BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Umum Sejalan dengan perkembangan Kota Medan yang terus berkembang ditambah
lagi dengan sudah diresmikannya Bandara Internasional Kuala Namu, maka semakin banyak permintaan pembangunan gedung-gedung bertingkat, baik hotel, pusat perbelanjaan, serta gedung-gedung bertingkat tinggi lainnya. Dengan adanya pengembangan gedung-gedung secara vertikal, maka akan semakin banyak pula permintaan untuk penggunaan pondasi dalam, khususnya pondasi tiang bor/bored pile, demikian juga halnya dengan pembangunan Hotel Sapadia Medan yang menggunakan pondasi tiang bor/bored pile. Pemilihan type pondasi tiang bor/bored pile ini tentunya sudah melalui beberapa pertimbangan diantaranya menghindari terjadinya getaran pada bangunan-bangunan disekitarnya. Dari data yang dikumpulkan penulis, sampai saat ini kemampuan para ahli geoteknik dalam memprediksi daya dukung pondasi tiang masih kurang, hal ini dapat dilihat dari hasil symposium prediksi daya dukung tiang yang diadakan oleh ASCE dan Northwestern University pada tahun 1989, dimana praktis tidak ada satupun ahli yang dapat memprediksi daya dukung friksi dan daya dukung ujung tiang dengan keakuratan ±10% dari hasil uji beban statis (Finno, 1989). Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa para ahli masih belum begitu yakin dengan pendekatan rumus-rumus
perhitungan
daya
dukung
7
pondasi
tiang
sehingga
dalam
8
Kebanyakan buku tentang rekayasa pondasi tiang modern masih tetap menganjurkan pengambilan faktor keamanan sama dengan 3 dari hasil analitis perkiraan daya dukung tiang. Alasan utama kiranya adalah kondisi tanah alam yang sangat bervariasi dan perilakunya sangat kompleks. Selain itu setiap pelaksanaan pemancangan pondasi tiang dapat mengubah dan mengganggu kondisi susunan tanah aslinya, sehingga para ahli geoteknik menyatakan bahwa kemajuan utama dalam pondasi tiang belakangan ini adalah kesadaran bahwa pengaruh pelaksanaan pondasi harus memperhitungkan rekayasa geoteknik diantaranya yaitu melalui metode elemen hingga. Lalu, perlu juga menjadi catatan dan perhatian kita bersama, walaupun perhitungan daya dukung pondasi tiang umumnya sudah dikorelasikan dengan hasil pengujian di laboratorium, namun kondisi di laboratorium sering sekali sangat berbeda dengan kondisi tanah dalam keadaan asli, dan salah satu cara yang paling dapat diandalkan dalam memprediksi daya dukung tiang adalah dengan melakukan uji beban statis yang dikombinasikan dengan penggunaan instrumentasi yang kita kenal dengan istilah loading test. Pemilihan pemakaian pondasi tiang bor/bored pile pada bangunan tinggi di perkotaan dikarenakan penulangan yang tidak dipengaruhi oleh tegangan saat pengangkutan dan pemancangan, tidak adanya resiko kenaikan muka tanah serta tanah bor pada saat pemancangan yang dapat diperiksa dan dicocokkan dengan data laboratorium (Hardiyatmo, 2011).
2.2. Tanah Sebagai Bahan Pendukung Pondasi Tanah di alam ini terdiri dari campuran butiran-butiran mineral dengan atau
9
tanpa kandungan bahan organik. Tanah berasal dari pelapukan batuan yang prosesnya dapat secara fisik maupun kimia. Istilah-istilah seperti kerikil/gravel, pasir/sand, lanau/silt dan lempung/clay digunakan dalam teknik sipil untuk membedakan jenisjenis tanah (Das, 1995). Untuk mengadakan peramalan dan penilaian teknis dalam perencanaan, diperlukan pengertian yang mendalam mengenai karakteristik mekanis dari tanah. Parameter yang mempengaruhi karakteristik tanah sebagai pendukung pondasi berupa ukuran butiran tanah, berat jenis tanah, kadar air tanah, kerapatan butiran tanah, angka pori, sudut geser tanah dsb. Untuk memperoleh data tersebut, maka diperlukan penelitian tanah melalui laboratorium Mekanika Tanah dengan data dari laboratorium dapat diketahui daya dukung yang dapat dihasilkan oleh sebuah pondasi terhadap beban bangunan diatasnya.
2.2.1. Parameter Tanah Secara umum elemen tanah mempunyai 3 (tiga) fase, yaitu butiran padat, air dan udara seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Hubungan antar fase tanah (Sumber: Punmia, 1981)
10
Pemahaman mengenai komposisi tanah diperlukan untuk mengambil keputusan dalam memperoleh parameter
tanah dan hubungan antara volume dengan berat
dapat dilihat pada Gambar 2.1. Sementara Hubungan volume pada elemen tanah adalah angka pori/void ratio, porositas/porosity, derajat kejenuhan/degree of saturation, sedangkan untuk hubungan berat digunakan istilah kadar air/water content, dan berat volume/unitweight). Hubungan tersebut dapat dilihat Tabel 2.1. Tabel 2.1. Korelasi berbagai jenis parameter tanah (Sumber: Punmia, 1981)
2.2.1.1. Berat Isi (sat dan unsat) Berat volume atau berat isi () merupakan berat tanah persatuan volume,
(2.1.) Korelasi empiris untuk konsitensi tanah kohesif mulai dari very soft sampai dengan hard antara nilai N-SPT dengan berat isi tanah jenuh dapat dilihat pada Tabel 2.2.
11
Tabel 2.2. Korelasi empiris antara nilai N-SPT dengan berat isi tanah jenuh (sat) untuk tanah kohesif (Sumber: Lambe W T & Whitman R V, 1969) qu
N-SPT Blows/ft
Konsistensi
(Unconfined Compressive Stength)
<2 2-4 4–8 8 – 15 15– 30 > 30
Very Soft Soft Medium Stiff Very Stiff Hard
(tons/ft2) < 0.25 0,25 – 0,50 0,50 – 1,00 1,00 – 2,00 2,00 – 4,00 > 4,00
sat kN/m3 16 - 19 16 - 19 17 - 20 19 - 22 19 - 22 19 - 22
Korelasi untuk menentukan berat isi tanah () dan berat isi tanah jenuh (sat) untuk tanah kohesif dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan untuk tanah non kohesif dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.3. Korelasi berat isi tanah () non kohesif dan kohesif (Sumber: Lambe W T & Whitman R V, 1969) Cohesionless Soil N
0 - 10
11 – 30
31 – 50
> 50
Unit Weight , kN/m3
12 -16
14 – 18
16 - 20
18 - 23
Angle of Friction,
25 - 32
28- 36
30 - 40
> 35
State
Loose
Medium
Dense
Very Dense
Cohesive N
>4
4–6
6 – 15
16 - 25
> 25
Unit Weight , kN/m3
14 -18
16 – 18
16 - 18
16 - 20
> 20
Cu, kPa
< 25
20 – 50
30 - 60
40 - 200
> 100
State
Very Soft
Soft
medium
Stiff
Hard
12
Tabel 2.4. Korelasi berat jenis tanah jenuh (sat) non kohesif. (Sumber: Lambe W T & Whitman R V, 1969)
Desciption
Very Loose
Loose
Medium
Dense
Very Dense
N-SPT Fine
1–2
3-6
7 - 15
16 - 30
Medium
2–3
4-7
8 - 20
21 - 40
> 40
Coarse
3–6
5–9
10 - 25
16 - 45
> 45
Angle of friction Fine
26 - 28
28 - 30
30 - 34
33 - 38
Medium
27 - 28
30 - 32
32 - 36
36 - 42
Coarse
28 - 30
30 – 34
33 - 34
40 - 50
wet (kN/m3)
11 - 16
14 – 18
17 - 20
17 - 22
> 50
20 – 23
2.2.1.2. Parameter Kekakuan (E dan ) Parameter kekakuan dinyatakan dalam modulus elastisitas (E) dan Poisson ratio (). Hubungan Poisson ratio () dengan regangan adalah sebagai berikut: Regangan Horizontal,
(h) =
(2.2)
Regangan Vertikal,
(h) =
(2.3)
Sehingga Poisson ratio,
() =
ℎ
(2 .4)
Korelasi modulus elastis dengan nilai N-SPT tanah dapat dilihat pada Tabel 2.5, sementara Tabel 2.6 menunjukan hubungan berbagai jenis tanah dengan modulus Young dan Poisson ratio.
13
Tabel 2.5. Korelasi modulus elastisitas (Es) dengan nilai N-SPT (Bowles, 1988) N-SPT (kN/m2)
Jenis Tanah
Es = 500 (N + 15) Sand (Normally Consolidated)
Es = 7000 N 0,5 Es = 6000 N Es = (15000 – 22000) ln N
Sand (Saturated)
Es = 250 (N + 15)
Sand, all (Normally Consolidated) Es = (2600 – 2900) N Es = 4000 + 1050 N
Sand (overconsolidated)
Es (ocr)= Es(ocr). 0,5 Es = 1200 (N + 6)
Gravelly Sand
Es = 600 (N + 6), N < 15
Clayey Sand
Es = 320 (N + 15)
Silt, Sandy silt or clayey silt
Es = 300 (N + 6)
Tabel 2.6. Hubungan tipe tanah dengan modulus Young dan Poisson ratio (Das, 1995) Young’s modulus, Es MN/m
Lb/in
Poisson’s ratio
Loose sand
10,35 - 24,15
1500 - 3500
0,20 - 0,40
Medium Dense sand
17,25 - 27,60
2500 - 4000
0,25 - 0,40
Dense sand
34,50 - 55,20
5000 - 8000
0,30 - 0,45
Silty sand
10,35 - 17,25
1500 - 2500
0,20 - 0,40
69,00 - 172,50
10000 - 25000
0,15 - 0,35
Soft clay
2,07 - 10,35
300 - 750
Medium Clay
5,18 - 10,35
750 - 1500
Stiff clay
10,35 - 24,15
1500 - 3500
Jenis Tanah
Sand and gravel
2
2
0,20 - 0,50
14
Besaran Modulus Elastisitas berbagai jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.7, mulai dari tanah clay, tanah glacial till, sand, sand and gravel, shale serta tanah silt.
Tabel 2.7. Modulus elastisitas (Es) berbagai jenis tanah (Bowles, 1988)
Jenis Tanah Clay
Glacial till
Sand
Sand and Gravel
Modulus Elastisitas Es (103) (kN/m2)
Very Soft
2–5
Soft
5 – 25
Medium
15 - 50
Hard
50 – 100
Sandy
25 – 100
Loose
10 – 150
Dense
150 – 720
Very Dense
500 – 1440
Loose
15 – 60
Silty
5 -20
Loose
10 – 25
Dense
50 – 81
Loose
50 – 150
Dense
100 – 200
Shale Silt
144 – 14400 2 - 20
2.2.1.3. Parameter Kekuatan Tanah (c, ∅ dan )
Parameter kekuatan tanah berupa kohesi tanah (c), sudut geser tanah (∅) dan
dan sudut dilatansi () dan dapat dijelaskan sebagai berikut:
15
1. Kohesi tanah (c), merupakan nilai yang timbul akibat adanya lekatan antar butiran tanah dan nilai N-SPT dapat ditentukan dari Gambar 2.2 dan 2.3.
.
Gambar 2.2. Grafik hubungan antara kohesi (c) dan nilai N-SPT (Sumber: Terzaghi, 1967)
Gambar 2.3. Grafik hubungan nilai N-SPT dan undrained shear strength (Su) (Sumber: Terzaghi, 1967) 2. Sudut geser/friction angle (Ø), sudut geser atau sudut geser dalam tanah merupakan penambahan dari shear strength dengan stress level. Sudut geser
16
yang besar ditemukan pada tanah yang berbutir, Sudut geser/friction angle diperoleh dari kekasaran antar butiran tanah. Nilai sudut geser dalam untuk berbagai jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8.Sudut geser dalam tanah bukan lempung (Bowles, 1988) Jenis Tanah Gravel, crushed Gravel, bank run Sand, crushed (angular) Sand, bank run (sub angular) Sand, beach (well rounded) Silty sand Silt, inorganik
Sudut geser efektif (Ø’) Loose Dense 36 – 40 40 – 50 34 – 38 38 – 42 32 – 36 35 – 45 30 – 36 34 – 40 28 – 32 32 – 38 25 – 35 30 – 36 25 – 35 30 – 35
3. Sudut dilatansi (), tanah lempung cenderung tidak menunjukkan dilatansi sama sekali atau sama dengan 0. Dilatansi dari pasir tergantung dari sudut gesernya. Untuk pasir kwarsa kurang lebih adalah - 30. Walaupun demikian dalam kebanyakan kasus adalah 0. Untuk d < 30, nilai negatif yang kecil untuk hanya realistis untuk tanah pasir yang sangat lepas.
