BAB II TEKNIK MANAJEMEN DIRI UNTUK MENGURANGI KECANDUAN ONLINE GAME Pengantar Permasalahan yang sering muncul pada siswa SMP antara lain: bolos sekolah, merokok, minum-minuman keras, narkoba, dan kecanduan online game. Permasalahn siswa diatas merupakan perilaku negatif dan tidak bisa dibiarkan terus menerus seperti halnya kecanduan online game maka guru harus mengupayakan untuk menumbuhkan disiplin pada diri siswa dengan cara, anatara lain: membantu siswa mengembangkan pola perilakunya, membantu siswa mengatur prioritas untuk mengerjakan aktivitas penting lainnya yang menjadi penyebab timbulnya kecanduan online game. Untuk menanggulanginya tentu saja guru bimbingan dan konseling harus mempunyai teknik yang bisa mengurangi kecanduan online game pada siswa di sekolah, salah satunya dengan menggunakan teknik manajemen diri. Teknik manajemen diri diyakini efektif karena teknik manajemen diri dapat digunakan untuk berbagai perilaku sasaran, seperti yang dikemukan oleh Krumboltz & Thorensen (1976:426) bahwa teknik manajemen diri dapat dikenakan kepada berbagai perilaku sasaran. Whitaker dalam Asrori (1995:158), dengan tegas mengemukakan keampuhan teknik manajemen diri untuk mengembangkan berbagai perilaku sasaran: A failure to use self-management is a fundamental deficit in people with self-enhancement. Training people in self-management has been found to be an effective method of selfenhancement and there is evidence that people can be trained to use manajemen diri. Training in self-management could therefore be an effective way of enhancing other target behaviors.
Berdasarkan pengertian diatas diyakini bahwa teknik manajemen diri memberikan sumbangan untuk mengurangi kecanduan online game pada siswa. Teknik manajemen diri dalam penelitian ini adalah suatu strategi pengubahan dan pengembangan perilaku yang menekankan pentingnya ikhtiar dan tanggung jawab pribadi untuk mengubah dan mengembangkan perilakunya sendiri.
Detria,2013
Efektivitas Teknik Manajemen Diri Untuk Mengurangi Kecanduan Online Game (Penelitian Eksperimen Kuasi Terhadap Siswa Kelas IX SMPN 40 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
16
A. KECANDUAN ONLINE GAME 1. Definisi Kecanduan Pada
awalnya
pengertian
addiction
hanya
ditujukan
pada
kasus
penyalahgunaan obat (e.g., Rachlin, 1990; Walker, 1989 dalam Dwiastuti, 2005: 39). Menurut J. P. Chaplin (Kamus Psikologi, 1999: 11), addiction adalah keadaan bergantung secara fisik pada suatu obat bius. Pada umumnya kecanduan menambah toleransi terhadap suatu obat bius, ketergantungan fisik dan psikologis, dan menambah pula gejala-gejala pengasingan diri dari masyarakat, apabila pemberian obat bius tadi dihentikan. Addiction level didefinisikan sebagai tingkat kompulsi yang tidak terkontrol untuk mengulangi satu bentuk tingkah laku tanpa memperdulikan konsekuensikonsekuensi negatif yang ada diri remaja (Ameliya, 2008: 30). Tingkatan adiksi akan diukur melalui intensitas kemunculan simptomsimptom tingkah laku addictive. Intensitas berarti kekuatan suatu bentuk tingkah laku atau suatu pengalaman seperti intensitas reaksi emosional (Chaplin, 1999).
2. Kriteria Tingkah Laku Kecanduan Seseorang dikatakan addicted apabila memenuhi minimal tiga dari enam kriteria yang diungkapkan oleh Brown (Dwiastuti, 2005: 40). Kriteria tingkah laku addiction sebagai berikut. a. Salience: menunjukan dominasi aktivitas bermain game dalam pikiran dan tingkah laku. 1) Cognitive salience: dominasi aktivitas bermain game pada level pikiran. 2) Behavioral salience: dominasi aktivitas bermain game pada level tingkah laku. b. Euphoria: mendapatkan kesenangan dalam aktivitas bermain game. c. Conflick: pertentangan yang muncul antara orang yang addicted dengan orang-orang yang ada di sekitarnya (external conflict) dan juga dengan
17
dirinya sendiri (internal conflict) tentang tingkat dari tingkah laku yang berlebihan. 1) Interpersonal conflict (eksternal): konflik yang terjadi dengan orangorang yang ada di sekitarnya. 2) Intrapersonal conflict (internal): konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri. d. Tolerance: aktivitas bermain online game mengalami peningkatan secara progresif selama rentang periode untuk mendapatkan efek kepuasan. e. Withdrawal: perasaan tidak menyenangkan pada saat tidak melakukan aktivitas bermain game. f. Relapse
and
Reinstatement:
kecenderungan
untuk
melakukan
pengulangan terhadap pola-pola awal tingkah laku addictive atau bahkan menjadi lebih parah walaupun setelah bertahun-tahun hilang dan dikontrol. Hal ini menunjukan kecenderungan ketidakmampuan untuk berhenti secara utuh dari aktivitas bermain game. Menurut Brown (Dwiastuti, 2005: 41-42) komponen-komponen inti yang bisa mengidentifikasi addiction pada seseorang adalah salience, conflict dan euphoria. Sebagai tambahannya adalah tolerance, withdrawal, relapse dan reinstatement, komponen-komponen ini merupakan komponen umum dalam sebuah addiction. Tolerance berkembang sebagai kebutuhan pada seseorang yang addicted untuk meningkatkan ketergantungannya pada tingkah laku bermain online game untuk mendapatkan pengalaman yang sama dibandingkan pada saat bagian awal addiction. Efek withdrawal merupakan reaksi tidak menyenangkan pada saat menghentikan aktivitas addictive. Sementara relapse dan reinstatement merupakan pengembalian kepada keadaan semula dari addiction, walaupun setelah periode penahanan aktivitas. Menurut Cromie (1999, dalam Kem, 2005), karakteristik kecanduan cenderung progresif dan seperti siklus. Yee (2003) menyebutkan indikator dari individu yang mengalami kecanduan terhadap games, memiliki sebagian atau semua ciri-ciri berikut:
18
a. Cemas, frustasi, marah ketika tidak melakukan permainan. b. Perasaan bersalah pada saat bermain. c. Terus bermain meskipun sudah tidak menikmati lagi. d. Teman atau keluarga mulai berpendapat ada sesuatu yang tidak beres dengan individu karena game. e. Masalah dalam kehidupan sosial. f. Masalah dalam hal finansial atau hubungan dengan orang lain.
3. Definisi Online Game Menurut Mifflin (Supendi, 2011: 31) online game adalah permainan yang dimainkan melawan komputer. Online game adalah aktivitas yang bersifat rekreasi yang mengikutsertakan satu atau lebih pemain. Biasanya online game melibatkan kompetisi diantara dua atau lebih pemain. Online game adalah media elektronik yang menyuguhkan permainan berupa tampilan gerak, warna dan suara yang memiliki aturan main dan terdapat level tertentu, yang bersifat menghibur serta bersifat adiktif. Secara operasional online game adalah sebuah mesin permainan yang memiliki konsep permainan menarik, memiliki gambar tiga dimensi dan efek-efek yang luar biasa. Adapun dalam kamus wikipedia, internet game disebutkan mengacu pada sejenis video games yang dimainkan melalui jaringan komputer (computer network), umumnya dimainkan lewat jaringan internet. Biasanya internet games dimainkan oleh banyak pemain dalam waktu yang bersamaan dimana satu sama lain bisa saling tidak mengenal. Jadi, yang dimaksud dengan Online game adalah sebuah permainan yang dimainkan dengan sambungan internet melalui jaringan komputer (computer network), bisa menggunakan PC (personal computer), atau konsol game biasa, dan biasanya dimainkan oleh banyak pemain dalam waktu yang bersamaan dimana antar pemain bisa saling tidak mengenal.
