BAB II TANGGUNG JAWAB WALI ATAS PENGURUSAN HARTA ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT KETENTUAN HUKUM ISLAM
A. Peranan Orang Tua/Wali Dalam Melaksanakan Pengurusan Harta Anak Dibawah Umur Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam Perwalian dalam istilah bahasa adalah wali yang berarti menolong yang mencintai.44Perwalian secara etimologi atau bahasa, memiliki beberapa arti, diantaranya adalah kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari awliya.Kata ini berasal dari bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literatur fiqih perwalian disebut dengan al-walayah(orang yang mengurus atau yang mengusai sesuatu), seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan addilalah.Secara etimologis, perwalian memiliki beberapa arti, di antaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) dan juga berarti kekuasaan atau otoritasseperti
dalam
ungkapan
al-wali,
yakni
orang
yang
mempunyai
kekuasaan.Hakikat dari al-walayah adalah tawalliy al-amr, (mengurus atau menguasai sesuatu).45 Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah, yang berarti penguasaan dan perlindungan, jadi arti dari perwalian menurut fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau
44
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984), hlm. 1960 45 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 134-135
31
32
barang, dimana orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali.46 Untuk memperjelas tentang pengertian perwalian, maka penulis memaparkan beberapa arti antara lain: a.
Perwalian yang berasal dari kata wali mempunyai arti “orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil baligh dan melakukan perbuatan hukum.”47
b.
Dalam kamus praktis, “wali berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa atau pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah (yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).”48
c.
Amin Suma mengatakan “perwalian ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas izin orang lain.49
d.
Sayyid sabiq mengatakan, “wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya menurut beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.”50
46
Soemiyati, Hukum Perkawinan Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 41 47 Soedaryo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat BW, Hukum Islam Dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 60 48 Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 176 49 Muhammad Amin Suma, Op. Cit., hlm. 134. 50 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, ( Bandung: Al Ma’arif, 1980), hlm. 7
33
e.
Ali Afandi menyatakan bahwa perwalian adalah “pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau salah satu dari mereka atau semuanya meninggal dunia, ia berada dibawah perwalian.”51 Pada intinya perwalian adalah pengawasan atas orang sebagaimana di atur
dalam undang-undang, dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa (pupil).52 Demikian juga dengan penguasaan dan perlindungan terhadap seseorang sebagai wali, orang tersebut mempunyai hubungan hukum dengan orang yang dikuasai dan dilindungi, anak-anaknya atau orang lain selain orang tua yang telah disahkan oleh hukum untuk bertindak sebagai wali,oleh karena itu perwalian tersebut adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Orang tua membacakan syahadat ketika anaknya baru lahir, menamainya dengan nama baik, menyunatkannya apabila anaknya laki-laki dan mengajarkan membaca al-qur’an secara benar. Orang tua mendidik anaknya supaya berbakti kepada keluarga dan masyarakat, membetulkan apabila ia melakukan kesalahan serta menasihati dan memberinya contoh yang baik. Syariat menegaskan supaya anak 51
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 156 52 Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 150
34
menghormati dan mematuhi orang tua serta orang yang lebih tua darinya, dan membantu mereka.53 Mengasuh dan merawat anak hukumnya wajib, sama seperti wajibnya orang tua memberikan nafkah yang layak kepadanya dimana semua ini harus dilaksanakan demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup anak. Islam dalam hubungannya dengan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dan perawatan, menuntut agar setiap orang yang berkewajiban memenuhi tugas ini agar melakukannya dengan ikhlas serta sepenuh hati. Menurut Kompilasi Hukum Islam, anak adalah orang yang belum genap berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri.54Ketentuan ini berlaku sepanjang anak tidak mempunyai cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan, oleh karena itu segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak diwakili oleh kedua orang tuanya, baik didalam maupun diluar pengadilan.Dalam hal kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban tersebut, maka pengadilan agama dapat menunjuk seseorang kerabat terdekat untuk melaksanakannya. Menurut ketentuan hukum syari’ah, ada beberapapersyaratan yang harus dipenuhi agar seseorangdapat dijadikan wali bagi anak-anak yang belumatau tidak cakap bertindak secara hukum. Syaratyang dimaksud di antaranya adalah 1.
Orang yang telah cukup umur dan berakalserta cakap bertindak hukum. 53
Ismail R. Al-Faruqi, Altar Budaya Islam, Menjelajah Kazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 185 54 Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam
35
2.
