BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1
Landasan Teori 2.1.1
Pengertian Akuntansi Sebelum mengadakan analisa terhadap perusahaan sebaiknya
diketahui terlebih dahulu pemahaman mengenai aktivitas – aktivitas dan laporan keuangan secara keseluruhan serta latar belakang dari data keuangan perusahaan. Maka sebaiknya diketahui makna dari akuntansi hingga pembuatan laporan keuangan. Belkaoui (2011) dalam bukunya, Definisi akuntansi seperti yang diberikan oleh Komite Teknologi dari American Institute of Certified Public Accountants mendifinisikan, “Akuntansi adalah suatu seni pencatatan, pengklasifikasikan, pengikhtisaran dalam cara yang signifikan dan satuan mata uang, transaksi – transaksi dan
kejadian
–
kejadian
yang paling tidak sebagian diantaranya, memiliki sifat keuangan, dan selanjutnya menginterprestasikaan hasilnya”. Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa akuntasi adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan informasi yang bersifat keuangan pada suatu perusahaan yang dapat digunakan oleh pihak – pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan tersebut dalam mengambil keputusan ekonomi. 2.1.2 Pengertian Laporan Keuangan Laporan keuangan pada dasarnya ingin melaporkan kegiatan – 6
7
kegiatan perusahaan : kegiatan investasi, kegiatan pendanaan, dan kegiatan operasional sekaligus mengevaluasi untuk
mencapai
disusun
untuk
tujuan
yang
memberikan
keberhasilan ingin dicapai.
gambaran
atau
strategi Laporan
perusahaan keuangan
laporan perkembangan
perusahaan secara periodik, berkenanaan dengan kondisi keuangan perusahaan selama periode yang bersangkutan. Munawir (2010) mendefinisikan, “ Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak – pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut”.
2.1.3
Tujuan Laporan Keuangan Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2012), tujuan laporan
keuangan adalah sebagai berikut : a. Menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. b. Laporan keuangan disusun untuk memenuhi kebutuhan bersama oleh sebagian besar pemakainya, yang secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian masa lalu. c. Laporan keuangan juga menunjukan apa yang dilakukan manajemen atau pertanggung yang
jawaban
dipercayakan kepadanya.
manajemen
atas
sumber
daya
8
Mengacu pada Munawir pihak – pihak yang berkepentingan terhadap posisi keuangan maupun perkembangan suatu perusahaan adalah : a. Pemilik
perusahaan,
sangat
membutuhkan
informasi
yang
memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar deviden dan dapat membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi. b. Manajemen Perusahaan, menggunakan laporan keuangan untuk mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas setiap kegiatan, perlu atau tidaknya kebijakan baru, dan sebagai alat untuk pertanggungjawaban pengelola terhadap pemilik. c.
Karyawan,
tertarik
pada
informasi
mengenai
stabilitas
dan
profitabilitias perusahaan yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja. d. Para investor, dalam rangka penentuan kebijakan penanam modalnya, apakah perusahaan mempunyai prospek yang cukup baik dan akan diperoleh keuntungan yang cukup baik. e. Para Kreditur dan bankers, untuk mengetahui apakah kredit yang akan diberikan itu cukup mendapat jaminan dari perusahaan tersebut, yang digambarkan atau terlihat pada kemampuan perusahaan dalam membayar kewajibannya dengan terlebih dahulu melihat posisi keuangan perusahaan. f. Pemerintah, sangat berkepentingan dalam menentukan
9
besarnya pajak yang harus ditanggung perusahaan. 2.1.4 Pengertian Umum Tentang Pajak Pajak memiliki berbagai defenisi, yang pada hakekatnya mempunyai pengertian yang sama. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai berikut:
a. Menurut Purwono (2010, 7 ) pajak menurut Pasal 1 Undang - Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan didefinisikan sebagai: “ Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar - besarnya kemakmuran rakyat”. Dari pengertian pajak yang disebutkan diatas, dapat ditarik kesimpulan, terdapat 5 unsur dalam pengertian pajak: a. pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang, b. sifatnya dapat dipaksakan, c. tidak ada kontraprestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak, d. pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, e. pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik pembangunan maupun rutin.
