BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Anatomi Tubuh Manusia Tubuh manusia terdiri dari berbagai sistem, diantaranya adalah sistem
rangka, sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernafasan, sistem syaraf, sistem penginderaan, sistem otot, dan sebagainya. Sistem tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya dan berperan dalam menyokong kehidupan manusia. Akan tetapi dalam ergonomi, sistem yang paling berpengaruh adalah sistem otot, sistem rangka dan sistem syaraf. Ketiga sistem ini sangat berpengaruh dalam ergonomi karena manusia yang memegang peran sebagai pusat dalam ilmu ergonomi (Kantana, 2010). 2.1.1
Sistem Muskuloskeletal Kerangka merupakan dasar bentuk tubuh sebagai tempat melekatnya otot -
otot, pelindung organ tubuh yang lunak, penentuan tinggi, pengganti sel-sel yang rusak, memberikan sistem sambungan untuk gerak pengendali dan untuk menyerap reaksi dari gaya serta beban kejut. Rangka manusia terdiri dari tulangtulang yang menyokong tubuh manusia yang terdiri atas tulang tengkorak, tulang badan dan tulang anggota gerak (Nurmianto, 2004). Fungsi utama dari sistem muskuloskeletal adalah untuk mendukung dan melindungi tubuh dan organ-organnya serta untuk melakukan gerak. Agar seluruh tubuh dapat berfungsi dengan normal, masing-masing substruktur harus berfungsi dengan normal. Enam substruktur utama pembentuk sistem muskuloskeletal antara lain: tendon, ligamen, fascia (pembungkus), kartilago, tulang sendi dan otot. Tendon, ligamen, fascia dan otot sering disebut sebagai jaringan lunak,
sedangkan tulang sendi diperlukan untuk pergerakan antara segmen tubuh. Peran mereka dalam sistem muskuloskeletal keseluruhan sangatlah penting sehingga tulang sendi sering disebut sebagai unit fungsional sistem muskuloskeletal. Dalam kaitannya dengan ergonomi, sistem otot dan rangka merupakan alat gerak pada manusia dan berperan dalam membentuk postur dalam bekerja. Sistem ini berguna dalam mendesain atau merancang tempat kerja, peralatan kerja dan produk baru yang harus disesuaikan dengan karakteristik manusia. Sistem otot dan rangka berpengaruh dalam kemampuan dan keterbatasan manusia dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan sistem syaraf merupakan pengendali dari semua kegiatan dan aktivitas termasuk gerakan sistem otot dan rangka. 2.1.2
Anatomi Tulang Belakang Tulang belakang merupakan bagian yang penting dalam ergonomi karena
rangka ini merupakan rangka yang menyokong tubuh manusia bersama dengan panggul untuk mentransmisikan beban kepada kedua kaki melalui sendi yang terdapat pada pangkal paha. Tulang belakang terdiri dari beberapa bagian yaitu :
Gambar 2.1 Struktur Tulang Belakang Tulang belakang cervical; terdiri atas 7 tulang yang memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau procesus spinosus (bagian seperti sayap pada
belakang tulang) yang pendek kecuali tulang ke-2 dan ke-7. Tulang ini merupakan tulang yang mendukung bagian leher. Tulang belakang thorax; terdiri atas 12 tulang yang juga dikenal sebagai tulang dorsal. Procesus spinosus pada tulang ini terhubung dengan tulang rusuk. Kemungkinan beberapa gerakan memutar dapat terjadi pada tulang ini. Tulang belakang lumbal; terdiri atas 5 tulang yang merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan menanggung beban terberat dari tulang yang lainnya. Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil. Tulang sacrum; terdiri atas 5 tulang dimana tulang-tulangnya bergabung dan tidak memiliki celah atau intervertebral disc satu sama lainnya. Tulang ini menghubungkan antara bagian punggung dengan bagian panggul. Tulang belakang coccyx; terdiri atas 4 tulang yang juga tergabung tanpa celah antara 1 dengan yang lainnya. Tulang coccyx dan sacrum tergabung menjadi satu kesatuan dan membentuk tulang yang kuat. Pada tulang belakang terdapat bantalan yaitu intervertebral disc yang terdapat di sepanjang tulang belakang sebagai sambungan antar tulang dan berfungsi melindungi jalinan tulang belakang. Bagian luar dari bantalan ini terdiri dari annulus fibrosus yang terbuat dari tulang rawan dan nucleus pulposus yang berbentuk seperti jeli dan mengandung banyak air. Dengan adanya bantalan ini memungkinkan terjadinya gerakan pada tulang belakang dan sebagai penahan jika terjadi tekanan pada tulang belakang seperti dalam keadaan melompat. Jika terjadi kerusakan pada bagian ini maka tulang dapat menekan syaraf pada tulang
belakang sehingga menimbulkan kesakitan pada punggung bagian bawah dan kaki. Struktur tulang belakang ini harus dipertahankan dalam kondisi yang baik agar tidak terjadi kerusakan yang dapat menyebabkan injuri/ cidera.
2.2
Low Back Pain
2.2.1
Definisi Low Back Pain Nyeri adalah pengalaman sensoris yang tidak menyenangkan dan
pengalaman
emosional
yang
muncul
dari
kerusakan
jaringan. Nyeri
punggung bawah (NPB) adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler maupun keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. nyeri punggung bawah yang lebih dari 6 bulan disebut kronik (Tanjung, 2009). Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Rasa nyeri timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Sifat berlangsungannya adalah akut dan kronis (lebih dari 12 minggu). Low back pain non spesifik adalah low back pain yang tidak diketahui seperti
penyebab
patologisnya
secara
nyata
tumor, osteoporosis, rheumatoid arthritis, patah tulang atau inflamasi.