19
4. Kecanduan Online Game Seorang filosof bernama David Kelley (Dwiastuti, 2005: 43) dalam bukunya The Art of Reasoning, mendefinisikan konsep game sebagai sebuah bentuk rekreasi dimana terdapat seperangkat aturan yang menspesifikan objek yang harus dikumpulkan. Definisi game mencakup hampir keseluruhan game akan tetapi tidak cukup tepat untuk permainan seperti permainan perang dan olah raga, dimana seringkali permainan tidak dilakukan untuk hiburan akan tetapi untuk meningkatkan keterampilan. Online game adalah game yang menggunakan network komputer atau internet. Berkat kecanggihan teknologi yang disajikan dalam permainan jaringan ini, seorang gamer bisa bertemu dengan gamer lain di seluruh dunia yang berada jauh sekalipun. Game dengan fasilitas online via internet menawarkan fasilitas lebih dibandingkan dengan game biasa (seperti: video game) karena para pemain itu bisa berkomunikasi dengan pemain lain dari seluruh penjuru dunia melalui media chatting. Kecanduan terhadap online game adalah kesenangan saat bermain game karena memberi rasa kepuasan tersendiri, sehingga ada perasaan untuk mengulang lagi kegiatan menyenangkan yang ditawarkan ketika bermain online game (Ameliya, 2008:33).
5. Gejala Kecanduan Bermain Online Game pada Remaja Kecanduan internet disebut sebagai Internet Addiction Disorder (IAD), Stephen Juan (Ameliya, 2008:35) seorang antropolog di University of Sydney mengemukakan tanda-tanda umum kecanduan intenet, sebagai berikut. a. Selalu ingin menghabiskan lebih banyak waktu di internet, sehingga akan menguras waktu efektif yang ada. b. Jika tidak menggunakan internet, muncul gejala-gejala penarikan diri seperti kecemasa, gelisah, mudah tersinggung, bergetar, menggigil, gerakan mengetik tanpa sadar, hingga berkhayal atau bermimpi mengenai internet.
20
c. Jika terhubung dengan internet, gejala-gejala penarikan diri akan hilang ataupun berkurang. d. Mengakses internet lebih lama dari yang diniatkan. e. Cukup banyak porsi kegiatan yang digunakan untuk aktivitas terkait internet, termasuk e-mail, browsing, chatting. f. Mengurangi kegiatan penting, baik dalam pekerjaan, sosial, atau rekreasi, demi menggunakan internet. g. Internet digunakan untuk melarikan diri dari perasaan bersalah, tidak berdaya, kecemasan, atau depresi. h. Menyembunyikan penggunaan internet dari keluarga atau teman. Bermula dari ketertarikan remaja terhadap internet, maka lebih jauh lagi remaja akan mulai tertarik dengan dunia online game. Banyak orang tua yang mengeluhkan karena
anaknya
mengabaikan
aktivitas
sehari-hari karena
ketertarikannya terhadap online game, orang tua tidak hanya khawatir akan kebiasaan anaknya tapi karena bermain online game dapat menimbulkan suatu ketergantungan yang bisa mengarah kepada perilaku adiksi (kecanduan) terhadap online game. Ameliya (2008) mengemukakan bahwa kecanduan bermain online game pada remaja dapat dilihat dari beberapa gejala yang muncul. Pertama, remaja bermain online game seharian, dan sering bermain dalam jangka waktu lama (lebih dari tiga jam). Biasanya dalam waktu satu minggu remaja bisa menghabiskan waktu sekitar 30 jam. Kedua, remaja bermain online game untuk kesenangan, cenderung seperti tak kenal lelah dan mudah tersinggung saat dilarang. Remaja yang addicted tidak pernah menghiraukan larangan orang tua atau orang lain untuk mengurangi intensitas bermain online game, dan remaja cenderung berontak apabila dilarang untuk bermain online game. Ketiga, mengorbankan kegiatan sosial, dan tidak mau mengerjakan aktivitas lain. Para pemain online game bisa menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk bermain game dan tidak menghiraukan aktivitas lain yang penting baginya, seperti makan, minum, berinteraksi dengan teman sebaya atau belajar.
21
Keempat, ingin mengurangi ketergantungannya tapi tak bisa. Seorang remaja yang addicted bisa menghabiskan waktu sehari semalam berada pada suatu rental untuk bermain online game. Kecanduan yang berlebihan terhdap online game akan menyebabkan remaja menjadi sangat cemas jika tidak bermain (Ameliya, 2008). 6. Faktor – Faktor Penyebab Remaja Kecanduan terhadap Online Game Banyak penyebab yang ditimbulkan dari kecanduan online game, salah satunya karena gamer tidak akan pernah bisa menyelesaikan permainan sampai tuntas. Selain itu, karena sifat dasar manusia yang selalu ingin menjadi pemenang dan bangga apabila semakin mahir akan sesuatu termasuk sebuah permainan. Dalam online game apabila poin bertambah, maka objek yang dimainkan akan semakin hebat, dan kebanyakan orang senang sehingga menjadi kecanduan. Menurut Henry (2010), apa dan bagaimana game bertindak dan berpengaruh terhadap perilaku anak. a. Imajinasi: Game memberikan imajinasi kepada anak. Seperti yang sudah kita diketahui, pada fase anak-anak, kemampuan imajinasi sedang berkembang dengan pesat. Permainan interaktif elektronik memberikan fitur ini dengan baik. Bandingkan dengan permainan biasa tanpa game misalnya, memang masih asyik tapi kalah jauh dengan game yang penuh dengan warna/grafis dan suara menarik. b. Interaktifitas: Game memberikan interaktif yang baik kepada pemainnya. Bandingkan dengan pelajaran yang cenderung satu arah dimana anak harus mengikuti apa yang diperintahkan guru. Disini salah satu masalah yang sampai saat ini tidak bisa bertemu, masih banyaknya pola pendidikan di Indonesia yang masih berpola lama yaitu satu arah. c. Kebebasan: Dengan bermain game, anak bisa belajar dengan nyaman dari kesalahan yang diperbuatnya. Mereka mengatur sendiri minat dan motivasi untuk mencapai tujuan agar bisa bersaing dengan temannya. Bandingkan dengan pelajaran yang menuntut aturan tertentu. Game memang memiliki aturan tertentu, namun juga memiliki kebebasan yang
22
luas untuk berbuat salah dan tidak takut untuk mencoba. Sedangkan di dalam pelajaran, sejak dini anak melihat kalau dia gagal maka dia akan dianggap bodoh. d. Pengulangan: Game interaktif dengan mudah memberikan proses pengulangan yang menantang anak untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Motivasi anak akan meningkat sejalan dengan kemampuan dia menguasai game tersebut. Bandingkan dengan permainan lain yang tidak mudah diulangi kalau terjadi kesalahan. Menurut penelitian Ameliya, 2008 terdapat faktor internal dan faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya adiksi remaja terhadap online game. Faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya adiksi terhadap online game, sebagai berikut. a. Keinginan yang kuat dari diri remaja untuk memperoleh nilai yang tinggi dalam online game, karena online game dirancang sedemikan rupa agar gamer semakin penasaran dan semakin ingin memeperoleh nilai yang lebih tinggi. b. Rasa bosan yang dirasakan remaja ketika berada di rumah atau di sekolah. c. Ketidakmampuan mengatur prioritas untuk mengerjakan aktivitas penting lainnya juga menjadi penyebab timbulnya adiksi terhadap online game. d. Kurangnya self control dalam diri remaja, sehingga remaja kurang mampu mengantisipasi dampak negatif yang timbul dari bermain online game secara berlebihan. Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya adiksi bermain online game pada remaja, sebagai berikut. a. Lingkungan yang kurang terkontrol, karena melihat teman-temannya yang lain banyak yang bermain online game. b. Kurang memiliki hubungan sosial yang baik, sehingga remaja memilih alternatif bermain game sebagai aktivitas yang menyenangkan.
