BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem pemungutan Self Assesment System yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat soemitro, SH “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (Mardiasmo, 2011:1). Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaiitu: 1. Pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) berdasarkan dengan kekuatan undang-undang serta peraturan pelaksanaannya
7
8
2. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah ( tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontraprestasi secara individual). 3. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah, yang bila pemasukannya masih terdapat surplus dipergunakan untuk membiayai publik investasi sehinggatujuan utama dari pungutan pajak adalah sebagai sumber keuangan negara. 4. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang. 5. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang atau badan ke pemerintah. 6. Pajak dapat dipungut secara langsung ataupun secara tidak langsung. Menurut Mardiasmo dalam buku “Perpajakan” (2011:1) ada 2 fungsi pajak, yaitu: a. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak sebagasi sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. b. Fungsi Mengatur (Regulerend) pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Jenis pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu menurut golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutnya a. Menurut Golongannya 1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
9
2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b. Menurut Sifatnya 1) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak 2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. c. Menurut Lembaga Pemungutnya 1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. 2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Sedangkan pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang-undanng dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kempuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
10
Menurut Mardiasmo (2011:7) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3, yaitu: a. Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskal) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus 2) Wajib pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus b. Self Asssment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri 2) Wajib pajak aktif, mulai dari manghitung, menyetor dan melapor sendiri pajak yang terutang 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi c. With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
11
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, selain fiskus dan wajib pajak.
2.1.2 Pajak Penghasilan Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progesif, proposional atau regresif. UU No. 7 Tahun 1993 tentang PPh sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, (Selanjutnya disebut dengan UU PPh). Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya mulai atau berakhir dalam tahun pajak.
2.1.3 Subjek Pajak Subjek Pajak dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undangundang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek
12
Pajak berkenaan dengan penghasilan yng diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Berdasarkan UU PPh pasal 2 ayat (1) No. 36 Tahun 2008, yang menjadi subjek pajak adalah: a) Orang Pribadi Orang Oribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggak atau berada di Indonesia atau diluar Indonesia. b) Warisan yang belum terbagi sebagai atau kesatuan, menggantikan yang berhak penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dilaksanakan. c) Badan Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komonditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif. d) Bentuk Usaha Tetap Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang diperrgunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan
13
di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
2.1.4 Objek Pajak Mardiasmo (2011:139) yang menjadi objek adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh. 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan atau penghargaan. 3. Laba usaha 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 7. Deviden 8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
14
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva 14. Premi asuransi 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak 17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah 18. Imbalan bunga 19. Surplus Bank Indonesia
2.1.5 Tarif Pajak Penghasilan Ketentuan UU PPh pasal 17 ayat (1), besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dan negeri dan Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sebagai berikut: a) Untuk Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri: Lapisan Penghasila Kena Pajak
Tarif Pajak
Rp. 50.000.000
5% (lima persen)
Rp. 50.000.000 s/d Rp. 250.000.000
15 %
15
(lima belas persen) Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000
25 % (dua puluh lima persen )
Diatas Rp. 500.000.000
30 % ( tiga puluh persen)
b) Untuk wajib pajak Badan dalam negeri dan BUT Tarif pajak untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tarif PPh tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) berlaku mulai tahun pajak 2010. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan dibursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif yang berlaku. Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final. Wajib Pajak dalam negeri dengan peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sampai dengan Rp. 50.000.000.000 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000.
