BAB II TEORI KONVERSI AGAMA
Dalam bertindak, bertutur kata juga berpikir, manusia memiliki perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut nampak dalam kehidupan seharihari, termasuk dalam pengambilan sebuah keputusan untuk berubah ke arah yang lebih baik atau tidak. Orientasi mengenai perubahan yang baik maupun buruk juga terjadi dalam perubahan agama yang dilakukan oleh seseorang, yang dikenal dengan istilah konversi agama. Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan konversi agama, berpikir dengan sungguh adalah langkah konkret pertama. Hal itu terjadi karena konversi agama yang dilakukan berorientasi pada masa depan dari hidup konverter, dan ketika ia memutuskan untuk melakukan konversi agama, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan agama baru menjadi pilihan. Untuk lebih mengetahui secara jelas tentang konversi agama, maka akan dipaparkan mengenai hal-hal yang menjadikan konversi agama sebagai sesuatu yang kompleks. Melihat kekompleksan konversi agama, maka penulis memilih teori Konversi Agama yang dipaparkan oleh Lewis R. Rambo, khususnya model bertingkat sistemik dalam sebuah proses konversi agama.
II.1 Konversi Agama II.1.1 Pengertian Konversi Agama Konversi agama (religious conversion) secara umum ialah berubah agama ataupun masuk agama, dan jika dilihat secara etimologisnya, konversi berasal dari kata latin “conversio” yang memiliki arti: tobat, pindah, berubah (agama). Kata tersebut
11
digunakan juga di dalam bahasa Inggris, menjadi “conversion”, yakni berubah dari suatu keadaan, dari satu agama keagama lain (change from one state, or from one religion, to another). Dengan melihat pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan konversi agama adalah bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama. Beberapa ahli mengemukakan pengertian konversi agama secara terminologi, yakni13: a. Max Heirich mengemukakan konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. b. Menurut William James konversi agama ialah “to be converted, to be regenerated, to recieve grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases, which denote, gradual or sudden, by wich a self hithero devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities.” Pernyataan tersebut dapat berarti: berubah, disatukan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian bahwa terdapat banyak ungkapan dalam proses tersebut, dan proses tersebut dapat terjadi secara berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar, terpisah dan bahagia. Kesemuanya itu terdapat di dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama.
c. Lewis R.Rambo memberikan beberapa definisi, antara lain: i. Perubahan sederhana yang terjadi dari ketidakadaan suatu sistem kepercayaan yang dianut menjadi terciptanya suatu komitmen kepercayaan, dari keanggotaan dalam agama dengan satu sistem kepercayaan kepada sistem kepercayaan yang lainnya, atau dari satu orientasi kepada orientasi yang lain dalam satu sistem kepercayaan tunggal.
13
Bustamam Ismail, “Konversi Agama (Psikologi Agama)”, dalamhttp://hbis.wordpress.com/2009/12/12/konversi-agama-psikologi-agama/, diunduhpadaKamis, 08 Maret 2012 pkl 15.17 12
ii. Perubahan yang terjadi pada orientasi pribadi seseorang terhadap kehidupan, dari peristiwa-peristiwa yang tidak disengaja atas ketidakmungkinan dari tindakan yang dilakukan oleh Tuhan. Hal itu tertanam dalam pikiran dan menjadi suatu hafalan, yang menjadikan seseorang menggantungkan diri pada hal tersebut. Orientasi seseorang juga dapat berubah dengan adanya ritual, yang berguna agar keyakinan seseorang menjadi lebih dalam terkait dengan kehadiran Allah. iii. Perubahan kehidupan spiritual yang pada awalnya melihat dunia ini sebagai sesuatu yang jahat, berubah menjadi melihat semua ciptaan sebagai manifestasi kekuasaan Allah. iv. Tindakan perubahan yang radikal terhadap perlengkapan yang mampu menjadikan tingkat spiritualitas seseorang menjadi lemah, berubah menjadi sebuah tingkat baru yang terkandung di dalamnya suatu perhatian intensif, adanya komitmen, dan keterlibatan.
Jika dilihat dari segi umur, keputusan melakukan konversi agama cenderung dilakukan oleh orang-orang yang berusia dewasa. Hal itu erat kaitannya dengan masalah kejiwaan dan pengaruh dari lingkungan sekitar tempat tinggal. Adapun ciriciri orang yang melakukan konversi agama antara lain14: i. Arah pandang dan keyakinan seseorang yang mulai berubah terhadap agama dan kepercayaan yang selama ini diyakini. ii. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sehingga perubahan itu bisa terjadi secara mendadak atau berproses. iii. Yang berubah bukan hanya dalam hal berpindah kepercayaan, namun juga dalam pandangannya terhadap agama yang dianut.
14
H.Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 80. 13
iv. Faktor kejiwaan dan lingkungan memang mempengaruhi, namun tidak melupakan faktor petunjuk Yang Maha Kuasa.
