BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori Gender Dalam Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah
suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex And Gender : An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for woman and men). Membahas permasalah gender berarti membahas permasalahan perempuan dan juga laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori yaitu teori nurture dan teori nature. Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua konsep tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium. 1. Teori Nurture Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan
8
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Lali-laki diidentifikasikan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. 2. Teori Nature Menurut teori nature adanya perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan
keharmonisan
dalam
kehidupan
berkeluarga
maupun
bermasyarakat, yaitu terjadinya ketidak-adilan gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender ini berdampak pula terhadap laki-laki. 3. Teori Equilibrium Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum
9
perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakikatnya adalah realita kehidupan manusia. Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak memiliki kelebihan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.
Gender sering diidentikan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Marzuki (n.d) menjelaskan bahwa secara umum jenis kelamin digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedangkan gender lebih mengarah kepada aspek sosial, budaya, dan aspek nonbiologis lainnya. Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran antara laki-laki dan wanita yang tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis atau seksualnya, tetapi juga mencakup nilai-
10
nilai sosial budaya (Berninghausen dan Kerstan dalam Anugrah Suci Praditaningrum, 2012). Perbedaan peran dan perilaku antara laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti sosialisasi, budaya yang berlaku, serta kebiasaan yang ada. Pandangan tentang gender dapat diklasifikasikan ke dalam dua stereotipe, yaitu Sex Role Stereotypes dan Managerial Stereotypes. Pengertian klasifikasi stereotypes merupakan proses pengelompokan individu kedalam suatu kelompok, dan pemberian atribut karateristik pada individu berdasarkan anggota kelompok (Ulfa, 2011). Berdasarkan Sex Role Stereotypes, laki-laki dipandang lebih berorientasi pada pekerjaan, mampu bersikap obyektif, independen, dan pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih dalam pertanggungjawaban manajerial jika dibandingkan dengan wanita. Sedangkan wanita dipandang lebih pasif, lemah lembut, memiliki orientasi pada pertimbangan dan posisinya pada pertanggungjawaban dalam organisasi lebih rendah dibandingkan laki-laki. Managerial Stereotypes memberikan pengertian manajer yang sukses adalah seseorang yang memiliki sikap, perilaku, dan temperamen, dimana sikap ini pada umumnya lebih dimiliki oleh laki-laki. Dalam literatur psikologi kognitif dan pemasaran dinyatakan bahwa wanita dikenal lebih efisien dan efektif dalam memproses informasi saat adanya kompleksitas tugas dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan pria. Selain itu, laki-laki relatif kurang mendalam dalam menganalisis inti dari suatu keputusan. Wanita pada umumnya memiliki tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi daripada laki-laki, sehingga membuat adanya perbedaan persepsi etika
11
pada saat proses pengambilan keputusan. Pada sebagian besar organisasi perbedaan gender masih mempengaruhi kesempatan (opportunity) dan kekuasaan (power). Perbedaan tersebut dapat menyebabkan diskriminasi gender dalam pekerjaan. Hal ini dapat menurunkan kinerja serta prospek karier seorang wanita karena adanya kesempatan yang terbatas dalam peningkatan kemampuan dan pengembangan hubungan kerja. Menurut penelitian Lehman (1992) dalam Sujatmoko (2011) mengatakan bahwa pada awal tahun 1970-an, banyak kantor akuntan yang berusaha menghindari menerima auditor wanita walaupun masih ada yang bersedia merekrut dengan alasan bahwa auditor wanita harus bekerja di lingkungan lakilaki. Dalam hal ini auditor wanita menghadapi berbagai kendala seperti adanya anggapan bahwa klien enggan dilayani oleh akuntan wanita, adanya pembatasan dari manajemen misalnya wanita tidak mungkin ditugasi. Sedangkan di Inggris sekitar tahun 1980-an akuntan wanita menempati angka diantara 35% sampai dengan 50% dari keseluruhan pegawai dalam kantor akuntan.
