BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemerolehan Bahasa Pemerolehan bahasa yang sering juga disebut perkembangan bahasa kanak-kanak atau pertumbuhan bahasa kanak-kanak telah menjadi satu disiplin yang berdiri sendiri di dalam kajian Psikolinguistik. Cabang Psikolinguistik yang mengkaji perolehan bahasa ini telah mendapat nama baru sebagai Psikolinguistik Perkembangan (Simanjuntak 1987). Pemerolehan bahasa sebagai proses pemahaman dan penghasilan bahasa pada manusia melalui beberapa tahap mulai dari meraban sampai kefasihan penuh (Kridalaksana, 1982: 123). Disamping itu, Kirsparsky (dalam Tarigan, 1985: 234), menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa atau “language acquisition” adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian tatabahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut. Pemerolehan bahasa atau language acquisation adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak (bayi) sewaktu memperoleh bahasa ibu. Dengan demikian kita harus membedakan pemerolehan bahasa ini dari pada pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa menyangkut proses-proses yang berlaku pada waktu seseorang sedang mempelajari bahasa
Universitas Sumatera Utara
baru setelah memperoleh bahasa ibunya. Dengan kata lain pemerolehan bahasa melibatkan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa melibatkan bahasa kedua atau bahasa asing (Simanjuntak, 1987: 157). Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat bahasa target dengan sifat alami dan informal serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schultz, 2006: 12), dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pada satu sisi, pemerolehan ini terjadi pemeralihan satu bahasa atau monolingual FLA (First Language Acquisition), dapat juga pemerolehan dua bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA), bahkan dapat lebih dari dua bahasa (multilingual FLA). Pada sisi lain pemerolehan bahasa kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahsa pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing. Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performasi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara alamiah. Kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anakanak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri atas dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses
Universitas Sumatera Utara
pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimatkalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Simanjuntak, 1986). Chomsky (1999 : 340) mengajukan konstruk mekanisme abstrak yang dinamakan Language Acquisition Device (LAD); yang diterjemahkan di sini menjadi Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB). PPB ini menerima korpus dari lingkungan dalam bentuk kalimat-kalimat. Meskipun kalimat merupakan manifestasi dari kompetensi seseorang, tetapi seringkali berbentuk kalimatkalimat yang rancu. PPB yang dimiliki anak dapat menyerap esensi yang benar yang kemudian dikembangkan menjadi wujud bahasa yang baik. Caranya proses itu terjadi, waktu dan rincian-rincian lainnya memang sebahagian dipengaruhi oleh: lingkungan, tetapi proses pemerolehan itu sendiri pada esensinyaa inner directed
“bawaan
langsung
dari
lahir”
(Dardjowidjojo,2000:19,
Gustianingsih, 2002 : 10). Chomsky melihat adanya dua aliran pendekatan terhadap masalah pemerolehan empiris sebagai suatu kasus pemerolehan pengetahuan. Pendekatan empiris atau environment mempunyai asumsi bahwa struktur LAD atau PPB terbatas hanya pada mekanisme-mekanisme prosesan yang dangkal (perihal proscessing mechanism). Mekanisme proses data didasarkan kepada prinsipprinsip induktif sederhana – misalnya prinsip asosiasi dan prinsip generalisasi yang terbatas. Diasumsikan bahwa pengalaman-pengalaman mula-mula dianalisis sepenuhnya oleh mekanisme-mekanisme prosesan yang dangkal itu, dan kemudian dengan menerapkan prinsip-prinsip induktif sederhana terhadap hasil
Universitas Sumatera Utara
analisis pengalaman itu seseorang memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep (Chomsky, 1999 : 34) Jadi, pemerolehan bahasa anak terjadi secara bertahap mulai dari yang mudah sampai pada yang sulit dengan melihat konstruksi tuturan lisan anak disesuaikan dengan tuturan orang dewasa.
