12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Kualitas Audit Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhawatiran akan merebaknya sekandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi akuntan publik. Kusharyanti (2003:25), kualitas audit adalah kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Adapun kemampuan untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan keuangan perusahaan tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk melaporkan temuan salah saji tersebut tergantung pada independensinya. Christiawan (2002) menyatakan bahwa “Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian) dan independensi. Sedangkan Alim et al. (2007) meneliti 7 atribut yang dapat dijadikan ukuran dalam mengukur kualitas audit, yaitu 1. Deteksi salah saji, 2. Kesesuaian dengan SPAP, 3. Kepatuhan terhadap SOP, 4. Risiko Audit, 5. Prinsip kehatihatian, 6. Proses pengendalian atas pekerjaan oleh supervisor, dan 7. Perhatian yang diberikan oleh manajer atau partner. Penelitian tersebut menghasilkan
13
kesimpulan, bahwa ketujuh atribut tersebut dapat digunakan dalam mengukur kualitas audit. Akuntan publik atau auditor independen dalam menjalankan tugasnya harus memegang prinsip-prinsip profesi. Menurut Simamora (2002:47) ada 8 prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik yaitu : 1. Tanggung jawab profesi. Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan professional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2. Kepentingan publik. Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. 3. Integritas. Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan intregitas setinggi mungkin. 4. Objektivitas. Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. 5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati, kompetensi
dan
ketekunan
serta
mempunyai
kewajiban
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional.
untuk
14
6. Kerahasiaan. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan. 7. Perilaku Profesional. Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 8. Standar Teknis. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam hal ini adalah standar auditing. Standar auditing terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standard pelaporan (SPAP,2001;150:1): 1. Standar Umum. a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
15
2. Standar Pekerjaan Lapangan. a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus dapat diperoleh untuk merencanakan audit dan menetukan sifat saat lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan, pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. 3. Standar Pelaporan. a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. d. Laporan auditor harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi. Sehingga berdasarkan uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan
16
pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh auditor. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidakselarasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik. Moizer (1986) menyatakan bahwa pengukuran kualitas proses audit terpusat pada kinerja yang dilakukan auditor dan kepatuhan pada standard yang telah digariskan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu. AAA Financial Accounting Commite (2000)
menyatakan bahwa
“Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian) dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. Lebih lanjut, persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor“. Dari pengertian tentang kualitas audit di atas maka dapat disimpulkan bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan.
17
Sehingga berdasarkan definisi di atas dapat terlihat bahwa auditor dituntut oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan dan untuk menjalankan kewajibannya ada 3 komponen yang harus dimiliki oleh auditor yaitu kompetensi (keahlian), independensi dan due professional care. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil, salah satunya tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan. Berbagai penelitian tentang kualitas audit pernah dilakukan, salah satunya oleh Deis dan Giroux (1992) mereka meneliti faktor penentu kualitas audit di sektor publik dengan menggunakan sampel KAP yang mengaudit institusi sektor publik. Studi ini menganalisis temuan-temuan Quality Control Review. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lama hubungan dengan klien (audit tenure), jumlah klien, telaah dari rekan auditor (peer review), ukuran dan kesehatan keuangan klien serta jam kerja audit secara signifikan berhubungan dengan kualitas audit. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas audit adalah pendidikan, struktur audit, kemampuan pengawasan (supervisor), profesionalisme dan beban kerja. Semakin lama audit tenure, kualitas audit akan semakin menurun. Sedangkan kualitas audit akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah klien, reputasi auditor, kemampuan teknis dan keahlian yang meningkat.