2.2.2.
Konsep Tegangan Total dan efektif
2.2.2.1. Konsep Tegangan Total Pada suatu massa tanah, tegangan total pada suatu titik dihitung dari berat volume keseluruhan dari elemen tanah yang berada di atasnya. Jika suatu massa tanah tersebut diketahui terdapat air tanah, maka tegangan total dihitung dengan memasukkan pengaruh berat volume tanah jenuh air dan berat volume air.
17
Gambar 2.4. Potongan melintang tanah Gambar 2.4 menunjukkan titik A pada suatu massa tanah dalam potongan melintang. H adalah besarnya kedalaman muka air tanah dihitung dari partikel tanah sedangkan Ha merupakan kedalaman titik A dihitung dari muka air tanah. Secara matematis, besarnya tegangan total (σ) adalah: = H γw + (Ha – H) γsat
(2.5)
Dimana, γw
= Berat volume air.
γsat
= Berat volume tanah jenuh air.
Analisis tegangan total digunakan untuk menganalisis stabilitas jangka pendek/short term atau akhir konstruksi, dalam penggunaan praktis disebut juga kondisi undrained. Kondisi ini terjadi pada saat penambahan beban luar melebihi kecepatan terdisipasinya air pori. Pada tanah lempung proses terdisipasinya tekanan air pori relatif lebih lambat dibandingkan dengan tanah pasir, oleh karena itu analisis kondisi
undrained
umumnya
digunakan
untuk
tanah
lempung.
18
Faktor keamanan dalam kondisi kritis (minimal) terletak di akhir konstruksi pada saat nilai u maksimal. Seiring berjalannya waktu, tekanan air pori akan tereduksi sehingga menyebabkan kuat geser tanah dan faktor keamanan meningkat. Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka analisis tegangan total digunakan pada saat lereng dalam kodisi kritis (faktor keamanan minimal). Parameter yang digunakan pada analisis tegangan total adalah cu (undrained cohesion) dan u (undrained friction angle). Parameter-parameter tersebut disebut dengan parameter total. Kekuatan tanah lempung jenuh/undrained shear strength dinyatakan dengan Su, Su = cu u = 0 Undrained strength (cu) untuk lempung normally consolidated dapat ditentukan melalui persamaan berikut : = 0,11 + 0,0037
Dimana, ’0
= Tegangan efektif over bulen.
IP
= Indeks Plastisitas.
(2.6)
Untuk lempung overconsolidated, undrained strength (cu) ditentukan melalui persamaan : (
/ ′ ).
( ′ ).
= OCR0,8
Dimana, OCR
= Overconsolidated ratio.
(2.7)
19
Triaxial Test
Short term stability (end of construction)
Unconfined Compression Test
UU test
Undrained Strength, Su
CU test
Ccu, cu
Unconfined Strength, qu
Gambar 2.5. Pengujian tanah yang dilakukan untuk stabilitas jangka pendek Berdasarkan Gambar 2.5 parameter-parameter tanah selain diperoleh melalui tes triaxial UU dapat juga melalui tes triaxial CU dan tes unconfined compression dan umumnya digunakan untuk analisis stabilitas timbunan maupun pondasi.
2.2.2.2. Konsep Tegangan Efektif (’) Titik A pada Gambar 2.4 terletak dalam sebuah tanah jenuh air, berdasarkan kondisi tersebut di titik A terdapat gaya hidrostatis akibat pengaruh muka air tanah. Tekanan hidrostatis tersebut disebut tekanan air pori (u). Tegangan efektif menunjukkan hubungan tegangan total pada suatu massa tanah jenuh air yang dipengaruhi tekanan air pori. Secara matematis tegangan efektif (σ’) dapat dinyatakan dengan: ’ = - u Dengan memasukan pengaruh kedalaman dan berat volume air dan tanah maka persamaan tersebut dapat dikembangkan menjadi:
20
’
= [H γw + (Ha – H) γsat] – HA γw
’
= (HA – H) (γsat – γw)
(2.8)
(HA – H) merupakan tinggi tanah , sedangkan (γsat – γw) merupakan berat volume tanah efektif (γ’). Analisis tegangan efektif digunakan untuk menganalisis stabilitas jangka panjang/long term atau disebut juga dengan kondisi drained. Pada tanah pasir, proses terdisipasinya air pori terjadi lebih cepat, oleh karena itu analisis kondisi drained umumnya digunakan untuk analisis stabilitas pada tanah pasir. Direct Shear Test
c’dan Ø’
CD test
Long term stability
Triaxial Test
Pengukuran tekanan air pori
c’dan Ø’
CU test c’r dan ’r Ring Shear residual test Gambar 2.6. Pengujian tanah yang dilakukan untuk stabilitas jangka panjang
Parameter yang digunakan pada analisis tegangan efektif adalah c’ dan Ø’. Parameter-parameter tersebut disebut dengan parameter efektif. Analisis pada kondisi long term menggunakan metode tegangan efektif, parameternya ditentukan dengan test triaxial drained atau tes direct shear, bisa juga menggunakan CU test dengan memperhitungkan tegangan air pori atau menggunakan ring shear test seperti terlihat pada Gambar 2.6.
21
2.2.3. Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb Dalam buku mekanika tanah prinsip-prinsip rekayasa geoteknik, Braja M Das (1995) dijelaskan bahwa kekuatan geser suatu massa tanah merupakan perlawanan internal tanah persatuan luas terhadap keruntuhan atau pergeseran sepanjang bidang geser dalam tanah. Mohr (1980) menyatakan bahwa keruntuhan terjadi pada suatu material akibat kombinasi kritis antara tegangan geser maksimum. f
= f ()
(2.9)
Dimana, f
= Tegangan geser saat terjadi keruntuhan atau kegagalan.
σ
= Tegangan normal pada kondisi saat tertentu.
Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir-butir tanah terhadap desakan atau tarikan. Garis keruntuhan/failure envelope yang dinyatakan oleh persamaan diatas sebenarnya berbentuk lengkung. Untuk sebagian besar masalah-masalah mekanika tanah, garis tersebut cukup didekati dengan sebuah garis lurus yang menunjukkan hubungan linier antara tegangan normal dan geser (Coulomb, 1776). Persamaan tersebut disebut sebagai kriteria kegagalan atau keruntuhan Mohr-Coulomb seperti pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb (Sumber: Dass, 1995)
22
Dari Gambar 2.7 pengertian tentang keruntuhan diartikan sebagai berikut: 1. Jika tegangan mencapai titik A maka keruntuhan geser tidak akan terjadi. 2. Jika tegangan mencapai titik B maka keruntuhan geser akan terjadi dimana titik B terletak pada garis selubung kegagalannya. 3. Tegangan pada titik C tidak pernah terjadi, karena sebelum mencapai titik tersebut bahan sudah mengalammi keruntuhan. Rumus Mohr-Coulomb tersebut memiliki kelemahan yang membuat rumus tersebut tidak akurat, yaitu nilai-nilai c dan Ø yang diperoleh sangat tergantung dari jenis pengujian yang dilakukan. Terzaghi (1925) menyempurnakan rumus tersebut dengan memperhitungkan faktor tegangan air pori karena tegangan efektif yang terjadi pada tanah sangat dipengaruhi oleh tegangan air pori, maka persamaan diatas menjadi: f
= c + ( - u) tan Ø
f
= c + tan Ø
(2.10)
Dimana, c
= Kohesi.
σ
= Tegangan normal efektif.
u
= Tekanan air pori.
Ø
= Sudut geser dalam.
Kuat geser tanah juga dapat dinyatakan dalam bentuk tegangan-tegangan efektif 1’ dan 3’ pada saat keruntuhan terjadi. Hubungan antara dann ’ dapat digambarkan dalam bentuk lingkaran Mohr seperti terlihat dalam Gambar 2.8.
23
Gambar 2.8. Lingkaran Mohr-Coulomb (Sumber: Dass, 1995) Dengan memplot ½(σ’1
-
σ’3) terhadap ½(σ’1 + σ’3) , maka setiap kondisi tegangan
dapat dinyatakan suatu titik tegangan (stress point), yang lebih baik dari lingkaran Mohr. Setelah itu dapat dibuat selubung keruntuhan yang dimodifikasi, dimana a’ dan α’ adalah parameter-parameter yang dimodifikasi.
2.3.
Penyelidikan Dan Pemeriksaan Tanah Di Lapangan Penyelidikan tanah di lapangan sangat diperlukan untuk memutuskan apakah
suatu usulan rekayasa layak dan cukup secara ekonomis untuk direncanakan, menganalisis keamanan atau kasus keruntuhan pekerjaan-pekerjaan yang ada serta untuk memilih bahan-bahan dan menentukan metode konstruksi yang patut untuk dilaksanakan. Adapun tahapan penyelidikan tanah dimulai dengan tahap pengenalan medan, interpetasi peta udara, pengambilan data dari peta geologi dan peta lainnya, serta mempelajari dari perpustakaan, dilanjutkan dengan tahap eksplorasi dan terdiri dari penyelidikan geofisik berupa seismic maupun geolistrik, pembuatan sumursumur percobaan, pengambilan sample-sample tanah dan diikuti dengan percobaan laboratorium dan pemboran dengan pengambilan contoh
tanah
dari lubang bor
kemudian diikuti dengan penyelidikan laboratorium dan terakhir meliputi pekerjaan-
24
pekerjaan percobaan, mulai dari percobaan SPT/Standart Penetrasi Test, sondir, boring, test konsolidasi serta lainnya. Parameter dari tanah yang menentukan dalam perencanaan pondasi antara
lain,
daya dukung tanah/bearing capacity, tekanan
tanah, tekanan air pori, penurunan (termasuk besar dan kecepatan penurunan). Tujuan-tujuan utama dari penyelidikan tanah adalah (Hardiyatmo, 1996): 1. Untuk menentukan urutan, ketebalan dan lapisan tanah kearah lateral dan bila diperlukan elevasi batuan dasar. 2. Untuk memperoleh contoh-contoh tanah dan batuan yang cukup mewakili untuk keperluan identifikasi dan klasifikasi dan bila perlu digunakan dalam uji lapor laboratorium guna menentukan parameter-parameter tanah yang relevan. 3. Untuk mengidentifikasi kondisi air tanah. Hasil-hasil dari penyelidikan tanah harus memberikan informasi yang cukup memadai akan tipe pondasi yang paling sesuai untuk suatu usulan struktur dan sebagai petunjuk bila mungkin timbul masalah-masalah pada saat penggalian.
2.3.1. Pengambilan Sampel Tanah. Untuk pengambilan data sample tanah, sangat perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diperoleh data sample tanah yang tidak terganggu untuk dapat diadakan pemerikasaan di laboratorium mekanika tanah sehingga dapat diperoleh kadar air tanah , daya rembesan air tanah , berat isi tanah , porositas, kekuatan tanah (unconfined test, triaxial test, direct shear test) dsb. Dalam setiap pemeriksaan
25
laboratorium Mekanika Tanah, selalu disyaratkan bahwa pengambilan contoh tanah diusahakan tidak terganggu dan sample tanah terganggu (Bowles, 1988).
2.3.1.1. Contoh Tanah Tidak Asli Atau Terganggu/Disturbed Samples Contoh tanah tidak asli adalah contoh tanah yang diambil dari lapangan tanpa dilakukan usaha untuk melindungi struktur tanah asli tersebut, contoh tanah segera sesudah diambil dimasukkan kedalam kantong plastik secukupnya dan segera diikat dengan rapat, data sample ini digunakan untuk penentuan kadar air tanah, sedangkan untuk keperluan penyelidikan ukuran butir, berat jenis, batas-batas Atterberg, dan lainnya yang tidak membutuhkan persyaratan kadar air tanah asli, contoh tanah dapat diambil dalam keadaan kering angin.
2.3.1.2. Contoh Tanah Asli Atau Tidak Terganggu/Undisturbed Samples Contoh tanah asli adalah contoh tanah yang masih menunjukkan sifat-sifat aslinya seperti yang didapatkan di lapangan, dari contoh tanah asli ini diharapkan akan mendapat hasil laboratorium yang minimal sangat mendekatidengan keadaan asli tanah seperti kadar air asli, keadaan struktur tidak berubah dan susunan kimia tetap. Untuk mendapatkan contoh yang benar-benar asli ini sesungguhnya tidak mungkin dan yang dapat diusahakan adalah pendekatan yang sekecil mungkin kesalahannya yaitu dengan pemakaian peralatan khusus untuk tempat sample seperti tabung-tabung contoh pada Gambar 2.9.
