TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT (Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh: Dhurifah Nur Utami NIM: 1111048000043
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI I L M U HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
ABSTRAK Dhurifah Nur Utami. NIM 1111048000043. TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT (Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 79 halaman + 12 halaman lampiran. Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab debitur atas muanhanya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit jika dilihat dari kasus Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001. Hal ini dilatarbelakangi oleh musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit mungkin saja terjadi mengingat posisi pihak kreditur jika hal ini terjadi. Sementara dalam UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia tidak memberi gambaran yang jelas mengenai tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia dan perlindungan kreditur selaku penerima fidusia terkaitnya musnahnya benda jaminan fidusia. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus menenai musnahnya benda jaminan fidusi tidak melepaskan tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia untuk tetap membayar sisa cicilan kredit kepada pihak kreditur meskipun dalam UUJF tidak mengaturnya lebih rinci. Dalam Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 Majelis Hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sisa tanggungan kredit kepada Termohon Kasasi, putusan tersebut menurut penulis sudah sesuai dimana Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah mengikat diri dalam suatu perjanjian kredit yang berkuatan hukum dan Pemohon Kasasi wajib bertanggung jawab atas benda yang berada dalam penguasaannya.
Kata Kunci
: Tanggung Jawab Debitur, Jaminan Fidusia, Perjanjian Kredit.
Pembimbing
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.,
Daftar Pustaka
: Tahun 1983 s.d. Tahun 2011
iv
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terkira, terucap dengan tulus dan iklas Alhamdulillahi Robbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan khatamul anbiya’i walmursalin Muhammad SAW. Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan. Penulis sangat berterimakasih, tanpa dorongan dari pembimbing dan semua pihak yang mendukung penelitian ini, tidak akan selesai. Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta para wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. MA., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. v
3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai. 4. Bapak Deddy Nursyamsi S.H. M.Hum. Dosen pembimbing akademik dari semester satu hingga akhir perkuliahan. 5. Keluarga besar dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk mereka semua. 6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 7. Orangtua tercinta bapak Kusmin Hidayat dan ibu Fatimah Hidayati serta adik penulis Al-Raihan Rafi berkat doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. 8. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis 2011, khususnya untuk Icha sahabat penulis yang selalu ada tanpa melihat waktu dan para perempuan-perempuan cantik Kiya, Endang, Ida, Shinta, Tami, Hilda,
vi
Fanny, Novita, Sri, Ummu dan lainnya yang tidak bisa disebutkan, yang telah memberikan segala dukungan dan hiburan kepada penulis, sehingga penulis selalu optimis untuk menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materiil sampai detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jari’ah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga yaumul al-akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Amin.
Jakarta, 27 April 2015
Dhurifah Nur Utami
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………………...................i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………………………………………..ii LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………….............iii ABSTRAK………………………….....................................................................iv KATA PENGANTAR…………………………………………….…..................v DAFTAR ISI………………………………………………...............................viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………...............1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………………….............6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………............7 D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu.............................................................8 E. Kerangka Teoritis dan Konseptual...............................................…............9 F. Metode Penelitian..................................................………………….........11 G. Sistematika Penulisan................................…………………….................14 BAB II JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit............................................……………………............16 B. Tinjauan Umum tentang Jaminan..............................................................23 C. Pengikatan Jaminan Kredit........................................................................28 D. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan............................................34
viii
BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA A. Jaminan Fidusia..........................................................................................37 B. Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit..................43 C. Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas Benda Jaminan yang Musnah dalam Perjanjian Kredit................................................................47 BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3192 K/Pdt/2012 A. Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001………................54 B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001........................64 C. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Kredit ...............…………………...........…......70 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………..……......................74 B. Saran………………………………………………...………....................76 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77 LAMPIRAN
ix
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung
perkembangan
kegiatan
perekonomiannya
dan
untuk
meningkatkan taraf kehidupannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.1 Dalam mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah telah memberikan berbagai kebijakan, di antaranya adalah peningkatan taraf hidup masyarakat dengan jalan pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankan, baik Bank pemerintah maupun Bank swasta nasional sebagai salah satu sumber mendapatkan dana atau modal kerja. Dengan adanya pemberian kredit, diharapkan penerima kredit dapat mengembangkan usahanya dengan lebih maksimal. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pemberian kredit tersebut harus dilakukan berdasarkan syarat-syarat tertentu, di antaranya terdapat agunan atau jaminan serta adanya perjanjian. 1 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2007), h. 1.
1
2
Perjanjian Kredit (PK) menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata. Dalam bentuk apa pun, pemberian kredit itu diadakan pada
hakikatnya
merupakan
salah
satu
perjanjian
pinjam-meminjam
sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata. Namun, dalam praktik perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kredit bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya.2 Lembaga perbankan sebagai penyedia dana memiliki peranan yang strategis dalam membantu mensukseskan pembangunan nasional. Bank sebagai lembaga keuangan mempunyai usaha untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat melalui kegiatan perkreditan memegang peranan yang tidak kecil. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa fungsi utama perbankan di Indonesia adalah menghimpun dan penyalur dana masyarakat. Jaminan adalah suatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat di nilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.3 Sehubungan dengan jaminan utang, pemahaman tentang hukum jaminan sebagaimana yang terdapat 2
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2006),
h.502 3
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta: Liberty, 1984), h. 50.
3
dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak pemberi kredit. Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur. 4 Perjanjian kredit merupakan ikatan antara kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian kredit. Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya. Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh
penjamin debitur. Keberadaan jaminan merupakan
persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit. Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian
4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2000),h.1.
4
pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak ada perjanjian jaminan tanpa adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau hapus. Sifat perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor (accessoir). Perjanjian jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh kreditur dengan debitur atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok.5 Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini, yaitu Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 juga menggunakan istilah “fidusia.” Dengan demikian, istilah “fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita. Akan tetapi, kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga dengan istilah “Penyerahan Hak Milik secara Kepercayaan”.6 Pengalihan hakkepemilikan dimaksud semata-mata sebagai jaminan bagi pelunasanutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia.7 “Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan Constitutum Posessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali)”.8 5
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h. 236. 6
Munir Fuady, Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
7
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2008), h.35 8
Munir Fuady, Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
5
Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak. Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang dibebani jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak tersebut setiap tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat disebabkan karena terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain. Dalam praktek pelaksanaan pemberian kredit oleh Bank dengan mempergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan kredit kepada pengusaha guna mengembangkan usahanya, maka tidak tertutup kemungkinan akan muncul permasalahan-permasalahan hukum karena objek fidusianya tetap berada dalam tangan debitor. Seperti pada kasus yang telah diputus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001. Dalam putusan tersebut diselesaikan sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan (kreditur) yang mewajibkan pihak debitur tetap membayar sisa hutangnya kepada kreditur meskipun objek jaminannya telah musnah akibat kebakaran. Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 permohonan kasasi oleh PT. Multi Makmur Matari di tolak oleh Mahkamah Agung dikarenakan tidak melunasi hutang (kreditnya) karena keadaan memaksa (overmacht) tidak dapat
6
dibenarkan. Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar, karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan utang. Dalam undang-undang telah di atur mengenai musnahnya benda jaminan sebagai salah satu sebab hapusnya perjanjian, namun tidak mengapus klaim asuransi. Tetapi pada prakteknya pihak debitur selaku pemberi fidusia tidak mengetahui secara jelas isi polis asuransi yang dilakukan pihak kreditur dengan perusahaan asuransi. Hal ini mengakibat jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap benda jaminan di luar isi polis asuransi yang dibuat maka debitur harus bertanggungjawab penuh terhadap sisa hutangnya. Seperti pada kasus sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan (kreditur). Oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis putusan tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS
MUSNAHNYA
BENDA
JAMINAN
FIDUSIA
DALAM
PERJANJIAN KREDIT (Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001).” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pokok pembahasan skripsi ini hanya menyangkut mengenai penyelesaian mengenai objek jaminan fidusia yang musnah.
7
2. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit? b. Bagaimana perlindungan para pihak dalam Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 terkait musnahnya benda jaminan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang harus di capai oleh penulis dalam melakukan analisis dan pengkajian tentang judul topik tersebut di atas adalah sebagai berikut: a. Untuk
mengetahui
pengaturan
tanggungjawab
debitur
terhadap
musnahnya benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit. b. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis mengenai perlindungan para pihak atas musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit. 2. Manfaat Penelitian Pemelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun praktis.