Agama wali harus sama dengan agamaanaknya.
3.
Memiliki sifat adil
4.
Mempunyai kemauan untuk bertindak dan memelihara amanah. Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang perwalian dapat disimpulkan bahwa perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Sementara itu, perwalian dalam pengertian fiqh Islam terbagi tiga, yakni perwalian jiwa (diri pribadi), perwalian harta, dan perwalian jiwa dan harta. Pada umumnya tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam hukum syari’at diatur adalah ibu yang memelihara anaknya ketika bercerai dan jika ibu sudah tidak ada, diserahkan kepada pemelihara yang lebih dekat dengan urutan sebagai berikut: a.
Ibunya ibu (nenek dari ibu)
b.
Ibunya ayah (nenek dari ayah)
c.
Ibunya nenek
d.
Seterusnya dengan mendahulukan perempuan baru laki-laki (kalau sudah tidak ada yang perempuan) seperti bibi.55 Menurut hukum syari’at orang-orang yang berhak ditunjuk menjadi wali anak
dibawah umur terdiri dari: 55
Martiman, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997 ), hlm. 72
36
a.
Jika anak tersebut sudah dapat memilih atau sudah tidak lagi membutuhkan pelayanan perempuan, maka orang yang ditunjuk menjadi wali untuknya diambil dari keluarganya sesuai dengan urutan tertib hukum waris, yaitu siapa yang berhak mendapat warisan terlebih dahulu.
b.
Jika anak tersebut belum dapat memilih, para ahli fiqih berpendapat bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari kerabat ayah dan urutannya sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17)
Nenek dari pihak ibu Kakek dari pihak ibu Saudara perempuan sekandung dari anak tersebut Saudara perempuan se ibu Saudara perempuan se ayah Kemenakan perempuan sekandung Kemenakan perempuan ibu se ibu Saudara perempuan ibu sekandung Saudara perempuan ibu se ibu Saudara perempuan ibu se ayah Kemenakan perempuan ibu se ayah Anak perempuan saudara laki-laki sekandung Anak perempuan saudara laki-laki se ibu Anak perempuan saudara laki-laki se ayah Bibi dari ibu sekandung Bibi dari ibu se ibu Bibi dari ibu se ayah
Urutan perwalian tersebut merupakan urutan-urutan yang dapat ditunjuk oleh hakim pengadilan agama untuk menjadi wali bagi seorang anak, apabila ternyata orang tua si anak sebelum meninggal tidak menunjuk wali untuk anaknya.Penunjukan tersebut diambil dari salah seorang diantara mereka mulai dari kerabat terdekat menurut garis keturunannya.56
56
Bahder Johan Nasution & Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 45-46
37
B. Perwalian Pengurusan Diri Dan Harta Anak Dalam Ketentuan Hukum Islam Dan KUH Perdata Dalam Rangka Melindung Hak Anak Perwalian diatur dalam ketentuan hukum Islam dan KUH Perdata.Islam masuk ke wilayah nusantara terjadi pada kepemimpinan dinasti ummayah, dimana pada zaman dahulu Indonesia dikenal sebagai daerah terkenal akan hasil rempahrempahnya, sehingga banyak sekali para pedagang dan saudagar dari seluruh dunia datang ke kepulauan Indonesia untuk berdagang. Hal tersebut juga menarik pedagang asal Arab, Gujarat, dan Persia, sambil berdagang para pedagang muslim sembari berdakwah untuk mengenalkan ajaran Islam kepada para penduduk.KUHPerdata berlaku di Indonesia pada 1Mei 1848 sampai saat ini KUHPerdata ini masih belaku menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945, segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Berlakunya KUHPerdata ini berdasarkan asas konkordansi ataun asas keselarasan, yakni asas persamaan berlakunya hukum yang dasar hukumnya diatur dalam Pasal 131 ayat (2) IS. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri sianak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak.Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama
38
perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.57 Hukum Islamdan KUH Perdata mengenal berbagai jenis atau macam perwalian. Menurut hukum Islam perwalian terbagi dalam tiga kelompok, dimana paraulama mengelompokan perwalian sebagai berikut: 1.
Perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan-nafs).
2.
Perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal-mal).
3.