26
Gambar 2.9. Jenis tabung pengambil contoh tanah yang dipasang pada ujung stang bor (Sumber: Tschebotarioff, 1951)
2.3.2. Penyelidikan Tanah dengan Sondir Pekerjaan sondir umumnya dilakukan pada tanah kohesif dan dilakukan untuk mendapatkan daya dukung ujung/end bearing dan perlawanan gesekan dari tanah/friction untuk perencanaan pondasi dan struktur geoteknik, selain itu percobaan sondir juga sangat praktis untuk mengetahui dengan cepat letak kedalaman lapisan tanah keras, bahkan untuk mengevaluasi nilai rasio gesekan/friction ratio, seperti terlihat dalam Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Perkiraan jenis tanah dari Sondir/DCPT (Das, 1999)
27
Uji sondir saat ini merupakan salah satu uji lapangan yang telah diakui oleh para praktisi dan pakar geoteknik. Pelaksanaan test sondir ini mengacu pada prosedur ASTM.D.3441. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui perlawanan penetrasi konus yang disebut juga dengan tahanan ujung (qc) dan hambatan lekat (fs) tanah. 1. Tahanan Ujung (qc) Tahanan ujung (qc) merupakan perlawanan ujung/nilai conus yang dilakukan dengan menekan conus ke bawah, seluruh tabung luar diam, gaya yang bekerja dapat dibaca pada manometer. Besarnya nilai perlawanan ujung/tahanan ujung (qc) menunjukan identifikasi jenis tanah. Pada tanah pasiran, perlawanan ujung yang besar menunjukan tanah pasir padat, sedangkan perlawanan ujung yang kecil menunjukan tanah pasir halus atau tanah lempung yang kuat gesernya kecil akibat pengaruh tekanan air pori saat penetrasi. Perlawanan penetrasi conus adalah perlawanan terhadap ujung conus/tahanan ujung (qc) yang dinyatakan dalam gaya persatuan luas. 2. Hambatan Lekat (fs) dan Friction Ratio (fr) Hambatan lekat (fs) adalah perlawanan terhadap mantel biconus dan dinyatakan dalam gaya persatuan panjang. Hambatan lekat digunakan untuk menginterpretasikan sifat-sifat tanah untuk klasifikasi tanah dan memberikan data yang dapat langsung digunakan untuk perencanaan pondasi. Sementara untuk friction ratio (fr) adalah perbandingan antara hambatan lekat dengan tahanan ujung. Friction ratio (fr) ini dapat digunakan untuk memperkirakan jenis tanah yang diselidiki yaitu membedakan tanah berbutir halus dengan tanah berbutir kasar (Bowless, 1988), dimana:
28
a. Untuk Friction ratio (fr) < 1% termasuk tanah pasir. b. Untuk Friction ratio (fr) > 1% termasuk tanah lempung. c. Untuk Friction ratio (fr) > 5% atau 6% termasuk tanah gambut/organik.
2.3.3. Uji Penetrasi Standart/SPT Standart Penetrasi Test/SPT adalah percobaan di lapangan dengan memasukan suatu alat yang dinamakan split spoon ke dalam tanah, tujuannya untuk mendapatkan kepadatan relative Dr (relative Density), sudut geser tanah (Ø) serta jumlah pukulan nilai N dari tanah tersebut (Hardiyatmo, 2011). Perkiraan koreksi antara N-SPT dengan sudut geser tanah dapat dilihat pada Gambar 2.11 dan 2.12.
Gambar 2.11. Perkiraan koreksi antara N-SPT dengan sudut geser tanah ∅ (sumber: Principle of Foundation Engineering, Braja M. Das, Fourth Edition)
29
Gambar 2.12. Hubungan sudut geser tanah ∅ dan nilai N-SPT untuk tanah pasir (sumber: Principle of Foundation Engineering, Braja M. Das, Fourth Edition) Kepadatan relative Dr (relative density) adalah perbandingan antara berat tanah basah dengan berat tanah seluruhnya, umumnya kepadatan relative digunakan untuk tingkat kerapatan tanah berbutir (granula soil) sedangkan sudut geser tanah (∅) adalah kondisi terdrainase atau drained dimana terjadinya aliran air pori meninggalkan rongga pori tanahnya sehingga butiran-butiran tanah mendekat satu sama lainnya dan kuat geser lempung menjadi bertambah dan terakhir nilai N dari tanah adalah jumlah pukulan yang diberikan saat memasukan spoon sedalam 3 x 15 cm. Hubungan nilai N dengan beberapa sifat-sifat lain dari tanah dapat dilihat pada Tabel 2.9 dan 2.10. Tabel 2.9. Hubungan nilai N dengan kepadatan relatif (Dr) dan sudut geser dalam tanah (∅) pada tanah pasir (Terzaghi Peck, 1948) Nilai N 0–4 4 – 10 10 – 30 30 – 50 50 <
Kepadatan Relatif (Dr) 0,2 – 0,2 0,2 – 0,4 0,4 – 0,6 0,6 – 0,8 0,8 – 1,0
Sangat lepas Lepas Sedang Padat Sangat Padat
Sudut Geser Dalam Tanah (Ø) Peck < 28,5 28,5 - 30 30 - 36 36 - 41 41 <
Meyerhof < 30 30 - 35 35 - 40 40 - 45 45 <
30
Tabel 2.10. Hubungan nilai N dengan kepadatan relatif (Dr) tanah lempung (Terzaghi Peck, 1948) Kepadatan Relatif (Dr)
Nilai N
Sangat lunak Lunak Sedang Kaku Sangat Kaku Keras/Padat
< 2 2 - 4 4 - 8 8 – 15 15 - 30 30 <
Bilamana jumlah tumbukan N > 15, maka sebagai koreksi Terzaghi dan Peck (1948) memberikan nilai ekivalen N0 yang merupakan hasil dari jumlah tumbukan N yang telah dikorelasi akibat pengaruh permeabilitas dan dinyatakan dengan: N0 = 15 + ½(N-15) Untuk mendapatkan besar sudut geser tanah dari tanah pasir/non kohesif, umumnya digunakan rumus Dunham (1962), yaitu: 1. Tanah berpasir berbentuk bulat dengan gradasi seragam atau butiran pasir bersegi-segi dengan gradasi tidak seragam dan mempunyai sudut sebesar: ∅ = √12 + 15
(2.11)
∅ =√12 + 25
(2.12)
∅ = 0,3N + 25
(2.13)
2. Butiran pasir bersegi dengan gradasi merata.
Lalu, menurut Peck, besar sudut geser tanah dapat digunakan rumus berikut:
Angka penetrasi standart (N) sangat berguna sebagai pedoman dalam eksplorasi tanah sekaligus memperkirakan kondisi lapisan tanah. Tanah dapat
31
dikatakan mempunyai daya dukung yang baik bilamana lapisan kohesif mempunyai nilai SPT, N > 35 atau mempunyai besar kuat tekan (qu) antara 3 - 4 kg/cm2 dengan nilai SPT N > 15.
2.4.
Pondasi Tiang Bor/Bored Pile Pondasi tiang bor merupakan salah satu alternative pemilihan type pondasi
dalam yang sering digunakan di daerah perkotaan padat penduduk dan banyak berdiri bangunan-bangunan yang berdekatan.
2.4.1. Alasan Penggunaan Pondasi Tiang Bor/bored pile Adapun beberapa alasan
pemilihan
pondasi tiang bor/bored pile antara
lain (Hardiyatmo, 2011): 1. Kedalamanan tiang bor dapat divariasikan. 2. Saat pelaksanaan pondasi tiang bor, tidak menimbulkan kebisingan maupun getaran yang ditimbulkan oleh alat pancang. 3. Tidak
menyebabkan
terjadinya
resiko kenaikan
muka tanah dan
pergeseran tiang kearah horizontal pada tanah lempung seperti pada type tiang pancang lainnya dimana saat pemancangan dapat menyebabkan tiang pancang disampingnya bergerak kearah horizontal. 4. Tiang dapat dipasang sampai kedalaman yang dalam dengan diameter besar dan dapat dilakukan perbesaran ujung bawahnya jika tanah dasar berupa lempung atau batu lunak. 5. Tanah dapat diperiksa dan dicocokan dengan data laboratorium.
32
6. Penulangan tidak dipengaruhi oleh tegangan pada waktu pengangkutan dan pemancangan.
2.4.2. Pelaksanaan Tiang Bor Pondasi tiang bor dilaksanakan dengan cara mengebor tanah terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pemasangan tulangan beton dan dilaksanakan pengecoran beton. Pondasi tiang bor/bored pile ini biasanya digunakan pada tanah yang stabil dan kaku sehingga memungkinkan untuk membentuk lubang yang stabil dengan alat sehingga hasil akhir yang diperoleh lebih maksimal. Terdapat tiga metode dasar pelaksanaan yang dapat digunakan untuk tiang bor (Hardiyatmo, 2011) yaitu: 1. Metode Kering/Dry Method. Metode kering cocok digunakan pada tanah di atas muka air tanah yang ketika dibor dinding lubangnya tidak longsor, seperti lempung kaku homogen. Tanah pasir yang mempunyai sedikit kohesi juga lubangnya tidak mudah longsor jika dibor. Metode kering juga dapat dilakukan pada tanahtanah di bawah muka air tanah, jika tanahnya mempunyai permeabilitas rendah, sehingga ketika dilakukan pengeboran, air tidak masuk ke dalam lubang bor saat lubang masih terbuka. Pada metode kering, lubang dibuat dengan menggunakan mesin bor tanpa pipa pelindung/casing. Setelah itu, dasar lubang bor yang kotor oleh rontokan tanah dibersihkan. Tulangan yang telah dirangkai dimasukkan ke dalam lubang bor dan kemudian di cor seperti terilhat pada Gambar 2.13.
33
Gambar 2.13. Langkah-langkah pelaksanaan tiang bor dalam metode kering (Sumber: www.planningengineer.net) 2. Metode Basah/Slurry Method Metode basah umumnya dilakukan bila pengeboran melewati muka air tanah, sehingga lubang bor selalu longsor bila dindingnya tidak ditahan. Agar lubang tidak longsor, di dalam lubang bor diisi dengan larutan tanah lempung/bentonite atau larutan polimer.
Adukan beton dimasukkan ke
dalam lubang bor dengan pipa tremie. Larutan bentonite akan terdesak dan terangkut ke atas oleh adukan beton seperti terlihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14. Prinsip pelaksanaan tiang bor dalam metode basah (Sumber : www.frankipile.co.id) 3. Metode Casing. Metode ini digunakan bila lubang bor sangat mudah longsor, misalnya tanah di lokasi adalah pasir bersih di bawah muka air tanah. Untuk menahan agar lubang tidak longsor digunakan pipa selubung baja/casing. Adukan beton dimasukkan ke dalarn lubang (bila pembuatan lubang digunakan larutan,
34
maka untuk pengecoran digunakan pipa tremie), dan pipa selubung ditarik ke atas, namun kadang-kadang pipa selubung ditinggalkan di tempat seperti terlihat pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15. Langkah-langkah pelaksanaan tiang bor dengan memasang Casing (Sumber : www.icac.org.hk)
2.5.
Daya Dukung Aksial Pondasi Tiang Bor/Bored Pile Daya dukung aksial pondasi tiang dapat dihitung berdasarkan Laporan akhir
pengujian tanah yang dikeluarkan Laboratorium Mekanika Tanah berupa data uji lapangan antara lain data Sondir dan SPT, sementara cara kedua dapat dihitung dengan
menggunakan
parameter-parameter kuat geser tanah berupa nilai kohesi
tanah (c) dan sudut geser tanah (Ø).
2.5.1.
Berdasarkan Data Hasil Uji Lapangan
2.5.1.1. Data Pengujian Sondir Tujuan pengujian Sondir adalah untuk mengetahui perlawanan ujung/tahanan penetrasi konus (q) dari lapisan tanah dasar yang dinyatakan dalam kg/cm2 dan hambatan lekat/skin friction (c) yaitu gaya perlawanan konus atau bikonus yang dinyatakan dalam kg/cm. Data sondir ini digunakan untuk menentukan kapasitas
35
ultimit dari pondasi tiang pancang dengan menggunakan persamaan Schmertmann dan Nottingham (1975). 1. Berdasarkan tahanan ujung/end bearing, daya dukung ujung tiang adalah: Qp
= ApCR-r
(2.14)
2. Berdasarkan hambatan lekat/skin friction, daya dukung tiang adalah: Qs
= TSFAk
(2.15)
3. Berdasarkan tahanan ujung dan geser selimut tiang, daya dukung tiang adalah: QIjin = Dimana,
1
+
QIjin
= Kapasitas ijin tiang terhadap beban aksial (kg, ton).
Qp
= Kapasitas ijin tahanan ujung tiang (kg, ton).
Qs
= Kapasitas ijin geser selimut tiang/skinfriction (kg, ton).
Ap
= Luas penampang tiang (cm2, m2).