8
a. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum jaminan fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas lembaga keuangan bank. b. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama ketentuan yang menyangkut tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam kredit perbankan. D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu Agar tidak terjadi kesamaan antara penulisan skripsi ini dengan penelitian tentang jaminan fidusia lainnya, maka penulis melakukan penelusuran terhadap beberapa penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian tersebuat diantaranya: 1. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS NILAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG MENYUSUT (Tinjauan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)” yang disusun oleh Reza Adriansyah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2013. Skripsi
9
ini membahas mengenai perlindungan hukum kreditur dan penyelesaiannya akibat menyusutnya nilai objek jaminan fidusia. 2. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS RUSAK DAN/ ATAU MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PD. BPR BANK PURWOREJO” yang disusun oleh Efi Handayani, Fakutas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2014. Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap kreditur atas jaminan fidusia yang rusak dan atau musnah dalam perjanjian kredit.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.9 Tanggungjawab debitur terhadap musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian tidak terlepas dari peranan bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya, terdapat hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat ”percaya” untuk menempatkan uangnya dalam produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di banknya dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa perbankan.
9
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 19.
10
Bank sebagai lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian dana yang dihimpun tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian, fungsi konvensional dari bank adalah di samping menghimpun dana dari masyarakat, juga memberi pinjaman (menyalurkan kredit) kepada masyarakat.10 Sutan Remmy Syahdeini memberikan batasan bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.11 Sutarno berpendapat bahwa perjanjian kredit dibuat untuk kepastian hukum akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Lahirnya perjanjian kredit memberi konsekuensi kepada kreditur mengenai kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.12
Dalam memberikan kredit kepada warga masyarakat, bank menerapkan prinsip The Five ”C” yaitu watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), situasi ekonomi (condition of economic) dan agunan (collateral). Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
10
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Alumni, 2000), h. 8.
11 Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993),h. 34. 12 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 246-250.
11
itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat (debitur) bahwa yang bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian. Sebelum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diberlakukan, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia hanya terhadap benda-benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan inventory, benda dagangan, piutang (tagihan), peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Sedangkan dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, pengertian jaminan fidusia diperluas dalam arti benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996.13 F. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang mencapai
tingkat
kecermatan
dan
ketelitian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 1. Tipe Penelitian Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.14
13 Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia Pedoman Praktis Cetakan ke-1, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1999), h.7 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media,2005), h. 35
12
Tipe penelitian yang digunakan adalah normatif. Penelitian jenis ini di konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang di anggap pantas.15 2. Pendekatan Masalah Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).16 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute
approach)
dan
pendekatan
konseptual
(conceptual approach). pendekatan perundang-undangan yang meliputi penelitian terhadap hukum, sumber-sumber hukum, atau peraturan perindangundangan yang bersifat teoritis dan dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan di bahas secara benar. Pendekatan konseptual dipergunakan untuk memahami konsep-konsep asal mula adanya jaminan fidusia dalam lingkup kredit perbankan. Di harapkan adanya pemahaman terhadap konsep jaminan fidusia beserta aturan-aturannya yang mengikat para pihak
terutama
debitur
agar
tidak
terjadi
perbuatan
melawan
hukum/pelanggaran hukum. 15
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), h. 118 16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media,2005),h.93.
13
3. Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi
atau
risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan-bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; 3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan persoalan yang sementara dikaji.
4. Analisis Bahan Hukum Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder di klasifikasikan sesuai isu hukum yang akan di bahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis.
14
5. Metode Penulisan Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan analisis kemudian disusun dalam bentuk laporan akhir dengan sistematika penulisannya sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pendahuluan
yang
berisi
uraian
tentang
Latar
Belakang
Permasalahan, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian,
Tinjauan
(Review)
Kajian
Terdahulu,
Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
JAMINAN
DALAM
PERJANJIAN KREDIT Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit, Tinjauan Umum tentang Jaminan, Pengikatan Jaminan Kredit, Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan. BAB III
TANGGUNGJAWAB
DEBITUR
ATAS
MUSNAHNYA
JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT
15
Dalam bab ini dibahas mengenai Tinjauan Umum tentang Jaminan Fidusia, Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit, dan
Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas
Benda Jaminan yang Musnah dalam Perjanjian Kredit. BAB IV
ANALISIS
PUTUSAN
MAHKAMAH
AGUNG
NOMOR
2914K/Pdt/2001 Pada bab ini akan dibahas mengenai Studi Putusan MA No. 2914K/Pdt/2001, Analisis Putusan MA No. 2914K/Pdt/2001, dan Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Kredit. BAB V
PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dan disertakan pula saran-saran sebagai rekomendasi berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.
16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.1 Antara bagian umum dan bagian khusus ini ada hubungannya satu sama lain, yaitu suatu hubungan dimana asas-asas bagian umum dari perikatan berlaku juga bagi perjanjian tertentu sebagaimana yang tercantum/diisyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam hukum perjanjian yang didasarkan pada KUHPerdata berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme yang artinya bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila kedua belah pihak sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Asas konsensualisme yang terdapat dalam
1
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hal.25.
16
17
buku perjanjian lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan: 1. Adanya kesepakatan 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Pasal 1320 ini, merupakan pasal yang sangat populer karena menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.2 Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti “kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak.3 Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan menyebutkan definisi dari kredit yaitu: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
2
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.67 3
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 6.
18
Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah: ”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.4 Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah: ”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biayabiaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.5 Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, dimana pihak Kreditor adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.6
2. Dasar Hukum dan Bentuk Perjanjian Kredit Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan
4 Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 14. 5
Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 80. 6 Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta: Djambatan, 1996), hal. 62.
19
sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.7 Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.
7
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2003), h. 99.
20
Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis. Secara yuridis, ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya, yaitu: a. Perjanjian atau pengikatan kredit dibawah tangan, yang disebut akta dibawah tangan. b. Perjanjian atau pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris, yang disebut akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat baik dibawah tangan maupun dengan akta otentik, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu dengan cara kedua belah pihak (pihak bank dan pihak nasabah) menandatangani suatu perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan isi atau klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Dalam hal perjanjian kredit bank yang dibuat dengan akta otentik, maka bank akan meminta Notaris berpedoman pada model perjanjian kredit dari bank yang bersangkutan. Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut.
21
3. Lahirnya Perjanjian Kredit Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod, yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit, bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.8 Hal tersebut sesuai dengan asas tiada kredit tanpa jaminan. Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pada kita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan. Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban membayar bunga kredit. Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau pencairan kredit.9 Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah boleh menarik kreditnya. Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedag pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu 8
Edy Putra Tje'Aman, Kredit Perbankan–Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberty, 1989),h. 35.
9
Ibid, h.36
22
ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya
penandatanganan
perjanjian
kredit,
berarti
perjanjian
jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya. 4. Hapusnya Perjanjian Kredit Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata. Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini: 1. Pembayaran 2. Subrograsi (subrogatie) 3. Pembaharuan utang (novasi)
23
4. Perjumpaan utang atau kompensasi. B. Tinjauan Umum tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan Jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan tanggungan, tanggungan yang dimaksud dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dirumuskan: “Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan.” Adanya jaminan dalam suatu perjanjian jaminan sangat diperlukan oleh kreditur, karena kreditur mempunyai kepentingan bahwa akan benarbenar memenuhi kewajibannya yaitu untuk membayar utang. Perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan atau accessoir yaitu perjanjian yang muncul akibat adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok, sehingga menimbulkan adanya perjanjian tambahan yang berupa perjanjian tambahan, karena dalam perjanjian kredit disyaratkan adanya jaminan.10 Jaminan yang lahir karena Undang-undang tidak memerlukan perjanjian antara kreditur dan debitur. Perwujudan dari jaminan berdasarkan ketentuan Pasal 1131 BW menentukan bahwa semua harta kekayaan debitur baik benda bergerak ataupun tidak bergerak, baik yang ada ataupun akan ada menjadi jaminan atas seluruh hutangnya. 10 Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 1995), h. 69.
24
2. Syarat dan Manfaat Jaminan Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dapat dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah:11 a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan; b. Memberikan kedudukan mendahulukan kepada pemegangnya; c. Mengikuti objek yang dijaminkan; d. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas; e. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya; f. Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi, bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima
(pengambil)
kredit. Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan lembaga jaminan dapat memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur adalah:12 a. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup;
11
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 27 12
Ibid, h. 28
25
b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur adalah: a. Dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam pengembangan usahanya (adanya kepastian dalam berusaha); b. Memberikan kepastianbagi debitur untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang ditentukan. 3. Bentuk Jaminan Bentuk jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: a. Jaminan yang timbul dari Undang-undang Jaminan yang timbul dari Undang-undang dimaksudkan adalah bentukbentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu Undangundang. Tergolong jaminan yang timbul dari Undang-undang ialah Pasal 1311 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Dengan ketentuan Undang-undang seperti itu berarti seseorang kreditur telah diberikan jaminan yang berupa harta benda dari milik debitur tanpa khusus diperjanjikan terlebih dahulu. Namun dengan jaminan semacam itu kedudukan kreditur hanyalah merupakan kreditur konkuren saja terhadap seluruh kekayaan debitur.