16
2.1.6 Perhitungan Pajak Terutang Dalam menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, dibedakan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Badi Wajib Pajak Badan dalam negeri pada dasarnya untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak yaitu perhitungan Pajak Penghasilan dengan dasar pembukuan. Sementara Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya di bawah Rp. 600.000.000 (enam ratus juta) diperkenankan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto berdasarkan pencatatan. Orang Pribadi yang berada di Indonesia untuk jangka waktu secara berturu-turut yang lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dianggap sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan wajib memenuhi kewajiban dan haknya selaku Wajib Pajak dalam negeri. Wajib Pajak yang meninggalkan Indonesia untuk jangka tidak lebih dari 1 (satu) tahun, masih merupakan Wajib Pajak dalam negeri dan masih dikenakan pajak di Indonesia. Pejabat diplomatik dan Pegawai Kedutaan Republik Indonesia, yang karena jabatannya berada diluar Indonesia, masih merupakan Wajib Pajak dalam negeri, sebab bedasarkan “asas eksteritorialitas”, mereka dianggap bertempat tinggal diwilayah Republik Indonesia, dan wajib pula membayar pajak penghasilan apabila penghasilannya melebihi penghasilan tidak kena pajak. Sebaliknya, Wakil-wakil Diplomatik atau Konsuler Asing yang bertempat tinggal di Indonesia, bukan merupakan Wajib Pajak dalam negeri, bedasarkan “asas esteritorilitas” tersebut. Wajib Pajak luar negeri merupakan subjek pajak luar negeri yang memperoleh atau menerima penghasilan yang berasal dari wilayah Republik
17
Indonesia atau yang mempunyai kekayaan yang terletak di wilayah Republik Indonesia. Wajib Pajak luar negeri hanya dikenakan pajak dari penghasilan yang diterima atau diperoleh atau berasal dari wilayah Republik Indonesia.
2.1.6.1 Pembukuan Undang-undang Perpajakan No. 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas
dan
menyelanggarakan
Wajib
pembukuan.
Pajak
badan
di
Syarat-syarat
Indonesia
wajib
menyelanggaraan
pembukuan sesuai UU Perpajakan No. 28 Tahun 2007 pasal 28 antara lain: 1. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta harus taas azas (metode pembukuan sama dengan yang digunakan tahun sebelumnya) untuk mencegah pergeseran Laba/Rugi serta pengakuan penghasilan/biaya dengan Stelsel Kas/Akrual. 2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan, dalam hal ini adalah bahasa Inggris, sedang mata uang yang diizinkan adalah dollar Amerika Serikat (US$).
18
3. Dalam hal Wajib Pajak akan merubah metode pembukuan seperti dari metode Stelsel Kas menjadi Stelsel Akrual, harus terlebih dahulu meminta izin ke Direktur Jendral Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak setempat. Walaupun pembukuan diizinkan menggunakan bahasa asing dan mata uang asing, tetapi untuk pengisian
SPT
(Surat
Pemberitahuan
Tahunan)
harus
menggunakan bahasa Indonesia dan mata uang rupiah. 4. Wajib Pajak yang diizinkan menggunakan bahasa dan mata uang asing adalah Wajib Pajak tertentu saja yakni, Wajib Pajak yang kegiatannya dalam rangka kontrak karya kontrak bagi hasil, dan kegiatan usaha/badan lain yang telah diizinkan oleh Menteri Keuangan.
2.1.6.2 Kewajiban Membayar Pajak Pembayaran pajak merupakan perwujudan kewajiban dan peran serta masyarakat secara langsung dan kolektif dalam memikul pembiayaan penyelenggaraan
bernegara
dan
pembangunan
nasional,
yang
penyelenggaraannya diserahkan kepada masyarakat. Agar kewajiban perpajakan
dilaksanakan
sepenuhnya,
Undang-undang
Perpajakan
dilengkapi dengan sanksi baik administrasi maupun pidana. Sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan sistem perpajakan agar maksud dan tujuan perpajakan dapat tercapai dengan baik.
19
Sanksi-sanksi tersebut berlaku apabilat terdapat kekurang patuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Sanksi administrasi berupa denda, bunga, dan kenaikan pajak. Sanksi tersebut bersifat yang dapat merupakan pemborosan sumber daya bagi perusahaan, sanksi pidana yang ditetapkan melalui peradilan pidana, dapat berupa pidana kurungan, penjara, dan denda finansial. Sanksi pidana diberlakukan terutama apabila terdapat kesengajaan menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau dilengkap atau memperlihatkan pembukuan yang isinya tidak benar. Ketidakbenaran dan ketidaklengkapan SPT dan pembukuan tersebut dapat bermula dari manajemen pajak yang kurang baik. Dengan diberlakukannya sanksi baik administrasi maupun pidana, setiap perencanaan pajak yang kurang baik akan berakibat kurang baik juga bagi perusahaan secara finansial. Oleh karena itu untuk menghindari adanya sanksi yang mungkin dapat terjadi karena hal tersebut, maka diperlukan adanya manajemen pejak yang sehat.
