BAB II TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) ATAS UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI
A. Perjanjian Jaminan Aval Dalam Pembayaran Surat Wesel. Dalam kegiatan perdagangan,terutama dalam lalu lintas pembayaran, bank sebagai suatu lembaga keuangan mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan perbankan yang sangat menonjol dalam kegiatan perdagangan adalah digunakannya berbagai fasilitas-fasilitas jasa perbankan dalam transaksi perdagangan guna melancarkan lalu lintas pembayaran dengan menerbitkan berbagai jenis surat-surat berharga seperti wesel, cek, bilyet giro, promes dan lain-lain. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dinyatakan bahwa surat berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. Munir Fuady merumuskan bahwa surat berharga (Negotiable Instrument) adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang sehingga berfungsi sebagai alat pembayaran yang didalamnya berisikan suatu perintah untuk membayar kepada pihak-pihak yang memegang surat tersebut, baik pihak yang yang diberikan surat
Universitas Sumatera Utara
berharga oleh penerbitnya atau pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut telah dialihkan. §§§§§§§§§§§§ Secara yuridis surat berharga mempunyai fungsi sebagai berikut : 1.Sebagai alat pembayaran 2.Sebagai alat pemindahan hak tagih (karena bisa diperjual belikan). 3.Sebagai surat legitimasi (surat bukti hak tagih). ************* Fungsi surat berharga sebagai alat pembayaran yang penting dalam lalu lintas pembayaran dalam kegiatan perbankan dan perdagangan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah meliputi pemberian kredit. ††††††††††††† Ada beberapa cara bank dalam menyalurkan kredit kepada nasabah debitur. Salah satu pokok ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam pemberian kredit adalah dibuat dalam perjanjian tertulis. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Selain dibuat perjanjian dalam bentuk tertulis ditentukan pula cara pembayaran kredit tersebut. Salah satu cara pembayaran kredit tersebut adalah dengan menggunakan alat pembayaran diantaranya adalah surat wesel. Surat wesel
§§§§§§§§§§§§
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, di tinjau menurut UndangUndang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal 93 ************* Ibid, hal.93-94 ††††††††††††† Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 6 huruf b ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Ibid, Penjelasan Pasal 8 ayat (2)
Universitas Sumatera Utara
yang diterbitkan oleh bank dan diuangkan pada bank kreditur disebut wesel bank (bank assignate, bank draft). §§§§§§§§§§§§§ Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa bertitik tolak pada perjanjian kredit maka barulah diterbitkan surat wesel. Artinya surat wesel itu hanyalah merupakan suatu pelaksanaan dari perjanjian kredit tersebut. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, suatu fasilitas kredit harus terdapat adanya agunan, namun terhadap agunan tersebut tidak terdapat kewajiban untuk diikat secara yuridis sempurna, Jadi agunan merupakan salah satu faktor yang membentuk ”keyakinan ” bahwa fasilitas kredit yang diberikan dapat kembali seperti yang diharapkan, aman dan menguntungkan. ************** Pola-pola pemberian agunan dalam dalam bisnis perbankan bervariasi dan bermacam-macam diantaranya adalah melalui jaminan perorangan, jaminan perusahaan,hak tanggungan dan lain-lain. Ini berarti pengaturan tentang pemberian agunan tersebut tidak hanya terpaku pada suatu peraturan saja. Seperti dalam perjanjian hutang piutang, soal agunan ikut mempengaruhi jalannya perkreditan, maka dalam pembayaran surat wesel juga kemungkinankemungkinan dimana pihak ketiga menyediakan diri untuk bertindak sebagai penjamin pembayaran wesel itu. Apa bila dalam perjanjian keperdataan hal ini
§§§§§§§§§§§§§
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Beharga, Citra Aditya , Bandung, 1993, hal 39 ************** Triwidiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Op.cit, hal 11
Universitas Sumatera Utara
disebut borgtocht maka dalam perweselan hal ini disebut aval, karena itu aval adalah borgtocht dengan akibat-akibat yang ditentukan menurut hukum wesel. †††††††††††††† Kalau mengenai jaminan perorangan (borgtocht) diatur dalam KUHPerdata maka jaminan perorangan tentang jaminan aval dalam pembayaran surat wesel diatur dalam KUHDagang. Dalam KUHDagang, aval diatur dalam dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 131. Berdasarkan ketentuan Pasal 129 KUHDagang, aval adalah pembayaran surat wesel dapat dijamin untuk seluruhnya atau sebagian dari jumlah wesel dengan suatu penanggungan (aval). Penanggungan ini dapat diberikan oleh seorang pihak ketiga atau bahkan oleh seorang yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel (Pasal 129 ayat (2)). Sebagai suatu penanggungan maka jaminan aval merupakan lex specialis dari jaminan pribadi (borgtocht). ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ HMN Purwosutjipto mengemukakan ada persamaan antara kedua jenis jaminan itu, tetapi ada juga perbedaannya yaitu : ”a.Perjanjian jaminan aval masih berlaku,meskipun perjanjian pokok yang dijamin aval itu menjadi batal (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang). b.Perjanjian jaminan pribadi menjadi batal,bilamana perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan pribadi (borgtocht) itu menjadi batal (Pasal 1821 KUHPerdata). c.Perjanjian jaminan aval itu turut batal, kalau perjanjian pokok
††††††††††††††
Achmad Ichsan, Hukum Dagang , Lembaga Perikatan Surat-Surat Berharga Aturan-Aturan Angkutan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal 340-341 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ HMN. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Surat Berharga, Djambatan, Jakarta, 1990, hal 96
Universitas Sumatera Utara
yang dijamin itu menjadi batal, karena tidak dibentuk dengan cara sebagai yang ditentukan dalam undang-undang, misalnya : jaminan aval diberikan untuk menjamin surat wesel tapi surat weselnya tanpa kata ”wesel” didalamnya, maka surat wesel itu menjadi batal (Pasal 100 sub (1) KUHDagang), sehingga jaminan aval tersebut menjadi batal (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang).” §§§§§§§§§§§§§§ Kedudukan jaminan aval tidak sama dengan jaminan pribadi yang diatur dalam Pasal 1821 KUHPerdata. Jika jaminan pribadi (borgtocht) ini merupakan perikatan yang tidak berdiri sendiri, maka perikatan yang timbul dari aval adalah berdiri sendiri. Sedangkan kedudukan penjamin (avalist) dalam perjanjian aval dalam Pasal 131 ayat (1) KUHDagang, undang-undang menentukan penjamin (avalist) sama terikatnya dengan yang diberi aval (debitur ). Artinya, kewajiban penjamin masih terus hidup, meskipun perikatan yang dijamin itu menjadi batal, asal kebatalan itu tidak disebabkan karena cacat pada bentuknya (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang). Ketentuan Pasal 131 ayat (1) KUHDagang tersebut menunjukkan pula bahwa kalau penjamin (avalist) telah memberikan aval dan menandatanganinya pada surat wesel, maka kedudukannya pun sama seperti yang diberi aval. Penjamin (avalist) mendapatkan hak-hak yang dimiliki oleh yang terjamin aval, yang dapat dilaksanakan terhadap mereka yang terikat pada kewajiban-kewajiban yang timbul dari wesel tersebut (Pasal 131 ayat (3). ***************
§§§§§§§§§§§§§§ ***************
Ibid. Ibid, hal 98.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dalam Pasal 146 ayat (1) menyatakan bahwa mereka yang telah menerbitkan suatu surat wesel, atau telah memberikan akseptasinya, atau telah mengandosemen
atau
telah
menandatangani
untuk
aval,
secara
tanggung
menanggung terikat pada pemegang. Dan lagi orang ketiga, atas tanggungan siapa surat wesel diterbitkan, dan yang untuk itu telah menikmati harga nilainya, ia pun bertanggung jawab pula terhadap pemegang. ††††††††††††††† Pernyataan dalam Pasal 146 ayat (1) diatas dapat dikemukakan bahwa diantara orang-orang yang disebutkan adalah termasuk orang yang menandatangani menjadi pemberi aval (avalist) terikat dan bertanggung jawab pada pemegang atau kreditur (bank). Mengenai kasus tanggung jawab penjamin (avalist) yang timbul dari perjanjian jaminan aval pembayaran surat wesel ini dapat disimak dalam kasus sengketa antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) dengan Perseroan Terbatas PT Twin Jaya Steel (PT TJS), berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001. Dalam kasus ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) sebagai kreditur memberikan pinjaman kredit kepada PT Twin Jaya Steel (PT.TJS) sebagai debitur. Pinjaman kredit tersebut dijamin oleh Faisal Oloan Nasution, SH dan isterinya Kushandiningsih sebagai penjamin (avalist) dengan memberikan jaminan aval berupa Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah atas nama Faisal Oloan Nasution, SH. †††††††††††††††
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 146 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
Pinjaman kredit dari BPD SUMUT kepada PT.Twin Jaya Steel (PT.TJS) tersebut dituangkan dalam perjanjian kredit dimana dalam pembuatan akta perjanjian kredit tersebut PT.Twin Jaya Steel (PT.TJS) diwakili oleh Direktur Utama : Hanafi , dan Komisaris Utama : Siti Aminah. Guna mencairkan pinjaman kredit tersebut maka diterbitkanlah surat wesel sebagai alat pembayaran kredit tersebut. Kalau penjamin (avalist) telah memberikan aval dan menandatangani surat wesel tersebut, maka kedudukan penjamin (avalist) sama dengan yang diberi aval dimana penjamin (avalist) juga mendapatkan hak-hak seperti yang didapatkan terjamin aval. (Pasal 131 ayat (1) KUHDagang). Artinya jika debitur memperoleh pinjaman kredit berupa dana dari bank maka penjamin (avalist) juga memperoleh dana dari pencairan kredit tersebut, dengan demikian debitur dan penjamin (avalist) adalah merupakan pihak-pihak yang berhutang pada bank (kreditur). Berkaitan dengan tanggung jawab penjamin (avalist) dalam jaminan pembayaran surat wesel ditinjau dari perikatannya maka Pasal 130 KUHDagang telah mengatur bentuk dan cara penulisan jaminan aval didalam surat wesel, yakni : a.Aval tersebut harus dituliskan dalam surat wesel yang dijamin atau pada kertas pada sambungannya. b.Ia dinyatakan dengan kata-kata ”baik untuk aval” atau kata-kata lain yang semakna, dan harus ditanda tangani oleh pejamin (avalist). c.Hanya tanda tangan penjamin aval saja yang dibubuhkan dihalaman muka, surat wesel sudah berlaku sebagai aval.