2.1.2
Keuniversalan Bahasa Anak dapat memperoleh bahasa apapun, pastilah ada sesuatu yang
mengikat bahasa-bahasa ini secara bersama, ada sesuatu yang sifatnya universal. Tanpa sifat ini mustahillah manusia dari pelbagai latar belakang yang berbedabeda dapat memperoleh bahasa yang disajikan kepadanya, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh keuniversalan ini ada pada bahasa. Berdasarkan gradasi seperti ini Comrie (1989/81 : 15-23) membagi keuniversalan absolut dan keuniversalan tendensius. Dengan memperhatikan gejala implikasional maka menurut Comrie ada tiga kelompok. Kelompok pertama adalah tidak ada perkecualian. Contoh: Semua bahasa memiliki bunyi vokal bahasa mana pun di dunia ini menggabungkan bunyi untuk sukukata atau kata. Kelompok kedua adalah keuniversalan absolut implikasional Contoh: Bila suatu bahasa mempunyai refleks persona pertama/kedua, maka bahasa itu mempunyai pula refleks persona ketiga, bila suatu bahasa mempunyai bunyi hambat velar, bahasa tersebut pasti mempunyai bunyi hambat bilabial. Kelompok ketiga adalah keuniversalan tendensi non implikasional
Universitas Sumatera Utara
Contoh: Hampir semua bahasa memiliki konsonan nasal Bertitik tolak dari landasan yang sama sekali berlainan, Chomsky memberi pengertian yang berbeda mengenai keuniversalan bahasa. Chomsky (1965: 28) hanya memakai satu bahasa yang dikajinya secara mendalam dan dari sistem aturan bahasa tersebut dia memunculkan fitur-fitur yang universal. Tentu saja fitur-fitur itu harus diuji-coba dan diadu-coba dengan bahasa-bahasa yang lain untuk ditentukan kebenarannya. Pandangan Chomsky dapat diumpamakan sebagai suatu pengkajian terhadap suatu entitas, bila entitas itu mengandung unsur-unsur hakiki tertentu maka unsur-unsur itu pasti ada pada sampel lain dari entitas yang sama. Oleh karena itu, Chomsky hanya membedakan dua macam keuniversalan: (1) keuniversalan subtantif yang berupa elemen pembentukan bahasa, dan (2) keuniversalan formal, yang meramu elemen bahasa. Bahwa bahasa mempunyai nomina dan verba merupakan contoh dari keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini diatur dalam bahasa merupakan keuniversalan formal. Pengaturan elemen umumnya berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain, karena itu pada dasarnya bahasa itu sama, wujud lahiriahnya berbedabeda. Ada pula ciri universal dalam tutur anak-anak ditinjau dari segi fonologi. Misalnya, bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutup bibir yang bisa disebut bunyi bilabial, merupakan bunyi-bunyi yang sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujarannya. Orang pertama dan yang terutama paling dekat dengan anak pada masa awal perkembangan bahasanya adalah ibunya. Selanjutnya, jika diperhatikan kata panggilan untuk ibu dalam pelbagai bahasa, akan membenarkan pandangan bahwa bunyi bilabial itu dominan pada
Universitas Sumatera Utara
perkembangan bahasa anak. Contohnya: mama, bu. Produksi awal bunyi-bunyi bilabial ini bisa dimengerti, karena bunyi-bunyi ini yang dianggap paling mudah dihasilkan, yaitu dengan hanya menggerakkan kedua bibir. Bunyi-bunyi juga dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap seorang anak. Dalam pelbagai masyarakat bahasa Indonesia bunyi /r/ adalah bunyi yang paling sulit diproduksi, sehingga bunyi itu baru dikuasai anak setelah mereka berusia beberapa tahun. Banyak anak berusia dua tahun yang masih mengucapkan /lambut/ untuk /rambut/. Agak kurang sulit dari bunyi /r/ adalah bunyi /s/ yang untuk beberapa waktu diucapkan /č/, sehingga /susu/ /sapi/ diucapkan / čuču/, /čapi/.
2.1.3
Universal pada Komponen Fonologi Konsep universal dengan pemerolehan fonologi, ahli yang pandangannya
sampai kini belum disanggah orang adalah Roman Jakobson. Beliau mengemukakan adanya universal pada bunyi bahasa manusia dan urutan pemerolehan bunyi-bunyi tersebut. Menurut beliau, pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri. Bunyi pertama yang keluar waktu anak mulai berbicara adalah kontras antara konsonan dan vokal. Dalam hal vokal, hanya bunyi /a/, /i/, dan /u/ yang akan keluar duluan. Dari tiga bunyi ini, /a/ akan keluar lebih dahulu daripada /i/ atau /u/. Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa ketiga bunyi ini membentuk apa yang dia namakan Sistem Vokal Minimal (Minimal Vocalic System): bahasa mana pun di dunia ini pasti memiliki tiga vokal ini (Jakobson, 1971: 8-20). Dari tiga bunyi ini bunyi /a/ lah yang paling mudah diucapkan.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai konsonan Jakobson mengatakan bahwa kontras pertama yang muncul adalah oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal (/p-b/ dan /m-n/) dan kemudian disusul oleh kontras antara bilabial dengan dental (/p/-/t/). Sistem kontras ini dinamakan Sistem Konsonantal Minimal (Minimal Consonantal System). Macam dan jumlah bunyi pada bahasa bisa saja berbeda-beda dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Akan tetapi, hubungan antara satu bunyi dengan bunyi lain bersifat universal. Jakobson mengajukan hukum yang dinamakan Laws of Irreversible Solidarity yang esensinya dirumuskan sebagai berikut: 1. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan dental dan bilabial. Contoh: Bila bahasa X memiliki bunyi /k/ dan /g/, bahasa ini pasti memiliki /t/-/d/ dan /p/-/b/. 2. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tadi pasti memiliki konsonan hambat. Contoh: Bila bahasa X memiliki /f/ dan /v/, bahasa ini pasti memiliki /p/-/b/, /t/-/d/, dan /k/-/g/. 3. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan afrikat, bahasa tadi memiliki konsonan frikatif dan konsonan hambat. Contoh: bila bahasa X memiliki /c/-/j/, bahasa ini pasti memiliki /s/, /t/, dan /d/. Hukum ini juga meramalkan urutan kesukaran masing-masing bunyi. Pada umumnya bunyi yang letaknya di bagian depan mulut lebih mudah daripada yang dibelakang mulut. Dengan demikian /p/ dan /b/ adalah lebih mudah daripada /k/ dan /g/.
