BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Taksonomi Tanaman Padi (Oryza sativa L) Berdasarkan tata nama atau sistematika tumbuh-tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (1994), tanaman padi (Oryza sativa L) dimasukkan ke dalam klasifikasi sebagai berikut. Kingdom
: Plantae (Tumbuh-tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta
Sub-divisio
: Angiospermae
Kelas
: Monokotil (monocotyledoneae)
Ordo
: Glumiflorae (poales)
Familia
: Gramineae (poaceae)
Sub-familia
: Oryzoideae
Genus
: Oryza
Spesies : Oryza sativa L Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan rumput berumur pendek 5-6 bulan, berakar serabut, membentuk rumpun dengan mengeluarkan anakan-anakan, batang berongga beruas-ruas, dapat mencapai tinggi sampai lebih kurang 1,5 m. Daun berseling, bangun garis dengan pelepah yang terbuka. Bunga pada ujung batang berupa suatu malai dengan bulir kecil yang pipih, masing-masing terdiri atas 1 bunga. Tiap bunga disamping gluma mempunyai 1 palae inferior, 2 palae superior, 2 lodiculae, 3 benang sari dan satu putik dengan kepala putik berbentuk bulu (Tjitrosoepomo, 1994). Buah padi adalah biji padi itu sendiri yaitu putih 5
lembaga (endosperm) yang erat terbalut kulit ari. Besar kecil, bentuk dan warna besar tergantung dari jenis padi. Beras yang baik ialah yang besar, panjang, putih, mengkilap tidak berperut (Hardjodinomo, 1987). 1.2 Padi varietas Mekongga Mekongga merupakan persilangan antara padi jenis Galur A2970 yang berasal dari Arkansas Amerika Serikat, dengan varietas yang sangat populer di Indonesia yaitu IR 64. Umur tanam Mekongga cukup singkat yaitu hanya 116 hingga 125 hari. Secara fisik, bentuk tanamannya tegak dengan tinggi tanaman berkisar antara 91 sampai 106 cm. Anakan produktif 13-16 batang. Bentuk gabahnya sendiri ramping panjang dengan tekstur rasa beras yang pulen karena kadar amilosanya mencapai 23 persen. Bobot 1000 butir gabah Mekongga yaitu 28 gram sehingga kurang lebih potensi hasil varietas ini mencapai 8,4 ton per hektar dengan budidaya yang tepat tentunya (Purnomo, 2013). 1.3 Padi varietas Ciherang Ciherang merupakan hasil persilangan IR 64 terhadap beberapa galur IR lainnya ini, tampil dengan perkasa mengalahkan dominasi IR 64 selama kurun waktu 6 tahun dan eksis di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Selain merupakan nama jaminan kualitas beras, padi Ciherang dikenal tahan terhadap hama dan penyakit terutama hama Wereng Coklat biotipe 2 dan 3 serta penyakit Hawar Daun Bakteri strain III dan IV. Dengan teknik budidaya yang baik yaitu dengan mengaplikasikan pemupukan yang lengkap dan berimbang, varietas Ciherang mampu menghasilkan produksi 11,8 ton GKP/hektar.
6
Memiliki bentuk tanaman yang tegak dengan tinggi 107 - 115 cm serta anakan produktif antara 14 -17 batang dan potensi hasil 8,5 ton/ha, tanaman padi Ciherang terlihat kokoh dan membanggakan petani. Dengan warna kaki dan batang yang hijau serta memiliki posisi daun serta daun bendera yang tegak tanaman padi Ciherang terlihat cantik dan sehat. Begitu juga dengan kadar amilosa 23 % menjadikan varietas Ciherang dengan rasa nasi yang pulen (Margana, 2012). 1.4 Kategori kecambah Dalam perkembangbiakan suatu tanaman berbeda antara beberapa tanaman. Ada tanaman yang dapat dikembangbiakkan menggunakan cara generative dan adapula tanaman yang dikembangbiakkan menggunakan cara vegetative. Perkembangbiakan secara generative biasanya menggunakan biji, pada biji tersebut ada yang langsung bisa ditanam ke lapangan dan adapula yang masih memerlukan perkecambahan terlebih dahulu sebelum ditanam ke lapangan. Perkecambahan termasuk proses dimana mulainya dengan proses inbibisi air oleh dorman, biasanya kering, biji dan berakhir dengan proses elongasi dari axis embrio. Biji membuatnya yang selalu independen secara luas dari sumber daya lingkungan untuk bertahan hidup. Perubahan drastis tersebut dalam proses autotropik yang bergantung dari cahaya, CO2, air, dan nutrisi anorganik dari sekelilingnya untuk pertumbuhan autotropik. Perkecambahan adalah proses ketika embrio, radikula, memasuki kulit biji dan mungkin berproses dari air dan O2 dan pada temperatur yang stabil (Wijaya, 2013).