2.1.7 Manajemen Pajak Suandy (2011:6), mendefinisikan “Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”. tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari: a) Perencanaan Pajak (Tax Planning)
20
b) Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) c) Pengendalian Pajak (Tax Control)
2.1.7.1 Perencanaan Pajak (Tax Planning) Setiap Wajib Pajak mempunyai kecenderungan untuk membayar kewajiban pajak dengan jumlah seminimal mungkin. Pajak yang terutang ditentukan dari Penghasilan Kena Pajak yang dikalikan dengan tarif pajak. Aspek tarif pajak merupakan variabel perhitungan pajak terutang yang tidak bisa diubah karena tarifnya telah ditentukan oleh UU Perpajakan yang berlaku. Sedangkan aspek Penghasilan Kena Pajak merupakan variabel yang bisa dipengaruhi jumlahnya sehingga dapat diupayakan jumlah pajak yang terutang lebih kecil dari yang seharusnya. Upaya untuk menekan jumlah pajak yang terutang lebih kecil dari yang seharusnya membutuhkan suatu langkah-langkah manajeman yang terintegratif. Upaya-upaya perencanaan untuk mengurangi beban pajak inilah dalam pajak dikenal dengan perencanaa pajak. Perencanaan pajak (Tax planning) merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan
yang
akan
dilakukan.
Pada
umumnya
penekanan
perencanaan pajak adalah meminimumkan kewajiban pajak. Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada
21
tetapi berbeda dengan tujuan pembuat Undang-Undang maka tax palnning disini sama dengan tax advoidance karena secara hakikat ekonomis keduaduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after taxreturn) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik
untuk
dibagikan
kepada
pemegang
saham
maupun
untuk
diinvestasikan kembali. Suandy (2011:7) mengemukakan untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Ukuran yang digunakan dalam mengatur kepatuhan peraturan wajib pajak adalah sebagai berikut: 1. Tax saving, merupakan upaya Wajib Pajak mengelakkan hutang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produkproduk yang ada Pajak Petambahan Nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. 2. Tax avoidance, merupakan upaya Wajib Pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dikenakan pajak atau upaya-upaya yang masih dalam kerangka ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Suandy (2011:7), tujuan tax planning secara lebih khusus ditujukan untuk memenuhi hal-hal sebagi berikut:
22
a) Menghilangkan/menghapus jejak sama sekali b) Menghilangkan/menghapus pajak dalam tahun berjalan c) Menunda pengakuan penghasilan d) Mengubah penghasilan rutin berbentuk capital gain e) Memperluas bisnis atau melakukan ekspansi usaha dengan membentuk badan usaha baru f) Menghindari pengenaan pajak berganda g) Menghindari bentuk penghasilan yang bersifat rutin atau teratur atau membentuk, memperbanyak, atau mempercepat pengurangan pajak. Dengan adanya upaya perencanaan pajak yang baik dan cermat, Wajib Pajak akan memperoleh beberapa manfaat, antara lain: 1. Mengatur
alur
kas,
merupakan
perencanaan
yang
dapat
mengetimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kasnya dengan lebih akurat. 2. Penghematan kas keluar, adalah perencanaan pajak yang dapt menghemat pajak yang meupakan biaya bagi perusahaan. 3. Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku. 4. Menyebar penghasilan beberapa tahun untuk menghindari pajak yang tinggi
23
5. Mengambil beberapa keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk tepat. 6. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diukur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak dan potensi penghasilannya. Banyak motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak, namun semua itu bersumber dari adanya tiga unsur perpajakan, yaitu: 1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy), merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang menjadi tujuan dalam sistem perpajakan. Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak, antara lain: a) Jenis Pajak yang akan dipungut b) Subjek Pajak c) Objek Pajak d) Besarnya Tarif Pajak e) Prosedur pembayaran pajak 2. Undang-undang Perpajakan (Tax law). Tidak ada undang-undang uang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jendral Pajak. Sering terjadi pertentangan antara ketentuan pelaksanaan tersebut dengan
24