26
b. Jaminan yang timbul dari atau perjanjian. Bentuk jaminan yang timbul karena perjanjian yang dibuat khusus dengan debitur dan kreditur dapat dibedakan antara bentuk jaminan yang bersifat kebendaan dan yang bersifat perorangan. 1) Jaminan Perorangan Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan ynag menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat di pertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.13 Jaminan perorangan atau jaminan pribadi (personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur. Menurut Soebekti, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur.14 Dengan demikian jaminan perorangan merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau pihak ketiga, artinya tidak memberikan hak untuk didahulukan pada benda-benda tertentu karena harta kekayaan pihak ketiga tersebut
13
Ibid, h.28
14 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid II, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 2005), h.12
27
hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan. Ciri-ciri jaminan perseorangan adalah:15 a) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu; b) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; c) Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jamina pelunasan hutang; d) Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau keseimbangan (konkuren); e) Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda jaminan dibagi antara para kreditur seimbang dengan
besarnya
piutang
masing-masing
(Pasal
1136
KUHPerdata). 2) Jaminan Kebendaan Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditur hak untuk memanfaatkan suatu kebendaan milik debitur jika debitur melakukan wanprestasi. Benda milik debitur yang dijaminkan dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Untuk benda bergerak dapat dijaminkan dengan gadai atau fidusia, sedangkan untuk benda tidak bergerak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan ataupun hipotik atas kapal laut dan pesawat terbang serta helikopter. Jika debitur melakukan wanprestasi, maka dalam jamina kebendaan, kreditur mempunyai hak didahulukan dalam pemenuhan piutangnya
15
Ibid, h. 16
28
diantara kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan harta benda milik debitur. Dengan demikian jaminan kebendaan mempunyai ciriciri, yaitu:16 a) Merupakan hak mutlak atau absolut atas suatu benda; b) Kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda tertentu milik debitur; c) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun; d) Selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada (droit de suite); e) Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih dulu terjadi akan lebih diutamakan daripada yang terjadi kemudian (droit de preference); f) Dapat diperalihkan; g) Bersifat perjanjian tambahan (accessoir). C. Pengikatan Jaminan Kredit Dalam praktik perbankan seharusnya suatu objek jaminan kredit diikat melalui suatu lemabaga jaminan yang berlaku, kelihatannya banyak pula objek jaminan kredit yang tidak diikat dengan lembaga jaminan atau melakukan pengikatan yang tidak sepenuhnnya mengikuti ketentuan suatu lembaga jaminan. Perbedaan perlakuan tersebut tidak hanya di antara bank sebagaimana disebutkan diatas, tetapi juga terjadi di dalam intern masing-masing bank.17
16
Ibid, h. 17
17 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.143.
29
1. Pengikatan melalui Lembaga Jaminan Cara pengikatan objek jaminan kredit yang secara umum akan mengamankan kepentingan bank adalah bila dilakukan melalui suatu lembaga jaminan. Sebagaimana dikemukakan terdapat 5 lembaga yang dapat digunakan untuk mengikat jaminan utang yaitu gadai, hipotik, hak tanggungan, jaminan fidusia dan resi gudang. Dalam praktiknya keharusan untuk melakukan pengikatan objek jaminan kredit melalui suatu lembaga jaminan sering kali hanya dilakukan untuk jenis tertentu karena alasanalasan tertentu dari masing-masing bank. Besarnya nilai kredit, jangka waktu kredit, jenis atau bentuk jaminan kredit merupakan sebagian dari halhal yang dipertimbangkan bank untuk mengikat atau tidak mengikat objek jaminan kredit melalui suatu lembaga jaminan.18 Lembaga jaminan yang dapat digunakan dalam rangka pengikatan jaminan kredit terdiri dari: a. Lembaga Jaminan Kebendaan Lembaga jaminan kebendaan terdiri dari lembaga jaminan kebendaan tidak bergerak dan lembaga kebendaan bergerak. Lembaga jaminan tidak bergerak terdiri dari hipotik dan hak tanggungan, sedangkan lembaga jaminan barang bergerak terdiri dari gadai, jaminan fidusia, dan resi gudang. 1) Gadai atau Pand Dasar hukum dari Pand adalah terdapat di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Buku II tentang Pasal 1150 sampai dengan
18
Ibid, h. 135
30
Pasal 1160 butir ke-20. Pengertian Pand sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagi berikut: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang (kreditur) atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang (debitur) atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan barang-barang bergerak tersebut secara didahulukan dari ada orang-orang berpiutang lainnya dengan perkecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara barang itu (biaya-biaya mana yang harus didahulukan).” 2) Fidusia Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 3) Hak Tanggungan Dalam Pasal 1 Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan pengertian dari Hak Tanggungan yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
31
4) Hipotik Hipotik adalah hak jaminan yang dibebankan pada benda tidak bergerak
untuk
pekunasan
utang
tertentu
yang
memberikan
kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain. Sebelum berlakunya UUHT, ketentuan hipotik berlaku untuk benda tidak bergerak berupa hak atas tanah. Namun sejak berlakunya UUHT, hipotik hanya berlaku untuk benda bergerak berupa kapal dan pesawat terbang atau helikopter. 5) Resi Gudang Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan (surat berharga) atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Hak jamina atas resi gudang adalah hak jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan suatu hutang yang memberikan kedudukan diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditur lain. Objek jaminan resi gudang adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum yang disimpan dalam gudang. Setiap resi gudang yang diterbitkan hannya dapat dibebani satu jaminan utang.19 b. Lembaga Jaminan Perorangan Jaminan perorangan atau di kenal juga penanggungan merupakan suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si 19
Gudang.
Resi Gudang beserta penjaminannya diatur dalam UU No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi
32
berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang apabila si berhutang tidak memenuhinya. Dalam praktik penanggungan, dikenal istilah personal guarantee untuk penanggungan oleh orang perorangan, corporate guarantee untuk penanggungan oleh perusahaan atau badan hukum, dan bank garansi untuk penanggungan oleh bank. Jaminan perorangan hanya memberikan kedudukan konkuren bagi para pemegangnya. 2. Pengikatan yang tidak Memenuhi Ketentuan Lembaga Jaminan Dalam praktik perbankan banyak ditemukan mengenai penerimaan objek jaminan kredit yang pengikatannya oleh bank melalui suatu lembaga jaminan, tetapi tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan-ketentuannya. Pengikatan yang demikian dapat dikatankan sebagai pengikatan yang tidak sempurna dan dapat menimbulkan permasalahn pada saat pencairan objek jaminan yang bersangkutan.20 Pertimbangan bank untuk tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan-ketentuan lembaga jaminan yang digunakannya tersebut dapat beraneka ragam. Akan tetapi secara umum pertimbangan yang sering dikemukakan bank untuk mengikat objek jaminan kredit yang diterimanya secara tidak sempurna adalah sebagi berikut:21 a. Terdapatnya pengecualian oleh peraturan perundang-undangan. b. Terdapatnya kebijaksanaan bank untuk melakukan pengecualian.
20
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139 21
Ibid, h.139-141
33
3. Pengikatan yang tidak Menggunakan Lembaga Jaminan Dari praktik perbankan dapat diketahui mengenai adanya objek jaminan kredit yang sama sekali tidak diikat dengan melalui suatu lembaga jaminan. Bank tetap mensyaratkan adanya penyerahan objek jaminan kredit dari debitur dan menerimanya, tetapi tidak melakukan pengikatan melalui lembaga jaminan yang berkaitan dengan objek jaminan tersebut. Bank tidak melakukan pengikatan objek jaminan berdasarkan pertimbangan tertentu antara lain karena berkaitan dengan pemberian kredit mikro dan kecil yang nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit pendek, dokumen jaminan kredit tidak memenuhi persyaratan, beban biaya pengikatan yang tidak seimbang dengan jumlah kredit yang disetujui dan sebagainya. 22 Terhadap objek jaminan yang tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan, bank bisanya menempuh kebijaksanaan antara llain berupa tindakan sebagai berikut:23 a. Pencantuman klausula jaminan kredit dalam perjanjian kredit; b. Penguasaan dokumen objek jaminan kredit oleh bank; c. Penyerahan surat kuasa menjual oleh debitur kepada bank; d. Penyerahan surat pernyataan dari pihak ketiga; e. Penyerahan surat pernyataan dari pihak debitur kepada bank; f. Pembuatan cessie dan standing indtruction; g. Penerimaan aksep (surat berharga).
