BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Community Development Community (Bambang, 2007) dalam arti komunitas bermakna sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama. Selain itu community diartikan sebagai kesatuan pemukiman yang di atasnya terdapat kota kecil/town, kota atau kota besar/city. Menurut Bambang (2007) Community development pada garis besarnya dapat ditinjau dalam dua pengertian yaitu sebagai berikut: 1. Dalam arti luas bermakna sebagai perubahan sosial berencana dengan sasaran perbaikan dan peningkatan bidang ekonomi dan sosial. 2. Dalam arti sempit adalah perubahan sosial berencana di lokasi tertentu: dusun, kampong, desa, kota kecil dan kota besar, dikaitkan dengan proyek yang berhubungan dengan upaya pemenuhan dari kebutuhan lokal, sepanjang mampu dikelola sendiri dan degan bantuan sementara dari pihak luar. Esensi pembangunan
community yang
development
berpusat
pada
yang rakyat,
kemudian adalah
mengilhami
upaya
model
pemberdayaan
(empowerment) terhadap rakyat berdasarkan integrasi ide-ide kemandirian. Masyarakat adalah pelaku yang menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya dan mengarahkan proses pembangunan sumberdaya. Titik tekannya terletak pada kewenangan komunitas mengelola sumberdaya dalam mewujudkan kepentingannya. 12 Universitas Sumatera Utara
Kegiatan ini dirancang berdasarkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dengan orientasi kebutuhan, petonsi dan kemampuan komunitas lokal, namun memperhatikan variasi dan perbedaan yang ada dalam komunitas. Menurut Tjokrowinoto dalam Bambang (2007), titik berat dari community development terletak pada pembangunan masyarakatnya, dengan titik tekan pada pembentukan kader pembangunan yang diharapkan dapat menopang tercapainya masyarakat yang berswasembada. Asasnya adalah pembangunan integral, kekuatan sendiri dan pemufakatan bersama. 1. Asas pembangunan integral adalah pembangunan yang seimbang dari semua segi masyarakat sehingga menjamin perkembangan yang selaras dan tidak berat sebelah, tetapi perlu diingat bahwa untuk masa permulaan titik beratnya terutama harus diletakkan dalam pembangunan ekonomi. 2. Asas kekuatan sendiri bahwa tiap usaha pertama-tama harus didasarkan kepada kekuatan atau kemampuan sendiri dan tidak hanya menunggu pemberian dari pemerintah. 3. Asas pemufakatan bersama diartikan bahwa pembangunan harus dilaksanakan di lapangan yang benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh masyarakat yang bersangkutan,
sedangkan
keputusan
melaksanakan
suatu
proyek
bukan
berdasarkan atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama dari anggota-anggota masyarakat. Menurut Dunheim dalam Bambang (2007), Community Development berarti usaha terorganisir untuk mempebaiki kondisi kehidupan komunitas dan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan berintegrasi dan berkembang secara mandiri, dengan unsurnya: program berencana, pembangkitan tekad, tidak tergantung padan bantuan pihak luar. Menurut Maskun (dalam Bambang, 2007): Community Development adalah program yang berusaha menjangkau masyarakat yang kondisi sosial ekonominya masih dalam keadaan relatif rendah dan sulit untuk berkehidupan memenuhi syarat kelayakan dan kesejahteraan. Dalam pengertian fasilitator, community development diartikan suatu proses, yang terkadang memerlukan bantuan dari fasilitator, di mana sekelompok masyarakat mengidentifikasikan permasalahan yang sedang mereka hadapi dan terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut dengan memanfaatkan sumberdaya yang mereka miliki tetapi kadang-kadang harus menggunakan sumberdaya dari tempat lain. Community Development melibatkan setiap individu di dalam kelompok untuk menghadapi permasalahn bersama. Community Development bertujuan membentuk kelompok masyarakat yang kuat, sehingga daapt mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi kelompok tersebut. Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Pemberdayaan sendiri merupakan suatu proses yang berjalan terus menerus. Istilah pemberdayaan (empowerment) muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran pada perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu seharusnya mampu merangsang
Universitas Sumatera Utara
proses kemandirian masyarakat (self sustaining process). Tanpa partisipasi masyarakat, proses kemandirian tersebut tidak akam memperoleh kemajuan. Pada tataran konseptual istilah pemberdayaan dapat dikaitkan dengan proses transformasi sosial, ekonomi, dan bahkan politik (kekuasaan). Secara definisi, pemberdayaan merupakan proses penumbuhan kekuasaan atau kemampuan diri. Melalui proses pemberdayaan maka diasuksikan seseorang dari strata sosial terendah sekalipun bisa terangkat dan muncul menjadi bagian dari lapisan masyarakat menengah atas. Akan tetapi, pada prakteknya proses pemberdayaan membutuhkan bantuan orang lain. Tanpa bantuan tersebut tidak mungkin proses akan dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Untuk itu harus ada seseorang atau institusi yang bertindak sebagai pemicu kemajuan (enabler). Dan “orang kuat” yang sering menjadi andalan tidak lain adalah pemerintah. Para ahli menetapkan bermacam-macam model dalam pelaksanaan community development. Model yang paling sering dipakai (Chisinau, 2005) yaitu: 1. Organization of the Neighborhood Dalam model ini Community Development dimanfaatkan untuk membentuk solidaritas di antara masyarakat yang berdekatan/bertetangga. Setiap anggota kelompok berlaku sebagai individu yang berkerjasama menghadapi sebuah permasalahan bersama.