II.1.2
Faktor penyebab terjadinya Konversi Agama
Konversi agama dapat terjadi tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu faktor teologis-ideologis hingga gengsi dan penghargaan. Baik itu dari faktor yang masih dalam batas logika manusia hingga yang di luar jangkauan pemikiran manusia. Selain itu terdapat faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia terkait dengan bidang kehidupan, yakni bidang ekonomi dan politik. Dimana seseorang dapat melakukan konversi agama dikarenakan untuk merubah keadaan hidupnya. Faktorfaktor tersebut termasuk di dalam faktor intern dan faktor ekstern, atau yang menurut A.Penido, berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur15:
1.
Unsur yang berasal dari dalam diri atau endogenos origin, yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Dengan kata lain konversi pada tipe ini terjadi di dalam batin seseorang, yang kemudian membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi. Penyebabnya ialah adanya krisis. Dan berdasarkan pertimbangan pribadi, seseorang akan mengambil keputusan. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi ketika struktur psikologis yang lama hancur dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
2.
Unsur dari luar atau exogenous origin, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian
15
Ibid., 86. 14
menekan pengaruhnya pada kesadaran seseorang, mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.
Faktor-faktor tersebut secara terperinci dipaparkan sebagai berikut:
1) Faktor-faktor yang menjadi pendorong seseorang melakukan konversi agama, antara lain: a. Ditinjau dari segi agama ialah faktor petunjuk Ilahi atau adanya pengaruh supranatural, maksudnya ialah manusia mempercayai bahwa segala sesuatu di atur oleh Tuhan, atau dengan kata lain adanya intervensi dari Tuhan di dalam kehidupan
manusia.
Intervensi
tersebut
dominan
dalam
pengalaman-
pengalaman yang bagi manusia tidak mungkin untuk terjadi, namun justru dapat terjadi. Terkadang hal tersebut bersifat radikal sehingga manusia tidak sanggup menerimanya. Dengan demikian hal itu dipercaya dapat terjadi karena adanya campur tangan Tuhan, dan merupakan kasih karunia Tuhan atas hidup manusia.16 b. Dari perspektif sosiologi berpendapat bahwa penyebabnya ialah karena pengaruh sosial, yaitu hubungan antara orang yang melakukan konversi agama tersebut dengan orang lain. Dari faktor sosial ini, terbagi lagi di dalam sub faktor yang terdapat enam poin, yakni: i. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non-agama (kesenian, ilmu pengetahuan, kebudayaan). ii. Pengaruh kebiasaan yang rutin, misalnya biasa mengikuti upacara keagamaan pada lembaga formal maupun non-formal. iii. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat.
16
D. Hendropuspito, Sosisologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 80. 15
iv. Pengaruh adanya hubungan yang baik dengan pemimpin keagamaan. v. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan kesamaan hobi. vi. Pengaruh kekuasaan pemimpin, yakni berdasarkan kekuatan hukum. c. Perspektif psikologi, yaitu faktor pembebasan dari tekanan batin. Maksudnya ialah gejala tekanan batin yang dimiliki oleh seseorang mendorongnya untuk mencari jalan keluar agar memperoleh ketenangan batin dengan mencari kekuatan lain, yaitu masuk agama lain. Ketika orang tersebut berada dalam kehidupan batin yang kosong dan tak berdaya, ia akan mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberikan kehidupan jiwa yang tenang dan tentram. Penyebab timbulnya faktor ini ialah dari faktor intern maupun ekstern yang antara lain: Adapun yang menjadi faktor intern-nya adalah: i.
Kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang. Hasil penelitian W.James menyatakan bahwa yang rentan untuk melakukan konversi agama adalah tipe melankolis.
ii.
Menurut Guy E. Sawanson, ada kecenderungan anak yang lahir diantara anak sulung dan bungsu, sering mengalami stress jiwa. Dari pembawaan sejak lahir yang mempengarui terjadinya konversi agama.
Faktor ekstern adalah: i.
Faktor keluarga yang di dalamnya terjadi hal-hal yang kurang baik, yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan batin.
ii.
Lingkungan tempat tinggal yang tidak menerima orang tersebut dengan baik, merasa tinggal sebatang kara, sehingga menginginkan tempat yang dapat menerimanya, yang tenang hingga kegelisahan batinnya hilang.
16
iii.
Perubahan
status
yang
berlangsung
mendadak
akan
banyak
menimbulkan koversi agama (misalnya: cerai, nikah beda agama, perubahan pekerjaan). iv.
Kondisi sosial ekonomi (kemiskinan).
d. Dari perspektif ilmu pendidikan mengemukakan bahwa dengan didirikannya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama, tentunya memiliki tujuan keagamaan. Dengan demikian siswa yang memilih belajar di sekolah tersebut juga harus terbiasa mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang diterapkan di sekolah tersebut.