Ak
= Keliling tiang bor (cm, m).
CR-r
= Perlawanan konus rata-rata 4D keatas & 4D kebawah).
TSF
= Jumlah hambatan lekat (kg/cm).
FK1
= Faktor keamanan daya dukung ujung tiang (dipakai 3).
FK2
= Faktor keamanan hambatan lekat tiang (dipakai 5).
(2.16)
2.5.1.2. Data Pengujian SPT Untuk menghitung daya dukung tiang pancang dari nilai “N” hasil pengujian
36
SPT. Penentuan parameter berdasarkan korelasi nilai N-SPT antara lain: 1. Korelasi N-SPT terhadap nilai cu Untuk nilai undrained shear strength (cu) dapat diperoleh dari persamaan korelasi Stroud (1974): cu = (3,5 - 6,5)N (kN/m2)
(2.17)
2. Korelasi N-SPT terhadap nilai modulus elastisitas tanah. Untuk mendapatkan modulus elastisitas tanah dapat menggunakan korelasi dari data N-SPT dengan persamaan Schmertmann (1970), yaitu: a. Tanah pasir/sand. Es = 766N (kN/m2) , Es = 2qc
(2.18)
b. Tanah lempung/clay, normally consolidated. Es = 250cu - 500cu c. Tanah lempung/clay, over consolidated. Es = 750cu - 1000cu ,
cu = undrained kohesi
3. Korelasi N-SPT terhadap nilai sudut geser (∅) Nilai sudut geser (∅) na Ncor dapat dihitung dengan persamaan Hanson dan Thornburn (1989) sebagai berikut : Ø(deg) = 27,1 + 0,3Ncor = 0,00054N2cor Ncor = CNN CN
= 0,77.log
, Untuk σ’v ≥ 0,25 ton/ft2
37
Korelasi N-SPT untuk menentukan berat volume tanah (∂) a. Tanah Pasir/non kohesif. Tanah pasir/non kohesif adalah tanah yang bergradasi seragam dan mudah dilalui oleh rembesan air. Korelasi N-SPT dengan berat isi tanah pasir dapat dilihat pada Tabel 2.11. Tabel 2.11. Korelasi N-SPT dengan berat isi (∂) untuk tanah pasir (Sumber: Meyerhoff, 1956) Berat Volume (∂) Nilai N
Kepadatan Relatif (Dr) Moist (psf)
< 4 4 - 10 10 - 30 30 - 50 > 50
< 0,2 0,2 – 0,4 0,4 – 0,6 0,6 – 0,8 > 0,8
sangat lepas (very loose) Lepas(loose) sedang (medium dense) Padat(dense) sangat padat (very dense)
< 100 95 – 125 110 – 130 110 – 140 <130
Submerged (psf)
< 60 55 - 65 60 - 70 65 - 85 > 75
b. Tanah Lempung/kohesif. Tanah lempung/kohesif adalah tanah yang sulit menyerap air. Korelasi NSPT dengan berat isi tanah lempung dapat dilihat pada Tabel 2.12. Tabel 2.12. Korelasi N-SPT dengan berat isi (∂) tanah lempung (Sumber: Meyerhoff, 1956)
Consistency
qu (psf)
N-SPT
Very Soft Soft Medium Stiff Very Stiff Hard
0 - 500 500 - 1000 1000 - 2000 2000 - 4000 4000 - 8000 > 8000
0- 2 3- 4 5- 8 9 - 16 16 - 32 > 32
Saturated Unit Weight (psf) < 100 100 – 120 110 – 125 115 – 130 120 – 140 > 130
38
Parameter elastis berbagai jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Parameter elastis tanah (Sumber: Meyerhoff, 1956)
Type of Soil
Modulus Young, Es MN/m2
Poisson ratio μ
Loose Sand Medium Dense Sand Dense Sand Silty Sand Sand & Gravel Soft Medium Stiff
10,35 – 24,15 17,25 – 27,60 34,50 – 55,20 10,35 – 17,25 69,00 – 172,50 2,07 – 5,18 5,18 – 10,35 10,35 – 24,15
0,20 – 0,40 0,25 – 0,40 0,30 – 0,45 0,20 – 0,40 0,15 – 0,35 0,20 – 0,50 0,20 – 0,50 0,20 – 0,50
Adapun kapasitas daya dukung tahanan ujung/end bearing dapat dihitung dengan rumus: -Untuk tanah kohesif
:
Qp = Ap(cNc* + qp’Nq*)
(2.19)
-Untuk tanah non kohesif
:
Qp = Apqp’(Nq* - 1)
(2.20)
Sementara kapasitas daya dukung selimut tiang/skin friction dapat dihitung dengan rumus:
Qs = f.l.p
Besar nilai Nc* dan Nq* terhadap ∅ dapat dilihat pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16. Faktor daya dukung Nq*
(2.21)
39
Perhitungan daya dukung pondasi tiang bor dapat dilakukan dengan Reese and Wright (1976) seperti rumus berikut ini: 1. Daya dukung ujung tiang/end bearing Daya dukung ujung tiang/end bearing adalah sebagai berikut, Qp = Apqp
(2.22)
Dimana, Qp
= Daya dukung tahanan ujung tiang (kg, ton).
Ap
= Luas penampang ujung tiang (cm2, m2).
qp
= Tekanan vertikal efektif tanah pada ujung tiang (kg/cm2, ton/m2)
-Untuk Tanah Kohesif qp (tsf) = 9Cu
(2.23)
Dimana, Cu
= kohesi tanah/undrained shear strength.
-Untuk Tanah non Kohesif Reese & Wright (1977) mengusulkan korelasi antara qp dan N-SPT seperti terlihat pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17. Nilai qp terhadap N-SPT tahanan ujung ultimit (Reese & Wright, 1977)
40
Dimana, N ≤ 60 , qp = 7,3N (ton/m2) < 400 ton/m2. N > 60 ,
qp = 400 ton/m2.
2. Daya dukung selimut tiang/skin friction Daya dukung selimut tiang/skin friction adalah sebagai berikut, Qs = f l p
(2.24)
Dimana, f
= Tahanan geser selimut tiang pancang/skin friction (kN/m2).
l
= Panjang tiang yang tertanam (m).
p
= Keliling penampang tiang bor (m).
-Untuk Tanah Kohesif f = αcu α
(2.25)
= Faktor adhesi (0,55)
-Untuk Tanah non Kohesif Reese & Wright (1977) berpendapat bahwa, untuk, N < 53
f = 0,32N-SPT (ton/m2)
,
bila, 53 < N < 100 , f diperoleh dari korelasi langsung N-SPT Nilai f juga dapat dihitung dengan formula: fi = K0 σv tanδ Dimana, K0
= 1 - sinØ
σv’
=
li
(2.26)
41
li
= 15D
δ
= 0,8Ø
D
= Diameter tiang bor.
2.5.2. Berdasarkan Kekuatan Bahan Daya dukung tiang dihitung dari kekuatan bahan terhadap beban yang dipikul, yaitu: Qult =
Atiang
(2.27)
Dimana, = Tegangan tekan ijin beton = 0,33f’c A
= Luas penampang tiang =
2.6.
Ø2
Uji Pembebanan Statis/Loading Test Uji Pembebanan statis pada tanah dimaksudkan untuk mengetahui hubungan
antara beban dengan penurunan pondasi akibat pembenanan disebut juga dengan uji pembebanan statis/loading test. Melalui uji pembebanan ini dapat langsung diketahui besar daya dukung tiang disamping itu dapat pula diinteprestasikan bagaimana respon tiang pada bagian selimut dan ujung tiang. Yang terpenting dari hasil uji pembebanan statis ini, seorang praktisi maupun para pakar geoteknik dalam rekayasa pondasi dapat
42
menentukan mekanisme yang terjadi dengan kurva beban penurunan beserta deformasi plastis tiang maupun kemungkinan terjadinya kegagalan pada bahan tiang. Hal - hal yang harus diperhatikan dalam uji pembebanan di lapangan, yaitu: 1. Tiang uji dipancang pada lokasi tanah dekat lubang bor dan kondisi tanah yang relatif jelek pada tempat yang akan dibangun. 2. Metode
pemancangan
diusahakan
sama seperti yang
digunakan
dalam pelaksanaan konstruksi. 3. Tenggang waktu untuk pelaksanaan uji pembebanan sekitar 24 jam setelah pembebanan untuk tanah pasir dan sekitar 30 sd 60 hari setelah pembebanan untuk tanah lempung. 4. Besarnya beban reaksi direncanakan minimal 200% dari beban rencana. 5. Presentase peningkatan dan pengurangan beban digunakan sebesar 25% 6. Setelah maksimum pembebanan tercapai, beban mulai dikurangi/unloading dengan kecepatan maksimum sama dengan pembebanan sebelumnya. Adapun tujuan dilakukannya percobaan pembebanan vertikal/compressive loading test terhadap pondasi tiang adalah sebagai berikut: 1. Untuk menguji bahwa pondasi tiang yang dilaksanakan mampu dan aman mendukung beban rencana. 2. Untuk mengetahui hubungan antara bebandan penurunan pondasi. 3. Untuk menentukan daya dukung ultimate nyata/real ultimate bearing capacity sebagai control terhadap hasil perhitungan berdasarkan formula statis maupun dinamis.
43
4. Untuk mengetahui kemampuan elastisitas dari tanah, mutu beton serta mutu besi betonnya. Data penting dari pengujian ini adalah diperolehnya grafik hubungan antara penurunan tiang/settlement terhadap beban/load. Dari grafik ini dengan menggunakan metode Davisson, metode Chin’s, dan metode Mazurkiewich dapat diperoleh daya dukung ultimit tiang, sedangkan pergerakan tiang dapat pula diukur dengan menggunakan satu set dial gauges yang terpasang pada kepala tiang. Toleransi pembacaan antara satu dial gauge dengan lainnya adalah satu millimeter. Pengujian Pembebanan ini umumnya dapat dilakukan melalui bebrapa metode pengujian pembebanan yaitu standart loading test, cyclic loading test, slow maintained load test method, quick maintained load test method, constant rate of penetration test method, swedish cyclic test method.
2.6.1. Standart Loading Test Beban yang diuji adalah sebesar 200% dari beban perencanaan dan dilaksanakan dengan pertambahan 25% dari beban perencanaan, kecuali jika terjadi keruntuhan sebelum beban tersebut tercapai. Penambahan beban dilakukan jika kecepatan penurunan yang terjadi tidak lebih besar dari 0,01 inchi/hour atau 254 mm/jam tetapi tidak lebih dari 2 jam. Jika tidak terjadi keruntuhan maka total beban yang telah diberikan dapat diangkat kembali/unloading setelah 12 jam didiamkan. Jika penurunan yang terjadi pada 1 jam terakhir tidak lebih besar dari 0,01 inchi (0,254 mm) maka biarkan beban selama 24 jam. Jika tiang mengalami keruntuhan, maka pemompaan hydraulic jack dilanjutkan hingga penurunan yang terjadi adalah
44
sama dengan 15% dari diameter tiang.
2.6.2. Cyclic Loading Test Secara umum increment pemberian beban pada cyclic ini adalah sama dengan Standart Loading Test. Setelah beban yang diberikan sama dengan 50%, 100% dan 150% dari beban perencanaan, biarkan masing-masing beban tersebut untuk 1 jam dan angkat kembali beban dengan pengurangan yang sama besarnya dengan pada saat increment pemberian beban. Biarkan beban untuk selama 20 menit untuk setiap tahapan pengurangannya.
2.6.3. Slow Maintained Load Test Method (SM Method) Beban terdiri dari 8 increment (25%, 50%, 75%, 100%, 125%, 150%, 175% dan 200%) dari beban rencana. Beban diberikan sesuai dengan masing-masing increment hingga dicapai penurunan sebesar 0,01 inchi/hour (0,254 mm/jam) tetapi tidak lebih dari 2 jam pada setiap incrementnya. Pada increment beban mencapai 200%, beban ditahan hingga 24 jam. Jika waktu 24 jam telah dicapai, maka dilakukan proses unloading yaitu pengurangan beban sebesar 25% pada tiap tahapnya dengan jarak masing-masing pengurangan tersebut selama 1 jam.
2.6.4. Quick Maintained Load Test Method (QM Method) Beban diberikan hingga 300% beban rencana dengan increment sebanyak 20 increment dan masing-masing increment sebesar 15% beban rencana. Metode ini termasuk cepat dan ekonomis, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan uji ini hanya
45
sekitar 3 jam s/d 5 jam. Metode ini lebih menggambarkan kondisi undrained yang terjadi pada tiang dan tidak digunakan untuk memperkirakan penurunan yang terjadi.