undang-undang itu sendiri karena adanya penyesuaian dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibanya terbuka celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat kesempatan tersebut untuk melakukan perencanaan paak yang baik. 3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration). Indonesia sebagai negara yang sedang membangun masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakannya secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan dengan baik untuk menghindari sanksi administrasi maupun pidana yang diakibatkan karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan perusahaan selaku Wajib Pajak karena luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang belum efektif. Setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak: 1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Bila suatu perencanaan pajak ingin dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan, bagi Wajib Pajak merupakan resiko yang sangat berbahaya dan mengancam keberhasilan perencanaan pajak tersebut. 2. Secara bisnis masuk akal, karena perencanaan pajak itu merupakan bagian yang tidak terpisahkn dari perencanaan secara menyeluruh (global strategy) perusahaan baik jangka penjang maupun jangka
25
pendek, maka perencanaan pajak yang tidak masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri. 3. Bukti-bukti pendukung yang harus memadai, misalnya perjanjian (agreement), faktur (invoice), dan juga perlakuan akuntansinya (accounting tretment). Langkah-langkah penyusunan
yang
perencanaan
harus
pajak
mendapat
sesuai
perhatian
dengan
dalam
Undang-undang
Perpajakan (M. Zain, 2007:70), adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan sasaran atau tujuan manajemen pajak, yang meliputi: a. Usaha-usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Memenuhi terhindar
segala dari
ketentuan
pengenaan
administratif,
sanksi-sanksi
baik
sehingga sanksi
administrasi maupun sanksi pidana, seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukuman kurungan atau penjara. c. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan perundangundangan perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran,
pembelian
dan
fungsi
keuangan,
seperti
pemotongan dan pemungutan pajak (PPh Pasal 21,22, dan Pasal 23) 2. Situasi sekarang dan identifikasi pendukung serta penghambat tujuan, yang terdiri dari:
26
a. Indentifikasi faktor lingkunagn perencanaan pajak jangka panjang. Faktor ini umumnya memiliki sifat yang permanen yang secara eksplisit terdapat dan melekan pada ketentuan operaturan perundang-undangan perpajakan. Faktor tersebut merupakan parameter-parameter yang berpengaruh terhadap perencanaan jangka panjang. b. Etika kebijakan perusahaan dan ketentuan yang jelas mengenai fungsi dan tanggung jawab manajemen perpajakan serta memilih manual tentang ketentuan dan tata cara manajemen perpajakan yang berlaku bagi seluruh personil perusahaan. c. Strategi dan perencanaan pajak yang terintegrasi dengan perencanaan perusahaan, baik perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang. 3. Pengembangan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan, dilakukan antara lain dengan mengadakan: a. Sistem informasi yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaian perencanaan pajak kepada para petugas yang memonitor perpajakan dan kepastian keefektifan pengendalian pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya. b. Mekanisme
monitor,
pengendalian,
dan
penyesuaian
sedemikian rupa sehingga setiap memodifikasi rencana dan tindakan dapat dilakukan dengan tepat waktu.
27
2.1.7.2 Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) Suandy (2011:9), apabila dalam tax planning telah diketahui faktor-faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya baik secara formal maupun material. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan tealh memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanaannya mentimpang dari peraturan yang berlaku maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak. Untuk dapat mencapai tujuan manajemen pajak, ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan yaitu: a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat
2.1.7.3 Pengendalian Pajak (Tax Control) Pengendalian pajak merupakan langkah akhir dalam manajeman pajak. Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material (Suandy, 2011:10). Hal terpenting dalam pengendalian pajak adalah pemeriksaan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya melakukkan
28
pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal.