18
2.1.2. Kompetensi Auditor Lasmahadi (2002), kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seseorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan keterampilan dimana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non rutin. Kompetensi juga dapat diartikan sebagai suatu tingkah laku atau setiap tingkah laku yang mementingkan suatu kinerja yang baik dari suatu konteks pekerjaan. Kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasar perilaku yang menggambarkan motif dasar perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang unggul di tempat kerja. Kompetensi terdiri dari beberapa karakteristik yang berbeda, yang mendorong perilaku. Pencapaian kompetensi dimulai dengan pendidikan formal, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan sebagai akuntan publik yang pertama yaitu harus lulus Sarjana Ekonomi jurusan Akuntansi, mengikuti Pendidikan Profesi Akuntan (PPA), mengikuti Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP), dan memiliki gelar sertifikasi lisensi untuk praktik yaitu Certified Public Accountant (CPA). Selain
19
persyaratan tersebut auditor juga harus menjalani pelatihan teknis yang cukup, pelatihan ini harus secara memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Pendidikan formal dan pengalaman profesional saling melengkapi satu sama lain. Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan
penyusunan
laporannya,
auditor
wajib
menggunakan
kemahiran
profesionalitasnya dengan cermat dan seksama (due professional care). Menurut Christiawan (2002), kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan akuntansi. Sedangkan menurut Mayangsari (2003) dalam Alim et al. (2007), kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Ashton (1991) dalam Alim et al. (2007) menunjukkan bahwa dalam literatur psikologi, pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi. Pendapat ini didukung oleh Kusharyanti (2003) yang menemukan bahwa auditor yang lebih berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik. Sementara itu, Alim et al. (2007) mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengetahuan
20
mengenai spesifik tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis. Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif. Pendapat lain adalah dari Dreyfus dan Dreyfus (1986), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian seseorang yang berperan secara berkelanjutan yang mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari “ mengetahui sesuatu “ ke “ mengetahui bagaimana “.Seperti misalnya dari sekedar pengetahuan yang tergantung pada aturan tertentu kepada suatu pernyataan yang bersifat intuitif. Adapun Sri lastanti (2005:88) mengartikan keahlian atau kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Sementara itu dalam artikel yang sama, Shanteau (1987) mendefinisikan keahlian sebagai orang yang memiliki keterampilan dan kemampuan pada derajat yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.
2.1.2.1 Pengetahuan SPAP 2001 tentang standar umum, menjelaskan bahwa dalam melakukan audit, auditor harus memiliki keahlian dan struktur pengetahuan yang cukup. Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan
21
(pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebihs mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35). Harhinto (2004) menemukan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi keahlian audit yang pada gilirannya akan menentukan kualitas audit. Adapun secara umum ada 5 pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor (Kusharyanti, 2003), yaitu : (1) Pengetahuan pengauditan umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan mengenai isuisu akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri khusus, (5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Berdasarkan Murtanto dan Gudono (1999) terdapat 2 (dua) pandangan mengenai keahlian, yaitu 1. Pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan pada paradigma einhorn. Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak criteria objektif dalam mendefinisikan seorang ahli. 2. Pandangan kognitif yang menjelaskan keahlian dari sudut pandang pengetahuan.
Pengetahuan
diperoleh
melalui
pengalaman
langsung
(pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan balik terhadap kinerja) dan pengalaman tidak langsung (pendidikan).
22
2.1.2.2 Pengalaman Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhi antara lain adalah pengalaman. Tubbs (1992) dalam Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal : 1.Mendeteksi kesalahan, 2. Memahami kesalahan secara akurat, 3. Mencari penyebab kesalahan. Kusharyanti (2002 : 5) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. al, 1985) dalam Mayangsari (2003:4). Sedangkan Harhinto (2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman auditor berhubungan positif dengan kualitas audit.
2.1.3. Independensi Auditor Menurut penelitian yang dikumpulkan AAA Financial Accounting Standards Committee (2000) tentang independensi menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan akuntan publik dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan klien auditnya. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa pengaruh budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi akuntan publik akan mempengaruhi sikap independensinya.
23
Dengan demikian independensi akuntan publik sangat diperlukan karena publik sebagai penilai laporan keuangan melaksanakan audit bukan hanya untuk kepentingan klien yang membayar fee tetapi juga untuk pihak ketiga atau masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap laporan keuangan klien yang diaudit atau diperiksa seperti: pemegang saham, kreditur, investor, calon kreditur, calon investor, dan instansi pemerintah (terutama instansi pajak). Oleh karena itu, independensi auditor dalam melaksanakan keahliannya merupakan hal yang pokok, meskipun auditor tersebut dibayar oleh kliennya karena jasa yang telah diberikan. Warta ekonomi.com (2002) mengungkapkan adanya kekhawatiran bahwa independensi bisa terganggu ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, akuntan atau KAP terlalu lama mengaudit di suatu perusahaan yang sama. Kedua, independensi bisa terganggu karena pada saat akuntan mengaudit suatu perusahaan, ternyata pada waktu yang sama dia juga memberikan jasa lain. Tujuan dan kepentingan manajemen perusahaan dalam menyiapkan dan menyajikan laporan keuangan bertentangan dengan tujuan dan kepentingan pihakpihak tertentu yang menggunakan laporan keuangan. Sehubungan dengan posisi yang unik tersebut, maka akuntan publik dituntut dapat mempertahankan kepercayaan yang telah mereka terima dari klien dan pihak ketiga dengan cara mempertahankan independensinya. Dalam memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan klien yang diauditnya, akuntan publik harus bersikap independen terhadap tujuan dan kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun diri mereka sendiri.