Universitas Sumatera Utara
Apa kaitan semua ini dengan pemerolehan bahasa? Kaitannya adalah bahwa bunyi yang dikuasai anak mengikuti urutan universal. Karena /m/ adalah bilabial dan karenanya mudah, dan karena /a/ adalah juga mudah /m/ dan /a/ akan keluar awal pada anak. Begitu juga /p/. Itulah sebabnya mengapa kata awal yang keluar pada anak adalah /papa/ atau /mama/ yang oleh orang tua diartikan sebagai ayah dan ibu (Gass dan Salinker 2001: 93). Urutan pemunculan bunyi ini bersifat genetik dan karena perkembangan biologi manusia itu tidak sama maka kapan munculnya suatu bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau bulan kalender. Echa, misalnya, baru dapat mengucapkan /r/ pada umur 4;6 (Dardjowidjojo 2000: 113), tetapi adiknya Dhira, sudah dapat mengucapkan bunyi ini pada umur 3;0. Yang harus dipegang pada patokan adalah bahwa suatu bunyi tidak akan melangkahi bunyi yang lain. Tidak akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan /r/ tetapi belum dapat mengucapkan /p/, /g/, dan /j/. Kapan bunyi-bunyi ini akan muncul berbeda dari satu anak ke anak yang lain. Inventori fonemik untuk vokal dan konsonan pada umur 2;0 (Darjowidjojo 2000: 115) dapat dilihat pada table 1 dan table 2 berikut:
Tabel 1 Fonem Vokal
Posisi Lidah
Depan
Tinggi
i [i]
Tengah
e [e, ɛ]
Rendah
Tengah
Belakang u [u]
e [ə]
o [o, ɔ]
a [a]
a [ɑ]
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Fonem Konsonan
Titik/ Cara
Bilabial
Labio-
Artikulasi Hambat
Alveolar
Alveo-
dental
Velar
palatal
p
t
k
b
d
g
Frikatif
f
Glotal
s
š
x
Ɂ
h
z č
Afrikat Nasal
m
n
Lateral
l
Getar
r
Semivokal
w
n
ŋ
y (sumber: Darjowidjojo 2000: 155)
2.2 Landasan Teori Analisis data peneliti ini menggunakan teori fonologi generatif yang dikemukakan oleh Schane (1973: 49-61) yang membagi proses-proses fonologi menjadi asimilasi, struktur kata, pelemahan dan penguatan, serta netralisasi.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Proses-proses Fonologis Proses fonologis merupakan morfem-morfem yang bergabung untuk membentuk kata, segmen-segmen dari morfem yang berdekatan berjejeran dan kadang-kadang mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam lingkungan yang bukan berupa pertemuan dua morfem misalnya posisi awal kata dan akhir kata, atau hubungan antara segmen dengan vokal bertekanan. Schane (1973: 49-61) mengelompokkan proses-proses fonologi menjadi empat macam yakni: 1. Asimilasi, yaitu suatu peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi yang lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai ciri -ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya. 2. Struktur suku kata. Proses struktur kata mempengaruhi distribusi secara relasional konsonan dan vokal, yaitu dalam hubungan satu sama lain dalam kata. Proses ini terjadi karena perubahan distribusi ruas dalam sebuah morfem, baik vokal maupun konsonan. 3. Pelemahan dan penguatan. Perubahan struktur suku kata yang disebabkan oleh ruas-ruas yang lemah atau kuat dalam kata atau morfem dapat disebut sebagai proses pelemahan dan penguatan. 4. Netralisasi. Menurut Schane (1973), netralisasi merupakan suatu proses penghilangan perbedaan fonologis dalam lingkungan tertentu Dalam proses asimilasi, sebuah segmen mendapat ciri-ciri dari segmen berdekatan. Konsonan mungkin mengambil ciri-ciri konsonan dari vokal dan sebaliknya, konsonan yang satu bisa mempengaruhi yang lain, atau vokal dan
Universitas Sumatera Utara
sebaliknya, konsonan yang satu bisa mempengaruhi yang lain, atau vokal yang satu bisa mempengaruhi yang lain. Proses asimilasi terbagi empat (Schane, 1992: 51), yaitu: 1.1 Konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri vokal Ciri-ciri sebuah vokal dapat diberikan kepada konsonan sebagai modifikasi sekunder. Palatalisasi dan labialisasi merupakan proses demikian yang sudah lazim. Dalam palatalisasi, posisi lidah untuk vokal depan dilapiskan pada konsonan yang berdampingan; dalam labialisasi, posisi bibir untuk vokal bundar menyebabkan artikulasi sekunder pada konsonan. Dalam bahasa Rusia, konsonan tertentu dipalatalisasi apabila mendahului vokal depan. stól
meja (tunggal nominatif)
solylé
vkús
rasa (nomina)
vkúsyen enak
dàr
hadiah
daryìt
dóm
rumah
donyìsko rumah kecil
bómba bom
bombyìt
meja
(tunggal lokatif)
memberi
membom
Dalam bahasa Nupe, Afrika Barat, konsonan dipalatalisasi sebelum vokal depan dan dilabialisasikan sebelum vokal bundar. egYi
anak
egwu
lumpur
egYe
bir
egwo
rumput
Dalam bahasa Inggris, alternasi dalam contoh electric, electricity, dan analogous, analogy, mencerminkan palatalisasi historis yang diikiuti oleh perubahan daerah artikulasi.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Vokal berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan Ciri-ciri konsonan dapat dilapiskan pada vokal. Dalam asimilasi demikian, modifikasi vokal biasanya alofonis. Vokal cukup lazim dinasalisi secara fonetis apabila berdampingan dengan konsonan nasal. Proses ini terdapat dalam bahasa Inggris: see [sìy], seen [sìyn]; cat [kæt], can’t [kænt]. Dalam bahasa Chatino, Meksiko, vokal tak bertekanan diantara konsonankonsonan tak bersuara menjadi tak bersuara. tiyé?
