9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kajian Teoritis
2.1.1 Definisi Perilaku Menurut Notoatmodjo (1997) bahwa “Perilaku adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari”. (Maulana, 2009). Menurut Blum (1974) bahwa “Perilaku adalah factor terbesar kedua setelah factor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat” (Maulana, 2009). Menurut lewit seperti dikutip oleh Notoatmodjo (1993), perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku seseorang dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan didalam diri seseorang (Maulana, 2009). Menurut Skinner (1938), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perngertian ini dikenal dengan teori SO-R (Stimulus – Organisme - Respons) (Maulana, 2009). Menurut soekanto (1990), pola perilaku merupakan cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut (Maulana, 2009). Perilaku manusia dalam memperhatikan lingkungan sekitar membawa dampak yang baik. Oleh karena itu perilaku sangat berpengaruh atau memiliki adil yang kuat untuk hasil kuantitas dan kualitas lingkungan. Perilaku harus
10
disadari dengan kesadaran dan kemauan, tanpa kedua hal itu tentu saja perilaku yang produktif tidak akan terwujud. 1. Pembagian Perilaku Dilihat dari Bentuk Respons terhadap Stimulus a) Perilaku Tertutup (convert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup (convert). Respons ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, atau kesadaran, sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut (misalnya, mengetahui bahaya rokok, tetapi ia masih merokok, mahasiswa mengetahui pentingnya belajar untuk keberhasilan kuliahnya). b) Perilaku Terbuka (over behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut over behavior, tindakan nyata atau praktik (practice) misalnya, seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya. Sementara itu, Lawrence Green (1980) mengemukkan teori bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : a.
Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
11
b. Faktor pemungkin (enabling factors) Faktor yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obatobatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya. c. Faktor pendorong atau penguat (renforcing factors) Faktor yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Hartono, 2010). 2. Perilaku Kesehatan Berdasarkan batasan perilaku dari skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme terhadap) stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu : a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintanance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk menyembuhkan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu: 1) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. 2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan disini bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu
12
orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal. 3) Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri. c. Perilaku kesehatan lingkungan Bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun social budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. 3. Domain Perilaku Factor – factor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu factor internal dan factor eksternal. Determinan atau factor internal merupakan karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan (given) seperti ras, sifat fisik, sifat kepribadian (pemalu, pemarah dan penakut), bakat bawaan, tingkat kecerdasan dan jenis kelamin. Determinan atau factor
13
eksternal merupakan lingkungan fisik, social, budaya, ekonomi dan politik. Factor lingkungan sering merupakan factor yang dominan terhadap perilaku. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku manusia sangat kompleks dan unik. Perilaku merupakan totalitas penghayatan atau aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama atau resultan antara factor internal dan eksternal (Maulana, 2009). Benyamin Bloom (1908) seperti dikutip Notoatmodjo (2003), membagi perilaku manusia dalam tiga domain (tanah / kawasan), yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Sementara itu, menurut Ki Hajar Dewantara, perilaku manusia terdiri atas Cipta (kognisi), Rasa (emosi), dan Karsa (konasi). Urutan pembentukan perilaku baru khususnya pada orang dewasa diawali oleh dominan kognitif, individu terlebih dahulu mengetahui stimulus untuk menimbulkan pengetahuan, selanjutnya timbul dominan afektif dalam bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya (Maulana, 2009). Pada akhirnya, setelah objek diketahui dan disadari sepenuhnya, timbul respons berupa tindakan atau keterampilan (domain psikomotor). Pada kenyataannya, perilaku baru terbentuk tidak selalu mengikuti ukuran tersebut. Tindakan individu tidak harus disadari pengetahuan dan sikap (misalnya petugas kesehatan yan merokok, mungkin mengetahui dan menyadari bahaya rokok, tetapi kenyataannya masih tetap merokok). Selanjutnya, akan diuraikan secara ringkas ketiga domain tersebut berdasarkan teori Bloom (Maulana, 2009). 2.1.1.1 Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan objek tertentu. Pengetahuan adalah pedoman dalam
14
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa perilaku yang disadari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan penelitian (Roger : 1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses sebagai berikut : a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. b. Interest, yakni orang mulai teraik kepada stimulus. c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). d. Trial, yakni orang telah mulai mencoba perilaku baru. e. Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Adapun tingkat pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 1) Tahu, berarti mengingat suatu materi yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, dan menyatakan. 2) Memahami (Comprehension), berarti kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