2) Faktor-faktor penarik, yaitu hal-hal yang terjadi di luar diri orang yang akan melakukan konversi agama, yang juga menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan konversi agama. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Kejadian-kejadian
yang menyenangkan maupun
yang menyusahkan.17
Kejadian-kejadian tersebut akan tersimpan di dalam memori otak yang setelah beberapa waktu pada akhirnya menjadi apa yang dikenal dengan sebutan pengalaman. Serupa dengan kejadian yang terbagi menjadi kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak, pengalaman pun terbagi menjadi yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan misalnya saja memperoleh jalan keluar atas masalah yang bagi seseorang sangat sulit untuk diselesaikan dalam jangka waktu yang cukup lama, atau hidup keluarga yang berubah menjadi harmonis setelah beberapa lama dalam keadaan yang individualistis akibat kesibukkan masing-masing
17
Ibdi., 84. 17
anggota keluarga. Sedangkan contoh dari pengalaman yang menyusahkan ialah ketika seseorang berada dalam krisis, baik krisis dalam penerimaan sesuatu yang buruk seperti kematian (yang dalam ilmu konseling dikenal dengan sebutan terminal illness) atau krisis dalam kehidupan ekonomi.18 b. Komunitas agama, yang berarti ketika seseorang melalukan konversi agama, tersirat di dalamnya keinginan untuk mencari komunitas keagamaan yang dianggap sanggup memberikan jawaban yang meredakan batinnya. Ketika orang tersebut menemukan komunitas agama yang baru, yang di dalam komunitas tersebut dapat memberikan ruang baginya mengembangkan diri dan sesuai dengan keinginannya dalam menjawab kebutuhan hidupnya selama ini, maka di dalam komunitas agama yang baru itulah yang diyakini sebagai jalan hidup yang baru.19 c. Keunggulan kultural kelompok agama baru, maksudnya ialah di dalam masingmasing agama memiliki daya tariknya tersendiri sehingga dapat menarik perhatian dan rasa ingin tahu manusia. Hal itu dapat terjadi karena di dalamnya terdapat sistem nilai budaya yang lebih tinggi daripada sistem nilai budaya di agama yang lama. 20 Keunggulan nilai budaya agama yang baru dilihat dari sudut pandang subyektif, terdapat tiga hal yakni: i. Ajaran agama yang lebih tinggi. Masing-masing agama memiliki ajarannya tersendiri, namun ada ajaran tertentu yang dipandang sebagai ajaran yang tinggi. Ajaran tinggi tersebut terdapat di agama Kristen yakni tentang keselamatan yang dilakukan oleh Yesus yang adalah Juruselamat. Ia membebaskan semua manusia dari segala kejahatan yang telah dilakukan.
18
Robert H. Thoubless, diterjemahkan oleh Machnum Husein dalam Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers), 59-70. 19 D. Hendropuspito, Sosisologi Agama, ...., 85. 20 Ibid., 87-90. 18
Doktrin yang jika dilihat dari agama yang lama, tentu menjadi doktrin baru yang mampu membuka perspektif yang baru dan menimbulkan krisis batin. Ketika krisis batin terjadi, orang yang mengalami hal tersebut merasa tertarik untuk masuk ke agama baru. Selain doktrin ternyata kebudayaan agama juga dihargai, dimana agama Kristen memiliki nilai kebudayaan dan peradaban yang tinggi, yakni kebudayaan dan peradaban Yunani. ii. Sarana-sarana rohani yang mengatasi kekuatan manusia, dalam hal ini terdapat dua hal yang sangat istimewa yakni “kharisma” dan “kekuatan supra-empiris” atau yang juga disebut sebagai kekuatan “magis” yang dimiliki agama baru. Christopher Dowson dan H.O. Taylor berpendapat bahwa kekuatan magis menjadi faktor penarik yang dominan, hal tersebut dapat dilihat di dalam contoh masuknya suku-suku bangsa primitif di Eropa Utara ke agama Kristen, karena mereka percaya kekuatan tersebut dimiliki oleh agama Kristen. Kekuatan tersebut tidak memerlukan persiapan yang sulit, namun hasilnya cepat dirasakan. Kekuatan tersebut nampak jelas dalam agama Katolik, yaitu dengan tujuh sakramen yang dipercaya sebagai titik temu antara Allah dan manusia. Sedangkan kharisma mayoritas dimiliki oleh para pemimpin agama, adalah: “suatu kesanggupan yang dimiliki seseorang bukan karena usahanya sendiri, tetapi dipercaya sebagai berasal langsung dari Tuhan, dan membuat orang yang bersangkutan menjadi pemimpin yang luar biasa.”
iii. Keunggulan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agamanya.