Universitas Sumatera Utara
2. Community Planning Dalam
model
ini
Community
Development
dimanfaatkan
untuk
mengkoordinasikan anggota suatu kelompok masyarakat yang lebih luas untuk mengatasi permasalahan yang lebih kompleks. 3. Programme Development Dalam model ini anggota kelompok terlibat dalam setiap tahap pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan. Para anggota berpikir, menganalisa, merencanakan, mengatur dan mengevaluasi kegiatan pembangunan dengan kemampuan yang mereka miliki. Model ini sering disebut juga dengan prinsip partisipatif.
2.2. Community Development dalam Pembangunan Pedesaan Community Development yang oleh para praktisi pembangunan sering diterjemahkan sebagai pembangunan masyarakat, pengembangan masyarakat, maupun pemberdayaan masyarakat, merupakan sebuah wacana pendekatan pembangunan yang telah dimulai sejak periode 1960-an. Periode di mana secara global masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II dan mulai menapak jalan kesejahteraan. Pada periode itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapatkan perhatian kalangan yang lebih luas dan mendorong berkembangnya wacana dan praktek Community Development.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perspektif sejarah (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002), perkembangan Community Development pada tataran global dapat dibagi ke dalam setidaknya empat dasawarsa, yaitu dasawarsa 1960, 1970, 1980, dan 1990. 1. Dasawarsa 1960, Community Development banyak diwujudkan dalam bentuk investasi di dalam infrastruktur, riset, dan pengembangan teknologi tepat guna. Tujuan dari investasi ini adalah mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat terutama untuk meningkatkan produktifitas. Motor dari kegiatan Community Development pada periode ini adalah pemerintah. 2. Dasawarsa 1970, terjadi perpindahan penekanan dari sektor-sektor produktif kearah sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini adalah munculnya kesadaran bahwa peningkatan produktifitas hanya akan terjadi manakala variabelvariabel yang menahan orang miskin tetap miskin, (misalnya pendidikan dan kesehatan) dapat dibantu dari luar. 3. Dasawarsa 1980, ditandai dengan berkembangnya kesadaran adanya aktor lain yang memiliki potensi untuk terlibat di dalam Community Development yaitu sektor swasta. Sektor swasta yang telah berkembang melalui dukungan pemerintah memiliki tanggung jawab sosial untuk turut terlibat di dalam Community Development. Hal ini dilaksanakan misalnya melalui pengembangan kerja sama, akses pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya. 4. Dasawarsa 1990, adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder, pendekatan system dan proses, maupun pendekatan civil society (masyarakat sipil). Beragam pendekatan
Universitas Sumatera Utara
tersebut
telah
mempengaruhi
praktek
Community
Development
dan
mengedapankan aktor lain yaitu organisasi masyarakat sipil sebagai pelaku kunci dari Community Development. Secara skematis, dinamika perkembangan wacana Community Development dapat digambarkan sebagai berikut: Pemerintah 1960
1970
Sektor Produktif
Sektor Sosial
1990 1980
Pasar
Sumber: Riza, Info URDI Vol. 16, 2002
Gambar 2.1. Dinamika Perkembangan Wacana CD Dari aspek keterlibatan masyarakat, praktek Community Development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002), yaitu: 1. Development for community Development for community adalah bentuk Community Development di mana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan
Universitas Sumatera Utara
konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat. Namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar, maka pada dasarnya masyarakat tepat menjadi objek. 2. Development with community Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak. 3. Development of community Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai system pendukung bagi proses pembangunan. Ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan yang ada lebih berada pada sarana yang dipakai. Efektivitas sarana ini sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada masyarakat tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang dibutuhkan. Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah seberapa jauh kelembagaan masyarakat telah berkembang.