2.1.8
Bentuk-bentuk Perencanaan Pajak Bentuk-bentuk perencanaan pajak yang terdiri atas: 1. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal entiy) yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan jenis usaha. Bila dilihat dari prespektif perpajakan kadang pemilihan bentuk badan hukum (legal entities) bentuk perseorangan, firma dan kongsi (partnership) adalah bentuk yang lebih menguntungkan dibandig perseroan terbatas yang pemegang sahamnya perorangan atau badan tetapi kurang 25%, akan mengakibatkan pajak atas penghasilan perseroan dikenakan dua kali yakni pada saat penghasilan diperoleh oleh pihak perseroan dan pada saat penghasilan dibagikan sebagai deviden kepada pemegang saham perseorangan atau badan yang kurang dari 25%.
Sebagai
contoh:
pemilihan bentuk
usaha
perseorangan akan lebih menghemat pajak karena terhindar dari pengenaan pajak berganda seperti yang terjadi pada bentuk usaha perseroan terbatas. 2. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah memberikan semacam insentif pajak/fasilitas perpajakan khususnya untuk daerah tertentu (Misalnya di Indonesia bagian Timur), banyak pengurangan pajak penghasilan yang diberikan. Disamping itu juga
29
diberikan fasilitas seperti penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama. Misalnya: perusahaan memperluas usahanya dengan mendirikan perusahaan baru didaerah terpencil di Indonesia bagian Timur. Oleh karena daerah tersebut memiliki potensi ekonomi yang layak dikembangkan namun silit dijangkau, maka pemerintah memberikan beberapa keringanan dalam pajak seperti izin untuk mengurangkan natura dan kenikmatan (Fringe benefit) dari penghasilan bruto seperti yang diatur dalam SE29/Pj.4/1995 Tanggal 5 juni 1995. 3. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian, potongan atau pengurangan atas penghasilan kena pajak yang diperbolehkan oleh undang-undang. Sebagai contoh jika diketahui bahwa penghasilan kena pajak (laba) perusahaan besar dan akan dikenakan tarif pajak tinggi/tertinggi, maka sebaiknya perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk hal-hal yang bermanfaat secara langsung untuk perusahaan, dengan catatan tentunya biaya yang dikeluarkan adalah biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak. Sebagai contoh: biaya untuk riset dan pengembangan, biaya pendidikan dan latihan pegawai, biaya perbaikan kantor, biaya pemasaran dan masih banyak biaya lainnya yang dapat dimanfaatkan. 4. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha (corporate company) sehingga diatur mengenai penggunaan tarif pajak yang paling
30
menguntungkan antara masing-masing badan usaha (business entity). Hal ini bisa dilakukan mengingat bahwa banyak negara termasuk Indonesia mengatur bahwa pembagian dividen antar corporate (inter corporate dividend) tidak dikenakan pajak. 5. Mendirikan perusahaan ada yang sebagai profit center dan ada yang hanya berfungsi sebagai cost center. Dari hal tersebut dapat diperoleh manfaat dengan cara menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan dari beberapa wajib pajak didalam satu grup begitu juga terhadap biaya sehingga dapat diperoleh keuntungan atas pergeseran pajak (tax shifting) yakni menghindari tarif paling tinggi/maksimum. 6. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan (fringe benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum (shif to lower bracket). Karena pada dasarnya pemberian dalam bentuk natura dan kenikmanatan (fringe benefit) dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi pegawai yang menerimanya. 7. Pemilihan metode penilaian persediaan. Ada dua metode penilaian yang diizinkan oleh peraturan perpajakan, yaitu metode rata-rata (average) dan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Dalam kondisi perekonomian yang cenderung mengalami inflasi, metode rata-rata (average) akan menghasilkan harga pokok yang lebih tinggi dibanding dengan metode masuk pertama keluar pertama (first
31
in first put). Harga pokok penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil. 8. Untuk pendanaan aktiva tetap dapat mempertimbangkan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) disamping pembelian langsung karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan pembayaran leasing dapat dibiayakan seluruhnya. Dengan demikian, aktiva tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan melalui penyusutan jika pembelian dilakukan secara langsung. 9. Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan mempunyai presiksi laba yang cukup besar makan dapat dipakai metode penyusutan yang dipercepat (saldo menurun) sehingga atas biaya penyusutan tersebut dapat mengurangi laba kena pajak dan sebaliknya jika diperkirakan pada awal tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan atau timbul kerugian maka pilihannya adalah menggunakan metode penyusutan yang memberikan biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya biaya penyusutan dapat ditunda untuk tahun berikutnya. 10. Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada transaksi yang bukan objek pajak. Sebagai contoh: untuk jenis usaha yang PPh badannya dikenakan pajak secara final, maka effisiensi PPh pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara meberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pembelian natura bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21.