II. 1.3. Tipe Konversi Agama
19
Seperti yang telah dipaparkan di awal bab ini, bahwa manusia pada hakekatnya adalah berbeda. Hal itu juga nampak dalam ide atau gagasan mengenai pengertian konversi agama yang dipaparkan oleh beberapan ahli. Hal serupa juga terjadi di dalam pemamparan mengenai tipe konversi agama. Dua ahli mengemukakan gagasan mereka masing-masing terkait dengan tipologi dari konversi agama, yang ditinjau dari sudut pandang yang berbeda pula. Jika dilihat dari sudut pandang waktu terjadinya konversi agama, Starbuck mengemukakan dua tipe, yakni21: a. Tipe Volitional (perubahan bertahap) Terjadinya konversi agama di dalam tipe ini berlangsung dengan proses secara perlahan-lahan, sehingga pada akhirnya akan menjadi kebiasaan rohani yang baru. Dalam tipe ini tersirat proses perjuangan batin yang tidak mudah. b. Tipe Selp Surrender (perubahan drastis) Konversi yang terjadi secara mendadak, tanpa adanya sebuah proses yang dapat mengubah pendirian seseorang terhadap suatu agama yang dianutnya. Menurut Willian James, tipe ini biasanya terjadi pada orang yang mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Hal itu dikarenakan gejalanya terjadi dengan sendirinya sehingga orang tersebut menerima kondisi yang baru itu dengan berserah. Lewis R. Rambo di dalam bukunya yang berjudul Understanding Religious Conversion memaparkan berbagai karakteristik yang bervariasi dari beberapa konversi yang ada.22 Dalam hal ini ia mengemukakan lima tipologi, yaitu: a) Apostasy or defection (Murtad atau penyeberangan) adalah penolakan dari tradisi agama atau keyakinan sebelumnya. Perubahan ini bukan berarti menerima seluruh perspektif agama yang baru, melainkan hanya mengadopsi sistem nilai21 22
H.Ramayulis, Psikologi Agama...., 82-83. Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 12-14. 20
nilai non-religius. Di dalam tipe ini terdapat unsur pemaksaan, maksudnya ialah orang-orang yang terdapat di dalam gerakan keagamaannya sendiri, dengan sengaja hapus dari keanggotaan. Kemurtadan termasuk dalam tipologi ini karena memiliki dinamikanya tersendiri yakni kehilangan iman atau meninggalkan kelompok agama yang lama merupakan suatu bentukyang penting dari perubahan, baik secara individu maupun kolektif. b) Intesification (Pendalaman) adalah komitmen iman yang telah dimiliki oleh orang yang melakukan konversi ketika ia masih berada pada keanggotaan sebelumnya, tetap dipetahankan, bahkan komitmen iman tersebut di revitalisasi, baik yang formal maupun yang non-formal. c) Affiliation (Keanggotaan) adalah gerakan individu maupun kelompok dari yang tidak atau yang sedikit memiliki komitmen agama, menjadi terlibat penuh di dalam lembaga maupun komunitas iman. d) Institutional transition (Peralihan Kelembagaan) meliputi perubahan dari seseorang maupun kelompok dari satu komunitas ke komunitas yang lainnya dalam suatu tradisi besar. Misalnya konversi yang dilakukan dari Gereja Baptist ke Gereja Presbyterian dalam Protestanisme Amerika. e) Tradition transition (Peralihan tradisi) mengarah pada gerakan individu maupun kelompok dari tradisi agama besar ke tradisi agama yang lainnya. Pergerakan ini juga termasuk dalam berpindah dari satu pandangan dunia, sistem ritual, simbol alam semesta, dan gaya hidup.
II. 1.4 Model-model Konversi Agama Dalam menganalisa berpindahnya seseorang dari satu agama ke agama yang lainnya, diperlukan pengetahun yang mendalam mengenai konversi agama, termasuk
21
di dalamnya model-model konversi agama itu sendiri. Sebab pemahaman orang awam, konversi agama hanya terdiri dari satu macam atau model. Rambo R. Lewis membantu membuka paradigma terkait dengan hal tersebut dengan memaparkan dua model, yaitu23: a) Model holistik (Holistic model) adalah model yang menjelaskan proses konversi secara menyeluruh, dengan memiliki empat unsur penting, antara lain: kebudayaan, masyarakat, pribadi dan sistem agama. Agar konversi dimengerti di dalam kekayaan dan kekompleksannya, diperlukan disiplin ilmu dari bidang antropologi, sosiologi, psikologi, dan agama. Dengan empat unsur tersebut menjadi hal yang penting sekali untuk mengerti konversi. i. Kebudayaan menggagasi intelektual, moral dan lapisan spiritual dari kehidupan. Mitos-mitos, ritual-ritual dan simbol-simbol dari sebuah kebudayaan memberikan garis pedoman untuk hidup sehari-hari, yang mana sering kali tanpa disadari telah diadopsi dan diterima sebagaimana adanya. Kebudayaan merupakan sebuah manifestasi kekreatifitasan manusia dan tenaga yang sangat kuat dalam bentuk dan pembaharuan dari individu, kelompok dan masyarakat. ii. Dari hasil pengujian para ahli sosiologi, ditemukan bahwa masyarakat dan aspek lembaga dari tradisi memiliki pengaruh di dalam konversi. Maksudnya ialah dengan interaksi yang dilakukan seseorang dengan lainnya, terdapat suasana yang mereka rasakan. Dari situasi tersebut, menimbulkan harapan-harapan dalam diri mereka, terhadap kelompok dimana mereka terlibat. Semuanya itu memiliki potensi di dalam orang melakukan konversi agama.