24
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab dari manajemen untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dikelolanya. Dalam hal ini manajemen inigin supaya kinerjanya terlihat selalu baik dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan tetapi disisi lain, pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan dengan sejujurnya keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas terlihat adanya suatu kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan keuangan. Akuntan publik sebagai salah satu profesi yang diandalkan untuk menilai kewajaran laporan keuangan. Oleh karena itu profesionalitas akuntan publik dituntut untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta dapat mengatasi pergerakan dalam dunia usaha yang kian berkembang dan mengalami berbagai macam peristiwa. Independensi akuntan publik sama pentingnya dengan keahlian dalam praktik akuntansi dan prosedur audit yang harus dimiliki oleh setiap akuntan publik. Akuntan publik harus independen dari setiap kewajiban atau independen dari pemilikan kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Di samping akuntan publik harus benar-benar independen, ia juga harus menimbulkan persepsi di kalangan masyarakat bahwa ia benar-benar independen. Menurut Mulyadi (1998) faktor yang dapat mempengaruhi independensi akuntan publik beberapa diantaranya adalah hubungan keuangan dengan klien,
25
kedudukan dalam perusahaan, keterlibatan dalam usaha yang tidak sesuai dengan klien dan tidak konsisten, pelaksanaan jasa lain untuk klien audit, hubungan keluarga dan pribadi, imbalan atas jasa profesional, penerimaan barang atau jasa dari klien, pemberian barang atau jasa kepada klien. Penelitian sebelumnya Shockley (1981) meneliti empat faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik yang meliputi: persaingan antar akuntan publik, pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien, ukuran kantor akuntan publik, hubungan yang lama antara kantor akuntan publik dengan klien. Sedangkan dalam penelitian ini faktor yang akan diteliti adalah audit fee, jasa selain audit yang diberikan oleh kantor akuntan publik, profil dari kantor akuntan publik, dan hubungan audit yang lama antara kantor akuntan publik dengan klien. Pemilihan keempat faktor tersebut disebabkan karena dari semua faktor-faktor yang dapat mempengaruhi independensi akuntan publik, keempat faktor tersebut paling dominan dan dalam kenyataannya sering menjadi masalah bagi kantor akuntan publik, klien maupun pihak ketiga pengguna laporan keuangan klien. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2002). Independensi adalah sikap auditor tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu. Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja kepada pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai
26
laporan keuangan seperti kreditor, pemilik maupun masyarakat. Di dalam standar umum kedua, disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas profesional, auditor harus selalu mempertahankan sikap mental independen dimana tidak mudah dipengaruh oleh pihak lain dan bebas dari suatu kepentingan dengan klien. Indah, (2010) mengkategorikan independensi kedalam dua aspek, yaitu independensi dalam kenyataan (independence in fact) dan independensi dalam penampilan (independence in appearance). Harhinto (2004), mengkategorikan independensi auditor mencakup dua aspek, yaitu independensi dalam sikap mental berarti adanya kejujuran dalam diri auditor untuk mempertimbangkan yang objektif, tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya; independensi penampilan berarti adanya kesan masyarakat bahwa auditor independen bertidak bebas atau independen, sehingga auditor harus menghindari keadaan atau faktor yang menyebabkan masyarakat meragukan kebebasannya. Dengan demikian auditor tidak dibenarkan untuk memihak dan bebas dari suatu kepentingan. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk sikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas hasil pengujian laporan keuangan. Menurut Standar Profesi Akuntan Publik 2001 seksi 220 PSA No.04 Alinea 2, independensi itu berarti tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun, sebab bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis
27
yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang justru paling penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya. Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Penelitian mengenai independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu dalam negeri maupun luar negeri. Lavin (1976) meneliti 3 faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, yaitu : (1) Ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada klien, dan (3) Lamanya hubungan antara akuntan publik dengan klien. Shockley (1981) meneliti 4 faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu 1. Persaingan antar akuntan publik, 2. Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien, 3. Pengalaman kerja, dan 4. Lamanya hubungan audit. 1. Lama Hubungan Dengan Klien (Audit Tenure) Di Indonesia, masalah audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik. Keputusan menteri tersebut membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi. Penugasan audit yang terlalu lama kemungkinan dapat mendorong
28
akuntan publik kehilangan independensinya karena akuntan publik tersebut merasa puas, kurang inovasi, dan kurang ketat dalam melaksanakan prosedur audit. Sebaliknya penugasan audit yang lama kemungkinan dapat pula meningkatkan independensi karena akuntan publik sudah familiar, pekerjaan dapat dilaksanakan dengan efisien dan lebih tahan terhadap tekanan klien ( Supriyono, 1988:6).
