BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perencanaan Wilayah Sirojuzilam (2010), menjelaskan bahwa: 1). Perencanaan adalah sebuah
cara berfikir yang berorientasi pada masa depan dengan sifat preskriptif menggunakan metoda dan sistematika yang rasional. 2). Perencanaan adalah penyusunan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan (sebuah status yang diiinginkan), tindakan: kegiatan, kelakuan terhadap sesuatu objek yang secara rasional diketahui akan mendekatkan pada status yang diinginkan. Wilayah adalah merupakan satuan ruang geografis yang dibatasi oleh batas-batas fisisk (iklim, air, vegetasi, morfologi), sosial (etnis, budaya, kependudukan), ekonomi (jaringan
produksi-pasar,
pelayanan),
politik
(administrasi pemerintahan,
administrasi fungsional lain) tertentu dengan perkataan lain wilayah mengandung dimensi teritori (daerah) dan fungsi (wilayah). Perencanaan wilayah yang lebih terfocus pada perencanaan pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan dilaksanakannya community planning dan participatory planning. Dengan demikian perencanaan wilayah adalah penerapan metode ilmiah dalam pembuatan kebijakan publik dan upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis dengan tindakan-tindakan dalam domain publik untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sirojuzilam (2007), bahwa perencanaan dapat dilakukan dengan cara-cara: 1.
Menentukan tujuan dan sasaran perencanaan dalam proses politik yang menyertakan seluruh warga (stake holders)
2.
Mengetahui fakta-fakta tentang kondisi yang ada dan latar belakangnya serta memperkirakan apa yang bakal terjadi dalam situasi-situasi tertentu
3.
Mengkaji pilihan-pilihan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran dengan mengingat potensi dan hambatan yang ada
4.
Menentukan pilihan yang terbaik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan normatif maupun teknis di dalam konteks partisipatif
5.
Mengusulkan rangkaian kebijakan dan tindakan yang perlu diambil dalam pelaksanaan pilihan yang diambil
6.
Melakukan langkah-langkah implementasi melalui tindakan sosialisasi, penegakan,
pemberian
insentif
dan
sebagainya
serta
memantau
pelaksanaannya secara sistematik dan teratur
Pengertian perencanaan dapat berbeda antara perencana yang satu dengan perencana lainnya. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan sudut pandang, perbedaan fokus perhatian dan perbedaan luasnya bidang yang tercakup dalam perencanaan yang dimaksud (Tarigan,2008). Menurut Soemarno (2004), Perencanaan adalah suatu proses yang berkesinambungan (kontinyu) sejak dari tahap survei hingga tahap pelaksanaan (implementasi). Pada kenyataannya proses perencanaan merupakan kegiatan yang tidak pernah selesai, karena selalu
Universitas Sumatera Utara
memerlukan peninjauan ulang atau pengkajian guna memberikan umpan balik dalam proses evaluasi. Dalam proses penentuan alternatif, pemilihan alternatif dan evaluasi diperlukan analisis yang seksama donkomprehensif. Analisis merupakan uraian atau usaha untuk mengetahui arti suatu keadaan. data, informasi atau keterangan mengenai suatu keadaan diurai dan dikaji hubungannya satu sama lain, diselidiki kaitan yang ada antara yang satu dengan yang lainnya. Analisis wilayah (regional) adalah suatu upaya melihat berbagai faktor perkembangan dalam skala wilayah, sementra daerah dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang batasannya ditentukan oleh beberapa faktor yaitu tujuan, skala, dan proses. Tujuan sangat besar pengaruhnya terhadap proses perencanaan. Lebih lanjut Soemarno (2004), menjelaskan bahwa pada setiap pembuatan perencanaan diharapkan perencana harus sudah mengetahui atau menetapkan tujuannya dan untuk siapa perencanaan tersebut dibuat. Dalam konteks ini proses perencanaan dapat diartikan sebagai suatu usaha memaksimumkan segala sumber daya yang ada pada suatu wilayah atau negara untuk tujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan penduduknya. Untuk dapat menerapkan asas memaksimumkan manfaat segala sumber daya dengan meminimumkan dana masyarakat, diperlukan kemampuan analisis atas kedua faktor yang tidak saling terkait tersebut. Skala perencanaan mempunyai peranan penting pula. Secara teori perencana dapat mencakup seluruh dunia atau lebih kecil yaitu batas wilayah negara. Sebagai contoh, dapat dikemukakan perencanaan daerah aliran sungai yang menembus batas wilayah negara. Pada umumnya perencanaan dilakukan dalam skala nasional, wilayah dan setempat. Setiap cita-cita dan tujuan suatu
Universitas Sumatera Utara
negara dituangkan dalam rencana/rancangan nasional yang kemudian dipecahpecah ke dalam rancangan wilayah. Dalam pelaksanaannya ke sasaran terakhir, rancangan wilayah diterjemahkan ke dalam rencana setempat. Dari sini terlihat, rancangan daerah merupakan jembatan antara rancangan nasional dan rancangan setempat (Soemarno, 2004). Menurut Tarigan (2008) dinyatakan bahwa definisi yang sangat sederhana terhadap perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi seperti ini pada dasarnya tidaklah salah namun tidak mampu memberikan gambaran atas suatu perencanaan yang rumit dan luas. Definisi seperti ini hanya cocok untuk perencanaan sederhana yang tujuannya dapat ditetapkan dengan mudah dan tidak terdapat faktor pembatas yang berarti untuk mencapaui tujuan tersebut. Faktor perencanaan lainnya ialah proses daerah maupun kota selalu berubah. Keadaan sosial akan berubah,lambat atau cepat. Bebagai perubahan ini tentu saja akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat sehingga selanjutnya berpengaruh pula pada keadaan fisik daerah/kota. Daerah atau kota yang mengalami urbanisasi besar, mengalami perubahan ekonomi dan fisik yang juga bergerak dengan cepat seperti di pulau Jawa dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Pola dan laju proses perkembangan masyarakat, ekonomi, politik dan lainnya dapat dikaji untuk dijadikan bahan pertimbangan pokok bagi penentuan kebijakan perencanaan. Kebijakan ini menyangkut beberapa aspek penting selain menentukan apa yang dikembangkan, juga harus menentukan bagaimana, kapan, dan berapa besar pengembangannya. Melihat pola dan laju perkembangan
Universitas Sumatera Utara
penduduk, seorang perencana kota akan dapat menentukan segala kebutuhan yang diperlukan pada 10 tahun mendatang. Hal ini sudah mencakup pertanyaan apa dan kapan. Dalam perencanaan hal tersebut belumlah cukup dan masih harus dilengkapi dengan pengetahuan "berapa besar" pengembangan yang sebenarnya dibutuhkan, dan "bagaimana" mewujudkannya. Berbagai kesulitan akan dihadapi dalam pekerjaan analisis, terutama yang menyangkut data, definisi daerah atau kota, penentuan batas daerah perencanaan dan lainnya. Dalam pekerjaan analisis seringkali dihadapi berbagai kesulitan antara lain ketersediaan data dan penentuan daerah perencanaan (Soemarno, 2004). Menurut Tarigan (2008), bahwa langkah-langkah dalam perencanaan wilayah dinyatakan oleh Glasson bahwa “Major features of general planning include a sequence of action wich are designed to solve problems in the fiture” sehingga perencanaan dalam pengertian umum adalah menyangkut serangkaian tindakan yang ditujukan untuk memecahkan persoalan di masa depan. Glasson menetapkan urutan langkah-langkah perencanaan wilayah sebagai berikut: 1.
The identification of problems
2.
The formulation of general goals and more specific and measureable objectives relating to the problems
3.
The identification of possible constraints
4.
Projection of the future situation
5.
The generation and evaluation of alternative courses of action and the production of preferred plan wich in generic form may include any policy statement or strategy as well as definitive plan
Universitas Sumatera Utara
Untuk
kebutuhan perencanaan wilayah di
Indonesia,
apa
yang
dikemukakan oleh Glasson masih perlu diperluas setidaknya memerlukan unsurunsur yang urutan atau langkah-langkahnya sebagai berikut (Tarigan, 2008): 1.
Gambaran kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Untuk dapat menggambarkan kondisi saat ini dan permasalahan yang dihadapi mungkin diperlukan kegiatan pengumpulan data terlebih dahulu baik data sekunder maupun data primer
2.
Tetapkan visi, misi dan tujuan umum. Visi, misi dan tujuan umum haruslah merupakan kesepakatan bersama sejak awal
3.
Identifikasi pembatas dan kendala yang sudah ada saat ini maupun yang diperkirakan akan muncul pada masa yang kan datang
4.
Proyeksikan berbagai variabel yang terkait baik yang bersifat controllable (dapat dikendalikan) maupun non-controllable (di luar jangkauan pengendalian pihak perencana)
5.
Tetapkan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu yaitu berupa tujuan yang dapat diukur
6.
Mencari dan mengevaluasi berbagai alternatif untuk mencapai sasaran tersebut. Dalam mencari alternatif perlu diperhatikan keterbatasan dana dan faktor produksi yang tersedia
7.
Memilih alternatif yang terbaik, termasuk menentukan berbagai kegiatan pendukung yang akan dilaksanakan
8.
Menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
9.
Menyusun kebijakan dan strategi agar kegiatan pada tiap lokasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan
Menurut Friedmann (2001), dinyatakan bahwa perencanaan wilayah hampir merupakan suatu upaya dalam membuat suatu formula bagi pusat-pusat pertumbuhan dengan mengabaikan dimensi-dimensi lain dari kebijakan wilayah atau teritorial seperti kebijakan-kebijakan khusus yang menjadi latar belakang diskusi akademik. Dalam perencanaan wilayah perhatian tidak hanya diberikan sebatas pada sumberdaya alam, impelementasi politik dan organisasi administrasi bagi pembangunan pedesaan namun pada semua aspek kehidupan masyarakat. Definisi perencanaan wilayah yang lebih komprehensif dan mungkin dengan orientasi yang berbeda diberikan oleh Profesor Kosta Mihailovic yang menyebutkan bahwa pembangunan wilayah diartikan sebagai perubahan sosial ekonomi dalam berbagai tipe wilayah, hubungan interregional yang dinamis dan faktor-faktor relevan yang memiliki keterkaitan dengan tujuan dan hasil dari pembangunan. Faridad (2003) mendefinisikan perencanaan wilayah sebagai suatu aplikasi dari model pertumbuhan bagi perencanaan pembangunan dengan rujukan yang sangat jelas dalam dimensi ruang bagi proses pembangunan. Sebagai alternatif, hal ini dapat ditunjukkan sebagai persiapan action plan pemerintah dengan mempertimbangkan aktivitas ekonomi dan pembangunan wilayah. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya:
Universitas Sumatera Utara
1.
Walter Isard, sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya.
2.
Hirschmann, pada era 1950-an yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development).
3.
Myrdal, pada era 1950-an dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect.
4.
Friedmann, pada era 1960-an yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem
pembangunan
yang
kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. 5.
Terakhir adalah Douglass pada era 1970-an yang memperkenalkan lahirnya
model keterkaitan desa–kota
(rural–urban linkages) dalam
pengembangan wilayah.