23
c. Harapan orang tua yang melambung terhadap anaknya untuk mengikuti berbagai kegiatan seperti kursus dan les, sehingga kebutuhan primer anak, seperti kebersamaan, bermain dengan keluarga menjadi terlupakan.
7. Dampak Kecanduan Online Game terhadap Remaja Bermain online game pada remaja memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari bermain online game yaitu dapat mengaktifkan sistem motorik, dengan koordinasi yang tepat antara informasi yang diterima oleh mata kemudian diteruskan ke otak untuk diproses dan diperintahkan kepada tangan untuk menekan tombol tertentu. Online game dapat mendorong remaja menjadi cerdas, karena permainan dalam online game menuntut daya analisa yang kuat dan perencanaan strategi yang tepat agar bisa menyelesaikan permainan dengan baik. Kelebihan yang bisa diperoleh remaja dalam bermain online game adalah meningkatkan konsentrasi. Bermain online game memang memiliki dampak positif, akan tetapi jika dibiarkan berlarut-larut hingga mengarah pada adiksi tentu akan memberikan dampak negatif diantaranya, menyebabkan ketegangan emosional antara orang tua dan anak yang kecanduan main online game (Surya, 2005:46-47), menjadikan remaja tidak memiliki skala prioritas dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Mendorong remaja untuk bertindak asosial, karena aktivitas bermain online game cukup menyita waktu untuk berkomunikasi, baik berkomunikasi dengan keluarga maupun teman sebaya. Dampak negatif online game yang bisa menjadi candu bagi anak-anak kita. Dalam hal ini bukan dampak yang bersifat sementara, namun dampak yang bersifat jangka panjang, yang sedikit banyak berpengaruh pada perkembangan aspek pendidikan, kesehatan, keadaan psikis anak, dan kehidupan sosial anak. Dari sisi kesehatan, Penelitian Griffiths menyimpulkan, pada anak usia awal belasan tahun menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu digunakan anak untuk bermain video game setiap hari. Lebih mengkhawatirkan terdapat sekitar 7% yang bermain paling sedikit selama 30 jam per minggu. Selama itu, anak kita hanya duduk sehingga memberi dampak pada sendi-sendi tulangnya. Seperti
24
dikemukakan Rab A.B., di London terdapat fenomena "Repetitive Strain Injury" (RSI) yang melanda anak berusia 7 tahun. Penyakit ini semacam nyeri sendi yang menyerang anak-anak pecandu video game. Jika tidak ditangani secara serius, dampak yang terparah adalah menyebabkan kecacatan pada anak. Hal semacam inilah yang seharusnya patut diperhatikan. Margaretha Soleman (Ameliya, 2008:40) mengemukakan dampak buruk secara sosial, psikis, fisik dari kecanduan bermain online game, sebagai berikut. a. Sosial Hubungan dengan teman dan keluarga menjadi renggang karena waktu bersama mereka menjadi jauh berkurang. Pergaulan remaja hanya sebatas di online game saja, sehingga membuat para pecandu online game menjadi terisolir dari teman-teman dan lingkungan pergaulan nyata. Keterampilan sosial menjadi berkurang, sehingga semakin merasa sulit berhubungan dengan orang lain. Perilaku gamer menjadi kasar dan agresif karena terpengaruh oleh apa yang dilihat dan dimainkan dalam permainan online game. b. Psikis Pikiran remaja menjadi terus menerus memikirkan game yang sedang dimainkan. Sulit berkonsentrasi terhadap studi, pekerjaan, sering bolos, atau menghindari pekerjaan. Membuat remaja menjadi cuek, acuh tak acuh, kurang peduli terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitar. Melakukan apapun demi bisa bermain game, seperti berbohong, mencuri uang, dll. Terbiasa hanya berinteraksi satu arah dengan komputer membuat remaja menjadi tertutup, sulit mengekspresikan diri ketika berada di lingkungan nyata. c. Fisik Terkena paparan cahaya radiasi komputer dapat merusak saraf mata dan otak. Kesehatan jantung menurun akibat bergadang 24 jam bermain online game. ginjal dan lambung juga terpengaruh akibat banyak duduk, kurang minum dan lupa makan karena keasyikan bermain. Berat badan menurun akbiat lupa makan, atau bisa juga bertambah karena banyak makan makanan ringan dan jarang berolahraga. Mudah lelah ketika melakukan aktivitas fisik, kesehatan tubuh
25
menurun akibat kurang olahraga, bila dibiarkan terus berlanjut dapat mengakibatkan kematian.
8. Penanganan Kecanduan Online Game Pada tahun 2009 salah satu organisasi yang menangani kecanduan di Jerman melakukan program untuk mengeksplorasi kemungkinan penggunaan terapi kognitif perilaku (CBT) dan treatmen berbasis Motivational Interviewing untuk menangani kecanduan internet termasuk kecanduan online game di dalamnya. Program pelatihan gaya hidup ini dilakukan terhadap 12 orang yang mengalami kecanduan internet. Para terapis dalam program tersebut melaporkan bahwa terapi kognitif perilaku (CBT) dan Motivational Interviewing (MI) yang biasanya digunakan untuk klien ketergantungan narkoba dan pecandu judi cukup sesuai digunakan sebagai intervensi bagi klien yang mengalami kecanduan internet termasuk pemain online game. kedua intervensi tersebut terutama difokuskan untuk mengendalikan dan mengurangi penggunaan internet memperluas kontak sosial dalam dunia nyata, menyusun kembali aktifitas sehari-hari, penggunaan waktu luang secara kontruktif, serta pembentukan kembali keyakinan-keyakinan. Kebanyakan klien dalam program ini mengindikasikan masalah sosial dan psikologis yang serius, akan tetapi sangat beragam dalam perilaku adiksi internet yang aktual. Program intervensi tersebut mencapai kemajuan bagi kedua belas klien,
terlihat
dari
hasil
pengukuran
pre-test
dan
post-test
mengenai
perkembangan dan kepuasan klien serta penurunan gejala perilaku kecanduan yang ditunjukan oleh klien.