32
11. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan, untuk ini wajib pajak harus jeli untuk memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebagai contoh PPh pasal 22 atas pembelian solar dari pertamina bersifat final jika pembeliannya dilakukan oleh perusahaan, pasal 22 tersebut dapat dikreditkan dengan PPh Badan. Perkreditan ini lebih menguntungkan ketimbang dibebankan sebagai biaya. Keuntungan yang dapat diperoleh sebesar 70% dari nilai pajak yang dikreditkan (dengan asumsi penghasilan kena pajak telah mencapai jumlah yang dikenakan tarif 30%). 12. Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo. Khusus untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak sampai batas waktu
yang
menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan penyerahan barang (KEP. Dirjen Pajak No. 53/PJ/1994). 13. Menghindari pemeriksaan pajak, pemeriksaan pajak oleh Direktorat Jendral Pajak dilakukan terhadap wjib pajak yang: a. SPT lebih bayar b. SPT rugi c. Tidak memasukkan SPT atau terlambat memasukkan SPT d. Terdapat informasi pelanggaran e. Memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak f. Menghindari lebih bayar dapat dilakukan dengan cara:
33
a). Mengajukan pengurangan pembayaran lumpsum (angsuran masa) PPh Pasal 25 ke KKP yang bersangkutan, apabila diperkirakan dalam tahun pajak berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. b). Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan melakukan impor. 14. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Mengindari
pelanggaran
terhadap
peraturan
perpajakan
dapat
dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku
2.1.9
Pengertian PPh Pasal 25 Pajak penghasilan pasal 25 dikenakan terhadap Wajib Pajak Badan Usaha
dalam suatu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Karena perhitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka perhitungan ini harus dilakukan setelah tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menuggu laporan keuangan selesai dibuat. Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak dimuka atau pembayaran cicilan setiap bulan.
34
Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25/masa.
2.1.9.1 Cara Menghitung PPh Pasal 25 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada
data
SPT
Tahunan
tahun
sebelumnya,
Artinya,
kita
mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih teersebut yang harus dibayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan. Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikurangi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Misal, SPT Tahunan 2009 menunjukan data sebagai berikut: Pajak Penghasilan terutang
Rp. 30.000.000
Pada tahun 2009, telah dibayar dan dipotong atau dipungut: PPh Pasal 21 Rp. 8.000.000 PPh Pasal 22 Rp. 2.000.000
35
PPh Pasal 23 Rp. 2.000.000 PPh Pasal 25 Rp. 12.000.000
Rp. 24.000.000 Kurang bayar (Pasal 29) tahun 2009 Rp.
6.000.000
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun 2010 adalah: PPh yang terutang tahun 2009
= Rp. 30.000.000
Pengurangan: PPh Pasal 21 Rp. 8.000.000 PPh Pasal 22 Rp. 2.000.000 PPh Pasal 23 Rp. 2.000.000 Rp. 12.000.000 Dasar perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2010 Rp.