15
tersebut secara benar. Orang yang paham harus dapat menjelaskan, menyebutkan, contoh, menyimpulkan, dan meramalkan. 3) Aplikasi / Penerapan (Application), berarti kemampunan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum – hukum, rumus, metode dan prinsip dalam konteks atau situasi nyata. 4) Analisis (Analisys) adalah kemampuan menjabarkan materi atau objek kedalam bagian – bagian yang lebih kecil, tetapi masih dalam satu struktur organisasi dan ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan. 5) Sintesis (Synthesis) merupakan kemampuan meletakkan atau menghubungkan bagian–bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan atau kemampuan menyusun formulasi baru dari informasi yang sudah ada. Sebagai contoh, dapat menyusun, merencanakan, dapat meringkas, dan dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada. 6) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan criteria sendiri atau kriteria yana telah ada (Maulana, 2009). Adapun yang mempengaruhi pengetahuan adalah : a) Usia yakni semakin cukup usia, tingkat kematangan seseorang akan lebih tinggi pada saat berpikir dan bekerja.
16
b) Pendidikan yakni suatu proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, nonkeluarga dan masyarakat. c) Persepsi yakni mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. d) Motivasi yakni suatu dorongan keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan halhal yang kurang bermanfaat. 2.1.1.2 Sikap (attitude) Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola – pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut (Koentjaraningrat, 1983). Menurut Sarwono (1997), sikap merupakan kecenderungan merespons (secara positif atau negatif) orang, situasi atau objek tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif (senang, benci dan sedih), kognitif (pengetahuan tentang suatu objek), konatif (kecenderungan bertindak) (Maulana, 2009). Sikap tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus social. Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003), sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, yang menjadi predisposisi tindakan suatu perilaku, bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan
17
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebgai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007 (b). Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu seringkali memperlihatkan tindakan bertentangan dengan sikapnya (Maulana, 2009). Akan tetapi, menurut Koentjaraningrat (1983) sikap dapat menimbulkan pola – pola cara berpikir tertentu dalam masyarakat dan sebaiknya, baik dalam kehidupan sehari – hari maupun dalam hal membuat keputusan yang penting (Maulana, 2009). Tindakan sikap terdiri atas empat angkatan, mulai dari terendah sampai tertinggi, yakni menerima, merespons, menghargai, dan bertanggung jawab. 1) Menerima (Receiving), berarti mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan / objek (misalnya, sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah – ceramah gizi). 2) Merespons
(Responding),
ialah
memberikan
jawaban
jika
ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan merupakan indikasi sikap. Terlepas dari benar atau salah, hal ini berarti individu menerima ide tersebut. 3) Menghargai (Valuing), ialah pada tingkat ini, individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. 4) Bertanggung jawab (Responsible), merupakan sikap yang paling tinggi, dengan segala risiko bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah dipilih, meskipun mendapat tantangan dari keluarga. Pengukuran sikap dapat
18
dilakukan
secara
langsung
(langsung
ditanya)
dan
tidak
langsung
(Notoatmodjo, 2010 (a). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap objek sikap antara lain: 1. Pengalaman pribadi yaitu untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, yaitu pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. 3. Pengaruh kebudayaan yaitu tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. 4. Media massa yaitu alam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya. 5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama yaitu konsep moral dan ajaran dari lembaga pembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem
19
kepercayaan, tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap. 6. Faktor emosional yaitu kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. 2.1.1.3 Tindakan (practice) Suatu sikap tidak secara otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata, diperlukan factor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas dan dukungan (Support). Adapun tingkatan praktik atau tindakan yakni : 1) Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama (misalnya, seorang ibu memilih makanan bergizi bagi anak balitanya). 2) Respon terpimpin (Guided Response), hal ini berarti dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. 3) Mekanisme (Mecanism), berarti dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau telah merupakan kebiasaan. 4) Adopsi (Adoption) adalah suatu praktik atau tindakan yang telah berkembang dengan baik. Hal ini berarti tindakan tersebut telah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (misalnya, ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi berdasarkan bahan – bahan yang murah dan sederhana) (Notoatmodjo, 2010 (b).