2. Tekanan dari klien Dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yakni tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen perusahaan melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan klien. Pada situasi ini, auditor mengalami dilema. Pada satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien maka ia melanggar standar profesi. Tetapi jika auditor tidak mengikuti klien maka klien dapat menghentikan penugasan atau mengganti KAP auditornya. Selain itu, persaingan antar kantor akuntan (KAP) semakin besar. KAP semakin bertambah banyak, sedangkan pertumbuhan perusahaan tidak sebanding dengan pertumbuhan KAP. Terlebih lagi banyak perusahaan yang melakukan merjer atau akuisisi dan akibat krisis ekonomi di Indonesia banyak perusahan yang mengalami kebangkrutan.
29
Sehingga oleh karena itu KAP akan lebih sulit untuk mendapatkan klien baru sehingga KAP enggan melepas klien yang sudah ada. Kondisi keuangan klien berpengaruh juga terhadap kemampuan auditor untuk mengatasi tekanan klien ( Knapp,1985) dalam (Harhinto,2004:44). Klien yang mempunyai kondisi keuangan yang kuat dapat memberikan fee audit yang cukup besar dan juga dapat memberikan fasilitas yang baik bagi auditor. Selain itu probabilitas terjadinya kebangkrutan klien yang mempunyai kondisi keuangan baik relatif kecil. Pada situasi ini auditor menjadi puas diri sehingga kurang teliti dalam melakukan audit. Berdasarkan uraian di atas, maka auditor memiliki posisi yang strategis baik di mata manajemen maupun dimata pemakai laporan keuangan. Selain itu pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil pekerjaan auditor dalam mengaudit laporan keuangan. Untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada kode etik, standar profesi dan standar akuntansi
keuangan
yang
berlaku
di
Indonesia.
Setiap
auditor
harus
mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan tugasnya dengan bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dia dapat bertindak adil, tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
3. Telaah dari rekan auditor (Peer Review)
30
Tuntutan pada profesi akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas menuntut tranparansi informasi mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan Publik. Kejelasan informasi tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang sesuai dengan standar profesi merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap klien dan masyarakat luas akan jasa yang diberikan. Oleh karena itu pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik perlu dimonitor dan di “audit“ guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Peer review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor Akuntan Publik yang direview dan auditor yang terlibat dalam tim peer review. Manfaat yang diperoleh dari peer review antara lain mengurangi resiko litigation, memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan.