2.6.5. Constant Rate of Penetration Test Method (CRP Test) Metode ini hingga kecepatan
dilakukan
dengan
cara
kepala
tiang diberikan
beban
penurunan yang terjadi sebesar 0,05 inchi/minute atau 1,25
mm/menit. Beban yang diperlukan untuk mencapai kecepatan penurunan seperti yang disebutkan tadi kemudian dicatat, uji pembebanan ini dilakukan hingga total penurunan mencapai 2 inchi hingga 3 inchi atau 50 mm s/d 75 mm.
2.6.6. Swedish Cyclic Test Method (SC Test) Metode ini dilakukan dengan cara tiang diberikan beban 1/3 dari beban rencana. Beban dikurangi hingga 1/6 dari beban rencana, penambahan dan pengurangan beban diulangi sebanyak 20 kali. Tambahkan beban hingga 50% lebih besar dari yang pertama dan ulangi seperti penjelasan diawal. Prosedur ini dilakukan sampai terjadi keruntuhan. Metode ini memerlukan waktu yang relatif lama dan proses siklik merubah perilaku tiang hingga tiang sudah tidak sama dengan kondisi aslinya.
2.7.
Interpretasi Data Uji Pembebanan Statis/Loading Test
2.7.1. Metode Davisson Offset Limit (1972) Metode ini diperkenalkan oleh Davisson (1972) dan dari beberapa metode, metode Davisson memberikan nilai kuat dukung ultimit yang konservatif, sehingga
46
metode ini sering digunakan sebagai pembanding. Kuat dukung ultimit metode Davisson didefinisikan sebagai beban yang bersesuaian dengan besar penurunan yang melampaui pemampatan elastis tiang sebesar 0,15 + D/120 inch, dimana D = diameter pondasi pada Gambar 2.18.
Gambar 2.18. Kurva interpretasi beban dengan penurunan Metoda Davisson Perhitungan kuat dukung ultimit metode Davisson dari pondasi tiang adalah dengan menentukan suatu garis yang menyinggung bagian lurus pada awal kurva P-S dengan menggunakan Persamaan berikut ini: = Dimana, P
= Beban kerja (kg, ton).
A
= Luas penampang tiang (cm2, m2).
E
= Modulus. elastisitas tiang (kg/cm2, ton/m2).
L
= Panjang tiang (cm, m).
(2.28)
47
= Penurunan yang terjadi (cm, m).
Sf
= Penurunan pada kondisi kegagalan (cm, m).
Sehingga diperolah persamaan berikut ini: Sf = + 0,15 + D/120 Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa kapasitas adalah perlawanan yang terjadi pada ujung pile dan gesekan antara dinding pile dengan material disekitarnya dalam hal ini tanah, sebagai akibat kompensasi dari
kekakuan (stiffness) yang
berhubungan erat dengan diameter dan panjang tiang.
2.7.2. Chin’s Method (1970) Berdasarkan anggapan bahwa hanya tejadi deformasi geser dan bahwa kurva beban dengan penurunan adalah berbentuk hiperbola, maka grafik ∆/Qva - ∆ merupakan garis lurus yang miring letaknya. Besarnya daya dukung ultimit merupakan inverse slope dari garis tersebut yaitu ∆ dibagi ∆/Qva, perhatikan Gambar 2.19.
Gambar 2.19. Kurva interpretasi Chin Method (1970)
48
a. Gambar ∆/Qva terhadap ∆ adalah penurunan ∆/Qva dan merupakan beban yang diterapkan. b. Beban ultimit (Qv)ult = 1/C c. Hubungan yang ditunjukan adalah kurva beban – penurunan mendekati hiperbolis.
2.7.3. Metode Mazurkiewicz (1972) Mazurkiewicz menjelaskan prosedur penentuan beban ultimate adalah memplot kurva beban terhadap penurunan, lalu menarik garis dari beberapa titik penurunan yang dipilih hingga memotong sumbu beban dan dari perpotongan setiap beban tersebut, dibuat garis 45° terhadap garis perpotongan berikutnya dan seterusnya. Menghubungkan titik yang terbentuk ini hingga menghasilkan sebuah garis lurus, perpotongan garis lurus dengan sumbu beban merupakan beban ultimitnya, seperti terlihat pada Gambar 2.20.
Gambar 2.20. Kurva interpretasi metode Mazurkiewicz
49
2.8.
Penurunan Elastis Tiang/Pile Settlement Berikut ini akan dibahas tentang perhitungan penurunan elastis tiang tunggal
dan kelompok tiang. 2.8.1. Penurunan Elastis Tiang Tunggal/Single Pile Pada waktu tiang dibebani, tiang akan mengalami pemendekan dan tanah di sekitarnya akan mengalami penurunan. Beberapa metode hitungan penurunan telah diusulkan mulai dari pengukuran penurunan tiang lewat uji pembebanan vertikal/compressive loading test dan melalui perhitungan analitis, diantaranya: metode Coyle dan Reese (1966) serta metode Poulos dan Davis (1980).
2.8.1.1. Metode Coyle Dan Reese Menurut Coyle dan Reese (1966), penurunan elastis tiang tunggal dan distribusi beban di sepanjang tiang dapat dihitung dengan menggunakan metode transfer beban (Hardiyatmo, 2010).
2.8.1.2. Metode Poulos & Davis Menurut Poulos dan Davis (1980), penurunan kepala tiang yang terletak pada tanah homogen dengan modulus elastis dan rasio Poisson yang konstan dapat dihitung dengan persamaan : 1. Untuk tiang apung/floating pile. S =
(2.29)
I = I0RkRhRμ
(2.30)
50
2. Untuk tiang dukung ujung/end bearing. S = I = I0RkRbRμ Dimana,
(2.31)
S = Penurunan untuk tiang tunggal/single pile (mm). Q = Beban yang bekerja (ton). I0 = Faktor pengaruh penurunan tiang tidak mudah mampat. Rh = Faktor koreksi untuk ketebalan lapisan yang terletak pada tanah keras. Rk = Faktor koreksi kemudahan mampatan tiang Rb = Faktor koreksi untuk ketebalan lapisan yang terletak pada tanah keras. Rμ = Faktor koreksi angka poisson μ.
2.8.2. Penurunan Elastis Kelompok Tiang/Pile Group Beberapa tiang yang tergabung dalam kelompok tiang juga akan mengalami penurunan elastis seperti halnya penurunan elastis pada tiang tunggal. Menurut Skepton et al., (1953), penurunan kelompok tiang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hardiyatmo, 2011):
=
(
(
)
)
Sg = Penurunan kelompok tiang/pile group (m). S
= Penurunan tiang tunggal/single pile (m).
B = Lebar kelompok tiang/pile group (m).
(2.32)
51
2.9.
Effisiensi Kelompok Tiang/Pile Group Jika beberapa tiang bor digabungkan pada bagian pelat, yang disebut sungkup
tiang bor/pile cap menjadi satu kelompok, maka timbul effisiensi kelompok. Teori dan hasil percobaan membuktikan bahwa di dalam hal gaya dukung kelompok tiang geser pada lapisan tanah lempung tidak sama dengan gaya dukung tiang secara individu dikalikan jumlah tiang dalam kelompok, melainkan akan lebih kecil. Reduksi ini disebabkan karena adanya overlapping penyebaran tegangan di sekeliling tiang. Berdasarkan effisiensi kelompok tiang/pile group, terdapat empat metode perhitungan (Sardjono HS, 1988), yaitu: 1. Metode Feld Metode ini berpendapat bahwa effisiensi tiang dipengaruhi oleh jumlah tiang yang berada disekeliling tiang tersebut, semakin banyak tiang yang mengelilingnya, maka effisiensi pada tiang tersebut akan semakin kecil, seperti terlihat dalam Gambar 2.21.
Gambar 2.21. Effisiensi tiang A, tiang B dan tiang C (Sumber: Sardjono HS, 1988)
52
Kelompok tiang pancang terdiri dari 24 tiang dengan susunan seperti terlihat dalam Gambar 2.21. Tiang A, B dan C dipengaruhi oleh tiang-tiang berada disekelilingnya, maka effisien kelompok tiang dapat dihitung sebagai berikut, Effisiensi tiang A
=1-
=
tiang
Effisiensi tiang B
=1-
=
tiang
Effisiensi tiang C
=1-
=
tiang
Sedangkan effisiensi dari kelompok tiang/pile group adalah: 8 buah tiang A
= 8 x Effisiensi tiang A = 8 x
=
tiang
12 buah tiang B
= 12 x Effisiensi tiang B =12 x
=
tiang
4 buah tiang C
= 4 x Effisiensi tiang C = 4 x
=
tiang
_________________________________________________________ Total Effisiensi dari kelompok tiang Sehingga
diperoleh
=
tiang = 18,33 tiang
total effisiensi dari kelompok tiang/pile group yang
terdiri dari 24 tiang pancang dengan susunan seperti terlihat pada Gambar 2.21 adalah sebesar 18,33 tiang. Effisiensi satu tiang N =
.
tiang ≈ 0,764 tiang
Daya dukung setiap tiang dalam kelompok tiang sebesar 0,764 dari daya dukung satu tiang/single pile. 2. Metode Converse-Labarre Metode ini mengisyaratkan bahwa jarak antara tiang as ke as adalah sebesar,
53
s ≤
.
(2.33)
Dimana, s
= Jarak antara as ke as tiang pada Gambar 2.22.
d
= Diameter tiang pancang pada Gambar 2.22.
n
= Banyaknya baris pada Gambar 2.22.
M
= Banyaknya tiang pancang per-baris pada Gambar 2.22.
Gambar 2.22. Banyak baris (n) dan banyak tiang pancang per-baris (m) (Sumber: Sardjono HS, 1988)
Effisiensi kelompok tiang dapat dihitung dengan rumus: N =1Dimana,
[ ˚
(
)
(
)
]
N
= Effisiensi.
n
= Jumlah baris pada Gambar 2.22.
m
= Jumlah tiang setiap baris pada Gambar 2.22.
(2.34)
54
α
= arc tan ( ).
s
= Jarak antar tiang pada Gambar 2.22.
d
= Diameter tiang pada Gambar 2.22.
3. Menurut Los Angles Group – Action Formula Effisiensi kelompok tiang dapat dihitung dengan rumus: N =1Dimana,
. . .
[m(n-1) + n(m-1) + 2(
n
= Jumlah baris pada Gambar 2.22.
s
= Jarak antar tiang pada Gambar 2.22.
d
= Diameter tiang pada Gambar 2.22.
− 1)( − 1) ]
(2.35)
4. Menurut Seiler - Keeney Effisiensi kelompok tiang dapat dihitung dengan rumus: N = [1- (
Dimana,
)
.
]+
.
n
= Jumlah baris pada Gambar 2.22.
s
= Jarak antar tiang Gambar 2.22.
m
= Jumlah tiang setiap baris pada Gambar 2.22.
(2.36)
2.10. Daya Dukung Kelompok Tiang/Pile Group Jarak antara tiang bor didalam kelompok tiang/pile group akan mempengaruhi kapasitas
daya
dukung
kelompok
tiang/pile
group.
Bila
beberapa
tiang
dikelompokkan dengan jarak yang saling berdekatan, maka tegangan tanah akibat
55
gesekan tiang dengan tanah mempengaruhi daya dukung tiang yang lain. Jarak minimum antara tiang pancang yang disarankan oleh beberapa peraturan bangunan dapat dilihat pada Tabel 2.14. Tabel 2.14. Jarak minimum antara tiang (Sumber: Bowles, 1988)
Type tiang pancang
BOCA, 1984
NBC, 1976
Chicago, 1987
Gesekan
2D atau 1,75H >30in
2D atau 1,75H>30in
1D atau 1,75H >30in
Tahanan Ujung
2D atau 1,75H > 24in
2D atau 1,75H > 24in
Kapasitas daya dukung kelompok tiang/pile group dapat diperoleh melalui perkalian dari beban maksimum tiang tunggal dikalikan dengan jumlah tiang dan faktor effisiensi tiang. Sehingga kapasitas daya dukung group dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut: QgUlt = NnQult
(2.37)
Dimana, N
= Faktor effisiensi tiang.
n
= Jumlah tiang dalam kelompok.
QUlt = Daya dukung ultimit tiang (ton). QgUlt = Daya dukung ultimit kelompok tiang (ton).
2.11. Daya Dukung Tiang Akibat Beban Lateral Dalam perencanaan pondasi tiang, perlu diperhitungkan beban horizontal atau
56
beban lateral seperti: beban angin, tekanan tanah lateral, beban gelombang air, beban gempa dan lainnya. Gaya lateral yang terjadi pada tiang bergantung pada kekakuan tiang, jenis tanah, penanaman ujung tiang kedalam pelat penutup kepala tiang, sifatsifat gaya serta besarnya defleksi. Dalam analisi gaya lateral, tiang perlu dibedakan pada model ikatan pada ujung tiang yang sangat mempengaruhi kelakukan tiang dalam mendukung beban lateral, karena itu tiang dapat dibedakan menjadi dua type seperti terlihat dalam Gambar 2.23.