Melihat latar belakang dari para pelopor ilmu wilayah (regional science) tersebut, maka dalam perkembangannya sense Ilmu Ekonomi terlihat sangat menonjol, namun demikian mengingat bahwa permasalahan pembangunan wilayah pada umumya sangat luas (mencakup ekonomi, sosial, lingkungan fisik, dan prasarana) maka secara harfiah ilmu wilayah dapat dipandang sebagai ilmu yang mempelajari aspek-aspek dan kaidah-kaidah kewilayahan, dan mencari caracara yang efektif dalam mempertimbangkan aspek-aspek dan kaidah-kaidah
Universitas Sumatera Utara
tersebut ke dalam proses perencanaan pengembangan kualitas hidup dan kehidupan manusia (Rustiadi, 2009). Lebih lanjut Kajian perencanaan dan pengembangan
wilayah
selanjutnya
didasarkan
pada
upaya
untuk
memenuhi kebutuhan ilmu-ilmu kewilayahan yang berkembang kearah kebijakan dan perencanaan. Bidang kajian ini berupaya menjawab permasalahan perkembangan wilayah yang tidak terbatas pada “mengapa” namun hingga “bagaimana” suatu wilayah dibangun. Jawaban dari “bagaimana” selanjutnya akan mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat spasial (spatial planning), rencana penggunaan lahan/tataguna lahan (land use planning) hingga ke perencanaan-perencanaan kelembagaan pembangunan, termasuk proses-proses perencanaan itu sendiri (Rustiadi, 2009). Berbagai teori dan konsep dalam pengembangan wilayah tersebut di atas juga diperkaya oleh gagasan yang dikemukan oleh pemikir dalam negeri diantaranya dikemukakan oleh Sutami pada era 1970-an dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu mempercepat
pengembangan
wilayah,
selain
itu
juga pemikiran
yang
dikemukakan oleh Poernomosidhi pada era transisi memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota.
2.2
Pilar Pengembangan Wilayah Menurut Alkadri et al (2011), berbagai upaya yang dilaksanakan dalam
rangka pembangunan suatu wilayah harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, hal ini dapat berupa berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
pemerintah atau masyarakat setempat. Dalam mengembangkan wilayah terdapat dua pendekatan yang dilakukan yakni pendekatan sektoral atau fungsional yang dilaksanakan melalui departemen atau instansi sektoral, dan pendekatan regional atau teritorial yang dilakukan oleh daerah atau masyarakat setempat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini cenderung didominasi oleh program-program yang sangat sektoral, sehingga program yang dilaksanakan dan dihasilkan sering kurang mencerminkan keinginan dari masyarakat setempat yang pada akhirnya banyak dijumpai hasil pembangunan yang tidak termanfaatkan secara optimal. Pemberian otonomi kepada daerah diharapkan dapat mengurangi dominasi dari program-program sektoral sehingga pendekatan sektoral lebih bersifat mendukung program-program regional atau teritorial. Lebih lanjut Alkadri et al (2011), pengembangan wilayah adalah usaha mengawinkan secara harmonis sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM) dan teknologi dengan memperhatikan daya tampung lingkungan. Secara lebih luas teknologi dibagi menjadi empat komponen yakni technoware, humanware, inforware dan orgaware. Keempat komponen selalu berperan dalam sebuah proses transformasi dalam merubah input menjadi output. Tiga pilar pengembangan wilayah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1. Dalam kegiatannya, pengembangan wilayah harus disertai community development. Selain memanfaatkan sumber daya alam melalui teknologi, sumber daya masusia juga harus dikembangkan. Berkembangnya suatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat pemanfaatan dari ketiga sumber daya tersebut, sehingga upaya
Universitas Sumatera Utara
pengembangan yang harus dilakukan akan berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain
Gambar 2.1 Tiga Pilar Pengembangan Wilayah Sumber: Alkadri et al (2011)
2.3
Bencana Menurut Fadillah (2010), bahwa UNISDR (2009) mendefinisikan bencana
sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Bencana merupakan hasil dari kombinasi: pengaruh bahaya (hazard), kondisi
Universitas Sumatera Utara
kerentanan (vulnerability) pada saat ini, kurangnya kapasitas maupun langkahlangkah untuk mengurangi atau mengatasi potensi dampak negative. Bencana dapat dibagi 2 jenis yaitu utama yaitu bencana alam dan bencana teknologi. Sementara itu bencana alam terdiri dari tiga: 1. Bencana hydro-meteorological berupa banjir, topan, banjir bandang, kekeringan dan tanah longsor. 2. Bencana geophysical berupa gempa, tsunami, dan aktifitas vulkanik 3. Bencana biological berupa epidemi, penyakit tanaman dan hewan.
Untuk penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan meliputi 5 fase umum, yaitu: 1. Prediction (prediksi) 2. Warning (peringatan) 3. Emergency relief (bantuan darurat) 4. Rehabilitation (rehabilitasi); dan 5. Reconstruction (rekonstruksi). Fase-fase tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan mengacu pada UNISDR (2009).sebagai berikut: 1.
Prediction, dalam fase ini, dilakukan kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan melalui langkah-langkah struktural dan non-struktural. Langkah structural yaitu langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari bencana alam, kerusakan lingkungan dan bencana teknologi. Sedangkan langkah non-struktural yaitu tindakan yang diambil pada saat awal terjadi
Universitas Sumatera Utara
bencana untuk memastikan respon yang efektif terhadap dampak bahaya, termasuk peringatan dini yang efektif dan tepat waktu, serta evakuasi sementara penduduk dan barang dari lokasi terancam bencana. 2.
Warning, fase ini mengacu pada penyediaan informasi yang efektif dan tepat waktu melalui lembaga-lembaga yang terpercaya, agar individu dapat mengambil tindakan untuk menghindari atau mengurangi risiko dan mempersiapkan respon yang efektif
3.
Emergency relief, pemberian bantuan atau pertolongan selama atau segera setelah bencana terjadi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan yang mendasar orang-orang yang terkena. Hal ini dapat langsung dalam jangka pendek atau jangka panjang.
4.
Rehabilitation, fase ini mencakup keputusan dan tindakan yang diambil setelah bencana dengan tujuan untuk memulihkan atau memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat serta mendorong dan memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi risiko bencana.
5.
Reconstruction, fase ini mencakup semua kegiatan yang penting dilakukan dalam jangka panjang yaitu fase prediksi berupa mitigasi dan kesiapsiagaan, fase respon terhadap peringatan dan pemberian bantuan darurat, serta fase pemulihan berupa rehabilitasi dan rekonstruksi. Terdapat kesamaan antara fase pada public project management dan disaster management (Moe dan Patranakul, 2006) yakni unik (tidak ada proyek
yang
sama
sebelum
maupun
setelah),
membutuhkan
pengembangan dan ide baru (tidak ada proyek yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
pendekatan sama persis) dan bersifat sementara (mempunyai fase awal dan akhir).
2.4
Tataguna Lahan Tataguna lahan sangat terkait dengan banjir khususnya lahan yang
berfungsi sebagai penyangga air. Menurut Chow et al (1988), jenis dan peruntukan lahan serta luasan lahan akan berpengaruh terhadap koefisien pengaliran. Sedangkan koefisien pengaliran merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap debit limpasan (runoff) yang mengakibatkan banjir di mana debit limpasan juga dipengaruhi oleh variabel curah hujan dan variabel luas kawasan. Menurut He Fei (2006), Perubahan pemanfaatan lahan, terutama peningkatan penggunaan lahan perkotaan menyebabkan peningkatan aliran sungai, yang membuat risiko banjir juga meningkat. Sementara itu Widyaningsih (2008) hasil penelitiannya tentang tataguna lahan memberikan kesimpulan bahwa korelasi antara lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak berkorelasi negatif (tidak searah) dengan limpasan, debit aliran, erosi dan sedimentasi, tetapi lahan pemukiman, sawah, tegal dan tanah terbuka berkorelasi positif (searah). Korelasi antara tataguna lahan dengan limpasan, Debit aliran, erosi dan sedimentasi di Sub DAS Keduang termasuk tinggi, hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai koefisien korelasi lebih dari 70%. Lahan merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem yang structural dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh berbagai macam sumber daya yang dominan dan
Universitas Sumatera Utara
jenis sumber daya serta intensitas interaksi yang berlangsung antar sumber daya tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penentu sifat dan perilaku lahan bermatra ruang dan waktu. Pengembangan lahan merupakan perubahan guna lahan dari suatu fungsi ke fungsi lain dengan tujuan untuk mendapat keuntungan dari nilai tambah yang terjadi karena perubahan guna lahan tersebut. Tataguna Lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dan fungsi lainnya. Rencana tataguna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, pusat pemerintahan, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Tataguna lahan merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan. Keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Perencanaan tataguna lahan adalah merupakan suatu perencanaan wilayah sesuai dengan kedudukannya dalam prencanaan fungsional. Perencanaan tataguna lahan merupaan kunci untuk mengarahkan pembangunan wilayah. Hal itu ada hubungannya dengan anggapan lama bahwa seorang perencana adalah perencana yang mempunyai pengatahuan secara umum tetapi memiliki suatu pengetahuan khusus. Pengetahuan khusus pada perencana wilayah baik perkotaan maupun perdesaan adalah perencana tataguna lahan. Pengembangan tata guna lahan yang sesuai akan meningkatkan perekonomian suatu kota atau wilayah.
Universitas Sumatera Utara
Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya. Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini, dapat menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak berkelanjutan dan menyebabkan suatu lahan menjadi tidak produktif. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Bab 1 Pasal 1 ditetapkan, antara lain bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lain hidup dan melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendaian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis dan penataan ruangnya diprioritaskan.