2.1.2
Efek Gender dalam Akuntan Publik Faktor gender dapat berpengaruh terhadap kinerja khususnya pada kantor
akuntan di Indonesia. Jika hasil penelitian menunjukan adanya diskriminasi gender, maka harus diwaspadai apakah disebabkan karena faktor internal atau eksternal dari individu yang bersangkutan. Jika faktornya dari dalam akuntan wanita (internal), maka diharapkan mereka dapat menunjukan kemampuan yang tidak berbeda dengan akuntan pria yang akan menghilangkan keraguan akuntan
12
dalam memberikan tanggung jawab yang lebih tinggi dalam pekerjaan. Akan tetapi, jika diskriminasi disebabkan karena faktor eksternal, seperti keraguan akan kemampuan auditor wanita hendaknya sikap seperti ini dihilangkan saja karena baik auditor pria dan wanita mempunyai kemampuan, hak, dan kewajiban yang sama. Akuntan memberikan informasi bagi pembuatan keputusan publik. Sebagai professional, akuntan dipercaya untuk menyajikan informasi keuangan, untuk melaksanakan kewajibannya tersebut secara professional, perilaku seorang akuntan harus konsisten dengan ide-ide dan etika yang tertinggi. Pemeriksaan akuntansi (auditing) adalah pemeriksaan obyektif atas laporan keuangan yang disimpan oleh suatu perseroan, persekutuan atau firma, perusahaan perorangan ataupun badan usaha lainnya. Dengan adanya laporan dari akuntan publik sebagai pihak yang independen, pihak luar (di luar perusahaan yang pertanggungjawabannya diperiksa akuntan publik) seperti pemberi kredit, pemegang saham dapat menilai pertanggungjawaban laporan keuangan untuk mengambil keputusan. Pendekatan structural menyatakan bahwa perbedaan antara pria dan wanita disebabkan oleh sosialisasi awal terhadap pekerjaan dan kebutuhan peran lainnya. Sosialisasi awal dipengaruhi oleh imbalan (rewards) dan biaya yang berhubungan dengan peran pekerjaan.
2.1.3
Kecerdasan Emosional Pengunaan istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada
tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer 13
dari University of New Hampshine untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan emosioanal meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang merupakan keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses dibidang akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak hanya ini saja. Pandangan baru yang berkembang mengatakan bahwa ada kecerdasan lain diluar kecerdasan intelektual (IQ), seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang harus juga dikembangkan. Definisi yang diberikan oleh Mayer dan Peter Salvoes tentang kecerdasan emosi adalah kemampuan menerima dan mengekspresikan emosi yang dirasakan, memahami emosi yang dirasakan, memahami emosi secara kognitif, mengerti dan mengetahui penyebab emosinya serta mampu mengatur atau mencocokkan emosinya dengan situasi yang tidak menyenangkan (Nindyati, dalam Arifin 2010). Menurut Goeman dalam Ronny (2012) menyatakan bahwa : “Kecerdasan emosional adalah kemampuan memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stress, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa”. Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mempunyai kesadaran diri untuk lebih mengenali emosi dan pikiran yang sedang terjadi pada dirinya,
14
tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan. Individu tersebut mempunyai kejernihan dalam berfikir, mampu lebih mengendalikan diri dan melindungi dirinya dari pengaruh stress yang datang, sehingga mengetahui tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi permasalahannya (Mayer dalam Goleman, 1999; Taylor, 2001; Salvoes dan Pizarro, 2003), dalam Arifin (2010). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan Auditor untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan keterampilan sosial. Berikut menurut Goeman dalam Ronny (2012) tentang kecerdasan emosional yang terbagi dalam lima dimensi, sebagai berikut : 1. Kesadaran Diri Kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional yaitu merupakan kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu. Selain itu kesadaran diri juga berarti menetapkan tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri merupakan keterampilan dasar yang vital untuk ketiga kecakapan emosi, yaitu : kesadaran emosi, penilaian diri secara akurat, dan percaya diri. Kesadaran emosi yaitu mengetahui pengaruh emosi terhadap kinerja dan mampu menggunakan nilai-nilai untuk memandu membuat keputusan. Penilaian diri secara akurat yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri. Percaya diri yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
15
2. Motivasi Motivasi berarti menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun seseorang menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Pencapaian keberhasilan menuntut
dorongan
untuk
berprestasi.
Studi-studi
membandingkan para bintang kinerja ditingkat eksekutif
yang dengan
rekan-rekannya yang berprestasi bisa menemukan bahwa bintang tersebut menunjukkan ciri-ciri kecakapan peraihan prestasi sebagai berikut : mereka berbicara mengenai resiko dan lebih berani menanggung resiko yang telah diperhitungkan. Mereka mendesakkan dan mendukung inovasi-inovasi baru dan menetapkan sasaran-sasaran yang menantang bagi para bawahan mereka. Kebutuhan berprestasi adalah kecakapan yang paling kuat satu-satunya yang membedakan eksekutif bintang dari para eksekutif biasa. Kecakapan emosi yang terdapat dalam motivasi adalah : dorongan prestasi yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar kebersihan, inisiatif yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, optimis yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan. 3. Empati Kemampuan berempati
adalah kemampuan
untuk
mengetahui
bagaimana perasaan orang lain, mampu memahami persepektif
16
mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Empati telah ada saat kita berusia tiga tahun, ini dapat dihubungkan dengan gerakan meniru yang dilakukan bayi pada usia dini. Empati adalah menghayati masalahmasalah atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat dibalik perasaan seseorang. Empati merupakan keterampilan dasar untuk semua kecakapan sosial yang penting untuk bekerja. Kecakapan-kecakapan ini meliputi : memahami orang lain yaitu mengindra perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka; orientasi pelayanan yaitu mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan; kesadaran politis yaitu mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan. 4. Pengendalian Diri Mendefinisikan pengendalian diri dengan menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya sesuatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Kecakapan emosi utama dalam pengaturan diri adalah sebagai berikut : dapat dipercaya yaitu dapat diandalkan dan bertanggungjawab dalam memenuhi kewajiban; adaptabilitas yaitu keluwesan dalam menangani perubahan dan tantangan.