(a) Tiang ujung bebas (b) Tiang ujung jepit Gambar 2.23. Definisi tiang ujung jepit dan ujung bebas (McNulty, 1956)
2.11.1. Daya Dukung Tiang Ujung Bebas/Free End Pile Menurut Broms (1964) kondisi tiang panjang ujung bebas dalam tanah dibedakan dalam dua jenis perhitungan, yaitu: 1. Tiang panjang ujung bebas dalam tanah kohesif Untuk tiang panjang, tahanan tiang terhadap gaya lateral ditentukan oleh momen maksimum yang dapat ditahan tiangnya sendiri, seperti terlihat dalam Gambar 2.24.
57
Gambar 2.24. Tiang panjang ujung bebas dalam tanah kohesif (Broms, 1964) Pada tanah kohesif, momen ultimit akibat gaya lateral dapat didefinisikan dengan rumus sebagai berikut: Mu = Hu(e + 1,5d + 0,5f)
(2.38)
Dimana, f =
2. Tiang panjang ujung bebas dalam tanah non kohesif Estimasi bentuk keruntuhan tiang, distribusi tahanan tanah dan distribusi momen lentur pada tiang, untuk tanah mempunyai berat volume yang sama diseluruh kedalaman tiang, seperti terlihat dalam Gambar 2.25.
58
Gambar 2.25. Tiang panjang ujung bebas dalam tanah non kohesif (Broms, 1964) Pada tanah non kohesif, momen ultimit Mu akibat gaya lateral terjadi pada jarak f di bawah permukaan tanah dan dapat didefinisikan dengan rumus sebagai berikut: Mu = Hu(e + .f)
(2.39)
Dimana, f = 0,82
Hu = dγKpf2 =
γ γ
2.11.2. Daya Dukung Tiang Ujung Jepit /Fixed End Pile Menurut Broms (1964) kondisi tiang panjang ujung jepit dalam tanah dibedakan dalam dua jenis perhitungan, yaitu:
59
1. Tiang panjang ujung jepit dalam tanah kohesif Mekanisme keruntuhan tiang panjang ujung jepit, diagram distribusi reaksi tanah dan momen tejadi secara pendekatan dapat dilihat pada Gambar 2.26.
Gambar 2.26. Tiang panjang ujung jepit dalam tanah kohesif (Broms, 1964) Pada tanah kohesif, momen maksimum akibat gaya lateral dapat didefinisikan dengan rumus sebagai berikut: Hu
=
(2.40)
Nilai-nilai Hu yang diplot dalam grafik dapat dilihat pada Gambar 2.27.
Gambar 2.27. Tahanan lateral ultimit tiang dalam tanah kohesif (Broms, 1964)
60
2. Tiang panjang ujung jepit dalam tanah non kohesif Mekanisme keruntuhan tiang panjang ujung jepit, diagram distribusi reaksi tanah dan momen tejadi secara pendekatan dapat dilihat pada Gambar 2.28.
Gambar 2.28. Tiang panjang ujung jepit dalam tanah non kohesif (Broms, 1964) Pada tanah non kohesif, momen ultimit akibat gaya lateral dapat didefinisikan dengan rumus sebagai berikut: Hu
=
.
(2.41)
Dimana, f
= 0,82
.
(2.42)
Nilai-nilai Hu yang diplot dalam grafik dapat dilihat pada Gambar 2.29.
61
Gambar 2.29. Tahanan lateral ultimit tiang dalam tanah non kohesif (Broms, 1964)
2.12.
Aplikasi Metoda Numerik pada Tiang Bor/Bored Pile
2.12.1. Teori Deformasi Persamaan dasar untuk deformasi statis dari massa tanah diformasikan dalam kerangka kerja mekanika kontinum. Pembatasan dilakukan pada deformasi yang dianggap kecil. Hal ini memungkinkan sebuah formulasi yang mengacu pada geometri awal yang belum terdeformasi.
2.12.1.1. Persamaan Keseimbangan Statis Persamaan keseimbangan gaya pada elemen arah sumbu x – x +
+
=0
Persamaan keseimbangan gaya pada elemen arah sumbu y – y +
+
=0
62
Persamaan keseimbangan gaya pada elemen arah sumbu z – z +
+
=0
Persamaan dasar keseimbangan untuk deformasi suatu tanah yang statis dapat diformulasikan dalam bentuk matriks, yaitu: LT.σ + p = 0
(2.43)
Sehingga,
x T L 0 0
0
0
y
0
xx yy zz xy yz xz
0
z
y x 0
0 z y
z 0 x
Dimana, LT
= Transpose of a differential operator.
= Vector with stress components.
p
= Body forces vector.
τ
= Tegangan geser yang bekerja pada bidang runtuh.
(2.44)
63
2.12.1.2. Persamaan Keseimbangan Kinematis Selanjutnya
persamaan
keseimbangan,
hubungan
kinematis
dapat
diformulasikan, yakni: L.u u u
xx
(2.45)
v
w
yy
T
zz
xy
yz
T
zx
Dimana, u,v,w = Perpindahan (displacement) arah sumbu x,y dan z.
xx
= Regangan normal arah sumbu x-x.
yy
= Regangan normal arah sumbu y-y.
zz
= Regangan normal arah sumbu z-z.
xy
= Regangan geser arah pada bidang xy.
yz
= Regangan geser arah pada bidang yz.
zx
= Regangan geser arah pada bidang zx.
2.12.1.3. Persamaan Konstitutif Persamaan hubungan konstitutif untuk tegangan efektif dinyatakan sebagai berikut: σ' = M.έ Dimana,
(2.46)
64
M
= Material stiffness matrix.
= Vector with strain components.
Untuk kondisi plane stress, elastis linier, matrik M sebagai berikut:
M
E 1 v2
0 1 v v 1 0 1 v 0 0 2
(2.47)
Dimana, E
= Modulus elastisitas.
= Konstanta Poisson/Poisson ratio.
Untuk kondisi plane strain, elastis linier matrik M sebagai berikut:
1 v v 0 E v 1 v M 0 , 2 1 v 1 2v 1 2v 0 0 2
(2.48)
Dimana,
= Konstanta Poisson (poisson ratio).
E
= Modulus elastisitas.
Persamaan umum tegangan total didapat dengan mensubstitusikan Persamaan (2.46) ke Persamaan (2.45),
U w Menjadi,
65
M
U
(2.49)
w
Substitusikan Persamaan didapat: T L M U w 0
(2.50)
Dimana, Uw
= Tekanan air pori.
Dari Persamaan (2.50) terlihat ada empat bilangan anu/unknown yang tidak diketahui yaitu tiga displacement (u, v, w) dan satu tekanan air pori (uw). Persamaan ini dapat diselesaikan dengan bantuan satu tambahan persamaan yaitu persamaan pengaliran pada media porous. Kombinasi dari integral dari tegangan yang timbul akan mengarah kesuatu persamaan diffrensial parsial orde kedua dalam displacement u , tetapi sebagai pengganti kombinasi langsung, persamaan kesetimbangan itu dirumuskan kembali dalam suatu bentuk menurut prinsip variasi Galerkin, yakni:
u
T
L
T
p dV 0
(2.51)
Dimana,
u
= A kinematically admissible variation of displacements.
Menerapkan teori Green untuk integrasi parsial pada bentuk pertama Persamaan (2.51) menjadi,
Dimana,
T
T
T
dV u p dV u t dS
(2.52)
66
= Vector with stress components.
t
= Traksi batas (boundary traction).
Memperkenalkan suatu Integral batas. Tiga komponen traksi batas disusun dalam Vektor t . Pengembangan keadaan tegangan/stress state dapat dipandang sebagai suatu proses yang berkaitan dengan pertambahan/incremental:
i i 1 dt ,
(2.53)
Dimana,
i
= Menunjukkan keadaan tegangan aktual/actual state of stress which is unknown.
i 1
= Menunjukkan keadaan tegangan sebelumnya yang sudah diketahui/ previousstate of stress which is known.
= Penambahan tegangan/stress increment tambahan waktu yang kecil. Jika Persamaan (2.52) dianggap untuk keadaan aktual i, tegangan yang tidak diketahui
dapat dieliminasi menggunakan Persamaan (2.53) menjadi, i
T
T
T
T
i i i 1 dV u p dV u t dS dV
(2.54)
2.12.2. Diskretisasi Elemen Hingga/Finite Element Discretisation Menurut metode elemen hingga, sebuah kontinum dibagi menjadi sejumlah elemen/volumetrik. Setiap elemen memiliki sejumlah titik nodal dan setiap titik nodal
67
mempunyai
sejumlah
drajat
kebebasan
mempunyai
sejumlah
derajat
kebebasan/degrees of freedom yang bersesuaian dengan harga-harga diskret yang belum diketahui didalam persoalan harga batas yang akan dipecahkan. Didalam kasus teori deformasi ini, derajat kebebasan berkaitan dengan
komponen perpindahan.
Didalam suatu elemen perpindahan u diperoleh nilai diskret dari titik nodal dalam sebuah vektor v menggunakan fungsi-fungsi interpolasi yang disusun dalam matriks N, u N ν
(2.55)
Dimana,
u
= Vector with displacement components.
N
= Matrik fungsi bentuk/matrix with shape functions.
= Vector with nodal displacement.
Substitusi Persamaan (2.55) relasi kinematik Persamaan (2.46) akan memberikan: L N B
(2.56)
Dimana, B
= Matriks interpolasi regangan/strain interpolation matrix.
Persamaan (2.56) dapat dirumuskan kembali dalam bentuk diskret sebagai berikut:
B
T
dV N p dV N t dS B T
i
T i
Dimana,
T = Perpindahan diskrit/discrete displacements. Perpindahan diskret dapat ditempatkan diluar integral,
T
i1
dV
(2.57)
68
T BT dV T NT pi dV T NT t i dS T BT i1 dV
(2.58)
Dengan membagi ruas kiri dan ruas kanan dengan , maka persamaan ditulis T
menjadi:
B
T
dV N p dV N t T
i
T
i
dS
B
T
i 1
dV
(2.59)
Persamaan diatas adalah kondisi mengembangkan keseimbangan dalam bentuk diskret. Suku pertama disebelah kanan bersama suku kedua menyatakan gaya eksternal saat ini, sedangkan suku terakhir menyatakan reaksi internal dari langkah sebelumnya. Perbedaan antara vektor gaya eksternal dan vektor reaksi internal akan diseimbangkan oleh suatu penambahan tegangan yaitu ∆σ. Hubungan antara penambahan tegangan dan penambahan regangan biasanya adalah non-linier. Akibatnya penambahan regangan secara umum tidak dapat dihitung dengan langsung, dan prosedur iterasi global diperlukan untuk memenuhi kondisi keseimbangan untuk semua titik material.
2.12.3. Integrasi Implisit Dari Model Plastisitas Diferensial/Implicit Integration of Diffrential Plastisity Models Penambahan tegangan
diperoleh dengan mengintegrasi kecepatan
tegangan dengan model-model plastisitas diferensial/diffrential plastisity melalui Persamaaan (2.60) berikut ini:
D e
p
(2.60)
69
Dimana, D
e
= Matriks material elastis untuk penambahan tegangan/elastic material
stiffness martrix representing Hooke’s low.
p
= Penambahan regangan/strain increment.
= Penambahan regangan plastis/plastic strain increment.
Untuk perilaku material elastis, penambahan regangan plastis
p
0 . Untuk
perilaku material plastis, penambahan regangan plastis dapat ditulis menurut Vermeer (1997), seperti:
p
g 1
i 1
g
(2.61)
Dimana,
= Penambahan multiplier plastic/increment of the plastic multyplier.
= Suatu parameter yang menunjukkan tipe integrasi waktu/a prameter indicating thetype oftime integration.
g
= Plastic potensial function.
Untuk = 0 disebut integrasi eksplisit dan untuk = 1 disebut integrasi implisit. Karena itu, untuk = 1 Persamaan (2.61) berubah menjadi:
70
p
g
i
(2.62)
Substitusi Persamaan (2.61) kedalam Persamaan (2.53) , maka akan diperoleh tegangan aktual
i
sebesar: i
e
dengan tr i 1 D e
g D
i
tr
tr
= Vektor tegangan tambahan/elastic streses or trial streses.
(2.63)
Dimana,
Penambahan multiplier plastis , seperti yang digunakan pada Persamaan (2.63), dapat diselesaikan dari kondisi bahwa keadaan tegangan baru harus memenuhi
0
kondisi leleh/yield condition f
i
Dimana, f
= Yield function.