7
Menurut Sutopo (2010) perkecambahan adalah peristiwa tumbuhnya embrio di dalam biji menjadi tanaman baru. Biji akan berkecambah jika berada dalam lingkungan yang sesuai. Pengujian pada kondisi lapangan biasanya tidak memuaskan karena hasilnya kurang dapat dipercaya. Oleh karena itu metode labolatorium dikembangkan sedemikian rupa, dimana beberapa atau seluruh kondisi luar / lapangan dapat dikendalikan dengan teratur. Sehingga memberikan hasil perkecambahan yang lengkap dan cepat dari contoh benih yang dianalisa. Menurut Sutopo (2002) untuk evaluasi kecambah digunakan kriteria sebagai berikut : 1. Kecambah Normal a. Kecambah yang memiliki perkembangan sistem perakaran yang baik terutama akar primer dan untuk tanaman yang secara normal menghasilkan akar seminal maka akar ini tidak boleh kurang dari dua. b. Perkembangan hipokotil yang baik dan sempurna tanpa ada kerusakan pada jaringan-jaringannya. c. Pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik, di dalam atau muncul dari koleoptil atau pertumbuhan epikotil yang sempurna dengan kuncup yang norrmal. d. Memiliki satu kotiledon untuk kecambah dari monokotil dan dua bagi dikotil.. 2. Kecambah Abnormal a. Kecambah yang rusak, tanpa kotiledon, embrio yang pecah dan akar primer yang pendek.
8
b. Kecambah yang bentuknya cacat, perkembangannya lemah atau kurang seimbang dari bagian-bagian yang penting. Plumula yang terputar, hipokotil, epikotil, kotiledon yang membengkok, akar yang pendek. Koleoptil
yang
pecah atau tidak mempunyai daun atau kecambah yang kerdil. c. Kecambah yang tidak membentuk chlorophyl d. Kecambah yang lunak e. Untuk benih pohon-pohonan bila dari mocrophyl keluar daun dan bukannya akar. 3. Benih mati Kriteria ini ditujukan untuk benih-benih yang busuk sebelum berkecambah atau tidak tumbuh setelah jangka waktu pengujian yang ditentukan, tetapi bukan dalam keadaan dorman. 4. Benih keras Benih yang pada akhir uji daya kecambah masih keras karena tidak menyerap air disebabkan kulit yang impermeabel, dianggap sebagai benih yang berkulit keras. Persentase benih yang berkulit keras harus disebutkan tersendiri dalam analisa. 5. Benih yang belum busuk tetapi tidak berkecambah Benih yang telah membengkak karena menyerap air tetapi belum berkecambah pada akhir pengujian harus dikategorikan tersendiri (Sutopo, 2002).
9
1.5 Dormansi Benih dikatakan dorman apabila benih terebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan (Sutopo, 2002). 1.5.1
Tipe dormansi benih
1. Dormansi fisik Dormansi fisik yang menyebabkan pembatasan struktural terhadap perkecambahan, seperti kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis masuknya air atau gas pada beberapa jenis tanaman. - Impermeabilitas kulit biji terhadap air Dalam istilah pertanian, benih-benih yang menunjukan tipe dormansi ini di sebut benih keras. Disini pengambilan air terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel-sel serupa palisade berdinding tebal terutama dipermukaan paling luar dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin dari bahan kutikula. - Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio Beberapa jenis benih tetap berada dalam keadaan dorman disebabkan oleh kulit bijinya yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan dari embrio. Jika embrio dihilangkan maka embrio akan tumbuh dengan segera. 2. Dormansi fisiologis Dapat disebabkan oleh sejumlah mekanisme, umumnya dapat juga disebabkan pengatur tumbuh baik penghambat atau perangsang tumbuh, dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor dalam seperti :
10
-
Immaturity embrio Beberapa jenis tanaman mempunyai biji dimana perkembangan embrionya tidak secepat jaringan sekelilingnya. Sehingga perkecambahan dari benih-benih demikian perlu ditunda, sebaikanya benih ditempatkan pada kondisi temperatur dan kelembaban tertentu agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrio terbentuk sempurna dan dapat berkecambah.
-
After ripening Sering pula didapati bahwa walaupun embrio telah terbentuk sempurna dan kondisi lingkungan memungkinkan, namun benih tetap gagal untuk berkecambah. Benih-benih yang demikian ternyata memerlukan suatu jangka waktu simpan tertentu agar dapat berkecambah atau dikatakan membutuhkan jangka waktu after ripening. Istilah after ripening sebagai setiap perubahan pada kondisi fisiologis benih selama penyimpanan yang mengubah benih menjadi mampu berkecambah. Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari hanya beberapa hari sampai dengan beberapa tahun tergantung jenis benih (Sutopo, 2002).