Universitas Sumatera Utara
Pada wilayah yang belum tersentuh manusia dan belum dirasakan manfaat keberadaannya oleh manusia, tata ruang terbentuk tanpa direncanakan lebih dahulu, tetapi terjadi dengan sendirinya karena kekuatan alam yang ada di dalamnya. wilayah yang sudah ada kegiatan manusia, atau sudah dirasakan manfaat keberadaannya oleh manusia, tata ruang terbentuk baik direncanakan lebih dahulu maupun tidak. Tata ruang mencakup tata ruang di wilayah yang sudah ada kegiatan manusia atau yang sudah dirasakan manfaat keberadaannya oleh manusia, terutama tata ruang yang telah direncanakan lebih dahulu. Karena itu, terbentuknya tata ruang sebagian atau seluruhnya, merupakan hasil kegiatan atau proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ketiga proses itu disebut penataan ruang. Selanjutnya difokuskan pada aspek yang memerlukan peran teknik sipil, yaitu aspek prasarana dan sarana di bidang transportasi, keairan, teknik penyehatan dan struktur yang bersifat statis. Tata ruang pada hakekatnya adalah tata letak berbagai kegiatan sosialekonomi masyarakat serta prasarana dan sarana yang diperlukan. Untuk melangsungkan berbagai kegiatan sosial-ekonomi masyarakat dengan berdaya guna dan berhasil guna, prasarana dan sarana yang diperlukan harus diadakan atau dibangun lebih dahulu. Dalam pembangunan berbagai prasarana dan sarana tersebut diperlukan peran teknik sipil. Pertimbangan teknik sipil dalam penataan ruang berpengaruh terhadap biaya pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana. Agar biaya dapat diusahakan serendah mungkin, peran teknik sipil harus dilibatkan pada seluruh proses penataan ruang. Dalam
Universitas Sumatera Utara
perencanaan tata ruang, teknik sipil berperan dalam menetapkan letak atau lokasi semua kegiatan sosial ekonomi beserta prasarana dan sarana yang diperlukan termasuk memperkirakan biaya pembangunannya. Pada tahap pemanfaatan ruang, teknik sipil akan berperan dalam desain, pembangunaan, operasi serta pemeliharaan prasarana dan sarana agar keselamatan teknis dapat dijamin dan biaya dapat diusahakan serendah mungkin. Pada tahap ini teknik sipil berperan pula dalam menghitung biaya yang diperlukan. Pada proses pengendalian pemanfaatan ruang, teknik sipil turut berperan dalam berbagai pemberian izin dan persetujuan yang diperlukan, serta pengawasan terhadap dipatuhinya persyaratan yang tercantum dalam izin/persetujuan. Aspek teknik sipil dalam penataan ruang mencakup prasarana dan sarana transportasi, keairan, teknik penyehatan dan struktur. Prasarana transportasi, antara lain, jalan raya dan jalan rel dengan jembatan dan terowongan serta terminal/stasiun, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan pelabuhan udara. Prasarana keairan, antara lain, bendungan, waduk, saluran irigasi, saluran air baku untuk air bersih, saluran drainase, tanggul banjir, saluran pengelak banjir (banjir kanal) dan rumah pompa. Prasarana teknik penyehatan, antara lain, bangunan penjernihan air, saluran pembuangan limbah cair, bangunan pengolah limbah cair, tempat pembuangan dan pengolahan sampah. Struktur mencakup struktur bangunan gedung, antara lain, untuk industri, perdagangan, perkantoran, pendidikan, pelayanan kesehatan, peribadatan dan rekreasi. Biaya pembangunan prasarana dan sarana dipengaruhi keadaan di tempat atau lingkungan di mana prasarana dan sarana akan dibangun. Keadaan tersebut mencakup keadaan
Universitas Sumatera Utara
ekonomi dan sosial masyarakat maupun fisik/alam. Sebagai contoh, jalan yang dibangun melalui rawa lebih mahal dibanding jalan yang dibangun melalui tanah kering dan keras. Jalan yang dibangun melalui wilayah berbukit lebih mahal dibanding jalan yang dibangun melalui wilayah relatif rata. Jalan yang dibangun melalui permukiman padat lebih mahal dibanding jalan yang dibangun melalui wilayah kosong. Bangunan yang didirikan di tanah lembek dan dalam lebih mahal dibanding bangunan yang didirikan di tanah keras. Pembangunan prasarana dan permukiman sejauh mungkin menghindari wilayah rawan longsor agar tidak mengalami kerusakan akibat longsor. Jembatan yang dibangun di bantaran sungai yang relatif lebar lebih mahal dibanding jembatan yang dibangun di bantaran sungai sempit. Jembatan harus dibangun di tempat yang aman dari gerusan air sungai untuk menghindari ambruknya jembatan karena gerusan tanah di sekitar pondasi atau tiang jembatan. Waduk sedapat mungkin dibangun di wilayah yang porositas tanahnya rendah dan tidak di tempat retakan kulit bumi agar tidak bocor dan tidak merusak bendungannya. Ukuran dan kapasitas prasarana dan sarana yang dibangun harus sesuai skala kegiatan sosial-ekonomi yang memerlukannya. Sebagai contoh, lebar jalan yang akan dibangun harus sesuai volume lalu lintas, kekuatannya harus sesuai beban kendaraan yang lewat. Kapasitas atau debit irigasi harus sesuai luas wilayah dan jenis tanah serta jenis tanaman yang akan diairi. Kapasitas saluran drainase harus sesuai debit air maksimum yang harus dibuang ke dalamnya, baik air hujan, air buangan rumah tangga, industri, dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Mengingat hal di atas, teknik sipil jelas berperan dalam mewujudkan tata ruang, mulai dari tata ruang makro (wilayah nasional) sampai tata ruang mikro seperti
lingkungan
perumahan,
industri,
perdagangan,
perkantoran
dan
sebagainya. Peran tersebut diperlukan pada proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Karena luasnya wilayah Indonesia dan ada pembagian tugas dalam penataan ruang antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka penataan ruang dilakukan secara bertingkat, yaitu tingkat nasional, tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota. Wilayah perencanaan dapat mencakup seluruh atau sebagian wilayah administrasi. Aspek perencanaan dan kerincian rencana pada setiap tingkatan berbeda pula. Wilayah perencanaan nasional dapat mencakup seluruh wilayah nasional dapat pula hanya beberapa propinsi atau kawasan tertentu. Perencanaan tingkat propinsi dapat mencakup seluruh wilayah propinsi, dapat pula hanya beberapa kabupaten/kota. Perencanaan tingkat kabupaten/kota dapat mencakup seluruh atau sebagian wilayah kabupaten/kota. Tata ruang propinsi harus merupakan penjabaran dan bagian integral dari tata ruang nasional.
Tata ruang kabupaten/kota harus merupakan penjabaran dan
bagian integral dari tata ruang propinsi. Namun, penataan ruang propinsi harus memperhatikan masukan dari kabupaten/kota, penataan ruang nasional harus memperhatikan masukan dari propinsi. Pada akhirnya tata ruang merupakan kompromi antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan ruang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 150 tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa dinyatakan bahwa Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lampau dan masa kini yang bersifat mantap dan mendaur. Sedangkan menurut Sitorus (2004), lahan (land) didefinisikan sebagai bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumber daya yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Menurut Soeryanegara (1978) dalam Sinaga (2007) terdapat tiga aspek kepentingan pokok di dalam penggunaan sumber daya lahan, yaitu (1) lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, memelihara ternak, memelihara ikan dan lainnya; (2) lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa, dan (3) lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia. Pada pengelolaan lahan sering terjadi adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengguna lahan atau sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Hal ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan
Universitas Sumatera Utara
kurang sesuai dengan kapabilitasnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kapabilitas lahan adalah : (1) jenis tanah dan kesuburannya, (2) keadaan lapangan, relief, topografi, dan ketinggian tempat, (3) aksesbilitas, (4) kemampuan dan kesesuaian tanah dan (5) besarnya tekanan penduduk. Besarnya tekanan penduduk dapat mengakibatkan degradasi lahan yang diakibatkan oleh kekeliruankekeliruan dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya lahan. Degradasi tersebut dapat terjadi berupa terjadinya erosi tanah, pencemaran tanah serta akibat yang ditimbulkan oleh interaksi-interaksi antara penggunaan lahan untuk pertanian dan penggunaan lahan untuk kepentingan lainnya di luar pertanian. Penggunaan lahan pertanian biasanya dibedakan berdasarkan komoditi yang diusahakan seperti sawah, tegalan, kebun kopi dan sebagainya. Penggunaan lahan di luar pertanian dapat dibedakan dalam penggunaan perkotaan, perdesaan, pemukiman, industri, rekreasi dan sebagainya. Penggunaan lahan ini sifatnya sangat dinamis sewaktu-waktu bisa berubah. Perubahannya dapat disebabkan oleh bencana alam, dan lebih sering disebabkan oleh campur tangan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya. Peningkatan jumlah penduduk dapat berarti pula peningkatan kebutuhan akan lahan baik untuk pertanian maupun untuk pemukiman.
Peningkatan kebutuhan
lahan ini akan diimbangi dengan
mengintensifkan penggunaan lahan maupun perluasan. Kedua usaha ini merubah lahan baik berupa luasan maupun jenisnya. Berbagai tipe penggunaan lahan dijumpai di permukaan bumi, masingmasing tipe mempunyai kekhususan tersendiri. Tipe penggunaan lahan secara umum
meliputi
pemukiman,
kawasan
budidaya
pertanian,
padang
Universitas Sumatera Utara
penggembalaan, kawasan rekreasi dan lainnya. Badan Pertanahan Nasional mengelompokkan jenis penggunaan lahan sebagai berikut : 1.
pemukiman,
berupa
kombinasi
antara
jalan,
bangunan,
tegalan/pekarangan, dan bangunan itu sendiri (kampung dan emplasemen); 2.
kebun, meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan;
3.
tegalan merupakan daerah yang ditanami umumnya tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami vegetasi yang umum dijumpai adalah padi gogo,singkong, jagung, kentang, kedelai dan kacang tanah;
4.
sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya diairi sejak penanaman hingga beberapa hari sebelum panen;
5.
hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola manusia dengan tajuk yang rimbun, besar serta lebat;
6.
lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia;
7.
semak belukar adalah daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola dengan tajuk yang relatif kurang rimbun.
Kebutuhan sumber daya lahan menjadi faktor proses perubahan penggunaan lahan, yang secara garis besar dibagi menjadi 3 kelompok utama
Universitas Sumatera Utara
yaitu (1) deforestasi baik ke arah pertanian maupun ke non pertanian, (2) konversi lahan pertanian ke non pertanian dan (3) penelantaran lahan. Pada dasarnya aspek permintaan lahan berkaitan dengan kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan efesiensi sosial ekonomis, peningkatan efisiensi industri dan kelembagaan, penurunan tingkah laku spekulatif dan pengelolaan jumlah penduduk.
2.5
Banjir Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan
merendam daratan. Pengarahan banjir Uni Eropa mengartikan banjir sebagai perendaman sementara oleh air pada daratan yang biasanya tidak terendam air, dalam pengertian air mengalir, Banjir diakibatkan oleh volume air di suatu badan air seperti sungai atau danau yang meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan alaminya. Banjir merapakan satu bahaya alam (natural hazard) yang terjadi di alam di mana air menggenangi lahan-lahan rendah di sekitar sungai sebagai akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga air meluap keluar alur melampaui tanggul dan menggenangi daerah sekitarnya seperti dataran banjir dan dataran alluvial (Dibyosaputro, 1998). Banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air (water saving) tidak bisa menahan air limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang berfungsi sebagai daya simpan air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi (Murdiyarso, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitannya dengan siklus hidrologi, memperlihatkan bahwa karakteristik tanah pedesaan, mampu mengendalikan proses sirkulasi hujan secara alamiah, karena daya dukung kemampuan tanah terhadap resapannya. Berbeda dengan penggunaan tanah di perkotaan, karena padatnya bangunan pancang dan beton, hingga menyebabkan pengaturan air secara lamiah relatif terganggu dan dicirikan oleh besaran laju limpasan air, bahkan karena kurang mampunyai daya tampung aliran (saluran drainase dan bantaran sungai), sering menyebabkan genangan (Waryono, 2002) Lebih lanjut Waryono (2002), menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia pada umumnya terletak pada wilayah dataran banjir, baik di pinggir sungai maupun di tepi pantai. Pembangunan pemukiman pada wilayahwilayah dataran banjir, secara ekonomis cukup memberikan rangsangan keminatan bagi penghuninya, selain hamparannya relatif datar, tanahnya subur, dan harganya relatif terjangkau. Namun demikian lokasi pemukiman yang cukup strategis serta secara ekonomis sering memiliki resiko besar terhadap genangan (banjir). Hal ini mengingat bahwa pemilihan lokasi lebih cenderung pada kantong-kantong air, atau lahan basah yang dialih fungsikan menjadi komplekkomplek pemukiman. Oleh karena itu banjir tidak selayaknya hanya dilihat dari sisi bencana yang terjadi, akan tetapi akan lebih arif apabila ditinjau dari keruangan alamiahnya bahkan akan lebih menjamin kenyamanan lingkungan apabila dipertimbangkan dari faktor-faktor lingkungan dalam suatu hamparan daerah aliran sungai (DAS). Pendapat tentang fenomena banjir di wilayah perkotaan, ditinjau dari sistem DAS yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik dan karakteristik curah
Universitas Sumatera Utara
hujannya; dan secara garis besar disebabkan oleh pembangunan pemukiman di dataran banjir, perubahan penggunaan tanah, curah hujan yang tinggi, dan saluran badan sungai mengecil, serta pendangkalan yang terjadi pada badan-badan sungai. Menurut mononobe bahwa debit kawasan dipengaruhi oleh koefisien pengaliran, intensitas hujan dan luas daerah pengaliran. Koefisien pengaliran tergantung dari jenis tataguna lahan atau peruntukan lahan dan luasan lahan yang berpengaruh terhadap peresapan air ke dalam tanah. Intensitas hujan merupakan besaran hujan pada suatu kawasan. Daerah pengaliran adalah luasan suatu wilayah yang akan mengalirkan air. Apabila debit kawasan tidak mampu dialirkan oleh saluran yang ada baik berupa sungai atau saluran drainase maka akan terjadi limpasan permukaan yang menyebabkan terjadinya genangan yang disebut banjir. Menurut Sastrodihardjo (2010), Banjir didefnisikan sebagai kejadian genangan sementara yang alami terjadi pada dataran banjir (floodplain) ketika air hujan jatuh melimpas menjadi aliran permukaan dan menimbulkan kerugian baik materi maupun non-materi. Definisi lain menyatakan bahwa banjir adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia. Aktivitas manusia (proses man-made) yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya banjir. Aktivitas manusia tersebut seperti: pembudidayaan di daerah dataran banjir; peruntukan tata ruang di
Universitas Sumatera Utara
dataran banjir yang tidak sesuai; belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir; permukiman di bantaran sungai; sistem drainase yang tidak memadai; terbatasnya tindakan mitigasi banjir; kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai; penggundulan hutan di daerah hulu; terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir; elevasi bangunan tidak memperhatikan peil banjir. Dari berbagai faktor penyebab bencana banjir tersebut, maka banjir dapat dikategorikan menjadi: 1.