20
2.1.2 Pengertian Klinik Sanitasi Menurut Ehlers & Steei (1958), sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap factor lingkungan dapat merupakan mata rantai penularan penyakit. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan terhadap berbagai factor lingkungan yang memengaruhi derajat kesehatan manusia (Sagala, 2005). Pasal 22 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan antara lain bahwa : (1) Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat. (2) Kesehatan lingkungan dilaksanankan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya. (3) Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit dan penyehatan atau pengamanan lainnya. (4) Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan persyaratan (Depke RI, 2002 (a). Sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, social, dan ekonomi yang memengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Sagala, 2005). Menurut WHO, Sanitasi lingkungan merupakan usaha pengendalian semua faktor lingkungan fisik yang merugikan perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia yang meliputi pengendaliannya yaitu : (1) Pembuangan tinja,
21
limbah cair dan sampah. (2) Penyediaan air. (3) Perumahan. (4) Makanan termasuk susu. (5) Kebiasaan hidup sehat dan bersih. (6) Vektor (Sunarto, 2010). Menurut Depkes RI (2002), klinik sanitasi lingkungan merupakan suatu upaya/kegiatan yang mengintegrasikan pelayanan kesehatan antara promotif, preventif dan kuratif yang difokuskan pada penduduk yang menderita pnyakit berbasis lingkungan dan masalah kesehatan lingkungan pemukiman yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas bersama masyarakat
yang dapat
dilaksanakan secara aktif dan pasif di dalam dan di luar puskesmas. Konsep klinik sanitasi pertama kali diperkenalkan da dikembangkan oleh Puskesmas Wanasaba Kapubaten Lombok/Kota Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat pada November 1995 dan selanjutnya diikuti oleh puskesmas yang ada di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Saat ini klinik sanitasi sudah dikembangkan lebih dari 1000 puskesmas di seluruh propinsi di Indonesia (Depkes RI, 2002 (b). Integrasi upaya kesehatan lingkungan dan upaya pemberantasan penyakit berbasis lingkungan semakin relevan dengan ditetapkannya paradigma sehat yang lebih menekankan pada upaya promotif-preventif dibanding upaya kuratifrehabilitatif. Melalui klinik sanitasi, ketiga upaya pelayanan kesehatan yaitu promotif, preventif dan kuratif dilakukan secara terintergrasi dalam pelayanan kesehatan program pemberantasan penyakit berbasis lingkungan didalam maupun diluar gedung (Depkes, 2002 (b). Klinik sanitasi merupakan suatu wahana masyarakat dalam mengatasi masalah
kesehatan
lingkungan
untuk
pemberantasan
penyakit
dengan
22
bimbingan, penyuluhan, dan bantuan teknis dari petugas puskesmas. Klinik sanitasi bukan sebagai unit pelayanan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian integral dari kegiatan Puskesmas, bekerjasama dengan program yang lain dari sector terkait di wilayah kerja puskesmas (Depkes RI, 2002 (b). Dengan klinik sanitasi diharapkan dapat memperkuat peran dan meningkatkan efektifitas puskesmas dalam melaksanakan pelayanan sanitasi dasar guna meningkatkan derajat esehatan masyarakat dan semua masalah yang ada kaitannya dengan kesehatan lingkungan khususnya pengendalian penyakit berbasis lingkungan (Depkes RI, 2002 (c). Dalam pelaksanaan program klinik sanitasi menjaring pasien/klien di puskesmas dengan keluhan penyakit berbasis lingkungan dan lingkungan yang tidak sehat sebagai media penularan dan penyebab penyakit yang dialami oleh masyarakat selanjutnya dilaksanakan konseling dan kunjungan lapangan atau kunjungan rumah untuk mencari jalan keluar akibat masalah kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan yang muncul di masyarakat (Depkes RI, 2002 (c). Sesuai dengan Visi Indonesia Sehat 2010 tujuan jangka panjang yang harus di capai oleh setiap kabupaten diharapkan penduduk hidup dalam lingkungan yang seha, memiliki perilaku hidup sehat, bebas penularan penyakit serta akses kepada pelayanan kesehatan yang adil, merata dan berkualitas (Suriani, 2009). Dengan demikian salah satu tujuan Pemerintah kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan adalah membebaskan penduduk dari penularan atau transmisi penyakit denga cara menghilangkan sumber penyakit