17
Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi yang berlebihan dapat mengoyak kesetabilan seseorang. Aristoteles dalam Nicomachean Ethnic menulis siapapun bisa marah, marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah. 5. Keterampilan Sosial Keterampilan sosial berarti menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Keterampilan sosial merupakan aspek penting dalam Emotional Intellegence, keterampilan sosial bisa diperoleh dengan banyak berlatih. Kecerdasan emosional merupakan kesadaran diri untuk mengetahui apa yang dirasakan dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri dan mendorong untuk menjadi lebih baik, memahami persepektif orang lain sehingga dapat menumbuhkan hubungan saling percaya mampu menjalani hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka terhadap reaksi dan perasaan orang, mampu memimpin dan mengorganisir dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan serta dapat menyelaraskan diri
18
dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya sesuatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Dengan demikian, individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu untuk lebih mengenali emosi dan pikiran yang sedang terjadi pada dirinya, tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan. Individu tersebut mempunyai kejernihan dalam berfikir, dan mampu mengendalikan diri.
2.1.4
Audit Judgment Definisi audit yang sangat terkenal adalah definisi yang berasal dari
ASOBAC (A Statement of Basic Auditing Concepts) dalam Halim (2008:1) yang mendefinisikan audit sebagai berikut : “Audit adalah suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara obyektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan”. Menurut Sunyoto (2014:4) bahwa auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dari sudut Profesi Akuntan Publik, Auditing adalah Pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.
19
Definisi tersebut dapat diuraikan menjadi 7 elemen yang harus diperhatikan dalam melaksanakan audit, yaitu : 1. Proses yang sistematis Auditing merupakan rangkaian proses dan prosedur yang bersifat logis, terstruktur, dan terorganisir. 2. Menghimpun dan mengevaluasi bukti secara objektif Hal ini berarti bahwa proses sistematik yang dilakukan tersebut merupakan proses untuk menghimpun bukti-bukti yang mendasari asersi-asersi yang dibuat oleh individu maupun entitas. Auditor kemudian mengevaluasi bukti-bukti yang diperoleh tersebut. Baik saat penghimpunan maupun pengevaluasian bukti, auditor harus obyektif. Obyektif berarti mengungkapkan fakta apa adanya yang senyatanya, tidak bias atau tidak memihak dan tidak berprasangka buruk terhadap individu atau entitas yang membuat representasi tersebut. 3. Asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi Asersi merupakan suatu pernyataan atau suatu rangkaian pernyataan secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggung jawab atas pernyataan tersebut. Untuk audit laporan keuangan historis, asersi merupakan pernyataan manajemen melalui laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Asersi-asersi meliputi informasi yang terkandung dalam laporan keuangan, laporan operasi internal, dan laporan biaya maupun pendapatan berbagai pusat pertanggungjawaban pada suatu perusahaan. Jadi, asersi atau
20
pernyataan tentang tindakan dan kejadian ekonomi merupakan proses pengidentifikasian, pengukuran, dan penyampaian informasi ekonomi yang dinyatakan dalam satuan uang. 4. Menentukan tingkat kesesuaian (degree of correspondence) Hal ini berarti penghimpunan dan pengevaluasian bukti-bukti dimaksudkan untuk menentukan dekat tidaknya atau sesuai tidaknya asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian tersebut dapat diekspresikan dalam bentuk kuantitatif maupun kualitatif. Bentuk kuantitatif contohnya persentase pencapaian penjualan bila dibandingkan dengan penjualan yang dianggarkan. Bentuk kualitatif contohnya kewajaran laporan keuangan. 5. Kriteria yang ditentukan Kriteria yang ditentukan merupakan standar-standar pengukur untuk mempertimbangkan
(judgment)
asersi-asersi
atau
representasi-
representasi. Kriteria tersebut dapat berupa prinsip akuntansi yang berlaku umum atau Standar Akuntansi Keuangan, aturan-aturan spesifik yang ditentukan oleh badan legislatif atau pihak lainnya, anggaran atau ukuran lain kinerja manajemen. 6. Menyampaikan hasil-hasilnya Hal ini berarti hasil-hasil audit dikomunikasikan melalui laporan tertulis yang mengindikasikan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi dan kriteria yang telah ditentukan. Komunikasi hasil audit tersebut
21
dapat memperkuat ataupun memperlemah kredibilitas atau representasi atau pernyataan yang dibuat. 7. Para pemakai yang berkepentingan Para pemakai yang berkepentingan merupakan para pengambil keputusan yang menggunakan dan mengandalkan temuan-temuan yang diinformasikan melalui laporan audit, dan laporan lainnya. Para pemakai tersebut meliputi investor maupun calon kreditor, badan pemerintahan, manajemen, dan publik pada umumnya.