limau
tihì
keras
kinó
sandal
kisú
avokad
suwì
bersih
suɁwà
kamu mengirim
laɁà
sisi
taɁà
pesta
ŋgutà
bibit
kutà
kamu akan memberi
kiɁ
api
kità
kamu akan menunggu
1.3 Konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan Salah satu gejala yang paling umum ialah bahwa gugus konsonan bersesuaian dalam penyearaan. Proses ini dapat dilihat dalam bahasa Inggris: akhiran untuk bentuk jamak, bentuk persona ketiga tunggal, dan kala lampau bersesuaian dalam penyuaraaan dengan konsonan sebelumnya. Jadi, orang mendapati s dan t sesudah konsonan tak bersuara, z dan d sesudah konsonan bersuara. kʌps
cups
(‘cangkir’)
kʌbz
cubs
pæts
pats
(‘menepuk’)
pædz padz
bækt
backet (‘mendukung’)
(‘anak beruang’) (‘bantalan’)
bægd bagged (‘menjerat)
Universitas Sumatera Utara
réyst
raced (‘berlomba’)
réyzd raised (‘menaikkan’)
Konsonan nasal biasanya menjadi homorgan dengan konsonan berikutnya artinya, konsonan nasal itu mengambil daerah artikulasi yang sama. Bahasa Yoruba, Afrika Barat, mempunyai prefiks nasal yang berasimilasi dengan cara lain. ba
bersembunyi
mba
sedang bersembunyi
fo
memecahkan
mfo
sedang memecahkan
te
menyebar
nte
sedang menyebarkan
sun
tidur
nsun
sedang tidur
lƆ
pergi
nlƆ
sedang pergi
kƆ
menulis
ŋkƆ
sedang menulis
gun
memanjat
ŋgun
sedang memanjat
wa
datang
ŋwa
sedang datang
Dalam bahasa Inggris, prefiks negatif in- menjadi homorgan dengan konsonan hambat berikutnya, misalnya inadvisiable, tetapi impossible, imbalance, intolerance, indecisive, incoherent, yang terakhir dengan ŋ untuk penutur tertentu.
1.4 Vokal berasimilasi dengan ciri-ciri vokal Vokal sebuak silabel bisa menjadi lebih serupa dengan vokal silabel lain. Di sini kita dapat membedakan antara harmoni vokal dan memberi pemberi umlaut. Harmoni vokal ialah keadaan vokal-vokal yang bersesuaian dalam ciri-ciri tertentu. Dalam bahasa Turki, vokal-vokal tinggi sebuah dan vokal pangkal kata bersesuaian dalam posisi belakang dan pembundaraan.