10
2.1.4.1 Fungsi Pajak Menurut Soemitro (2010:7) Ada dua fungsi pajak, yaitu 1. Fungsi budgetir Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran – pengeluarannya. 2. Fungsi Mengatur ( regulerend ) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang – barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak ekspor sebesar 0 %, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. 2.1.4.2 Jenis pajak A. Menurut Soemitro (2010:9) Jenis pajak berdasarkan pihak yang menanggung : 1. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain Contoh : PPh, PBB.
11
2. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain Contoh : Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai dan Cukai. Jenis pajak berdasarkan pihak yang memungut: 1. Pajak Negara atau Pajak Pusat, adalah pajak yang
dipungut
oleh pemerintah pusat. Pajak pusat merupakan salah satu sumber penerimaan
negara. Contoh : PPh, PPN, PPn dan Bea
Materai. 2. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintahan daerah. Contoh : Pajak tontonan, pajak reklame, PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) PBB, Iuran kebersihan, Retribusi terminal, Retribusi parkir, Retribusi galian pasir. Jenis pajak berdasarkan sifatnya: 1. Pajak Subjektif, adalah pajak yang memperhatikan kondisi keadaan wajib pajak. Dalam hal ini penentuan besarnya pajak harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan kemampuan membayar wajib pajak. Contoh : PPh. 2. Pajak Objektif, adalah pajak yang berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : PPN, PBB, PPn-BM.
12
2.1.4.3 Sistem pemungutan Pajak Menurut waluyo (2011: 16 ) Pada dasarnya terdapat 3 ( tiga ) cara atau sistem yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang oleh seseorang, yaitu : 1.
Official Assesment System
Official Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus. Dalam system ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus ( sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak ). Jadi dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif. 2. Self Assesment System Self Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sistem ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ), sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan. 3.
With Holding System
With Holding System yaitu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang dihitung oleh pihak ketiga ( yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus ).
13
2.1.5
Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
2.1.5.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) Dasar hukum pajak pertambahan nilai tertera pada Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983 nomor 8 yang mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai ( PPN ) dan pajak penjualan atas barang mewah ( PPn Bm ) tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang – undang nomor 18 tahun 2000. Undang – undang ini disebut undang – undang pajak pertambahan nilai 1984. Dan yang dimaksud Pajak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di daerah Pabean ( didalam negeri ) yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Menurut Mardiasmo (2010:217), yang dimaksud Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dipungut secara tidak langsung atas penyerahan barang dan jasa kena pajak untuk keperluan konsumsi barang dan jasa dalam negeri. Menurut Valentina Sri dan Aji Suryo (2011 : 4) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri (dalam daerah pabean). Pertambahan Nilai timbul karena digunakannya faktor-faktor produksi
dalam
menyiapkan,
menghasilkan,
memperdagangkan barang atau jasa kepada konsumen.
menyalurkan
dan
14
Sedangkan menurut Sukardji (2010 : 22) PPN adalah “pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan perseorangan maupun badan baik baik badan swasta maupun badan pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja negara”. .Berdasarkan objek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah konsumsi barang dan jasa, maka Pajak Pertambahan Nilai secara bebas dapat diartikan pajak yang dikenakan atas pertambahan nilai suatu barang atau jasa. Secara matematis pertambahan nilai atau nilai tambah suatu barang atau jasa dapat dihitung dari nilai/harga penjualan dikurangi nilai/harga pembelian, sehingga salah satu unsur pertambahan nilai atau nilai tambah suatu barang atau jasa adalah laba yang diharapkan.
2.1.5.2 Subyek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Valentina dan Aji Suryo (2011 : 4), Subyek PPN dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Pengusaha Kena Pajak 1. Yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak. 2. Yang mengekspor Barang Kena Pajak yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak.