Universitas Sumatera Utara
d.Aval juga bisa diterbitkan dengan sebuah naskah tersendiri atau
sepucuk
surat yang menyebutkan tempat mana ia diberikan. e.Didalam aval juga harus diterangkan untuk siapa jaminan aval diberikan bila keterangan itu tidak dimuat maka aval itu dianggap diberikan untuk debitur. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Mengacu pada bentuk dan cara penulisan jaminan aval dalam surat wesel yang diatur dalam Pasal 130 KUHDagang tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa perjanjian jaminan aval dalam pembayaran surat wesel hanyalah sebagai tanda bukti adanya perikatan si penandatangan saja. Dan karena adanya perikatan dengan membubuhkan tanda tangan saja maka kreditur (bank) mempunyai hak menagih. Dengan demikian
perikatan jaminan aval dalam pembayaran surat wesel tidak
mengatur secara lengkap tentang apa yang menjadi hak-hak maupun kewajibankewajiban sebagai dasar timbulnya tanggung jawab dari penjamin (avalist). Artinya disini dalam surat wesel tidak mencantumkan apa yang menjadi hak maupun kewajiban seorang penjamin (avalist) seperti akta perjanjian sewa rumah yang jelas diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban si penyewa dan yang menyewakan rumah. Seperti halnya perjanjian kredit antara debitur dan kreditur sebagai dasar diterbitkannya surat wesel maka akta perjanjian kredit tersebut mengatur tentang hak dan kewajiban kreditur maupun debitur dan dari hak dan kewajiban tersebut barulah muncul tanggung jawab debitur dan kreditur tersebut.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang , FH UII Press, Yogyakarta,
2006, hal 154
Universitas Sumatera Utara
Akta tersebut ditanda tangani oleh pihak kreditur dan debitur. Menaruh tanda tangan pada suatu akta itu adalah perbuatan hukum, yaitu tanggung jawab atas terlaksananya perikatan sebagai yang terkandung dalam akta, karena pada akta perjanjian kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur, samasama menaruh tanda tangannya, maka baik kreditur maupun debitur masing-masing bertanggung jawab atas perikatannya sendiri sebagai yang ditentukan dalam akta. Akibat dari keaadan ini, maka perjanjian itu merupakan alat bukti bagi kreditur maupun debitur. §§§§§§§§§§§§§§§ Walaupun surat wesel sebagai satu bentuk surat berharga yang berfungsi sebagai alat bukti adanya perbuatan hukum, akan tetapi jika penjamin (avalist) menyerahkan jaminan aval berupa agunan tanah tentu diperlukan perjanjian yang bersifat riil atau bukan sekedar kata sepakat saja. Artinya sesudah adanya penyerahan benda itu penjamin (avalist) dan debitur lalu membuat akta yang ditanda tangani yang diserahkan kepada kreditur (bank). Akta ini hanya di tanda tangani oleh debitur dan penjamin (avalist) saja sebagai pihak yang berhutang yaitu Akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan. Setelah ditanda tangani berarti bahwa si penandatangan yaitu debitur dan penjamin (avalist) bertanggung jawab atas terlaksananya perikatan yang disebutkan dalam Akta
Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan
tersebut. Perikatan yang disebut dalam akta tersebut adalah perikatan yang harus dilakukan debitur dan penjamin (avalist) dibelakang hari, yakni membayar kembali uang yang dipinjam dengan tambahan bunga sebagai yang telah diperjanjikan. §§§§§§§§§§§§§§§
HMN Purwosutjipto, Op.cit, hal 17.
Universitas Sumatera Utara
Perikatan tersebut diatas adalah mengandung perikatan debitur dan penjamin (avalist) saja. Jadi kalau akta perjanjian kredit antara debitur dan kreditur merupakan alat bukti bagi debitur dan kreditur, tetapi akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan merupakan alat bukti bagi kreditur saja. Selain pembuatan akta seperti disebut diatas dalam sebuah perjanjian kredit hal terpenting juga adalah pengikatan agunan yang diserahkan oeh penjamin (avalist) kepada kreditur (bank). **************** Masalah pengikatan agunan dalam jaminan aval dalam pembayaran surat wesel seperti pada kasus perdata dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor : 1436.K/Pdt/2001 ini telah dibahas oleh Egawaty SH, MKn
dengan judul tesis ”Analisa Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT) Yang Diingkari Debitur”. Jadi dalam penelitian ini tidak perlu dibahas lagi. Menyimak kasus tentang tanggung jawab penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang wanprestasi dalam sengketa antara BPD SUMUT dengan PT.Twin Jaya Steel, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : ****************
)Klausula terpenting perjanjian kredit adalah syarat pencairan,secara garis besar syarat pencairan ini dibagi tiga, yaitu: 1). Syarat administrasi yaitu perjanjian kredit , provisi, komisi, dan lain-lain.2). Syarat pengikatan agunan secara yuridis sempurna yaitu atas benda-benda yang dijadikan agunan kredit tersebut telah diikat secara yuridis sempurna. Untuk pola pembiayaan tertentu, seperti untuk perkebunan atau untuk fasilitas kredit pertama kali, biasanya benda tersebut harus dilakukan pengikatan. Jika pensertifikatan tanah masih dalam proses, maka dimintakan kepada debitur surat pernyataan yang menyatakan bersedia untuk mengagunkan harta benda untuk menjamin fasilitas kredit tersebut apabila proses pensertifikatan selesai. 3). Dalam pola pemeberian kredit tertentu, adakalanya kredit cair, agunan belum diikat secara yuridis sempurna. Untuk kenyamanan bagi debitur, biasanya debitur meminta cover note notaris.(Triwidiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Op.cit, hal 93)
Universitas Sumatera Utara
1436.K/Pdt/2001, BPD SUMUT tidak dapat melaksanakan penyitaan terhadap tanah yang dijadikan jaminan aval oleh penjamin (avalist) untuk pelunasan pembayaran utang debitur PT.Twin Jaya Steel yang wanprestasi. Mengacu pada pasal 131 ayat (1) KUHDagang dimana kedudukan penjamin (avalist) sama terikatnya dengan yang diberi aval, ini menunjukkan bahwa tanggung jawab penjamin (avalist) sama dengan debitur yang diberi aval yakni sebagai pihakpihak yang berhutang maka ketika debitur utama (yang diberi aval) tidak dapat membayar utangnya tentu bisa dialihkan penagihannya kepada penjamin (avalist), namun dalam kasus ini gagal karena ada ketentuan yang tidak terpenuhi. Kalau kita melihat pada jaminan pribadi (borgtocht) dalam KUHPerdata adalah adanya pemisahan tanggung jawab antara penjamin dan debitur. Penjamin dalam jaminan pribadi (borgtocht) yang diatur dalam KUHPerdata adalah bukan sebagai pihak yang berhutang
tapi khusus sebagai penjamin yang menjamin
pelunasan hutang debitur manakala debitur yang dijamin tersebut
tidak mampu
mambayar hutangnya pada kreditur. Berbeda dengan penjamin (avalist) maka selain sebagai penjamin hutang debitur juga sebagai pihak yang berhutang bersama debitur utamanya secara tanggung menanggung. Namun tanggung jawab penjamin (avalist) berbeda dengan debitur yang dijaminnya karena penjamin (avalist) hanya bertanggung jawab untuk membayar wesel apabila si debitur utama tidak atau menolak membayar hutang wesel
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Dengan kata lain seorang penjamin (avalist) baru terikat membayar bila debitur utama yang dijamin menolak membayar hutang wesel. †††††††††††††††† Penjamin (avalist) ini baru mempunyai arti bila debitur utama itu sudah tidak wajib ditagih (regres) lagi, sebab debitur utama sejak wesel diterbitkan telah berkewajiban melaksanakan pembayaran atas utang surat wesel. Dengan perkataan lain apabila debitur wanprestasi (cidera janji) maka jaminan aval yang diberikan penjamin (avalist) dapat dituntut sebagai pengganti dari pelunasan utang debitur yang wanprestasi tersebut. B.Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Terhadap Utang Debitur Yang Wanprestasi. 1.Subjek Hukum Dalam Perjanjian Pemberian agunan kredit dalam bisnis perbankan yang berkaitan dengan hukum salah satunya yang terpenting adalah dokumen-dokumen perkreditan karena dokumen-dokumen perkreditan selalu menyentuh sisi hukum. Dalam implementasi pemberian agunan kredit, baik penandatanganan maupun pengikatan agunannya serta hak dan kewajibannya antara bank dengan debitur haruslah diperhatikan. Selain dibutuhkan dokumen-dokumen para pihak, dokumen-dokumen yang harus dibuat seperti perjanjian kredit antara debitur dan kreditur maupun dengan penjamin (avalist) seharusnya dituangkan dalam perjanjian agar secara pasti mengatur fungsi dan tanggung jawab masing-masing pihak secara rinci.