Menurut Hogarth dalam Susanti (2010) mengartikan judgment sebagai proses kognitif yang merupakan perilaku pemilihan keputusan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kognitif berhubungan dengan kondisi yang artinya : (1) kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran dan perasaan) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri, (2) proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang, (3) hasil pemerolehan keuntungan. Judgment merupakan suatu proses yang terus menerus dalam perolehan informasi (termasuk umpan balik dari tindakan sebelumnya), pilihan untuk bertindak atau tidak bertindak, penerimaan informasi lebih lanjut. Proses judgment tergantung pada kedatangan informasi sebagai suatu proses unfolds. Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi pilihan, tetapi juga mempengaruhi cara pilihan tersebut dibuat. Setiap langkah, di dalam proses incremental judgment jika informasi terus menerus datang, akan muncul pertimbangan baru dan keputusan/pilihan baru. Sebagai gambaran, akuntan
22
mungkin akan melihat sumber yang pertama, bergantung pada keadaan perlu tidaknya diperluas dengan sumber informasi kedua, atau dengan sumber informasi yang ketiga, tetapi jarang memakai keduanya (Gibbin, dalam Susanti, 2010). Judgement akuntan profesional dapat dirusak oleh konflik kepentingan. Terdapat dua konflik kepentingan, yaitu real conflict dan latent conflict. Real conflict adalah konflik yang mempunyai pengaruh pada masalah judgment yang ada, sedangkan latent conflict adalah konflik yang bisa mempengaruhi judgment di masa mendatang. Dalam pelaksanaan prosedur audit yang mendetails, auditor membuat berbagai pertimbangan (judgment) yang mempengaruhi dokumentasi bukti dan keputusan pendapat auditor (Taylor, dalam Susanti, 2010). Kenyataan ini membuat auditor harus mengenali resiko-resiko dan tingkat materialitas suatu saldo akun yang telah ditetapkan pada saat perencanaan audit. Persoalannya adalah bagaimana auditor mengkomunikasikan masalah tersebut dengan para stafnya, terlebih bila diakui subyektifitas dan pemahaman atas suatu resiko sangat tinggi. Judgment dari audit akan dijumpai pada setiap tahap-tahap audit. Pada tahap perencanaan audit, judgment digunakan untuk menetapkan prosedurprosedur yang akan dilaksanakan. Hal ini dikarenakan judgment pada tahap awal audit ditentukan berdasarkan pertimbangan pada tingkat materialitas yang diramalkan. Dalam kaitannya dengan laporan keuangan, judgment yang diputuskan oleh auditor akan berpengaruh pada opini seorang auditor mengenai kewajaran laporan keuangan. Tetapi, opini auditor tersebut tidak semata-mata hanya didasarkan atas materialitas tidaknya bukti audit. Ada berbagai faktor-
23
faktor pembentuk opini dari seorang auditor mengenai wajar atau tidaknya suatu laporan keuangan kliennya, yaitu keandalan sistem pengendalian intern klien, kesesuaian pencatatan transaksi akuntansi dengan prinsip akuntansi berterima umum, ada tidaknya pembatasan audit yang dilakukan oleh klien, konsistensi pencatatan transaksi akuntansi. Pertimbangan auditor (auditor judgment) sangat tergantung pada persepsi mengenai suatu situasi. Judgment yang merupakan dasar dari sikap profesional adalah hasil dari beberapa faktor seperti pendidikan, budaya, dan sebagainya, tetapi yang paling signifikan dan tampak mengendalikan semua unsur seperti pengalaman adalah perasaan auditor dalam menghadapi situasi dengan mengingat keberhasilan dari situasi sebelumnya. Judgment adalah perilaku yang paling berpengaruh dalam mempersepsikan situasi, dimana faktor utama yang mempengaruhinya adalah materialitas dan apa yang kita yakini sebagai kebenaran (Siegel dan Marconi, 1989 dalam Arum, 2008). Boynton (2002) dalam Mulyani (2008) auditor harus menggunakan kemahiran profesionalnya dalam pelaksanaan audit dan pembuatan laporan audit dengan cermat dan seksama. Pentingnya pertimbangan (judgment) dalam proses pengauditan merupakan sebuah hal yang melekat pada setiap tahap pengauditan. Audit judgment adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat mengenai hasil auditnya yang mengacu pada pembentukkan suatu pendapat atau perkiraan mengenai suatu objek, peristiwa, status, atau jenis peristiwa lainnya. Dalam Mulyani (2008) disebutkan adanya faktor-faktor fundamental audit judgment :
24
a. Pengalaman Dalam
menganalisis
audit
judgment,
pengalaman
merupakan
komponen audit expertise yang penting. Pengalaman merupakan suatu faktor yang sangat vital yang dapat mempengaruhi judgment yang kompleks. Penelitian menginvestigasikan pengaruh kompleksitas tugas atau audit judgment dalam berbagai tingkatan pengalaman. Mereka menemukan bahwa pertimbangan auditor tidak berpengalaman mempunyai tingkat populasi kesalahan yang signifikan lebih besar dibandingkan auditor berpengalaman (Abdolmuhammadi dan Wing, 1987, Butt 1988 dalam Mulyani, 2008). Tubbs (1992) dalam Mulyani (2008) mengatakan ketika auditor menjadi lebih berpengalaman jika : 1) Auditor menjadi sadar terhadap lebih banyak kekeliruan 2) Auditor memiliki jalan pengertian yang lebih sedikit mengenai kekeliruan 3) Auditor menjadi sadar mengenai kekeliruan yang tidak lazim 4) Hal-hal