Perwalian terhadap jiwa dan harta (al-walayah ‘alan-nafsi wal-mali ma‘an). Dedi Junaedi mengelompokkan perwalian dibagi kedalam dua kategoriyaitu
sebagai berikut: a.
b.
Perwalian umum biasanya mencakup kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti gubernur) dan sebagainya, sedangkan perwalian khusus adalah perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak yatim.58 Perwalian khusus yaitu meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebutdan perwalian terhadap harta bendanya. Para ulama madzhab sepakat bahwa wali dan orang yang menerima wasiat
untuk menjadi wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti, dan seagama, bahkan banyak diantara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil, sekalipun ayah dan kakek.Perwalian ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya.59Oleh karena itu, dasar diadakannya perwalian adalah karena agar tidak terjadi kekosongan (vacuum), karena 57
Ibid., hlm. 104-105 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), hlm. 104 59 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 696 58
39
kekosongan orang tua telah dicabut terhadap anak atau anak-anak yang masih membutuhkannya. Landasan hukum perwalian menurut syari’at dimana dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, merujuk kepada al-qur’an mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya. Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”60 Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya, dimana dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa).Artinya jika anak-anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka dan allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut. Selain dalam konteks al-qur’an dan hadist sebagai landasan ketentuan mengenai perwalian. Dalam konteks sistem hukum, landasan tersebut juga telah diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), landasan hukum terhadap perwalian
60
Firman Allah Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 2
40
tersebut, diatur dalam bab mengenai perwalian. Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan bahwa: (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, dan (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Dalam sistem hukum Islam, wali memiliki tanggung jawab yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang diperwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang dipertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 110 KHI, yaitu: (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalainnya (4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali. Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa: (1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
41
(2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut. (3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya. Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memuat ketentuan mengenai larangan bagi wali, dimana didalam melaksanakan perwalian wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa. Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang mengikat terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali dalam menjaga dan atau memelihara baik jiwa dan harta anak yatim. Menurut KUH Perdata, perwalian terhadap anak, dilakukan baik itu secara orang-perorangan maupun yayasan dan lembaga lainnya, ini merupakan akibat dari adanya kebutuhan yang mengkehendaki adanya perwalian yang ditunjuk oleh pengadilan maupun yang dengan sendirinya dapat terjadi berdasarkan ketentuan hukumnya.Ketentuan hukum perdata mengenai perwalian diatur dalam Pasal 331 sampai dengan Pasal 418 KUH Perdata.Sedangkan arti dari perwalian itu sendiri menurut hukum perdata adalah penguasaan terhadap pribadi dan pengurus harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.Dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua (keduanya) telah meninggal dunia, berada di
42
bawah perwalian.Terhadap anak luar kawin, karena tidak ada kekuasaan orang tua, maka anak tersebut selalu di bawah perwalian. Ada tiga jenis perwalian yang diatur dalam ketentuan hukum perdata yaitu sebagai berikut: 1) Perwalian menurut undang-undang yang diatur dalam Pasal 345 KUH Perdata dimana jika salah satu orang tua meninggal dunia, maka perwalian demi hukum, dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak yang belum dewasa. 2) Perwalian dengan wasiat yang diatur dalam Pasal 355 KUH Perdata dimana setiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim. 3) Perwalian yang diangkat oleh hakim yang diatur dalam Pasal 359 KUH Perdata, dimana dalam hal tidak ada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh hakim dapat ditetapkan atau diangkat seorang wali dari Balai Harta Peninggalan (BHP), baik sebelum maupun sesudah pengangkatan itu dapat melakukan tindakan-tindakan seperlunya guna mengurus diri dan harta kekayaan anak yang belum dewasa sampai perwalian itu mulai berlaku. Menurut Pasal 331 KUH Perdata, dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 351 dan 361 KUH Perdata. Dengan kata lain kedudukan dan wewenang perwalian tidak dapat dibagi-bagi dan harus diserahkan kepada satu wali. Asas tidak dapat dibagi-bagi ini mempunyai kekecualian, yakni:
43
a)
Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama, maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali peserta.61
b) Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang orang yang belum dewasa di luar negeri.62 Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa landasan hukum tentang perwalian dalam hukum perdata terdapat dalam Pasal 330 KUH Perdata. Secara umum, dalam KUH Perdata terdapat beberapa asas mengenai perwalian, yaitu: 1.
Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) dimana pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam Pasal 331 KUH Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu dalam Pasal 351 KUH Perdata disebutkan bahwa jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta. Pasal 361 KUH Perdata, dinyatakan bahwa jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige diluar Indonesia
2.
Asas persetujuan dari keluarga dimana asas persetujuan keluarga merupakan asas dimana keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Jika keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUH Perdata. Dalam KUHPerdata, juga mengatur tentang
61 62
Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
44
perwalian bagi seorang perempun, dimana dalam pasal tersebut dikatakan mengenai wewenang wali “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya.” Namun jika suami tidak memberika izin, maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata “apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.” Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUH Perdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam Pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa “badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali, tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan hukum harus diperintahkan oleh pengadilan.” Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 365 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia memberitahukan
putusan
pengadilan
itu
kepada
dewan
perwalian
dan
kejaksaan.”Akan tetapi jika pengurus badan hukum tersebut tidak dapat menjalankan
45
kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat dicabut kewenangannya sebagai wali. Selain itu, Pasal 379 KUH Perdata mengatur tentang golongan orang yang tidak boleh menjadi wali, yaitu: (1) (2) (3) (4)
Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen). Mereka yang belum dewasa (minderjarigen). Mereka yang berada dibawah pengampuan. Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan (5) Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen Balai Harta Peninggalan (BHP), kecuali terhadap anak-anak atau anak tiri mereka sendiri. Tujuan perwalian pada dasanya menempatkan seorang anak yang belum dewasa dibawah perwalian dimana semua kepentingan dari sianak tersebut menjadi tanggung jawab wali, dimana walibertindak sama seperti orang tua sianak yang masih dibawah umur sewaktu menjalankan kekuasaan siwali, dengan adanya hak perwalian ini meberikan suatu gambaran bahwa setiapmanusia tidak dapat melaksanakan haknya secara individual, yang disebabkanketergantungan dari sifat dan sistem dalam pergaulan sehari-hari jadi anak yangbelum dewasa tidak dapat menentukan sifat yang baik dan yang buruk, penjagaandiri, harta dan lainya.Oleh karena itulah diperlukan adanya hak perwalian pada diri seseorang yangtujuannya agar diri dan harta sianak dapat terjaga dan terpelihara sebagaimana yangtelah diamanatkan oleh undangundang. Sebagaimana diketahui bahwa setiaptindakan hukum itu mempunyai tujuan yang sangat bermanfaat bagi setiap manusiaapalagi menyangkut keselamatan jiwa
46
dan harta seseorang dari orang orang yangtidak bertanggung jawab.Oleh sebab itu masalah perwalian ini mempunyai tujuanyang baik yakni tujuan yang bernilai ibadah dan merupakan bagian dari ajaran agamaIslam.Ada dua tujuan perwalian yakni tujuan perwalian dalam hal perkawinan dantujuan perwalian dalam anak dibawah umur.Tujuan perwalian terhadap anak dibawah umur adalah sebagai berikut: (1) Wali sebagai pemegang kontrol bagi anak maupun bagi orang yang beradadibawah perwaliannya apabila ingin melakukan suatu tindakan hukum. (2) Wali bertindak sebagai pengayom, dalam arti bahwa wali itu selalu menjaga,baik itu menjaga harta maupun jiwa dari hal hal yang tidak diinginkan sepertimenggunakan hartanya dari hal hal yang dilarang oleh agama dan juga dari
hal-hal
yang
membahayakan
jiwanya
atas
orang
yang
berada
dibawahperwaliannya itu. (3) Adanya wali juga dapat mengurangi beban seseorang terhadap anak danhartanya, apabila orang tersebut sudah meninggal dunia.maka dengan adanyawali tersebut anak dan hartanya akan terselamatkan. (4) Menambah
hubungan
silaturahmi
yang
kuat
terhadap
orang
orang
yangmengadakan wala’ al mu’awallah perwalian karena pernyataan antara duaorang untuk saling mewarisi dan saling membantu dalam berbagai kesulitan. (5) Menciptakan lapangan kerja dalam hal wali anak yatim, dengan adanya waliyatim tersebut dapat menciptakan lapangan kerja bagi para wali yangmiskin, dengan
demikian
maka
para
wali
yatim
itu
tidak
ada