Banjir akibat Sungai, terjadi karena luapan air sungai di mana kapasitas penyimpanan dan pengaliran air di sungai terlampaui akibat curah hujan yang tinggi selama beberapa hari dengan intensitas rendah (hujan siklonik atau frontal). Jenis banjir ini termasuk yang paling sering terjadi di Indonesia.
2.
Banjir Bandang (flash flood) disebabkan oleh tipe hujan konvensional dengan intensitas yang tinggi dan terjadi pada tempat-tempat dengan topografi yang curam di bagian hulu sungai. Aliran air banjir dengan kecepatan tinggi akan memiliki daya rusak yang besar, dan akan lebih berbahaya bila disertai dengan longsoran, yang dapat mempertinggi daya rusak terhadap daerah yang dilaluinya
3.
Banjir Pantai (Rob), disebabkan oleh air pasang laut akibat dari angin laut yang bertiup ke arah darat dengan kencang sehingga menimbulkan gelombang laut tinggi yang menyapu ke arah daratan sehingga terjadi banjir di wilayah pantai
Universitas Sumatera Utara
4.
Banjir Lokal, terjadi karena curah hujan yang tinggi di suatu wilayah, genangan yang terjadi disebabkan karena aliran air permukaan tidak cepat diserap atau saluran pembuangan yang ada kurang dapat menampung aliran air hujan yang ada. Banjir lokal ini bisa terjadi di wilayah perkotaan karena berkurangnya lahan kosong yang dapat berfungsi sebagai daerah penyerap air hujan. Lahan kosong tersebut umumnya sudah berubah menjadi rumah, gedung, jalan, tempat parkir, dan lain sebagainya.
Menurut Sebastian (2008), Berdasarkan pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Sedangkan banjir akibat aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan seperti perubahan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan pemukiman di sekitar bantaran, rusaknya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya hutan (vegetasi alami), dan perencanaan sistim pengendali banjir yang tidak tepat. Lebih lanjut Sebastian (2008), menjelaskan bahwa penyebab banjir secara Alami meliputi: a. Curah hujan: oleh karena beriklim tropis, Indonesia mempunyai dua musim sepanjang tahun, yakni musim penghujan umumnya terjadi antara bulan Oktober–Maret dan musim kemarau terjadi antara bulan AprilSeptember. Pada musim hujan, curah hujan yang tinggi berakibat banjir di
Universitas Sumatera Utara
sungai dan bila melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan. b. Pengaruh fisiografi: fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan daerah aliran sungai (DAS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain merupakan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya banjir. c. Erosi dan sedimentasi: erosi di DAS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang sungai. Erosi menjadi problem klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran sehingga timbul genangan dan banjir di sungai. Sedimentasi juga merupakan masalah besar pada sungai-sungai di Indonesia. d. Kapasitas sungai: pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh pengendapan berasal dari erosi DAS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan. Sedimentasi sungai terjadi karena tidak adanya vegetasi penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat, sedimentasi ini menyebabkan terjadinya agradasi dan pendangkalan pada sungai, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tampungan sungai e. Kapasitas drainase yang tidak memadai: sebagian besar kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah genanga yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi langganan banjir di musim hujan.
Universitas Sumatera Utara
f. Pengaruh air pasang: air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut, pada waktu banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater). Fenomena genangan air pasang (Rob) juga rentan terjadi di daerah pesisir sepanjang tahun baik di musim hujan dan maupun di musim kemarau.
Disamping penyebab banjir secara alami, banjir dapat terjadi akibat aktifitas Manusia yang meliputi: a. Perubahan kondisi DAS: perubahan kondisi DAS seperti penggundulan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan kota, dan perubahan tataguna lainnya dapat memperburuk masalah banjir karena meningkatnya aliran banjir. Dari persamaan-persamaan yang ada, perubahan tata guna lahan berkontribusi besar terhadap naiknya kuantitas dan kualitas banjir. b. Kawasan kumuh dan sampah: perumahan kumuh (slum) di sepanjang bantaran sungai dapat menjadi penghambat aliran. Masalah kawasan kumuh ini menjadi faktor penting terjadinya banjir di daerah perkotaan. Disiplin masyarakat untuk membuang sampah pada tempat yang ditentukan masih kurang baik dan banyak melanggar dengan membuang sampah langsung ke alur sungai, hal ini biasa dijumpai di kota-kota besar. Sehingga dapat meninggikan muka air banjir disebabkan karena aliran air terhalang.
Universitas Sumatera Utara
c. Drainase lahan: drainase perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah bantaran banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit air yang tinggi. d. Kerusakan bangunan pengendali air: pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir. e. Perencanaan sistim pengendalian banjir tidak tepat: beberapa sistim pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil sampai sedang, tetapi mungkin dapat menambah kerusakan selama banjir yang besar. f.
Rusaknya hutan (hilangnya vegetasi alami): penebangan pohon dan tanaman oleh masyarakat secara liar (Illegal logging), tani berpindahpindah dan permainan rebiosasi hutan untuk bisnis dan sebagainya menjadi salah satu sumber penyebab terganggunya siklus hidrologi dan terjadinya banjir.
2.5.1 Pengendalian ruang kawasan rawan bencana banjir Sehubungan dengan penanganan kawasan rawan banjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian, yaitu: 1.
Pengendalian Struktural (pengendalian terhadap banjir) pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan banjir (pedoman penanggulangan banjir),
Universitas Sumatera Utara
2.
Pengendalian Non Struktural (pengendalian terhadap pemanfaatan ruang) kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi)
pemanfaatan
lahan
dalam
rangka
mempertahankan
keseimbangan ekosistem. Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah.
2.5.2 Pembagian ruang yang berpotensi rawan bencana longsor dan banjir Konsep pembagian ruang untuk kawasan yang mempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor seperti diperlihatkan pada Gambar 2.2 yaitu: 1.
Kawasan Rawan Bencana Longsor: Meliputi Kawasan Perbukitan yang berfungsi sebagati Kawasan Lindung
2.
Kawasan Rawan Bencana Banjir: Meliputi Kawasan Dataran dan Pesisir yang berfungsi sebagai Kawasan Budidaya.
Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pola penanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
kawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadap kawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir.
Gambar 2.2 Pembagian Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor
2.5.3 Kebijakan pokok dan pemanfaatan ruang potensi banjir Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusatpusat permukiman yang secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan. Pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
Universitas Sumatera Utara
rawan bencana banjir dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang di kawasan yang secara umum diklasifikasikan menjadi: 1.
Daerah Pesisir/Pantai
2.
Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area)
3.
Daerah Sempadan Sungai
4.
Daerah Cekungan.
Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung sangat mendukung pemanfaatan ruang di kawasan banjir. Bentuk pengendalian pemanfaatan ruang, baik pada bagian kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain, sebagai kesatuan paket kebijakan. Tujuan kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir adalah: 1.
Pengendalian ruang untuk pemanfaatan, yang sangat terkait dengan pola pengelolaan kawasan di sebelah hulu
2.
Meminimumkan korban jiwa dan harta benda, apabila terjadi bencana banjir
Sasaran yang diharapkan adalah tersedianya acuan bagi pemerintah daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan yang mempunyai potensi terhadap bahaya banjir. Permasalahan banjir yang terjadi selama ini, sangat terkait dengan adanya fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan alam. Konsep dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/ pengelolaan banjir adalah: 1.
Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruang lingkup keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan
2.
Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana banjir, sebagai langkah nyata dalam mendukung upaya pengendalian
3.
Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaian dan keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baik pada kawasan hulu maupun hilir.
Permasalahan banjir hanya dapat direduksi, sehingga dampak yang ditimbulkan dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, secara prinsip masalah banjir tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan sama sekali, sehingga menjadi tanggung jawab semua komponen untuk melakukan pemantauan dan penanganan melalui penyediaan sarana dan prasarana, sehingga dampak negatif dapat direduksi semaksimal mungkin. Pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir dengan upaya penanganan masalah harus merupakan satu kesatuan penataan ruang yang terpadu dan seimbang, sehingga kawasan tersebut dapat dibudidayakan seoptimal mungkin, antara aspek pendayagunaan, perlindungan (konservasi) sumberdaya alam yang ada. Keseimbangan ekosistem sangat terkait dengan limitasi atau batasan terhadap pemanfaatan, dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya secara besar-besaran. Prosedur penetapan jenis-jenis kegiatan pemanfaatan ruang kawasan yang dipilih dalam penanganan
Universitas Sumatera Utara
banjir harus melalui pemahaman kondisi setempat dan wilayah terkait, proses kajian penyebab/tipologi dan akhirnya arahan pemanfaatan ruang, yang mencakup upaya preventif dan mitigasi dengan pertimbangan keseimbangan ekosistem dan lingkungan, sehingga terhindar dari bencana atau paling tidak mengurangi dampaknya, yang sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat. Beberapa faktor berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem, meliputi: 1.
Bio Fisik, terkait dengan jenis dan struktur tanah, morfologi, dan aspek hayati
2.
Hidrologi, menyangkut kondisi dan faktor iklim, tata air, serta sistem pengendalian
3.
Sosial Ekonomi/Kependudukan, meliputi aspek kepadatan, kuantitas, kualitas, serta perilaku
4.
Penggunaan Lahan, merupakan tutupan atau pemanfaatan lahan pada kawasan tertentu.
2.6
Daerah Aliran Sungai (DAS) Menurut Sastrodihardjo (2010), Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumber daya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi
Universitas Sumatera Utara
meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak
tempat
rawan
terhadap
ancaman
gangguan
manusia.
Hal
ini
mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Tidak
optimalnya kondisi DAS
antara
lain disebabkan
adanya
ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut, dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan di mana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi, oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu. Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
Universitas Sumatera Utara
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”. Sementara itu IFPRI (2002), menyebutkan bahwa “A watershed is a geographic area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”. Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air mulai dari hulu baik yang ada mata air maupun tidak ada mata air sampai muara di laut, dengan dibatasi kanan dan kiri di sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (Gambar 2.3).