23
Ibid., 7-11. 22
iii. Perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang baik itu pikiran, perasaan dan tindakan, termasuk dalam psikologi. William James, seorang psikologi konversi klasik mengemukakan bahwa jalan yang memungkinkan seseorang melakukan konversi agama ialah terdapat hal-hal yang mendahuluinya, antara lain: penderitaan yang berat, terjadi kerusuhan, keputus-asaan, kesalahan dan kesulitan-kesulitan lainnya. iv. Tujuan dari konversi agama adalah membawa orang masuk ke dalam hubungan dengan meramalkan dan menyediakan bagi mereka suatu pengertian baru dari arti dan tujuan agama. Beragama bukan hanya membutuhkan kepercayaan, melainkan beragama menyatakan secara tidak langsung kehormatan dari fakta bahwa konversi adalah sebuah proses agama yang di dalamnya sedang terlibat berbagai komponen yang ada, yang disusun dengan teliti, yakni: kekuatan, ide-ide, lembaga-lembaga, ritualritual, mitos-mitos dan simbol-simbol. b) Model bertingkat (stage model) yang terbagi menjadi dua, yakni: sequential stage model (model bertingkat yang berurutan) yaitu proses yang di dalamnya terdapat tujuh tingkatan yang tersusun, antara lain: tingkat pertama konteks, tingkat kedua krisis, tingkat ketiga pencarian, tingkat keempat pertemuan, tingkat kelima interaksi, tingkat keenam komitmen, dan tingkat yang terakhir
yaitu
konsekuensi. 24 Model yang kedua, systemic stage model (model tingkatan sistemik),25 adalah model yang memiliki tujuh tingkatan serupa dengan sequential stage model, namun ketujuh unsur tersebut tidak mutlak berada pada tingkatannya. Dalam model ini terdapat satu unsur yang menjadi pusat penyebab dari proses konversi agama, namun yang menjadi pusat tersebut tidak menjadi hal 24 25
Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion..., 16-17. ZulkifliAbdillah,dalamhttp://zulkifli-stainptk.blogspot.com/2012/05/artikel_03.html,diunduh pada hariSelasa, 19 Juni 2012 pkl 12.49 23
yang mutlak. Ketujuh unsur dapat berpindah-pindah tingkat dan saling terkait.26 Sebuah model bertingkat lebih tertuju pada sebuah proses perubahan yang terjadi setiap waktu, yang biasanya memperlihatkan suatu rangkain dari proses tersebut. Lewis R. Rambo mengemukakan model ini bukan sekedar terdiri dari banyak dimensi (multidimensional) dan sejarah, melainkan juga berorientasi pada proses. Hal tersebut ingin mengatakan bahwa konversi adalah pendekatan sebagai suatu rentetan elemen-elemen yang ada, yakni interaktif dan kumulatif sepanjang waktu. Penjelesan dari ketujuh unsur tersebut, antara lain: i.
Konteks adalah penggabungan antara superstruktur dan infrastruktur dari konversi, di dalamnya termasuk sosial, kebudayaan, agama dan dimensi pribadi. Pada unsur ini dibagi ke dalam dua bagian yakni Macrocontext dan microcontext. Macrocontext berkenaan dengan keseluruhan lingkungan, termasuk
di
dalamnya
element
sistem
politik,
organisasi
agama,
pertimbangan-pertimbangan ekologi yang relevan, badan hukum yang melintasi
nasional
(tansnational),
dan sistem
ekonomi.
Sedangkan
microcontext adalah menyangkut keluarga, kelompok etnis, komunitas keagamaan,
dan tetangga
sekitar.
Hal-hal tersebut dengan segera
mempengaruhi sebuah peranan penting di dalam pengertian tentang identitas, kepemilikkan yang terdapat dalam bentuk pikiran-pikiran manusia, perasaanperasaan dan tindakan-tindakan.27 Microcontext selanjutnya berinterkasi dengan
macrokontext
dengan
berbagai
memfasilitasi atau menolak macrocontext.
26 27
Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion..., 18 Ibid., 20-22. 24
cara,
baik
menerima
dan
Krisis Pertemuan
Pencarian
Konteks Komitmen
Interaksi Konsekuensi
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 21.
ii. Krisis termasuk di dalam proses seseorang melakukan konversi agama, karena hampir semua peneliti setuju bahwa beberapa bentuk krisis mendahului terjadinya konversi. Krisis tersebut kemungkinan bersifat keagamaan, politik, psikologi atau kebudayaan asli. Di dalam tingkat ini, terdapat dua pokok persoalan dasar, yakni hal penting dalam pokok-pokok persoalan kontekstual, dan yang kedua ialah tahapan dari aktifitas dan kepasifan di dalam konversi. Dalam pemamparan mengenai sifat dasar krisis, banyak literatur yang menekankan pada disintegrasi sosial, penindasan politik, atau juga sebuah peristiwa yang di dramatisir. Krisis juga memiliki sifat dasar lainnya, yakni mampu membimbing seseorang kepada hal yang bukan dramatis, memberikan respon yang sangat kuat untuk mengakui kesalahan atau dosa dan pada akhirnya melakukan suatu perubahan. Sifat dasar dari krisis tersebut akan berlainan antara orang yang satu dengan orang yang lain dan dari situasi yang satu ke situasi yang lainnya. Krisis yang dihadapi oleh seseorang dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, antara lain: pengalaman mistik, pengalaman yang terjadi ketika mendekati kematian, sakit penyakit dan proses mengobati, perasaan dan persepsi bahwa hidup harus memiliki 25
arti dan tujuan, keinginan manusia yang selalu ingin lebih, mengubah keadaan pikiran atau perasaan agar berada pada keadaan yang sadar (karena pengaruh obat-obatan terlarang), kepribadian seseorang yang mudah menyesuaikan diri dalam berbagai lapangan pekerjaan, patologi (terlalu sering melakukan analisis terhadap psikis orang lain), pengingkaran atas agama; prinsip; tujuan; tatanan moral, dan stimulus yang berasal dari luar seperti lingkungan dan kebudayaan, aktifitas penginjilan).28
Konteks Pertemuan
Pencarian
Krisis Interaksi
Komitmen Konsekuensi
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),45.