yang terkait
dengan penyebab kekeliruan seperti
departemen tempat terjadinya kekeliruan dan pelanggaran tujuan pengendalian internal menjadi relatif lebih menonjol. b. Pengetahuan Auditor harus memiliki baik pengetahuan yang bersifat umum maupun yang khusus dan pengetahuan area auditing, akuntansi dan klien, juga harus mengetahui karakteristik klien yang akan diauditnya karena
25
masing-masing perusahaan berbeda-beda. Pengetahuan khusus tentang suatu industri akan membawa dampak positif terhadap hasil kerja auditor (Djaddang dan Parmono, 2002 dalam Mulyani, 2008). Komponen
pengetahuan
(knowledge
component),
merupakan
komponen penting dalam suatu keahlian. Komponen pengetahuan meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur, dan pengalaman. Pengalaman dalam beberapa literatur auditing sering digunakan sebagai surrogate dari pengetahuan, sebab pengalaman akan memberikan hasil dalam menghimpun dan memberi kemajuan bagi pengetahuan (Kanfer dan Stanner, 1989 dalam Mulyani, 2008). Menurut Brown dan Stanner (1983) dalam Murdisar dan Nelly (2007) perbedaan pengetahuan di antara auditor akan berpengaruh terhadap cara auditor menyelesaikan sebuah pekerjaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang auditor akan bisa menyelesaikan sebuah pekerjaan secara efektif jika didukung dengan pengetahuan yang dimilikinya. Kesalahan diartikan dengan seberapa banyak perbedaan (deviasi) antara kebijakan-kebijakan perusahaan tentang pencatatan akuntansi dengan kriteria yang telah distandarkan. Dalam mendeteksi sebuah kesalahan, seorang auditor harus didukung dengan pengetahuan tentang apa dan bagaimana kesalahan tersebut terjadi (Tubbs, 1992 dalam Mulyani, 2008). Secara umum seorang auditor harus memiliki pengetahuan-pengetahuan mengenai general auditing, fungsional area, computer auditing, accounting issue,
26
specific industry, general world knowledge (pengetahuan umum), dan problem solving knowledge (Bedard dan Michelene, 1993 dalam Murdisar dan Nelly, 2007).
2.1.5
Penelitian Terdahulu Sebelum penelitian ini dibuat peneliti-peneliti terdahulu telah membuat
penelitian yang berkaitan dengan gender, kecerdasan emosional, dan juga audit judgment. 1. Rahmi Ayu Puspitasari (2011) meneliti tentang pengaruh gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, dan pengalaman terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. Penelitian ini dilakukan dengan mengirimkan kuesioner kepada auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Kota Semarang. Alat penelitian menggunakan kuesioner yang disampaikan secara langsung kepada auditor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, dan pengalaman berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. Sedangkan variabel gender tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. 2. Nonarina Cinde Susanti (2010) yang mengamati pengaruh gender, kompleksitas tugas, dan kompetensi auditor terhadap audit judgment (studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jakarta). Penelitian ini menggunakan metode survey dengan menggunakan kuesioner yang dibuat oleh penulis. Penelitian ini mengambil objek pada auditor-
27
auditor yang terdapat pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kompetensi auditor berpengaruh signifikan terhadap variabel audit judgment, sedangkan gender dan kompleksitas tugas tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel audit judgment. 3. Ajeng Nurdiyani Irwanti (2011) yang meneliti tentang pengaruh gender dan tekanan ketaatan terhadap audit judgment, kompleksitas tugas sebagai variabel moderating (studi pada Auditor Pemerintah yang bekerja di BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Tengah). Penelitian ini dilakukan dengan menyerahkan secara langsung kuesioner kepada responden yang termasuk dalam kriteria sampel penelitian yaitu 78 fungsional auditor pemerintah yang bekerja pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gender dan tekanan ketaatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap judjment yang diambil oleh seorang auditor. Namun kompleksitas tugas hanya memperkuat pengaruh gender terhadap audit judgment, tidak pada tekanan ketaatan. 4. Daniel Sugiarto (2009) yang meneliti tentang pengaruh gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, dan pengalaman auditor terhadap audit judgment. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini bersifat random sampling dimana dalam proses pengambilan sampel secara acak dari populasi. Sampel yang dipilih
28