††††††††††††††††
HMN Purwosutjipto, Op.cit, hal 95-96
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan dokumen pemberian kredit dalam bisnis perbankan yang terpenting dari debitur adalah data dan informasi tentang debitur tersebut. Hal ini sebagai bagian dari analisa kredit dan sebagai bagian dari menghadapi risiko yang mungkin diperlukan dalam suatu pemberian kredit. Hal yang terpenting dari sebuah perjanjian walaupun itu mengenai perjanjian pemberian kredit, perjanjian sewa-menyewa dan lain-lain namun yang pasti yang bisa membuat perjanjian itu adalah manusia. Perbuatan para pihak (manusia) yang membuat perjanjian tersebut dalam membuat perjanjian dalam ilmu hukum disebut sebagai perbuatan hukum. Pada dasarnya, para pihak yang terkait dalam
dalam perbuatan hukum
membuat perjanjian kredit adalah orang pribadi atau manusia. Dalam perjanjian hutang piutang berbentuk pemberian kredit dalam dunia perbankan para pihak tersebut terdiri dari bank (kreditur) dan pihak yang berhutang (debitur). Adakalanya pemberian kredit juga tersebut melibatkan pihak ketiga seperti dalam hal pemberian kredit dengan jaminan perorangan. Pihak-pihak yang terkait perjanjian kredit dengan pemberian jaminan yang terdiri dari bank (kreditur), debitur dan penjamin tersebut tentulah berwujud orang karena hanya manusia lah yang bisa membuat perjanjian. Dalam ilmu hukum, manusia pribadi tersebut disebut juga sebagai persoon.
Universitas Sumatera Utara
Persoon didalam ilmu hukum adalah siapa saja yang dapat menjadi pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum. Orang menyebutnya juga sebagai subjek hukum. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ . Perwujudan dari persoon ini dalam hukum adalah mereka-mereka yang yang bisa mempunyai hak milik, bisa mempunyai hak guna bangunan, yang bisa mempunyai tagihan (bisa menjadi kreditur) bisa mempunyai hutang (yang bisa menjadi debitur ) bisa menjadi pembeli, penjual dan lain-lain. §§§§§§§§§§§§§§§§ Setiap manusia pribadi (naturlijk persoon) menurut hukum mempunyai hak, tetapi
tidak
*****************
selalu
cakap
untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan
hukum
termasuk untuk melakukan perjanjian kredit di bank. Didalam Pasal
1320 KUHPerdata dikemukakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan antara lain syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian. Untuk debitur berupa orang pribadi/perorangan, secara mudah haruslah memenuhi persyaratan cakap hukum, yaitu telah berumur 21 tahun atau sudah pernah menikah, tidak dibawah pengampuan, tidak dibawah kurator atau nyata-nyata sedang sakit jiwa. Terdapat juga lembaga perbankan yang mensyaratkan kredit perorangan tersebut harus mendapatkan persetujuan suami/isteri calon debitur. †††††††††††††††††
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bandung,
1999, ha1 3 §§§§§§§§§§§§§§§§ *****************
Ibid, hal 14-15 CST Kansil, Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta,
2001, hal 7 †††††††††††††††††
Triwidiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Op.cit, hal 78
.
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang dikemukakan diatas maka perwujudan
persoon dalam
perjanjian pemberian kredit dalam perjanjian jaminan aval dalam pembayaran surat wesel adalah kreditur (bank), debitur dan penjamin (avalist). Pasal 21 Undang-Undang Perbankan menyatakan bahwa bentuk hukum suatu suatu bank dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Perseroan (persero), Koperasi, atau Perusahaan Daerah. Dari bentuk-bentuk hukum dari suatu bank yang disebut diatas, dapat disimpulkan bahwa bank wajib berbentuk sebagai badan hukum. Hal ini disebabkan sebagian besar dari usaha bank di Indonesia berdiri dan berbentuk perseroan terbatas. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa bank (kreditur) adalah sebagai persoon. Bank terlepas dari pengurus atau orang-orang yang bekerja didalamnya adalah pihak yang dapat dibebani hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Artinya bank disini sebagai subjek hukum mandiri seperti manusia yang dapat mempunyai hak dan kewajiban. Ini menunjukkan adanya suatu bentuk subjek hukum lain selain manusia yaitu badan hukum salah satunya adalah berbentuk badan yang disebut bank. Bank sebagai subjek hukum maka bank mempunyai hak dan kewajiban dalam perbuatan hukumnya terlepas dari orang-orang yang mengurus maupun yang membentuknya. Sama seperti manusia sebagai subjek hukum maka badan hukum juga bisa mempunyai hak dan kewajiban sendiri. Selain bank yang berbentuk perseroan terbatas sebagai subjek hukum maka didalam ilmu hukum mengakui unit lain selain manusia sebagai persoon seperti
Universitas Sumatera Utara
umpama Perseroan Terbatas, Koperasi, Perkumpulan-Perkumpulan yang memperoleh status badan hukum, Lembaga-Lembaga Publik, seperti Negara, Provinsi dan Kabupaten, Lembaga-Lembaga Gereja tertentu dan Yayasan. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Oleh karena itu pula bisa muncul suatu peristiwa dimana manusia yang membentuk persekutuan terlepas dari manusia-manusia yang membentuk dan mengurusnya seperti perseroan terbatas yang kemudian menjadi badan hukum yang menjadi subjek hukum tersendiri bisa mengadakan perjanjian atau transaksi dengan manusia pribadi sebagai subjek hukum juga dan keduanya bertindak sebagai dua subjek hukum yang saling berhadap-hadapan dan setaraf. Sebagai subjek hukum maka keduanya bisa saling menggugat, artinya perseroan terbatas tersebut dapat menggugat manusia pribadi sebagai subjek hukum atau sebaliknya manusia pribadi tersebut dapat pula menggugat perseroan terbatas tersebut. Hoffman mengemukakan : ”bahwa namun demikian sekalipun bahwa badan hukum bisa mempunyai hak dan kewajiban, tetapi sesuai dengan sifat dan keadaannya, tidak berarti bahwa badan hukum bisa mempunyai hakhak dan kewajiban-kewajiban yang dipunyai oleh manusia alamiah, seperti hak-hak yang melekat pada diri manusia terutama yang timbul dari hubungan kekeluargaan. Diangkatnya badan hukum sebagai subjek hukum adalah, agar badan hukum dapat memenuhi misinya dalam masyarakat. Kalau suatu tindakan hukum berada diluar tujuan diadakannya lembaga badan hukum, dan hanya sesuai untuk pemenuhan kebutuhan manusia alamiah saja, maka badan hukum tidak mempunyai dan tidak perlu diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum seperti itu. Hak untuk menikah tentu tidak dimiliki oleh badan hukum. §§§§§§§§§§§§§§§§§
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ §§§§§§§§§§§§§§§§§
J. Satrio, Op.cit, hal 19. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula untuk membuat surat wasiat dan mempunyai hak-hak yang ada dalam hukum keluarga. ****************** Namun demikian ada juga manusia sebagai subjek hukum membentuk persekutuan terlepas dari manusia-manusia yang mengurus dan yang membentuknya mendirikan sebuah badan yang belum berstatus badan hukum seperti persekutuan perdata (maatschaap) yang diatur dalam Pasal 1618 s/d 1652 KUHPerdata, Firma yang diatur dalam Pasal 16 s/d 18 dan 22 s/d 35 KUHDagang , persekutuan komanditer (commanditer vennoottschap/CV) yang diatur dalam Pasal 19 s/d 21 KUHDagang membuat perjanjian atau transaksi dengan manusia sebagai subjek hukum maupun badan hukum sebagai subjek hukum. Berkaitan dengan perjanjian pemberian kredit di bank dalam pembayaran surat wesel maka penerbit (debitur) dan tersangkut (kreditur) yang membayar kredit maka dapat berupa manusia pribadi dan dapat juga berupa badan hukum. Badan hukum biasanya berupa satu perusahaan dagang atau suatu bank. Dalam prakteknya baik debitur dan kreditur
selalu perusahaan dagang atau bank. Apabila debitur
(penerbit) perusahaan dagang, dan kreditur (tersangkut) ini berarti adalah perusahaan dagang, itu
adalah klien dari bank itu atau perusahaan dagang itu mempunyai
simpanan uang pada bank. †††††††††††††††††† Apabila penerima kredit (debitur) adalah suatu perusahaan dagang (badan) yang terpenting dalam pemberian kredit adalah data-data dan informasi tentang
****************** ††††††††††††††††††
Ibid. Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hal 39-40.
Universitas Sumatera Utara
debitur. Identifikasi terhadap kewenangan bertindak dari suatu badan haruslah diperhatikan oleh bank untuk mengetahui perusahaan dagang (badan) yang berstatus badan hukum atau belum, diperlukan dalam rangka untuk mengetahui pihak yang akan
melakukan
penandatangana
perjanjian
kredit.
Berkaitan
dengan
penandatanganan dalam pemberian fasilitas kredit kepada badan yang bukan badan hukum tersebut diatur sebagai berikut : a.Persekutuan perdata (maatschap): Penandatangan adalah pengurus persero yang sekaligus bertanggung jawab sampai harta pribadinya. Jika persero diam ikut tandatangan dalam perjanjian kredit, maka yang bersangkutan ikut bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya. Penandatanganan tersebut tetap memerhatikan ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar perseroan. b.Firma : penandatanganan adalah pengurus firma sesuai dengan anggaran dasar firma, dimana seluruh anggota firma ikut bertanggung jawab dalam tindakan hukum tersebut sampai dengan harta pribadinya. c.Persekutuan komanditer : penandatanganan adalah sesuai anggaran dasar atau pihak yang diberikan kuasa. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Kewenangan bertindak tersebut dapat bersumber pada : 1.Anggaran Dasar yang bersangkutan 2.Ketentuan Hukum Publik 3.Berdasarkan Doktrin Umum §§§§§§§§§§§§§§§§§§ ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Triwidiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Op.cit , hal 80
Universitas Sumatera Utara
Seperti dikemukakan diatas bahwa salah satu subjek hukum selain dari manusia adalah badan hukum, yaitu sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban atau cakap melakukan perbuatan hukum atau tindakan perdata seperti membuat suatu perjanjian. Salah satu sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak. Suatu badan hukum dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum bertindak dengan perantara pengurus (atau direksi bagi perseroan terbatas) dan pengurus ini harus ditentukan dalam peraturan atau akta pendiriannya. Bila tidak ditentukan dalam akta pendiriannya, maka hal itu berarti tiada seorangpun yang mewakili badan hukum tersebut. Hoog Raad dalam suatu arrest atau keputusannya menetapkan bahwa perbuatan si wakil dengan segala sifatnya adalah perbuatan hukum badan hukum itu sendiri. ******************* Salah satu bentuk dari badan hukum tersebut adalah berbentuk perseroan terbatas. Perseroan terbatas sebagai salah satu bentuk dari badan hukum adalah didirikan diawali dari pembuatan akta pendiriannya oleh notaris. Pada saat akta pendirian perseroan terbatas dibuat, perseroan terbatas tersebut bukanlah sebagai badan hukum. 2.Perseroan Terbatas Sebagai Subjek Hukum Menyimak putusan Mahkamah Agung Nomor 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 yaitu sengketa antara Bank Pembangunan Daerah SumateraUtara §§§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid, hal 83. Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal 23 *******************
Universitas Sumatera Utara
(BPDSU) dengan PT.Twin Jaya Steel yang pada saat itu belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman maka dapat dicermati bahwa putusan tersebut didasari oleh peraturan tentang perseroan terbatas yang terdapat dalam KUHDagang. Hal tersebut dapat dilihat dari akta pendirian perseroan terbatas PT. Twin Jaya Steel yang dibuat pada tahun 1985 oleh Notaris Agoes Salim, SH. Kurun waktu tersebut tidak ada satupun Undang-Undang yang mengatur tentang perseroan terbatas kecuali KUHDagang yaitu dalam Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Mengenai perseroan terbatas merupakan badan hukum atau belum, maka KUHDagang tidak secara tegas menyatakan perseroan terbatas sebagai badan hukum. ”Dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatur mengenai perseroan terbatas tidak ditemukan pengertian perseroan terbatas. Akan tetapi, dari Pasal-Pasal 36, 40, 42 dan 45 KUHDagang dapat disimpulkan bahwa suatu perseroan terbatas mempunyai unsur-unsur sebagi berikut : a. adanya kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi masingmasing pendiri perseroan terbatas dengan tujuan untuk membentuk sejumlah modal sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan terbatas. b. Adanya pemegang saham (persero) yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya. Para persero ini tergabung dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai organ perseroan terbatas yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan terbatas, yang berwenang mengangkat, memberhentikan sementara atau memberhentikan direksi dan Komisaris, menetapkan kebijakan umum perseroan terbatas yang akan dijalankan oleh Direksi, dan menetapkan kewenangan atau hal-hal lainnya yang diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. c. Adanya pengurus, yang dinamakan dengan Direksi dan pengawas yang dinamakan Komisaris yang juga merupakan organ perseroan terbatas, yang tugas dan kewenangan dan kewajibannya diatur lebih
Universitas Sumatera Utara
lanjut dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas atau keputusan RUPS.” ††††††††††††††††††† Menurut
Agus
Budiarto
yang
mengutip
pendapat
Soemarti,
mengemukakan bahwa : walaupun dalam peraturan lama tidak secara tegas menyatakan perseroan terbatas adalah badan hukum, namun dari Pasal 40 ayat (2) KUHDagang yang berbunyi : ”Persero-Persero atau pemegang saham tidak bertanggung jawab
lebih dari jumlah penuh saham-saham itu”.
Selanjutnya dari bunyi Pasal 45 ayat (1) KUHDagang yang menyatakan pengurus tidak bertanggung jawab lebih dari pelaksanaan yang pantas dari beban yang diperintahkan kepadanya, mereka tidak terikat secara pribadi kepada pihak ketiga berdasarkan perikatan-perikatan yang dilakukan oleh perseroan. Dapat disimpulkan, bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Sementara itu, peraturan pada masa itu yang menyatakan secara tegas perseroan terbatas sebagai badan hukum adalah justru dapat dilihat dalam peraturan diluar KUHDagang yaitu dalam Pasal 2 ayat (7) dan Pasal 102 Peraturan Kepailitan yang berbunyi : Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan : ”Terhadap perseroan-perseroan terbatas, perkumpulan saling menanggung, perkumpulan koperasi atau perkumpulan lainnya yang berbadan hukum dan terhadap yayasan untuk penerapan pasal ini †††††††††††††††††††
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Alumni, Bandung, 2004, hal, 48. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hal 20.