2.5.2
Dormasi sekunder Dormansi sekunder adalah benih-benih yang pada keadaan normal mampu
berkecambah, tetapi apabila dikenakan pada suatu keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan selama beberapa waktu dapat menjadi kehilangan kemampuan untuk berkecambah. Kadang-kadang dormansi sekunder ditimbulkan bila benihbenih diberi semua kondisi yang dibutuhkan untuk berkecambah kecuali satu. Misalnya, kegagalan memberikan cahaya pada benih-benih yang membutuhkan
11
cahaya ataupun sebaliknya dapat menimbulkan dormansi pada benih-benih tarsebut. 2.5.3
Dormansi yang disebabkan oleh hambatan metabolisme pada embrio Tipe dormansi ini sering diasosiasikan dengan hadirnya zat-zat
penghambat perkecambahan didalam embrio. Dengan perlakuan mencuci embrio dengan air dapat merangsang terjadinya perkecambahan. Zat-zat penghambat perkecambahan yang diketahui terdapat pada tanaman yaitu pada ammonia (Sutopo, 2002). 2.5.4
Cara-cara untuk mematahkan dormansi Dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih
dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansinya dapat dipersingkat. Beberapa cara yang telah diketahui adalah : - Perlakuan mekanis Perlakuan mekanis umum dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas, resistensi mekanis kulit perkecambahan yang terdapat pada kulit biji. Seperti mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas empelas, melubangi kulit biji dengan pisau. - Perlakuan kimia Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sering pula dilakukan untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses ambibisi. Larutan asam kuat
12
seperti asam sulfat dan asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia yang sering digunakan adalah potassium nitrat (KNO3). Berikut ini diberikan contoh pemberian bahan kimia untuk memecahkan dormansi benih : Untuk memecahkan dormansi benih padi dapat digunakan KNO3, benih direndam sebelum di tanam. - Perlakuan perendaman dengan air Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Prosedur umun yang digunakan adalah sebagai berikut : Air di panaskan sampai 1800-2000F, benih dimasukkan kedalam air panas tersebut dan dibiarkan sampai menjadi dingin, selama beberapa waktu. - Perlakuan pemberian temperatur tertentu Banyak benih yang perlu dikenai temperatur tertentu sebelum dapat diletakkan pada temperatur yang cocok untuk perkecambahannya. Cara yang sering dipakai dengan memberi temperatur rendah pada keadaan lembab disebut stratifikasi. Selama stratifikasi terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadi pembetukkan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan. - Perlakuan dengan temperatur dan tinggi Keadaan dormansi pada beberapa benih dapat diatasi dengan pemberian dari efek dari temperatur rendah dan agak tinggi. Tetapi temperatur ekstrim dari
13
perlakuan ini tidak boleh berbeda lebih dari 100 atau 20 0C, pada umumnya berada diatas dari titik beku. - Perlakuan dengan cahaya Cahaya tidak hanya mempengaruhi presentase perkecambahan benih, tetapi juga laju perkecambahan. Pengaruh cahaya pada benih bukan saja dalam jumlah cahaya yang diterima tetapi juga intensitas cahaya dan panjang hari. Pengaruh cahaya ini dalam satu dan lain hal bertalian erat dengan pengaruh temperatur pada benih dan dengan bahan pengatur tumbuh yang ikut serta dalam menyebabkan atau memecahkan dormansi benih (Sutopo, 2002). 1.6 Potassium Nitrat/Kalium Nitrat (KNO3) Mayer dan Mayber (1982) menyatakan bahwa larutan KNO3 merangsang perkecambahan benih yang mengalami dormansi seperti benih Lepidum viginicum, Eragrotis curvula, Polygon monspelliensis dan Agrotis sp. Larutan KNO3 tersebut berinteraksi dengan suhu dan menstimulir perkecambahan benih. Efek KNO3 yang ditimbulkan ditentukan oleh besar kecilnya konsentrasi. Dormansi fisiologis dapat dipatahkan dengan penyimpanan kering, prechilling, preheating, cahaya, kalium nitrat (KNO3), asam giberelat (GA3) dan polyethylene (ISTA, 1999). Menurut Soejadi dan Koesandhriani dalam Wusono (2001) KNO3 akan efektif bila dikombinasikan dengan pemanasan pada suhu 50 jam, cara ini dapat mematahkan dormansi secara efektif pada beberapa varietas padi. Zat kimia yang banyak digunakan untuk merangsang perkecambahan benih adalah Kalium nitrat (KNO3). Larutan 0.1% sampai 1% KNO3 rutin digunakan pada uji perkecambahan dan direkomendasikan oleh Association of
14
Official Seed Analyst dan International Seed Testing Association. Banyak benih yang peka terhadap KNO3 juga peka terhadap cahaya. Dilain pihak KNO3 meniadakan hambatan cahaya pada perkecambahan benih ricegras (Copeland, 1976). Menurut Soejadi dan Koesandhriani dalam Wusono (2001) KNO3 efektif
pada benih yang memiliki intensitas dormansi rendah. Pematahan
dormansi baru akan efektif bila dikombinasikan dengan pemanasan pada suhu 500C selama 48 jam, cara ini dapat mematahkan dormansi secara efektif pada beberapa varietas padi (Hidayat, 2012).
15