iii. Pencarian yang dimaksud dalam hal ini ialah pekerjaan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus di dalam proses rekonstruksi dan merekonstruksi kembali untuk menciptakan arti dan tujuan. Berakar dari hal inilah maka seorang ahli sosial yang bernama James Richardson memulai untuk melihat orang-orang sebagai agen yang aktif dalam menciptakan arti dan memilih untuk beragama. Dengan demikian, proses dari membangun arti inilah yang disebut dengan pencarian. Dalam hal ini pelaku konversi menjadi agen aktif, karena mereka dapat mencari kepercayaan-kepercayaan, kelompok-kelompok, dan organisasi-organisasi yang menyediakan apa yang 28
Ibid., 44-55. 26
mereka butuhkan. Pencarian tersebut dapat terjadi karena tersedianya struktur yang di dalamnya seseorang dapat bergerak dari emosi, intelektual, lembagalembaga agama, komitmen-komitmen, kewajiban-kewajiban sebelumnya menuju pilihan yang baru. Ketika seseorang melakukan pencarian-pencarian tersebut, tentunya terdapat motivasi yang memperkuatnya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhannya, baik itu motivasi resolusi konflik, gambaran kesalahan, atau tekanan dalam keluarga. Seymour Epstein mengemukakan empat motivasi dasar manusia bertindak, yaitu: kebutuhan akan pengalaman yang senang dan menjauhi yang buruk; kebutuhan untuk sebuah sistem yang konseptual; kebutuhan dalam mempertinggi penghargaan diri; dan kebutuhan dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan-hubungan. Selain motivasi-motivasi tersebut, Rambo L.Lewis menambahkan dua faktor motivasi lainnya, yaitu: tenaga dan hal yang lebih penting dari sesuatu.29
Konteks Pertemuan
Krisis Pencarian
Komitmen
Interaksi Konsekuensi
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),57.
iv. Dalam tingkatan yang keempat ini, jika dilihat dari sudut pandang ilmu sosial, terdapat struktur yang mendasar dalam pertemuan. 30 Struktur-struktur tersebut meliputi para penganjur, orang yang akan berkonversi, dan pengaturan. Selain itu juga dalam pertemuan ini, banyak faktor yang 29 30
Ibid., 56-65. Zulkifli Abdillah,dalam http://zulkifli-stainptk.blogspot.com/2012/05/artikel_03.html,diunduh pada hari Selasa, 19 Juni 2012 pkl 12.49. 27
mempengaruhi hasilnya, namun yang terpenting menurut sebagian besar ilmuan sosial adalah ideologi, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan sebagainya. Dalam proses pertemuan, terdapat tahapan-tahapan yang perlu dilakukan oleh pelaku konversi. Tahapan-tahapan tersebut antara lain: kebutuhan-kebutuhan afektif, intelektual, kognitif, dan advokasi. Tidak hanya terbatas pada hal-hal tersebut, kharisma dan keteladanan, khususnya dari para pemimpin, juga memegang peranan penting dalam tahap ini.
Konteks Pencarian
Krisis Pertemuan
Komitmen
Interaksi Konsekuensi
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 67.
v. Dalam tingkatan interaksi, menjadi salah satu potensi dari pelaku konversi untuk menyambung hubungan dan menjadi lebih terlibat, atau mereka yang bekerja sebagai penyokong akan meneruskan interaksi yang terdapat kemungkinan-kemungkinan yang layak untuk diperluas.31 Seorang ahli sosiologi mengemukakan proses enkapsulasi yang menciptakan suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat elemen penting sekali dalam operasi konversi. Proses tersebut mencakup empat elemen atau dimensi, yakni:
31
Lewis R. Rambo, 102-108. 28
a)
Hubungan-hubungan, yang di dalamnya mampu menciptakan dan menggabungkan ikatan-ikatan emosi ke dalam kelompok dan realitas perspektif baru hari demi hari.
b) Ritual,
menyediakan
penggabungan
mode-mode
yang
sedang
diperkenalkan dengan dan hubungan kepada jalan hidup yang baru. c)
Kepandaian berbicara, menyediakan suatu sistem penerjemah yang dapat memberikan berupa sumbangan petunjuk dan pengertian kepada orang yang melakukan konversi.
d) Melalui peran, dapat menggabungkan keterlibatan seseorang dengan memberikannya suatu misi khusus untuk dapat diselesaikan.