adalah auditor yang bekerja pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di wilayah Semarang. Hasil penelitian menyatakkan bahwa gender berpengaruh positif terhadap audit judgment, kompleksitas tugas berpengaruh negatif terhadap audit judgment, tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap audit judgment, pengalaman berpengaruh positif terhadap audit judgment. 5. Henda Sandika Kusuma (2011) yang meneliti tentang pengaruh pelaksanaan etika profesi dan kecerdasan emosional terhadap pengambilan keputusan bagi auditor (studi empiris pada Kantor Akuntan Publik (KAP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Semarang). Penelitian ini mengambil sampel auditor independen yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Semarang dan BPK-RI Perwakilan Jawa Tengah. Jenis data yang digunakan adalah data primer dengan metode pengumpulan data yaitu wawancara tidak langsung dengan mengajukan kuesioner.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa etika profesi yang diukur dari indenpensi, integritas dan objektivitas, standar umum dan prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien berpengaruh signifikan terhadap auditor dalam pengambilan keputusan, sedangkan tanggung jawab kepada rekan seprofesi dan tanggung jawab dan praktik lain tidak berpengaruh signifikan terhadap auditor dalam pengambilan keputusan. Kecerdasan emosional yang diukur dari pengendalian diri, motivasi dan keterampilan sosial berpengaruh signifikan terhadap auditor dalam
29
pengambilan keputusan, sedangkan pengenalan diri dan empati tidak berpengaruh
signifikan
terhadap
auditor
dalam
pengambilan
keputusan. 6. Melli Amelia (2009) yang mengamati tentang pengaruh kecerdaasan emosional (emotional quotient) auditor eksternal dan kecerdasan intelegensi (intelegency quotient) auditor eksternal terhadap kinerja auditor eksternal dengan kepercayaan diri sebagai variabel moderating (studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta). Metode penelitian dengan pengambilan sampel dengan metode convience sampling. Responden dalam penelitian ini 80 akuntan publik dari berbagai Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta. Hasil dari penelitian ini
adalah
kecerdasan
emosional
dan
kecerdasan
intelegensi
berpengaruh terhadap kinerja auditor tetapi kecerdasan emosional dan kecerdasan intelegensi dengan kepercayaan diri sebagai variabel moderating tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap kinerja auditor. 7. Akhmad Bustanul Arifin (2011) yang mengamati tentang pengaruh penetapan etika profesi, komitmen organisasi dan kecerdasan emosional terhadap peningkatan profesionalisme akuntan publik di Jakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah akuntan publik yang bekerja pada KAP di Jakarta. Sampel penelitian ini yaitu 70 akuntan publik yang terdapat pada 17 KAP di Jakarta Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan etika profesi dan kecerdasan
30
emosional
secara
parsial
berpengaruh
terhadap
peningkatan
profesionalisme, sedangkan komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap peningkatan profesionalisme akuntan publik. 8. Alfia Syukria (2010) yang mengamati tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja auditor pada kantor akuntan publik di kota Padang. Metode penelitian ini menggunakan kuesioner dan diukur menggunakan skala likert dengan objek penelitian adalah auditor di KAP Kota Padang. Hasil penelitian ini adalah pengaruh yang timbul oleh variabel
kesadaran diri,
pengaturan
diri,
motivasi
dan
keterampilan sosial adalah negatif sedangkan pengaruh yang ditimbulkan variabel empati adalah positif. Akan tetapi, semua komponen kecerdasan emosional secara serempak berpengaruh terhadap kinerja auditor.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Judul Penelitian
Variabel
Hasil Penelitian
1
Rahmi Ayu Puspitasari, 2011
Pengaruh gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, dan pengalaman terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment.
Variabel Bebas : Gender, Tekanan Ketaatan, Kompleksitas Tugas, dan Pengalaman; Variabel Terikat : Kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment
Tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, dan pengalaman berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. Sedangkan variabel gender tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment.
31
Lanjutan Tabel 2.1 No
Judul Penelitian
Variabel
Hasil Penelitian
2
Nonarina Cinde Susanti, 2010
Peneliti
Pengaruh gender, kompleksitas tugas, dan kompetensi auditor terhadap audit judgment
Variabel Bebas : Gender, Kompleksitas Tugas, dan Kompetensi Auditor; Variabel Terikat : audit judgment
Variabel kompetensi auditor berpengaruh signifikan terhadap variabel audit judgment, sedangkan gender dan kompleksitas tugas tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel audit judgment.