15
3. Yang menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan adalah Pengusaha Kena Pajak. 4. Bentuk kerjasama operasi yang apabila menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak.
b. Bukan Pengusaha Kena Pajak Subyek PPN tidak harus Pengusaha Kena Pajak, tetapi dapat menjadi subyek PPN. Hal ini disebabkan karena PPN dikenakan terhadap konsumsi yang dilakukan didalam negeri. Oleh sebab itu, ketika konsumsi dilakukan atas BKP dan atau JKP yang berasal dari luar daerah pabean oleh konsumen dalam negeri, maka PPN yang terutang akan dibayar sendiri oleh konsumen tanpa memperhatian apakah konsumen tersebut PKP. Menurut Mardiasmo (2010 : 83), yang menjadi Subyek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak berdasarkan Undang-Undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
16
2.1.5.3 Obyek Pajak Pertambahan Nilai Obyek PPN adalah ; a.
Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat dan
atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang. b.
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan
suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang. Subyek PPh dibedakan menjadi Obyek PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Ada enam kegiatan yang ditegaskan dalam Undang undang PPN sebagai obyek PPN, yaitu : a. Penyerahan Barang Kena Pajak didalam daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. b. Impor Barang Kena Pajak. c. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan didalam daerah pabean oleh Pengusaha. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.
17
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean didalam daerah pabean. f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2.1.5.4 Faktur pajak Menurut Mardiasmo (2010 : 82), Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena impor BKP.
Terdapat 3 (tiga) jenis Faktur Pajak menurut Undang – undang PPN, yaitu:
1. Faktur Pajak Standar, termasuk dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar; 2. Faktur Pajak Gabungan dan; 3. Faktur Pajak Sederhana.
Faktur Pajak Standar harus memenuhi syarat formal maupun material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah bahwa Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat keterangan: Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP, Jenis Barang atau Jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga, PPN yang dipungut, PPnBM yang dipungut, Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak, dan nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.
18
Faktur Pajak gabungan harus memenuhi syarat formal maupun material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah :
•
Faktur Pajak Standar yang cara penggunaannya diperkenankan kepada PKP atas beberapa kali penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang sama yang dilakukan dalam satu Masa Pajak, dan harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP/ JKP.
•
Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP/ JKP atau terdapat pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat Faktur Pajak tersendiri pada saat diterima pembayaran.
•
Tanggal penyerahan/ pembayaran pada Faktur Pajak diisi dengan tanggal awal penyerahan BKP/ JKP sampai dengan tanggal terakhir dari Masa Pajak yang dibuatkan Faktur Pajak Gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal penyerahan dari masing-masing Faktur Penjualan.
Yang dimaksud faktur pajak sederhana adalah :
1.
Dokumen yang disamakan fungsinya dengan Faktur Pajak, yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap atau penyerahan BKP/JKP secara langsung kepada konsumen akhir.
19
2. Pembeli BKP/penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap, misalnya: pembeli yang tidak diketahui NPWP-nya atau tidak diketahui nama dan atau alamat lengkapnya. 3. Faktur Pajak Sederhana sekurang-kurangnya harus memuat : a. Nama, alamat usaha, NPWP serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang menyerahkan BKP atau JKP. b. Macam, jenis dan kuantum dari BKP atau JKP. c. Jumlah harga jual atau peggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah. d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana. 4. Bentuk Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, Faktur Penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, yang dipakai sebagai tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP oleh PKP yang bersangkutan. 5. Faktur Pajak Standar yang diisi tidak lengkap bukan merupakan Faktur Pajak Sederhana. 6. Faktur Pajak Sederhana dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua : o
Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP/ penerima JKP
o
Lembar ke-2 : Untuk arsip PKP yang bersangkutan.
7. Faktur Pajak Sederhana dianggap telah dibuat rangkap dua atau lebih,dalam hal Faktur Pajak Sederhana tersebut dibuat dalam satu lembar yang terdiri dari dua atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong, seperti yang terjadi pada karcis.
20
8. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP atau penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan.