Dalam masyarakat, LBP tidak mengenal perbedaan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, dan tingkat pendidikan. Lebih dari 80% manusia dalam hidupnya pernah mengalami LBP. LBP juga merupakan perasaan nyeri
di daerah lumbosakral dan sakroiliakal. LBP sering disertai penjalaran ke tungkai sampai kaki. Mobilitas punggung bawah sangat tinggi, di samping itu juga berfungsi menyangga beban tubuh, dan sekaligus sangat berdekatan dengan jaringan lain yakni traktus digestivus dan traktus urinarius. Kedua jaringan atau organ
ini
apabila
mengalami perubahan patologik tertentu dapat
menyebabkan nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah. Pasien LBP kronis mungkin merasakan nyeri terbatas pada garis tengah daerah lumbal (pinggang), atau menyebar pada beberapa daerah yang lebih luas, termasuk daerah paraspinal, tulang panggul, pinggul, atau pantat; daerah paha posterior atau lateral, lutut atau kaki, atau di manapun di sekitar kaki (Kristiawan, 2009). Nyeri p unggung b awah merupakan gangguan muskuloskeletal yang paling sering terjadi pada pekerja dan di n egara maju menghabiskan dana kompensasi dan dana pengobatan yang terbesar diantara penyakit akibat kerja lainnya (Depkes RI, 2003). 2.2.2
Etiologi Etiologi low back pain menurut Halimah (2009) dapat berupa :
1. Proses degeneratif, seperti spondilosis, HNP, stenosis spinalis, dan osteoartritis. Perubahan pada vertebrata lumbosakral dapat terjadi pada arkus dan prosesus artikularis serta ligamen yang menghubungkan antar ruas tulang belakang. Perubahan degeneratif juga dapat menyerang annulus fibrosus dari diskus intervertebralis.
2. Penyakit inflamasi, seperti rheumatoid artritis yang sering timbul sebagian penyakit akut dengan ciri persendian keempat anggota gerak terkena secara serentak atau spondilitis ankilopoetika dengan keluhan sakit punggung dan pinggang yang sifatnya pegal dan kaku. 3. Osteoporosis, pada orang tua dan jompo terutama menyerang kaum wanita. Sakit bersifat pegal, tajam, dan radikuler. 4. Kelainan kongenital, yang diperlihatkan foto rontgen polos dari vertebra lumbosakralis sering dianggap sebagai penyebab LBP dan dapat menyerupai HNP. 5. Gangguan
sirkulasi,
seperti
aneurisma
aorta
abdominalis
dapat
menyebabkan LBP yang hebat. Gangguan sirkulasi lain seperti thrombosis aorta terminalis, dengan gejala nyeri yang menjalar sampai bokong, belakang paha dan tungkai kedua sisi. 6. Tumor, dapat berupa tumor jinak seperti osteoma, Paget’s disease, osteoblastoma, hemangioma, neurioma, meningioma atau tumor ganas seperti mieloma multipel, maupun sekunder. 7. Infeksi akut yang disebabkan oleh kuman piogenik seperti streptococcus atau staphylococcus, atau infeksi kronik seperti spondilitis tuberculosis dan osteomielitis. 8. Psikoneuritik, seperti histeria, depresi, malingering. Etiologi LBP bermacam-macam, yang paling banyak adalah penyebab sistem neuromuskuloskeletal. Disamping itu, LBP dapat merupakan nyeri rujukan dari gangguan sistem gastrointestinal, system genitourinaria atau
sistem kardiovaskuler. Proses infeksi, neoplasma, dan inflamasi daerah panggul dapat juga menimbulkan LBP. Penyebab sistem neuromuskuloskeletal dapat diakibatkan beberapa faktor, yaitu : a.
Otot (Miofasial) Otot pinggang bawah memberi kekuatan dan perengangan untuk
berbagai aktivitas, seperti berdiri, berjalan, dan mengangkat. Postur lordotik lumbar merupakan postur alamiah yang tidak dapat diubah. Seseorang yang mengalami LBP kronik, otot ekstensor lumbar lebih lemah dibanding otot fleksor, sehingga tidak kuat mengangkat beban. Otot sendiri sebenarnya tidak jelas sebagai sumber nyeri, tetapi muscle spindles jelas diinervasi sistem saraf simpatis. Dengan hiperaktivitas kronik, sistem simpatis ini (seperti pada ansietas), muscle spindles mengalami spasme, sehingga terasa nyeri tekan. Jejas pada perlekatan otot akan menyebabkan inflamasi kronik sehingga akan mengakibatkan nyeri tekan pula. Perlekatan otot yang tidak sempurna akan melepaskan pancaran rangsang mengakibatkan
nyeri,
saraf
berbahaya
yang
sehingga menghambat aktivitas otot. Terbukti ada
hubungan langsung antara jumlah rangsang berbahaya penghambat fungsi otot dengan kekuatan otot yang tersedia. Sekali nyeri dihilangkan, akan muncul tenaga otot yang lebih besar. Jadi penurunan kekuatan otot mungkin berhubungan dengan nyeri. Latihan dapat merangsang pemulihan kekuatan otot (Muchamad, 2009). Ketegangan pengerahan
tenaga.
(strain)
otot
Ligamen
dapat
punggung
terjadi bawah
akibat
dipaksakan
atau
menghubungkan kelima
tulang vertebra untuk mendukung stabilitas punggung. Keseleo (sprain) punggung bawah dapat terjadi bila ligamene gerak terlalu kuat dan mendadak. Jejas (sprain dan strain) merupakan penyebab LBP paling sering. Hal ini dipengaruhi oleh faktor usia, obesitas, dan merokok. Penambahan usia dapat menimbulkan osteoporosis, penurunan kekuatan dan elastisitas otot, serta ligamen. Meskipun perkembangan efek tersebut tidak dapat dihentikan, namun dapat dicegah dengan latihan teratur, makan yang mencukupi, penggunaan otot yang sesuai dan pencegahan merokok (Muchamad, 2009). b.
Diskus Intervertebral Pada usia anak dan remaja, nukleus pulposus jelly like dikelilingi
oleh anulus fibrosus yang lebih kuat. Pada lansia normal, nukleus mulai mirip anulus. Pada usia pertengahan atau produktif dapat terjadi fisura atau robekan, sehingga terjadi protrusi atau mungkin prolaps seperti yang telah disebut di muka. Gerakan yang paling banyak menimbulkan keadaan tersebut adalah gerakan fleksirotasi
atau posisi bungkuk dan rotasi ke lateral
yang mendadak. c.