Universitas Sumatera Utara
berlakulah tempat dimana itu bertempat kedudukan sebagai tempat kediaman.” §§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Pasal 102 Undang-Undang Kepailitan : ”Dalam hal kepailitan suatu perseroan terbatas, maskapai pertanggungan timbal balik, perkumpulan koperasi atau perkumpulan lainnya yang berbadan hukum atau yayasan, maka diperlakukanlah ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal 84 sampai dengan 88 atas pengurusnya, ketentuan-ketentuan dari Pasal 101 ayat (1) atas para pengurus dan komisaris-komisaris”. ******************** Dari kedua pasal tersebut diatas dapat dilihat, bahwa perseroan terbatas dimasukkan dalam kelompok persekutuan yang berbadan hukum disamping orang sebagai badan hukum. Sebagai perbandingan dapat dilihat bahwa didalam UndangUndang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995, maka perseroan terbatas dinyatakan secara tegas merupakan badan hukum. †††††††††††††††††††† 3.Tanggung Jawab Perseroan Terbatas. Sebuah perusahaan seperti perseroan terbatas dalam menjalankan usahanya sudah pasti berhubungan dengan pihak lain yaitu pihak ketiga. Perseroan terbatas tersebut melakukan transaksi seperti melakukan jual beli, sewa menyewa, membuat perjanjian kontrak kerja, perjanjian kredit dan sebagainya. Jika transaksi yang dilakukan perseroan terbatas tersebut berjalan lancar atau tidak ada masalah, kondisinya tentu aman-aman saja. Namun apabila terjadi masalah perseroan terbatas tersebut wanprestasi, maka yang dicari adalah masalah tanggung jawab. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dan Undang-Undang Kepailitan, Bab Kesatu Tentang Kepailitan, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1981, Pasal 2 ayat (7), hal 226. ******************** Ibid, Pasal 102, hal 249. †††††††††††††††††††† Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 Angka 1
Universitas Sumatera Utara
Berhubung yang bertransaksi adalah suatu perusahaan, maka mengenai masalah tanggung jawabnya dipengaruhi oleh statusnya, apakah berstatus badan hukum atau tidak. Adanya perbedaan status tersebut, berpengaruh kepada siapa yang harus bertanggung jawab pada suatu perusahaan. Yang pasti dengan perbedaan itu pihak yang bertanggung jawab tidak sama. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Berhubungan dengan status badan hukum perseroan terbatas ini, maka KUHDagang tidak menentukan dengan tegas kapan status badan hukum perseroan terbatas diperoleh, artinya setelah akte pendirian perseroan terbatas tersebut dibuat perseroan terbatas bukanlah merupakan badan hukum dan tidak ada kepastian mengenai jangka waktu pengesahan perseroan terbatas menjadi badan hukum. Dengan kata lain perseroan terbatas sebagai badan hukum tidak tegas dinyatakan dalam KUHDagang namun KUHDagang mengharuskan akta pendirian perseroan terbatas tersebut disampaikan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapat pengesahan sehingga perseroan terbatas memperoleh kedudukan sebagai badan hukum. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 36 ayat (2) KUHDagang yang berbunyi : ”Sebelum suatu perseroan terbatas bisa berdiri sendiri dengan sah, maka akta pendiriannya atau naskah dari akta tersebut harus disampaikan terlebih dahulu kepada Menteri Kehakiman, untuk dapat pengesahan”.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan Perdata Di Pengadilan , Rineka Cipta, 2007, hal 135
Universitas Sumatera Utara
Jika permohonan pengesahan ditolak Menteri Kehakiman maka alasan penolakan itu diberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Dalam KUHDagang, alasan penolakan dapat dilihat pada Pasal 37 ayat (1) yaitu jika perseroan itu berlawanan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum atau ada keberatan terhadap akta pendiriannya. Dapat dilihat dalam KUHDagang bahwa setelah mengajukan permohonan ke Menteri Kehakiman tak ada peraturan yang mengatur jangka waktu sampai kapan perseroan tersebut disahkan. Artinya sebuah perseroan terbatas yang belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman yang melakukan perbuatan hukum seperti melakukan perjanjian kredit dengan bank tentu walaupun permohonan tersebut telah diajukan ke Menteri Kehakiman tapi tidak jelas menunggu sampai kapan perseroan terbatas tersebut disahkan. Hal tersebut berhubungan dengan tanggung jawab perseroan terbatas sebagai badan hukum yang merupakan sebagai subjek hukum. Seperti kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 1436.K/Pdt/2001, antara sengketa Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara dengan PT. Twin Jaya Steel. Menyimak kasus tersebut hal yang penting dilakukan adalah proses perseroan terbatas tersebut sebelum menjadi badan hukum sampai pengesahan dari Menteri Kehakiman dan perseroan terbatas tersebut menjadi suatu bentuk badan hukum. Hal tersebut sangat penting karena bisa saja sebuah perseroan yang telah membuat akta pendirian perseroan tapi setelah mendapat kredit dari bank tidak mengurus §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 37 ayat (2)
Universitas Sumatera Utara
melanjutkan permohonan sebuah perseroan terbatas untuk menjadi badan hukum. Untuk mengantisipasi hal tersebut
bank (kreditur) seharusnya meminta sebagai
bentuk jaminan bahwa perseroan tersebut sedang dilakukan pengurusannya untuk memperoleh status badan hukum, seperti meminta cover note dari notaris yang akan melakukan pengurusan permohonan perseroan terbatas tersebut ke Menteri Kehakiman hingga disahkan sebagai badan hukum. Sebagai bahan perbandingan adalah setelah lahirnya Undang-Undang Perseoan Terbatas yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, undang-undang ini memberikan jangka waktu pengesahan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah permohonan diterima. ********************* (Sedangkan menurut Pasal 10 Undang Nomor 40 Tahun 2007, untuk memperoleh Keputusan Menteri, permohonan diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditanda tangani. Dan apabila permohonan dan keterangan mengenai dokumen pendukung telah selesai dan dinyatakan tidak keberatan oleh Menteri maka sejak tanggal tidak keberatan tersebut dalam jangka paling lama 30 (tiga puluh) hari, permohonan wajib menyampaikan secara fisik surat permohonan yang dilampiri dokumen pendukungnya, dan apabila persyaratan dipenuhi secara lengkap paling lambat 14 (empat belas) hari menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hukum perseroan yang ditanda tangani secara elektronik.
*********************
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 9
ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan untuk pendaftaran dan pengumuman, dalam KUHDagang pada pemegang saham wajib mendaftarkan akta pendirian atau akta perubahan anggaran dasar perseroan beserta surat pengesahan dalam register umum disediakan untuk itu di Kepaniteraan Pengadilan Negeri ditempat kedudukan hukum perseroan selanjutnya wajib
mengumumkannya
dalam
Berita
Negara
(Pasal
38
KUHDagang). ††††††††††††††††††††† Oleh karena dalam KUHDagang tidak menentukan batas waktu pendaftaran dan pengumuman tersebut diatas, maka selama pendaftaran dan pengumuman tersebut diatas belum diselenggarakan, pengurusannya orang perseorangan dan masing-masing bertanggung jawab untuk seluruhnya atas tindakan mereka terhadap pihak ketiga. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Agus Budiarto mengemukakan bahwa : ”Bila dibandingkan dengan ketentuan yang ada dalam UndangUndang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, pada fase perseroan berdiri, dalam arti bahwa telah dibuatkan akta pendirian oleh notaris namun belum disahkan sebagai badan hukum, kedudukan para pendiri adalah pemegang saham sebagaimana yang simpulkan dari bunyi Pasal 7 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Jadi, pada saat pendirian para pendiri adalah pemegang saham dalam perseroan yang didirikannya itu, namun belum dapat diberlakukan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat oleh perseroan dan tidak bertanggung jawab melebihi nilai saham yang telah diambilnya atas kerugian yang diderita perseroan, karena perseroan belum berbadan hukum. Dengan demikian para pendiri †††††††††††††††††††††
Racmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Op.cit,
hal 26. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dalam fase ini masih harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukannya walaupun perbuatan hukum itu dilakukan untuk kepentingan perseroan. Dan tanggung jawab ini menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUPT dapat dialihkan pada perseroan dengan syarat bahwa perseroan harus lebih dulu mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman dan perseroan melakukan tindakan secara tegas untuk menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri atau mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama perseroan. Apabila perseroan tidak melakukan hal-ha tersebut, maka menurut Pasal 11 ayat (2) UUPT, masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul.” §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa kurun waktu sebuah perseroan terbatas sebelum disahkan sebagai badan hukum dan setelah disahkan menjadi badan hukum, tanggung jawab pendiri perseroan adalah tidak sama. Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank kepada debitur yang berbentuk badan hukum seperti perseroan terbatas haruslah diperhatikan legalitas pendiriannya berikut perubahan-perubahannya secara berurutan. Legalitas pendirian adalah sesuai dengan peraturan dari badan yang mengajukan fasilitas kredit untuk mengetahui suatu perseroan terbatas telah menjadi badan hukum penuh atau belum, agar diperhatikan ketentuan/undang-undang yang mengatur mengenai perusahan yang bersangkutan. Menurut KUHDagang, ciri utama suatu badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas adalah adanya harta kekayaan yang dipisahkan antara harta kekayaan perseroan dan harta kekayaan pribadi para pemegang saham (persero). Persero tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat atas
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal 21
Universitas Sumatera Utara
nama perseroan dan juga tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah dimasukkannya. ********************** Namun mengenai tanggung jawab pendiri perseroan yang terdapat dalam KUHDagang tidak terlalu rinci pengaturannya dibandingkan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007. Agus Budiarto mengemukakan bahwa : ”Peraturan yang terdapat dalam KUHDagang mengenai perseroan terbatas memberi peluang munculnya perseroan terbatas dengan modal kosong (perseroan terbatas kosong). Hal ini karena didalam Pasal 50 dan 51 KUHDagang diamping memberikan kepada pendiri batas waktu yang dapat diperpanjang terhadap penyetoran dari sisa modal yang ditempatkan, sehingga sampai kapanpun perseroan terbatas tidak mempunyai modal penuh yang disetor dari saham yang telah dikeluarkan karena selalu dapat dimintakan perpanjangan waktu pelunasannya, juga didalam praktek ternyata ada perbedaaan penafsiran dari bunyi Pasal 50 dan Pasal 51 KUHDagang tersebut yang menjadi perdebatan para ahli yaitu mengenai jumlah modal yang harus ada pada saat perseroan itu disahkan sebagai badan hukum.” †††††††††††††††††††††† Pasal 50 KUHDagang : ”Pembenaran yang dimaksud Pasal 36 tidak akan diberikan, kecuali bilamana terbukti bahwa pendiri-pendiri yang pertama bersama paling sedikit mewakili seperlima dari modal perseroan selanjutnya akan ditentukan sesuatu tenggang dalam mana sisa dari saham-saham atau sero-sero itu sudah harus ditempatkan. Tenggang itu atas permintaan para pendiri selalu dapat diperpanjang oleh Menteri Kehakiman atau
**********************
Racmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas,
Op.cit, hal 49. ††††††††††††††††††††††
Agus Budiarto, Kedudukan Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan
Terbatas, Op.cit, hal 22.
Universitas Sumatera Utara
oleh penguasa yang berdasar Pasal 39 ditunjuk oleh Menteri Kehakiman ”. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Pasal 51 KUHDagang : ”Perseroan tidak akan dapat mulai sebelum sedikit 10 % (sepuluh persen) dari modal perseroan sudah disetor”. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Menurut Agus Budiarto yang mengutip dari Prasetya mengemukakan bahwa, seharusnya Menteri tidak memberikan pengesahan sebelum dipenuhi Pasal 51 KUHDagang tersebut. Sedangkan maksud Pasal 50 KUHDagang, bila suatu saat dengan harta kekayaan perseroan terbatas dari modal yang ditempatkan belum mencukupi untuk memenuhi kewajiban perseroan terbatas pada pihak ketiga (kreditur), maka direksi dapat meminta kepada para pemegang saham untuk segera melakukan penyetoran kekuarangan saham yang ia sanggupkan untuk memenuhi kekuarangan pembayaran atas tagihan dari pihak ketiga tersebut. *********************** Bertitik tolak dari uraian diatas, berkitan dengan tanggung jawab pendiri perseroan atas keterlibatannya dalam proses pendirian suatu perseroan terbatas, jika pendiri bertindak secara profesional dan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku tentu tidak menjadi masalah namun adakalanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pendiri untuk kepentingan diri sendiri sehingga pengaturan dalam KUHDagang memunculkan
adanya perseroan
terbatas tanpa modal (perseroan terbatas kosong) yang gulung tikar meninggalkan
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 50 Ibid, Pasal 51 *********************** Agus Budiarto, Op.cit, hal 22 §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Universitas Sumatera Utara
banyak hutang yang cenderung merugikan pihak Kreditur. Bila dihubungkan dengan perbuatan hukum perseroan terbatas yang belum dapat pengesahan sebagai badan hukum dengan perjanjian hutang piutang yang melibatkan pihak penjamin (avalist) seperti pemberian jaminan aval dalam kasus sengketa antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara dengan PT. Twin Jaya Steel maka bukan hanya merugikan pihak kreditur (bank) saja tapi juga pihak-pihak penjamin (avalist). Hardijan Rusli mengemukakan bahwa : ”Suatu perseroan terbatas secara hukum baru menjadi badan hukum setelah akta pendiriannya mendapat pengesahan dari Menkumham RI, ini berarti sebelum disahkan perseroan terbatas tersebut bukanlah sebagai subjek hukum, karena itu perseroan terbatas tidak dapat melakukan perbuatan hukum atau tidak dapat mengikatkan diri sebagai suatu pihak dalam perjanjian. Tetapi setelah perseroan terbatas tersebut mendapat pengesahan dari Menkumham RI maka sejak itu pula perseroan terbatas ada secara hukum sebagai subjek hukum yang berbentuk badan hukum. Sejak saat perseroan terbatas itu menjadi subjek hukum, barulah perseroan terbatas tersebut dapat melakukan perbuatan hukum. ††††††††††††††††††††††† Mengingat adanya pengesahan terlebih dahulu, hal terpenting berkaitan dengan perseroan belum berbadan hukum dalam melakukan perbuatan hukum adalah siapa yang berhak menandatangani dan atau mewakili perseroan yang belum berbadan hukum dan apa saja yang harus diperhatikan baik sebelum dan atau sesudah perseroan menjadi badan hukum. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
†††††††††††††††††††††††
Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya, Op.cit, hal.25 Triwidiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas ,Wewenang Dan Tanggung Jawab, Op.cit, hal 54 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Universitas Sumatera Utara
Seperti usaha-usaha yang belum menjadi badan hukum, penandatanganan perjanjian kredit adalah seluruh pendiri dan kuasanya termasuk direksi dan komisaris. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Dalam hal perbuatan hukum (yang dilakukan para pendiri sebelum perseroan terbatas disahkan sebagai badan hukum), masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan
hukum
bertanggung
jawab
secara
pribadi
atas
akibat
yang
timbul ************************ Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 39 KUHDagang yang berbunyi : ” Selama pendaftaran dan pengumuman tersebut dalam pasal yang lalu belum diselenggarakan, maka sekalian pengurusnya adalah orang demi orang dan masing-masing bertanggung jawab untuk seluruhnya, atas tindakan mereka terhadap pihak ketiga.” Menyimak bunyi pasal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa selama perseroan terbatas belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman bahwa para pengurus perseroan tersebut bertanggung jawab secara pribadi menanggung terhadap perbuatannya terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga yang berhubungan dengan perseroan terbatas yang belum berbadan hukum tentu sangat rawan, karena hubungan yang dibuat dengan perseroan terbatas hanyalah sebatas hubungan perjanjian dengan kuasa atau wakil dari perseroan terbatas tersebut. Hubungan hukum antara pihak ketiga dengan para pendiri perseroan terbatas adalah hubungan perjanjian tanggung menanggung atas perjanjian §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ ************************
Triwidiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Op.cit, hal 83 Ibid, hal 55
Universitas Sumatera Utara
yang dibuat dan
tanggung jawab pihak ketiga adalah tanggung jawab secara
tanggung menanggung dengan para pendiri perseroan terbatas tersebut atas perikatan yang dibuat. Artinya perbuatan hukum yang dibuat tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi perseroan terbatas. Hubungan hukum yang bersumber dari perjanjian hanyalah berlaku bagi atau mengikat para pihak saja, artinya walaupun berdasarkan perjanjian ada hubungan hukum diantara para pendiri perusahaan dengan pihak ketiga tetapi hubungan hukum itu tidak berpengaruh terhadap pihak yang diluar perjanjian. Pihak ketiga yang berhubungan dengan perseroan terbatas yang belum berbentuk badan hukum bukan hubungan hukum antara pihak ketiga dengan perseroan terbatas yang belum berbadan hukum tersebut tapi merupakan hubungan hukum pribadi pihak ketiga dengan para pendiri perseroan tersebut yang terikat dalam perjanjian yang dibuat. Berkaitan dengan perbuatan hukum pemberian kredit dengan jaminan aval yang diberikan pihak ketiga terhadap perseroan terbatas yang belum berbentuk badan hukum
yang terjadi adalah hubungan hukum antara penjamin (avalist) dengan
debitur (para pendiri perseroan terbatas yang belum berbentuk badan hukum) secara tanggung menanggung (tanggung renteng) berdasarkan surat wesel yang ditanda tangani para pihak dan akta pengakuan hutang dan pemberian jaminan yang mengikat para pihak. Seharusnya tanggung jawab debitur dan penjamin (avalist) adalah tanggung jawab secara tanggung menanggung sesuai perjanjian yang dibuat.
Universitas Sumatera Utara
Gatot Supramono juga mengemukakan bahwa bagi perusahaan-perusahaan yang berstatus bukan badan hukum, dengan mengingat bahwa perusahaan bukan merupakan subjek hukum, dan kekayaan perusahaan tidak terpisah dengan kekayaan pengurusnya. Oleh karena itu pada prinsipnya yang bertanggung jawab terhadap pihak ketiga berada pada pengurus perusahaan. †††††††††††††††††††††††† Berbeda dengan perseroan terbatas yang berbentuk badan hukum adalah merupakan subjek hukum. Artinya, perseroan terbatas tersebut dipandang dalam hukum sebagai manusia, yang dapat melakukan hak-hak dan kewajibannya. Soedjono Dirdjosisrowo mengemukakan bahwa : ” Sebagai badan hukum atau artificial persoon, perseroan terbatas mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui ”wakilnya”. Untuk itu ada yang disebut ”agent’, yaitu orang yang mewakili perseroan serta bertindak untuk dan atas nama perseroan. Karena itu, perseroan juga merupakan subjek hukum, yaitu subjek hukum mandiri atau personastandi in judicio. Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum sama seperti manusia biasa atau natural person, dia bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa mempunyai hak dan kewajiban, utang-piutang, mempunyai kekayaan seperti layaknya manusia. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Sebuah badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pengurus. Dalam perseroan terbatas modal yang terbagi atas saham, merupakan modal perusahaan. Demikian pula badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum, yang diwakili oleh pengurusnya. Oleh karena itu kedudukannya sebagai subjek hukum, maka sebagai perbuatan badan hukum menjadi tanggung jawab badan hukum ††††††††††††††††††††††††
Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Hukum Dalam Gugatan Perdata Di Pengadilan, Op.cit, hal 136 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Soedjono Dirdjosisworo, HukumPerusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hal 52.