Universitas Sumatera Utara
Dewasa ini, program pemberdayaan masyarakat banyak sekali diluncurkan oleh pemerintah sebagai wujud komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, terdapat kesan bahwa program ini kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan dalam desain program pemberdayaan itu, antara lain bahwa pemberdayaan sering dipersepsikan dan diterjemahkan secara sempit sebagai pemberian akses financial (penyediaan dana bantuan atau kredit) yang lebih besar kepada anggota masyarakat, khususnya kelompok miskin. Persepsi yang demikian, tidaklah mengherankan bahwa program pemberdayaan sering kali dikemas dalam kerangka program pengentasan kemiskinan. Padahal, masyarakat yang tidak berada di bawah garis kemiskinan pun membutuhkan upaya pemberdayaan pula. Dalam hal ini, terdapat kritik dari Mishael Lipton dan Robert Chamber, program pengentasan kemiskinan sering bias dan salah sasaran. Program dan proyek pengentasan kemiskinan di berbagai Negara berkembang banyak dilaksanakan di perkotaan, sehingga kemiskinan di pedesaan (rural proverty) tidak dapat berkurang secara signifikan. Situasi seperti ini oleh Lipton disebut sebagai bias perkotaan (urban bias). Analisis serupa diberikan oleh Chamber (1995) yang mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang bagaimana memenuhi kebutuhan fisik masyarakat secara berkesinambungan, namun lebih pada usaha untuk memberikan “energi” yang lebih besar kepada masyarakat melalui proses pemberdayaan (empowerment).
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, Chamber (1995) mengajukan pemikiran bahwa upaya untuk mengatasi masalah ketidak berdayaan masyarakat adalah melalui “…enabling and empowering the poor through ‘reversals in management’ of dominant paradigms of development which involves shifting power and initiatives downwards and outwards”. Dengan demikian, suatu proses pemberdayaan haruslah memberikan kesempatan/ wewenang dan memberdayakan kaum miskin melalui “terobosan perukaran manajemen” dalam paradigma pembangunan yang selama ini dominan. Artinya, diperlukan pemindahan atau pengoperan kekuatan dan inisiatif berusaha dari kelompok kuat kepada kaum miskin tersebut. Persepsi bahwa kebijakan pemberdayaan harus dikaitkan dengan program pemberian bantuan lunak secara bergilir (revolving grant) juga mengandung bahaya, sebab hal ini justru menciptakan ketergantungan masyarakat. Dengan kata lain, program micro credit atau micro finance bagi penduduk miskin mencerminkan budaya aparatur pemerintah yang masih berorientasi top down dan patronizing yang terlalu kuat, baik dalam kebijaksanaan maupun perencanaan. Sikap ini sering menimbulkan kondisi ketergantungan (dependency) dan kurang menimbulkan keswadayaan masyarakat lokal. Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut mendorong Community Development kearah yang lebih maju. Pada saat ini Community Development telah mengalami proses pengayaan sehingga menjadi sebuah pendekatan yang multi aspek dan secara umum terdiri dari beberapa aspek kunci sebagai berikut (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002):
Universitas Sumatera Utara
1. Adalah sebuah proses “akar rumput”. Community Development merupakan proses yang terjadi di masyarakat lokal dan dilaksanakan di dalam konteks mereka. Community Development bukanlah proses yang dapat didesain dan diproses dari atas. 2. Menjadi lebih swadaya (self-reliance). Banyak kegiatan yang dinamakan Community Development dalam kenyataan justru menumbuhkan ketergantungan masyarakat lokal terhadap aktor luar. Apabila hal ini terjadi, maka kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya bukan Community Development karena Community Development pada dasarnya adalah upaya menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri dengan membuat masyarakat menjadi swadaya. 3. Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning communities). Menjadi swadaya menuntut masyarakat lokal untuk mampu belajar dari pengalamannya sendiri untuk menjawab tantangan yang akan muncul dikemudian hari. 4. Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan. Keberhasilan Community Development bukan sekedar bahwa kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan (output). Apapun kegiatan dan oleh siapa saja, Community Development hanya dianggap berhasil bila mampu mengurangi kerentanan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
5. Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan. Peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam sebagian besar kegiatan Community Development adalah sasaran yang menjadi pondasi bagi pencapaian sasaran lain yang lebih jauh. 6. Menguatnya modal sosial Dalam komunitas masyarakat miskin yang tidak memiliki modal financial, modal sosial merupakan modal dasar yang memungkinkan masyarakat lokal bertahan hidup dan mengembangkan aktivitas ekonomi. Community Development dilaksanakan dengan menggunakan modal sosial sebagai dasar dari kegiatankegiatan lainnya. 7. Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Pendekatan pemberdayaan masyarakat dipercaya akan mengantar masyarakat dalam berproses untuk mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan keluar sesuai sumber daya yang mereka miliki. Untuk mencapai hasil optimal dalam upaya memberdayakan masyarakat, penggunaan pendekatan tunggal jelas tidak tepat. Perlu dikembangkan pendekatan lain untuk merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai pendekatan baru dalam perumusan kebijakan peberdayaan tersebut, maka perlu ditentukan dua hal; Pertama tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, sedang kedua adalah kategorisasi dari program pemberdayaan itu sendiri. Dalam dimensi dan tingkatan pemberdayaan, merujuk pada kajian UNDP (UNDP, 1998, Capacity Assesment and Development in A System and Strategic
Universitas Sumatera Utara
Management Context, Technical Advisory Paper No.3) paling tidak ada tiga level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni: 1) pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan; 2) pemberdayaan pada level kelompok/ organisasi, yakni yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan; serta 3) pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis maupun politis. Adapun indikator dari masing-masing dimensi dan tingkatan pemberdayaan (UNDP, 1998) dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat Dimensi
Indikator
Level Individu: Pengembangan potensi dan keterampilan
Kepemilikan asset/modal Kekuatan fisik Tidak terisolasi Penguasaan keterampilan Keberfungsian lembaga usaha
Level Kelompok/Organisasi: Partisipasi dalam pembangunan
Perencanaan dan pengambilan keputusan Pelaksanaan dan pengawasan keputusan Bersama
Level Sistem: Kemandirian masyarakat
Pemanfaatan hasil-hasil pembangunan Pengurangan ketergantungan kepada bantuan luar
Sumber: Utomo, 2006
Sementara pada aspek kategorisasi program pemberdayaan, paling tidak ada lima kelompok besar pemberdayaan (Widodo, 2006), yakni:
Universitas Sumatera Utara
1. Penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya seperti
modal,
informasi,
kesempatan
berusaha
dan
memperoleh
kemudahan/fasilitas, dan sebagainya. Pemberian pinjaman lunak, penerbitan dan penyebaran buletin, subsidi bagi pengusaha lemah, dan sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas dalam kategori ini. 2. Peningkatan keseimbangan antara sebuah kondisi yang memiliki keunggulan dengan kondisi lain yang tidak memiliki keunggulan. Sebagai contoh, kawasan perkotaan yang memiliki kelengkapan infrastruktur transportasi dan komunikasi, lembaga keuangan bank dan non-bank, jaringan pemasaran, dan lain-lain adalah contoh kondisi yang memiliki faktor-faktor keunggulan. Di sisi lain, kawasan pedesaan sering dicirikan oleh karakteristik yang sebaliknya. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang bisa mendekatkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan pedesaan dapat digolongkan sebagai pemberdayaan masyarakat. Contoh lain, ada lahan pertanian yang sudah dilengkapi dengan prasarana irigasi sementara lahan lain tidak memiliki prasarana yang sama. Kebijakan pertanian yang ditempuh selama ini lebih banyak difokuskan kepada lahan yang sudah memiliki faktor keunggulan (misalnya jaringan irigasi) dengan alasan untuk mendongkrak produksi panen. Seandainya pemerintah mempromosikan program intensifikasi pertanian untuk lahan yang tidak memiliki jaringan irigasi, maka hal