B. SELF MANAGEMENT 1. Definisi Manajemen diri Manajemen diri atau pengelolaan diri adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya konseli (remaja) mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik terapeutik (Cormier & Cormier, 1985:519).
26
Manajemen diri sebagai kontrol dari respon tertentu melalui stimulus yang dihasilkan dari respon lain pada individu yang sama yaitu melalui stimulus yang dibangkitkan oleh diri sendiri (Sydney W. Bijou, 1984; dalam Cormier & Cormier, 1985). Mahoney & Thoresen mengatakan manajemen diri berkenaan dengan kesadaran dan keterampilan untuk
mengatur keadaan
sekitarnya
yang
mempengaruhi tingkah laku individu (Fauzan, 1992:35). Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa teknik manajemen diri merupakan suatu teknik untuk pengubahan dan pengembangan perilaku yang menekankan pentingnya ikhtiar dan tanggung jawab pribadi untuk mengubah dan mengembangkan perilakunya sendiri. Pengubahan perilaku ini dalam prosesnya lebih banyak dilakukan oleh individu (konseli) yang bersangkutan, bukan diarahkan atau bahkan dipaksakan oleh orang lain (konselor). Teknik perubahan perilaku manajemen diri merupakan salah satu dari penerapan teori modifikasi perilaku dan merupakan gabungan teori behavioristik dan teori kognitif sosial. Hal ini merupakan hal baru dalam membantu konseli menyelesaikan masalah karena didalam teknik ini menekankan pada konseli untuk mengubah tingkah laku yang dianggap merugikan yang sebelumnya menekankan pada bantuan orang lain. Cognitive-behavior therapy mulai banyak dibicarakan pada tahun 70-an, salah satu tokohnya adalah Meichenbaum. Cognitive-behavior therapy (CBT) merupakan salah satu rumpun aliran konseling direktif yang dikemukakan oleh Williamson dengan modifikasi bersama teknik kogniif. Manajemen diri merupakan salah satu model dalam cognitive-behavior therapy. Karena teknik manajemen diri merupakan rumpun atau teknik yang berakar dari teori pengkondisian operan (operant conditioning). Teori ini melahirkan apa yang disebut “Law of Effect”(hukum akibat). Teori ini menerangkan jika siswa merasa kepuasaan maka respon itu cenderung diulang tetapi sebaliknya jika suatu respon itu tidak menyenangkan maka respon itu ditinggalkan.
27
Asumsi dasar kognitif perilaku adalah proses kognitif yang berperan penting dalam perilaku. Perilaku dikendalikan oleh interaksi yang kompleks antara peristiwa internal dan kekuatan lingkungan (Ilfiandra, 2008:53). Dengan kata lain, pendekatan kognitif perilaku adalah proses kognisi yang merupakan mediasi bagi perilaku, pengalaman dan perubahan perilaku yang diharapkan, karena aspek kognitif memiliki peranan penting terutama dalam mempertimbangkan berbagai tindakan yang hendak dilakukan, menentukan pilihan-pilihan tindakan itu, dan mengambil keputusan tindakan perilakunya. Anggapan dasar manajemen diri merupakan teknik kognitif behavioral adalah bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan positif maupun negatif. Setiap perilaku manusia itu merupakan hasil dari proses belajar (pengalaman) dalam merespon berbagai stimulus dari lingkungannya. Namun manajemen diri juga menolak pandangan behavioral radikal yang mengatakan bahwa manusia itu sepenuhnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungannya. Manajemen diri meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), kontrak atau perjanjian perilaku dengan diri sendiri (selfcontracting), dan penguasaan terhadap rangsangan (stimulus control) (Gunarsa, 1996:225-226). Keempat strategi ini secara khusus diklasifikasikan sebagai manajemen diri karena dalam setiap prosedur, konseli secara mandiri, mengubah atau mengontrol masa lalu dan konsekuensinya untuk menghasilkan perubahan perilaku yang diinginkan. Selanjutnya dinyatakan bahwa self-instructional merupakan teknik kognitif yang mempunyai peranan penting atau sebagai penyokong terhadap manajemen diri. “Cognitive theory suggest that some problems in self-management may be caused by faulty construct or other cognitions about the world or people arounds us, or of ourselves”(Yates,1985:63). Pengaruh teori kognitif pada masalah-masalah manajemen diri disebabkan oleh kesalahan konstruksi-konstruksi atau kognisi-kognisi yang lain tentang dunia atau orang-orang di sekitar kita atau diri kita sendiri. Self-instructional atau menginstruksi diri sendiri pada hakikatnya adalah bentuk restrukturisasi aspek kognitif. Urgensi dari hal tersebut bahwa pernyataan terhadap diri sendiri sama
28
pengaruhnya dengan pernyataan yang dibuat orang lain terhadap dirinya (Meichenbaum; dalam Gunarsa, 1996:228). Manajemen diri merupakan serangkaian teknik untuk mengubah perilaku, pikiran dan perasaan. Aspek-aspek yang dikelompokan ke dalam prosedur manajemen diri menurut Yates (1985:4) adalah: a. Management by antecedent: pengontrolan reaksi terhadap sebab-sebab atau pikiran dan perasaan yang memunculkan respon. b. Management by consequence: pengontrolan reaksi terhadap tujuan perilaku, pikiran dan perasaan yang ingin dicapai. c. Cognitive techniques: pengubahan pikiran, perilaku dan perasaan. Dirumuskan dalam cara mengenal, mengeliminasi dan mengganti apaapa yang terefleksi pada antecedents dan consequence. d. Affective techniques: pengubahan emosi secara langsung. Berdasarkan uraian diatas, manajemen diri merupakan seperangkat prinsip atau prosedur yang meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reincforcement yang positif (self-reward), perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), penguasaan terhadap rangsangan (stimulus control) dan merupakan keterkaitan antara teknik cognitive, behavior, serta affective dengan susunan sistematis berdasarkan
pendekatan
cognitive-behavior
therapy,
digunakan
untuk
meningkatkan keterampilan siswa dalam proses pembelajaran yang diharapkan.
2. Tujuan Manajemen Diri a. Memberikan peran yang lebih aktif pada remaja dalam proses konseling. b. Keterampilan remaja dapat bertahan sampai di luar sesi konseling. c. Perubahan yang mantap dan menetap dengan arah prosedur yang tepat. d. Menciptakan keterampilan belajar yang baru sesuai harapan. e. Remaja dapat memola perilaku, pikiran, dan perasaan yang diinginkan.
3. Manajemen Diri sebagai Suatu Strategi Konseling Manajemen diri adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya remaja mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan suatu
29
teknik atau kombinasi teknik terapetik (Cormier & Cormier, 1985:519). Manajemen diri merupakan suatu strategi yang masih relatif baru dalam dunia konseling: “Self-management is a relative recent strategy in counseling” (Cormier & Cormier, 1985:519). Manajemen diri baru muncul pada tahun 1970 dari tradisi konseling behavioral kontemporer setelah kaum behavioral memperhatikan pentingnya peranan kognisi terhadap terjadinya perubahan perilaku dan memberikan apresiasi terhadap kekuatan self-directed behavior (Shelton, 1976:129). Pengembangan dan penggunaan manajemen diri dalam konseling pada mulanya dikembangkan oleh Williams dan Long (Corey, 1982:143). Beberapa pelopor dan penganjur, yang selanjutnya juga menjadi pengembang, strategi manajemen diri adalah Meichenbaum dengan self-intstruction-nya, Mahoney dan Thorensen dengan self-control-nya, serta Watson dan Tarp dengan self-directionnya (Zakiyah, 2010:32) Pada awal dikembangkannya manajemen diri masih belum terdapat istilah yang mantap untuk digunakannya masih belum ada kesepakatan dari para pelopornya
sehingga
masih
bervariasi
istilah
yang
digunakan.