halangan
baginyamengambil harta anak yatim yang dipeliharanya sekedar untuk
47
keperluanhidupnya sehari hari, hal ini diperbolehkan jika ia terhalang berusaha yanglain karena mengurus harta anak yatim tersebut yang dipeliharanya itu.63 (6) Perwalian terhadap diri seorang anak dilaksanakan untuk mejagakesejahteraan anak itu sendiri, untuk mengawasi hal yang berhubungan dengandirinya dan segala macam kesejahteraan yang belum dapat diperolehnya sendiri.Dalam hukum syari’at mengenai perwalian ditegaskan kepada mereka yang diperkirakan untukmembahagiakan
sikecil
itu,
dan
untuk
ditetapkan
syarat-syarat
tertentu,sehingga dengan demikian para wali dapat menjamin kemampuanya untukmengurus
kesejahteraan
anak
tersebut
dan
juga
segala
urusan
yangberhubungan dengan usaha memelihara anak,menjaga dan merawatnya.64 Menyangkut dengan mulai berlaku suatu perwalian MartimanProdjohamidjojo mengatakan sutau perwalian itu berlaku: (a) Sejak perwalian itu diangkat oleh hakim dan bila pengangkatan itu dilakukkannamun dalam tidak kehadirian si wali maka saat pengangkatan itudiberitahukan kepadanya maka berlangsung lah perwalian tersebut. (b) Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas permintaan atau kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu. (c) Jika seorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh hakim Maupun oleh salah satu orang tua dari kedua orang tuanya pada saat ia dengan bantuan atau kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim menyatakan kesanggupanya menerima pengangkatan itu. (d) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua sianak pada saatpengangkatan itu, karena meninggalnya, memperoleh suatu kekuatan untukberlaku dan yang dianggap sebagai wali menyatakan kesanggupan menerimapengangkatan itu. (e) Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadi peristiwa yang mengakibatkan perwalianya. 63 64
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam ,(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), hlm. l31 Iman Jauhari, Op. Cit., hlm. 106
48
(f) Jika ditunjuk oleh seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,sebelum ia meninggal meninggal dunia dengan surat wasiat atau pesan yangdilakukan dihadapan dua orang saksi.65 Perwalian dinyatakan berakhir apabila anak yang dibawah perwalian telah dewasa, anak tersebut meninggal dunia, wali meninggal dunia, atau dibebaskan atau dipecat dari perwalian, dimana fungsi dari perwalian itu sendiri adalah untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si anak yang belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya serta mewakili dalam segala tindak perdata atau sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. C. Bentuk Pertanggungjawaban Orang Tua/Wali Dalam Perwalian Pengurusan Harta Anak Dibawah Umur Menurut Ketentuan Hukum Islam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak telah mengaturbahwa wali diizinkan untuk mengelola dan mengembangkan harta benda kekayaan anak dibawah umur untuk kepentingan anaktersebut.Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa “seorang wali bertanggungjawab atas pengelolaan aset (harta) dan harus membayar jikadalam pengelolaan harta tersebut menjadi hilang atau rusak, baik karena segaja maupunkarena kelalaian.”66Pada awal penetapan perwalian, diperlukan upaya inventarisasi semua asset (harta) dari anak dibawah umur tersebut, dan wali wajib mendokumentasikan semua perubahanterhadap asset tersebut.67
65
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia legal Center Publishing, 2002), hlm. 57 66 Pasal 51 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 67 Pasal 51 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
49
Harta tersebut harus diaudit secara annual(tahunan) untuk mengetahui nilai dari aset dari anak yang diperwalikan itu, dan untukmemastikan bahwa hartanya tetap terjaga.Selain itu, wali dilarang menjual, mengalihkan atau menggadaikan aset anakperwalian, kecuali dalam keadaan yang darurat (memaksa). 68Wali juga dilarangmengikat, membebani atau membagi aset (harta) tersebut kecuali tindakan tersebut akanmeningkatkan (menambah) nilai aset. Kemudian, jika dalam hal wali terpaksa menjualharta (tanah) milik anak perwalian tersebut, maka seorang wali wajib terlebih dahulumemperoleh izin dari pengadilan agama.Sementara proses pengalihan asset, seorang wali diharuskan untuk mengalihkansemua harta (asset) kepada anak di bawah perwalian ketika anak telah berusia 21 tahun,atau telah menikah.69 Namun jika ditemukan adanya asset (harta) yang hilang ataudisalahgunakan oleh wali, maka pengadilan agama dapat memutuskan perkara tersebut,didasrkan para proses verifikasi dan inventarisir harta yang dikelola oleh wali, jikaditemukan adanya penyalahgunaan, maka wali harus mengganti rugi terhadap kerugiantersebut. Mengenai kaitannya dengan penjualan, penyewaan, penggadaian berupa benda tidak bergerak yaitu sebidang tanah dan bangunan seperti dalam penelitian ini maka untuk memberi perlindungan hukum maka selain ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata tersebut diatas, terutama dalam hal hibah untuk anak dibawah umur dengan obyek sebidang tanah dan bangunan hendaknya dilakukan pendaftaran peralihan hak di kantor pertanahan