Sendi Apofiseal atau Sakroiliaka Fasies artikuler antar vertebra lumbar merupakan tempat nyeri pada
10- 15% LBP kronik. Ini disebabkan regio lumbar adalah merupakan motion segment dari kolumna vertebra selain regio servikal. Unit fungsional vertebra adalah motion segment yang dibentuk oleh separuh ruas vertebra di atas dan separuh ruas vertebra di bawahnya. Termasuk juga ligamentum
longitudinal anterior dan posterior, ligamentum flavum, prosesus spinosum dan proses ustransversum berikut ligamen.
Fasiesartikularis
sebenarnya
terdiri
atas kartilago yang denervasi, sedangkan kapsula dan membran sinovial sendi yang diinervasi oleh reseptor nyeri. Perubahan degenerasi menambah beban jaringan penyokong seperti fasies artikular, ligamentum dan kapsul sendi, yang mana hal ini akan memicu sejumlah perubahan seperti pembesaran sinovial dan kapsul sendi, pembentukan jaringan ikat, hilangnya celah sendi dan atau sklerosis tulang sekitarnya. Spur tulang dapat dibentuk pada bulging anulus fibrosus dan korpus vertebra. Berbagai perubahan ini menyebabkan stenosis kanal spinal dan gesekan dengan radik saraf. Keluhan LBP akibat stenosis jenis ini, paling sering diderita oleh pasien umur 60-70 tahun. Juga harus diingat bahwa meskipun sumber LBP persisten,
keluhan nyeri dirasakan pada pantat
sehingga tidak khas sebagai keluhan LBP. d.
Kompresi Saraf atau Radix Pada
daerah
lumbar,
prolaps
diskus
intervertebral
ke
arah
posterolateral akan menjepit radix saraf atau dapat mendorong radik saraf baik ke medial ataupun ke lateral. Radik saraf mungkin menjadi gepeng, melekat pada prolaps, atau membengkak dan menimbulkan reaksi radang. Posisi diantara prolaps dan radik saraf dapat juga berubah (Nencyati, 2010). e.
Metabolik Masalah
metabolik
terutama
metabolisme
tulang
dan diabetes
melitus, dapat menimbulkan degenerasi jaringan ikat, tulang dan saraf
sehingga menimbulkan gejala dari jaringan yang bersangkutan. Osteoporosis dapat mempermudah terjadinya fraktur vertebra, terutama VTh XII, VLI. Fraktur
vertebra
dapat menyebabkan
stenosis
spinal,
skoliosis,
atau
kifosis dengan mechanical LBP. Osteomalacia dan Paget disease dapat pula menyebabkan LBP. Diabetes melitus mengakibatkan degenerasi diskus intervertebral dan meningkatkan insidensi spondilolistesis, sehingga terjadi jejas kompresif jaringan saraf yang menyulitkan terapi (Nencyati, 2010). f.
Faktor Psikologi Nyeri yang berasal dari spinal adalah komplek, merupakan persepsi
stimulasi sensorik dan faktor-faktor psikologik. Susunan saraf pusat (SSP) merubah pesan nyeri dari nosiseptor melalui mekanisme gate control atau proses penghambatan desenden. Sebagai “pain termostat” adalah sistem analgetik yang ditengahi endorfin (the endorphin mediated analgetic system), mempunyai pengaruh yang kuat untuk menghambat nyeri. Posisi dan perilaku memainkan peran yang penting dalam LBP kronik sehingga dapat menyulitkan terapi. Sistem saraf beradaptasi terhadap stimulasi kronik dengan fenomena hipersensitisasi. Hipersensitisasi menurunkan ambang pembakaran (neuronal
firing)
dan
neuronal
mengakibatkan stimulus aferen disebar ke reseptor
yang sebelumnya tidak terlihat. Ini berperan dalam penyebaran nyeri (nyeri rujukan). Nyeri kronik sering dipicu oleh perilaku repetitif, seperti marah, frustasi,
penyalahgunaan
membosankan,
dukungan
alkohol,
dan
keluarga,
besar
faktor
social (pekerjaan yang
gaji, tingkat pendidikan, dan
jaminan asuransi). Sindroma nyeri depresif dapat terjadi pada LBP kronik,
yang memuncak pada 6 bulan sampai 3 tahun setelah onset (Nencyati, 2010). g.