Universitas Sumatera Utara
ini berarti telah terjadi pemberdayaan pertanian rakyat, sekaligus pemberdayaan petani. 3. Pengembangan potensi masyarakat baik dalam pengertian SDM maupun kelembagaan masyarakat. Setiap upaya untuk merubah kondisi dari bodoh menjadi pintar, dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak tahu menjadi tahu dan sebagainya, jelas sekali merupakan program pemberdayaan. Aktivitas semacam pelatihan, penyuluhan dan kursus-kursus yang diselenggarakan secara sistematis dengan tujuan memperkuat potensi masyarakat, adalah contoh nyata dari aksi pemberdayaan. Demikian pula, setiap upaya yang ditujukan untuk memperkuat keberfungsian atau meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A), dan sebagainya dapat dikelompokkan sebagai kebijakan pemberdayaan. 4. Penyediaan stimulus untuk membangkitkan swadaya dan swakelola dalam bidang pelayanan umum. Dalam banyak kasus ditemukan adanya fenomena bahwa masyarakat (khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan), telah memiliki kemapuan ekonomis dan manajerial yang memadai untuk mengelola suatu kegiatan tertentu seperti perbaikan jalan dan gorong-gorong, penyediaan air bersih melalui pembangunan sumur artesis atau sistem bak penampungan, dan sebagainya. Hanya saja, hal ini sering terbentur pada kendala koordinasi dan inisiatif untuk memulainya. Dalm situasi seperti itulah, kebijakan pemerintah untuk mengucurkan stimulant atau
Universitas Sumatera Utara
pernagsang, sangat berarti. Stimulant di sini bisa berwujud pemberian perijinan, bantuan teknis, atau pemberian dana suplemen bagi suatu kegiatan tertentu. 5. Penyertaan masyarakat atau kelompok masyarakat daam proses perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan. Seiring dengan paradigma pembangunan yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development). Rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai elemen kunci dalam perumusan dan implementasi kebijakankebijakan pembangunan. Beberapa contoh program pemberdayaan yang masuk dalam kategori ini misalnya pembentukan forum konsultasi pembangunan, deregulasi perijinan pendirian LSM atau NGO, eliminasi perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas (keturuan, wanita, penduduk asli/pendatang, dll), dan sebagainya. Langkah selanjutnya dalam menganalisis kebijakan pemberdayaan adalah menetapkan bidang dan strategi pencapaiannya. Dalam hal ini, paling tidak ada empat bidang pencapaian untuk mengakselerasi kebijakan pemberdayaan, yakni ekonomis, sosial budaya, politis/administratif, serta prasarana. Sebagai contoh, untuk kategori pemberdayaan yang pertama yakni “penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya”, secara ekonomis hal ini dicapai dengan pemberian pinjaman lunak dan subsidi bagi pengusaha lemah, penyebaran informasi peluang pasar domestik dan internasional, atau melalui pemberian dana suplemen. Sementara dari aspek sosial budaya dapat ditempuh melalui penerbitan dan penyebaran buletin, penyediaan sarana promosi/pengadaan pekan promosi, promosi
Universitas Sumatera Utara
program intensifikasi sektoral seperti pertanian, serta penyelenggaraan kursus dan berbagai macam pelatihan. Dalam aspek politis/administratif dapat dilakukan langkah-langkah strategis seperti membangun kemitraan dengan sektor swasta, memperkuat fungsi atau efektivitas lembaga kemasyarakatan, memberikan kemudahan dalam proses perijinan (deregulasi), menghilangkan perlakuan yang diskriminatif terhadap masyarakat dan dunia usaha, membangun forum konsultasi pembangunan, dan sebagainya. Adapun dari aspek infrastruktur dapat dipertimbangkan unutk beberapa langkah seperti pembukaan daerah terisolir melalui pembangunan jalan tembus, bantuan material fisik sebagai bentuk rangsangan dan sebagainya. Keterlibatan tersebut, juga didukung oleh Blakely (1991) yang mengatakan bahwa: “Local government, community development process”. Pandangan Blakely sejalan pula dengan paradigma baru pembangunan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah pembangunan di suatu daerah, harus dilaukan melalui institusional radicalization, yaitu kembali ke akar kelembagaan yang tumbuh (berada) di tengahtengah masyarakat itu sendiri. Sering terjadi, Community Development justru mengubah keseimbangan elemen-elemen dalam masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi maka dalam jangka panjang akan merugikan masyarakat. Community Development sebaiknya dilaksanakan dengan mempertahankan perspektif keseimbangan yang ada di masyarakat lokal.