4. Jasa Non Audit Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti, 2002:29). Adanya dua jenis jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi auditor terhadap kliennya dipertanyakan yang nantinya akan mempengaruhi
31
kualitas audit. Pemberian jasa selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan pada auditor agar bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen, yaitu wajar tanpa pengecualian (Barkes dan Simnet (1994), Knapp (1985) dalam Harhinto (2004:45)). Pemberian jasa selain jasa audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian laporan keungan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor tersebut. Kemudian auditor tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya. Maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas audit dari auditor tersebut. Sedangkan hasil penelitian Kusharyanti (2003), independensi ditentukan oleh tiga hal, yaitu (1) Jangka waktu auditor memberikan jasa kepada klien (auditor tenure), (2) Penetapan harga (pricing), dan (3) Pemberian jasa non audit. Selain itu, Shockley (1981) dalam Alim et al. (2007) juga mengemukakan hasil penelitian yaitu terdapat empat faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, yaitu (1) Pemberian jasa konsultasi kepada klien, (2) Persaingan antar KAP, (3) Pengalaman kerja, dan (4) Lama hubungan audit dengan klien. Hasil penelitian mengenai independensi yang telah dilakukan oleh Alim et al. (2007) mengemukakan bahwa tidak mudah menjaga tingkat independensi agar tetap sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kerjasama dengan klien yang terlalu lama bisa menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki oleh auditor. Belum lagi berbagai fasilitas yang disediakan klien selama penugasan audit untuk
32
auditor. Bukan tidak mungkin, auditor menjadi “mudah dikendalikan” klien karena auditor berada dalam posisi yang dilematis.
2.1.4. Pengalaman Kerja Auditor Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani. Libby and Frederick (1990) menemukan bahwa semakin banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit. Dalam hal pengalaman, penelitian penelitian dibidang psikologi yang telah dikutip oleh Jeffrey (1996) memperlihatkan bahwa seseorang yang lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang substantif memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwaperistiwa. Penerapan dan pengembangan penelitian masalah pengalaman ini dalam bidang auditing juga mengungkapkan hasil yang serupa. Butt (1988) mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman akan membuat judgment yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman, Marchant G.A. (1989) menemukan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman mampu mengidentifikasi secara lebih baik mengenai kesalahan-kesalahan dalam telaah analitik. Akuntan pemeriksa yang berpengalaman juga memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih tinggi terhadap informasi yang relevan (Davis 1996). Tubbs (1992) menemukan
33
dalam salah satu penelitiannya bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman menjadi sadar mengenai kekeliruan-kekeliruan yang tidak lazim. Walaupun demikian pengaruh pengalaman yang banyak dalam bidang audit dapat dikacaukan oleh rendahnya kesadaran etis para auditor yang memegang posisi yang tinggi dalam organisasi KAP (Ponemon 1990). Pengalaman kerja dapat diukur melalui jumlah rekan, jumlah auditor, jumlah klien, dan jumlah pendapatan. Menurut Halim (2008, h.16) hirarki staf organisasi Kantor Akuntan Publik pada umumnya adalah sebagai berikut: 1. Partner, merupakan top legal client relationship, yang bertugas me-review (menelaah) pekerjaan audit, menandatangani laporan audit, menyetujui masalah fee dan penagihannya, dan penanggungjawab atas segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan audit. 2. Manajer, merupakan staf yang banyak berhubungan dengan klien, mengawasi langsung pelaksanaan tugas-tugas audit, me-review lebih rinci terhadap pekerjaan audit, dan melakukan penagihan atas fee audit. 3. Akuntan senior, merupakan staf yang bertanggungjawab langsung terhadap perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan audit, dan me-review pekerjaan para akuntan yunior yang dibawahinya. 4. Akuntan yunior, merupakan staf pelaksana langsung dan bertanggungjawab atas pekerjaan lapangan. Para yunior ini penugasannya dapat berupa bagianbagian dari pekerjaan audit, dan bahkan bila memungkinkan memberikan pendapat atas bagian yang diperiksanya.