Untuk plastis sempurna/perfecly-plastic dan linear hardening models penambahan plastic multiplier dapat ditulis seperti:
Dimana,
f d h tr
(2.64)
71
h
= Hardening parameter.
f d
i
tr
tr
g D e
i
tr f e g D d h
i
(2.65)
Dimana, x 0
untuk
x 0
dan
x x
untuk
x 0
2.12.4. Prosedur Iterasi Global/Global Iterative Procedure Substitusi hubungan antara penambahan tegangan dan penambahan kedalam Persamaan Keseimbangan (2.65) menjadi,
K i i f iex f iin1
(2.66)
Dimana, K
= Matriks kekakuan/stiffness matrix.
= Vektor penambahan perpindahan/incremental displacement
f ex
= Vektor gaya luar/external force.
f in
= Vektor reaksi dalam/internal reaction vector.
72
i
= Nomor tahapan/step number i.
Proses iterasi global dapat ditulis seperti:
K j j f iex f iin1
(2.67)
Dimana, J
= Nomor iterasi/iteration number.
= Suatu vektor yang berisi perpindahan dengan penambahan kecil/ vector containing sub-incremental displacement. n
i
j
j 1
Dimana, n
= Jumlah iterasi dengan tahapan i. T
K B D e B dV Dimana, = Matriks intervolasi regangan.
B
D
e
= Matriks material elastis menurut hukum Hooke.
73
2.12.5. Persamaan Dasar Aliran Statis Aliran didalam suatu media yang berpori dapat diuraikan dengan hukum Darcy dengan menganggap aliran didalam suatu bidang vertikal x-y dipakai persamaan berikut, q x k x
x
q y k y
y
(2.68)
Dimana, q
= Debit khusus/specific discharge.
k
= Permeabilitas.
= Tinggi tekan, yang ditetapkan sebagai berikut:
y
p
w
Dimana, y
= Posisi vertikal/vertical position.
p
= Tegangan air pori/stress in the pore fluid, negatif untuk tekan.
w Berat isi air pori. Untuk aliran statis, kondisi berkesinambungan berlaku,
qx q y 0 x y Persamaan diatas menyatakan bahwa tidak ada aliran masuk atau keluar, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.30.
74
qy+
q dy y qx+
qx
q dx x
qy
Gambar 2.30. Ilustrasi syarat kontinuitas
2.12.6. Perumusan Elemen Untuk elemen-elemen segitiga pada fungsi interpolasi ada dua koordinat lokal yaitu dan . Selanjutnya kita menggunakan koordinat bantuan 1 .
Gambar: 2.31. Penomoran lokal dan penentuan titik nodal
2.12.6.1. Fungsi Bentuk Elemen Segitiga 6 Titik Nodal N1 = 2 1 N2
= 2 1
75
N3 = 2 1 N4
= 4
N5
= 4
N6
= 4
2.12.6.2. Fungsi Bentuk Elemen Segitiga 15 Titik Nodal
N1
=
4 14 2 4 3 6
N2
=
4 14 2 4 3 6
N3
=
4 14 2 4 3 6
N4
= 4 4 14 1
N5
= 4 4 14 1
N6
= 4 4 14 1
N7
= 4 14 2 . 8 / 3
N8
= 4 1 4 2. 8 / 3
N9
= 4 1 4 2 . 8 / 3
N10
= 4 1 4 2 . 8 / 3
N11
= 4 1 4 2. 8 / 3
N12
= 4 1 4 2 . 8 / 3
76
N13
= 32 4 1
N14
= 32 4 1
N15
= 32 4 1
2.12.7. Integrasi Numerik Dari Elemen Segitiga Perumusan integrasi numerik untuk elemen segitiga adalah sebagai berikut:
F , d d
k
i 1
F i ,
i
w i
Dimana,
F , = Nilai fungsi F pada posisi dan (value of the function F at position and ).
wi
= Weight factor for point i.
= Koordinat bantu/auxiliari coordinat.
Plaxis menggunakan integrasi Gaussian. Untuk elemen 6 nodal integrasi didasarkan pada 3 titik contoh, sedangkan untuk elemen 15 nodal menggunakan 12 titik contoh. Posisi dan faktor berat titik integrasi disajikan dalam Tabel 2.15 dan 2.16. Tabel 2.15 Integrasi 3 titik, untuk elemen 6 titik nodal (Sumber: D. Waternan, Plaxis vertion 7, Scientific Manual, 2004) Titik
i
i
i
wi
1,2 &3
1
1
2
1
6
6
3
3
77
Tabel 2.16. Integrasi 12 titik, untuk elemen 15 titik nodal (Sumber: D. Waternan, Plaxis vertion 7, Scientific Manual, 2004) Titik
i
i
i
wi
1,2 & 3
0,063089…
0,063089…
0,873821…
0,050845…
4…6
0,249286…
0,249286…
0,501426…
0,116786…
7…12
0,310352…
0,053145…
0,636502…
0,082851…
2.13. Metode Elemen Hingga Finite Element Code For Soil and Rock Analysis merupakan suatu rangkuman program elemen hingga yang telah dikembangkan untuk menganalisa deformasi dan stabilitas geoteknik dalam perencanaan-perencanaan sipil. Berdasarkan prosedur input data yang sederhana, mampu menghasilkan perhitungan elemen hingga yang kompleks dan menyediakan fasilitas output tampilan secara detail berupa hasil-hasil perhitungan. Sebelum dilakukan perhitungan dengan program elemen hingga, terlebih dahulu harus dipahami teori tentang pemodelan tanah yang akan dipilih, kesalahan dalam pemilihan model tanah dapat mengakibat kekeliruan pada hasil output perhitungan yang diperoleh. Dalam penelitian ini data yang dibutuhkan adalah mengenai nilai-nilai parameter pada tanah yang didapat dari hasil penyelidikan tanah dalam hal ini tanah yang akan dianalisa adalah tanah yang diperoleh dari lapangan untuk pembangunan Proyek Hotel Sapadia Jalan SM Raja Medan. Data lapangan yang diperoleh dari lapangan dijalankan dengan Program Plaxis lewat pemodelan
78
Mohr Coulomb dan Soft Soil dengan analisis axisymetric untuk menghitung korelasi beban vertikal ultimate dengan displacement penurunan yang terjadi pada tiang pancang bor dan dibandingkan dengan hasil uji pembebanan statis berupa pembacaan pekerjaan loading test di lapangan.
2.13.1. Pemodelan Soft Soil Salah satu parameter kekakuan tanah/soil stiffness merupakan parameter masukan yang sangat penting dalam metode elemen hingga. Keakuratan prediksi penurunan pondasi tiang bor sangat tergantung kepada seberapa akurat nilai kekakuan tanah yang dimasukan kedalam program elemen hingga tersebut. pemodelan dalam Plaxis yang dikembangkan untuk memodelkan beberapa sifat utama dari tanah lunak adalah pemodelan Soft Soil. Beberapa sifat dari pemodelan Soft Soil yang perlu dipahami adalah: 1. Kekakuan bergantung pada tegangan (perilaku kompresi logaritmik). 2. Perbedaan antara pembebanan primer dan pengurangan pembebanan kembali. 3. Tekanan Prakonsolidasi. 4. Perilaku keruntuhan mengikuti kriteria Mohr-Coulomb.
2.13.1.1. Parameter Model Soft Soil Parameter model Soft Soil tidak melibatkan waktu, maka indeks rangkak termodifikasi μ* tidak diikutsertakan. Karena itu, model Soft Soil membutuhkan konstanta-konstanta material berikut:
79
Parameter dasar: λ*
: Indeks kompresi termodifikasi [-].
κ*
: Indeks muai termodifikasi [-].
c
: Kohesi [kN/m2].
Ø
: Sudut geser [°].
ψ
: Sudut dilatansi [°].
Parameter tingkat lanjut (gunakan pengaturan pra-pilih): νur
: Angka Poisson untuk pengurangan/pembebanan [-] kembali.
K0NC
: Koefisien tekanan lateral dalam kondisi [-] terkonsolidasi normal.
M
: Parameter yang berhubungan dengan K0NC [-].
Gambar.2.32. Data masukan pemodelan Soft Soil pada program Plaxis Gambar 2.32 menunjukkan jendela PLAXIS untuk memasukkan nilai-nilai dari parameter model M dihitung secara otomatis dari koefisien tekanan tanah lateral K0NC.
(2.69)
80
Adapun parameter yang digunakan dalam pemodelan Soft Soil pada Program Plaxis adalah sebagai berikut: 1. Indeks kompresi termodifikasi (λ*) dan indeks muai termodifikasi (κ*). 2. Kohesi (c). 3. Sudut Geser (Ø). 4. Sudut dilatansi (ψ). 5. Angka Poisson (νur).
2.13.1.2. Parameter K0NC Kondisi Isotropis Tegangan Dan Regangan Dalam Model Soft Soil diasumsikan bahwa antara regangan volumetric εv dan tegangan efektif rata-rata p’ berupa hubungan logaritmik yang dapat diformulasikan ke dalam Persamaan berikut: εv – ε0v = - λ*.ln …. (kompresi alami di lapangan)
(2.70)
Agar tetap berlaku nilai p’ minimum diatur sebesar satu dimensi tegangan, sedangkan parameter λ* adalah indeks kompresi termodifikasi, yang menentukan kompresibilitas material dalm pembebanan primer. Perhatikan bahwa λ* berbeda dari indeks λ yang digunakan oleh Burland (1965). Perbedaannya adalah Persamaan (2.70) adalah merupakan fungsi dari regangan Volumetrik dan bukan angka pori. Pengurangan dan pembebanan kembali secara isotropis akan menghasilkan lintasan tegangan yang berbeda, yang dapat dinyatakan ke dalam Persamaan berikut:
(2.71)
81
Lanjut nilai p’ minimum diatur sebesar satu dimensi tegangan, sementara parameter k* adalah indeks muai termodifikasi, yang menentukan kompresibilitas material saat pengurangan beban kembali. Perhatikan bahwa k* berbeda dengan indeks k yang digunakan oleh Burland. Walaupun demikian, rasio λ*/k* adalah sama dengan rasio λ/k. Respon tanah selama pengurangan dan pembebanan kembali diasumsikan bersifat elastis dan dinotasikan dengan notasi atas/superscript e dan perilaku elastic dideskripsikan oleh hukum Hooke menyatakan ketergantungan tegangan secara linier pada modulus bulk tangensial dapat ditulis dengan Persamaan berikut:
(2.71) Di mana notasi bawah/subscript ur menyatakan pengurangan/pembebanan kembali. Modulus elastisitas bulk, Kur, maupun modulus elastisitas Young Eur, tidak digunakan sebagai parameter masukan, melainkan vur dan k* yang digunakan sebagai konstanta masukan untuk bagian dari model yang menghitung regangan elastis. Kurva pengurangan/pembebanan kembali dalam jumlah yang tak terbatas dimana tiap kurva menyatakan nilai tekanan prakonsolidasi isotropis pp tertentu, yaitu tegangan tertinggi yang pernah dialami oleh tanah.
2.13.1.3. Fungsi Leleh Untuk Kondisi Tegangan Triaksial (σ′2 = σ′3) Model Soft Soil Creep dapat memodelkan perilaku tanah pada kondisi tegangan secara umum. Namun demikian, agar lebih jelas maka hanya diambil batasan pada kondisi pembebanan triaksial dengan σ′2 = σ′3. Untuk kondisi tegangan seperti itu fungsi leleh dari model Soft Soil didefinisikan ke dalam Persamaan berikut:
82
f = f – pp
(2.72)
di mana f adalah fungsi dari kondisi tegangan (p′, q) dan tekanan prakonsolidasi pp adalah fungsi dari regangan plastis sehingga diperoleh Persamaan berikut:
(2.73)
(2.74) Fungsi leleh f mendeskripsikan sebuah elips dalam bidang p′-q. Parameter M dalam Persamaan (2.73) menentukan tinggi dari elips. Tinggi dari elips akan menentukan rasio dari tegangan horisontal terhadap tegangan vertikal dalam kompresi primer satu dimensi.Kemudian parameter M akan banyak
menentukan
nilai
koefisien tekanan tanah lateral, K0NC. Dari sudut pandang ini, nilai M dapat dipilih sedemikian rupa sehingga nilai K0NC yang telah diketahui
dapat
sesuai
dengan
kompresi primer satu dimensi. Interpretasi dan penggunaan M semacam ini berbeda dengan ide dasar dari garis critical state, tetapi hal ini menjamin nilai K0NC yang sesuai. Titik-titik puncak dari seluruh elips berada pada garis dengan kemiringan M dalam bidang p′-q. Pada model Modified Cam-Clay (Burland, 1965, 1967) garis M disebut sebagai garis critical state dan menyatakan kondisi tegangan setelah puncak keruntuhan terlampaui. Parameter M kemudian critical state. Namun
didasarkan
pada sudut
geser
demikian, dalam model Soft Soil, keruntuhan tidak harus
berkaitan dengan kondisi kritis atau critical state. Kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb adalah fungsi dari parameter kekuatan φdan c, yang mungkin tidak berkaitan dengan garis M.