Universitas Sumatera Utara
diŠ
gigi
diŠim
gigiku
ev
rumah
evim
rumahku
gӧnül
hati
gӧnülüm
hatiku
gӧz
mata
gӧzüm
mataku
baŠ
kepala
baŠim
kepalaku
gul
mawar
gulum
mawarku
kol
lengan
kolum
lenganku
Dalam bahasa Jerman, vokal belakang didepankan sebelum sufiks tertentu yang berisi vokal tinggi depam; ini dikenal sebagai umlaut. yār
tahun
yǣrliç
tiap tahun
Šrundǝ
jam
Štündliç
tiap jam
gūt
bagus
gǖtiç
baik hati
nōt
keperluan
nȫtiç
perlu
got
dewa
gӧtin
dewi
hunt
anjing
hündin
anjing betina
Dalam bahasa Jerman modern, penggunaan umlaut tidak lagi terbatas pada vokal tinggi depan yang berikutnya, walaupun orang percaya bahwa semua lingkungan berumlaut timbul dengan cara demikian. Dalam bahasa Inggris, bentuk jamak tak beraturan seperti foot, feet dan mouse, mice
merupakan sisa dari proses penggunaan umlaut yang luas
jangkauannya dalam bahasa Inggris Kuno. Proses struktur suku kata mempengaruhi distribusi relatif antara konsonan dan vokal dalam kata. Proses ini ada sembilan (Schane, 1992: 54-62), yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Pelesapan konsonan 2. Pelesapan vokal 3. Penyisipan konsonan 4. Penyisipan vokal 5. Penggabungan vokal 6. Perpaduan konsonan 7. Penggabungan konsonan atau vokal 8. Perubahan kelas utama, dan 9. Metatesis Pelemahan dan penguatan akan mengakibatkan tidak semua perubahan dalam struktur silabel selalu berakibat menjadi lebih sederhana. Struktur silabel akan menjadi kompleks, misalnya, jika vokal berkonfigurasi KVKN yang asli dilesapkan, shingga dua konsonan itu berjejer. Pelesapan yang demikian sering disebabkan oleh segmen yang menduduki posisi lemah dalam silabel itu. Dalam proses pelemahan dan penguatan secara dapat dibedakan atas: (1) sikop dan apokop, (2) pengurangan vokal yang dialami oleh vokal-vokal lemah. Penguatan dapat dibedakan atas diftongisasi dan pergeseran vokal yang dialami oleh vokal-vokal kuat, yakni vokal-vokal tegang atau bertekanan. Netralisasi adalah proses yang membedakan fonologisnya dihilangkan dalam lingkungan tertentu. Proses netralisasi terbagi atas netralisasi konsonan dan netralisasi vokal.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Ciri-ciri Tempat Artikulasi Ciri-ciri tempat artikulasi ini digolongkan atas empat tempat yang
mendasar, yaitu labial, dental, palatoalveolar, dan velar. Namun, keempat tepat artikulasi ini tercakup ke dalam dua ciri pembeda yaitu, anterior dan koronal yang didasarkan apakah penyempitan dari alveolum ke depan (konsonan anterior) atau terletak di belakang alveolum (konsonan tidak anterior). Di samping itu, apakah artikulator
berupa
daun
lidah
(koronal)
atau
tidak
(tidak
koronal)
(Schane 1973:29; hyman, 1975: 47-48).
2.2.3
Ciri-ciri Cara Artikulasi Ciri-ciri cara artikulasi meliputi malar (continuant), pengelesapan tertunda
(delayed realease), kasar, nasal, dan lateral. Bunyi [+malar] merupakan bunyi yang udaranya ke luar terus-menerus. Obstruen yang bersifat [+malar] adalah frikatif, sedangkan, hentian, dan afrikat bersifat [-malar]. Afrikat bersifat pelesapan tertunda [+pelesapan tertunda], sedangkan hentian bersifat [-pelesapan tertunda]. Bunyi afrikat yang bergeser dan beberapa frikatif dapat digolongkan bersifat [+kasar] karena udara yang keluar menyetuh gigi atau uvala sehingga bunyinya lebih kasar. Jadi, f,v,s,z bersifat [+kasar], sedangkan Ɵ dan ð bersifat [-kasar]. Bunyi nasal bertentangan dengan bunyi alir, yaitu sebagai [+nasal] bertentangan dengan [-nasal]. Bunyi alir dan lateral saling bertentangan sebagai [+lateral] dan [-lateral].
Universitas Sumatera Utara
2.2.4
Ciri-ciri Batang Lidah Dalam penggolongan vokal digunakan sifat depan-belakang dan sifat
bulat-hampar (Schane, 1973 : 30) sehingga vokal mempunyai ciri pembeda [tinggi], [belakang], dan [bulat] (Lass, 1984 : 80). Semivokal mirip dengan vokal tinggi, kecuali pada nilai ciri silabis. Oleh karena itu, ciri tinggi, belakang, dan bulat dapat membedakan berbagai semivokal. Disamping itu, ciri-ciri pembeda tinggi belakang dapat dipakai untuk membedakan konsonan, misalnya konsonankonsonan yang [-anterior] dan [-koronal].
2.2.5 Ciri-ciri Tambahan Ciri-ciri terdiri atas [tegang], [bersuara], dan [hambat]. Ciri-ciri tegang terjadi, baik pada vokal maupun pada konsonan. Bunyi tegang ditandai oleh ketegangan otot secara relatif terdengar lebih panjang dan alat-alat pembentuk suara digerakkan lebih jauh dari posisi letaknya (Schane, 1973 : 13).