Sangat
bervariasinya istilah yang digunakan itu sempat menimbulkan kekaburan dan kebingungan terminologis. Hanya saja, para pakar konseling itu sepakat bahwa pada intinya menunjuk kepada strategi pengubahan dan pengembangan perilaku yang sangat menekankan pada kemampuan individu untuk melakukannya sendiri dengan seminimal mungkin adanya arahan dari konselor. Meskipun pada awalnya masih
bervariasi
istilah
yang
digunakan,
tetapi
pada
perkembangan-
perkembangan selanjutnya terdapat kesepakatan untuk menggunakan istilah manajemen diri. Demikian pula Cormier dan Cormier (1989:519) memandang lebih tepat menggunakan istilah manajemen diri itu karena: a. Manajemen diri lebih menunjuk pada pelaksanaan dan penanganan kehidupan seseorang dengan menggunakan keterampilan yang dipelajari. b. Manajemen diri juga dapat menghindarkan konsep inhibisi dan pengendalian dari luar yang seringkali dikatkan dengan konsep control dan regulasi.
30
Berdasarkan pandangan tentang hakikat manusia dan perilakunya itu, manajemen diri bertujuan untuk membantu remaja agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri, mencatat perilaku-perilaku tertentu (pikiran, perasaan, dan tindakannya) dan interaksinya dengan peristiwa-peristiwa lingkungannya, menata kembali lingkungan sebagai isyarat khusus atau antecendent atau respon tertentu, serta menghadirkan diri dan menentukan sendiri stimulus positif yang mengikuti respon yang diinginkan. Ada beberapa asumsi dasar yang melandasi manajemen diri sebagai strategi pengubahan dan pengembangan perilaku dalam konseling yaitu: a. Pada dasarnya konseli memiliki kemampuan untuk mengamati, mencatat, dan menilai pikiran, perasaan, dan tindakannya sendiri. b. Pada dasarnya konseli memiliki kekuatan dan keterampilan yang dapat menyeleksi faktor-faktor lingkungan. c. Pada dasarnya konseli memiliki kekuatan untuk memilih perilaku yang dapat menimbulkan rasa senang dan menjauhkan perilaku yang menimbulkan perasaan tidak senang. d. Penyerahan tanggungjawab kepada konseli untuk mengubah atau mengembangkan perilaku positifnya karena konselilah yang paling tahu, paling bertanggungjawab, dan dengan demikian paling mungkin untuk mengubah dirinya. e. Ikhtiar mengubah atau mengembangkan diri atas dasar inisiatif dan penemuan sendiri, membuat perubahan itu bertahan lama (Cormier & Cormier, 1985; Nye, 1975; Mayer, 1978; O’learly & O’learly, 1977). Ditekankan juga disini bahwa meskipun konselor dapat melakukan prosedurprosedur manajemen diri untuk remaja, namun sebaiknya remaja yang melakukannya sendiri dengan sedikit mungkin bantuan dari konselor. Seperti yang dikemukakan oleh Mahoney dan Thorensen (Krumbolt & Saphiro, 1979: 415) mendefinisikan : ”Behavioral self-management refers to that affect an individual’s behavior.” Dan Shelton (1979:129) mendefinisikan : “Behavior selfmanagement refer to behavior which allows clients to assume responsibility for
31
their own actions through the manipulation of external or internal events”. Dua definisi ini menyiratkan adanya penekanan mengenai kemampuan dan tanggung jawab pribadi untuk mengarahkan perilakunya sendiri menuju kearah perubahan yang diinginkan. Perubahan tingkah laku yang didasarkan pada kemauan, kesadaran dan kemampuan individu sendiri akan lebih tahan lama. Karena individu menganggap bahwa keberhasilan tersebut bukan terjadi atas usahanya sendiri dan ada campur tangan orang lain yang berupa stimulus lingkungan, tetapi usaha diri sendirilah yang lebih berpengaruh. Dalam menggunakan strategi manajemen diri untuk mengubah perilaku, remaja berusaha mengarahkan perubahan perilakunya dengan cara memodifikasi aspek-aspek lingkungan atau mengadministrasikan konsekuensi-konsekuensi (Jones, Nelson & Kazdin, 1977:51). Penggunaan strategi manajemen diri, di samping remaja dapat mencapai perubahan perilaku sasaran yang diinginkan juga dapat berkembang kemampuan manajemen diri (Zakiyah, 2010:36).
4. Teknik Konseling Manajemen Diri Kata teknik mengandung pengertian sebagai pengaturan terhadap suatu rancangan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1954:773), teknik bermakna hal mengerjakan (mengatur) segala sesuatu dan juga untuk membuat sesuatu. Sedangkan konseling merupakan proses komunikasi bantuan yang amat penting. Diperlukan model yang dapat menunjukan kapan dan bagaimana konselor melakukan intervensi kepada konseli. Konseling memerlukan skill atau keterampilan pada pelaksanaanya (Rahmayani, 2011:29). Jadi, teknik konseling berarti seperangkat aturan dan upaya untuk menjalankan praktek bantuan berdasarkan teori dan keterampilan konseling (Rahmayani, 2011:30). Teknik konseling manajemen diri merupakan seperangkat aturan dan upaya untuk menjalankan praktek bantuan profesional terhadap konseli (remaja) agar mereka dapat mengembangkan potensi dan memecahkan setiap masalahnya dengan mengimplementasikan seperangkat prinsip atau prosedur yang meliputi pemantaun diri (self-monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), penguasaan terhadap rangsangan
32