34
Riyatno (2007) menggunakan indikator Pengalaman kerja sebagai proksi kualitas dengan membedakan KAP menjadi KAP besar (Big Four Accounting Firms) dan KAP kecil (Non Big Four Accounting Firms). Indikator Pengalaman kerja tersebut dilakukan berdasarkan jumlah klien yang dilayani oleh suatu KAP, jumlah rekan/anggota yang bergabung, serta total pendapatan yang diperoleh.” Sedangkan menurut Wibowo dkk. dalam penelitian Hamid (2013) yang berjudul “Pengaruh Tenur dan Pengalaman kerja terhadap Kualitas Audit” ada empat penentu Pengalaman kerja, yaitu: 1. Besarnya jumlah dan ragam klien yang ditangani KAP, 2. Banyaknya ragam jasa yang ditawarkan, 3. Luasnya cakupan geografis, termasuk afiliasi internasional, dan 4. Banyaknya jumlah staf audit dalam suatu KAP. DeAngelo (1981) menunjukkan KAP besar (big 4 accounting firms) akan melakukan audit dengan lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (non big 4 accounting firms). Francis & Yu (2009) memberikan bukti empiris yang mendukung hubungan positif antara Pengalaman kerja dan kualitas audit. Francis & Yu (2009) meneliti apakah Pengalaman kerja khususnya KAP Big 4, yang diproksikan dengan pendapatan audit dan jumlah klien, akan mempengaruhi kualitas audit. Kualitas audit dilihat dari kualitas akrual klien yang disajikan dalam laporan keuangan dan laporan audit going concern yang diterbitkan oleh KAP. Francis & Yu (2009) berargumen bahwa hanya KAP Big 4 yang berukuran besar yang akan menghasilkan kualitas audit yang tinggi dengan menunjukkan
35
kemampuannya dalam membatasi perilaku manajemen laba dan menerbitkan laporan audit going concern. Francis & Yu (2009) membuktikan bahwa KAP Big 4 dengan ukuran besar mampu menghasilkan kualitas audit yang lebih baik dibandingkan KAP Big 4 yang berukuran kecil. Sejalan dengan Francis & Yu (2009), penelitian Choi et al. (2010) juga membuktikan bahwa ukuran auditor merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas audit. Herusetya (2009) menemukan bahwa reputasi auditor (yang diukur berdasarkan Pengalaman kerja) berhubungan positif dengan kualitas pelaporan keuangan, termasuk kualitas laba. Kualitas pelaporan keuangan disini dapat dianggap sebagai kualitas audit karena kemampuan menghasilkan pelaporan keuangan yang berkualitas bertujuan untuk melindungi reputasi nama KAP. Oleh karenanya ketika reputasi auditor baik seperti Big 4, auditor tersebut cenderung menghasilkan kualitas audit yang baik pula agar reputasi mereka tetap baik. Selain itu, Novita (2009) terinspirasi dari Li et al. (2008) melakukan penelitian mengenai hubungan antara Pengalaman kerja dan kualitas audit dengan menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005–2007. Penelitian ini menggunakan indikator fee auditor dan reputasi KAP sebagai variabel Pengalaman kerja. Sedangkan kualitas audit diukur dengan proksi opini auditor. Hasilnya kedua faktor tersebut tidak mempengaruhi opini audit. Pardede (2010) juga menemukan bahwa Pengalaman kerja tidak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas audit. Penelitian yang dilakukan Francis & Yu (2009), menemukan semakin besar Pengalaman kerja, kualitas audit yang dihasilkan akan semakin tinggi.
36
Penelitian Choi et al. (2010) juga menemukan hasil yang konsisten. Penelitian tersebut menggunakan ukuran akrual diskresioner untuk kualitas audit dan untuk Pengalaman kerja menggunakan jumlah klien serta pendapatan audit.
2.1.5. Etika Auditor Secara umum etika didefinisikan sebagai nilai-nilai tingkah laku atau aturan aturan tingkah laku yang diterima dan digunakan oleh suatu golongan tertentu atau individu (Sukamto , 1991 : 1). Menurut Suseno Magnis (1989 : 14) dan Sony Keraf (1991 : 20) bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus hidup sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Dimensi etika yang sering digunakan dalam penelitian adalah 1) kepribadian yang terdiri dari locus of control external dan locus of control internal; 2) kesadaran etis dan 3) kepedulian pada etika profesi, yaitu kepedulian pada Kode Etik IAI yang merupakan panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktek sebagai Akuntan Publik, bekerja dilingkungan usaha pada instansi pemerintah maupun dilingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya. Untuk tujuan itu terdapat empat kebutuhan dasar
37
yang harus dipenuhi yaitu kredibilitas, profesionalisme, kualitas jasa dan kepercayaan. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik IAI adalah sebagai berikut : 1). Tanggung jawab professional 2). Kepentingan publik 3). Integritas 4). Objektifitas 5). Kompetensi dan kehati-hatian profesional 6). Kerahasiaan 7). Perilaku professional 8). Standar teknis, harus melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang telah ditetapkan. Etika dapat didefinisikan secara luas sebagai seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai (Alvin A. Arens,at all, 2008). Sedangkan Maryani dan Ludigdo (2001) dalam Alim et al. (2007) mendefinisikan etika sebagai seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Menurut Alvin A. Arens,at all (2008: 68), alasan adanya harapan yang begitu tinggi pada penerapan etika bagi profesi akuntan publik yaitu dikarenakan merupakan hal yang penting bahwa klien dan pihak-pihak eksternal pengguna laporan keuangan untuk memiliki kepercayaan dalam kualitas audit dan jasa lainnya yang diberikan oleh akuntan publik.