Universitas Sumatera Utara
TINGGI JAGAAN
MAB(MUKA AIR BANJIR)
JALAN
JALAN
MAN(MUKA AIR NORMAL)
SEMPADAN SUNGAI
PALUNG SUNGAI SEMPADAN SUNGAI
DAERAH MANFAAT SUNGAI (DMS)
DAERAH PENGUASAAN SUNGAI (DPS)
Gambar 2.3 Struktur Sungai Berdasarkan Permen PU No 63/PRT/1993
Daerah aliran sungai (catchment area), adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2000 km2
2.7
Partisipasi Masyarakat Menurut Masahiko Murase et al (2010), kegiatan masyarakat memainkan
peran penting sebagai garis depan manajemen banjir, karena manajemen banjir terpadu Integrated Flood Management (IFM) berusaha untuk aspek-aspek praktis mengelola banjir, partisipasi masyarakat menjadi dasar dan penting untuk setiap
Universitas Sumatera Utara
tahap manajemen, yaitu kesiapan untuk respon dan pemulihan dari bencana banjir. Kegiatan masyarakat merupakan komponen terintegrasi dari manajemen banjir dan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan melalui kegiatan pembangunan yang terkait dalam wilayah sungai secara keseluruhan. Kegiatan masyarakat memberikan kesempatan penting bagi pengembangan sumber daya air dalam konteks manajemen sumber daya air terpadu Integrated Water Resources Management (IWRM) dan IFM. Manfaat berasal pada berbagai tingkat kegiatan sosial dan ekonomi melalui pengembangan kebijakan dan perencanaan penggunaan lahan. Sebagai masyarakat terdiri dari berbagai sub-kelompok, kegiatan
berkontribusi
untuk
mengkoordinasikan
kepentingannya
dan
memaksimalkan keuntungan mereka melalui membangun konsensus dalam masyarakat, termasuk manfaat dari ekosistem. Tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan pengalaman masa lalu dan latar belakang masyarakat tradisional, titik awal dalam IFM adalah pemahaman visi untuk wilayah sungai secara keseluruhan. Dengan tidak adanya partisipasi masyarakat yang terorganisir, sebagian besar kegiatan dilakukan ditingkat individu atau rumah tangga didorong oleh kebutuhan individu. Kegiatan-kegiatan tersebut terbatas dalam efektivitasnya dan tidak cukup untuk melindungi masyarakat luas dan individu dalam jangka panjang dari dampak negatif banjir. Dari sisi lain, jika kegiatan berdasarkan inisiatif individu dikumpulkan bersama dan dilakukan secara terorganisir ditingkat masyarakat, tingkat kerentanan dan risiko akibat banjir dapat dikurangi secara substansial. Kerangka
Universitas Sumatera Utara
kerja untuk memahami keadaan masyarakat dan konteks di mana banjir dapat mempengaruhi meliputi lima elements dasar yaitu: 1.
Struktur sosial (etnis, kelas, agama dan bahasa, mayoritas dan minoritas)
2.
Budaya pengaturan (struktur keluarga dan budaya, hirarki, perilaku umum)
3.
Kesejahteraan Ekonomi (sumber mata pencaharian, tenaga kerja, mata pencaharian musiman)
4.
Karakteristik Tata Ruang (lokasi perumahan, fasilitas pelayanan publik, lahan pertanian); dan
5.
Rentan rumah tangga dan kelompok (kategori dan lokasinya, posisi budaya).
Menurut Ach.Wazir Ws., et al (1999), partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, setiap masyarakat orang perorang dapat berpartisipasi bila menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007), adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Pada sisi lain Mikkelsen (2001), membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: 1.
Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan
2.
Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan
3.
Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri
4.
Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan tersebut
5.
Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampakdampak sosial
6.
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungannya.
Dari uraian di atas maka definisi partisipasi, dapat dikatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring
Universitas Sumatera Utara
sampai pada tahap evaluasi. Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena masyarakat akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri. Beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Dengan berbagai bentuk partisipasi diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Partisipasi
masyarakat
merupakan
proses
teknis
untuk
memberi
kesempatan dan wewenang lebih luas kepada masyarakat, agar masyarakat
Universitas Sumatera Utara
mampu memecahkan berbagai persoalan secara bersama-sama. Pembagian kewenangan
ini
dilakukan
berdasarkan
tingkat
keikutsertaan
(level
of
involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu komunitas, dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk memberi kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. Stakeholder penanggulangan banjir secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) Beneficiaries, masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung, (2) Intermediaries, kelompok masyarakat atau perseorangan
yang
dapat
memberi pertimbangan
atau
fasilitasi
dalam
penanggulangan banjir, antara lain: konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang SDA, (3) Decision/policy makers, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum, seperti lembaga pemerintahan dan dewan sumberdaya air. Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dalam program-program pemerintah, maka akuntabilitas pemerintah dapat dinilai dari sejauh mana partisipasi masyarakat dan pihak terkait (stakeholder) dalam program pembangunan. Partisipasi masyarakat, mulai dari tahap kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasional, pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan. Penentuan dan pemilahan stakeholder dilakukan dengan metode Stakeholders Analysis yang terdiri dari empat tahap yaitu: (1) Identifikasi stakeholder,
(2)
Penilaian
ketertarikan
stakeholder
terhadap
kegiatan
penanggulangan banjir, (3) Penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap
Universitas Sumatera Utara
stakeholder dan (4) Perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam penanggulangan banjir pada setiap fase kegiatan Semua proses dilakukan dengan mempromosikan kegiatan pembelajaran dan peningkatan potensi masyarakat, agar secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut ambil bagian, dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan penanggulangan
banjir.
Tingkat
partisipasi
masyarakat
dalam
kegiatan
penanggulangan banjir terdiri dari tujuh tingkat yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (1) Penolakan (resistance/opposition), (2) Pertukaran informasi
(information-sharing),
(3)
Konsultasi
(consultation
with
no
commitment), (4) Konsensus dan pengambilan kesepakatan bersama (concensus building and agreement), (5) Kolaborasi (collaboration), (6) Pemberdayaan dengan pembagian risiko (empowerment-risk sharing) dan (7) Pemberdayaan dan kemitraan (empowerment and partnership). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program, misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Angell (dalam Ross, 1967) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: 1.
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari
Universitas Sumatera Utara
kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya, 2.
Jenis kelamin, nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik,
3.
Pendidikan,
dikatakan
sebagai
salah
satu
syarat
mutlak
untuk
berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat, 4.
Pekerjaan dan penghasilan, hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan
masyarakat.
Pengertiannya
bahwa
untuk
berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian, dan 5.
Lamanya tinggal, lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam
Universitas Sumatera Utara
lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut
2.8
Penelitian Terdahulu Penelitian tentang banjir maupun analisis hidrologi terhadap hujan maupun
tataguna lahan serta penelitian lain yang relevan dengan air telah banyak dilakukan yang menitikberatkan pada aspek ketekniksipilan namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk melakukan penangulangan banjir dengan menggunakan berbagai metode. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang banjir ditinjau dari aspek partisipasi masyarakat. Berbagai penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan berbagai variasi hasil diantaranya: 1.
Jurnal Makara, Sains, Vol. 6, No. 1, April, penelitian yang dilakukan oleh Kusratmoko et al (2002), dengan judul penelitian Studi Hidrologi Hutan Kota Kampus Universitas Indonesia Depok memberikan kesimpulan bahwa secara Keseluruhan antara air hujan lolos dengan volume aliran permukaan (banjir) menunjukkan korelasi positif yang linear pada tutupan lahan hal ini berdasarkan kondisi lahan tanpa vegetasi bawah dan lapisan seresah mempunyai korelasi yang kuat
2.
Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Yudho (2002) di Semarang, dengan judul penelitian Partisipasi Masyarakat Di Kawasan Kota Lama Semarang Dalam Pelaksanaan Program Pengendalian Banjir Dan
Universitas Sumatera Utara
Dampaknya Terhadap Perekonomian memberikan kesimpulan bahwa dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pembiayaan kegiatan operasi dan pemeliharaan dalam pelaksanaan program pengendalian banjir dapat teratasi apabila pelaksanaan program pengendalian banjir dapat berjalan secara maksimal maka akan didapat manfaat atau dampak terhadap pertumbuhan ekonomi bukan saja di kawasan kota lama melainkan di seluruh wilayah kota Semarang 3.
Penelitian Dewajati (2003), di Semarang dengan judul penelitian Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan DAS Kaligarang Terhadap banjir di kota Semarang, menggunakan metode rasional, memberikan kesimpulan bahwa Pergeseran
penggunaan
Iahan
diakibatkan
adanya
penyesuaian
penggunaan terhadap kebutuhan pelayanan yang baru. Perubahan penggunaan lahan di perkotaan cenderung didominasi oleh penggunaan lahan terbangun. Tata guna Iahan di daerah aliran sungai mempunyai pengaruh terhadap besarnya air larian, yang dapat diketahui dari besarnya nilai koefisien aliran permukaan disamping pengaruh lain seperti bentuk dan ukuran DAS, topografi, dan geologi. Peningkatan koefesien aliran mengindikasikan bahwa DAS telah mengalami gangguan fisik sebagai dampak dari adanya perubahan penggunaan lahan dari lahan non terbangun menjadi lahan terbangun. 4.
Jurnal
PUSPICS
Fakultas
Geografi,
Universitas
Gadjah
Mada,
Yogyakarta, penelitian dilakukan oleh Pratistoa et al (2003), dengan judul penelitian Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Respons Debit
Universitas Sumatera Utara
dan Bahaya Banjir (Studi Kasus di DAS Gesing, Purworejo berdasarkan Citra Landsat TM dan Aster VNIR), menggunakan metode kombinasi antara analisis multitemporal berbasis citra satelit dan pemodelan debit puncak. Analisis multitemporal digunakan untuk memperoleh infromasi tentang kondisi penutup lahan pada tahun 1992 dan 2003, serta laju perubahan yang terjadi sementara pemodelan debit puncak dilakukan dengan menggunakan metode rasional, yang memanfaatkan informasi koefisien aliran yang diturunkan dari informasi penutup lahan berbasis citra, memberikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perubahan penutup lahan di DAS Gesing bagian hulu telah terjadi secara signifikan, dan hal ini berpengaruh besar terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan serta debit puncak Banjir. 5.
East Carolina University, Greenville, penelitian dilakukan oleh Craig E at al (2006) di Carolina Utara, dengan judul penelitian Participation in the Community Rating System of NFIP:
An Empirical Analysis of North
Carolina Counties memberikan kesimpulan bahwa hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengalaman
banjir
dan
faktor
risiko
fisik
meningkatkan kemungkinan adopsi mitigasi bahaya lokal Pengaruh partisipasi masyarakat khususnya perusahaan melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dan mitigasi dapat mengurangi bencana banjir 6.
Institute for Environment and Sustainability, DG JRC, European Commission, penelitian dilakukan oleh Feyen at al (2006), dengan judul penelitian Implications of global warming and urban land use change on
Universitas Sumatera Utara
Flooding in Europe memberikan kesimpulan bahwa berdasarkan pola penggunaan lahan masa depan untuk wilayah ini menunjukkan bahwa efek dari banjir meningkat karena ekspansi wilayah perkotaan melampaui jauh pengaruh perubahan lahan penyangga air dan pengaruh iklim. 7.
College of Resources Science and Technology, Beijing Normal University, penelitian dilakukan oleh He Fei (2006) di Shenzhen dengan judul penelitian Effect of Land Policy Change on Flood Risk in Shenzhen Special Economic Region meneliti masalah efek perubahan tataguna lahan dengan menggunakan metode
HRU
(hydrological
response
unit)
memberikan kesimpulan ada dampak hubungan yang nyata antara perubahan kebijakan tataguna lahan terhadap resiko banjir sampai batas tertentu dinyatakan bahwa perubahan pemanfaatan lahan, terutama penggunaan lahan perkotaan, menyebabkan peningkatan arus sungai yang membuat resiko banjir meningkat. 8.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Undang bersama dengan Sudirman, Ishak (2006) di Kaligarang, dengan judul penelitian Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Dan Banjir Di Bagian Hilir DAS Kaligarang, Effect of Land Use Change on River Discharge and Flooding in Downstream of Kaligarang Watershed memberikan kesimpulan bahwa perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan permukiman dan industri di wilayah DAS Kaligarang bagian hulu menyebabkan dampak
Universitas Sumatera Utara
meningkatnya debit dan sedimentasi, banjir serta menurunkan luas areal panen dan produksi pertanian di bagian hilir DAS tersebut 9.