2.2.6 Kaidah-Kaidah Fonologis Kaidah sebenarnya adalah penetapan secara tepat persyaratan terjadinya proses fonologis (Schane, 1992 : 62). Kaidah tersebut dapat dinyatakan dengan bahasa sehari-hari atau dapat pula dinyatakan dengan suatu notasi formal. Hal ini penting karena notasi harus cocok untuk mengungkapkan jenis-jenis proses yang terjadi dalam fonologi dan untuk mencakup generalisasi yang ditemukan di situ. Dalam Fonolgi Generatif dikenal empat macam kaidah fonologis (Schane, 1992 : 65). Keempat macam kaidah itu adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Kaidah perubahan ciri 2. Kaidah pelesapan dan penyisipan 3. Kaidah permutasi dan perpaduan, dan 4. Kaidah variabel Dalam penulisan kaidah fonologis dikembangkan berbagai konvensi yang merujuk ke segmen dan kelas segmen. Segmen biasanya ditulis dengan notasi fonemis (misalnya /p/), sedangkan kelas segmen digambarkan dengan spesipikasi ciri minimum yang diperlukan untuk identifikasinya (misalnya [-malar, +pelesapan tidak segera] merujuk ke konsonan afrikat). Kelas konsonan dan kelas vokal dilambangkan dengan K dan V. Penanda lain + dipakai untuk menyatakan batas morfem, # dipakai untuk menyatakan batas kata, dan // dipakai untuk batas frasa. Sementara simbol 0 (nol) sebagai kaidah penyisipan jika simbol itu muncul di sebelah kiri tanda panah atau untuk pelesapan jika simbol itu muncul di sebelah kanan tanda panah (Schane, 1992; Hyman, 1975; Kenstowicz, 1994).
Untuk menyatakan jumlah minimum dan maksimum gugus segmen silabel digunakan angka subskrip dan superskrip. Misalnya K2 0 berarti nol, satu, dan maksimum dua konsonan. Pembatasan mengenai batas atas dapat juga diungkapkan melalui notasi tanda kurung, seperti K1 0 = (K), K2 0 = (K)(K), dan K2 1 =K (K). Untuk menggambarkan perubahan-perubahan segmen dalam suatu bahasa juga bisa digunakan notasi formal, fitur pohon, matriks dan lain-lain (Schane, 1992; dan Kenstowicz, 1994). Dalam penetapan sebuah kaidah, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Ketiga hal tersebut adalah (1) segmen mana yang berubah, (2) bagaimana segmen
Universitas Sumatera Utara
itu berubah, dan (3) dalam kondisi apa segmen itu berubah (Schane. 1992 : 65). Segmen atau kelas segmen yang mengalami perubahan digambarkan dengan perangkat ciri yang minimal untuk identifikasi yang unik. Perubahan itu juga diungkapkan dalam notasi ciri. Selanjutnya, segmen yang berubah dan cara perubahannya dihubungkan dengan tanda panah yang menunjuk kearah perubahan itu. Dalam penggambarannya, segmen yang berubah di sebelah kiri tanda panah, perubahan segmen tersebut muncul di sebelah kanan tanda panah, dan lingkungan perubahan ditulis sesudah garis miring. Berikut ini adalah sebuah contoh kaidah fonologis yang berlaku dalam bahasa Hanunoo di Filipina (data Schane, 1992 : 47). K ø
- konsonan
/V
+V
+ malar Kaidah tersebut mengatakan bahwa dalam bahasa Hanunoo (Filipina), sebuah konsonan /h/ disispkan untuk memisahkan gugus vokal. Contoh itu terlihat pada data jika sufikes –i ditambahkan pada kata dasar. Ɂupat ‘empat’
Ɂupati ‘jadikan empat’
Ɂunum ‘enam’
Ɂunumi ‘jadikan enam’
Ɂpusa ‘satu’
Ɂusahi ‘jadikan satu’
Tulu ‘tiga’
tuluhi ‘jadikan tiga’
Data bahasa Hanunoo di atas memperlihatkan bahwa penambahan bunyi /h/ terjadi pada kata dasar yang berakhir dengan vokal. Ketika kata dasar yang berakhir dengan vokal tersebut ditambah sufiks –i, terjadilah gugus vokal
Universitas Sumatera Utara
antarmorfem yang tidak diizinkan dalam bahasa tersebut sehingga muncul epentesis /h/. Kaidah fonologis merupakan representasi dari adanya proses-proses fonologis yang terjadi dalam sebuah bahasa. Kaidah-kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan adanya proses fonologis, baik sebagai pertemuan dua atau lebih morfem maupun pengaruh dari segmen yang berdekatan.
