BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Iklim Organisasi 2.1.1. Definisi Iklim Organisasi Awalnya, iklim organisasi adalah istilah yang digunakan merujuk kepada berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial, pengaruh organisasi dan pengaruh situasional terhadap perilaku karyawan (Argyris, 2008). Mikula (2000) berpendapat iklim organisasi ditentukan oleh organisasi dan psikologis karyawan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja karyawan dan tujuan organisasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Guetzkow et al. (2002) dalam Gayle dan Harald (2010) pada perusahaan farmasi menyatakan iklim organisasi merupakan suatu bentuk kondisi yang dirasakan oleh karyawan dalam suatu organisasi sehingga berpengaruh terhadap perkembangan organisasi. Iklim organisasi didefinisikan sebagai kualitas lingkungan internal organisasi secara relatif terus berlangsung yang dialami oleh anggota organisasi dapat mempengaruhi perilaku mereka. Karyawan yang merasa puas dengan iklim organisasi akan menunjukan kinerja yang positif dan sesuai dengan tujuan perusahaan, sebaliknya karyawan yang tidak merasa puas dengan iklim organisasi tempatnya bekerja maka akan berpengaruh pada turunnya produktifitas dan kinerja karyawan (Wirawan, 2007).
11
12
Wei dan Morgan (2004) telah mendefinisikan iklim organisasi merupakan tanggapan karyawan tentang aspek yang berhubungan dengan pekerjaan penting dari nilai-nilai organisasi meliputi tanggapan terhadap peristiwa, praktik, prosedur, jenis perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan. Sehingga iklim organisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku individu dan kelompok dalam organsasi. Penelitian yang dilakukan oleh Giri dan Kumar (2007) mengungkapkan dengan terciptanya iklim organisasi yang berdampak positif terhadap kepuasan dan produktivitas karyawan, komunikasi, koordinasi dan pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan tujuan organisasi. Iklim organisasi menunjukkan persepsi, perasaan dan sikap anggota organisasi yang mencerminkan norma-norma, nilai-nilai, sikap dan budaya dari organisasi (Castro dan Martins, 2010). Sehingga iklim organisasi yang dimiliki setiap organisasi akan mempengaruhi persepsi karyawan tentang kebijakan organisasi, kekompakan rekan kerja, penyelesaian tugas, keadilan organisasi dalam pemberiaan penghargaan. Selain itu iklim organisasi merupakan seperangkat sifat terukur seperti kepercayaan, semangat, penghargaan, keadilan, konflik,
kredibilitas
pemimpin
dan
resistensi
terhadap
peruahan
yang
mempengaruhi motivasi dan perilaku karyawan terhadap lingkungan kerja dan komitmen organisasi (Burton et al., 2004). 2.1.2. Dimensi Iklim Organisasi Penelitian yang dilakukan oleh Koene et al. (2002) pada supermarket di Belanda mengungkapkan bahwa iklim organisasi dapat dilihat dari oleh komunikasi pimpinan dan anggota, pemberian informasi oleh manajer, efisiensi
13
organisasi, kejelasan tugas dan kesiapan manajemen untuk berinovasi. Menurut Avery (2004), pemimpin dapat mengembangkan iklim organisasi seperti : menciptakan suatu lingkungan di mana karyawan dapat bekerja secara efektif, mengembangkan budaya yang sesuai yang membantu karyawan membangun komitmen untuk tujuan organisasi dan merumuskan strategi. Iklim organisasi mengacu pada aspek-aspek lingkungan yang sadar dirasakan oleh anggota organisasi (Armstrong, 2003). Litwin dan Stringer (2004) menyatakan dalam penelitiannya terdapat enam dimensi yang digunakan untuk mengukur iklim organisasi, meliputi : 1) Struktur adalah persepsi karyawan bahwa struktur organisasi, kebijakan dan tanggung jawab yang didefinisikan dengan baik oleh pemimpin perusahaan. 2) Tanggung jawab adalah kewajiban karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pengarahan yang diberikan. 3) Identitas adalah perasaan memiliki perusahaan yang dimiliki oleh karyawan sehingga dalam menjalankan pekerjaannya menjadikan karyawan sebagai bagian penting dalam penyelesaian pekerjaan. 4) Penghargaan adalah sesuatu yang diberikan oleh pemimpin atas kinerja karyawan yang diberikan dalam bentuk material atau ucapan. 5) Kehangatan adalah perasaan terhadap suasana kerja yang bersahabat dan lebih ditekankan pada keramahan setiap karyawan sehingga terjadi hubungan yang baik antar setiap karyawan.