Journal Terrapub and Nied, Japan, penelitian dilakukan oleh Motoyoshi (2006) dengan judul penelitian Public Perception of Flood Risk and Community-based Disaster Preparedness, A better integrated management of disaster risks: Toward resilient society to emerging disaster risks in mega-cities, masalah penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam manajemen pengelolaan resiko banjir dengan metode mengunakan kuesioner dan analisis SEM (structural equaition model), memberikan kesimpulan hasil penelitian bahwa ada hubungan antara partisipasi masyarakat dalam bencana banjir dan masyarakat pada dasarnya memiliki keinginan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan berbasis masyarakat seperti kesiapan menghadapi bencana banjir apabila diberi ruang untuk ikut terlibat di dalamnya
10. Jurnal Jurnal Teknik Sipil Vol 3, no 2, Juli, Universitas Jenderal Soedirman, penelitian yang dilakukan oleh Suroso at al (2006), di daerah aliran sungai banjaran, dengan judul peneltian Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir Daerah Aliran Sungai Banjaran, memberikan kesimpulan bahwa perubahan tataguna lahan yang paling berpengaruh terhadap debit banjir adalah perubahan lahan sawah dan pemukiman kemudian disusul dengan lahan tegalan 11. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, ISBN 979-947406-X, Institut Pertanian Bogor, penelitian dilakukan oleh Talaohu at al
Universitas Sumatera Utara
(2006) di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah, dengan judul penelitian Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Daya Sangga Air Sub Das Citarik Dan Das Kaligarang memberikan kesimpulan bahwa alih fungsi lahan terutama hutan dan kebun campuran menjadi tegalan dari berbagai penggunaan pertanian ke pemukiman/perkotaan berpengaruh negatif atau menurunkan daya sangga air di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Hal ini berpotensi terhadap peningkatan intensitas dan frekuensi banjir di kedua DAS tersebut 12. Penelitian yang dilakukan oleh Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi pada tahun 2007, di wilayah Indonesia dalam rangka menentukan kebijakan pemerintah terhadap penanggulangan banjir dengan judul penelitian Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia
memberikan
kesimpulan
bahwa
Perumusan
partisipasi
masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa mencermati posisi dan urgensi stakeholder lainnya, seperti intermediaries dan decision/policy maker. Dari sudut pandang tingkat partisipasi stakeholder, ada batasan bahwa tidak semua kegiatan penanggulangan banjir dapat dilakukan oleh seluruh stakeholder sampai ke tingkat empowerment. Semakin banyak pihak yang terlibat, akan terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodasi dan terlalu banyak jalur birokrasi antar sektor, sehingga proses koordinasi lintas sektor dan pelaksanaan kegiatan sangat mungkin menjadi terhambat, bahkan batal, dengan demikian tingkat ketertarikan,
pengaruh dan
Universitas Sumatera Utara
kepentingan setiap stakeholder harus diidentifikasi lebih dahulu agar bisa ditentukan sejauh mana stakeholder tersebut dilibatkan 13. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, Bappenas, Jakarta, penelitian yang dilakukan oleh Edi (2007) dengan judul penelitian, Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu, memberikan kesimpulan bahwa perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi biofisik seperti, pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan pertanian konservatif berdimensi kelembagaan seperti, insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat, sehingga dalam perencanaan model pengembangan DAS terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan 14. Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Murdiono (2007) dengan judul penelitian Peran Serta Masyarakat Pada Penyusunan Rencana Pengelolaan Daya Rusak Sumber Daya Air memberikan kesimpulan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan lahan oleh penduduk menyebabkan perubahan tataguna lahan. Pemerintah perlu melakukan upaya mengatasi banjir dengan pembuatan tanggul namun harus disinergikan dengan partisipasi
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dengan larangan membuang sampah ke sungai dan sebagainya untuk mengatasi banjir 15. Penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2007), di kota Medan dengan judul penelitian Konsep Pengelolaan Drainase Kota Medan Secara terpadu, memberikan kesimpulan bahwa dari uji sensitivitas diperoleh bahwa perubahan lahan 100% dan area peruntukan kebun/hutan menjadi pemukiman akan mengakibatkan peningkatan debit sebesar 17% dan debit semula dan akan semakin besar apabila perubahan lahan menjadi daerah dengan koefisien pengaliran yang lebih besar 16. Jurnal Presipitasi Vol 3 no 2, September, Universitas Diponegoro, Semarang, penelitian yang dilakukan oleh Sarmaningsih (2007) di Gorontalo, dengan judul penelitian Kajian Alternatif Penanggulangan Banjir, Studi Kasus Sungai Ladapa di Kabupaten Gorontalo, memberikan kesimpulan bahwa efektifitas upaya pengendalian banjir dengan prinsip ekohidraulik untuk jangka panjang perlu segera dilakukan secara non struktural melibatkan semua unsur masyarakat di wilayah DAS 17. Jurnal Teknik Lingkungan Volume 13 Nomor 2, Oktober, penelitian yang dilakukan oleh Shadiq et al (2007), dengan judul penelitian Pengaruh Faktor Penampang pada Kehilangan Debit Akibat Rembesan pada Saluran Drainase Poreus, memberikan kesimpulan bahwa debit yang meresap ke tanah melalui dasar saluran lebih besar dibandingkan melalui dinding saluran. Pengaruh kemiringan talud (z), debit air di saluran (Qs), kecepatan
Universitas Sumatera Utara
aliran disaluran (v), keliling basah (P) dan jari-jari hidrolis (R) terhadap debit air (banjir) yang meresap melalui dasar saluran sangat kecil 18. Proceedings The 2nd International Conference on Development of Aceh, ISBN: 978-979-1372-08-4, LPPM Unimal, Lhokseumawe, penelitian yang dilakukan oleh Wesli (2007) di sungai Krueng Keureuto Lhoksukon, dengan judul penelitian Penanganan Banjir Berdasarkan Tataguna Lahan dengan Optimasi Linear Programming (Studi Kasus Krueng Keureuto, Lhoksukon memberikan hasil kesimpulan bahwa penataan Lahan secara optimum dapat memperkecil debit limpasan 19. Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Murdiono (2008) dengan judul penelitian, Peran Serta Masyarakat Pada Penyusunan Rencana Pengelolaan Daya Rusak Sumber Daya Air, Memberikan kesimpulan bahwa penanggulangan banjir secara struktural, hanya bersifat solusi jangka pendek. Upaya struktural harus dibarengi dengan upaya non struktural yang bersifat jangka panjang, seperti pengelolaan DAS, penyuluhan masyarakat tentang banjir, upaya penyelamatan diri terhadap banjir, dan sebagainya. 20. The 3rd International Conference on Development of Aceh (ICDA-3), ISBN: 979-1372-37-4, penelitian yang dilakukan oleh Wesli (2008), dengan judul penelitian Hubungan Hujan Dengan Limpasan Untuk Penentuan Debit, memberikan hasil bahwa limpasan permukaan (banjir) sangat dipengaruhi oleh Curah Hujan dan tataguna lahan
Universitas Sumatera Utara
21. Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Widyaningsih (2008) di Sub DAS Keduang dengan judul penelitian Pengaruh Perubahan Tataguna Lahan di Sub Das Keduang
Ditinjau Dari Aspek Hidrologi, memberikan
kesimpulan hasil penelitian bahwa korelasi antara lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak berkorelasi negatif (tidak searah) dengan limpasan (banjir), debit aliran, erosi dan sedimentasi, tetapi lahan pemukiman, sawah, tegal dan tanah terbuka berkorelasi positif (searah) dan korelasi antara tataguna lahan dengan limpasan (banjir), debit aliran, erosi dan sedimentasi di Sub DAS Keduang termasuk tinggi, hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai koefisien korelasi lebih dari 70% 22. Penelitian yang dilakukan oleh Sebastian, 2008, dengan judul Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir (Flood Prevention and Control Approach), Jurnal dinamika TEKNIK SIPIL, Volume 8, Nomor 2, Juli 2008, Universitas Muhammadiyah Surakarta, masalah penelitian adalah mereduksi banjir melalui Partisipasi masyarakat dengan Penelitian Observasi/survey dan kuesioner. Beberapa objek yang terkait dengan sistem institusi pengelola DAS (Daerah Aliran Sungai) dan komponen sosial masyarakat. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat dua katagori penyebab banjir, yaitu akibat alami dan akibat aktivitas manusia. Dalam kaitannya terjadinya banjir, maka dilakukan dengan metode struktural dan non-struktural. Metode struktural melalui Perbaikan dan pengaturan sistem sunga, metode non struktural adalah melalui partisipasi masyarakat, law enforcement
Universitas Sumatera Utara
23. College of Resources Science and Technology, Beijing, penelitian dilakukan oleh Shi Pei Jun at al (2007), di Shenzhen region, China dengan judul penelitian The effect of land use/cover change on surface runoff in Shenzhen region, China, menggunakan metode model SCS, memberikan hasil penelitian bahwa perubahan penggunaan lahan yang mengakibatkan limpasan tinggi dan puncak banjir menjadi besar, debit limpasan dan waktu pertemuan lebih pendek dengan demikian risiko bencana banjir menjadi besar. 24. Journal homepage: www.elsevier.com/locate/landusepol, penelitian yang dilakukan oleh Wheatera Howard et al (2009), dengan judul Land Use Water Management and Future Flood Risk, memberikan kesimpulan bahwa pendekatan jangka panjang untuk pengelolaan banjir melalui penggunaan lahan di Inggris adalah bagaimana menggunakan tanah secara seimbang, baik terhadap ekonomi, lingkungan dan kebutuhan sosial agar tidak
menciptakan
keseimbangan
antar
warisan negara
risiko dan
banjir.