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Riza dalam info URDI Vol. 16, 2002, Community Development agar dapat dilaksanakan secara efektif perlu didasarkan pada beberapa pemahaman dasar seperti di bawah ini: 1. Upaya jangka panjang. Community Development merupakan sebuah proses terus menerus (on-goig process) yang menuntut lebih kepada pengembangan kelembagaan dan bukan serangkaian aktivitas dalam kerangka proyek. 2. Terbuka dan setara. Community Development adalah proses yang terbuka terhadap berbagai masukan dan pengaruh sesuai kondisi lokal. Untuk itu sikap yang melibatkan berbagai stakeholder Community Development secara setara menjadi keharusan. Sikap ini merupakan prasyarat untuk mengembangkan partisipasi. 3. Milik masyarakat. Community Development merupakan aktivitas yag dimiliki oleh masyarakat. Karenanya desain, proses, dan pengembangannya dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat lokal. 4. Berdasar pada pengalaman kasus-kasus yang baik (best practices). Community Development merupakan bagian dari proses sejarah masyarakat lokal. Community Development terutama dengan perspektif Appreciative Inquiry melihat bahwa di masyarakat banyak hal-hal positif yang dapat menjadi batu pijakan melaksanakan berbagai aktivitas lainnya. Dengan demikian Community Development yang dikembangkan sebagai respon sesaat pada isu atau kecenderungan tertentu, membuat masyarakat tidak dapat berpartisipasi, dan dilaksanakan terisolasi dari sektor-sektor lain pada dasarnya bukanlah Community Development.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Konsep Pengembangan Wilayah Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses literatif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalamanpengalaman praktis sebagai bentuk penerpannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argument bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 1970-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah di atas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Di antaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber
daya
alam
akan
mampu
mempercepat
pengembangan
wilayah.
Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memeperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sistem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, missal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris di atas, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian
Universitas Sumatera Utara
upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Berpijak pada pengertian di atas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan
wilayah
yang
bersifat
komprehensif
dan
holistik
dengan
mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumber daya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hokum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.
2.4. Pengertian dan Peranan Ilmu Pembangunan Wilayah Ilmu pembangunan wilayah merupakan ilmu yang relatif masih baru. Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu: geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan wilayah setidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar analisis, yaitu: (1) analisis biogeofisik; (2) analisis ekonomi; (3) analisis sosiobudaya; (4) analisis kelembagaan; (5) analisis lokasi; (6) analisis lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Rustiadi et al. (2002) menyebutkan bahwa lingkup kajian perencanaan pengembangan wilayah sangat luas, sebagai bidang kajian yang membentang dari lingkup ilmu yang bersifat multidisiplin, mencakup bidang-bidang ilmu mengenai fisik, sosial ekonomi hingga manajemen. Dari sisi proses kajian pembangunan mencakup hal-hal mengenai: (1) aspek pemahaman, yakni aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar wilayah, dalam konteks ini pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem merupakan alat (tools) penting yang perlu dipahami, untuk