23
dengan menciptakan lingkungan ptimum, melakukan penyehatan lingkungan, dan meningkatkan perilaku hidup sehat penduduk serta memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit (Suriani, 2009). Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula, ruang lingkup kesehatan lingkungan antara lain : perumahan, pembuangan kotoran manusia, penyediaan air bersih, pembungan sampah, pembuangan air kotor dan pencemaran ruang lingkup tersebut harus dijaga untuk mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar menjadi media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya (Notoatmodjo, 2007 (b). Ada beberapa pengertian yang harus di pahami dalam pelaksanaan program klinik sanitasi selain pengertian klinik sanitasi itu sendiri (Depkes RI, 2002) yaitu: a. Pasien Klinik Sanitasi Pasien klinik sanitasi adalah penderita penyakit yang diduga berkaitan erat dengan kesehatan lingkungan yang dirujuk oleh petugas medis ke ruang klinik sanitasi (Depkes RI, 2002 (c). b. Klien Klinik sanitasi Klien klinik sanitasi adalah masyarakat umum bukan penderita penyakit yang datang ke puskesmas untuk berkonsultasi mengenai masalah yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan (Depkes RI, 2002 (c).
24
c. Bengkel Sanitasi Adalah suatu ruangan atau tempat yang dipergunakan untuk menyimpan peralatan pemantauan dan perbaikan kualitas lingkungan (Depkes RI, 2002 (c). d. Ruang Klinik Sanitasi Adalah suatu ruang atau tempat yang di pergunakan oleh Sanitarian/Tenaga Kesling/Tenaga Pelaksa keiatan klinik sanitasi untuk melakukan fungsi penyuluhan, konsultasi, konseling, pelatihan perbaikan sarana sanitasi dan sebagainya (Depkes RI, 2002 (c). e. Pengertian Konseling Adalah kegiatan wawancara mendalam dalam penyeluhan yang bertujuan untuk mengenal masalah lebih rinci kemudian diupayakan pemecahannya yang dilakukan
oleh
petugas
klinik
sanitasi
ehubungan
dengan
konsultasi
penderita/pasien yang datang ke puskesmas (Depkes RI, 2002 (c). f. Kunjungan Rumah Adalah kegiatan sanitarian/tenaga kesling/tenaga pelaksana klinik sanitasi untuk melakukan kunjungan ke rumah untuk melihat keadaan lingkungan rumah sebagai tindak lanjut dari kunjungan penderita atau klien ke ruang klinik sanitasi (Depkes RI, 2002 (c).
25
2.1.3 Tujuan Klinik Sanitasi 1) Tujuan Umum Program Klinik Sanitasi Klinik sanitasi bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya preventif, kuratif, dan promotif yang dilakukan secara terpadu, terarah dan terus menerus (Depkes RI, 2002 (a). 2) Tujuan Khusus Program Klinik Sanitasi a. Terciptanya keterpaduan kegiatan lintas program dan lintas sektor dalam program pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan dengan memberdayakan masyarakat. b. Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemampuan dan perilaku masyarakat
(pasien,
klien dan
masyarakat)
untuk mewujudkan
lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. c. Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi penyakit berbasis lingkungan serta masalah kesehatan lingkungan dengan sumber daya yang ada. d. Menurunnya angka penyakit berbasis lingkungan dan meningkatnya kondisi kesehatan lingkungan.
2.1.4 Sasaran Program Klinik Sanitasi Sasaran program klinik sanitasi meliputi : 1) Penderita penyakit (pasien) yang berhubungan dengan masalah kesehatan lingkungan (yang datang ke puskesmas atau yang diketemukan di lapangan).
