BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Toxoplasma gondii
2.1.1 Epidemiologi Toxoplasma gondii Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada binatang mengerat (Cytenodactylus gundi) di Afrika pada tahun 1908 (Levine, 1985). Toxoplasma gondii
termasuk
Genus
Toxoplasma;
Subfamili
Toxoplasmatinae;
Famili
Sarcocystidae; Subkelas Coccidia; Kelas Sporozoa; Filum Apicomplexa (Soulsby, 1982). Toxoplasma gondii dibedakan menjadi lima tipe, masing-masing tipe terdiri atas berbagai galur, dapat diisolasi di tempattempat dari berbagai belahan dunia. Setiap tipe memiliki karakteristik biologik dan patogenitas yang berbeda (Chandra, 2002). Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia (Hiswani, 2005). Parasit ini merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler. Menurut Wiknjosastro (2007), Toksoplasmosis menjadi sangat penting karena infeksi yang terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan atau kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut sebagai kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan retardasi mental. 2.1.2 Morfologi Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit) (Hiswani, 2005). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron,
7
8 lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Sasmita, 2006). Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki tiap sel yang berinti. Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot (Gandahusada, 2003). Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu. Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian. 2.1.3 Siklus Hidup Daur hidup Toxoplasma gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut.
9 Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas. Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati dan jantung. Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah berada dalam sel organ-organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).
Gambar 1.1 Siklus hidup Toxoplasma gondii
Sumber: CDC, 2010 2.1.4 Cara Penularan Manusia dapat terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dengan berbagai cara. Pada Toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil. Pada Toksoplasmosis
10 akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista atau trofozoit Toxoplasma gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran Toxoplasma gondii. Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak (Chahaya, 2003). Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita Toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi Toxoplasma gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan Toxoplasma gondii yang hidup. Infeksi dengan Toxoplasma gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi. 2.1.5 Pencegahan Toksoplasmosis Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya Toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat di jaga terjadinya infeksi pada kucing, yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus. Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66 0C. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 650C selama empat sampai lima menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah
11 dengan garam dan nitrat (Chahaya, 2003). Setelah memegang daging mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan dengan sabun sampai bersih. Yang paling penting dicegah adalah terjadinya Toksoplasmosis kongenital, yaitu anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban masyarakat. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi kejadian Toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena lebih dari 50 % Toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir kehamilan (Chahaya, 2003). Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu hamil yang diduga menderita infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi Toksoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini. 2.2
Perilaku
2.2.1 Pengertian Perilaku Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 1993). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat di rumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi.
12 Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. (dikutip dari Notoatmodjo, 2003). Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus/ rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya organisme. Dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut “S-O-R” atau stimulus-organisme-respon. 2.2.2 Klasifikasi Perilaku Menurut Skinner (1938), dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a). Perilaku tertutup Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas. b). Perilaku terbuka Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati atau dengan mudah dipelajari. Menurut
Notoatmodjo
(1993)
bentuk
operasional
dari
perilaku
dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu: 1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar.
13 2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar. Dalam hal ini lingkungan berperan dalam membentuk perilaku manusia yang ada di dalamnya. Sementara itu lingkungan terdiri dari, lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik dan akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat dan keadaaan alam tersebut. Sedangkan lingkungan yang kedua adalah lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perilaku manusia. 3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit, yakni berupa perbuatan atau action terhadap situasi atau rangsangan dari luar. 2.2.3 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Pembentukan Perilaku Menurut
Notoatmodjo
(1993)
faktor-faktor
yang
berperan
dalam
pembentukan perilaku dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu: 1. Faktor internal Faktor yang berada dalam diri individu itu sendiri yaitu berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruhpengaruh dari luar. Motivasi merupakan penggerak perilaku, hubungan antara kedua konstruksi ini cukup kompleks, antara lain dapat dilihat sebagai berikut: Motivasi yang sama dapat saja menggerakkan perilaku yang berbeda demikian pula perilaku yang sama dapat saja dairahkan oleh motivasi yang berbeda. Motivasi mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu. Penguatan positif/ positive reinforcement menyebabkan satu perilaku tertentu cenderung untuk diulang kembali. Kekuatan perilaku dapat melemah akibat dari perbuatan itu bersifat tidak menyenangkan.