Bagaimana
kekuatan-kekuatan
mengelola
pasar
dalam
pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan termasuk terhadap pengelolaan banjir secara struktural yang cenderung memerlukan biaya tinggi. 25. Ministry of Water Resources, Govt of India Murshidabad, West Bengal, penelitian dilakukan oleh Ghani (2010), di sungai Gangga- Brahmana Putra-Meghna Basin , dengan judul penelitian Participatory Strategy for Flood Mitigation In East and Northeast India: Case Study of the Ganges–
Universitas Sumatera Utara
Brahmaputra–Meghna Basin memberikan kesimpulan bahwa kebutuhan untuk
menjamin partisipasi masyarakat
pada tahap perencanaan,
pelaksanaan dan pemeliharaan dalam mengatasi banjir telah diakui selama beberapa waktu. Beberapa upaya dan percobaan ke arah ini telah dilakukan selama bertahun-tahun. Dalam situasi darurat, keterlibatan masyarakat telah memiliki hasil yang menggembirakan dalam mengatasi banjir 26. Warsaw University of Life Sciences-SGGW, Poland, penelitian dilakukan oleh Kazimierz et al (2010) di bagian selatan Warsawa Polandia, dengan judul penelitian Modelling of the effects of land use changes on flood hydrograph in a small catchment of the Płaskowicka, southern part of Warsaw, Poland, masalah perubahan tataguna lahan, memberikan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan respon dari daerah tangkapan hujan terhadap kejadian banjir dalam berbagai tahap penggunaan lahan 27. Journal World Meteorological Organization Geneva 2, Switzerland, penelitian dilaksanakan oleh Murase et al (2010) di Switzerland dengan judul penelitian Organizing Community Participation for Integrated Flood Management, Associated Programme on Flood Management, Climate and Water Department, masalah penelitian
tentang partisipasi masyarakat
terhadap pengendalian banjir secara terintegrasi dengan metode penelitian menggunakan Integrated Water Resources Management (IWRM) dan Integrated Flood Management (IFM). Hasil penelitian menyatakan bahwa Partisipasi masyarakat merupakan hal yang fundamental dan esensial
Universitas Sumatera Utara
untuk setiap tahap pengelolaan banjir terhadap kesiapan, respon dan pemulihan. Partisipasi masyarakat dapat berusaha untuk memaksimalkan manfaat melalui kegiatan pembangunan yang terkait dalam wilayah sungai secara keseluruhan. 28. Journal Water Resource and Protection, penelitian dilakukan oleh Panahi et al (2010), di Northeastern Tehran, Iran, dengan judul penelitian The Effect of the Land Use/Cover Changes on the Floods of the Madarsu Basin of Northeastern Iran memberikan hasil kesimpulan bahwa dampak dari perubahan
penggunaan/tutupan
lahan
pada
degradasi
lingkungan
menunjukkan bahwa hal ini akan meningkatkan bencana banjir banjir 29. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2010), dengan judul Studi Limpasan Permukaan Spasia Akibat Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Model Kineros, memberikan hasil bahwa pengaruh kawasan rawan genangan air terhadap analisis penggunaan lahan, dianalisis dengan cara melihat pengaruh variasi penggunaan lahan selama kurun waktu tahun 2000 - 2010 terhadap nilai debit maksimum serta nilai rerata limpasan permukaan, hasilnya menunjukkan, bahwa perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan nilai limpasan permukaan pada setiap periode penggunaan lahan. 30. Jurnal Purifikasi, Vol. 11, No. 1, Juli 2010: 29–40, penelitian yang dilakukan oleh Sudarto et al (2010), dengan judul Pengaruh Perubahan Tataguna lahan Terhadap Peningkatan Aliran Permukaan: Studi Kasus di DAS Gatak Surakarta, menggunakan analisis hidrologi dengan metode
Universitas Sumatera Utara
rasional, memberikan kesimpulan bahwa hasil penelitian menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan di DAS Gatak cukup berarti, terutama pada peralihan fungsi lahan dari persawahan, perkebunan, dan padang rumput menjadi daerah permukiman. Pada tahun 2001 prosentase luas lahan untuk bangunan/gedung 1,56%, perkebunan/kebun 2,93%, padang rumput 1,90%, permukiman 51,66%, sawah 41,82%, dan perairan tawar 0,10% dan perubahan penggunaan lahan pada tahun 2007 prosentase luas lahan untuk bangunan atau gedung adalah 2%, perkebunan/kebun 1,16%, padang rumput 1,2%, permukiman 61,18%, sawah 34,36%, dan perairan tawar 0,10%. Perubahan fungsi lahan tersebut menyebabkan terjadinya penyusutan lahan-lahan resapan menjadi permukaan tanah yang kedap air hingga mencapai 9,95% dari luas DAS yang ada yaitu + 1152,97 ha. Perhitungan debit aliran permukaan (runoff) yang terjadi pada tahun 2001 dan 2007, menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan debit aliran permukaan di DAS Gatak. Kenaikan ini dipicu oleh karena adanya alih fungsi lahan yang ditunjukkan dengan adanya trend kenaikan koefisien aliran permukaan (C), yaitu dari C2001=0,287 pada tahun 2001 menjadi C2007=0,307 pada tahun 2007. Kemungkinan kejadian hujan yang menyebabkan banjir dan genangan di wilayah Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, dan Kota Surakarta diprediksi akan terjadi dengan periode ulang 2 tahunan. Hal ini terbukti dengan kejadian banjir yang terjadi secara berturut-turut pada tahun 2007 dan 2009. Kejadian banjir dan genangan ini belum pernah terjadi sebelum tahun 2001. Besar
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan terjadinya banjir ini disebabkan oleh perubahan tata guna lahan dalam 5 tahun terakhir. Bila proses penanganan perubahan tata guna lahan yang terjadi pada wilayah ini tidak dilakukan dengan baik dan terencana, maka dapat diprediksi bahwa dampak terhadap banjir dan genangan ini akan semakin meluas di Kota Surakarta. 31. Procedings ISOCARP Congress, penelitian dilakukan oleh Tsinda et al (2010) di Kota Kigali (Rwanda), dengan judul peneltian Sustainable Hazards Mitigation in Kigali City (Rwanda), masalah partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi pengendalian banjir dengan studi penelitian dokumen yang ada seperti foto udara, citra satelit, peta, teks hukum seperti undang-undang, dekrit dan teks kebijakan, semidirected wawancara, dan observasi langsung yang dianalisis menggunakan analitis kerangka literatur yang ada, memberikan kesimpulan bahwa hasil kota Kigali dipengaruhi oleh multi-bencana, yang menyebabkan beberapa kerusakan.
Dari
kasus
berkelanjutan
terhalang
disfungsional
antar
Kigali oleh
pemangku
tersirat kebijakan
bahwa yang
kepentingan
mitigasi
bencana
terpisah-pisah
yang
terlibat
dan dalam
pengelolaan bencana. Pemerintah harus membuat kebijakan praktis mengenai perencanaan penggunaan lahan karena hal ini akan mencegah perambahan lahan yang rentan terhadap bahaya banjir. Namun hal ini tidak dapat dilakukan jika masyarakat tidak diberdayakan dengan pengetahuan yang berkaitan dengan bencana banjir karena partisipasi masyarakat terkadang dibatasi hanya pada tahap perencanaan dengan memposisikan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat sebagai penerima manfaat. Dalam konteks Kigali kepentingan masyarakat akar rumput harus diberikan peran penting dalam proses perencanaan dan pelaksanaan secara bersama dengan institusi publik Badan Pengelola Disaster Management Centre dan Lingkungan Rwanda 32. Jurnal Teknik Sipil Vol 1 Tahun 1 September 2011: 21-30, penelitian yang dilakukan oleh Yulianur
et al (2011) di Banda Aceh dengan judul
penelitian Evaluasi Kinerja Drainase Kota Banda Aceh dan Partisipasi Masyarakat
Dalam
Pemeliharaannya,
masalah
evaluasi
kinerja
menggunakan metode ananlisis rasional, sementara evaluasi masyarakat melalui kuesioner dengan metode analisis regresi ganda, menghasilkan kesimpulan untuk mencegah banjir, peningkatan wawasan masyarakat dan kepercayaan masyarakat dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan sistem drainase
Kompilasi bebagai hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dalam bentuk Theorical Mapping selengkapnya seperti diperlihatkan pada Tabel 2.1
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Matriks mapping penelitian terdahulu NO
NAMA/JUDUL PUBLIKASI
(1) 1
(2) Kusratmoko, Sukanta, Tambunan, Sobirin, 2002, Studi Hidrologi Hutan Kota Kampus Universitas Indonesia Depok, Makara, Sains, Vol. 6, No. 1, April 2002
MASALAH PENELITIAN (3) pengaruh tutupan lahan terhadap pembentukan aliran air
MODEL ANALISA
TEMUAN YANG DIHASILKAN
(4) Kelembaban tanah daerah penelitian diperikan dengan menggunakan parameter antecedent precipitation index untuk 5 hari (API5).
(5) Secara keseluruhan, antara air hujan lolos dengan volume aliran permukaan, menunjukkan korelasi positif yang linear. Namun pada lokasi tanpa vegetasi bawah dan lapisan seresah diperlihatkan korelasi yang kuat
2
Yudho Yuliarthana, 2002, Partisipasi Partisipasi Masyarakat Di Masyarakat Kawasan Kota Lama Semarang Dalam Pelaksanaan Program Pengendalian Banjir Dan Dampaknya Terhadap Perekonomian, PPS Universitas Diponegoro Semarang
Pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Hal yang mencakup segi yuridis normatif adalah penekanan pada segi hukum yang tertulis atau data sekunder yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pembiayaan kegiatan operasi dan pemeliharaan. dalam pelaksanaan program pengendalian banjir dapat teratasi. Apabila pelaksanaan program pengendalian banjir dapat berjalan secara maksimal maka akan didapat manfaat atau dampak terhadap pertumbuhan ekonomi bukan saja di kawasan Kota Lama melainkan di seluruh wilayah Kota Semarang
3
Dewajati, R, 2003, Pengaruh Perubahan Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan DAS Kaligarang Terhadap Lahan banjir di kota Semarang, PPS Universitas Diponegoro Semarang
metode rasional, memberikan kesimpulan bahwa
Tata guna Iahan di daerah aliran sungai mempunyai pengaruh terhadap besarnya air larian, yang dapat diketahui dari besarnya nilai koefisien aliran permukaan
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
4
Pratistoa Arif, Danoedorob Projo, Dampak Perubahan 2003, Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Terhadap Respons Debit dan Bahaya Banjir (Studi Kasus di DAS Gesing, Purworejo berdasarkan Citra Landsat TM dan Aster VNIR), Jurnal PUSPICS Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
metode kombinasi antara analisis multitemporal berbasis citra satelit dan pemodelan debit puncak.
perubahan penutup lahan di DAS Gesing bagian hulu telah terjadi secara signifikan, dan hal ini berpengaruh besar terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan serta debit puncak Banjir.
5
Craig E. Landry, Jingyuan Li, Participation of 2006, Participation in the community on the Community Rating System of flood NFIP: An Empirical Analysis of North Carolina Counties, East Carolina University, Greenville
Dependent variable, CRS participation, participates in the Community Rating System. Ordinary Least Squares (OLS), the linear probability model (LPM)
Results indicate that flood experience and physical risk factors increase likelihood of local hazard mitigation adoption. influence on CRS participation, and that flood hazard mitigation a greater number of nested of municipalities participate.
6
Feyen, F, J.I. Barredo, R. Imploication land Dankers, 2006, Implications of use on flood global warming and urban land use change on Flooding in Europe, Institute for Environment and Sustainability, DG JRC, European Commission
Modelling urban land use development the cellular automata (CA)-based model MOLAND
Damage calculations based on the future land use patterns for this region show that the effect of increased exposure due to urban expansion by far outweighs the effect of climate change
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
7
He Fei, 2006, Effect of Land Land use Policy Change on Flood Risk in Shenzhen Special Economic Region, College of Resources Science and Technology, Beijing Normal University
HRU (Hydrological Response Unit)
The result can explain the relationship between land policy change and annual increment of flood risk to some extent
8
Kurnia Undang, Sudirman, Ishak Perubahan Juarsah, Yoyo Soelaeman, 2006, Tataguna Lahan Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Dan Banjir Di Bagian Hilir DAS Kaligarang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor
Survay, analisis kualitatif
Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan pemukiman dan industri di wilayah DAS Kaligarang bagian hulu menyebabkan dampak yang merugikan, yaitu meningkatnya debit dan sedimentasi, banjir serta menurunkan luas areal panen dan produksi pertanian di bagian hilir DAS tersebut
9
Motoyoshi Tadahiro, 2006, Participatory flood Public Perception of Flood Risk risk management in and Community-based Disaster local communities A better Preparedness, integrated management of disaster risks: Toward resilient society to emerging disaster risks in mega-cities
Questionnaire surveys, structural equation modeling, a path diagram
People have a greater intention to participate in community-based disaster preparedness activities when they take great interest in subjective norms and flood disasters
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
10
Suroso, Hery Awan Susanto, Tataguna Lahan 2006, Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir Daerah Aliran Sungai Banjaran, Jurnal Teknik Sipil Vol 3, No 2, Juli 2006, Universitas Jenderal Soedirman
11
Tala’ohu. S.H, Agus. F, Irianto. G, 2006, Hubungan Perubahan Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Penggunaan Lahan Daya Sangga Air Sub Das Citarik Dan Das Kaligarang, Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, ISBN 979-9474-06-X, Institut Pertanian Bogor, Bogor
12
Deputi Bidang Sarana dan Kebijakan Banjir Prasarana 2007, Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi, Jakarta
(4)
(5)
Distribusi Normal Ciri Tata guna lahan yang paling berpengaruh khas distribusi Normal terhadap debit banjir adalah lahan sawah dan adalah : pemukiman kemudian tegalan 1) Skewness (Cs) ≅ 0,00, 2) Kurtosis (Ck) = 3,00, 3) Prob X ≤ (⎯X – S ) = 15,87 %
Menggunakan data penggunaan lahan tahun 1969, 1991, 1998, dan 2000 Pengambilan contoh tanah tidak terganggu dilakukan pada berbagai tipe penggunaan lahan untuk keperluan analisis sifat fisik tanah Survai, kajian literatur peraturan perundangan, hasil kajian, dan kebijakan banjir yang sudah diterapkan, dan dokumen kebijakan lainnya
Alih fungsi lahan terutama dari hutan dan kebun campuran menjadi tegalan, dan dari berbagai penggunaan pertanian ke pemukiman/perkotaan berpengaruh negatif atau menurunkan daya sangga air di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Hal ini berpotensi terhadap peningkatan intensitas dan frekuensi banjir di kedua DAS Perumusan partisipasi masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa mencermati posisi dan urgensi stakeholder
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
13
Edi Effendi, 2007, Kajian Model Model Pengelolaan Pengelolaan Daerah Aliran DAS Terpadu Sungai (Das) Terpadu, Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber daya Air, Bappenas, Jakarta
Analisis kuantitatif dan juga dilakukan analisis kualitatif. didasarkan pada adanya keterkaitan antara suatu sektor/kegiatan pembangunan dengan kegiatan pembangunan lain
Perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.