3
Ajeng Nurdiyani Irwanti, 2011
Pengaruh gender dan tekanan ketaatan terhadap audit judgment, kompleksitas tugas sebagai variabel moderating
Variabel Bebas : Gender dan Tekanan Ketaatan; Variabel Terikat : audit judgment
Gender dan tekanan ketaatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap judjment yang diambil oleh seorang auditor. Namun kompleksitas tugas hanya memperkuat pengaruh gender terhadap audit judgment, tidak pada tekanan ketaatan.
4
Daniel Sugiarto, 2009
Pengaruh gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, dan pengalaman auditor terhadap audit judgment.
Variabel Bebas : Gender, Tekanan Ketaatan, Kompleksitas Tugas; Variabel Terikat : audit judgment
Gender berpengaruh positif terhadap audit judgment, kompleksitas tugas berpengaruh negatif terhadap audit judgment, tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap audit judgment, pengalaman berpengaruh positif terhadap audit judgment.
5
Henda Sandika Kusuma, 2011
Pengaruh pelaksanaan etika profesi dan kecerdasan emosional terhadap pengambilan keputusan bagi auditor (studi empiris pada Kantor Akuntan Publik (KAP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Semarang)
Variabel Bebas : Etika Profesi dan Kecerdasan Emosional; Variabel Terikat : Pengambilan keputusan
6
Melli Amelia, 2009
Pengaruh kecerdaasan emosional (emotional quotient) auditor eksternal dan kecerdasan intelegensi (intelegency quotient) auditor eksternal terhadap kinerja auditor eksternal dengan kepercayaan diri sebagai variabel moderating
Variabel Bebas : Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Intelegensi; Variabel Terikat : Kinerja Auditor
Etika profesi yang diukur dari indenpensi, integritas dan objektivitas, standar umum dan prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien berpengaruh signifikan terhadap auditor dalam pengambilan keputusan, sedangkan tanggung jawab kepada rekan seprofesi dan tanggung jawab dan praktik lain tidak berpengaruh signifikan terhadap auditor dalam pengambilan keputusan. Kecerdasan emosional yang diukur dari pengendalian diri, motivasi dan keterampilan sosial berpengaruh signifikan terhadap auditor dalam pengambilan keputusan, sedangkan pengenalan diri dan empati tidak berpengaruh signifikan terhadap auditor dalam pengambilan keputusan. Kecerdasan emosional dan kecerdasan intelegensi berpengaruh terhadap kinerja auditor tetapi kecerdasan emosional dan kecerdasan intelegensi dengan kepercayaan diri sebagai variabel moderating tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap kinerja auditor.
32
Lanjutan Tabel 2.1 No
Peneliti
Judul Penelitian
Variabel
Hasil Penelitian
7
Akhmad Bustanul Arifin, 2011
Pengaruh penetapan etika profesi, komitmen organisasi dan kecerdasan emosional terhadap peningkatan profesionalisme akuntan publik di Jakarta
Variabel Bebas : Etika Profesi, Komitmen Organisasi, dan Kecerdasan Emosional; Variabel Terikat : Profesionalisme
Penerapan etika profesi dan kecerdasan emosional secara parsial berpengaruh terhadap peningkatan profesionalisme, sedangkan komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap peningkatan profesionalisme akuntan publik.