(stimulus control) dan merupakan keterkaitan antara teknik cognitive, behavior, serta affective dengan susunan sistematis berdasarkan pendekatan cognitivebehavior therapy, digunakan untuk meningkatkan keterampilan dalam proses pembelajaran yang diharapkan. Secara aplikatif, dapat digunakan pada layanan konseling individual maupun kelompok sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan kata manajemen diri dikemukakan oleh Corey (1991; dalam Gunarsa, 1996:226). Sedangkan Watson & Tarp (1989; dalam Gunarsa, 1996:226) mempergunakan istilah self-directed (pengarahan diri) yang mempunyai istilah sama dengan self-control (penguasaan diri). Teknik manajemen diri meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reincforcement yang positif (self-reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), dan penguasaan terhadap rangsangan (stimulus-control) (Gunarsa, 1996:225-226). a. Self-monitoring Self-monitoring adalah upaya konseli untuk mengamati diri sendiri, mencatat sendiri tingkah laku tertentu (pikiran, perasaan dan tindakan) tentang dirinya dan interaksinya dengan peristiwa lingkungan. Pemantauan diri (selfmonitoring) merupakan suatu proses remaja mengamati dan mencatat segala sesuatu tentang dirinya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Pemantauan diri juga sangat berguna untuk evaluasi. Pemantauan diri biasanya digunakan remaja untuk mengumpulkan daftar data dalam suatu proses treatment. Remaja harus mampu menemukan apa yang terjadi sebelum menerapkan strategi pengubahan diri, sedangkan konselor harus mengetahui apa yang tengah berlangsung sebelum melakukan tindakan. Pada tahap ini remaja mengumpulkan dan mencatat data tentang perilaku yang hendak diubah, penyebab perilaku dan konsekuensi perilaku. Remaja juga mencatat seberapa banyak dan sering perilaku itu sering terjadi. Dengan kata lain, berbagai teknik manajemen diri harus didahului oleh sebuah observasi diri dan pencatatan. Dalam penggunaan pemantauan diri sebagai strategi perubahan, sangat penting untuk memaksimalkan efek reaktif dari pemantauan diri, setidaknya langsung pada perubahan perilaku yang diinginkan. Nelson, Boykin, dan Hayes (Cormier & Cormier, 1985:523) menemukan bahwa pemantauan diri sangatlah
33
akurat untuk waktu yang lama. Reaktifitas dipertahankan untuk waktu yang lama tetapi tidak dilanjutkan ketika monitoring diri dihentikan.Cormier dan Cormier (1986:524) menyatakan: ”Bagaimana proses perubahan itu tentunya sulit untuk diamati. Paling jauh hanya dapat mengatakan bahwa proses kognitif remaja selama melakukan kegiatan pemantauan diri telah bekerja dan mengarahkan kepada suatu perubahan perilaku setelah remaja memperoleh pemahaman diri”. Unutuk menegetahui adanya perubahan itu dapat dilihat dari hasil akhir setelah remaja melakukan pemantauan diri. Adapun langkah-langkah dari pantau diri yaitu: 1) Remaja menyeleksi perilaku atau perasaan yang ingin diubah. 2) Remaja menyusun tujuan-tujuan untuk target yang diharapkan dan menghindari hambatan-hambatanya. 3) Remaja menargetkan reaksi-reaksi dari self-monitoring. 4) Remaja mengawasi akibat dari setiap reaksi yang dialami. 5) Remaja
mengevaluasi
pengelolaan
monitoring
untuk
melihat
keberhasilan manajemen diri-nya. Nelson (Cormier & Cormier, 1985: 524) telah mengidentifikasi 8 variabel yang nampak berhubungan dengan kejadian, intensitas, dan arah dari efek reaktif pemantauan diri: 1) Motivasi: konseli yang tertarik mengubah perilaku yang diawasi akan menunjukan efek reaktif ketika diawasi. 2) Valensi target perilaku. Perilaku seseorang yang bernilai positif akan meningkat dengan pemantauan diri (self-monitoring), perilaku negatif akan menurun, perilaku yang netral mungkin tidak berubah. 3) Jenis perilaku yang ditargetkan, sifat perilaku yang sedang dimonitoring dapat mempengaruhi sejauh mana prosedur selfmonitoring berpengaruh terhadap perubahan. 4) Pengaturan standar (tujuan), penguatan, dan timbal balik. Reaktivitas dapat ditingkatkan untuk orang-orang yang dapat menghubungkan antara tujuan dan ketersediaan panguatan kinerja dan timbal balik.
34
5) Pengaturan pemantauan diri (self-monitoring). Waktu saat perekaman diri seseorang dapat mempengaruhi reaktivitas monitoring diri (selfmonitoring). Hasilnya bisa saja berubah tergantung pada apakah pemantauan diri (selfmonitoring) terjadi sebelum atau setelah target merespon. 6) Peralatan yang digunakan untuk pemantauan diri (self-monitoring). Semakin terlihatnya alat rekam akan terlihat lebih reaktif daripada peralatan yang tidak terlihat. 7) Jumlah respon target yang dimonitor. Hanya satu self-monitoring yang dapat meningkatkan respon reaktivitas. Semakin banyak respon yang secara bersamaan dimonitor, maka reaktivitas semakin menurun. 8) Jadwal self-monitoring, frekuensi self-monitoring seseorang dapat mempengaruhi
reaktivitas.
Melanjutkan
self-montoring
dapat
menghasilkan perubahan perilaku yang lebih banyak daripada rekaman diri (self-recording) yang tidak teratur. Fremouw dan Burron (1980:107) menjelaskan 3 faktor yang dapat berkontribusi terhadap efek reaktif self-monitoring, yaitu: 1) Karakteristik konseli, kemampuan pisik dan intelektual konseli dapat dikaitkan dengan reaktivitas yang lebih besar ketika self-monitoring berlangsung. 2) Harapan. Konseli mencari pertolongan mungkin memiliki beberapa harapan untuk perubahan perilaku yang diinginkan. Tidak mungkin untuk memisahkan harapan konseli dari “permintaan” terapi untuk mengubah target perilaku secara implisit maupun eksplisit . 3) Keterampilan mengubah perilaku. Reaktivitas dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan ketrampilan konseli terkait dengan perubahan perilaku. b. Self–Reward Self–reward digunakan untuk memperkuat atau menambah respons yang diinginkan. Self-reward berfungsi mempercepat target tingkah laku. Penghargaan terhadap diri sendiri (selfreward), digunakan untuk membantu remaja mengatur
35
dan memperkuat perilakunya melalui konsekuensi yang dihasilkannya sendiri. Banyak tindakan remaja yang dikendalikan oleh konsekuensi yang dihasilkanya sendiri sebanyak yang dikendalikan oleh konsekuensi eksternal. Bandura (1986:87) mengatakan: “people typicalty set themselves certain standars of behavioral and self-administer rewarding or punishing concequences depending on whether their performances fatl short of, match, or exceed their self-prescribed demands”. Dengan demikian, mengubah atau mengembangkan perilaku dengan menggunakan dilakukan
sebanyak-banyaknya
dalam
konseling.