18.000.000
Besarnya PPh pasal 25 perbulan Rp. 18.000.000/ 12 = Rp. 1.500.000
2.1.10 Pemilihan Metode Akuntansi 2.1.10.1 Penyusutan Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi (PSAK 17). Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang diberikan dan nilai aser tersebut semakin berkurang. Mulai tahun 1995, Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih metode penyusutan final untuk aktiva tetap berwujud bukan bangunan,
36
yaitu metode penyusutangaris lurus (straight line) dan metode penyusutan saldo menurun, hingga menghasilkan biaya penyusutan yang besar yang dapat mengurangi laba kena pajak. Jika diperkirakan awal-awal tahum investasi belum bisa memberikan keuntungan, laba yang diperoleh kecil atau timbul karugian, maka sebaliknya memilih metode garis lurus karena menghasilkan biaya penyusutan yang lebih kecil. 1. Penyusutan Berdasarkan Peraturan Perpajakan Sebagaimana telah diatur dalam pasal 9 ayat (2) UU PPh No. 36 Tahun 2008, bahwa pengeluaran untuk mendapatkan manfaat, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan. Hal ini sesuai dengan kelaziman dunia usaha dan selaras dengan prinsip perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan, dalam ketentuan
ini
pengeluaran
untuk
mendapatkan,
menagih
dan
memprtahankan penghasilan yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya sekaligus pada tahun pengeluarannya. Namun demikian, dalam perhitungan dan penerapan tarif penyusutan untuk keperluan pajak perlu diperhatikan dasar hukum penyusutan fiskal, karena dapat berbeda dengan penyusutan untuk akuntansi. Mulai tahun 1995 ketentuan fiskal mengharuskan penyusutan harta tetap dilakukan secara individual per aktiva, tidak lagi secara gabungan seperti yang berlaku sebelumnya kecuali alat-alat kecil sejenis masih boleh
37
menggunakan penyusutan secara golongan. Menutut UU PPh No. 36 Tahun 2008 pasal 11 penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. 2. Penyusutan Berdasarkan Akuntansi Keuangan Aset tetap dalam akuntansi penyusutan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) di dalam Pernyataan Standar Badan Akuntansi Keuangan tentang Aset tetap dan Aset lain-lain, PSAK no. 17 tentang Akuntansi Penyusutan. Aset tetap adalah aset berwujud dalam bentuk siap kali atau dibangun lebih dulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Penyusutan adalah setiap bagian dari aset tetap yang dimiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh asset harus disusutkan secara terpisah. Dalam PSAK penyusutan asset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat asset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar asset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari asset dihentikan lebih awal ketika: a. Asset tersebut diklarifikasi sebagai asset dimiliki untuk dijual atau asset tersebut termasuk dalam pengelompokan asset yang
38
tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai asset dimiliki untuk dijual b. Asset tersebut dihentikan pengakuannya yaitu: Dilepaskan Tidak ada masa manfaat ekonomi masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya. Oleh kaarena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat asset tersebut tidak dipergunakan atau dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namu apabalia metode penyusutan yang dipergunakan adalah seperti unit of production method, maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya.