14 2. Faktor eksternal Faktor-faktor yang berada diluar individu yang bersangkutan yang meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang disajikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence Green (1980), dalam Notoatmodjo (2003) menurut Lawrence Green perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yakni : 3. Faktor predisposisi (predisposing faktor). Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dfan sebagainya. 4. Faktor pemungkin (enabling faktor) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. 5. Faktor penguat (reinforcing faktor) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, suami dalam memberikan dukungannya kepada ibu primipara dalam merawat bayi baru lahir. 2.2.4 Perilaku Sehat Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2005) dalam Silalahi (2010) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehatsakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat sakit (kesehatan), seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati maupun
15 yang tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Silalahi, 2010). Menurut Sarafino (2006) dalam Silalahi (2010), perilaku kesehatan adalah setiap aktivitas individu yang dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan kondisi kesehatan tanpa memperhatikan status kesehatan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari: 1.
Perilaku Hidup Sehat Perilaku Hidup Sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang mencakup antara lain:
Makan dan menu seimbang (appropriate diet)
Olahraga teratur
Tidak merokok
Tidak minum-minuman keras dan narkoba
Istirahat yang cukup
Mengendalikan stress
Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.
2.
Perilaku sakit (IIInes behaviour) Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya.
16 3.
Perilaku peran sakit (the sick role behaviour) Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,yang harus diketahui oleh orang sakit itu sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya).
Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya
perlu
pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas terutama petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-undang kesehatan untuk memperkuat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003). Faktor yang mempengaruhi perilaku sehat Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan menurut Taylor (2003) dalam Silalahi (2006), antara lain: 1. Faktor demografi Perilaku kesehatan berbeda berdasarkan pada faktor demografi. Individu yang masih muda, lebih makmur, memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dan berada dalam kondisi stress yang rendah dengan dukungan sosial yang tinggi memiliki perilaku sehat yang lebih baik dari pada orang yang memiliki resources yang lebih sedikit (Gottlieb & Green, 1984 dalam Silalahi, 2006). 2. Usia Perilaku kesehatan bervariasi berdasarkan usia. Secara tipikal perilaku kesehatan pada anak-anak dapat dikatakan baik, memburuk pada remaja dan orang dewasa, namun meningkat kembali pada orang yang lebih tua (Leventhal et.al, 1985 dalam Silalahi, 2006).
17 3. Nilai Nilai-nilai sangat mempengaruhi kebiasaan perilaku sehat individu. Misalnya latihan bagi wanita sangat diinginkan bagi budaya tertentu tetapi tidak bagi budaya lain (Donovan, Jessor & Costa, 1991 dalam Silalahi, 2006). 4. Pengaruh Sosial Pengaruh sosial juga dapat mempengaruhi perilaku sehat individu. Keluarga, teman, dan lingkungan kerja dapat mempengaruhi perilaku sehat (Broman, 1993; Lau, Quadrel & Hartman, 1990 dalam Silalahi, 2006). 5. Personal Goal Kebiasan perilaku sehat juga memiliki hubungan dengan tujuan personal (Eiser & Gentle, 1988 dalam Silalahi, 2006). Jika tujuan menjadi atlet berprestasi merupakan tujuan yang penting, individu akan cenderung olah raga secara teratur dibandingkan jika hal itu bukan tujuan personal. 6. Faktor kognisi Perilaku kesehatan memiliki hubungan dengan faktor kognisi, seperti keyakinan bahwa perilaku tertentu dapat mempengaruhi kesehatan (Silalahi, 2006). 2.2.5 Perilaku Berisiko Terhadap Toksoplasmosis Penularan Toksoplasmosis yang cukup cepat menjadi salah satu penyebab tingginya prevalensi Toksoplasmosis di Indonesia maupun di berbagai negara. Penularan tersebut disebabkan oleh perilaku mengonsumsi daging mentah, kontak dengan kucing, tidak mencuci buah maupun sayur sebelum dimakan, dan kontak dengan lingkungan yang terdapat ookista Toxoplasma gondii (Dharmana, 2007 dalam Indrayanti, 2014). Begitu pula menurut Sukaryawati (2011) dalam Indrayanti