mengenal dan mendalami permasalahan-permasalahan maupun potensi-potensi pembangunan wilayah, (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknik-teknik desain dan pemetaan hingga perencanaan, dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan-pendekatan evaluasi, perumusan tujuan-tujuan pembangunan serta proses melaksanakannnya, mencakup proses-proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan. Secara harfiah, Rustiadi et al (2002) menyebutkan bahwa regional science dapat dipandang sebagai ilmu yang mempelajari aspek-aspek dan kaidah-kaidah kewilayahan, dan mencari cara-cara yang efektif dalam mempertimbangkan aspekaspek dan kaidah-kaidah tersebut ke dalam proses perencanaan pengembangan kualitas hidup dan kehidupan manusia. Dalam hal ini regional science tidak didefinisikan
sebagai
‘ilmu
yang
mempelajari
bagaimana
merencanakan
pembangunan di suatu wilayah’, karena pengertian demikian tidak memberikan spesifikasi yang jelas terhadap bidang keilmuan regional science. Secara ilustrasi,
Universitas Sumatera Utara
walaupun kata ‘di suatu wilayah’ itu dihilangkan, kita tetap bisa menangkap suatu pemahaman bahwa setiap pembangunan pasti dilakukan pada suatu wilayah atau areal tertentu. Padahal penambahan kata ‘wilayah’ ini dimaksudkan untuk memberikan kekhasan bahwa regional science adalah bidang ilmu yang berbeda dengan bidang-bidang ilmu perencanaan pembangunan lainnya, yakni dengan adanya penekanan terhadap pentingnya pertimbangan dimensi kewilayahan. Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan pentingnya ilmu pembangunan wilayah dalam konteks pembangunan di Indonesia dan wilayah
pesisir pada
khususnya, dikarenakan: 1. Indonesia merupakan negara kepulauan, di mana kegiatan-kegiatan pembangunan saat ini dipusatkan di bagian barat. Konsentrasi demikian menimbulkan isu pengembangan wilayah ‘outer island’ yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang berdimensi wilayah. 2. Pembangunan masa lalu lebih menitikberatkan pada pembangunan daratan dari lautan, sehingga pembangunan pesisir relatif tertinggal. Masyarakat pesisir relatif lebih miskin dari wilayah daratan lainnya. Kondisi ini diperburuk dengan posisi politik nelayan yang relatif lemah dibanding dengan posisi lainnya. 3. Letak geografis Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh faktor geologis dan ekologis yang menyebabkan keragaman lingkungan. 4. Keragaman
kultural
menyebabkan
adanya
perbedaan
persepsi
terhadap
pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
5. Sifat pembangunan politik di Indonesia yang diwarnai oleh kekuatan politik wilayah. 6. Adanya kebijakan otonomi daerah, yang merupakan antisipasi terhadap maraknya tuntutan lepasnya beberapa daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diharapkan pemerintah dapat membangun sesuai kebutuhan dan kemampuannya sendiri. 7. Pembangunan Indonesia masih bersifat sektoral, sehingga hasil yang dicapai tidak optimal. Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah (Anwar, 1999). 2.5. Konsep Ruang dan Wilayah Ruang atau kawasan sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan karena merupakan wadah yang utama di wilayah pesisir. Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran.
Universitas Sumatera Utara
Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001). Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan definisi wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama. Disamping itu, perlu pula diperhatikan bahwa kegiatan sosial ekonomi dalam ruang dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap kegiatan lainnya. Rustiadi et al. (2002) membagi konsep wilayah atas enam jenis. Adapun konsep enam jenis wilayah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Konsepkonsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik di mana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing masing wilayah;
Universitas Sumatera Utara
(3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel
hidup”
yang
mempunyai
inti
dan
plasma.
Inti
adalah
pusat-pusat
pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini sebagai wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam pengelolaan sumberdayasumberdaya didalamnya.