penghargaan
Seperti
halnya
diri
(self-reward)
prosedur
pemantauan
dapat diri,
penghargaan diri digunakan untuk memperkuat atau meningkatkan respon yang diinginkan. Manfaat terpenting dari penghargaan diri adalah bahwa seseorang dapat menggunakan dan mengaplikasikan strategi ini secara bebas. Penghargaan diri dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, positif dan negatif. Penghargaan diri yang positif, seseorang memberikan pada dirinya dengan stimulus yang positif setelah terikat dalam perilaku yang spesifik. Contoh dari penghargaan diri yang positif adalah memuji diri sendiri setelah menyelesaikan makalah yang banyak dan sulit. Dari dua bentuk penghargaan diri positif dan negatif, menurut Cormier dan Cormier (1985:539) berdasarkan kajian terhadap hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa penghargaan diri yang positif lebih efektif untuk mengubah atau mengembangkan perilaku sasaran. Oleh sebab itu, yang lebih dianjurkan adalah penghargaan diri yang positif. Penghargaan diri yang negative melibatkan pemindahan stimulus yang negative setelah eksekusi target respon. Mengenai penghargaan diri yang negative dibatasi untuk mengunakan penghargaan diri untuk beberapa alasan. Pertama, terdapat sedikit penelitian untuk memvalidasi prosedur penghargaan diri yang negative. Kedua, dari definisi penghargaan diri yang negative melibatkan aktivitas permusuhan atau penghargaan diri yang negatif bersifat asertif, yang biasanya kurang menyenangkan bagi orang yang melakukannya. Bagi seorang konselor tidak direkomendasikan untuk menggunakan strategi yang bermusuhan, karena konseli akan merasa bahwa mengakhiri konseling akan lebih baik untuk menghindari proses perubahan yang tidak menyenangkan
36
daripada melanjutkan melanjutkannya. Penghargaan diri melibatkan perencanaan mengenai penghargaan yang tepat pada kondisi seperti apa yang akan digunakan dan akan dilaksanakan oleh konseli. Penghargaan diri dapat dijelaskan melalui 4 komponen penting: 1) Memilih penghargaan yang tepat a) Menggunakan penghargaan yang mudah diakses. b) Menggunakan beberapa penghargaan. c) Menggunakan tipe penghargaan yang berbeda (verbal/simbolik, material). 2) Menggunakan penghargaan yang ampuh. a) Menggunakan penghargaan yang tidak menghukum terhadap yang lainnya. b) Mencocokan penghargaan terhadap respon yang ditargetkan. 3) Peluncuran penghargaan diri a) Monitor diri untuk data dan target respon. b) Menspesifikan apa dan berapa banyak penghargaan diri dilakukan. c) Menspesifikan frekuensi penguatan dalam jumlah yang kecil untuk tingkatan yang berbeda pada target respon. 4) Waktu penghargaan diri a) Penghargaan harus diberikan setelah, bukan sebelum perilaku. b) Penghargaan harus secepatnya. c) Penghargaan harus mengikuti performa bukan janji. 5) Perencanaan untuk pemeliharaan perubahan diri a) Meminta bantuan orang lain untuk berbagi (sharing) atau memberikan penghargaan. b) Meninjau kembali data bersama konselor. Keefektifan penggunaan penghargaan diri tergantung pada adanya peristiwa yang benar-benar memperkuat konseli. Konselor dapat menolong konseli dalam memilih penghargaan diri yang sesuai, karena perencanaan harus dilakukan secara cermat dalam rangka memilih memilih penghargaan diri yang sesuai bagi remaja
37
dan perilaku sasaran yang diinginkan. Penghargaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, diantaranya : 1) Penghargaan
verbal/simbolik
yakni
menghadiahi
diri
dengan
mengatakan kepada diri sendiri (pujian diri), misalnya mengatakan: “saya melakukan pekerjaan yang baik, jika saya mau bersungguhsungguh.” 2) Penghargaan material adalah sesuatu yang nyata, seperti: sebuah film, membelikan sesuatu seperti banana split, berbelanja, dan sejenisnya. 3) Penghargaan imaginal (gambaran) adalah rahasia visualisasi adegan atau
situasi
yang
menyenangkan
dan
memberikan
perasaan
membahagiakan, yang termasuk penguat imaginal diantaranya adalah menggambarkan diri sebagai seeorang yang langsing setelah mengalami kegemukan. 4) Penghargaan lumrah (current) yakni sesuatu yang menyenangkan yang terjadi secara rutin atau sehari-hari, seperti: makan, ngobrol dengan teman, atau membaca komik/koran. 5) Penghargaan potensial yakni sesuatu yang bakal menjadi sesuatu yang baru dan lain dari biasanya manakala sesuatu itu terjadi, misalnya: membeli barang yang lebih bagus daripada biasanya ketika dapat menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik. c. Kontrak atau Perjanjian dengan Diri Sendiri (Self-Contracting) Kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), merupakan bentuk peneguhan dan keyakinan diri bahwa diri akan melakukan serangkaian pengubahan perilaku dengan serangkaian perencanaan yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri. Langkah-langkah dalam self-contracting menurut Yates (1985:168) adalah sebagai berikut: 1) Konseli membuat perencanaan untuk mengubah perilaku yang ingin dirubahnya. 2) Konseli meyakini target yang ingin dirubahnya. 3) Konseli bekerjasama dengan teman atau pun keluarga untuk program manajemen diri-nya.
38
4) Konseli akan menanggung resiko apapun mengenai program manajemen dirinya. 5) Konseli menuliskan peraturan untuk diriya sendiri selama menjalani proses manajemen diri. d. Stimulus Control Stimulus control adalah penyusunan atau perencanaan kondisi-kondisi lingkungan
yang
telah
ditentukan
sebelumnya,
yang
membuat
terlaksananya/dilakukannya tingkah laku tertentu. Kondisi lingkungan berfungsi sebagai tanda/anteseden dari suatu respons tertentu, dengan kata lain anteseden merupakan suatu stimulus untuk suatu respons tertentu. Kendali stimulus menekankan pada penataan kembali atau modifikasi lingkungan sebagai isyarat khusus atau penyebab atas respon tertentu. Kanfer (1980:361) mendefinisikan stimulus control sebagai pengaturan yang ditentukan terhadap kondisi lingkungan yang membuatnya menjadi tidak mungkin atau kurang baik untuk terjadinya perilaku yang kurang diinginkan. Metode
stimulus
control
menekankan
pada
penyusunan
kembali
atau
memodifikasi kondisi lingkungan yang tepat yang berperan sebagai isyarat atau antecedents pada respon tertentu. Sebagaimana dijelaskan dalam model perilaku ABC (Antecedent Behavior Consequence), tingkah laku seringkali dibimbing oleh suatu yang mendahului (antecedent) dan dipelihara oleh peristiwa-peristiwa positif atau negatif yang mengikutinya (consequence). Kendali stimulus dapat digunakan untuk mengurangi atau meningkatkan perilaku tertentu. Untuk mengurangi perilaku tertentu, isyarat khusus yang merupakan antecedent bagi perilaku tertentu harus dikurangi frekuensinya, ditata kembali, atau diubah waktu dan tempat kejadiannya. Cormier dan Cormier (1985:42) mengemukakan secara rinci prinsip-prinsip pengubahan perilaku dengan menggunakan kendali stimulus dalam rangka mengurangi perilaku yang tidak diinginkan atau meningkatkan perilaku yang diinginkan. Prinsip-prinsip perilaku yang tidak diinginkan atau untuk menurunkan perilaku, yaitu:
39
1) Menyusun kembali atau mengubah isyarat yang terkait dengan tempat perilaku. 2) Menyusun kembali sehingga mereka dapat dikontrol oleh yang lainnya. 3) Mengubah waktu atau urutan antara isyarat antecedent dan perilaku yang dihasilkan: a) Memisahkan urutan, b) Mengubah urutan, c) Membuat jeda dalam urutan. Adapun prinsip-prinsip meningkatkan perilaku yang diinginkan menurut Cormier dan Cormier (1985:42), yaitu: Mencari isyarat dengan menampilkan perilaku yang diinginkan 1) Berkonsentrasi pada perilaku ketika dalam situasi tertentu. 2) Secara berangsur-angsur menampilkan perilaku pada situasi yang lain. 3) Memberitahukan isyarat kejadian yang membantu kepada orang lain atau dengan peringatan keberhasilan diri. Hasil observasi Mahoney & Thorensen (1974) metode stimulus control pada umumnya tidak cukup untuk perubahan diri jangka panjang tanpa dibarengi dengan metode manajemen diri lainnya yang mengontrol konsekuensi pada target perilaku. Hal ini senada dengan pendapat Cormier dan Cormier (1985:538), kendali stimulus saja masih belum cukup untuk mengubah perilaku tanpa didukung oleh teknik yang lain: ”Stimulus-control methods often are insuffticient to modify behavior without the support of the strategies”. Sehubungan dengan ini Cormier dan Cormier menyarankan agar teknik kendali stimulus dikombinasikan dnegan pantau diri atau ganjar diri. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam kendali stimulus ini adalah: 1) Remaja memilih perilaku, pikiran, atau perasaan yang ingin ditinggalkan atau dikurangi. 2) Remaja
diarahkan
untuk
menemukan
perangsang
mempertinggi reaksi dan yang menghambatnya. 3) Remaja menyusun perangsang di sekitar yang ingin dia ubah.