Konteks Pencarian
Krisis Interaksi
Pertemuan
Komitmen
Konsekuensi
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),103.
vi. Komitmen merupakan bagian dari proses konversi yang perlu dilakukan oleh pelaku konversi setelah melakukan interkasi yang intensif dengan kelompok agama yang baru. Ketika interaksi tersebut dilakukan, maka pelaku konversi akan membuat sebuah pilihan dengan berkomitmen. Komitmen seseorang biasa ditunjukkan dengan menjalankan ritual agama yang baru.32 Komitmen tersebut dikenal dengan sebutan komitmen ritual, seperti: baptis dan 32
Ibid., 124. 29
kesaksian. Karena dengan kedua hal tersebut, memperlihatkan perubahan seseorang dan partisipasinya di dalam perubahan tersebut, serta orang lain juga dapat melihat keputusan yang diambil oleh pelaku konversi (menjadi saksi). Di dalam tingkat ini terdapat lima elemen yang melingkupi: membuat keputusan; ritual-ritual; penyerahan; manifestasi kesaksian yang terkandung di dalam perubahan bahasa dan rekonstruksi biografi; dan perumusan kembali motivasi.
Konteks Pencarian
Krisis Komitmen
Pertemuan
Interaksi Konsekuensi
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993), 125.
vii. Ketika seseorang telah memutuskan untuk melakukan konversi agama, tentunya telah banyak hal-hal yang dipertimbangkan, termasuk akibat atau yang dalam tingkatan ini disebut dengan konsekuensi. Lewis R. Rambo mengemukakan lima pendekatan untuk menyelidiki konsekuensi, yaitu: peranan prasangka seseorang terhadap suatu penilaian; penyelidikan biasa; melihat lebih mendalam terkait dengan konsekuensi-konsekuensi sosiobudaya dan sejarah; konsekuensi psikologi; dan konsekuensi-konsekuensi teologi dari konversi.33
33
Ibid., 142. 30
Konteks Pencarian
Krisis Konsekuensi
Pertemuan
Interaksi Komitmen
Sumber: Lewis R. Rambo, Understanding Religious Conversion, (London: Yale University, 1993),143.
Konsekuensi atau yang biasa disebut dengan akibat, efek, dampak, dalam konversi agama erat kaitannya dengan keenam elemen lainnya. Dalam proses konversi, setelah individu melalui krisis yang terjadi dalam batinnya, ia mulai mencari kelompok, komunitas, agama yang sesuai dengan kebutuhannya dan menemukan apa yang dicari, yang kemudian berbagai interaksi mulai dapat dilakukan serta dikembangkan guna menyatukan diri dengan kelompok, komunitas maupun agama yang baru sebagai tanda kesiapan atau komitmen. Dari proses konversi tersebut tentu menimbulkan dampak, yang dapat ditimbulkan dari lingkungan sekitar, konteks dimana individu tersebut berada, sebagai respon terhadap individu yang melakukan konversi agama. Dampak atau konsekuensi yang ditimbulkan dalam suatu proses, termasuk proses konversi agama dapat bersifat positif maupun negatif. Menurut M.Manullang, dalam pengambilan satu keputusan diiringi dengan adanya sesuatu yang tidak tidak menyenangkan.
Sesuatu
itulah
yang disebut
dengan
dampak
yang tidak
menyenangkan atau kehilangan keuntungan yang berharga.34 Dengan kata lain
34
M.Manullang, Pedoman Praktis Pengambilan Keputusan, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1986), 11 & 19. 31
dampak tersebut bersifat negatif ketika individu justru kehilangan keuntungan yang berharga ketika melakukan proses konversi agama. Ketika berbicara mengenai sesuatu yang berharga, dalam segala bidang kehidupan dari individu, akan memiliki sesuatu yang berharga, baik dalam bidang ekonomi seperti pekerjaan yang mampu menghasilkan harta benda dan uang yang melimpah. Dalam bidang sosial dan agama, interaksi yang selalu terjalin dan harmonis di dalam masyarakat, komunitas maupun keluarga, juga kelompok agama, interaksi antar individu dengan Tuhan-nya terus dilakukan. Dalam bidang politik, individu memiliki kedudukan yang baik; serta dalam kebudayaan, ia masih melakukan dan memelihara apa yang menjadi kebudayaannya. Namun hal-hal tersebut dapat menjadi kebalikannya, dimana sebagai dampak atau konsekuensi dalam individu berpindah dari satu agama ke agama lainnya. Selain itu juga ketika individu yang melakukan konversi agama namun tidak secara benar mempelajari, mengimani dan melakukan ajaran-ajaran agama yang baru, kedangkalan pun akan terjadi. Imannya terhadap agama yang baru akan tidak mendalam, dengan begitu individu tersebut akan mudah mencampur-adukkan antara ajaran agamanya yang lama dengan yang baru. Hal inilah yang menimbulkan adanya sinkritisme agama. Dampak negatif yang diimbulkan dari proses konversi agama, memiliki kaitan dengan suatu hukuman yang diberikan oleh kelompok agama yang lama kepada individu yang berpindah dari agama mereka. Hukuman tersebut bervariasi, baik mulai dari pemberian nama yang bermakna buruk, seperti pengkhianat, orang kafir, pembangkang dan orang yang murtad.35 Hukuman dalam tindakan juga diberikan, bagi agama Islam,dimana sebagian besar ulama memberikan hukuman mati kepada mereka yang meninggalkan agama Islam (sikap riddah atau keluar dari Islam). 35