26
2) Masyarakat umum (klien) yang mempunyai masalah kesehatan lingkungan (yang datang ke puskesmas atau yang menemui petugas klinik sanitasi di lapangan) 3) Lingkungan penyebab masalah bagi penderita/klien dan masyarakat sekitarnya.
2.1.5 Ruang Lingkup Klinik Sanitasi 1) Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air, meliputi penyakit diare, Demam berdarah, malaria dan kulit. 2) Penyakit-penyakit yang penularannya berkaitan dengan kondisi perumahan dan lingkungan yang jelek antara lain ISPA dan TB Paru. 3) Penyakit-penyakit yang penyebabnya atau cara penularannya melalui makanan antara lain : diare, kecacingan dan keracunan makanan. 4) Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan bahan kimia dan pestisida di rumah tangga.
2.1.6 Strategi operasional dari program klinik sanitasi 1) Inventarisasi maslah ksehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat dengan cara pengumpulan data dan pemetaan yang berkaitan dengan penyakit, perilaku, sarana sanitasi, dan keadaan lingkungan.
27
2) Mengintegrasikan intervensi kesehatan lingkungan dengan program terkait di puskesmas dalam rangka pemberantasan penyakit berbasis lingkungan. 3) Menentukan skala prioritas penyusunan perencanaan dan pelaksanaan penanganan masaah kesehatan lingkungan dengan mempertimbangkan segala sumber daya yang ada dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait, baik dalam lingkup kabupaten maupun puskesmas. 4) Menumbuhkembangkan peran serta masyarakat melalui kemitran dengan kelembagaan yang ada. 5) Membentuk
jaringan
kerjasama
antar
kabupaten/kecamatan
yang
merupakan satuan ekologis atau satuan epidemiologis penyakit. 6) Menciptakan perubahan dan peningkatan hidup bersih dan sehat, serta menumbuhkan kemandirian masyarakat melalui upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. 7) Mengupayakan dukungan dana dari berbagai sumber antara lain masyarakat, swasta, pengusaha, dan pemerintah.
2.1.7 Kegiatan Klinik Sanitasi Klinik sanitasi dilaksanakan di dalam gedung dan di luar gedung puskesmas oleh petugas sanitasi dibantu oleh petugas kesehatan lain dan masyarakat.
28
1. Di dalam gedung (Indoor activity) Semua pasien yang mendaftar di loket setelah mendapat kartu status seterusnya diperiksa oleh petugas paramedis/medis Puskesmas. Apabila di dapatkan penderita penyakit yang behubungan erat dengan faktor lingkungan, maka yang bersangkutan dirujuk ke ruang klinik sanitasi. Kalau klien, setelah mendaftar di loket, mereka langsung ke ruang Klinik Sanitasi untuk mendapatkan bimbingan teknis. D ruang Klinik Sanitasi, sanitarian/tenaga kesling akan melakukan wawancara dan konseling yang hasilnya ditulis dalam Kartu Status Kesehatan Lingkungan. Selanjutnya sanitarian/petugas kesling membuat janji kunjungan ke rumah pasien/klien 2. Di luar gedung (Outdoor Activity) Kegiatan di luar gedung ini adalah kunjungan rumah/lokasi sebagai tindak lanjut kunjungan pasien/klien ke Puskesmas (Klinik Sanitasi). Kunjungan ini sebenarnya merupakan kegiatan rutin yang lebih dipertajam sasarannya, sesuai hasil wawancara pasien/klien dengan sanitarian pada waktu di Puskesmas.