2.1.11 Koreksi fiskal Menurut Agoes dan Estralita Trisnawati (2010:218)
mendefinifikan
“Koreksi fiskal adalah penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan”. Perhitungan secara komersial dalah perhitungan yang diakui berdasarkan standar akuntansi yang lazim. Laba secara fiskal adalah laba yang diperoleh Wajib Pajak ketika menghitung besarnya PPh terutang pada akhir tahun. Apabila koreksi fiskal tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, perhitungan besarnya PPh terutang sangat memungkinkan akan mengalami kesalahan karena banyak ketentuan pengakuan
39
atau cara perhitungan pada akuntansi komersial yang diperlakukan secara khusus pada ketentuan perpajakan. Laba secara komersial akan sama dengan laba secara fiskal hanya apabila semua unsur dalam perhitungan pajak telah dilakukan oleh Wajib Pajak bedasarkan ketentuan perpajakana, bagi Wajib Pajak, hal ini sangat suit dilakukan karena adanya perbedaan ketentuan antara Wajib Pajak dengan pembuat kebijakan pajak, yaitu pemerintah. Kepentingan Wajib Pajak dengan pemerintah yang berkaitan dengan pajak tidak akan sama, dan cenderung berkebalikan. Wajin Pajak menghendaki pajak yang terutang atau dibayar sekecil mungkin, sedangkan pemerintah menghendaki pajak yang diterima sesuai dan cenderung sebesar mungkin. Dengan kondisi itu, pengakuan akuntansi dari transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak menjadi cenderung berlawanan dengan ketentuan perpajakan. Hampir semua perhitungan laba komersial yang dihasilkan oleh perusahaan, untuk mendapatkan laba sebelum pajak harus dilakukan koreksi fiskal, karena tidak semua ketentuan dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) digunakan dalam peraturan perpajakan. Banyak pula ketntuan perpajakan yang tidak sama dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Perbedaan antara SAK dengan Peraruran Perpajakan antara lain dalam hal penggunaan sistem maupun metode pengakuan biaya maupun penhasilan secara akuntansi komersial dengan akuntansi secara pajak, baik dalam rangka pengakuan pendapatan maupun biaya untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak. Perbedaan yang terjadi dengan adanya pengakuan secara komersial dan secara
40
fiskal adalah atas besarnya pajak terutang yang diakui dalam laporan laba-rugi komersian dengan pajak menurut fiskus. Erly Suandy (2011:87), menjelaskan adanya perbedaan atas laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: a. Perbedaan waktu Perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan SAK. Perbedaan waktu dapat dibagi menjadi perbedaan waktu positif dan perbedaan waktu negatif. Perbedaan waktu positif terjadi apabila pengakuan beban untuk akuntansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan pendapatan untuk tujuan pajak lebih lambat dari pengakuan pendapatan untuk tujuan akuntansi. Perbedaan waktu negatif terjadi jika ketentuan perpajakan mengakui beban lebih lambat dari pengakuan
beban
akuntansi
komersial
atau
akuntansi
mengakui
pendapatan lebih lambat dari pengakuan pendapatan menurut ketentuan perpajakan. b. Perbedaan Tetap Pebedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung pajak fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut SAK tanpa ada koreksi dikemudian hari. Perbedaan permanen dapat positif apabila ada laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan pembebasan pajak, sedangkan perbedaan permanen negatif disebabkan adanya
41
pengeluaran sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiskal.
2.2
Penelitian Terdahulu
Penelitian ini memiliki 2 (dua) penelitian sebelumnya yaitu: 1. Tahun 2010, diteliti oleh Iim Ibrahim Nur dengan judul penelitian “Analisis Manajemen Pajak Pada Industri Penyedia Jasa Telekomunikasi”. Perusahaan yang menjadi objek penelitian ini adalah perusahaan penyedia layanan seluler. Hasil penelitian menunjukan dalam penyajian laporan keuangan laba/rugi PT NT terjadi perbedaan konsep antara laporan laba/rugi komersil dengan laporan laba/rugi fiskal. Sehingga perlu adanya penyesuain fiskal guna menghitung pajak terutang. Secara teoritis PT NT sudah menerapkan manajemen pajak namun masih kurang dalam mengimplementasikanya. 2. Tahun 2013, diteliti oleh Hikmatul Majidah dengan judul “Implementasi Tax Planning Dalam Upaya Meningkatkan Kinerja Perusahaan Pada CV. SOEHENDDRO”. Hasil penelitian menunjukan CV. SOEHENDRO telah melakukan pemenuhan kewajiban pajak sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 tanggal 23 februari 2006 tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak PPh 21 sehubungan dengan pekerjaan dan kegiatan orang pribadi, sehingga CV. SOEHENDRO memberikan tunjungan pajak kepada kepada kerayawan
42
tetap yang merupakan suatu penelitian dalam suatu tax palnning atas pph pasal 21.
43
2.3
Kerangka Konseptual Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Penerapan UU PPh No. 36 Tahun 2008
Manajemen Pajak
1. Tax Planning 2. Tax Implementation 3. Tax Control
Efisiensi Beban Pajak