14
6) Konflik adalah suatu keadaan dimana terjadinya perbedaan pendapat sehingga diperlukan keterbukaan guna mendapatkan solusi terbaik. 2.2. Kepuasan Kerja 2.2.1. Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja (job satisfaction) dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins, 2012). Menurut Suwatno dan Priansa (2011) kepuasan kerja (job satisfaction) adalah cara individu merasakan pekerjaannya yang dihasilkan dari sikap individu tersebut terhadap berbagai aspek yang terkandung di dalam pekerjaan. Levi dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja menggambarkan perasaan pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. Herzberg’s (1968) menyatakan dalam teori dua faktor (hygiene and motivation) kepuasan dan ketidakpuasan karyawan disebabkan oleh faktor yang berbeda. Faktor yang menyebabkan kepuasan kerja disebut faktor motivasi. Faktor motivasi tersebut meliputi prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan promosi jabatan. Faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja disebut faktor higienis. Kebijakan administratif, pengawasan, gaji, hubungan antara karyawan dan kondisi kerja merupakan bagian dari faktor higienis (Petty et al., 2005). Kepuasan kerja merupakan evaluasi reaksi emosional kerja individu atau pengalaman kerja dan penilaian perasaan emosional keseluruhan dari eksekusi atau kinerja (Fields, 2002). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Babakus et al. (2003) menyatakan kepuasan kerja menjadi faktor penting untuk
15
mengembangkan kinerja kerja karyawan lebih produktif. Kepuasan kerja dibentuk oleh faktor kepuasan intrinsik dan ekstrinsik, dimana faktor intrinsik terkait dengan pemanfaatan kemampuan, aktivitas, prestasi, otoritas, kemerdekaan, nilainilai moral, tanggung jawab, keamanan, kreativitas, pelayanan sosial, status sosial anggota organisasi (Furnham et al., 2002). Kepuasan kerja dapat fokus pada persyaratan penting bagi kesehatan pribadi, keselamatan, pertumbuhan, kerja sama tim, dan harga diri, prestasi dalam pekerjaan atau tingkat pekerjaan (Fields, 2002). Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil evaluasi dari harapan dengan kenyataan yang diterima dalam pekerjaannya. 2.2.2. Dimensi Kepuasan Kerja Menurut Luthans, 2006 terdapat beberapa dimensi kepuasan kerja yang penting mengenai pekerjaan dimana orang dapat meresponnya. Dimensi itu meliputi pekerjaan itu sendiri (work it self), atasan (supervisor), rekan kerja (workers), promosi dan gaji (pay). Salah satu teori yang menjelaskan mengenai kepuasan kerja adalah teori motivation hygiene yang dikembangkan oleh Herzberg (1966). Teori motivation hygiene sebenarnya berujung pada kepuasan kerja. Untuk mendatangkan kepuasan kerja, dalam dunia kerja kepuasan itu salah satunya dapat mengacu kepada kompensasi yang diberikan oleh pengusaha, termasuk gaji atau imbalan dan fasilitas kerja lainnya. Adapun dimensi yang membentuk kepuasan adalah pekerjaan itu sendiri (work it self), atasan (supervisor), teman sekerja (workers), promosi dan gaji (pay).