Sumber : Penulis, 2014
2.2
Kerangka Pemikiran Profesionalisme seseorang secara umum dipengaruhi oleh aspek-aspek
yang bersifat individual meliputi antara lain : gender dan kecerdasan emosional. Kedua aspek di atas memiliki peran yang besar terhadap judgment yang dibuat auditor. Aspek individual memiliki peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi audit judgment, hal ini terjadi karena aspek-aspek individual mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku individu. Namun aspek eksternal juga mempengaruhi perilaku secara tidak langsung. Kecerdasan emosional akan memperbesar atau memperkecil pengaruh faktor individual terhadap judgment yang dihasilkan auditor. Judgment seorang auditor pria dan wanita mungkin berbeda. Perbedaan judgment itu akan diperbesar oleh faktor eksternal yang ada. Judgment yang dihasilkan auditor pria dan wanita mungkin juga tidak berbeda. Baik pria dan wanita menghasilkan judgment yang baik. Namun karena kecerdasan emosional setiap orang berbeda maka judgment yang dihasilkan pun jadi menurun atau rendah. Dengan demikian gender dan kecerdasan emosional sebagai dimensi dari aspek individual akan berpengaruh terhadap judgment yang akan diambil oleh 33
seorang auditor. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka model rerangka pemikiran penelitian ini dapat disampaikan dalam Gambar 2.1 di bawah ini. Gambar 2.1 Model Penelitian
Gender (X1)
Kinerja Auditor dalam Pembuatan Audit Judgment (Y)
Kecerdasan Emosional (EQ) (X2) Sumber : Penulis, 2014
2.3
Hipotesis Penelitian
2.3.1. Pengaruh gender terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment Pengambilan keputusan harus didukung oleh informasi yang memadai. Kaum pria dalam pengolahan informasi tersebut biasanya tidak menggunakan seluruh informasi yang tersedia sehingga keputusan yang diambil kurang komprehensif. Lain halnya dengan wanita, mereka dalam mengolah informasi cenderung lebih teliti dengan menggunakan informasi yang lebih lengkap dan mengevaluasi kembali informasi tersebut dan tidak gampang menyerah (Meyer dan Levy, 1989 dalam Nurdiyani, 2011). Kaum wanita relatif lebih efisien dibandingkan kaum pria selagi mendapat akses informasi. Selain itu, kaum wanita juga memiliki daya ingat yang lebih tajam terhadap suatu informasi baru
34
dibandingkan kaum pria dan demikian halnya kemampuan dalam mengolah informasi yang sedikit menjadi lebih tajam. Dalam membuat judgment, seorang auditor harus mengolah semua informasi dengan tepat untuk kemudian digunakan dalam pengambilan keputusan. Maka, perbedaan gender mempengaruhi pertimbangan setiap auditor atas keputusan yang diambil. Argumen ini didukung oleh hasil penelitian dari Giligan (1982), Sweeney dan Robert (1997), Barbeau dan Brabeck dalam Jamillah (2007), dan Cohen, et al. (1999). Hal ini juga didukung dalam teori perilaku rencanaan yang menyebutkan bahwa sikap akan mempengaruhi perilaku yang dihasilkan seseorang. Perbedaan dalam mengolah informasi oleh pria dan wanita akan menghasilkan sikap yang berbeda sehingga perilaku yang ada pun berbeda. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 : Gender berpengaruh terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment
2.3.2. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment Kecerdasan emosional yang dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam bekerja terbagi kedalam 5 bagian utama yaitu pengendalian diri, pengenalan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial. Seseorang dengan kecerdasan emosional yang berkembang dengan baik, kemungkinan besar akan berhasil dalam kehidupannya karena mampu menguasai kebiasaan berfikir yang mendorong produktivitas.
35
1) Pengendalian diri Pengendalian diri merupakan pengelolaan emosi yang berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri. 2) Pengenalan diri Menurut Gea et al (2002) dalam Kusuma (2011), mengenal diri berarti memahami kekhasan fisiknya, kepribadian, watak dan tempramennya, mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya serta punya gambaran atau konsep yang jelas tentang diri sendiri dengan segala kesulitan dan kelemahannya. Dengan mengenal diri, seseorang dapat mengenal kenyataan dirinya, dan sekaligus kemungkinan-kemungkinannya, serta (diharapkan) mengetahui peran apa yang harus dia mainkan untuk mewujudkannya. 3) Motivasi Menurut Terry (dalam Kusuma, 2011), motivasi didefinisikan sebagai keinginan (desire) dari dalam yang mendorong seseorang untuk
36
bertindak. O’Donnel (dalam Kusuma, 2011), menggambarkan motivasi sebagai dorongan dan usaha untuk memenuhi atau memuaskan suatu kebutuhan (a want) atau suatu tujuan (a goal). 4) Empati Stein dan Howard (2002) dalam Kusuma (2011) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain. Empati adalah “menyelaraskan diri” (peka) terhadap apa, bagaimana dan latar belakang perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empati artinya mampu “membaca orang lain dari sudut pandang emosi”. Orang yang empati, peduli pada orang lain dan memperlihatkan minat dan perhatiannya pada mereka. Empati juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain, kemampuan untuk menyelaraskan diri dengan yang mungkin dirasakan dan dipikirkan orang lain tentang suatu situasi betapapun berbedanya pandangan itu dengan pandangan kita. 5) Keterampilan Sosial Menurut Jones (1996) dalam Kusuma (2011), kemampuan membina hubungan dengan orang lain adalah serangkaian pilihan yang dapat membuat anda mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berhubungan dengan anda atau orang lain yang ingin anda hubungi. Serangkaian pilihan anda meliputi pikiran, perasaan dan
37
tindakan. Cadangan kemampuan anda untuk membina hubungan dengan orang lain terdiri atas sumber dan kekurangan anda dalam tiap bidang
kemampuan.
Sesungguhnya
keterampilan-keterampilan
semacam
karena inilah
tidak yang
dimilikinya menyebabkan
seseorang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan. Dari pendapat di atas, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut : H2 : Kecerdasan emosional berpengaruh terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment
38