2.3 Kajian yang Relevan Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam bidang kajian Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul Fonologi Bahasa Indonesia: Suatu Pendekatan Generatif. Lapoliwa (1981) menemukan dalam bahasa Indonesia mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal. Ada 11 ciri pembeda untuk membedakan 29 segmen itu, yaitu [konsonantal], [silabis], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [kontinuan], dan [tekanan]. Ada 27 kaidah fonologi, yaitu kaidah degiminasi, pelesapan trill, penyisipan glottal stop, realisasi glottal stop dari /k/, pelesapan /h/, despirantisasi (naturalisasi) /f/, naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/, naturalisasi /x/, penyisipan schwa, pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari /mǝn/, pelemahan vokal, penarikan kembali vokal, pelesapan schwa, nasalisasi vokal, perendahan vokal, penyatuan vokal, penyisipan luncuran, desilabitasi, desilabitasi, desimilasi vokal, akhir kata pinjaman, dan penempatan tekanan. Dalam penelitian itu ditemukan adanya rangkaian konsonan s-t, s-l, k-t, k-s, k-d, k-n, k-l, k-r, k-z, p-t, h-t, h-k, h-s, h-b, h-
Universitas Sumatera Utara
l, h-y, h-w, s-h, m-r, m-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, u-a, u-e, uu, a-i, a-u, a-e, a-a, o-a. Wayan (1993) melakukan penelitian yang berjudul Teori Transformasi Generatif Dalam Penelitian Fonologi Dan Sintaksis; Suatu Tinjauan Teoretis: Laporan Penelitian. Dalam penelitian sintaksis, dicoba menemukan komponenkomponen sintaksis yang meliputi kaidah struktur frase (KSF), leksikon, struktur batin, kaidah transformasi, dan struktur lahir. Sebaliknya, dalam penelitian fonologi, ingin diketahui konsep-konsep tentang fonem, fonetik, ciri-ciri pembeda,
proses-proses
fonologis,
dan
kaidah-kaidah
fonologis.
Data
dikumpulkan melalui metode intuitif, yakni peneliti menjadikan dirinya sebagai informan bahasa yang memberikan data kebahasaan sesuai dengan kebutuhan teori. Ditemukan bahwa KSF dan leksikon bermanfaat untuk menciptakan kalimat pada tingkat mental; kalimat pada tingkat mental ini disebut dengan kalimat struktur batin. Namun demikian, kalimat yang kita ucapkan atau dengarkan bukanlah kalimat struktur batin melainkan kalimat struktur lahir. Penurunan kalimat struktur batin menjadi kalimat struktur lahir, terlebih dahulu mengalami beberapa proses, yaitu permutasi, pelesapan, penambahan, dan substitusi. Pada tingkat fonologis juga terjadi proses, yakni kalimat struktur lahir menjadi masukan dalam komponen fonologi. Rangkaian ruas bunyi bahasa yang membentuk morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat merupakan rangkaian ruas fonetik. Rangkaian ruas fonetik ini diturunkan dari rangkaian ruas fonemik. Penurunan ruas fonemik menjadi ruas fonetik dilakukan melalui proses-proses asimilasi, struktur suku kata, penguatan dan pelemahan, dan netralisasi.
Universitas Sumatera Utara
Adnyana (1995) meneliti Kaidah-Kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah Kajian Transformasi Generatif Di Lombok Timur. Dalam penelitian ini ditemukan secara fonemis ada 24 segmen (vokal dankonsonan) dan secara fonetis ada 27 segmen. Diperlukan 15 ciri pembeda dan 18 kaidah dalam pembentukan bentuk turunan. Diantara kaidah tersebut ditemukan pula 3 macam kaidah yang berurutan. Mulyani (1998) dalam penelitian yang berjudul Ayat Fasif Bahasa Melayu Dialek Deli Medan: Suatu Tinjauan Transformasi Generatif. Penelitian ini hanya mengkaji aspek sintaksis transformasi generatifnya. Penelitian ini menemukan ayat (kalimat) pasif, (1) yaitu ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif di-, (2) ayat pasif dengan kata kerja pasif ber-, ‘ber’, dan ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif ke-...-an. (3) ayat pasif dengan perkataan kene ‘kene’ (4) ayat pasif dengan kata ganti diri. Sedangkan frase ditemukan dua jenis, yaitu (1) Frase kerja (FK) transitif dan frase kerja (FK) inti. Hendrina (2001) melakukan penelitian terhadap bahasa Sumba dengan judul Representasi Fonologi dan Fonetis Bahasa Sumba: Sebuah Analisis Fungsional. Berdasarkan penelitiannya Hendrina menemukan 24 segmen asal (vokal dan konsonan) secara fonemis dan 29 segmen secara fonetis. Sebagai ciri pembeda ada 14, yaitu [consonantal], [silabis], [sonoran], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [malar], [pelesapan tek segera], [bersuara]. Dalam penelitian ini hanya ditemukan rangkaian segmen vokal saja, yaitu i-u, i-a, u-a, u-i, e-u, e-i, o-i, a-i, a-u. Selain itu ditemukan juga 5 kaidah fonologi, yaitu kaidah penyisipan semi vokal, pengulangan suku kata, pengenduran vokal, perubahan vokal, dan penempatan tekanan.