29
Puskesmas
Apotik L O K E T
Penderita Klien Masyarakat Umum
Poliklinik
PULANG Klinik Sanitasi
Lok Mini
Koordinasi
Koordinasi
Koordinasi
Masyarakat
Lintas Program
Lintas Sektor
-
Toga Toma LKMD Guru Kader
-
Penderita
:
-
Klien
:
-
Petugas
:
-
Umpan Balik :
-
Pustu Polindes/ Blindes
-
Dep. Agama Dep. PU PMD Pariwisata Pertanian Sektor Terkait Lainnya
Kunjungan rumah dan lingkungan : lingkungan kerja, TTU, TPM, Transportasi
Keterangan : -
-
Implementasi dan rekomendasi Perbaikan lingkungan
Sumber Data Depkes RI, 2002
Pemantauan Penilaian Pws
Pemantauan Penilaian - Pws
Gambar 2.1 Skema Alur Kegiatan Klinik Sanitasi
30
Keterangan : 1. Pasien
datang
ke
puskesmas,
mendaftar
di
loket,
diperiksa
oleh
medis/paramedic jika indikasinya menderita penyakit berbasis lingkungan maka dirujuk ke klinik sanitasi, di klinik sanitasi pasien dikonseling, diberikan penyuluhan serta membuat perjanjian kunjungan rumah untuk memecahkan masala kesehatan lingkungan yang dialaminya kemudian pasien mengambil obat di apotek kemudian pulang. 2. Petugas berkoordinasi dengan lintas program melalui loka karya mini atau pertemuan bulanan. 3. Petugas melakukan kunjungan rumah dengan memberikan implementasi dan rekomendasi perbaikan lingkungan. 4. Klien datang ke puskesmas untuk berkonsultasi mengenai masalah kesehatan lingkungan yang dihadapi untuk mencari cara pemecahan masalah. 5. Pemantauan wilayah setempat untuk dijadikan tolak ukur pelaksanaan program klinik sanitasi (Depkes RI, 2002 (a).
2.1.8 Sumber Data, Prasarana dan Sarana Untuk melaksanakan kegiatan program klinik sanitasi iperlukan adanya tenaga pelaksana, sarana dan prasarana, dan dukungan dana. Tenaga pelaksana sebaiknya berlatarbelakang pendidikan kesehatan lingkungan atau tenaga kesehatan lain yang ditunjuk oleh kepala puskesmas dan telah mendapat pelatihan tentang klinik sanitasi.
31
Kelengkapan sarana dan prasarana seperti ruangan untuk konseling dan bengkel, peralatan, transportasi, alat peraga atau media penyuluhan, formulir pencatatan dan pelaporan, dan buku pedoman. Tenaga dan sarana/prasarana yang tersedia dapat diberdayakan dengan baik jika ada dukungan dana operasional.
2.1.9 Peranan Puskesmas 1. Menyelenggarakan pelaksanaan dan penilaian kegiatan Klinik Sanitasi. 2. Pengumpulan, pengolahan dan analisis data. 3. Pengawasan, penilaian dan perbaikan kualitas lingkungan 4. Mencari & mengelola sumber pembiayaan. 5. Melakukan pencegahan penyakit berbasis lingkungan. 6. Memberikan bantuan dan pelatihan teknis. 7. Menyiapkan tenaga, ruangan, peralatan dan media penyuluhan. 8. Pembinaan masyarakat melalui penyuluhan & konseling. 9. Mendayagunakan tenaga lapangan PPM & PL dan Bides untuk mendukung kegiatan klinik sanitasi. 10. Koordinasi dengan L/P dan L/S. 11. Melakukan pencatatan dan Pelaporan tentang pelaksanaan Klinik Sanitasi.
2.1.10 Peranan Masyarakat 1. Membina keluarga binaan. 2. Inventaris data sarana kesling. 3. Menggali dan memanfaatkan sumber daya setempat.
32
4. Melakukan pengorganisasian dan pendanaa masyarakat. 5. Mengembangkan cara penilaian dan pemantauan.
2.1.11 Hambatan dan peluang 1. Beberapa hambatan yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan klinik sanitasi sebagai berikut yaitu : a. Masih terbatasnya tenaga puskesmas sebagai pelaksana klinik sanitasi, sehingga kegiatan ini belum menjadi prioritas puskesmas. b. Terbatasnya jangkauan petugas klinik sanitasi untuk membina desa yang ada di wilayah puskesmas karena luasnya wilayah, kondisi geografis dan terbatasnya transportasi. c. Terbatasnya dana untuk kegiatan klinik sanitasi. 2. Beberapa peluang yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan klinik sanitasi sebagai berikut yaitu : a. Adanya dana operasional puskesmas yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan klinik sanitasi. b. Penyakit berbasis lingkungan masih mendominasi kasus yang terjadi. c. Adanya mekanisme lokakarya mini di puskesmas yang dapat digunakan untuk pengembangan dan koordinasi kegiatan klinik sanitasi. d. Pendayagunaan tenaga kesehatan lingkungan yang saat ini bekerja di luar bidang tugasnya untuk pelaksanaan klinik sanitasi. e. Adanya dana sektor lain yang dapat dialokasikan di desa sehingga dapat
menunjang
kegiatan klinik
sanitasi.Semakin
meningkatnya
33
partisipasi masyarakat dalam pembangunan di desa sebagai dampak dari pemberantasan masyarakat selama ini. f. Telah tersediaannya alat (Water test kit dan media penyuluhan.) g. Penerpan paradigma sehat yang selaras dengan pelaksanaan klinik sanitasi.