Umur Pengerahan
tenaga
dan
robekan
serta
faktor
keturunan
akan
menyebabkan perubahan degeneratif diskus intervertebral seiring dengan bertambahnya umur, sehingga terjadi penyakit diskus intervertebral atau perubahan aestetik sendi-sendi kecil. Perubahan ini berbeda untuk tiap individu. Bila berat dapat menyebabkan kekakuan dan nyeri punggung bawah. Spur-spur tulang artrostik dan inflamasi sendi dapat menyebabkan iritasi saraf dan nyeri tungkai (Muchamad, 2009). 2.2.3 Patogenesis Ada beberapa mekanisme yang telah diajukan mengenai proses perkembangan nyeri punggung dan kelumpuhan yang bisa digunakan untuk menentukan apakah proses patologis yang terlihat pada gambaran radiologis berhubungan dengan gejala yang dialami pasien. Nyeri pada bagian manapun memerlukan perlepasan dari agen-agen inflamasi yang menstimulasi reseptor nyeri dan menyebabkan sensasi nyeri pada jaringan, tulang belakang merupakan struktur yang unik karena memiliki banyak jaringan di sekitarnya yang dapat memicu nyeri. Inflamasi pada sendi tulang belakang, intervertebral diskus, ligamen dan otot, meninges dan akar saraf dapat menyebabkan nyeri pada punggung bawah. Jaringan-jaringan ini memberikan respon terhadap nyeri dengan melepaskan beberapa agen kimia seperti bradikinin, prostalglandin dan leukotrin. Agen-agen kimia ini mengaktifkan ujung saraf dan menyebabkan impuls yang menjalar ke korda spinalis. Saraf-saraf nosiseptif yang
teraktivasi akan melepaskan neuropeptida, dimana yang paling banyak adalah substansi P. Neuropeptida ini bekerja pada pembuluh darah, menyebabkan ekstravasasi, dan menstimulasi sel mast untuk melepas histamin dan melebarkan pembuluh darah. Sel mast juga melepaskan leukotrin dan agen-agen inflamasi lainnya yang menarik leukosit dan monosit. Proses tersebut menghasilkan gejalagejala inflamasi seperti pembengkakan jaringan, kongesti vaskular, dan stimulasi ujung-ujung saraf bebas. Impuls nyeri tersebut dihasilkan oleh jaringan tulang belakang yang mengalami inflamasi. Korda spinalis dan otak memiliki mekanisme khusus dalam memodifikasi nyeri yang berasal dari daerah jaringan spinal. Di korda spinalis, impuls nyeri terkonversi pada neuron yang juga menjadi reseptor sensoris. Hal ini menyebabkan perubahan derajat sensasi nyeri yang ditransmisikan ke otak melalui proses yang disebut gate control system. Impuls nyeri selanjutnya akan masuk ke proses yang kompleks dan berlangsung pada berbagai tingakatan system saraf pusat. Otak akan mengeluarkan substansi kimiawi yang merespon nyeri yang disebut endorfin. Endorfin merupakan analgesik alami yang dapat menghambat respon terhadap nyeri melalui serotonorgic pathway (Muchamad, 2009) 2.2.4 1.
Klasifikasi
NPB akut a) Nyeri akut yang berpangkal pada tulang, yaitu: metastasis vertebra, osteoporosis, osteomyelitis vertebra, fraktur. b) Nyeri akut yang berpangkal pada otot dan atau syaraf, yaitu: syndrome nyeri myofacial, nyeri radikuler tanpa kelainan spinal, HNP.
2.
NPB kronis a) Nyeri Nosiseptif somatis, misal: peoses degeneratif pada spina dan atau diskus, spondilolisthesis, syndroma nyeri myofacial. b) Nyeri Nosiseptif viseral, misal: nyeri rujukan dari organ pelvis, rongga retroperitoneal, kandung empedu, kelenjar pangkreas. c) Nyeri neuropatik, misal: spinal stenosis, neoplasma (tumor). d) Nyeri Psikogenik, misal: histeris, depresi.
3.
Failed Low Back Syndrome a) Nyeri berkepanjangan pasca terapi, secara khusus diartikan sebagai nyeri. b) berkepanjangan pasca bedah atau komplikasi pembedahan.
4.
Non cancer chronic back syndrome Nyeri yang disebabkan oleh sebab organik yang berkaitan dengan kesan nyeri yang abnormal (Kantana, 2010).
2.2.5
Gejala dan Tanda-tanda LBP Gejala klinis yang utama pada LBP adalah nyeri. Nyeri punggung bawah
dapat bersifat sementara atau menetap dan lokal atau menjalar. Nyeri juga dapat bersifat dangkal atau dalam. Hal ini bergantung pada penyebab dan jenis nyeri. Terdapat berbagai jenis nyeri punggung: a)
Nyeri lokal, terjadi di area tertentu di punggung bagian bawah. Nyeri jenis ini paling sering terjadi. Penyebabnya biasa karena terkilir atau keseleo atau cedera lainnya. Nyeri biasanya menetap, atau terkadang hilang timbul. Nyeri lokal dapat berkurang atau bertambah dengan perubahan posisi. Punggung bawah dapat sakit saat dipegang, dapat terjadi spasme otot. Nyeri yang
menjalar, nyeri bersifat tumpul dan terasa menjalar dari punggung bawah ke tungkai. Nyeri dapat diikuti dengan nyeri tajam, biasanya hanya mengenai satu sisi tungkai daripada seluruh tungkai. Nyeri dapat terasa sampai ke kaki atau hanya sampai lutut. Nyeri yang menjalar biasanya menandakan adanya penekanan pangkal saraf, misalnya karena HNP, osteoartritis atau stenosis tulang belakang. Batuk, bersin, mengedan atau membungkuk sambil menjaga kaki agar tetap lurus dapat memicu munculnya nyeri. Jika terdapat penekanan berat pada pangkal saraf, atau jika korda spinalis tertekan, maka akan timbul rasa seperti ditusuk jarum, atau bahkan mati rasa dan hilangnya fungsi pengendalian berkemih dan pencernaan (inkontinensia). b) Referred pain, nyeri dirasakan pada lokasi berbeda dari lokasi penyebab nyeri sebenarnya. Misalnya, pada pasien dengan serangan jantung, nyeri dirasakan pada lengan kiri. Nyeri jenis ini pada punggung bawah cenderung bersifat sakit dan dalam, dan sulit untuk menentukan lokasi asal nyeri. Pergerakan tidak memperberat nyeri tersebut (Halimah, 2009). 2.2.6
Diagnosis Ketika rasa sakit yang parah dan tidak hilang dalam waktu 6 sampai 12
minggu, diagnosis tambahan menjadi lebih penting untuk menentukan perawatan lebih lanjut. Alat diagnostik mencakup: a)
X-ray: memberikan informasi pada tulang belakang, digunakan untuk menguji ketidakstabilan tulang belakang, tumor dan patah tulang.
b) CT scan: menangkap penampang gambar cakram tulang dan tulang belakang, dapat digunakan untuk memeriksa herniated disc atau spinal stenosis
c)
Myelogram: memungkinkan identifikasi masalah dalam tulang belakang, sumsum tulang belakang dan akar saraf. Suntikan pewarna kontras menerangi tulang belakang sebelum x-ray atau CT-scan.