yang
40
5. Kekuatan-Kekuatan Teknik Manajemen Diri Secara praktis, teknik manajemen diri memiliki kekuatan-kekuatan sebagai berikut: a. Manajemen diri merupakan bentuk pengubahan perilaku yang dalam prosesnya lebih banyak dilakukan oleh individu yang bersangkutan, bukan diarahkan, apalagi dipaksakan oleh orang lain. b. Manajemen diri mendasarkan pada tanggungjawab individu untuk bertindak melalui manipulasi peristiwa-peristiwa internal dan eksternal. c. Manajemen diri sangat menonjolkan kemampuan individu untuk belajar dan mengarahkan dirinya. Karena pada dasarnya, individu itulah yang paling tahu, paling bertanggungjawab dan paling mungkin untuk mengubah dirinya bukan oleh orang lain. Karena dalam merubah atau mengembangkan perubahan perilaku yang dilakukan oleh kehendak sendiri dapat bertahan lama, berbeda dengan perubahan yang dilakukan atas dasar kehendak orang lain hal tersebut tidak akan bertahan lama. d. Manajemen diri menuntut individu atau konseli untuk mampu mengendalikan kemampuan dalam mengendalikan dirinya dan mampu bekerja secara tertib dan tekun di dalam memantau perilakunya, memikirkan mengapa berperilaku seperti itu, mengembangkan keinginan untuk mengubah perilakunya, dan berkomitmen dengan diri untuk mengembangkan sikap positif. e. Strategi manajemen diri dapat dikenakan kepada berbagai perilaku sasaran (Krumboltz & Thorensen, 1976:426). Menurut Asrori (1995:10-11) secara empiris, telah banyak temuan-temuan penelitian yang menunjukan keefektifan strategi manajemen diri untuk mengubah perilaku atau mengembangkan berbagai perilaku maupun kinerja akademik, diantaranya sebagai berikut: a. Penelitian Greiner dan Karoly (Asrori, 1995:10) membuktikan teknik manajemen diri dapat memperbaiki perilaku belajar dan kinerja
41
akademik, dan hasilnya akan jauh lebih baik jika tidak hanya menggunakan satu teknik saja. b. Penelitian lainnya Jackson dan Van Zoost (Asrori, 1995:11) teknik manajemen diri menunjukan keefektifannya untuk membantu siswa yang memiliki resiko gagal tinggi dalam studinya. c. Penelitian Shelton (Asrori, 1995:11) teknik manajemen diri ternyata efektif membantu siswa yang mengalami ketakutan dalam menghadapi ujian. d. Green (Cormier & Cormier, 1985) dalam penelitiannya mendapati bahwa kombinasi self-monitoring dan self-reward efektif untuk meningkatkan nilai dan perilaku akademik serta mengurangi perilaku menunda-nunda. e. Di Malaysia, Bakar (Cormier & Cormier, 1985) dalam penelitiannya menggunakan teknik manajemen diri untuk meningkatkan ketekunan belajar (learning persistence) pada siswa sekolah menengah, hasilnya menunjukan bahwa teknik manajemen diri dapat meningkatkan ketekunan belajar sebesar 70,64% dibandingkan sebelum diintervensi melalui teknik manajemen diri. f. Keefektifan teknik manajemen diri juga telah dilakukan di Indonesia dalam latar sekolah. Lutfi Fauzan (1992) melakukan penelitian dengan menggunakan teknik manajemen diri untuk memperbaiki kebiasaan belajar siswa SMA, hasilnya menunjukan bahwa teknik manajemen diri efektif untuk mengembangkan kebiasaan belajar siswa SMA, baik dengan atau tanpa mengendalikan IQ dan motif berprestasi. Bahkan bukan hanya kebiasaan belajanya saja yang berkembang dengan baik, tetapi manajemen diri atau pengelolaan diri-nya pun juga berkembang dengan baik.
42
6. Keterkaitan Teknik Manajemen Diri untuk Mengurangi Kecanduan Online Game Teknik manajemen diri merupakan turunan dari konseling kognitif perilaku. Karena teknik manajemen diri merupakan rumpun atau teknik yang berakar dari teori pengkondisian operan (operant conditioning). Manajemen diri merupakan perilaku kontemporer yang berada dalam rumpun kognitif behavioral: mengubah atau mengembangkan perilaku melalui intervensi terhadap proses kognitif (Yates, 1985: xiiii: Pervin, 1984; Cormier dan Cormier, 1985: 520). Asumsi dasar kognitif perilaku adalah proses kognitif yang berperan penting dalam perilaku. Perilaku dikendalikan oleh interaksi yang kompleks antara peristiwa internal dan kekuatan lingkungan (Ilfiandra, 2008:53). Dengan kata lain, pendekatan kognitif perilaku adalah proses kognisi merupakan mediasi bagi perilaku, pengalaman, dan perubahan perilaku yang diharapkan karena aspek kognitif memiliki peranan penting terutama dalam mempertimbangkan berbagai tindakan yang hendak dilakukan, menentukan pilihan-pilihan tindakan itu, dan mengambil keputusan tindakan perilakunya. Demikian pula dengan kecanduan online game, termasuk dalam rumpun perilaku. Perilaku kecanduan online game dapat dibina melalui pembiasaaan diri yang dilakukan oleh kesadaran diri bukan paksaan dari orang lain, begitu pun dengan teknik manajemen diri, teknik manajemen diri membiasakan seseorang agar selalu mengintropeksi diri/memonitor diri, menentukan perilaku mana yang hendak dirubah, dan mulai biasa melakukannya dengan dukungan self-reward (penghargaan diri) dan self-contracting (kontrak perjanjian diri). Berdasarkan pengertian diatas diyakini bahwa teknik manajemen diri memberikan sumbangan untuk mengurangi kecanduan online game pada siswa. Teknik manajemen diri dalam penelitian ini adalah suatu strategi pengubahan dan pengembangan perilaku yang menekankan pentingnya ikhtiar dan tanggung jawab pribadi untuk mengubah dan mengembangkan perilakunya sendiri. Pengubahan perilaku ini dalam prosesnya lebih banyak dilakukan oleh individu (siswa) yang bersangkutan, bukan diarahkan atau bahkan dipaksakan oleh orang lain (konselor).
43
Teknik manajemen diri diharapkan dapat mengurangi kecanduan online game pada siswa, karena tujuan dari tenik manajemen diri itu sendiri adalah membantu konseli (siswa) agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan mengembangkan perilaku positifnya sejak dini, perilaku siswa yang kecanduan online game merupakan perilaku negatif dan tidak bisa dibiarkan terus menerus, dengan diberikannya teknik manajemen diri diharapkan siswa dapat mengurangi. Disini siswa yang diberikan perlakuan teknik manajemen diri adalah siswa yang memiliki kecanduan online game yang tinggi.