Dokumen-dokumen tertentu dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sepanjang dokumen tersebut memuat sekurang-kurangnya :
•
Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen;
•
Nama, alamat, NPWP penerima dokumen;
•
Jumlah satuan;
•
Dasar Pengenaan Pajak;
•
Jumlah pajak terutang.
Dokumen-dokumen tersebut adalah :
•
PIB yang dilampiri SSP dan atau bukti pungutan pajak oleh Dirjen Bea dan Cukai untuk impor BKP;
•
PEB yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Dirjen Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
•
Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/ dikeluarkan oleh BULOG/ DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
•
Faktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh Pertamina untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
•
Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
21
•
Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
•
SSP untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean;
•
Nota Penjualan Jasa yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhan;
•
Tanda pembayaran atau kuitansi listrik
2.1.5.5 Pajak Masukan dan Keluaran Menurut Muljono (2010,.61) Pajak Masukan adalah: Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP. Pajak keluaran menurut Muljono (2010, 73) adalah: “Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud dan/atau ekspor JKP”. 2.1.5.6 Mekanisme Pengkreditan Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan: 1. Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak
22
Keluaran yang dipungut Pengusaha Kena Pajak pada waktu menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. 2. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran tersebut harus dilakukan dalam Masa Pajak yang sama. 3. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak ke Kas Negara, terlebih dahulu Wajib Pajak harus mengurangi Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. 4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak ke Kas Negara. 5. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi ternyata belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
23
2.1.5.7 Nota Retur
Menurut Mardiasmo (2010:218) Nota Retur adalah Nota yang dibuat oleh penerima BKP karena adanya pengembalian atas BKP yang telah dibeli/ diterimanya. Dengan adanya Nota Retur tersebut maka PKP penjual dapat mengurangkan PPN dan PPnBM (Pajak Keluaran ) atas penyerahan BKP yang dikembalikan, sedangkan bagi PKP pembeli harus mengurangkan PPN dan PPnBM ( Pajak Masukan ) yang telah dikreditkan atau biaya, dan harta. Nota Retur diterbitkan dan dilaporkan baik oleh PKP penjual maupun PKP pembeli pada Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut.
Nota Retur sekurang-kurangnya harus mencantumkan :
1. Nomor urut 2. Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan 3. Nama, alamat, dan NPWP pembeli 4. Nama, alamat, dan NPWP yang menerbitkan Faktur Pajak 5. Jenis barang dan harga jual BKP yang dikembalikan 6. PPN atas BKP yang dikembalikan 7. PPnBM atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan 8. Tanggal pembuatan Nota Retur 9. Tanda tangan pembeli
Dalam hal Nota Retur tidak selengkapnya mencantumkan keteranganketerangan di atas maka tidak dapat diperlakukan sebagai Nota Retur,
24
sehingga tidak dapat mengurangi Pajak Keluaran bagi penjual atau Pajak Masukan atau biaya, dan harta bagi pembeli. Dalam hal pengembalian BKP terjadi masih dalam masa pajak yang sama dengan terjadinya penyerahan BKP tersebut, tidak perlu dibuatkan Nota Retur, melainkan dapat dilakukan dengan pembatalan atau perbaikan Faktur Pajak atas penyerahan BKP tersebut.
2.1.5.8 Dasar Pengenaan pajak ( DPP ) PPN
Menurut Mardiasmo (2010:220) Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, berupa Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
•
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UndangUndang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
•
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UndangUndang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
•
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
25
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang PPN.
•
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
•
Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut:
1. Pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. 2. Pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. 3. Penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata. 4. Penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film. 5. Persedian BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar. 6. Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan atau yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar. 7. Kendaraan bermotor bekas adalah 10% dari Harga Jual.