16
Robbins et al. (2013) menyatakan terdapat tiga dimensi dari kepuasan kerja, yaitu: kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi dan kondisi kerja, kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan dan kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Azeem (2010) dan Robbins et al. (2013) mengungkapkan lima komponen pengukur kepuasan kerja yang meliputi : 1) Pembayaran (pay), yaitu sejumlah upah yang diterima dan dianggap pantas sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Para karyawan juga akan membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para karyawan tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda dengan karyawan yang lainnya. 2) Pekerjaan (job), yaitu pekerjaan yang dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk pembelajaran bagi karyawan serta kesempatan untuk menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Karyawan akan merasa senang dan tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya. 3) Kesempatan promosi (promotion opportunities), yaitu adanya kesempatan bagi karyawan untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta pengembangan individu setiap karyawan. 4) Atasan (supervisor), yaitu kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian kepada karyawan, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan
17
dalam memperlakukan karyawan akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam pekerjaannya sehari-hari. 5) Rekan kerja (co-worker), yaitu sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai. 2.3. Komitmen Organisasi 2.3.1. Definisi Komitmen Organisasi Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak terhadap tujuan-tujuan organisasi serta memiliki keinginan untuk mempertahankan
keanggotaannya
dalam
organisasi
tersebut.
Komitmen
organisasional umumnya didefinisikan sebagai ketertarikan karyawan serta hubungan seorang dengan organisasi (Huang et al., 2012) Karyawan yang berkomitmen untuk perusahaan mereka cenderung untuk mampu mengidentifikasi tujuan dan sasaran organisasi dan berkeinginan untuk tetap dalam organisasi mereka. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai perasaan kewajiban karyawan untuk tinggal dengan organisasi, perasaan ini dihasilkan dari tekanan internalisasi normatif yang diberikan pada seorang individu (Darwish, 2000). Robbins et al. (2013) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu keadaan di mana karyawan teridentifikasi dengan organisasi tertentu dan tujuannya, dan berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
18
2.3.2. Dimensi Komitmen Organisasi Menurut Tolentino (2013) komitmen mengacu pada dedikasi seseorang kepada orang, pekerjaan atau organisasi yang tercermin dalam niat seseorang untuk bertekun dalam suatu tindakan. Menurut Allen dan Mayer (1990) dimensi komitmen organisasi dapat dibedakan menjadi 3 bagian. meliputi : 1) Komitmen Afektif (Affective commitment). Komitmen afektif adalah keterikatan emosional, identifikasi serta keterlibatan seorang karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif menggambarkan keinginan individu untuk tinggal dengan organisasi yang memberinya keterikatan emosional untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang
setuju
dengan
organisasi
itu
dan
memang
berkeinginan
melakukannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh English et.al (2010) pada tenaga kerja sektor publik di Australia Barat dinyatakan bahwa karyawan yang mempunyai masa kerja lebih lama memiliki tingkat komitmen afektif yang lebih kuat. Sedangkan Meyer et al. (2002) berpendapat bahwa komitmen afektif yang tinggi ditemukan berhubungan dengan turnorver karyawan yang rendah, ketidakhadiran rendah dan kinerja lebih baik. 2) Komitmen berkelanjutan (Continuance commitment). Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen karyawan yang didasarkan pada pertimbangan apa yang harus dikorbankan bila meninggalkan organisasi atau kerugian yang akan diperoleh karyawan jika tidak melanjutkan pekerjaannya dalam organisasi. English et al. (2010) berpendapat komitmen berkelanjutan menggambarkan tentang kebutuhan individu untuk tetap dengan
19
organisasi akibat dari pengakuan akan biaya terkait dengan meninggalkan organisasi. 3) Komitmen normatif (Normative commitment) Komitmen normatif merupakan keinginan karyawan untuk tetap bekerja dikarenakan aturan-aturan, norma-norma dan tanggung jawab yang ada dalam organisasi. English et al. (2010) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa komitmen normatif mencerminkan perasaan seseorang yang berkewajiban untuk mempertahankan keangotaan organisasi karena dia setia dan akan tetap dalam organisasi. Jha (2011) mengemukakan bahwa komitmen normatif adalah kecenderungan alami untuk setia dan berkomitmen kepada lembaga atau organisasi layaknya keluarga, perkawinan, negara dan agama.