Rusli, “KONVERSI AGAMA: TINJAUAN FIQH TERHADAP HADDRIDDAH”, dalam http://bangrusli.blogspot.com/2011/06/konstruksi-mazhab-fikih.html, diunduh pada hari Minggu, 08 Juli 2012 pkl 14.26 32
Namun sebagian dari mereka yang menganut kebebasan bergama, dimana HAM dan Al-Qur’ãn (khususnya dalam Q.S. Yunus : 99 “Apakah engkau, memaksa manusia, supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”?) lebih memilih untuk tidak memberikan hukuman mati, karena mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan individu khususnya ketika meninggalkan agama, akan menjadi dosa pribadi. Dengan demikian hal tersebut menjadi urusan pribadi dengan Tuhan. 36 Sebagian orang merasakan dihapusnya hak atas harta warisan, pengasingan, hilangnya hak perwalian atas anak, hilangnya hak-hak sebagai suami maupun istri,kesemuanya tersebut sebagai dampak negatif berupa hukuman dalam tindakan. Di lain sisi dari proses konversi agama terdapat dampak positif, yakni: individu lebih memaknai peran agama di dalam menjawab kebutuhan hidupnya. Dengan memilih dan memutuskan untuk melakukan konversi agama, individu dapat mengevaluasi
diri
sendiri
terkait
dengan
penghayatannya
terhadap
iman
kepercayaannya dalam satu agama. Selain itu juga akan memunculkan kesadaran terkait dengan pluralisme agama. 37
II.1.5. Motif Konversi Agama Konversi agama adalah hal yang kompleks, yang di dalamnya terkandung berbagai macam bidang ilmu, baik psikologi, budaya, sosial. Selain itu juga untuk dapat mengerti mengenai konversi, perlu mengetahui hal-hal yang menyebabkan konversi dapat terjadi, serta macam-macam konversi. Kekompleksan tersebut juga dapat dilihat dengan adanya enam gagasan motif konversi yang diusulkan oleh John
36
37
H. Zakaria Syafe’i, dalam makalah “Konversi Agama dalam Timbangan”. http://downloadmakalahgratis.blogspot.com/2010/11/konversi-agama.html, diunduh pada hari Kamis, 05 Juli 2012 pkl 18.23 33
Lofland dan Norman Skonovd dalam buku Understanding Religious Conversion.38 Melalui keenam motif konversi ini, maka dapat diketahui macam-macam cara yang dapat dilakukan dalam kaitannya memahamai konversi. Enam gagasan motif konversi tersebut antara lain: i.
Konversi Intelektual (Intellectual Conversion) Dalam motif ini, seseorang dapat memahami tentang konversi dengan mencari pengetahuan agama maupun pokok-pokok spiritual melalui buku-buku, televisi, artikel-artikel, dari perkuliahan, dan media lainnya yang tidak terkait dengan manfaat kontak sosial. Dalam hal ini seseorang secara aktif mencari ke luar dan mengembangkan berbagai alternatif yang memungkinkannya untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan tersebut.
ii. Konversi Mistik (Mystic Conversion) Dianggap oleh beberapa orang sebagai konversi prototipikal, seperti dalam kasus Saulus dari Tarsus. Konversi mistik ini biasanya merupakan sesuatu yang terjadi secara mendadak dan memberikan trauma kepada orang yang mengalaminya, terkait dengan wawasan yang disebabkan oleh penglihatan-penglihatan, suarasuara, atau pengalaman-pengalaman paranormal lainnya. iii. Konversi Percobaan (Experimental Conversion) Pada abad 20, konversi ini menjadi jalan utama orang melakukan konversi. Hal itu dapat terjadi karena kebebasan agama yang besar dan tersedianya berbagai macam pengalaman beragama. Dalam konversi ini melibatkan pengembangan secara aktif dari pilihan-pilihan agama. iv. Konversi Batin (affectional Conversion)
38
Lewis R. Rambo, 14-16. 34
Konversi ini menekankan pada ikatan-ikatan interpersonal yang ada sebagai suatu faktor yang penting di dalam konversi, selain itu juga berpusat secara langsung pada pengalaman pribadi yang dicintai, dipelihara, dan ditegaskan dengan adanya kelompok dan para pemimpinnya. v.
Konversi Pembaharuan (Revivalism Conversion) Pada motif ini menggunakan kecocokan kelompok untuk mempengaruhi perilaku. Dengan demikian, individu-individu secara emosional akan terangsang, perilaku baru dan keyakinan yang dipromosikan oleh tekanan yang diberikan. Agar hal tersebut dapat terjadi, diperlukan kekuatan-kekuatan musik dan khotbah yang memiliki kekuatan emosi, sehingga tercipta suatu pertemuan pembaharuan.
vi. Konversi Paksaan (Coercive Conversion) Konversi ini dapat terjadi karena kondisi-kondisi khusus yang sengaja diatur. Proses konversi paksaan ini dilakukan dengan cara mencuci otak, mengajak dengan paksa, membentuk pikiran dan memprogram label-label yang lainnya. Suatu konversi lebih kurang menjadi suatu paksaan jika dilihat dari tingkat maupun tekanan kuat yang diberikan pada orang tersebut untuk berpartisipasi, menyesuaikan dan mengakuinya.
35