26
8. Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. 9. Jasa pengiriman paket adalah adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; 10. Jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon. 11. Penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. 12. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
2.1.5.9. Tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) Menurut Valentina dan Aji Suryo ( 2011 : 6 ), tarif PPN adalah : 1. Tarif PPN adalah 10% 2. Atas ekspor barang dikenakan pajak 0% 3. Dengan peraturan pemerintah, tariff PPN ditentukan serendahrendahnya 5% dan setinggi-tinginya 15
Menurut Keputusan Mentri Keuangan RI Nomor 568/KMK.04/2000 : Pasal 1 (1)
Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena
27
Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara sebagai berikut : a. 10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. b. 10/110 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. (2)
Dalam hal tidak diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau meskipun diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai maka Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dihitung sebesar 10% (sepuluh pesen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean.
28
2.1.5.10 Saat dan Tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
Menurut Mardiasmo (2010:221) Untuk menentukan saat Pengusaha kena pajak ( PKP ) melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya. Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat tim-bulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang. Yaitu sejak adanya suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya objek pajak. Ajaran materiil timbulnya utang pajak dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajak-nya menggunakan self assessment system. Mekanisme pemungutan PPN menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran materiil.
Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa pajak terutang: 1) pada saat penyerahan BKP atau JKP
2) pada saat impor BKP
3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
29
4) pada saat pembayaran dalam hal :
a)
pembayaran
diterima
sebelum
penyerahan
BKP
atau
JKP
b) pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa tempat pajak terutang : 1) Tempat tinggal atau tempat kedudukan
2) Tempat kegiatan usaha dilakukan, atau
3) Tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
4) Tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor
5) Tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6) Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak.
30
Ketentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, yang menetapkan bahwa :
1) Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean. Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2) Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
3) Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan, terdaftar sebagai Wajib Pajak.
4) Tempat pajak terutang untuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan.
5) Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib Pajak Besar, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di KPP Wajib Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan.
31
6) Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis dari wajib pajak atau secara jabatan.
a) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-525/PJ./2000 tanggal 6 Desember 2000 ditetapkan bahwa PKP orang pribadi yang mempunyai tempat tinggal yang tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, terutang pajak hanya ditempat kegiatan usahanya, sepanjang PKP tersebut tidak melakukan kegiatan usaha apapun di tempat tinggalnya.
b) Dalam hal PKP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam wilayah satu KPP, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998 ditegaskan pengukuhannya disatukan di kantor pusatnya.
c) Beberapa PKP tertentu ditetapkan bahwa pada dasarnya terutang di tempat kantor pusatnya dikukuhkan sebagai PKP dengan beberapa pengecualian: 1. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-394/PJ./2003 tanggal 31 Desember 2003 yang telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-73/PJ/2004 tanggal 14 April 2004, tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi PKP Yang Dikukuhkan di KPP Wajib Pajak BUMN ditetapkan sebagai berikut :
32
a. Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang mengelola Wajib Pajak BUMN yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dan atau melakukan ekspor BKP, wajib dikukuhkan sebagai PKP di KPP dimaksud dan pajak terutang di tempat PKP dikukuhkan. Dikecualikan dari ketentuan ini bagi PKP BUMN yang :
i. melaksanakan proyek atau tender dari Pemerintah daerah atau panitia pemberi proyek atau tender di daerah tertentu yang mengharuskan PKP peserta proyek atau tender dikukuhkan sebagai PKP di KPP lokasi tempat kegiatan usaha.
ii. Mempunyai lebih dari 200 (dua ratus) tempat kegiatan usaha
termasuk
antara
lain
cabang,
lokasi
usaha,
perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya termasuk distrik, dan tidak memiliki Sistem Informasi Akuntasi yang terhubung antara pusat dengan cabang maupun antar cabang (on line). Bagi BUMN yang tidak melakukan pemusatan
tempat
pajak
terutang
dimaksud,
wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN.