2.1.12 Kriteria Keberhasilan 1. Kunjungan Klien Meningkat, Pasien Turun 2. Cakupan SAB/S Swadaya Meningkat 3. Kunjungan Lapangan Meningkat 4. Penyakit Lingkungan Kurang 5. Hubungan baik dengan L/P dan L/S
2.1.13 Penyakit Berbasis Lingkungan Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan ketidaknyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya. Penyakit merupakan respon tubuh akibat menurunnya energi dalam tubuh karena berkurangnya kemampuan tubuh untuk mengeliminasi dan membuang racun. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan yang terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti
34
tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri). Penyakit berbasis lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi penyakit (Wulan, 2012). Lingkungan tidak mungkin mampu mendukung jumlah kehidupan yang tanpa batas dengan segala aktivitasnya. Karena itu, apabila lingkungan sudah tidak mampu lagi mendukung kehidupan manusia, manusia akan menuai berbagai kesulitan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berdampak pada kualitas daya dukung lingkungan , yang pada akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri. eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan berdampak buruk pada manusia (Suriani, 2009). Pengaruh lingkungan dalam menimbulkan penyakit pada manusia telah lama disadari, seperti dikemukakan Blum dalam Planning for health, development and application of social change theory, bahwa factor lingkungan berperan sangat besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sebaliknya kondisi kesehatan masyarakat yang buruk, termasuk timbulnya berbagai penyakit juga dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk (Suriani, 2009). Jenis penyakit berbasis lingkungan yang pertama disebabkan oleh virus seperti ISPA, TBC paru, Diare, Polio, Campak, dan Kecacingan; yang kedua disebabkan oleh binatang seperti Flu burung, Pes, Anthrax ; dan yang ketiga disebabkan oleh vektor nyamuk diantanya DBD, Chikungunya dan Malaria (Wulan, 2012).
35
Interaksi manusia dengan lingkungan yang telah menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering terjadi kuman yang tinggal di tubuh host kemudian berpindah ke manusia karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungnannya. Hal ini tercermin dari tingginya kejadian penyakit berbasis lingkungan yang masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat Indonesia. Beberapa penyakit yang timbul akibat kondisi lingkungan yang buruk seperti ISPA, TBC, diare, DBD, malaria, kecacingan dan penyakit kulit (Depkes RI, 2002 (a).
36
2.2 Kerangka Berfikir 2.2.1 Kerangka Teori Klinik Sanitasi Sebagai Upaya Yankes dengan melakukan Promotif dan Preventif
Perilaku Tertutup Perilaku Masyarakat Perilaku Terbuka
Sikap
Pengetahuan -
Tahu Memahami Aplikasi Analisis Sintesis Evaluasi
-
Menerima Merespons Menghargai Bertanggung jawab
Tindakan -
Persepsi Respon terpimpin Mekanisme adopsi
Meningkatkan Pemanfaatan Klinik Sanitasi
Menurunkan angka Penderita Pasien
Meningkatkan Pemahaman Klien (Masyarakat Umum)
Menurunkan Penyakit Berbasis lingkungan
Gambar 2.2 Kerangka Teori
37
2.2.2 Kerangka Konsep Perilaku Masyarakat Pengetahuan Klinik Sanitasi
Sikap Tindakan
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Variabel Kerangka Konsep : Variabel
yang
diteliti
adalah perilaku
masyarakat
yang
meliputi
pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat tentang klinik sanitasi puskesmas Limba B Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo.