23
BAB II TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN ORANG HILANG ( MAFQUD )
A. Dasar - Dasar Kewarisan Hukum Islam 1.
Pengertian Kewarisan Hukum Islam Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari
seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.30 Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian, masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dunia. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing31. Secara terminologis, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemiliknya harta peninggalan (tirkah)32 pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masingmasing.33 Menurut Prof. Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masingmasing ahli waris, dan mengatur kapan pembagian harta kekayaan pewaris 30
31 32 33
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta , 2008, Hal 33.
Lihat Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam . Lihat Pasal 171 huruf d Kompilasi Hukum Islam Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,Hal 1.
23
Universitas Sumatera Utara
24
dilaksanakan.34 Sedangkan menurut M.Idris Ramulyo, wirasah atau hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum faraidh.35 Ilmu waris disebut juga ilmu faraidh, diambil dari kata mafrudha yang terdapat dalam QS AN-Nisa [ 4 ] : 7 , Mafrudha pada ayat diatas diartikan bagian yang telah ditetapkan (bagian yang telah dipastikan kadarnya). Menurut al-Imam Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husain , faraidh adalah bagian yang telah ditentukan oleh syariat kepada yang berhak menerimanya, hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw : “sesungguhnya Allah Azza wazalla telah memberikan kepada orang yang berhak akan haknya, ingatlah tidak ada wasiat kepada ahli warisnya”. Menurut al-Qalyubi dan al-Umairah, faraidh adalah ilmu tentang masalah bagian kewarisan. Faraidh merupakan jamak dari kata faridhah yaitu suatu bagian yang telah ditentukan. Sedangkan, pengertian ilmu faraidh menurut as-Syarbini yaitu ilmu yang berhubungan dengan pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat menghasilkan pembagian harta warisan, dan pengetahuan tentang bagianbagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap orang yang berhak menerimanya. Dari beberapa defenisi diatas maka secara singkat ilmu faraidh atau
34
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam , Raja Grafindo Persada , Jakarta, Hal 108. 35 M.Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Iin Hill Co : Jakarta, 1991, Hal 42
Universitas Sumatera Utara
25
ilmu waris ialah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan syariat Islam ( Al-Quran, AsSunah, ijma’, ulama dan ijtihad ulama ). Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Alquran dan hadis Rasullullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang ditentukan Rasullullah. Dalam Al-quran yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam surat An-Nisaa’. Dalam surat An-Nisaa’, yang mengatur mengenai kewarisan antara lain dalam ayat 1-14, 29, 32, 33 dan 176. Dimana dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan jelas bahwa hukum-hukum waris adalah ketentuan dari Allah36. 2.
Rukun Dan Syarat Mendapatkan Warisan
a.
Rukun Waris Rukun waris yaitu : 1. Harta Warisan ( Mauruts atau Tirkah) Harta warisan (mauruts) yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang akan diterima oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat si pewaris. Dan yang dimaksud dengan tirkahyaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para ahli
36
Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-Ayat Al-Quran Yang Berkaitan Dengan Hukum, Hasanah, Jakarta,2001, Hal 352.
Universitas Sumatera Utara
26
waris. Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada : 37 a.
Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya : benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang- piutang si pewaris, surat-surat berharga, diyat, dan lain-lain yang dipandang sebagai pemiliknya.
b.
Hak-hak kebendaan Termasuk kelompok ini hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan raya, sumber air minum, dan lain-lain
c.
Benda-benda yang berada ditangan orang lain38 Misalnya : barang gadaian, dan barang-barang yang sudah dibeli dari orang lai, tetapi belum diserahterimakan kepada orang yang sudah meninggal.
d.
Hak-hak yang bukan kebendaan Misalnya : hak syuf’ah, yaitu hak beli yang diutamakan bagi tetangga, dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau diwakafkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta warisan adalah harta bawaan
ditambah harta bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selam asakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
37 38
Factur Rahman, Ilmu Waris, AL-Ma’arif Tth, Bandung, Hal 33. M.Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, Hal 13
Universitas Sumatera Utara
27
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.39Sedangkan yang dimaksud dengan harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun haknya. Berdasarkan defenisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harta warisan merupakan harta netto ( harta bersih ), setelah dipotong biaya-biaya keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, biaya pembayaran hutang, dan pembayaran wasia pewaris. Dan harta warisan itu dapat berbentuk harta benda milik pewaris dan hak-haknya. 2. Pewaris ( Muwarrist) Pewaris Yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun mati hukmy.40 Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati.41 Menurut Kompilasi Hukum Islam, pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan agama, meninggalkan harta ahli waris dan harta peninggalan.42 Berdasarkan defenisi diatas, maka syarat terjadinya waris mewarisi adalah adanya orang yang meninggal dunia yang disebut muwarrist, baik secara haqiqi maupun secara hukmy.
39
Lihat Pasal 171 Huruf e Kompilasi Hukum Islam. Mardani, op,cit., Hal 26. 41 Fatchur Rahman, op.cit, Hal 36. 42 Lihat Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam. 40
Universitas Sumatera Utara
28
3. Ahli waris ( Warist ) Yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.43 Berdasarkan defenisi diatas, maka syarat ahli waris yaitu : a.
Mempunyai hubungan darah dengan pewaris, misalnya anak kandung, orang tua pewaris, dan seterusnya.
b.
Mempunyai hubungan perkawinan ( suami/istri pewaris).
c.
Mempunyai hubungan satu agama dengan pewaris.
d.
Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan, misalnya ia pembunuh pewaris. Ketiga rukun waris diatas harus terpenuhi secara keseluruhan, bila tidak
terpenuhi salah satunya, waktu waris mewarisi tidak dapat dilaksanakan. Seseorang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai ahli waris sama sekali, maka kegiatam waris mewarisi tidak dapat dilakukan. b.
Syarat waris Syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu:44 1.
Matinya
muwarits,
mutlak
harus
dipenuhi.
Seseorang
baru
disebutmuwarist jika dia telah meninggal dunia, itu berarti bahwa, jika
43
Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam. HR.Otje Salman dan Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, 2010, Hal 4-5. 44
Universitas Sumatera Utara
29
seseorang memberikan harta kepadanya para ahli warisnya ketika dia masih hidup, maka itu bukan waris. 2.
Hidupnya waris mutlak harus dipenuhi. Seseorang ahli waris hanya akan mewarisi jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah yang boleh jadi muncul berkaitan dengan hal ini antara lain ialah mafqud, anak dalam kandungan, dan mati berbarengan.
3. 3.
Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan.
Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut faraid dalam literatur hukum
Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula pada hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Disamping itu, hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karesteristik dari hukum kewarisan Islam itu. Hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunahnya. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
30
sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas yang dimaksud adalah : a. Asas Ijibari Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti pengalihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima.45 Dijalankannya asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atas permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima tidak berlaku dengan sendirinya. Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan memberatkan orang yang akan menerima warisan, karena menurut ketentuan 45
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Edisi Pertama, Cetakan Keempat, Kencana, Jakarta, 2012, Hal 19.
Universitas Sumatera Utara
31
hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajibannya melunasi utang itu dengan hartanya sendiri. Dalam hukum perdata diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan , karena menerima akan membawa akibat menanggung risiko untuk melunasi utang pewaris. Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematiannya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka menerima atau tidak. Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi yaitu : 46 1.
Segi cara peralihan harta Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itulah, kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta , bukan pengalihan harta, karena pada peralihan,
46
Ibid, Hal 21.
Universitas Sumatera Utara
32
berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada pengalihan tampak usaha seseorang. Asas ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat. Kata nasib berarti bagian, saham, atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain. 2.
Segi jumlah harta yang beralih Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian atau ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat kepada apa yang telah ditentukan itu. Adanya unsur ijbari dari segi jumlah itu dapat dilihat dari kata mafrudan yang secara etimologis berarti “ telah ditentukan atau telah diperhitungkan.” Kata-kata tersebut dalam terminologi ilmu fikih berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada hambanya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka maksudnya ialah sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.
3.
Segi kepada siapa harta itu beralih Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti,
Universitas Sumatera Utara
33
sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. b. Asas Bilateral Membicarakan asas ini berarti berbicara tentang kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas Bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah47. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firma Allah SWT dalam surat an-Nisa/4:7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seseorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan Bilateral itu. Secara terperinci asas bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya . Dalam ayat 11 ditegaskan : 1.
Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan
47
Ibid, Hal 22
Universitas Sumatera Utara
34
seseorang laki-laki menerima sebanyak yang di dapat dua orang anak perempuan. 2.
Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan
sebesar
seperenam
bagian,
bila
pewaris
ada
meninggalkan anak. Dalam ayat 12 ditegaskan bahwa : 1.
Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki ahli waris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.
2.
Bila pewaris adalah seseorang perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau perempuan berhak menerima harta tersebut.
Dalam ayat 176 dinyatakan bahwa : 1.
Seseorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan ( ke atas dan ke bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.
2.
Seseorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan dia mempunyai saudara laki-laki
Universitas Sumatera Utara
35
maupun perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak mendapatkan warisannya. Dari ketiga ayat diatas terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), keatas (ayah dan ibu), dan kesamping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan, dan menerima warisandari dua garis keluarga yaitu dari garis laki-laki dan garis perempuan, inilah yang dinamakan kewarisan secara bilateral. c.
Asas Individual Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual diartikan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagiuntuk dimiliki secara perorangan48. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi ; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan kepada ketentuan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang didalam ushul fikih disebut ahliyat-al-wujub. Dalam
48
Ibid 23
Universitas Sumatera Utara
36
pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian. Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan al-Qur’an yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Ayat 7 surat an-Nisa’ secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan. Dari ayat 7 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah bagian untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta yang ditinggalkan. Sebaliknya, jumlah harta itu tunduk kepada ketentuan yang berlaku. d.
Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban49. Perkataan adil banyak disebut dalam Al-Qur’an yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan dalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses, dan tujuan segala tindakan manusia. Asas keadilan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding
49
Ibid, Hal 26.
Universitas Sumatera Utara
37
dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. e.
Asas Semata Akibat Kematian Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang50. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti, harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk kedalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.
4.
Sebab – Sebab Mendapatkan Warisan Salah satu hal yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah
menyangkut waris, kalau ditinjau dari segi asal kata, perkataan waris berasal dari kata bahasa arab yaitu waris, secara gramatikal berarti yang tinggal atau yang kekal, maka dengan demikian apabila dihubungkan dengan persoalan hukum waris, perkataan waris tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, dan populer dengan diistilahkan ahli waris. 50
Ibid, Hal 30.
Universitas Sumatera Utara
38
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang mendapatkan warisan dari si mayit ( ahli waris ) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 51 a. Karena Hubungan Perkawinan Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si mayit. b. Karena Adanya Hubungan Darah Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayit, keturunan ini dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7 yang artinya : “ Bagi laki-laki ada bahagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan ada pula bahagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut pembagian yang telah ditetapkan. Ahli waris yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara, dan lain-lain. c. Karena Memerdekakan Si Mayit Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayit disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayit dari perbudakan dalam hal ini bisa seorang laki-laki atau seorang perempuan. 51
Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Edisi Kedua, Sinar Grafika , Jakarta, 2008, hal 55
Universitas Sumatera Utara
39
d. Karena Sesama Islam Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali ( punah) , maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Mal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin. B. Orang Hiang (Mafqud) Dalam Kewarisan Islam 1.
Pengertian Orang Hilang (Mafqud) Sebagai bangsa Indonesia yang di dasarkan atas salah sumber hukum yaitu
Hukum Islam meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu52yang dihadapkan pada permasalahan yang begitu kompleksnya tentang kewarisan Islam di Indonesia, sering sekali menimbulkan kesulitan dalam memutuskan dan mempertimbangkan sesuatu yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti halnya dalam kewarisan yang terjadi apabila seseorang dinggap hilang (Mafqud). Permasalahan kewarisan ini yang membuat para ulama fikih dan hakim Pengadilan Agama harus menggali kebenaran, keadilan serta bukti-bukti yang mendukung adanya peristiwa Mafqud. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan utama atas status dari seseorang yang hilang sehingga adanya kejelasan dari tanda-tanda masih hidupnya bahtera rumah tangga mereka, karena salah satu hakikat asas hukum Islam adalah untuk selama-lamanya, dimana kedua belah pasangan menunjukan perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup. 52
Prof. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, Hal 78.
Universitas Sumatera Utara
40
Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang. Menurut para Faradhiyun, Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan meninggal dunia.53Selain itu, ada yang mengartikan mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal dunia.Mafqud adalah orang yang pergi meninggalkan kampunghalamannya
dalam
tenggang
waktu
yang
relatif
lama,
tidak
diketahui
lagikeadaannya, baik mengenai tempat tinggalnya maupun mengenai hidup danmeninggal dunia54
Orang hilang atau dalam fikih disebut “mafqud” adalah orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup atau meninggal dunia.55 Orang ini sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau meninggal dunia. Sedangkan menurut bahasa mafqud merupakan ism maf’ul dari lafadz faqadayafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu56. 2.
Syarat-Syarat Dan Keadaan Seseorang Dinyatakan Hilang (Mafqud) Mengkaji hukum waris Islam khususnya berbicara penetapan mafqud tidaklah
bisa dilepaskan dari keberadaan empat mahzab yang mengilhami segala sendi kehidupan dan perbuatan hukum umat Islam. Mahzab menjadi kajian utama dalam memaknai ajaran agama Islam. Mahzab ini secara bahasa merupakan jalan atau 53
Facthur Rahman, op,cit, Hal 504. Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris; Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama,Jakarta ,2008, Hal143. 55 Amir Syarifuddin, op,cit , Hal 135. 56 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AlQuran, 1973, Hal 642. 54
Universitas Sumatera Utara
41
tempat berjalan atau landasan serta dasar fiqih Islam. Mahzab berasal dari kata ”dzahaba”artinya jalan atau tempat yang dilalui. Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, mahzab adalah mengikuti sesuatu yang dipercayai. Ada empat mahzab besar yang dianut dalam sejarah Islam sebagai landasan Fiqih Islam dengan jumlah dalil-dalil sahih Rasullullah Saw. Yakni Mahzab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Keempat Mahzab ini memberikan penegasan tentang penetapan seseorang dinyatakan meninggal dunia setelah menghilang dalam rentang waktu tertentu. a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati denganmelihat orang yang sebaya diwilayahnya (tempat dia tinggal).57 Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah 90 Tahun. b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah 70 Tahun. Hal ini di dasarkan pada lafazh hadist secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw antara 60 Tahun sampai 70 Tahun. Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam hingga tidak dikenal rimbanya dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dengan yang dapat mengenali keberadaannya atau mendapatkankan informasi secara jelas melalui 57
Muhammad Ali ash-Shabuni, Op.cit, Hal 177-178.
Universitas Sumatera Utara
42
sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi sitrinya selama 40 tahun untuk menunggu. Bila masa 40 tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan maka mulailah ia untuk menghitung iddahnya sebagaimana lazimnya istri yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu 40 hari. c. Mazhab Syafi’i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah 90 Tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi’i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianngap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi’i, seorang hakim berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu. d. Mahzab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau menjadi salah satu seorang penumpang kapal yang tenggelam, maka hendaknya dicari kejelasannya selama 4 tahun. Apabila selama 4 tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa iddahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa iddahnya yang dijalaninya selesai.
Universitas Sumatera Utara
43
3.
Macam-Macam Orang Hilang (Mafqud ) Macam-macam orang hilang (Mafqud) yaitu : a. Hilang di negeri Islam. Dalam hal ini istri diperbolehkan untuk menuntut cerai dari suaminya. b. Hilang di negeri Musuh (kafir). Mereka berpendapat bahwa hukumnya sama dengan hukum orang tawanan, artinya istrinya tidak boleh dikawin dan harta bendanya tidak boleh dibagi. Kecuali pendapat Asyhab yang mengatakan bahwa hukum suami tersebut sama dengan hukum orang yang hilang di negeri islam. c. Hilang dalam perang Islam, yakni perang antar kaum Muslimin. Malik berpendapat bahwa ia disamakan dengan orang yang mati terbunuh tanpa harus menunggu. Pendapat lain mengatakan harus ditunggu berdasarkan dekat atau jauhnya tempat terjadinya peperangan. Akan tetapi bagi Malik, masa menunggu yang paling lama adalah satu tahun. d. Hilang dalam peperangan dengan kaum kafir. Mengenai hal ini ada empat pendapat. Pertama, hukumnya sama dengan hukum orang yang ditawan. Kedua, hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh sesudah menunggu masa satu tahun,kecuali jika ia berada disuatu tempat yang sudah jelas, maka disamakan dengan hukum orang yang hilang dalam peperangan dan tindak kekerasan yang terjadi antar kaum Muslimin. Ketiga, hukumnya sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum Muslimin. Keempat,
Universitas Sumatera Utara
44
hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh berkaitan dengan istrinya, dan sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum Muslimin berkaitan dengan harta bendanya. Yakni harus ditunggu, baru sesudah itu dibagi. 58 Sementara kalangan Ulama madzhab Hambali membagi mafqud menjadi 2 macam, yaitu: a.
Hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara.
b.
Hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang hilang tiba-tiba diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak kembali lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar beritanya atau ia hilang antara dua pasukan yang bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan sebagainya.59
4.
Akibat Hukum Orang Hilang ( Mafqud ) Dalam Kewarisan Hukum Islam Orang hilang (mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup
atau meninggal dunia, sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau meninggal dunia. Orang hilang (mafqud) menjadi persoalan dalam hukum kewarisan karena kepastian hidup atau meninggal dunia itu merupakan
58
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,jilid 2, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2007, Hal 514. 59 Mahmoud Syaltout dan M. Ali as sayis, Perbandingan Mahzab, diterjemahkan oleh Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta, Hal 248-248.
Universitas Sumatera Utara
45
syarat pokok dalam kewarisan. Dalam kewarisan penting disyaratkan kepastian kematian pewaris dan kepastian status hidupnya pewaris saat pewaris meninggal dunia. Menyangkut status hukum orang hilang (mafqud) tentang kewarisan mafqud, perlu diadakan pemisahan dalam kedudukannya : 60 a. Kedudukan mafqud sebagai pewaris Kedudukan mafqud sebagai pewaris, para ulama sepakat bahwa mafqud dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak bisa dibagikan kepada ahli waris
61
sampai ada berita yang jelas bahwa
ia benar-benar telah meninggal dunia atau divonis oleh hakim tentang meninggal dunia nya. b. Kedudukan mafqud sebagai ahli waris Kedudukan mafqud sebagai ahli waris, bagian untuk mafqud ditahan dahulu sampai
jelas
meninggal
dunia,
alasannyamafqud
masih
diragukan
kematiannya, dapat menimbulkan masalah, bila setelah dibagikan ternyata ia masih hidup, kecuali bila sudah diyakini meninggal dunianya atau sudah ada putusnya pengadilan yang memutus bahwa secara hukum mafqud telah meninggal dunia Selain itu akibat hukum dari orang hilang (mafqud) yang statusnya belum ada kejelasan yaitu :62 a. Istri orang hilang (mafqud) tidak boleh dikawinkan 60
Mardani, Op,Cit., Hal 96-97. Ibid 62 Suhrawadi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., Hal 66. 61
Universitas Sumatera Utara
46
b. Harta orang hilang tidak boleh diwariskan c. Hak-hak orang hilang (mafqud) tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan. Ketidakbolehan ketiga hal diatas sampai orang yang hilang diketahui dengan jelas statusnya, yaitu apakah orang hilang masih hidup atau meninggal dunia. Dan apabila masih diragukan maka statusnya harus dianggap sebagai masih hidup sesuai dengan keadaan semula. Menyangkut yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah meninggal dunia hanyalah hakim yaitu dengan adanya permohonan penetapan orang hilang. C. Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Harta Kekayaan Orang Hilang (Mafqud) 1.
Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan wajib
menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya.63 Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).64
63
Rissa, https://rissaurus.wordpress.com/2012/04/17/pengertian-tanggung-jawab-danpenerapannya/, diakses pada tanggal 6 Juli 2015. 64 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Universitas Sumatera Utara
47
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.Tanggung jawab itu bersifat kodrati,artinya sudah menjadi bagian hidup manusia,bahwa setiap manusia di bebani dengan tangung jawab. Apabila di kaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan. Menurut kamus Hukum ada 2 (dua) istilah Tanggung jawab yaitu liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefenisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan UndangUndang dengan segera atau pada masa yang akan datang.65 Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan,
2002, Hal. 1139 65 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hal. 335
Universitas Sumatera Utara
48
keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas Undang-Undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya.66 2.
Teori Tanggung Jawab Hukum Terkait Dengan Tanggung Jawab Terhadap Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang ( Mafqud ) Sebelum mafqud mendapatkan kejelasan status hukumnya maka para ahli
waris tidak dapat langsung begitu saja membagi-bagiharta kekayaan yang ditinggalkan,ahli waris harus bertanggung jawab memelihara dan menyimpan harta yang ditinggalkan oleh seorang mafqud sampai adanya kejelasan status hukumnya. Teori tanggung jawabliability sangat tepat jika dikaitkan dengan tanggung jawab ahli waris terhadap harta kekayaan seorang mafqud, ahli waris harus bertanggung jawab mengurus terhadap harta yang ditinggalkan, harta – harta tersebut terlebih dahulu harus dimafqufkan atau dibekukan, tidak dapat dipergunakan atau dibagi-bagi sampai ada penetapan dari hakim. Apabila seorang mafqud memiliki usaha yang harus dijalankan dan dikelola, maka yang harus dilakukan ahli waris yang ditinggalkan adalah : a. Ahli waris harus mengelola atau menjalankan usaha yang dimiliki seorang mafqud. b. Ahli waris bertanggung jawab atas pekerjaan yang dibebankan kepadanya . c. Keuntungan yang didapatkan setelah dikeluarkan untuk keperluan usaha dari seorang mafqudharus disimpan dan tidak dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris. 66
Ibid, Hal 335.
Universitas Sumatera Utara
49
d. Ahli waris dapat diberi upah atas pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan jabatannya. Setelah adanya kejelasan seorang mafqud dinyatakan telah meninggal dunia maka harta yang ditinggalkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh ahli warisnya, yaitu ahli waris harus menunaikan terlebih dahulu sejumlah kewajiban seperti diterangkan oleh Kompilasi Hukum Islam Pasal 175 ayat 1: a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. b. Menyelesaikan
baik
hutang-hutang
berupa
pengobatan,
perawatan
termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang. c. Menyelesaikan wasiat pewaris. d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.Dengan demikian, harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas. Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal. Bahkan bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli warisnya tersebut. Meski begitu, Pasal 175 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam dengan tegas telah menerangkan bahwa “Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Terkait masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh sendiri adalah persoalan yang serius, mengingat di aceh memakai hukum Islam67. 67
Arskal Salim, Pertanahan, Kewarisan, dan Perwalian di Aceh Pasca Tsunami, http/ml.scribd.com, di akses pada tanggal 2 Oktober 2015.
Universitas Sumatera Utara
50
Dalam ajaran Islam hutang piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk hati-hati dalam menerapkannya, karena hutang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Di dalam figh Islam,hutang piutang dikenal dengan istilah Al-Qadrh, makna Al-Qadrh secara etimologi ialah Al-Qath’u yang berarti memotong, harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qadrh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang68. Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Adapun dalil yang menunjukkan di syariatkannya hutang piutang ialah : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (eezeki) dan kepadanyanya lah kamu dikembalikan ( QS.Al-Baqarah: 245). Adapun hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci , karena Nabi Muhammad Saw pernah berhutang. Meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika tidak mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang menurut Rasullulah merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlak, sebagaimana sabda Rasullulah Saw : “ Sesungguhnya
68
Muhammad, Adab Hutang Piutang, sunnah.com/artikel/katagori/muamalah/htm,di akses pada tanggal 4 Oktober 2015.
http/alquran-
Universitas Sumatera Utara
51
seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri” (HR.Bukhari). selanjutnya Rasullulah Saw pernah menolak mensholatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda : ” Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutang” ( HR.Muslim). Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan karena dapat membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan.
Universitas Sumatera Utara