Universitas Sumatera Utara
Gustianingsih (2002) dalam tesis yang berjudul Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak Medan. Dalam penelitian ini mencakup tentang bagaimana kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia anak diperoleh serta pola struktur kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia. Jenis kalimat majemuk koordinatif apa yang sedang, akan dan telah di pahami anak TK, serta karakteristik kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia anak TK. Penelitian ini berusaha memperoleh pemerian yang shahih dan objektif berdasarkan data empiris yang diperoleh dari bahasa lisan anak, dan telah dipahami anak TK serta mendapatkan data tentang karakteristik kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia anak TK. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia benar-benar dikuasai anak, kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia sedang dalam proses belajar atau sedang dikuasai anak, serta kalimat majemuk koordinatif yang akan dikuasai anak. Sartini (2012) meneliti Bahasa Pergaulan Remaja: Analisis Fonologi Generatif. Dalam penelitian ini ditemukan analisis fonologi generatif, pada tipetipe kata yang terdapat dalam bahasa pergaulan remaja cenderung singkat atau pendek. Pemendekan ini terjadi dalam dua proses yaitu kontraksi dan akronim. Kecenderungan lain adalah modifikasi bentuk, menggunakan verba dengan akhiran –in. Sedangkan ciri-ciri fonologis yang terdapat dalam bahasa pergaulan remaja adalah cenderung menggunakan vokal /e, o dan ә /; melesapkan bunyi, pengenduran , penguatan, dan perpaduan vokal. Shaumiwaty (2012) dalam penelitian yang berjudul Fonologi Bahasa Gayo: Suatu Analisis Fonologi Generatif. Hasil penelitian ini menemukan 6
Universitas Sumatera Utara
segmen
vokal
fonemis ǝ,o,a/ /i,u,e, dan
memiliki
realisasi
fonetik
[i,u,e,ǝ,o,a,I,ʊ,Ԑ,Ɔ]. Konsonan Bahasa Gayo ditemukan sebanyak 18 buah, yaitu /p,b,t,d,c,j,k,g,s,h,m,n, ɲ,ŋ,l,r,y,w/. Memiliki distribusi yang lengkap, yaitu dapat mendeskripsikan awal, tengah dan akhir kata. Segmen konsonan /c,j,ɲ,y,w/ hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah kata. Diperlukan 15 ciri-ciri pembeda, segmen yang digambarkan sebanyak 24 buah, sehingga penggambaran keluruh segmen tersebut memakai 360 fitur. Ditemukan 136 kaidah redundansi yang bisa digabung-gabungkan, sehingga menjadi 38 kaidah. Analisis pola kanonik sukukata dan persyaratan struktur morfem Bahasa Gayo memiliki pola suku margin tunggal, yaitu V,KV,VK dan KVK. Pola morfem pangkal asal ditemukan dalam 24 macam, yaitu pola satu sukukata 6 macam, dan 4 macam, dua sukukata 3 macam. Ditemukan 11 kaidah fonologi yang berguna untuk menjelaskan proses fonologi yang terjadi. KF penambahan luncuran semivokal, KF penggantian konsonan [k], KF penggantian konsonan [b], KF pelesapan konsonan [h], KF pelesapan vokal [ǝ], KF penaksuaraan konsonan hambat, KF pengenduran vokal dan penempatan tekanan dalam Bahasa Gayo. Bahasa Gayo tidak mempunyai sistem tulisan tersendiri maka digunakan huruf Latin, yaitu ǝ,a/ /i,e,u,o, [i,e,u,o,ǝ,o] ditulis dengan i,e,u,o, ǝ,a. Untuk segmen vokal /ǝ, ԑ,I,ʊ,Ɔ/ ditulis dengan huruf e,i,u,o. Untuk segmen konsonan /p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n,ŋ, ɲ, l, r, y, w/ [p, b, t, d, c, J, k, g, s, h, m, n,ŋ, ɲ, l, r, y, w] ditulis dengan huruf / p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n, ng, ny, l, r, y,w/ [p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n, ng, ny, l, r, y,w]. Kato (2013) dalam jurnal yang berjudul Fonologi Generatif Bahasa Ende membahas struktur fonologis, fonetis, dan kaidah fonologis BE. Teori yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan adalah Fonologi Generatif. Hasilnya: (1) dari 29 fonem, yakni 6 fonem vokal dan 23 fonem konsonan. BE memiliki distribusi yang tidak lengkap, kecuali fonem vokal; (2) masing-masing fonem tersebut merupakan fonem asal yang dapat membentuk morfem pangkal secara fonetis; (3) memiliki 14 (empat belas) struktur silabel; dan (4) memiliki dua proses fonologis, yakni proses pelesapan/penghilangan bunyi, dan proses penambahan dengan glotal [?]. Ciri lain yang paling menonjol dalam BE adalah segmen bunyi: /mb, bh, nd, dh, gh, rh, dan approximant [ ?]. Kajian fonologi yang telah dilakukan itu dapat memperkaya khazanah penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian pada bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyi-bunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam realisasi bentuk asal dan turunannya. Demikian juga dengan kajian fonologi terhadap bahasa Indonesia anak usia dua tahun sangat penting dilakukan agar mengetahui pemerolehan bunyi ujaran, perubahan fonologi, dan kaidah fonologi generatif.
Universitas Sumatera Utara