22
Ibid, h.142
23
Ibid h. 142-145
34
D. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yng lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.24 Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena di dalamnya terdapat kekhususan, dimana pihak kreditur adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian adalah uang. Perjanjian kredit ini dibuat secara tertulis tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka perjanjikan.25 Sebelum mengajukan kredit, seorang calon debitur haruslah terlebih dahulu mengajukan surat permohonan kredit. Setelah permohonan kredit calon debitur dianggap layak untuk disetujui, bank akan memberikan tanda persetujuannya yang disebutnya Sebagai Surat Persetujuan Prinsip, yaitu surat kepada pemohon yang memberitahukan setuju secara prinsip pemberian kredit.26 Pemberian Kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank kepada anggota masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan 24
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), h. 122.
25
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2000),h. 226
26
H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2005),h. 133
35
jaminan kredit oleh debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit tersebut terkait dengan berbagai ketentuan hukum jaminan.27 Banyak hal mengenai perjanjian kredit yang dapat dikaitkan dengan ketentuan hukum jaminan. Salah satu contoh adalah tentang penerapan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur tentang kedudukan harta seorang yang berutang untuk menjamin utangnya. Bank pemberi kredit hendaknya sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut untuk mengamankan kepentingannya sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata seharusnya dipatuhi pada waktu bank melakukan penilaian calon nasabah dan ketika melakukan penanganan kredit bermasalah debitur. Pada waktu melakukan penilaian calon debitur
yang
mengajukan
permohonan
kepadanya,
bank
seharusnya
berdasarkan kepada ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dapat meyakini harta yang dimiliki oleh calon debitur untuk menjamin pelunasan kredit di kemudian hari. Harta calon debitur adalah semua hartanya yang berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, sepenuhnya merupakan jaminan atas kredit yang bersangkutan. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut, jaminan atas kredit yang diterima debitur tidak terbatas pada harta debitur yang telah dikuasai bank atau yang diikat melalui sesuatu lembaga jaminan. Semua harta debitur adalah jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank, dan dalam 27 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 70.
36
praktik perbankan mengenai harta debitur sebagaimana yang dimaksud oleh ketentuan KUHPerdata tersebut sering dicantumkan dengan ketentuan perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan, terutama dalam
perjanjian kredit
yang
dilakukannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan perekonomian saat ini penerapan hukum jaminan lebih banyak ditemukan dalam kegiatan perjanjian kredit perbankan.
37
BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT
A. Jaminan Fidusia 1. Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia menurut asal katanya berasal dari “fides” yang berarti kepercayaan. Maka hubungan hukum antara pemberi fidusia (debitor) dan penerima fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Debitor percaya bahwa kreditor mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya, kreditor percaya bahwa debitor tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. Bentuk jaminan fidusia itu sendiri ada 2 (dua), yaitu “fidusia cum creditore” yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikannya atas suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengambil alih kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas dan “fidusia cum amico.” Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut “pactum fidusiae”, yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau “in iure cessio.”1
1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
h.119.
37
38
Undang-undang yang khusus mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, namun dalam bahasa Indonesia untuk fidusia sering pula disebut sebagai “Penyerahan Hak Milik secara Kepercayaan.2 Pengertian fidusia menurut UUJF Pasal 1 butir (1) adalah: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Jaminan fidusia ini adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia. Sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diumumkan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan, tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengalihan hak kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara constitutum possesorium. Ini berarti pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penerima
2
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
39
fidusia. Bentuk pengalihan seperti ini sebenarnya sudah dikenal luas sejak abad pertengahan di Perancis.3 2. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia a. Subjek Jaminan Fidusia Subjek jaminan fidusia adalah pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 1 butir (5) UUF). Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia (Pasal 1 butir (6) UUF). Dalam Pasal 8 UUF disebutkan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dalam penjelasannya, ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai pemberi fidusia kepada lebih dari satu penerima fidusia dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium, yang disebut kuasa adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari penerima fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan jaminan fidusia dari pemberi fidusia. Wakil adalah orang yang secara hukum dianggap mewakili penerima fidusia dalam penerimaan jaminan fidusia. Perlu diperhatikan bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitor 3
h.128.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
40
maupun penjamin pihak ketiga tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan syarat bagi sahnya jaminan fidusia adalah bahwa pemberi fidusia mempunyai hak kepemilikan atas benda yang dijadikan objek jaminan fidusia pada waktu ia memberi jaminan fidusia. b. Objek Jaminan Fidusia Dalam hukum Islam diatur mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, tertulis dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
...اَّلل لَ ُ ُْك ِق َي ًم َّاو ْار ُز ُق ْو ُ ُْه ِف ْْيَا ُ َّ الس َفهَآ ٓ َء َا ْم َوالَ ُ ُُك ال َّ ِ ِْت َج َع َل ُّ َو َالت ُْؤتُوا ﴾)٥( ٤: ﴿ ال ِن ّس َاء Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...”. (AnNisa ayat 5). Ayat diatas mengatur tentang kejelasan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan fidusia diatur secara lebih rinci dalam Pasal 1 butir (4) UUF yaitu segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotik. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus jelas dalam akta jaminan fidusia baik identitas benda tersebut maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya, dan bagi benda inventory yang
41
selalu berubah-ubah dan atau tetap, harus dijelaskan jenis bendanya, merek benda dan kualitasnya. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri. Pasal 10 UUF menyebutkan bahwa kecuali diperjanjikan lain, yaitu: 1) Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 2) Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan. Maksud kedua hal tersebut adalah bahwa hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia. Klaim asuransi merupakan hak penerima fidusia dalam hal jaminan tersebut musnah dan mendapat penggantian dari perusahaan asuransi. 3. Eksekusi dan Hapusnya Jaminan Fidusia a. Eksekusi Jaminan Fidusia Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara: 1. Melaksanakan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;
42
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Pelaksanaan eksekusi sesuai dengan Pasal 29 tersebut pada intinya dilaksanakandengan cara melalui pelelangan di depan umum atau dengan cara penjualan di bawah tangann disesuaikan dengan perkiraan memperoleh hasil penjualan yang lebih tinggi. Untuk penjualan di bawah tangan harus dengan persetujuan dari pemberi dan penerima fiduisia serta dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan serta diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersagkutan. Selanjutnya pasal 30 menyatakan pemberi fidusia diwajibkan memyerahkan objek jamina fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jamina fidusia, apabila objek jaminan fidusia tidak diserahkan oleh pemberi fidusia, maka pemberi fidusia berhak mengambil objek jaminan dan bila perlu meminta bantuan pihak yang berwenang. Dalam prakteknya, pelaksanaan eksekusi objek jamina fidusia kebayakan dilakukan dengan penjualan di bawah tangan. Cara penyelesaian ini lebih menguntungan debitur/pemberi fidusia dan
43
kreditur, sebab penyelesaian bisa lebih cepat dan biaya-biaya jauh lebih ringan, seperti biaya perkara, dan bea lelang tidak dikenakan dengan cara ini.dengan penjualan di bawah tangan dapat diharapkan harga akan mencapai nilai yang sewajarnya, sehingga piutang kreditor dapat dilunasi dan apabila masih tersisa dari harga jual itu maka sisa pembayaran akan menjadi milik debitur. b. Hapusnya Jaminan Fidusia Menurut Pasal 25 UUF, hapusnya jaminan fidusia dapat diakibatkan dari hal-hal sebagai berikut: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia. c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Jika
objek
jaminan
musnah
sedangkan
objek
tersebut
diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut tidak hapus dan menjadi jaminan pengganti dari objek yang musnah tersebut.4 Dan penerima fidusia segera memberitahukan kepada KPF mengenai hapusnya jaminan fidusia secara tertulis dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah hapusnya jaminan fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut. Kemudian KPF akan mencoret pencatatan jaminan fidusia tersebut dari Buku Daftar
4
h. 149.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
44
Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut tidak berlaku lagi. B. Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit Dalam praktek perkreditan yang sesungguhnya, ternyata jaminan merupakan hal yang sangat diutamakan oleh bank daripada sekedar jaminan berupa keyakinan bahwa debiturnya akan membayar kembali kredit tersebut. Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak dilarang untuk meminta jaminan kepada pihak debitur, hal tersebut mempunyai dasar hukum yang sangat kuat sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya. Dengan demikian, maka hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan sebagai jaminan untuk kredit. Perjanjian kredit dengan meminta jaminan dari debitur dimaksudkan untuk mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan tetapi tidak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi dengan penggunaan benda jaminan bergerak memiliki resiko yang sangat besar karena pihak debitur bisa saja melakukan perjanjian ulang dengan mengalihkan hak kepemilikan benda jaminan bergerak kepada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur sebagai penerima jaminan. Resiko lain yang dapat terjadi adalah dengan musnahnya barang jaminan. Dalam peraturan yang mengatur tentang fidusia, tidak ditemukan defenisi
45
dalam aturan tersebut tentang istilah ”musnahnya” barang jaminan. Namun, sejauhmana mengartikan musnahnya barang jaminan dalam penelitian ini perlu dipertegas. Berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapatlah diartikan bahwa yang dimaksudkan dengan ”musnah” adalah lenyap, binasa atau hilang.5 Dengan demikian, musnahnya barang jaminan dalam penulisan ini adalah barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit telah lenyap atau hilang. Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang resiko terhadap musnahnya benda jaminan, maka dapatlah dikaji dengan memperhatikan pendapat Subekti, yaitu resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.6 Resiko merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Sebagai contoh, pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa di luar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang atau obyek sewa. Musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Musnah secara total (seluruhnya) Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian 5
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2005),
h. 767. 6
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1975), hal. 92
46
tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewamenyewa berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewamenyewa dengan sendirinya batal. 2. Musnah sebagian Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu : a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa. b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa. Terkait
dengan
musnahnya
barang
jaminan
sebagaimana
yang
dipaparkan pada bagian sebelumnya ini, telah memberikan gambaran bahwa yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang khususnya yang menjadi jaminan ada dua yaitu musnah secara total dan musnah sebagian. Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensikonsekuensinya secara sendiri.