d) MRI scan: menampilkan rinci penampang komponen tulang belakang. Berguna untuk menilai masalah dengan cakram lumbar dan akar saraf, serta mengesampingkan penyebab nyeri punggung bawah seperti infeksi tulang belakang atau tumor. Biasanya spesialis tulang belakang akan memiliki gambaran yang baik dari penyebab nyeri pasien dari gejala-gejala pasien dan pemeriksaan fisik, dan akan menggunakan tes diagnostik di atas untuk mengkonfirmasi
dan
mengklarifikasi
diagnosis
dan
atau
untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari gejala-gejala pasien (Halimah, 2009). Diagnosis Banding Diagnosa banding LPB, diantaranya : a)
Cedera tendon achilles
b) Nyeri coccygeal c)
Kompresi lumbal akibat fraktur
d) Penyakit degeneratif diskus intervertebralis e)
Spondylosis lumbal
f)
Spondylolisthesis
2.2.7
Penatalaksanaan Jika penyebab spesifik terjadinya nyeri punggung bawah dapat diketahui,
maka perlu diatasi penyebab tersebut. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
penyebab nyeri muskuloskeletal. Tetapi terdapat beberapa tindakan yang dapat membantu, biasanya tindakan ini juga dapat digunakan untuk mengatasi nyeri akibat penekanan tulang belakang. Tindakan ini meliputi: perbaiki aktifitas, menggunakan obat pereda nyeri, kompres hangat atau dingin pada daerah nyeri, dan olahraga. Untuk nyeri punggung bawah yang baru terjadi, penanganan dimulai dengan mencegah aktivitas yang memberi stressor pada tulang belakang, misalnya mengangkat benda berat dan membungkuk. Penggunaan Acetaminophen terkadang dianjurkan untuk mengatasi nyeri. Jika terdapat peradangan maka dapat digunakan obat NSAID yang dapat mengatasi nyeri dan peradangan. Jika keduanya tidak dapatmengatasi nyeri yang ada, maka dapat digunakan obat golongan Opioid. Pemakaian relaksan otot seperti cyclobenzaprine, diazepam, atau methocarbamol, terkadang diperlukan untuk mengatasi spasme otot, tapi kegunaannya sendiri masih kontroversial. Obat obat ini tidak danjurkan oleh orang tua, karena lebih sering memberi efek samping (Halimah, 2009). Biasanya low back pain hilang secara spontan. Kekambuhan sering terjadi karena aktivitas yang disertai pembebanan tertentu. Penderita yang sering mengalami kekambuhan harus diteliti untuk menyingkirkan kelainan neurologik yang mungkin tidak jelas sumbernya. Berbagai telaah yang dilakukan untuk melihat perjalanan penyakit menunjukkan bahwa proporsi pasien yang masih menderita low back pain selama 12 bulan adalah sebesar 62% (kisaran 42-75%), agak bertentangan dengan pendapat umum bahwa 90% gejala low back pain akan hilang dalam 1 bulan (Septiawan, 2012).
Penanganan
terbaik
terhadap
penderita
LBP
adalah
dengan
menghilangkan penyebabnya (kausal) walaupun tentu saja pasien pasti lebih memilih untuk menghilangkan rasa sakitnya terlebih dahulu (simptomatis). Jadi perlu digunakan kombinasi antara pengobatan kausal dan simptomatis. Secara kausal, penyebab nyeri akan diatasi sesuai kasus penyebabnya. Misalnya untuk penderita yang kekurangan vitamin saraf akan diberikan vitamin tambahan. Para perokok dan pecandu alkohol yang menderita LBP akan disarankan untuk mengurangi konsumsinya (Halimah, 2009). Pengobatan simptomatik dilakukan dengan menggunakan obat untuk menghilangkan gejala-gejala seperti nyeri, pegal, atau kesemutan. Pada kasus LBP karena tegang otot dapat dipergunakan Tizanidine yang berfungsi untuk mengendorkan kontraksi otot (muscle relaxan). Untuk pengobatan simptomatis lainnya kadang-kadang memerlukan campuran antara obat-obat analgesik, anti inflamasi, NSAID, obat penenang, dan lain-lain. Apabila dengan pengobatan biasa tidak berhasil, mungkin diperlukan tindakan fisioterapi dengan alat-alat khusus maupun dengan traksi (penarikan tulang belakang). Tindakan operasi mungkin diperlukan apabila pengobatan dengan fisioterapi ini tidak berhasil misalnya pada kasus HNP atau pada pengapuran yang berat. Jadi, penatalaksanaan LBP ini memang cukup kompleks. Di samping berobat pada spesialis penyakit saraf (neurolog), mungkin juga diperlukan berobat ke spesialis penyakit dalam (internist), bedah saraf, bedah orthopedic bahkan mungkin perlu konsultasi pada psikiater atau psikolog. Dalam beberapa kasus, masih banyak kasus dokter menyarankan istirahat total untuk penyembuhan kasus low back pain, padahal
penelitian baru menyatakan bahwa aktivitas yang kurang tidak akan mengurangi gejala low back pain (Septiawan, 2012). Beragamnya penyebab LBP menuntut penatalaksanaan yang bervariasi pula. Meski demikian, pada dasarnya dikenal dua tahapan terapi LBP yaitu: a.
Terapi Konservatif, yang meliputi rehat baring, medikamentosa dan fisioterapi.
b.
Terapi Operatif, kedua tahapan ini memiliki kesamaan tujuan yaitu rehabilitasi. Pengobatan nyeri punggung sangat tergantung penyebabnya. Lain
penyebab, lain pula pengobatannya. Terdapat beragam tindakan untuk nyeri punggung, dari yang paling sederhana yaitu istirahat (bedrest), misalnya untuk kasus otot tertarik atau ligamen sprain, sampai penanganan yang sangat canggih, seperti mengganti bantal tulang belakang. Jika dengan bedrest tidak juga sembuh, maka harus ditingkatkan dengan pemeriksaan sinar X atau dengan MRI (magnetic resonance imaging). Setelah itu, bisa dilakukan fisioterapi, pengobatan dengan suntikan, muscle exercise, hingga operasi. Masih ada lagi teknik pengobatan lain, misalnya melalui pembedahan dengan endoskopi (spinal surgery), metode pasang pen, sampai penggantian bantalan tulang (Suharto, 2005). Mengatasi low back pain juga tidak cukup dengan obat atau fisioterapi. Hal itu hanya mengurangi nyeri, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Penderita harus
menjalani
pemeriksaan
untuk
mengetahui
sumber
masalahnya.