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri, bukan tanggung jawab pengurusnya maupun tanggung jawab pribadi pengurusnya. Menyimak putusan Mahkamah Agung Nomor 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 yaitu sengketa antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara dengan PT. Twin Jaya Steel menunjukkan bahwa dalam KUHDagang memberikan peluang kepada perusahan perseroan terbatas yang belum berbadan hukum atau masih dalam proses permohonan disahkan menjadi sebagai badan hukum menjadi subjek dalam perjanjian kredit dengan bank. Hal tersebut adalah disebabkan didalam KUHDagang tidak adanya jangka waktu proses pengesahan oleh Menteri Kehakiman. Berbeda halnya dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, dimana diadakannya jangka waktu dimulai pengesahannya hingga perseroan terbatas tersebut memperoleh status badan hukum. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, status badan hukum didapat pada saat setelah akta pendirian perseroan terbatas disahkan oleh Pemerintah c.q Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHDagang, yang menentukan bahwa status badan hukum perseroan terbatas baru didapat pada saat akta pendirian perseroan
terbatas
diumumkan
dalam
Berita
Negara
Republik
Indonesia. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas,
Op.cit, hal 52
Universitas Sumatera Utara
Jika dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas menentukan tenggang waktu proses pengesahan perseroan terbatas menjadi badan hukum tentu akan menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang akan melakukan perjanjian dengan perseroan tersebut namun bila tidak adanya jangka waktu seperti yang diatur dalam KUHDagang tentu tidak tahu sampai kapan perseroan terbatas tersebut memperoleh status badan hukum. Akibatnya perjanjian ynag dibuat oleh perseroan yang dibuat dengan mengatas namakan perseroan terbatas yang belum berbadan hukum tentu akan menjadi batal karena yang membuat perjanjian belum menjadi subjek hukum artinya tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti membuat perjanjian kredit mapun perjanjian pemberian jaminan. Seperti kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 sengketa hutang piutang antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara dengan PT. Twin Jaya Steel yang belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman. Dalam kasus tersebut hutang PT. Twin Jaya Steel dijamin oleh pihak ketiga (Faisal Oloan Nasution, SH dan isterinya Kushadiningsih). PT. Twin Jaya Steel yang belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman, hal ini berarti PT. Twin Jaya Steel tersebut belum memperoleh status badan hukum, artinya belum menjadi subjek hukum. Terhadap pihak ketiga yang menjamin hutang perseroan tersebut yang belum memperoleh satus badan hukum, ini berarti sama artinya penjamin memberikan jaminan kepada sesuatu yang tidak ada atau dengan kata lain perseroan tersebut belum dapat melakukan perbuatan hukum karena belum
Universitas Sumatera Utara
memperoleh status badan hukum sebagai suatu subjek hukum mandiri selain manusia. B.Tanggung Jawab Penjamin (avalist) Atas Utang Debitur Yang Wanprestasi. Istilah tanggung jawab adalah suatu kewajiban melaksanakan
sesuatu
yang
telah
diwajibkan
bagi seseorang untuk atau
yang
telah
disanggupinya. ************************* Berkaitan dengan tanggung jawab ini, sumber pertanggung jawaban adalah delik dan kontrak. ††††††††††††††††††††††††† . Ini berarti sumber tanggung jawab dalam kontrak atau perjanjian itu adalah berdasarkan pada kewajiban-kewajiban yang ada dalam perjanjian. Roscoe Pound mengemukakan ada doktrin pertanggung jawaban atas kesalahan dan atas kesalahan semata-mata berakar didalam tingkatan equity dan hukum alam, tatkala dianggap sama, apa yang dibolehkan oleh kesusilaan dan apa yang diperkenankan oleh hukum dan berarti bahwa seseorang harus bertanggung jawab atas perugian yang disebabkan oleh tindakannya yang patut dicela menurut kesusilaan. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ *************************
Zainul Bahri, Kamus umum , Angkasa, 1996, hal 323. Hukum melihat ada tiga bentuk pertanggung jawaban atas delik : 1.Pertanggung jawaban atas perugian yang disengaja. 2.Pertanggung jawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja. 3.Pertanggung jawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan karena kelalaian serta tidak disengaja. Yang pertama dan kedua sesuai doktrin tidak ada pertanggung jawaban tanpa kesalahan.(Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhatara Karya Aksara, Jakarta, 1982, hal 86) ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Teori pertama mengenai pertanggung jawaban adalah mengenai suatu kewajiban untuk menebus pembalasan dendam dari seseorang yang terhadapnya telah dilakukan suatu tindakan perugian (injury) baik oleh orang yang disebut pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada dibawah kekuasaannya. Seseorang yang melakukan tindakan perugian atau berdiri diantara seseorang yang telah dirugikan dan pembalasan dendamnya, dengan melindungi seorang kerabatnya, †††††††††††††††††††††††††
Universitas Sumatera Utara
Doktrin yang dikemukakan Roscoe Pound adalah menunjukkan bahwa tidak ada pertanggung jawaban tanpa kesalahan artinya seseorang tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya tanpa membuat kesalahan yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Dengan kata lain hanya orang-orang yang membuat kesalahan dan mengakibatkan kerugian orang lain lah yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Berhubungan dengan tanggung jawab dikenal juga tanggung jawab tanggung renteng yang diatur dalam Pasal 1282 KUHPerdata. Pasal 1282 KUHPerdata : ”Tiada perikatan dianggap tanggung menanggung, melainkan jika hal itu dinyatakan secara tegas.” §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Berdasarkan bunyi Pasal 1282 KUHPerdata tersebut diatas dapatlah dikemukakan bahwa
perihal tanggung jawab tanggung renteng (tanggung
menanggung) ini haruslah tegas dinyatakan dalam perjanjian. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1887.K/Pdt/1986, sengketa antara PT. Perusahaan Pelayaran Samudra ”Samudra Indonesia” melawan PT. Sejahtera Bank Umum dan PT.Gespamindo, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum yang intinya : ”Bahwa benar,antara tergugat I dan II, tidak ada perjanjian yang
seorang anak kecil atau seekor hewan piaraannya yang melakukan suatu perugian, harus menebus perugian itu atau menerima pembalasan dendam itu dari pihak yang dirugikan, (Roscoe Pound, Op.cit, hal 80-81) §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1282
Universitas Sumatera Utara
dengan tegas menyatakan tentang adanya tanggung jawab renteng antara mereka, sesuai Pasal 1282 KUHPerdata”. HP.Panggabean memberikan tanggapan atas kasus tersebut diatas : ”bahwa para pihak yang melakukan sesuatu perbuatan baik wanprestasi maupun melawan hukum baru dapat dituntut tanggung jawab renteng (tanggung menanggung), apabila hal tersebut secara tegas telah diperjanjikan sebelumnya oleh para pihak.” **************************
Menyimak kasus tersebut diatas yang dapat dikemukakan dalam ketentuan yang berlaku dalam perjanjian jaminan aval dalam pembayaran surat wesel yang meupakan suatu bentuk perjanjian tanggung menanggung (tanggung renteng) maka haruslah dinyatakan secara tegas dalam perjanjian bahwa antara penjamin (avalist) dan debitur benar ada perjanjian tanggung menanggung sehingga bila debitur wanprestasi menimbulkan tanggung jawab yang tanggung renteng juga (tanggung menanggung). Namun tanggung jawab seorang penjamin (avalist) dalam jaminan perorangan yang terikat dalam perjanjian tanggung menanggung dengan debitur yang dijaminnya tidaklah sama dengan tanggung jawab seorang penanggung (borgtocht) yang diatur dalam KUHPerdata, yang juga terikat secara tanggung menanggung dengan debitur. Artinya seorang penanggung (borgtocht) sebagai jaminan perorangan dalam KUHPerdata mempunyai tanggung jawab ketika debitur telah dinyatakan
**************************
HP, Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI, Mengenai Perjanjian Kredit Dan Perbankan(Berikut Tanggapan) Jilid I, Citra Aditya , Bandung, 1992, hal 192.
Universitas Sumatera Utara
wanprestasi. Apabila telah terjadi kepailitan atau wanprestasi pada debitur maka berlakulah ketentuan yang tertera dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu : Pasal 1131 KUHPerdata : ”Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. †††††††††††††††††††††††††† Seorang penjamin (avalist) yang diatur dalam KUHDagang sebagai bentuk dari jaminan perorangan mempunyai tanggung jawab apabila debiturnya tidak mampu lagi membayar ataupun wanprestasi namun tidak bisa diberlakukan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut diatas. Hal ini disebabkan penjamin (avalist) telah memberikan jaminan pribadi dengan menyerahkan barang tertentu, artinya barang yang diserahkan penjamin (avalist) tersebutlah yang dapat dijadikan pelunasan utang debitur bila debitur tidak mampu membayar atau wanprestasi. Dengan kata lain ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut
tidak dapat diterapkan sebagai
pertanggung jawaban penjamin (avalist) dalam hal pemenuhan utang debitur yang wanprestasi tersebut sekalipun jaminan pemberian jaminan aval dalam pembayaran surat wesel yang diatur dalam KUHDagang merupakan jaminan perorangan seperti halnya borgtocht dalam KUHPerdata. Kalau Pasal 1131 KUHPerdata dijadikan cara pertanggung jawaban seorang penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang wanprestasi dalam perjanjian jaminan aval yang diatur dalam KUHDagang tentu tak ada gunanya benda jaminan yang diserahkan penjamin (avalist) kepada debitur. ††††††††††††††††††††††††††
Kitab Undang-Undang HukumPerdata, Pasal 1131.
Universitas Sumatera Utara
Selain yang dikemukakan tersebut diatas, hal yang terpenting dalam perjanjian pemberian jaminan aval dalam pembayaran surat wesel adalah adanya formalitas-formalitas dan bentuk-bentuk yang telah ditentukan mempengaruhi dan menentukan sah atau tidaknya perjanjian aval. Surat wesel sebagai surat berharga harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, yang disebut sebagai syarat formil. Syarat –syarat ini lah yang menentukan bentuk surat wesel maupun bentuk dari perjanjian aval. Perjanjian jaminan aval sebagai bentuk perjanjian jaminan perorangan (borgtocht) dalam KUHPerdata yang diatur dalam KUHDagang maka haruslah memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam tentang jaminan aval dalam KUHDagang. Salah satu klausula yang terpenting dalam ketentuan tentang jaminan aval adalah bagaimana bentuk dan cara menulis jaminan aval dalam surat wesel yang telah ditentukan dalam Pasal 130 ayat (5 ) KUHDagang, yaitu : ”Didalam aval itu juga harus diterangkan untuk siapa aval itu diberikan. Bila keterangan yang demikian tidak dimuatkan, dianggap aval diberikan untuk penarik (dalam hal ini adalah debitur.)”. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Jadi menurut Pasal 130 ayat (5) KUHDagang maka harus jelas penjamin (avalist) memberikan agunan (jaminan aval ) tersebut untuk siapa. Artinya dalam hal pemberian jaminan aval untuk sebuah perseroan terbatas yang belum berbadan hukum tentu harus tegas dinyatakan untuk menjamin para pendiri perseroan terbatas atau untuk menjamin perseroan ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
terbatas itu sendiri. Bila jaminan aval tersebut
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 130 ayat (5)
Universitas Sumatera Utara
diberikan untuk perseroan terbatas yang belum berbadan hukum tentu sangat sulit direalisasikan karena perseroan terbatas yang belum berbentuk badan hukum bukanlah merupakan sebagai subjek hukum, artinya belum bisa melakukan perbuatan hukum dalam perjanjian pemberian jaminan aval tersebut, sedangkan bila penjamin (avalist) memberikan jaminan aval untuk para pendiri perseroan terbatas terbatas tersebut maka haruslah diterangkan untuk siapa aval itu diberikan. Hal itu pun tak mungkin dilakukan terhadap debitur yang lebih dari satu orang secara tanggung menanggung bersama pendiri-pendiri perseroan terbatas yang belum berbadan hukum tersebut dan ini tentu terlepas dari para debitur sebagai pendiri dari perseroan terbatas tersebut. Ada baiknya juga menyimak kasus yang pernah diputus oleh Mahkamah Agung adalah perkara No : 419/K/Pdt/1998 tanggal 20 Januari 1993 antara PT ( Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja sebagai penggugat melawan Ir. Setiarko sebagai tergugat I dan Ir.KRT.Rubyanto Argonadidjojo sebagai tergugat II. Gugatan penggugat tidak sampai dipertimbangkan pokok perkaranya yaitu mengenai wanprestasi. Dalam gugatannya penggugat menggugat Ir.Setiarko selaku pribadi dan selaku direktur PT. Graha Gapura. Demikian pula terhadap tergugat II selaku pribadi dan selaku Direktur utama PT. Rencong Aceh Semen. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya berpendapat, bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum dan merupakan subjek hukum, dan dalam perkara ini PT. Graha Gapura dan PT. Rencong Aceh Semen lah yang melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian umum tentang ganti rugi dengan PT (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja sehingga gugatan
Universitas Sumatera Utara
seharusnya diajukan terhadap PT. Graha Gapura dan PT. Rencong Aceh Semen dan bukan kepada direkturnya. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Dalam kasus tersebut sebagai contoh penggugat salah menggugat pihak tergugatnya, kemungkinan kesalahan itu dipengaruhi oleh pandangan terhadap perjanjian yang telah dibuatnya, bahwa orang yang menandatangani perjanjian dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab. *************************** Menyimak kasus tersebut diatas adalah perseroan terbatas yang menjadi badan hukum merupakan suatu subjek hukum yang terlepas dari pengurus-pengurusnya yang menandatangani perjanjian atas nama perseroan terbatas yang diurusnya. Bila dikaitkan dengan seorang penjamin (avalist) yang memberikan jaminan aval kepada sebuah perseroan terbatas yang belum berbadan hukum, ini sama artinya perseroan terbatas tersebut belum menjadi subjek hukum. Jadi penjamin (avalist) memberikan jaminan aval kepada debitur yang berbentuk perseroan terbatas yang belum berbentuk badan hukum ini sama halnya penjamin (avalist) memberikan jaminan aval kepada perseroan terbatas yang belum berbentuk badan hukum yang belum menjadi subjek hukum berarti perseroan terbatas tersebut belum ada, jadi penjamin (avalist) menyerahkan jaminan aval sementara yang dijamin belum ada.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Hukum Dalam Gugatan Perdata Di Pengadilan, Op.cit, hal 150-151 *************************** Ibid
Universitas Sumatera Utara
Menyimak putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1436.K/Pdt/2001 tentang tanggung jawab penjamin (avalist) atas utang debitur yang wanprestasi tersebut dapat dikemukakan dalam hal ini : 1. Pemberian jaminan dalam jaminan aval dalam pembayaran surat wesel yang diberikan oleh penjamin kepada sebuah perseroan terbatas yang belum mendapat pengesahan sebagai badan hukum ternyata tidak mengikat penjamin (avalist) untuk bertanggung jawab secara tanggung menanggung (tanggung renteng) atas hutang debitur yang wanprestasi karena adanya syarat formalitas–formalitas bentuk dan cara penulisan jaminan aval yang tegas dan telah ditentukan oleh undang-undang. 2. Perjanjian tanggung menanggung (tanggung renteng) menimbulkan akibat tanggung jawab tanggung menanggung (tanggung renteng) terhadap perbuatan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum apabila hal tersebut telah diperjanjikan secara tegas sebelumnya oleh para pihak. ††††††††††††††††††††††††††† 3. Dalam kasus ini unsur kepastian hukum lebih dominan diterapkan sedangkan unsur kepatutan dan keadilan kurang mendapat perhatian Mahkamah Agung. Penerapan unsur kepastian hukum ini dapat dilihat dari azas lex specialis deroogat lex generalis. Dalam hal ini Mahkamah Agung menerapkan peraturanperaturan yang tertulis dalam undang-undang yang khusus mengenyampingkan peraturan-peraturan tentang perjanjian yang umum yakni pemberian jaminan aval yang didasarkan pada perjanjian yang mempunyai pengaturan dan ketentuan †††††††††††††††††††††††††††
HP, Panggabean, Op.cit, hal 192
Universitas Sumatera Utara
tersendiri mengenai bentuk cara dan formalitas yang ditetapkan tentang jaminan aval maka penjamin (avalist) yang telah mendapatkan hak yang sama dengan debitur lainnya tidak dapat diminta pertanggungjawaban terhadap kewajibankewajiban yang harus dilaksankannya yang terdapat dalam perjanjian yang dibuatnya dan perjanjian tersebut dibatalkan.
Universitas Sumatera Utara