47
Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam pengaturan norma-normanya masih belum dapat menjawab permasalahan dalam hal jaminan fidusia, khususnya mengartikan musnahnya barang jaminan. Sehingga diartikan dengan berpedoman pada kamus bahwa yang dimaksudkan dengan musnah dalam pengkajian ini adalah hilangnya, rusaknya barang yang dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.
C. Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas Benda Jaminan yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit Terkait dengan musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit tidak diuraikan yang dimaksud dengan musnahnya benda jaminan. Namun, pada bagian sebelumnya pada bab ini telah dipertegas bahwa yang dimaksudkan dengan musnahnya barang jaminan adalah lenyap atau hilang. Kondisi musnahnya barang jaminan dapat diklasifikasikan pada musnah seluruhnya atau musnah sebagian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Buku ketiga tentang Perikatan tidak secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat dari musnahnya barang jaminan. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat dari musnahnya barang jaminan. Terkait dengan musnahnya barang jaminan hanyalah disebutkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek jaminan adalah salah satu bagian atau alasan dari hapusnya jaminan fidusia. Hal tersebut sebagaimana dikaji secara rinci pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada Pasal 25 ayat (1) mengatur bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:
48
a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Pada ayat (2) ditambahkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b. Sehingga tidak nampak secara rinci yang dimaksudkan dengan musnahnya benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut. Namun berdasarkan penafsiran yang dilandasi pada pengertian secara umum dari kata ”musnah”, maka diartikan sebagai lenyap atau hilangnya barang yang menjadi objek jaminan. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia yang dikenal dengan prinsip ”droit de suite” yaitu hak mutlak atas kebendaan. Pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Benda persediaan adalah benda yang telah ada selain dari benda pokok jaminan yang dijadikan jaminan fidusia. Benda persediaan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) boleh dialihkan oleh debitur tetapi wajib diganti dengan benda yang setara, kecuali apabila telah terjadi cidera janji oleh debitur dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.
Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya barang jaminan dalam perjanjian kredit adalah sebuah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi. Di sini akan muncul perbedaan antara tanggung jawab dan kewajiban. Terkait dengan
49
penelitian ini, maka dapatlah dijelaskan bahwa istilah ”tanggung jawab” diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal tersebut) bertanggungjawab atau sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.7 ”Kewajiban” adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sesuatu yang harus dilaksanakan, sesuatu yang berkenaan dengan tugas atau pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan secara ringkas bahwa tanggungjawab lebih luas maknanya dibandingkan kewajiban. Sebab tanggung jawab berisiko pada akibat dari sesuatu atau sesuatu yang dilaksanakan dengan mempertegas pada konsekuensi, sedangkan kewajiban hanya terfokus pada sesuatu yang harus dilaksanakan tanpa menekankan pada konsekuensi. Penelitian ini mengkaji sejauhmana tanggungjawab dari salah satu pihak (debitur) terhadap musnahnya barang jaminan. Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor. Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa : 1. Tidak melakukan prestasi sama sekali; 2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; 3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
7
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 739.
50
Risiko merupakan suatu akibat dan suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat mengembalikan kredit tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi atas barang yang menjadi jaminan adalah pihak bank harus memberitahukan secara tertulis kepada mereka agar segera menyerahkannya kepada bank. Setelah barang dikuasai oleh bank, maka tindakan selanjutnya melaksanakan eksekusi terhadap jaminan tersebut. Terhadap risiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mengatasi risiko, yaitu : 1. Menerima risiko, apabila suatu risiko yang dihadapi oleh seseorang diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari, mencegah, memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada keuntungannya, maka orang yang menghadapi risiko itu mungkin akan mengambil sikap, bahwa ia akan menerima saja risiko itu. Dengan kata lain ia akan pasrah saja. 2. Menghindari risiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara menghadapi masalah yang penuh dengan risiko. Seseorang yang menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang penuh risiko, berarti dia berusaha menghindari risiko itu sendiri. 3. Mencegah risiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga akibat yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi atau dihindari.
51
4. Mengalihkan risiko, bahwa seseorang yang menghadapi risiko meminta orang lain untuk menerima risiko tersebut. Ini dilakukan dengan memperalihkan risiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian. Beberapa cara mengatasi risiko maka pengalihan risiko merupakan cara yang paling efektif, karena dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain yang telah disepakati tentunya pihak tersebut bersedia mengambil alih risiko. Hal demikian berarti bahwa jika risiko atau peristiwa yang tidak pasti benar-benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung peralihan risiko tersebut adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan asuransi. Besarnya uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan akibat yang ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan, kehilangan, dan cacat. Namun, setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan beban ganti rugi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas
dipertanggungkan.
meninggalnya
atau
hidupnya
seseorang
yang
52
Dari pengertian tersebut, manusia dalam mengarungi kehidupannya dan dalam setiap kegiatannya selalu berhadapan dengan risiko. Setiap orang yang ingin memperkecil risiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti dapat dilakukan dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat menimbulkan risiko. Perusahaan asuransi tidak memberikan ganti rugi sepenuhnya atas benda jaminan yang musnah tersebut, yang mengakibatkan bank masih mengalami kerugian maka bank meminta kepada debitur untuk menutup sisa kerugian yang timbui dengan beberapa cara : 1. Dengan cara pengembalian langsung sisa kerugian yang tidak diganti sepenuhnya oleh perusahaan asuransi. 2. Jika debitur belum dapat mengembalikan sepenuhnya kerugian yang timbul tanpa
melalui
perusahaan
asuransi
karena
benda
jaminan
tidak
diasuransikan maka debitur meminta kebijakan kepada kreditur untuk diberikan tenggang waktu pengembalian dari tenggang waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, dan juga keringanan terhadap nilai pinjaman yang harus dilunasi oleh debitur. Tanggung jawab debitur terhadap jaminan benda bergerak yang hilang adalah tetap mengembalikan pinjaman kredit kepada kreditur. Jika benda bergerak
yang
diasuransikan
hilang
maka
debitur
tetap
mempertanggungjawabkan pengembalian pinjaman kredit melalui perusahaan asuransi kepada kreditur, walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi dimana benda jaminan diasuransikan. Sisa dari pinjaman kredit yang belum lunas tetap dilunasi oleh pihak debitur. Tetapi jika benda jaminan
53
bergerak tidak diasuransikan ternyata musnah maka debitur bertanggung jawab penuh dalam pengembalian pinjaman kredit kepada kreditur. Hal ini dikarenakan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak bank. Pada dasarnya setiap perjanjian kredit yang dilaksanakan tidak merugikan pihak bank, walaupun dalam pelaksanaan perjanjian kredit itu benda jaminan musnah. Mengenai perpindahan atau pengalihan hak milik dimaksud haruslah tetap mengacu kepada sistem hukum jaminan yang berlaku, yaitu bahwa pihak penerima jaminan atau kreditur tidak dibenarkan menjadi pemilik yang penuh atas benda tersebut, artinya kewenangan kreditur hanyalah kewenangan yang berhak atas benda jaminan dalam hal ini hanya hak kepemilikan yang beralih sedangkan benda jaminan masih dikuasai oleh pemberi fidusia. Konsekuensi hukum jika timbul masalah atau gugatan karena kesalahan (kesengajaan atau kekuranghati-hatian) dari debitur sehubungan dengan penggunaan atau pengalihan benda jaminan, maka pihak kreditur dibebaskan dari tanggung jawab. Dengan demikian di dalam setiap peijanjian kredit yang dilakukan adanya pengikatan atau perlindungan terhadap benda jaminan debitur melalui perusahaan asuransi khususnya terhadap benda jaminan bergerak merupakan syarat penting yang bertujuan untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan di kemudian hari. Sehingga dengan demikian pihak bank dapat menuntut ganti rugi kepada perusahan asuransi, dimana benda jaminan itu diasuransikan walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi tersebut.