Penyembuhan bisa melalui pembedahan atau latihan mengubah kebiasaan yang menyebabkan nyeri. Latihan itu menggunakan alat-alat pelatihan medis untuk
melatih otot-otot utama yang berperan dalam menstabilkan serta mengokohkan tulang punggung (Suharto, 2005). 2.2.8
Pencegahan Cara yang paling efektif untuk mencegah nyeri punggung bawah adalah
dengan olahraga secara teratur. Latihan aerobik dan olahraga untuk meregangkan dan mengencangkan otot sangat membantu (Nencyati, 2010). Aerobik, berenang dan berjalan, memperbaiki kebugaran tubuh secara menyeluruh dan juga memperkuat otot-otot. Latihan tertentu dapat meregangkan dan memperkuat otot-otot perut, bokong, dan punggung sehingga dapat menstabilkan tulang punggung. Pada beberapa orang, latihan peregangan dapat menambah nyeri punggung, untuk itu latihan perlu dilakukan secara hati-hati. Secara umum, olahraga yang menimbulkan atau menambah nyeri harus dihentikan (Halimah, 2009). 2.2.9
Prognosis Prognosis LBP baik pada tipe mekanik. Setelah 1 bulan pengobatan, 35%
pasien dilaporkan membaik, dan 85% pasien membaik setelah 3 bulan. Dilaporkan tingkat kekumatan LBP mencapai 62% pada tahun pertama. Setelah 2 tahun, 80% pasien setidaknya mengalami satu kali kekumatan (Prayugo, 2012).
2.3
Faktor Resiko Nyeri Punggung Bawah Berdasarkan studi yang dilakukan secara klinik, biomekanika, fisiologi
dan epidemiologi didapatkan kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya LBP akibat bekerja (Olviana, 2013 ) yaitu:
a.
Faktor Personal 1. Usia Jumlah tahun yang dihitung sejak kelahiran responden sampai saat
dilakukan penelitian berdasarkan ulang tahun terakhir. Pada umumnya keluhan otot sekeletal mulai dirasakan pada usia kerja 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun, sehingga resiko terjadi keluhan otot meningkat (Tarwaka, 2004). 2. Indeks Massa Tubuh (IMT) Berat badan yang berada dibawah batas minimum dinyatakan sebagai kekurusan dan berat badan yang berada di atas batas maksimum dinyatakan sebagai kegemukan. Laporan FAO dan WHO tahun 1985 bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan Body Mass Index (BMI). Di indonesia istilah ini diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal dapat menghindari seseorang dari berbagai macam penyakit. Perhitungan IMT yaitu BB dibagi TB kuadrat atau dengan rumus : Berat Badan (kg) IMT = Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia Kategori Kurus
Kekurangan berat badan tingkat berat
< 17,0
Kekurangan berta badan tingkat ringan
17,0-18,5 >18,5-25,0
Normal Gemuk
IMT
Kelebihan berat badan tingkat ringan
>25,0-27,0
Kelebihan berta badan tingkat berat
>27,0
Sumber: Septiawan, 2012 3. Masa Kerja Masa kerja adalah lama seseorang bekerja dihitung dari pertama masuk hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja ini menunjukan lamanya seseorang terkena paparan di tempat kerja hinggan saat penelitian. Semakain lama masa kerja seseorang, semakin lama terkena paparan ditempat kerja sehingga semakin tinggi resiko terjadinya penyakit akibat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Between Lutam (2005) menyatakan bahwa resiko nyeri punggung sangat berhubungan dengan lama kerja. Semakin lama bekerja, semakin tinggi tingkat resiko untuk menderita nyeri punggung. Pekerja yang memiliki masa kerja >5 tahun memiliki tingkat resiko 7,26 kali lebih besar menderita nyeri punggung dibanding dengan yang memilki masa kerja <5 tahun. 4. Lama Kerja Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam. Sisanya (16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga atau masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari
kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit, dan kecelakaan. Dalam seminggu biasanya seseorang dapat bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Lebih dari itu terlihat kecenderungan untuk timbulnya hal-hal negatif. Makin panjang waktu kerja, makin besar kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Jumlah 40 jam kerja seminggu ini dapat dibuat 5 atau 6 hari kerja tergantung kepada berbagai faktor (Suma’mur, 2009). Maksimum waktu kerja tambahan yang masih efisien adalah 30 menit. Sedangkan diantara waktu kerja harus disediakan istirahat yang jumlahnya antara 15-30% dari seluruh waktu kerja. Apabila jam kerja melebihi dari ketentuan tersebut akan ditemukan hal-hal seperti penurunan kecepatan kerja, gangguan kesehatan, angka absensi karena sakit meningkat, yang dapat mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas kerja (Tarwaka, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2005) tentang beberapa faktor ergonomi yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pengemudi
angkutan
kota
jurusan
Gunungsari-Celancang (PP)
Cirebon
menunjukan ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah (p=0,050). 5. Kebiasaan Merokok Perokok lebih beresiko terkena NPB dibandingkan dengan yang bukan perokok. Diperkirakan hal ini disebabkan oleh penurunan pasokan oksigen ke cakram dan berkurangnya oksigen darah akibat nikotin terhadap penyempitan pembuluh darah arteri. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan nyeri punggung
karena perokok memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan pada peredaran darahnya, termasuk ke tulang belakang (Septiawan, 2012). Pengaruh kebiasaan merokok terhadap resiko keluhan otot memiliki hubungan erat dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Boshuizen et al. (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru yang diakibatkan adanya kandungan karbon monoksida sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya tingkat kesegaran menurun. Apabila yanag bersangkutan melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi penumpukan asam laktat, dan akhirnya timbul nyeri otot (Tarwaka, 2004). Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Resiko meningkat 20% untuk tiap 10 batang rokok per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama setahun memiliki resiko LBP sama dengan mereka yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah. Boshuizen et al (1993) menemukan hubungan yang signifikan antar kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya
untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, karena nikotin pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu, merokok dapat pula menyebabkan berkurangnya kandungan mineral pada tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada tulang (Septiawan, 2012). Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari. Jenis perokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu : a. Perokok ringan, disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang per hari. b. Perokok sedang, disebut perokok sedang jika menghisap 10 – 20 batang per hari. c. Perokok berat, disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang perhari. 6. Kebiasaan Olahraga Aerobic fitness meningkatkan kemampuan kontraksi otot. Delapan puluh persen (80%) kasus nyeri tulang punggung disebabkan karena buruknya tingkat kelenturan (tonus) otot atau kurang berolah raga. Otot yang lemah terutama pada daerah perut tidak mampu menyokong punggung secara maksimal. Tingkat keluhan otot juga dipengaruhi oleh tingkat kesegaran jasmani. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka risiko terjadinya keluhan adalah 7,1% tingkat kesegaran jasmani yang sedang risiko terjadinya gangguan otot rangka adalah 3,2% dan tingkat kesegaran jasmani yang tinggi maka resiko untuk terjadinya keluhan otot rangka 0,8% (Katana, 2010).