68 69
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 111 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
50
setempat yang tentunya pengurusannya dilakukan oleh kekuasaan orang tuanya sehingga setelah terbit sertifikat maka akan muncul nama anak dibawah umur tersebut dalam sertifikat, ini dilakukan dalam rangka perlindungan hukum kepada penerima hak yang masih dibawah umur, sehingga tidak ada pihak lain bahkan orang tuanya sendiri atau saudaranya akan melakukan tindakan hukum terhadap harta anak tersebut, kecuali untuk kepentingan anak menghendaki dan harus ada ketetapan atau ijin dari pengadilan setempat. Perwalian itu adalah sebuah lembaga yang berfungsi baik untuk kepentingan anak, maupun untuk kepentingan masyarakat, dan harus dilakukan oleh pihak-pihak yang telah ditunjuk untuk itu beserta dengan hubungan-hubungan pribadinya dan atau sifat-sifatnya.70Adapun wali anak yatim adalah apabila dia miskin tidak ada halangan baginya mengambil harta anak yatim yang dipeliharanya sekedar untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Hal itu diperbolehkan, jika ia terhalang berusaha yang lain kerena mengurus anak yatim yang dipeliharanya itu.71 Setiap pribadi bertanggung jawab untuk menyucikan jiwa dan hartanya, kemudian keluarganya dengan memberikan perhatian secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan isterinya, baik jasmani maupun rohani.Tentunya tanggung jawab ini mengandung konsekwensi keuangan dan pendidikan.72Menurut ilmu fiqih, kewajiban-kewajiban wali atau tugas wali ialah seperti tugas seorang orang tua yang
70
Vollmar, Op. Cit., hlm. 158 Sulaiman Rasjid, Op. Cit. hlm. 317 72 M.Quraisy Shihab, Wawasan Al-quran, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 130 71
51
menjalankan kekuasaan orang tua. Pada umumnya ada dua hal yang dilakukan, yaitu ia harus memelihara pribadi anak yang belum dewasa dan mengelola harta kekayaan seperti para orang tua, dan seorang ayah atau nenek dapat memberikan wasiat kepada orang lain sebagai wali anak atau walinnya sesudah ia meninggal.73 Pelaksanaan
perwalian
terhadap
diri
seorang
anak
untuk
menjaga
kesejahteraan anak, mengawasi hal-hal yang berhubungan dengan dirinya dan segala macam yang belum dapat diperolehnya.Seperti pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan seorang anak yang masih di bawah umur.Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak.Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanyaadalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.Tugas dan kewajiban seorang wali adalah mengurus pribadi anak serta harta kekuasaan anak yang berada di bawah perwaliannya untuk kepentingan anak itu sendiri. Selanjutnya perincian tugas dan kewajiban seorang wali terhadap diri dan harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya dijelaskan dalam Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam: 73
Vollmar, Op. Cit., hlm. 161
52
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di Bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) undangundang perkawinan, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali. Pasal 111 ayat (1) KHI menyatakan bahwa wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berda di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin, jika ditemukan adanya harta yang hilang atau disalah gunakan oleh wali, maka pengadilan agama dapat memutuskan perkara tersebut dengan didasarkan pada proses verifikasi dan inventarisir harta yang dikelola oleh wali, dan jika ditemukan adanya penyalahgunaan, maka wali harus mengganti rugi terhadap kerugian tersebut.Perlindungan hukum terhadap harta anak dibawah umur sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup anak kedepannya. Perlindungan hukum tersebut dapat dilihat dari tindakan pengurusan harta kekayaan anak dibawah umur yang harus mendapatkan izin dari pengadilan dimana terdapat hal-hal yang diatur secara khusus mengenai perlindungan terhadap harta anak dibawah umur.