54
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2914K/Pdt/2001
A. Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001 1. Para Pihak Putusan ini merupakan kasus antara Tjong Kwet Khiong alias Atung selaku direktur dari PT. MULTI MAKMUR MATARI (selanjutnya disebut sebagai PT. MMM) sebuah perusahaan yang bergerak dibidang usaha pengelolaan kertas khususnya pembuatan buku tulis yang berkantor di Jalan Waspada Buntu No. 19 RT.004 RW.012 Kelurahan Tmbora, Jakarta Utara selaku Pemohon Kasasi dahulu Penggugat dengan BANK EKSPOR IMPOR CABANG JAKARTA PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI (selanjutnya disebut sebagi PT. BM) yang berkantor di Gedung Graha Bukaka, Jalan Raya Pasar Minggu No. 17 A. Jakarta Selatan selaku Termohon Kasasi I dahulu Tergugat II dan ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK INDAH (selanjutnya disebut sebagai ASWATA) yang berkantor di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 8 B. Jakarta Selatan selaku Termohon Kasasi II dahulu Tergugat I. 2. Kasus Posisi Terjadinya kasus ini berawal dari adanya perjanjian kredit dengan No. 001/KMK-Umum/X/97 pada 23 Oktober 1997, dimana PT. MMM telah mendapat pinjaman uang dari PT. BM sebesar Rp.1.120.000.000,- dan
54
55
sebesar
Rp.740.000.000,-
dengan
memberikan
jamina
terhadap
pengembalian kredit tersebut berupa penyerahan hak milik secara fidusia, pemindahan dan penyerahan hak sebagai jaminan pribadi yang kesemuanya dimuat dalam bentuk Akta Notaris. Barang jaminan tersebut telah di asuransikan kepada ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK INDAH dengan polis asuransi No. 02-18-22000246 dan No. 0118-22000247. Pada tanggal 14 Mei 1998 telah terjadi kebakaran pada pabrik PT. MULTI MAKMUR MATARI yang telah mengakibatkan musnahnya barang yang menjadi jaminan kreditnya dengan BANK EKSPOR IMPOR CABANG JAKARTA PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI. Atas kejadian tersebut, maka ia meminta kepada PT. BANK MANDIRI membantu melakukan klaim asuransi. Namun pada saat mengajukan klaim tersebut, ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK INDAH menolak membayar dengan alasan resiko yang diderita tersebut tidak dijamin oleh polis standar kebakaran. Akibat tidak dibayarkan klaim asuransi oleh pihak asuransi, maka PT. MULTI MAKMUR MATARI sangat merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Tergugat I ASURANSI WAHANA TATA CABANG PONDOK INDAH dan Tergugat II PT. BANK MANDIRI.
56
Penggugat (PT. MULTI MAKMUR MATARI) menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan putusan dalam perkara ini sebagai berikut : -. DALAM PROVISI : -. Memerintahkan kepada Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan pembayaran kredit terhadap Penggugat selama dalam proses pemeriksaan perkara sampai dengan diperolehnya putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dengan ketentuan Tergugat II akan dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila melalaikan putusan provisi ini ; -. DALAM POKOK PERKARA : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ; 2. Menyatakan sah dan berharga terhadap sita jaminan yang telah diletakkan; 3. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) ; 4. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran klaim asuransi kepada Penggugat dengan jumlah keseluruhannya sebesar Rp.1.600.000.000,- (satu milyar enam ratus juta rupiah) dan DEM 1.800.000.00- ; 5. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran penggantian biaya kerugian dan bunga sebesar Rp.1.152.000.000,- (satu milyar seratus lima puluh dua juta rupiah) dan DEM 1.296.000.00,- ; 6. Menyatakan secara hukum uang hasil pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat I kepada Penggugat adalah untuk kepentingan pelunasan pinjaman kredit Penggugat kepada Tergugat II dan apabila terdapat sisa kelebihan maka menjadi hak Penggugat ; 7. Menghukum Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan pelunasan pinjaman kredit yang sudah jatuh tempo berikut bungabunganya kepada Penggugat sampai dilunasinya pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat I kepada Penggugat ; 8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada bantahan,banding maupun kasasi ; 9. Menghukum Para Tergugat supaya membayar biaya perkara ; -. ATAU : -. Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya ; Di persidangan, pihak Tergugat I mengajukan eksepsi Penggugat tidak berhak mengajukan gugatan kepada Tergugat I dalam perkara a quo, karena
57
polis asuransi yang disengketakan dalam perkara a quo adalah polis asuransi yang memuat klausula Bank (Bankers Clause) maka yang berhak mengajukan claim atas asuransi terhadap Tergugat I adalah Tergugat II (PT. Bank Ekspor Impor Indonesia). Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat II telah mengajukan gugatan Rekonvensi yang pada pokoknya telah mengemukakan bahwa menunjuk kepada jangka waktu perjanjian kredit ternyata masa perjanjian kredit tersebut saat ini telah berakhir. Bahwa dengan demikian telah terbukti bahwa Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi telah ingkar janji (wanprestasi) dalam melaksanakan kewajiban pembyaran atas fasilitas kredit yang telah diterimanya dari Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi. Bahwa atas prbuatan Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi tersebut, Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi telah mengalami kerugian sebesar Rp.2.497.726.037,67,-. Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengambil
putusan,
yaitu
dengan
putusannya
Nomor
:
175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 yang amarnya berbunyi sebagai berikut : -. DALAM KONVENSI : -. DALAM PROVISI : -. Menolak gugatan provisi ; -. DALAM EKSEPSI : -. Menolak eksepsi Tergugat I Konvensi ; -. DALAM POKOK PERKARA : 1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi seluruhnya;
58
2. Membebankan biaya perkara pada Penggugat Konvensi sebesar Rp.200.000,-(dua ratus ribu rupiah) ; -. DALAM REKONVENSI : -. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ; -. Membebankan biaya dalam gugatan Rekonvensi pada Penggugat Rekonvensi yang hingga kini ditaksir nihil. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut telah dikuatkan oleh
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
dengan
putusannya
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI. tanggal 16 Mei 2000. Sesudah
putusan
terakhir
Penggugat/Pembanding/Terbanding
ini dan
diberitahukan Tergugat
kepada
II/Terbanding
I/Pembanding pada tanggal 21 Pebruari 2001 dan tanggal 02 Maret 2001 kemudian terhadapnya oleh Penggugat / Pembanding / Terbanding dan Tergugat II / Terbanding I / Pembandingdengan perantaraan masing-masing kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus masing-masing tanggal 02 Maret 2001 dan tanggal 02 Nopember 1999 diajukan permohonan kasasi secara lisan masing-masing 02 Maret 2001 dan tanggal 02 Maret 2001 sebagaimana
ternyata
dari
Akte
Permohonan
Kasasi
No.
175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. Setelah itu oleh Para Termohon Kasasi yang masing-masing pada tanggal 05 April 2001 dan 27 Maret 2001 telah diberitahukan tentang memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II, dan telah diajukan jawaban memori kasasi oleh Para Termohon Kasasi yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masing-masing pada tanggal 05 April 2001 dan tanggal 17 April 2001.