18 (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku konsumsi daging mentah atau setengah matang, konsumsi lawar, dan keberadaan kucing di lingkungan rumah ibu hamil terhadap kejadian Toksoplasmosis di Kecamatan Mengwi. Berbagai perilaku berisiko terinfeksi Toxoplasma gondii tidak terlepas dari budaya masyarakat setempat. Salah satu perilaku berisiko terinfeksi Toxoplasma gondii adalah mengonsumsi daging mentah atau setengah matang. Budaya di Bali dalam mengolah lawar menggunakan darah segar menjadi salah satu sumber penularan penyakit Toksoplasmosis. Selain itu penularan juga bisa melalui perantara air, yakni salah satunya adalah air danau yang mengandung ookista Toxoplasma gondii. 2.3
Danau
2.3.1 Definisi Danau Menurut Jorgensen (1989) perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi, Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas, mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu. Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik.Berdasarkan keadaan nutrisinya, Payne (1986) menggolongkan danau menjadi 3 jenis yaitu: 1. Danau Oligotrofik yaitu danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin nutrien), biasanya dalam dan produktivitas primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan konsentrasi
19 oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah organisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi. 2. Danau Eutrofik, yaitu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien), khususnya nitrat dan fosfor yang menyebabkan pertumbuhan algae dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies rendah. 3. Danau Distrofik, yaitu danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik dari luar danau, khususnya senyawa-senyawa asam yang menyebabkan air berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau distrofik ini juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik. Odum (1994) menyatakan bahwa danau terdiri dari 3 zona yaitu: 1.
Zona litoral, yaitu daerah perairan dangkal penetrasi cahaya sampai ke dasar.
2.
Zona limnetik, yaitu daerah air terbuka sampai kedalaman penetrasi cahaya yang efektif.
3.
Zona profundal, yaitu merupakan bagian dasar dan daerah air yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif.
2.3.2 Peranan/ Fungsi Danau Danau mempunyai fungsi ekonomi yang sangat tinggi. Salah satu fungsi danau adalah perikanan, baik budidaya maupun perikanan tangkap. Danau juga penting dari sisi tata air (antara lain mencegah kekeringan dan banjir) dalam kaitannya dengan penyediaan air bersih, baik untuk minum, irigasi maupun industri. Dengan demikian danau mempunyai fungsi sebagai penyangga kehidupan.
20 Penjagaan kebersihan sumber-sumber air danau, danau itu sendiri dan saluransaluran keluarnya secara otomatis menjamin tersedianya air bersih di sepanjang alirannya. Namun saat ini perairan danau sudah banyak tercemar, baik pencemaran oleh zat kimia seperti limbah rumah tangga, limbah hotel dan pencemaran oleh mikrobiologi seperti bakteri, protozoa, dll. 2.3.3 Pencemaran Perairan Danau secara singkat pencemaran air dapat dikatakan sebagai turunnya kualitas air karena masuknya komponen-kompoen pencemar dari kegiatan manusia atau proses alam, sehingga air tersebut tidak memenuhi syarat atau bahkan mengganggu pemanfaatannya. Terjadinya pencemaran perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga terbentuk komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan (Southwick, 1976). Senada dengan hal tersebut Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa bahan-bahan organik, mineral, zat-zat beracun dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuhtumbuhan pengganggu air, kontaminasi organisme mikro yang berbahaya atau dapat berupagabungan ketiga pencemaran tersebut. Sumber pencemaran yang masuk ke badan perairan, dibedakan atas pencemaran yang disebabkan oleh alam dan pencemaran karena kegiatan manusia. Menurut Davis dan Cornwell (1991), sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan dapat berasal dari buangan yang diklasifikasikan sebagai: 1. point source discharges (sumber titik) 2. non point source (sumber menyebar).
21 Sumber titik atau sumber pencemaran yang dapat diketahui secara pasti dapat merupakan suatu lokasi tertentu seperti dari air buangan industry maupun domestik serta saluran drainase. Pencemar bersifat lokal dan efek yang diakibatkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Sedangkan sumber pencemar yang berasal dari sumber menyebar berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari permukaan tanah wilayah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, atau limpasan dari daerah permukiman dan perkotaan.