14
Murdiono Benny, 2007, Peran Pengendalian Banjir Serta Masyarakat Pada Penyusunan Rencana Pengelolaan Daya Rusak Sumber Daya Air, Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang
Terjadi peningkatan kebutuhan lahan oleh penduduk menyebabkan perubahan tata guna lahan . Pemerintah telah melakukan upaya mengatasi banjir dengan pembuatan tanggul, larangam membuang sampah ke sungai, dsb Namun belum mampu mengatasi banjir
15
Pasaribu Dominggo, 2007, Tataguna lahan, Konsep Pengelolaan Drainase Banjir Kota Medan Secara terpadu, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, medan
Promethee (Preference Rangking Organization Method for Enrichment Evaluation) adalah salah satu metode penentuan prioritas dengan penggunaan nilai dugaan dominasi kriteria dalam hubungan outranking Analisis teknis Infrastruktur Metode Rasional
Dari uji sensitivitas diperoleh bahwa perubahan lahan 100 % dan area peruntukan kebun/hutan menjadi pemukiman akan mengakibatkan peningkatan debit sebesar 17 % dan debit semula dan akan semakin besar apabila perubahan lahan menjadi daerah dengan koefisien pengaliran yang lebih besar
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
16
Sarminingsih Anik, 2007, Kajian Alternatif Alternatif Penanggulangan penanggulangan Banjir, Studi Kasus Sungai banjir Ladapa di Kabupaten Gorontalo, Jurnal Presipitasi Vol 3, No 2, September 2007, Universitas Diponegoro
Pendekatan Sistem Tata Air dan Penggunaan Lahan
Untuk efektifkan upaya pengendalian banjir dengan prinsip ekohidraulik untuk jangka panjang perlu segera secara non struktural melibatkan semua unsur masyarakat di wilayah DAS
17
Shadiq Fathurrazie, Mahmud, 2007, Pengaruh Faktor Penampang pada Kehilangan Debit Akibat Rembesan pada Saluran Drainase Porus, Jurnal Teknik Lingkungan Volume 13 Nomor 2, Oktober 2007
pengujian laboratorium menggunakan metode constant head.
Debit yang meresap ke tanah melalui dasar saluran lebih besar dibandingkan melalui dinding saluran. Pengaruh kemiringan talud (z), debit air di saluran (Qs), kecepatam aliran disaluran (v)
18
Wesli, 2007, Penanganan Banjir Banjir Berdasarkan Tataguna Lahan dengan Optimasi Linear Programming (Studi Kasus Krueng Keureuto Lhoksukon), Proceedings The 2nd International Conference, ISBN: 978-979-1372-08-4
Optimasi dengan Liner Programming
Penataan Lahan secara optimum dapat memeprkecil debit limpasan
Kehilangan Debit Akibat Rembesan pada Saluran Drainase Porus
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
19
Murdiono Benny, 2008, Peran Partisipasi Serta Masyarakat Pada Masyarakat Penyusunan Rencana Pengelolaan Daya Rusak Sumber Daya Air, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang
Pemodelan analisa banjir pada EPA SWMM didasarkan pada kondisi DAS Beringin pada saat ini.
Penanggulangan banjir secara struktural, hanya bersifat solusi jangka pendek. Upaya struktural harus dibarengi dengan upaya non struktural yang bersifat jangka panjang, seperti pengelolaan DAS, penyuluhan masyarakat tentang banjir, upaya penyelamatan diri terhadap banjir, dan sebagainya.
20
Wesli, 2008 Hubungan Hujan Limpasan Dengan Limpasan Untuk Permukaan Penentuan Debit (Oleh : Wesli) Proceedings The 3rd International Conference on Development of Aceh (ICDA-3), ISBN: 9791372-37-4
Regresi Linear
Limpasan permukaan sangat dipengaruhi oleh Curah Hujan
21
Widyaningsih, I,W, 2008, Perubahan Pengaruh Perubahan Tataguna Tataguna Lahan Lahan di Sub Das Keduang Ditinjau Dari Aspek Hidrologi, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Analisis Korelasi Ganda (Multiple Correlation)
Korelasi antara lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak berkorelasi negatif dengan limpasan, debit aliran, erosi dan sedimentasi, tetapi lahan pemukiman, sawah, tegal dan tanah terbuka berkorelasi positif Korelasi antara tata guna lahan dengan limpasan, Debit aliran, erosi dan sedimentasi di Sub DAS Keduang termasuk tinggi, hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai koefisien korelasi lebih dari 70%
Universitas Sumatera Utara
(1) 22
(2)
(3)
Sebastian, 2008, Pendekatan Mereduksi banjir Pencegahan dan Penanggulangan melalui Partisipasi Banjir, Jurnal dinamika Teknik masyarakat Sipil, Volume 8, Nomor 2, Juli 2008, Universitas Muhammadiyah Surakarta
(4)
(5)
Penelitian Observasi/survey
Terdapat dua katagori penyebab banjir, yaitu akibat alami dan akibat aktivitas manusia. Dalam kaitannya terjadinya banjir, maka terdapat metode yaitu metode struktural dan non-struktural. Metode struktural melalui Perbaikan dan pengaturan sistem sungai metode non struktural adalah partisipasi masyarakat, law enforcement
dan kuesioner. Beberapa objekyang terkait dengan sistem institusi pengelola DAS (Daerah Aliran Sungai) dan komponen sosial masyarakat
23
Shi Pei-Jun, Yi Yuan, Jing The effect of land Zheng, Jing-Ai Wang, Yi Ge, use/cover change Guo-Yu Qiu, 2009, The effect of on surface runoff land use/cover change on surface runoff in Shenzhen region, China, College of Resources Science and Technology, Beijing
SCS model (U.S. Soil Conservation Service)
Intensity and soil antecedent moisture condition and land use have important effects on runoff generation and flood process.
24
Wheatera Howard, Evansb Tataguna lahan Edward, 2009, Land Use Water Management and Future Flood Risk, Journal homepage: www.elsevier.com/locate/land usepol
Regresi
Pengelolaan keseimbangan antar negara dan kekuatan-kekuatan pasar dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan termasuk terhadap pengelolaan banjir secara struktural yang cenderung memerlukan biaya tinggi.
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
25
Ghani, MU, 2010, Participatory Participatory Strategy for Flood Mitigation Strategy for Flood In East and Northeast India: Mitigation Case Study of the Ganges– Brahmaputra–Meghna Basin, Farakka Dam Project Ministry of Water Resources, Govt of India Murshidabad, West Bengal
Linear Programming
The need to ensure people participation at the planning, implementation and maintenance stages of the fight against floods has been recognized for quite some time, however, and several attempts and experiments in this direction have been made over the years. In emergency situations, people’s involvement has had encouraging results
26
Kazimierz Banasik, Ngoc Pham, The effects of land 2010, Modelling of the effects of use changes on land use changes on flood flood hydrograph in a small catchment of the Płaskowicka, southern part of Warsaw, Poland, Department of Water Engineering, Warsaw University of Life Sciences – SGGW
There is the differences in responses of the catchment to rain events at various stages of land use
27
Murase Masahiko,Tyagi Avinash, Participation for C., Saalmueller Joachim, Nagata Integrated Flood Toru, 2010, Organizing Management Community Participation for Integrated Flood Management, Associated Programme on Flood Management, Climate and Water Department, World Meteorological Organization Geneva 2, Switzerland
The instantaneous unit hydrograph (IUH), and SCS-CN Model (Soil Conservation Services) 25400 CN = S + 254 CN is Curve Number S=is the catchment storage parameter (mm) Integrated Water Resources Management (IWRM) and Integrated Flood Management (IFM)
Community participation is fundamental and essential for each stage of the flood management, that is preparedness for, response to and recovery from. They can seek to maximize the benefits through the related development activities within the river basin as a whole.
Universitas Sumatera Utara
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
28
Panahi Ali, Bohloul Alijani, The Effect of the Hosein Mohammadi, 2010, The Land Use on the Effect of the Land Use/Cover Floods Changes on the Floods of the Madarsu Basin of Northeastern Iran, Science and Research Center, Islamic Azad University, Tehran, Iran
SCS-CN Model (Soil Conservation Services) 25400 CN = S + 254 CN is Curve Number S=is the catchment storage parameter (mm)
The impact of the land use/cover change on the degradation of the steady state environment and demonstrated that not taking into account this power would increase the destroying agents such as torrential floods in an exponential way.
29
Sari Santi, 2010, Studi Penggunaan lahan Limpasan Permukaan Spasial Akibat Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Model Kineros, Program Magister Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang Sudarto, Muhammad Tataguna lahan Mukhlisin, 2010, Pengaruh Perubahan Tataguna lahan Terhadap Peningkatan Aliran Permukaan: Studi Kasus di DAS Gatak Surakarta, Jurnal Purifikasi, Vol. 11, No. 1, Juli 2010: 29 – 40
menggunakan model Kineros
perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan nilai limpasan permukaan pada setiap periode penggunaan lahan.
Analisis hidrologi, metode Rasional
Terjadinya banjir disebabkan oleh perubahan tata guna lahan dalam 5 tahun terakhir. Bila proses penanganan perubahan tata guna lahan yang terjadi pada wilayah ini tidak dilakukan dengan baik dan terencana, maka dapat diprediksi bahwa dampak terhadap banjir dan genangan ini akan semakin meluas di Kota Surakarta.
30
Universitas Sumatera Utara
(1) 31
(2) Tsinda Aime, Alexis Gakub, 2010, Sustainable Hazards Mitigation in Kigali City (Rwanda), A.Tsinda and A. Gakuba, Sustainable Hazards Mitigation in Kigali city (Rwanda), 46th ISOCARP Congress
(3) Participate in the design and implementation of any hazards in their own communities.
32
Yulianur Alfiansyah,B.C., Agussabti, Rubiya, 2011, Evaluasi Kinerja Drainase Kota Banda Aceh dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemeliharaannya, Jurnal Teknik Sipil Vol 1 Tahun 1 September 2011: 21-30
Partisipasi Masyarakat terhadap kinerja drainase
(4) Study research, existing documents such as aerial photographs, satellite images, maps, legal texts like laws, decrees and policy texts; semidirected interviews, and direct observation were most heavily relied upon. Metode Rasional dan Metode Regresi Ganda.
(5) The public participation is sometimes limited in the planning phases, putting people at the “receiving end” of plans that were generated and directed by the national institutions and local collectivities. It is highly time to honestly and respectfully gauge the public’s willingness and ability to participate in the design and implementation of any hazards in their own communities. untuk mencegah banjir, peningkatan wawasan masyarakat dan kepercayaan masyarakat dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan sistem drainase
Universitas Sumatera Utara