33
b. Bagi BUMN yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, maka KPP ini wajib melakukan pencabutan Pe-ngukuhan PKP tersebut paling lambat tanggal 31 Januari 2004.
c. Dalam hal telah dilakukan pencabutan Pengukuhan PKP yang dilakukan oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, tetapi PKP yang bersangkutan belum melaporkan seluruh kegiatan usahanya secara terpusat untuk Masa Pajak Januari 2004 sampai dengan Agustus 2004 di KPP BUMN, maka PKP tempat pemusatan wajib melakukan pembetulan SPT Masa PPN tersebut dengan menggabungkan kegiatan seluruh ccabang yang pengukuhannya telah dicabut.
d. PKP yang melakukan pemusatan tempat PPN terutang tetapi pengukuhan-nya di KPP selain KPP BUMN belum dicabut, tidak wajib melaporkan ke-giatan usaha ke KPP BUMN dengan syarat
:
i. masih menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN ii. menyampaikman pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN bahwa telah menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN.
34
e. PKP BUMN yang dibebani kewajiban untuk melakukan pemusatan PPN terutang di KPP BUMN, wajib melaksanakannya paling lambat tanggal 31 Agustus 2004.
f. Bagi PKP BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban pemusatan tempat PPN terutang yang dibebankan kepadanya, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas secara tidak langsung menganulir salah satu diktum Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP515/ KEP/2000 sebagaimana telah diubah dengan Nomor KEP337/PJ./2002 tanggal 2 Juli 2002, khusus bagian yang mengatur tentang tempat pajak terutang bagi BUMN.
2. Badan Usaha Milik Daerah bagi Wajib Pajak BUMD yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP ter-utang pajak dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP di wilayah kerjanya.
3. Wajib Pajak Penanaman Modal Asing Wajib Pajak Penanaman Modal Asing dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Wajib Pajak Penanaman Modal Asing yang tidak “masuk bursa”, yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Penamaman Modal Asing sebagai tempat pajak terutang.
35
b. Khusus bagi Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di Kawasan Berikat Pulau Batam, Kawasan Pulau Bintan, dan kawasan Pulau Karimun, atas permohonan Wajib Pajak diberi kemudahan untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya pada KPP setempat sebagai tempat pajak terutang.
4. Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) untuk seluruh Wajib Pajak Badan (BUT) dan Orang Asing yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP BADORA sebagai tempat pajak terutang.
5. Seluruh wajib pajak yang telah mendapat ijin emisi saham dari Badan Pengawas Pasar Modal yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Masuk Bursa, kecuali Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP di KPP tempat Wajib Pajak ini berkedudukan.
6. Wajib Pajak besar sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-263/PJ/2002 tanggal 8 Mei 2002 yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, pajak terutang dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Wajib Pajak Besar.
36
2.1.6. Perhitungan, Penyetoran dan pelaporan PPN Menurut Waluyo (2011) cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah dengan mengalikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (10% atau 0% untuk ekspor Barang Kena Pajak) dengan Dasar Pengenaan Pajak. Penyetoran pajak pertambahan nilai ( PPN ) atas selisih kurang bayar antara pajak keluaran dan pajak masukan harus dibayarkan dengan SSP ( Surat Setor Pajak ) kepada Bank presepsi, pembayaran paling lambat harus dilakukan sebelum akhir bulan setelah bulan berikutnya. Sedangkan Pelaporannya dilakukan di tempat dimana PKP terdaftar melalui Surat Pemberitahuan ( SPT ) masa PPN bersangkutan sebelum akhir bulan setelah bulan berikutnya.
2.1.7
Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
Menurut Purwono (2010) ada satu hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pencatatan perkiraan PPN, yaitu sifat PPN Masukan (PM), jika Pajak Masukan dapat dikreditkan, maka pencatatannya dilakukan sebagai uang muka pajak. Sebaliknya jika Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, maka pencatatannya langsung dibebankan sebagai biaya.