83
Tekanan prakonsolidasi isotropis, pp, menentukan besarnya elips sepanjang sumbu p′. Selama pembebanan, elips dalam jumlah tak terhingga dapat terbentuk dimana tiap elips berkaitan dengan nilai pp tertentu. Dalam kondisi tegangan tarik (p′ < 0), elips akan berkembang hingga mencapai c.cotgØ Persamaan (2.73). Untuk memastikan agar bagian kanan dari elips (yaitu "cap") tetap berada dalam daerah "kompresi" (p′ > 0) maka digunakan nilai minimum dari pp sebesar c.cotgØ. Untuk c = 0, nilai minimum pp diambil sebesar satu dimensi tegangan. Oleh karena itu, terdapat suatu elips "pembatas" seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.33.
Gambar 2.33. Bidang leleh dari Soft Soil dalam bidang p′-q
Nilai pp ditentukan oleh regangan plastis volumetrik yang mengikuti hubungan yang bersifat hardening dan mencerminkan prinsip bahwa tekanan prakonsolidasi meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya regangan plastis volumetrik (pemampatan). pp0 dapat dianggap sebagai nilai awal dari tekanan prakonsolidasi dan nilai regangan plastis volumetrik awal diasumsikan sebesar nol.
84
Gambar 2.34. Ilustrasi dari seluruh kontur bidang leleh dari model Soft Soil dalam ruang tegangan utama Dalam model Soft Soil, fungsi leleh merupakan regangan volumetrik yang tidak dapat kembali ke kondisi semula dalam kompresi primer, dan membentuk "cap" dari kontur bidang leleh. Untuk memodelkan kondisi runtuh, digunakan fungsi leleh jenis Mohr-Coulomb yang bersifat plastis sempurna. Fungsi leleh ini berupa sebuah garis lurus dalam bidang p′-q seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.33. Kemiringan garis keruntuhan akan lebih kecil dibandingkan kemiringan garis M. Seluruh bidang leleh, seperti ditunjukkan oleh garis tebal merupakan batas dari daerah tegangan elastis. Garis keruntuhan mempunyai lokasi tetap, tetapi "cap" dapat meningkat dalam kompresi primer. Lintasan tegangan di dalam batas ini hanya akan menghasilkan peningkatan regangan elastis, dimana lintasan tegangan cenderung
yang
memotong batas umumnya akan menghasilkan peningkatan regangan
elastis dan plastis.
85
Untuk kondisi tegangan secara umum, perilaku plastis dari model Soft Soil didefinisikan oleh enam buah fungsi leleh yaitu tiga buah fungsi leleh kompresi dan tiga buah fungsi leleh Mohr-Coulomb. Seluruh kontur bidang leleh dalam ruang tegangan utama yang dihasilkan oleh keenam fungsi leleh ini ditunjukkan dalam Gambar 2.34.
2.13.2. Pemodelan Mohr-Coulomb (Plastisitas Sempurna) Untuk menginterpretasi hasil yang didapat dari uji triaksial, pada umumnya digunakan model elastis Mohr-Coulomb. Plastisitas mempunyai hubungan dengan terbentuknya regangan yang tidak dapat kembali seperti semula. Untuk mengevaluasi apakah plastisitas telah terjadi dalam perhitungan, sebuah fungsi leleh/yield function f, digunakan sebagai fungsi dari tegangan dan regangan. Sebuah fungsi leleh umumnya dapat dinyatakan sebagai suatu bidang dalam ruang tegangan utama. Sebuah model plastis-sempurna merupakan suatu model konstitutif dengan bidang leleh tertentu, yaitu bidang leleh yang sepenuhnya didefinisikan oleh parameter model dan tidak terpengaruh oleh peregangan/plastis. Untuk kondisi tegangan yang dinyatakan oleh titik-titik yang berada di bawah bidang leleh, perilaku dari titik-titik tersebut akan sepenuhnya elastis dan seluruh regangan dapat kembali seperti semula. Model elastis Mohr-Coulomb digunakan karena simplisitasnya, dimana pada model ini tanah diasumsikan sebagai material elastis. Setelah tanah mencapai tegangan lelehnya, tanah tidak memiliki plastic flow (artinya tidak ada hardening /softening) alias perfectly plastic dan characteristic state (titik perubahan dari kondisi kompresi) terjadi bersamaan dengan yield dari tanah.
86
2.13.2.1. Parameter Dasar Model Mohr-Coulomb Model Mohr-Coulomb membutuhkan total lima buah parameter seperti terlihat dalam Gambar 2.35 yang umum digunakan oleh para praktisi geoteknik dan dapat diperoleh dari uji-uji yang umum dilakukan di laboratorium. Parameter-parameter bersama dimensi dasarnya adalah sebagai berikut: E
: Modulus Young [kN/m2].
ν
: Angka Poisson [-].
Ø
: Sudut geser [°].
c
: Kohesi [kN/m2].
ψ
: Sudut dilatansi [°].
Gambar 2.35. Parameter untuk pemodelan Mohr-Coulomb pada program Plaxis. Adapun parameter yang digunakan dalam pemodelan Mohr-Coulomb pada Program Plaxis adalah sebagai berikut: 1. Modulus Young (E). 2. Angka Poisson (ν).
3. Sudut geser (Ø).
87
4. Kohesi (c). 5. Sudut dilatansi (ψ).
2.13.2.2. Perilaku Elastis Plastis Sempurna Prinsip dasar dari model elastis-plastis adalah bahwa regangan dan perubahan regangan dibedakan menjadi bagian yang elastis dan bagian yang plastis. Hukum Hooke digunakan untuk menghubungkan perubahan tegangan dan perubahan regangan elastis. Menurut teori plastisitas klasik (Hill, 1950), perubahan regangan plastis adalah proporsional terhadap turunan fungsi leleh terhadap tegangan. Hal ini berarti bahwa perubahan regangan plastis dapat dinyatakan sebagai vektor yang tegak lurus terhadap bidang leleh. Bentuk klasik dari teori plastisitas ini disebut juga plastisitas terasosiasi/associated plasticity. Namun, untuk fungsi leleh MohrCoulomb, teori plastisitas terasosiasi akan menghasilkan prediksi dilatansi yang berlebihan. Karena itu, selain fungsi leleh/yield function, f, digunakan juga sebuah fungsi potensi plastis/plastic potential function, g. Kasus dimana g ≠ f, disebut sebagai plastisitas yang tidak berhubungan/non-associated plasticity.
2.13.2.3. Formulasi Model Mohr-Coulomb Dua buah parameter dari model plastis yang muncul dalam fungsi leleh adalah sudut geser Ø dan kohesi c yang telah dikenal luas. Fungsi-fungsi leleh ini secara bersamaan membentuk konus heksagonal dalam ruang tegangan utama seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.36.
88
Gambar 2.36. Bidang leleh Mohr-Coulomb dalam ruang tegangan utama (c = 0)
Parameter ini dibutuhkan untuk memodelkan peningkatan regangan volumetrik plastis positif (dilatansi) seperti secara aktual terjadi pada tanah yang padat. Untuk c > 0, kriteria Mohr-Coulomb standar mengijinkan adanya tegangan tarik. Pada faktanya, tegangan tarik ijin akan semakin meningkat dengan meningkatnya kohesi. Tetapi dalam realitas, tanah hanya dapat menahan tegangan tarik yang kecil atau tidak sama sekali. Perilaku ini dapat dimodelkan dalam PLAXIS dengan menggunakan pembatasan tegangan tarik. Untuk kondisi tegangan yang berada di bawah bidang leleh, perilaku adalah elastis dan mengikuti hukum Hooke untuk elastisitas yang linier elastis. Karena itu, disamping parameter plastisitas, c, Ø dan ψ, diperlukan masukan berupa modulus elastisitas Young E, dan angka Poisson ν.
2.14.
Perkembangan Metode Pengujian Beban Tiang Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, maka metode pengujian beban
aksial tiang juga semakin bervariasi, mulai dari pengujian beban statis/Static Loading
89
Test/SLT yang umum digunakan, juga adanya alternatif pengujian beban aksial tiang yang dikenal dengan Pengujian PDA/Pile Driving Analyzer, Pengujian Osterberg Cell/O-Cell Test serta Uji Sonic Logging. Untuk pengujian beban statis/Static Loading Test/SLT sudah dibahas disub bab depan, sementara untuk alternatif pengujian beban aksial tiang lainnya akan dibahas berikut ini yaitu: 1. Pengujian PDA/Pile Driving Analyzer adalah metode pengujian dinamik untuk menguji beban ultimit tiang, uji dinamik ini dikenal dengan HSDPT/High Strain Dynamics Pile Test dan sering digunakan sebagai pelengkap pada pengujian beban statis. Pelaksanaan pengujian PDA ini untuk mengetahui dengan pasti daya dukung tiang struktur dengan memanfaatkan rambatan gelombang, rambatan gelombang yang berupa regangan pada tiang dan pergerakan relative/Relative Displacement antara tiang dan tanah disekitarnya yang diakibatkan oleh beban dinamik akibat tumbukan dari drop hammer pada kepala tiang, kemudian rambatan gelombang pada tiang direkam oleh perangkat komputer yang dilengkapi dengan aplikasi khusus yang dirancang untuk menganalisa refraksi, sefleksi dan disperse gelombang. Semakin besar kekuatan tanah, semakin kuat perlawanan gelombang perlawanan yang timbul. Gelombang aksi maupun reaksi akibat perlawanan tanah ini direkam dan dari hasil rekaman, maka karakteristik gelombang dapat dianalisa dan diolah oleh perangkat computer untuk menentukan daya dukung statis tiang yang diuji berdasarkan Theory of Stress Wave Propagation on Pile/Case Method. PDA Test pelaksanaannya
90
mengacu pada ASTM D-4945. Pelaksanaan dan hasil Pengujian PDA dari Direktorat Jenderal Bina Marga dapat dilihat pada Gambar 2.37.
Gambar 2.37. Pelaksanaan dan hasil pengujian PDA (Sumber: Direktoral Jenderal Bina Marga) 2. Pengujian Osterberg Cell/O-Cell Test umumnya dilakukan pada lokasi yang sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan pengujian beban statis konvensional, lokasi yang umumnya menggunakan alat ini terutama pada lokasi pembangunan lepas pantai/laut lepas dan dermaga tepi pantai seperti pada pembangunan jembatan Suramadu. Peralatan utama pada pelaksanaan OC-Test adalah load cell, tell tale yang terhubung dengan displacement tranducers dan strain gauge. Load Cell pada tiang ada dua yaitu, load cell atas dan load cell bawah sehingga membagi tiang menjadi tiga buah segemen, keduanya berfungsi untuk menghasilkan beban, Load cell atas digunakan untuk mengukur tahanan selimut tiang (segemen B dan segemen C) sedangkan load cell bawah digunakan pada mengukur tahanan ujung tiang (segmen A), pengujian dilakukan secara berurutan dimulai dari load cell bawah baru kemudian dilanjutkan dengan load cell atas secara bertahap.
91
Pada setiap tahapan pembebanan yang dilakukan besarnya gaya aksial dan displacement yang terjadi dicatat Pembebanan maksimum telah tercapai apabila displacement yang terjadi nilainya sudah jauh lebih besar daripada pada tahap sebelumnya atau tingkat pembebanan telah mencapai batas maksimum yang ditentukan. Sedangkan tell tale dengan displacement tranducers berfungsi sebagai alat pengukur displacement yang terjadi pada load cell, sementara strain gauge berfungsi untuk mengukur distribusi regangan dan gaya aksial sepanjang tiang. Selain peralatan tersebut diatas, pelaksanaan OC-Test dilengkapi juga dengan pipa untuk keperluan sonic logging dan grouting pada dasar tiang. Pelaksanaan OC-Test dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada kondisi sebelum dan setelah grouting. Pelaksanaan dan hasil Pengujian O-Cell dari Direktorat Jenderal Bina Marga dapat dilihat pada Gambar 2.38.
Gambar 2.38. Pelaksanaan dan hasil pengujian O-Cell (Sumber: Direktoral Jenderal Bina Marga)
92
Sementara untuk uji Sonic Logging dilakukan dengan memasukan probe uji ke dasar pipa yang telah diisi dengan air hingga penuh (air digunakan sebagai media penghantar gelombang ultra sonik). Pelaksanaan dan hasil uji Sonic Logging dari Direktorat Jenderal Bina Marga dapat dilihat pada Gambar 2.39.
Gambar 2.39. Pelaksanaan dan hasil uji Sonic Logging (Sumber: Direktoral Jenderal Bina Marga)