2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Rika tahun 2007, yang berjudul “Dampak Proyek MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) Terhadap Pengembangan Wilayah Desa Gambus Laut Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Proyek MCRMP berdampak cukup
Universitas Sumatera Utara
signifikan terhadap jumlah produksi ikan, harga jual ikan dan pendapatan masyarakat, pengembangan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat serta pengembangan wilayah di desa Gambus Laut Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan. Dampak proyek ini antara lain berpengaruh terhadap kenaikan jumlah produksi ikan, harga jual ikan dan pendapatan masyarakat. Selain itu peranan institusi yang semakin meningkat, khususnya kelompok nelayan yang berakibat terhadap peningkatan aktivitas ekonomi yang secara bersama-sama mengakibatkan pengemangan wilayah Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan. Hasil
penelitian
Kaharu
dan
kawan-kawan
tahun
2000
tentang
“Pemberdayaan LKMD Bagi Pembangunan Masyarakat Lokal (Studi Kasus di Kota Gorontalo)” menunjukkan bahwa: 1. Pemberdayaan LKMD Kota Gorontalo bagi pembangunan masyarakat lokal di lihat dari segi perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian telah menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan adanya upaya mereka dalam menyusun perencanaan pembangunan setelah melewati proses pertemuan, rapat atau musyawarah. Kegiatan seperti ini sebagai perwujudan upaya meningkatkan kesatuan visi dalam hal melihat sifat dan luasnya masalah, sekaligus memecahkannya. 2. Dalam rangka peningkatan kemampuannya, LKMD Kota Gorontalo selalu berusaha untuk memanfaatkan segala potensi yang ada, berupa sumber daya manusia seperti tingkat pendidikan, pengalaman, tokoh masyarakat atau sesepuh
Universitas Sumatera Utara
desa, sumber daya alam serta sumber dana seperti bantuan desa (Bandes), jarring pengaman sosial (JPS) serta swadaya gotong royong masyarakat. 3. Dalam rangka peningkatan integritas, LKMD Kota Gorontalo berusaha untuk melaksanakan setiap rencana pembangunan yang telah disetujui bersama dengan cara ikut serta dalam pengendalian pembangunan bersama Pembina maupun dinas/instansi terkait lainnya. 4. Bahwa LKMD Kota Gorontalo telah mampu menginterventarisir sekaligus mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan maupun tingkat keberdayaannya, seperti kualitas sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, kesejateraan dan moral. 5. Bahwa LKMD Kota Gorontalo telah mampu mengemukakan kritik secara berani dan transparan tentang kelemahan LKMD selama ini serta mengemukakan saransaran dalam rangka pemberdayaan maupun tingkat keberdayaannya baik menyangkut pengurus, pembina maupun sumber daya lainnya. 6. Bahwa pemberdayaan LKMD Kota Gorontalo bagi pembangunan masyarakat lokal, cenderung mempengaruhi perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan maupun peningkatan pendapatan, yang sifatnya temporer dan terbatas pada mereka yang memiliki keterampilan tertentu saja. 7. Bahwa hasil penelitian ini belum cukup untuk menjawab seluruh pertanyaan penelitian tentang pemberdayaan LKMD bagi pembangunan masyarakat lokal do Kota Gorontalo.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Josua (2007), dalam penelitiannya berjudul “Pola Kemitraan dalam Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada Program Community Development PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir”, menyimpulkan bahwa motif utama PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. menggulirkan kebijakan paradigma baru sebagai deskripsi tanggung jawab sosialnya adalah untuk mengamankan operasional pabrik. Sehingga motif tersebut mengaburkan aspek kerelaan (voluntarism) dan kemitraan yang dibangun atas dasar hubungan sub ordinasi, di mana masing-masing partisipan memiliki status, kemampuan dan kekuatan yang tidak seimbang. Yayasan yang dibentuk idealnya adalah merupakan representasi dari sektor sukarela (voluntary) yang berperan sebagai agen pembaharu (change agent) untuk mendinamisasi program dalam rangka pemberdayaan masyarakat, namun kenyataannya lebih cenderung sebagai korporasi negara.
2.7. Kerangka Pemikiran Berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian dan tujuan penelitian, maka dalam hal ini dapat digambarkan kerangka pemikiran yang menjelaskan bagaimana pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terdiri dari: kemandirian masyarakat, potensi wilayah, integrasi ekonomi dan daerah khusus terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Universitas Sumatera Utara
KEMANDIRIAN MASYARAKAT POTENSI WILAYAH INTEGRASI EKONOMI
PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN ACEH BESAR
DAERAH KHUSUS
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
2.8. Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan serta landasan teori yang tertuang dalam alur pikir sebelumnya maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah: 1. Program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terdiri dari: kemandirian masyarakat, potensi wilayah, integrasi ekonomi dan daerah khusus berpengaruh secara simultan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar. 2. Kemandirian masyarakat berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Universitas Sumatera Utara
3. Potensi wilayah berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar. 4. Integrasi ekonomi berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar. 5. Daerah khusus berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Universitas Sumatera Utara