk mencegah komplikasi yang lebih berat atau kematian, di antaranya tetap mengontrol faktor risiko, terapi rutin, dukungan kepada penderita, serta transplantasi jantung. Jika pasien tidak lagi berespon terhadap semua tindakan terapi dan diperkirakan tidak akan bertahan hidup selama 1 tahun lagi, maka
42
pasien ini akan dipertimbangkan tranplantasi jantung. Sejak adanya skrining donor jantung yang lebih cermat, maka harapan hidup pasien yang menjalani transplantasi jantung sangat meningkat. Pada beberapa pusat kesehatan harapan hidup 1 tahun telah mencapai lebih 80-90% dan harapan hidup 5 tahun sekitar 70% (Tierney, dkk., 2002). Namun transplantasi jantung hanya digunakan bagi pasien dengan gagal jantung yang berat (Davey, 2006). 2.10 Kerangka Konsep Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang Karakteristik Penderita Gagal Jantung di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan Tahun 2014 adalah sebagai berikut. KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL JANTUNG 1. Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Tempat Tinggal 2. Keluhan Utama 3. Klasifikasi Gagal Jantung 4. Jenis Penyakit Penyerta 5. Terapi yang Diberikan 6. Frekuensi Rawat Inap 7. Sumber Pembiayaan 8. Lama Rawatan 9. Keadaaan Sewaktu Pulang 10. Case Fatality Rate