b.
Faktor Pekerjaan 1. Beban Kerja Beban kerja adalah beban pekerjaan yang ditanggung oleh pelakunya baik
fisik, mental, maupun sosial (Suma’mur, 2009). Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005) beban kerja adalah setiap pekerjaan yang memerlukan otot atau pemikiran yang merupakan beban bagi pelakunya, beban tersebut meliputi beban fisik, mental ataupun beban sosial sesuai dengan jenis pekerjaanya. Faktor yang memengaruhi beban kerja, menurut Rodahl (1989) dan Manuaba ( 2000 ) bahwa secara umum hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat komplek, baik faktor internal maupun faktor eksternal dalam penelitian (Siswiyanti, 2011). Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah tugas (task) itu sendiri, organisasi dan lingkungan kerja. Ketiga aspek ini sering disebut sebagai stressor. 1) Tugas–tugas (task) yang dilakukan baik yang bersifat fisik seperti, stasiun kerja, tata ruangan tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja, sikap kerja, cara angkat–angkut, beban yang diangkat–ngkut, alat bantu kerja, sarana informasi termasuk displai dan control, dan alur kerja. Sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental seperti, kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang memengaruhi tingkat emosi pekerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan lain-lain. 2) Organisasi kerja yang dapat memengaruhi beban kerja, seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan,
sistem kerja, musik kerja, model sturktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenag. 3) Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada pekerja adalah : Lingkungan kerja fisik, seperti: mikrolimat (suhu udara ambient, kelembaban udara, kecepatan rambat udara, suhu radiasi), intensitas penerangan, intensitas kebisingan, vibrasi mekanis, dan tekanan udara. Lingkungan kerja kimiawi, seperti: debu, gas–gas pencemar udara, uap logam , dan fume dalam udara. Lingkungan kerja biologi, seperti: pemilihan dan penempatan tenaga kerja, hubungan antara pekerja dengan pekerja, pekerja dengan atasan, pekerja dengan keluarga, dan pekerja dengan lingkungan social yang berdampak kepada performansi kerja di tempat kerja. Beban kerja oleh karena faktor internal, faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiris sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal. Reaksi tubuh tersebut dikenal sebagai strain. Berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis. Sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi psikologis dan perubahan prilaku. Karena itu strain secara subjektif berkait erat dengan harapan, keinginan, kepuasann dan penilaian subjektif lainnya. Secara lebih ringkas faktor internal meliputi :
a)
Faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan, status gizi ).
b) Faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan). Cara Pengukuran denyut nadi sebagai indikator beban kerja adalah sebagai berikut : 1.
Stopwatch disiapkan.
2.
Pergelangan tangan disiapkan untuk dipalpasi.
3.
Digunakan 2 jari tangan (2 atau 3 jari paling sensitif).
4.
Ujung jari disiapkan di ujung arteri radialis sampai denyut maksimal teraba.
5.
Denyut nadi dihitung menggunakan metode 10 denyut.
6.
Denyut nadi dihitung sebelum bekerja dan sesudah bekerja.
7.
Hasil pengukuran dicatat dalam formulir yang telah disediakan. Rentangan Denyut Nadi Kaitannya dengan Beban Kerja No
Rentangan nadi kerja
Beban kerja yang di lakukan
(permenit) 1
60 - 70
Sangat rendah=istirahat
2
75 - 100
Ringan
3
100 - 125
Sedang
4
125 - 150
Berat
5
150 - 175
Sangat berat
6
Diatas 175
Luar biasa beratnya
Sumber: Siswiyanti, 2011
2. Sikap Kerja Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lainlain. Sikap kerja tersebut dilakukan tergantung dari kondisi dari sistem kerja yang ada. Jika kondisi sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan kerja, karena pekerja melakukan pekerjaan yang tidak aman. Menurut Bridger, (1995) sikap kerja yang salah, canggung, dan di luar kebiasaan akan menambah resiko cidera pada bagian sistem muskuloskeletal (Astuti, 2007). Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu: 1. Sikap Kerja Duduk Ukuran tubuh yang penting adalah tinggi duduk, panjang lengan atas, panjang lengan bawah dan tangan, jarak lekuk lutut dan garis punggung, serta jarak lekuk lutut dan telapak kaki. Posisi duduk pada otot rangka (musculoskletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar. Tekanan posisi tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk dilakukan membungkuk kedepan (Septiawan, 2012). 2. Sikap Kerja Berdiri Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering dilakukan ketika melakukan sesuatu pekerjaan. Berat tubuh manusia akan ditopang oleh satu ataupun kedua kaki ketika melakukan posisi berdiri. Aliran
beban berat tubuh mengalir pada kedua kaki menuju tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya gravitasi bumi. Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi posisi kedua kaki. Kaki yang sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan menjaga tubuh dari tergelincir. Selain itu perlu menjaga kelurusan antara anggota bagian atas dengan anggota bagian bawah (Astuti, 2007). Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki dan hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Sikap kerja berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk (Rizki, 2007) dalam penelitian (Septiawan, 2012). Waktu berdiri terjadi gerakan torsi adalah gerak putar korpus vertebra akibat gaya mekanik yang dipengaruhi oleh diskus intervertebralis 1 sendi faset dan ligamen-ligamen interspinal. Gerak torsi sering menimbulkan kerusakan diskus yang mempercepat proses degenerasi diskus. Gerak gesek (shering force) antara korpus vertebra menimbulkan pembebanan pada faset akan bertambah. Pembebanan asimetris berkaitan dengan postur tubuh saat aktivitas postur yang seimbang pada waktu berdiri terlalu lama. Akibat lama berdiri menyebabkan nyeri punggung bawah yang dapat mengganggu aktivitas serta dapat meningkatkan biaya pengobatan (Pudjianto, 2001) dalam penelitian (Septiawan, 2012).