37
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya tahun 2012, diteliti oleh Fidelia Christina dengan judul penelitian “ Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai dan Pengaruhnya Terhadap Laporan Keuangan pada CV. KAMDATU Palembang “ tahun 2011 yang bergerak di bidang perdagangan barang dan jasa, dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa CV. Kamdatu belum menerapkan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, hal ini bisa dilihat dari tidak adanya penjurnalan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dalam setiap transaksi keuangan perusahaan yang berhubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai, sehingga tidak muncul akun Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, perusahaan hanya mencatat secara sederhana dengan merekap setiap faktur pajak baik faktur pajak masukan yang diterima saat pembelian Barang Kena Pajak, seharusnya perusahaan menyajikan Hutang PPN karena pada akhir tahun perusahaan mengalami kurang bayar. Hal ini terjadi karena CV. Kamdatu belum menerapkan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai dengan baik, tidak adanya penjurnalan yang menunjukkan sisi debit dan kredit serta akun Pajak Keluaran dan Pajak Masukan mengakibatkan dalam laporan neraca tidak muncul akun Hutang PPN. Penelitian ke dua Tahun 2011 oleh Muhammad Akbar dengan judul Penelitian “Analisis Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai Pada CV. FIKRI UTAMA PONTIANAK, Tahu 2010 yang bergerak di bidang jasa Kontruksi. Dari hasil Penelitian memberikan kesimpulan bahwa Perusahaan memperlakukan pencatatan tidak sesuai dengan PSAK karena perusahaan mencatat kedalam
38
rekening Pendapatan Proyek terhadap hasil penjualan yang didalamnya termasuk PPN dan memperlakukan PPN Masukan yang dibayar sebagai biaya, akan mengakibatkan hasil penjualan dan biaya usaha dilaporkan terlalu besar dari jumlah yang seharusnya. Sedangkan menurut PSAK jika merupakan konsumen akhir maka Pajak Pertambahan Nilai dapat dimasukkan dalam beban usaha yang merupakan beban yang berhubungan dengan periode terjadinya. Jika bukan merupakan konsumen akhir, maka Pajak Pertambahan Nilai dapat dimasukkan dsebagai beban usaha tetapi harus dicantumkan dalam laporan keuangan. Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis sama mengacu pada pembahasan Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai dan Pengaruhnya terhadap Laporan keuangan pada PT. ANGZCOMMERZ INDONESIA yang bergerak dibidang penjualan pintu. Dari hasil penelitian terjadi perbedaan pelanggaran atau prosedur
yang
tidak
sesuai
dengan
aturan
yang
berlaku,
yaitu
PT.
ANGZCOMMERZ INDONESIA dalam menerbitkan Faktur Pajak penjualan tidak semua pembeli dibuatkan Faktur Pajak, hanya pembeli yang punya identitas lengkap yang mempunyai NPWP yaitu yang sudah menjadi PKP ( Pengusaha Kena pajak ), bagi pembeli yang tidak mempunyai NPWP tidak diterbitkan Faktur Pajak. Sedangkan menurut peraturan Pajak, bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penjualan wajib mengenakan PPN dan menbuatkan Faktur Pajak kepada pembeli baik yang ber NPWP ataupun tidak. Sehingga dalam Pelaporan PPN dan Laporan Keuangan ke Pajak hanya penjualan yang berfaktur yang dimasukkan dalam pelaporan PPN maupun Pelaporan Laporan keuangan. Ketiga
39
penelitian ini dengan dilakukan pada perusahaan di bidang yang berbeda yaitu perusahaan bidang jasa dan dagang.
2.3 Kerangka Konseptual Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
SAK
UU PAJAK
3.
Pengakuan Beban dan Hutang
LAPORAN KEUANGAN
Penyetoran dan Pelaporan
40
Kerangka konseptual yang dapat dijabarkan sebagai tuntunan untuk mengetahui sejauh mana prosedur yang dilakukan perusahaan sebagaimana penelitian dalam skripsi ini, diwakili oleh bagan alur. Dasar penelitian ini dimulai dari barang atau jasa yang dijual atau dibeli yang terkena PPN dari PT. Angzcommerz Indonesia sehingga timbul Pajak Keluaran dan Pajak Masukan. Setelah dilakukan perhitungan selisih antara pajak keluaran dan masukan akan terjadi kurang atau lebih bayar pajak pertambahan nilai tersebut. Dan akan mengalami proses penyetoran dan pelaporan PPN tersebut. Sehingga akan diketahui sejauh mana perusahaan sudah melakukan proses sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku dengan benar atau tidak.