38
Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan diatur oleh suatu kode etik akuntan. Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik) berisi prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan publik (KAP) atau jaringan KAP, baik yang merupakan anggota Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) maupun yang bukan merupakan anggota IAPI, yang memberikan jasa professional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain assurance. Dalam penelitiannya, Alim et al. (2007) mengemukakan empat hal yang digunakan sebagai indikator etika auditor yaitu (1) imbalan yang diterima, (2) pengaruh organisasional, (3) lingkungan keluarga, dan (4) emotional quotient. Teori egoisme termasuk dalam etika deontologi yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu sendiri. Inti dari pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Karena itu, satu-satunya tujuan dan juga kewajiban moral setiap pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan memajukan diri sendiri. Teori egoisme sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan egoisme psikologis. Egoisme etis didefinisikan sebagai teori etika yang menyatakan bahwa satu-satunya tolak ukur mengenai baik buruknya suatu tindakan seseorang adalah kewajiban untuk mengusahakan kebahagiaan dan kepentingannya diatas kebahagiaan dan kepentingan orang lain. Sedangkan egoisme psikologis adalah pandangan yang mengatakan bahwa semua orang harus selalu dimotivasi oleh
39
tindakan, demi kepentingan dirinya belaka (Sonny Keraf dan Robert Haryono, 1995). Teori eogisme atau egotisme yang diasaskan oleh Friedrich Wilhelm Nietche mengungkapkan bahwa setiap orang mestilah bersifat keakuan, yaitu melakukan sesuatu yang bermatlamat memberikan faedah kepada diri sendiri. Dalam teori ini, setiap perbuatan yang memberikan keuntungan akan dianggap sebagai perbuatan yang baik dan sebaliknya, perbuatan yang merugikan diri sendiri dianggap sebagai perbuatan yang buruk. Dalam kenyataannya, auditor sebagai pihak ketiga yang independen dan bertugas menjadi penengah antara pihak agen dan principal, memiliki ego dalam dirinya sendiri. Sehingga, walaupun memiliki kompetensi dan independensi yang tinggi, terkadang auditor lupa akan etika profesi (Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia) yang harus ia jaga dikarenakan adanya ego tersebut. Bahkan, tidak jarang, akibat tingginya tingkat kompetensi dan independensi yang dimiliki auditor tersebutlah yang menyebabkan semakin tinggi pula rasa egois yang ada di dalam dirinya sehingga dalam menjalankan tugasnya, auditor tidak lagi bekerja sesuai etika profesi yang ada dan alhasil akan menghasilkan kualitas audit yang rendah.
2.2. Review Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian yang dapat peneliti kumpulkan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada table berikut :
40
Tabel : 2.1 Review Penelitian Terdahulu No.
Peneliti & Tahun
Judul
Variabel
Hasil
1
Teguh Harhinto (2004)
Pengaruh Keahlian dan Independensi Terhadap Kualitas Audit Studi Empiris Pada KAP di Jawa Timur
Keahlian, independensi, kualitas audit
Keahlian dan independensi Berpengaruh signifikan Terhadap kualitas audit.