59
3. Pertimbangan Majelis Hakim Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I (PT. MMM) dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah: a. Bahwa Judex Facti dalam putusannya telah salah dalam menerapkan hukum, karena telah mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh Judex Facti tanpa memberikan pertimbangan dan alsan yang cukup; b. Bahwa pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang telah diambil alih oleh Judex Facti yang menyatakan kebakaran yang diderita oleh Penggugat akibat adanya kejadian kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998, sehingga dikecualikan dari pertanggungan asuransi, jelas merupakan pertimbangan yang keliru, karena peristiwa tanggal 14 Mei 1998 adalah merupakan peristiwa criminal murni, sehingga Tergugat harus membayar klaim asuransi terhadap Penggugat; c. Bahwa adalah tidak adil dan tidak patut apabila Tergugat II tidak dihukum untuk ikut menanggung akibat hukum distopnya pembayaran klaim asuransi Penggugat oleh Tergugat I, padahal ditunjuknya Tergugat I sebagai penanggung adalah atas perintah Tergugat II, sehingga dengan tidak dihukumnya Tergugat II untuk ikut menanggung akibat hukum ditolaknya klaim asuransi Penggugat jelas pertimbangan tersebut tidak adil. Menimbang bahwa, atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
60
Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, sebab Judex Facti dapat mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan pertimbangan sendiri apabila putusan tersebut telah tepat dan benar, lagi pula keberatan-keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena pemeriksaan
dalam
tingkat
kasasi
hanya
berkenaan
dengan
ketidakwenangan atau melampaui batas wewenang, atau salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, atau lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung No.14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.5 tahun 2004 ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR MATARI tersebut harus ditolak. Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II (PT. BM) dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
61
a. Bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan ketentuan mengenai keadaan memaksa (overmacht) yaitu Pasal 1245 KUHPerdata. Sesuai dengan pertimbangan hukumnya yang menyatakan Termohon Kasasi I/semula Penggugat tidak beralasan untuk membayar kewajibannya pada Pemohon Kasasi/semula Tergugat II seketika karena terjadinya keadaan memaksa berupa kebakaran stock barang dagangan Termohon Kasasi I/semula Penggugat akibat kerusuhan massa tanggal 14 Mei 1998; Hal tersebut bukanlah merupakan alasan agar Termohon Kasasi I/semula Penggugat tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi II/semula Tergugat II, karena peristiwa kebakaran tersebut hanyalah keadaan memaksayang bersifat relatif/tidak mutlak dan kejadian tersebut bukanlah hal-hal yang menyebabkan berakhirnya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Hal inipun telah diakui oleh Judex Facti pada pertimbangan hukumnya dibagian konvensi yang menyatakan bahwa tidak diperoleh ketentuan bahwa Tergugat II tidak diperbolehkan menagih pelunasan dari Penggugat ; Oleh karena itu, Termohon Kasasi I/semula Penggugat harus tetap memenuhi kewajiban hutangnya kepada Pemohon Kasasi sesuai perjanjian yang disepakati dan klaim asuransi yang tidak disetujui oleh Termohon Kasasi II, bukanlah merupakan alasan untuk tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi ; b. Bahwa pertimbangan Judex Factie yang menyatakan bahwa Termohon Kasasi I/semula Penggugat belum melunasi hutangnya karena alasan
62
overmacht sebagaimana tersebut diatas adalah pertimbangan yang keliru dan tidak adil karena hutang Penggugat sudah jatuh tempo. Apabila Termohon Kasasi I/semula Penggugat tidak memenuhi kewajibannya dengan baik sedangkan hutangnya sudah jatuh tempo, maka demi hukum Pemohon Kasasi berwenang untuk melelang agunan kredit yang telah diserahkan kepada Termohon Kasasi I. Mengenai keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum. Bahwa
Termohon
Kasasi/Penggugat
tidak
melunasi
hutang
(kreditnya) karena keadaan terpaksa (overmacht) tidak dapat dibenarkan. Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar, karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan utang. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
diatas,
menurut
pendapat
Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II : PT. BANK EKSPOR IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut dan
membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
63
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999. 4. Putusan Mahkamah Agung Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusannya seperti tersebut dibawah ini : Menimbang bahwa, oleh walaupun permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II dikabulkan, namun karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I ditolak, maka Pemohon Kasasi I dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ; Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 1985 serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan ; MENGADILI: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR MATARI tersebut ; Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : : PT. BANK EKSPOR IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut ; Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 ; MENGADILI SENDIRI : -. DALAM KONVENSI : -. DALAM PROVISI : -. Menolak gugatan provisi ; -. DALAM EKSEPSI : -. Menolak eksepsi Tergugat I ; -. DALAM POKOK PERKARA : 1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ; -. DALAM REKONVENSI : 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ;
64
2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi ; 3. Menghukum Tergugat I Rekonvensi untuk membayar secara seketika dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi yang hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %) sampai dengan pelunasan hutang ; Menghukum Pemohon Kasasi I/Penggugat dalam Konvensi membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah) ; B. Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 Pembebanan kebendaan dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta Jaminan Fidusia. (Pasal 5 ayat (1) UUJF). Sifat akta notaris tersebut adalah memaksa, sehingga seluruh akta jaminan fidusia harus berupa akta notariil. Dimana akta itu sendiri merupakan perjanjian yang bukan perjanjian yang bersifat berdiri sendiri, sehingga Jaminan Fidusia merupakan assesoir dari perjanjian kredit itu sendiri.1 Kemudian, Undang-Undang Jaminan Fidusia juga menganut prinsip pendaftaran jaminan fidusia, yang diatur dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 UUJF. Sekalipun dalam pasal 11 Undang-Undang Jaminan fidusia disebutkan bahwa yang didaftar tersebut adalah benda yang dibebani jaminan fidusia akan tetapi harus diartikan jaminan fidusia tersebut yang didaftarkan. Tujuan pendaftaran dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan, serta untuk memenuhi asas publisitas dengan maksud 1 A. A. Andi Prajitno, Hukum Fidusia : Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Cetakan I, (Malang : Bayumedia Publishing, 2009), h. 205.
65
masyarakat dapat mengakses informasi dan mengetahui adanya dan keadaan benda yang merupakan objek fidusia juga untuk memberikan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaiman fidusia, hal ini mencegah terjadinya fidusia ulang sebagaimana yang dilarang oleh pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia.2 Kewajiban pendaftaran ini tentu bukan tanpa alasan. Menurut Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia, jika dalam jangka waktu dimaksud tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini. Berdasarkan ketentuan ayat ini, maka perjanjian Jaminan Fidusia yang tidak didaftar tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen) baik di dalam maupun diluar kepailitan dan atau likuidasi. Didalam kasus penelitian ini, bahwa perjanjian kredit oleh PT. MMM dengan PT. BM telah dibuat secara akta notariil sebagaimana layaknya praktek-praktek pada bank seperti biasanya. Dimana jaminan fidusia tersebut merupakan assesoir dari Perjanjian Kredit PT. MMM dengan PT. BM (Perjanjian Kredit No. 001/KMK-Umum/X/97 pada 23 Oktober 1997). Dalam kasus ini sebenarnya tidak dijelaskan jenis jaminan yang digunakan, akan tetapi di lihat dari bentuk jaminan perjanjian tambahan berupa stok barang dagangan tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa jaminan dalam dalam kasus ini termasuk dalam jaminan fidusia. Hanya saja tidak diikat pada
2
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1983), h. 5.
66
lembaga jaminan fidusia seperti yang sudah di jelaskan pada bab sebelumnya mengenai pengikatan jaminan kredit. Kemudian jika dilihat dari tahun pembuatan perjanjian kredit yaitu tahun 1997, dimana pada tahun tersebut hanya ada KUHPerdata dan juga UU Rumah Susun yang sedikit mengatur mengenai jaminan fidusia. Belum ada undangundang yang mengatur secara lebih spesifik seperti Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, karena undang-undang tersebut mengatur kewajiban mengenai pendaftaran perjanjian kredit menggunakan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Perjanjian kredit secara fidusia dalam perkara ini hanya dibuat berupa akta otentik yang dibuat dihadapan notaris tanpa melakukan pendaftaran ke Kantor Pendaftaran Fidusia, akan tetapi akta notaris tersebut tetap memiliki kekuatan hukum. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001, sebelumnya terdapat beberapa pertimbangan dari Judex Facti yang menurut penulis sudah benar dalam putusannya. Karena jika dilihat dari kronologis kasusnya pihak PT. Multi Makmur Matari (Penggugat) telah melakukan wanprestasi dengan tidak membayar sisa pinjaman kredit tehadap Bank Ekspor Impor Cabang Jakarta Pancoran sekarang PT. Bank Mandiri dengan alasan bahwa benda jaminan telah musnah akibat kebakaran. Selanjutnya dalam hukum jaminan fidusia, persoalan wanprestasi merupakan yang menjadi hal utama, terutama karena hukum jaminan sebagai pembayaran atas hutang. Mengenai objek jaminan fidusia berupa stok barang
67
ditentukan
bahwa
penerima
fidusia
(Bank)
mempunyai
hak
untuk
menempatkan tanda-tanda identifikasi pada objek jaminan fidusia, yang memperlihatkan bahwa penerima fidusia adalah pemilik objek jaminan fidusia dan pemberi fidusia berkewajiban memelihara tanda tersebut.3 Menurut beberapa yurispudensi jaminan fidusia, dapat disimpulkan bahwa fidusia diartikan sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda bergerak sebagai jaminan, yang ditekankan adalah segi ”penyerahan hak milik”. Dalam Undang-Undang Rumah Susun, fidusia diartikan sebagai hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditur, yang ditekankan adalah ”penyerahan hak”. Dengan demikian yang diserahkan kepada kreditur penerima fidusia bukan terbatas pada hak milik atas benda melainkan juga hak-hak lainnya atas benda. Baik pengertian fidusia menurut yurispudensi maupun Undang-Undang Rumah Susun, keduanya mempunyai hakikat penyerahan yang sama yakni debitur pemberi fidusia menyerahkan hak milik atas benda adalah dalam fungsinya sebagai jaminan.4 Sedangkan menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) sendiri, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
3
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan Yang Didambakan Cetakan II, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h. 200. 4
Ibid, h. 265.