3. Sikap Keja Membungkuk Salah satu sikap kerja yang tidak nyaman untuk diterapkan dalam pekerjaan adalah membungkuk. Posisi ini tidak menjaga kestabilan tubuh ketika bekerja. Pekerja mengalami keluhan nyeri pada bagian punggung bagian bawah bila dilakukan secara berulang dan periode yang cukup lama. Pada saat membungkuk tulang punggung bergerak ke sisi depan tubuh. Otot bagian perut dan sisi depan invertebratal disk pada bagian lumbar mengalami penekanan. Pada bagian ligamen sisi belakang dari invertebratal disk justru mengalami peregangan atau pelenturan. Kondisi ini akan menyebabkan rasa nyeri pada punggung bagian bawah. Bila sikap kerja ini dilakukan dengan beban pengangkatan yang berat dapat menimbulkan slipped disk , yaitu rusaknya bagian invertebratal disk akibat kelebihan beban pengangkatan (Astuti, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Diana Samara (2005) tentang sikap membungkuk dan memutar selama bekerja sebagai faktor resiko nyeri punggung bawah menunjukan bahwa sikap kerja membungkuk memperbesar resiko nyeri punggung bawah sebesar 2,68 kali dibandingkan dengan pekerja dengan sikap badan tegak .
2.4.
Rapid Entire Body Assessment (REBA) Rapid Entire Body Assissment (REBA) adalah suatu metode dalam bidang
ergonomi yang digunakan secara cepat untuk menilai postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang pekerja. REBA adalah alar penganalisa postur tubuh yang bisa memeriksa aktivitas kerja (Modul Praktikum
"Sistem Kerja dan Ergonomi"). Metode ini juga dilengkapi dengan faktor coupling, beban ekstemal, dan aktivitas kerja. Dalam metode ini, segmen-segmen tubuh dibagi menjadi dua grup, yaitu grup A dan Grup B. Grup A terdiri dari punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sedangkan grup B terdiri dari lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Penentuan skor REBA yang mengindikasikan level resiko dari postur kerja, dimulai dengan menentukan skor A untuk postur-postur gmp A ditambah dengan skor beban (load) dan skor B untuk postur-postur gmp B ditambah dengan skor coupling. Kedua skor tersebut (skor A dan B) digunakan untuk menentukan skor C. Skor REBA diperoleh dengan menambahkan skor aktivitas pada skor C. Dari nilai REBA dapat diketahui level resiko cedera. Pengembangan Rapid Entire Body Assissment (REBA) terdiri atas 3 (tiga) tahapan, yaitu: 1. Mengidentifikasikan kerja 2. Sistem pemberian skor 3. Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat yang ada, dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang lebih detail berkaitan dengan analisis yang didapat. Setelah diperoleh skor REBA, yang bemilai 1 sampai 15 menunjukkan level tindakan (action level) sebagai berikut: Action level 0: Skor 1 menunjukkan bahwa postur ini sangat diterima dan tidak perlu tindakan. Action level 1: Skor 2 atau 3 menunjukkan bahwa mungkin diperlukan pemeriksaan lanjutan.
Action level 2: Skor 4 sampai 7 menunjukkan bahwa perlu tindakan pemeriksaaan dan perubahan perlu dilakukan. Action level 3: Skor 8 sampai 10 menunjukkan bahwa perlu pemeriksaan dan perubahan diperlukan secepatnya. Action level 4: Skor 11 sampai 15 menunjukkan bahwa kondisi ini berbahaya maka pemeriksaan dan perubahan diperlukan dengan segera atau saat itu juga dalam penelitian (Sutrio, 2011).
2.5.
Kerangka konsep
Faktor Personal -Usia -IMT -Masa kerja -Lama kerja -Kebiasaan Merokok -Kebiasaan olahraga Terjadinya Low Back Pain Faktor IMT Pekerjaan -Beban kerja - Sikap kerja
2.6.
Hipotesis 1. Ada hubungan antara usia dengan terjadinya nyeri punggung bawah (Low Back Pain). 2. Ada hubungan antara IMT dengan terjadinya nyeri punggung bawah (Low Back Pain). 3. Ada hubungan antara masa kerja dengan terjadinya nyeri punngung bawah (Low Back Pain). 4. Ada hubungan antara lama kerja dengan terjadinya nyeri punggung bawah (Low Back Pain). 5. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan terjadinya nyeri punngung bawah (Low Back Pain). 6. Ada hubungan antara kebiasaan berolahraga dengan terjadinya nyeri punngung bawah (Low Back Pain). 7. Ada hubungan antara beban kerja dengan terjadinya nyeri punggung bawah (Low Back Pain). 8. Ada hubungan antara sikap kerja dengan terjadinya nyeri punggung bawah (Low Back Pain).