2
Riska Utami & Pengaruh Ukuran Pengalaman Masa Betri Sirajuddin Kantor Akuntan kerja, Perikatan, Publik (KAP), (2005) Tekanan Waktu. Masa Perikatan dan Kualitas Audit Tekanan Waktu Terhadap Kualitas Audit (Studi Kasus KAP di Palembang)
3
Kusharyanti. (2003)
Faktor factor yang Pengalaman mempengaruhi kerja, kualitas audit Kompetensi, Pengalaman, Kualitas Audit
4
Elfarini, Eunike Christina. (2007)
Pengaruh Kompetensi dan Independensi terhadap Kualitas Audit (Studi
Kompetensi, Independensi, Kualitas Audit
Ada pengaruh signifikan antara Pengalaman kerja, masa perikatan, dan tekanan waktu terhadap kualitas audit Secara parsial disimpulkan bahwa hanya variabel masa perikatan yang berpengaruh signifikan terhadap audit. kualitas Sedangkan, variabel Pengalaman kerja dan tekanan waktu tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas audit. Pengalaman kerja, Kompetensi, Pengalaman berpengaruh terhadap kualitas audit. Kompetensi,Indepe ndensi berpengaruh terhadap kualitas audit secara
41
Empiris pada Kantor Akuntan Publik Di Jawa Tengah)
parsial simultan
dan
5
Adi Purnomo (2007)
Persepsi Auditor Keahlian, Tentang Pengaruh Independensi, FaktorFaktor Kualitas Audit Keahlian Dan Independensi Terhadap Kualitas Audit
pengalaman dan pengetahuan berpengaruh terhadap kualitas audit. Sedangkan faktorfaktor independensi menurut persepsi auditor hanya tekanan klien yang berpengaruh terhadap kualitas audit.
6
Bambang Hartadi (2009)
Pengaruh Fee Audit, Rotasi KAP, Dan Reputasi Auditor Terhadap Kualitas Audit Di Bursa Efek Indonesia
Fee Audit, Rotasi KAP Dan Reputasi Auditor, Kualitas Audit
Fee audit berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, sementara rotasi dan reputasi audit tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.
7
Marsellia, 2009
dkk.
Pengaruh Kompetensi dan Independensi Terhadap Kualitas Audit Dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderator (Studi Empiris Pada Auditor Di KAP Big Four Jakarta)
Kualitas Audit, Kompetensi, Independensi, Etika Auditor
kompetensi, independensi, interaksi antara kompetensi dan etika auditor, serta interaksi antara independensi dan etika auditor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas audit.
8
Icuk Rangga, Bawono Elisha dan Muliani Singgih (2010)
Faktor-faktor Dalam Diri Auditor Dan Kualitas Audit: Studi Pada KAP BIG FOUR Di Indonesia
independensi, pengalaman, due professional care, akuntabilitas, kualitas audit
independensi,penga laman, due professional care dan akuntabilitas mempengaruhi kualitas audit secara
42
berkelanjutan.
9
Bondan Dwi Pengaruh client Utomo (2010) contracting environment, reputasi klien, dan Pengalaman kerja terhadap pergantian kap pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
Client Contracting Environment, Reputasi Klien, Pengalaman kerja terhadap Pergantian KAP
10
Karina Aningdita Pratiwi (2013)
Pengaruh Audit Tenure, Reputasi KAP, Disclosure, Ukuran Perusahaan Klien dan Opini Audit Sebelumnya Terhadap Opini Audit Going Concern (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di BEI Tahun 2007- 2011
opini audit going concern, audit tenure, reputasi KAP, disclosure, ukuran perusahaan klien, dan opini audit sebelumnya
11
Diana Mostafa Mohamed and Magda Hussien Habib (2012)
Auditor independence, audit quality and the mandatory auditor rotation in Egypt
Auditor independence, Audit quality, Audit rotation
Perubahan manajemen dan ukuran KAP adalah penentu signifikan pergantian KAP. Namun, rapid growth, opini audit, financial distress, dan ukuran perusahaan bukan faktor penentu pergantian auditor (KAP) Disclosure dan opini audit sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern. Disclosure memiliki nilai signifikan berada, dan opini audit sebelumnya memiliki nilai signifikan. Audit tenure, reputasi KAP, dan ukuran perusahaan klien tidak berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern. First,the poor structure of corporations of being closely held. Second,the voluntary switching of auditors are for
43
12
.
Robert Houmes, Audit quality and Maggie Foley overvalued equity and Richard J. Cebula (2013)
Auditing, Equity capital, Price earning ratio, Audit quality, Highly valued equity, Discretionary accruals
purposes improving the quality Third, auditor rotation was suggested by the practitioners in order to overcome the problems of lack of independence and that the mandatory firm rotation is suggested instead of the mandatory partner rotation. of tests show positive and statistically significant coefficients for each of the highlyvalued equity-audit quality interaction terms, suggesting that when a firm is highly valued the accruals’ decreasing effect of high quality auditors is reduced.