68
Dalam rangka kasus penelitian ini adalah, menganalisa dalam hal terjadi musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit (dalam hal ini PT.MMM) yang dijaminkan kepada PT. BM. Pada dasarnya dalam KUHPerdata Pasal 1381 sudah disebutkan bahwa salah satu sebab hapusnya perikatan adalah musnahnya barang terutang. Kemudian pada UUJF Pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjelaskan hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut yaitu: 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; 2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur); 3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Hapusnya jaminan fidusia karena lunasnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian assessoir. Jadi, jika perjanjian hutang piutangnya tersebut hapus karena sebab apapun maka jaminan fidusia tersebut menjadi hapus pula. Sementara itu hapusnya jaminan fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima jaminan fidusia adalah wajar karena sebagai pihak yang mempunyai hak ia bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya tersebut. Hapusnya jaminan fidusia karena musnahnya barang jaminan fidusia tersebut dapat dibenarkan karena tidak ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan, jika barang objek jaminan fidusia tersebut sudah tidak ada akan tetapi jika ada asuransi maka hal tersebut menjadi hak dari penerima fidusia dan pemberi fidusia
69
tersebut harus membuktikan bahwa musnahnya barang yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut adalah diluar dari kesalahannya.5 Menurut penulis, aturan-aturan yang sudah ada dalam KUHPerdata dan UUJF mengenai hapusnya perjanjian jaminan akibat benda jaminan musnah belum dijelakan secara rinci tentang solusi akibat kejadian tersebut. Hal ini bisa mengakibatkan kesalahan dan kerugian baik untuk pihak kreditur maupun debitur. Dalam hal ini, pihak debitur (PT. MMM) telah melakukan perbuatan yang merugikan terhadap kreditur (PT. BM) karena telah melakukan wanprestasi dengan tidak membayar sisa pinjaman kredit. Dengan adanya perbuatan wanprestasi diatas, dapat dijadikan pertimbangan putusan yang kemudian ditetapkan oleh Majelis Hakim dalam perkara ini. Penulis setuju dengan Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Penggugat (PT. MMM) merupakan tindakan wanprestasi karena tidak membayarkan sisa pinjaman kredit hingga jatuh tempo. Musnahnya benda jaminan tidak menghilangkan kewajiban debitur untuk membayar sisa pinjaman kredit kepada kreditur. Maka dari itu sangat diperlukan adanya asuransi sebagai cara untuk menghindari kerugian yang terjadi dikemudian hari. Musnahnya benda jaminan tidak menghilangkan kewajiban debitur untuk membayar sisa pinjaman kredit kepada kreditur. Maka dari itu sangat diperlukan adanya asuransi sebagai cara untuk menghindari kerugian yang terjadi dikemudian hari.
5
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 50.
70
Dalam KUHPerdata dan UUJF tidak diatur secara lebih rinci mengenai musnahnya benda jaminan, tetapi
hal tersebut tidak menutup kewajiban
debitur untuk membayar sisa pinjaman kredit. Karena itu seharusnya pihak bank dalam melakukan perjanjian kredit menggunakan asuransi dan memperhatikan polis asuransi tentang kemungkinan resiko yang terjadi dikemudian hari. Dengan menggunakan cara tersebut, pihak bank dapat meminimalisir
adanya
kerugian
yang
dialami
oleh
debitur
dalam
menyelesaikan kasus musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit. C. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Prinsip hukum bahwa dalam Undang-Undang melalui ketentuannya adalah hendak melindungi pihak atau orang tertentu, maka Undang-Undang memberikan suatu hak tertentu kepada orang atau pihak yang bersangkutan dan dalam peristiwa demikian, maka terserah kepada pihak atau orang yang hendak dilindungi untuk menggunakan atau tidak hak tersebut. Perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam pengkajian ini adalah terkait dengan pihak pemberi fidusia (debitur) dan penerima jaminan fidusia (kreditur). Persoalan perlindungan hukum para pihak dalam jaminan fidusia adalah mengenai eksekusi. Sertifikat jaminan fidusia ini merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila pemberi fidusia
71
(debitur) ingkar janji, kreditur dapat langsung meminta eksekusi tanpa melalui gugatan. Masalah perlindungan hukum terletak pada perlindungan penerima fidusia dalam menghadapi pemberi fidusia yang beritikad buruk. Terkait dengan jaminan fidusia sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya dari penelitian ini, maka untuk merealisasikan asas publisitas dan asas spesialitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menggunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini pun diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada penerima fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut. Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian secara sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa penting menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Apalagi mengingat obyek jaminan fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka bentuk akta otentik dianggap menjamin kepastian hukum berkenaan dengan obyek jaminan fidusia. Sedangkan untuk memenuhi asas spesialitas, maka dalam akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris memuat mengenai uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda tersebut dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Kalau benda
72
yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, maka dalam akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut. Demi memenuhi asas publisitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal baru yaitu mengenai pendaftaran jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum tidak saja kepada para pihak tetapi juga kepada pihak ketiga serta menimbulkan hak untuk didahulukan bagi penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Berdasarkan asas droit de suit, maka jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut tetap melekat. Perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur pemberi fidusia, maka pendaftaran ikatan jaminan atas benda tidak terdaftar sesungguhnya tidak cukup melindungi kepentingan kreditur terhadap pihak ketiga. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan atau inventory, maka kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan baik jumlah, perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut sulit terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum. Pada
putusan
MA
No.
2914K/Pdt/2001
memuskan
bahwa
debiturdiwajibkan membayar sisa pinjaman kepada kreditur, karena dengan
73
musnahnya benda jaminan tidak menhilangkan kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya. Disini pihak debitur sangat dirugikan akibat terbakarnya pabriknya yang menjadi jaminan dan juga mengenai ditolaknya klaim asuransi karena tidak ada standar polis yang mengatur kebakaran akan tetapi pihak debitur tidak dapat melakukan apapun karena semua sudah sesuai dengan aturan yang ada. Jadi, menurut uraian diatas perlindungan hukum terhadap kreditur dan debitur atas musnahnya benda jaminan adalah dengan menggunakan asuransi dan memperhatikan isi polis asuransi mengenai kemungkinan resiko yang akan terjadi dikemudian hari. Hal ini dilakukan agar apabila terjadi hal yang tidak terduga, pihak asuransi dapat menyelesaikan dengan adanya klaim asuransi. Kemudian yang terpenting adalah memdaftarkan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF).
74
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Musnahnya benda jaminan fidusia secara normatif telah diatur pada pasal 1381 KUHPerdata dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang termasuk dalam salah satu sebab hapusnya perjanjian terutama perjanjian kredit secara fidusia. Dalam hal musnahnya benda jaminan fidusia yang dilakukan oleh pihak debitur selaku pemberi fidusia terdapat tanggung jawab yang harus dipenuhi atas barang yang dalam penguasaannya tersebut, karena perjanjian kredit dengan jaminan fidusia ini pihak kreditur selaku kreditur hanya mempunyai hak kepemilikan saja, pengusaan barang masih berada ditangan debitur. Maka dari itu pihak debitur harus bertanggungjawab penuh atas kondisi barang jaminan tersebut, agar tidak merugikan pihak kreditur.
2.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001, Majelis Hakim menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi yaitu PT. MULTI MAKMUR MATARI yang membatalkan
putusan
Pengadilan
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal menguatkan
putusan
Pengadilan
16
Mei Negeri
Tinggi 2000
Jakarta yang telah
Jakarta
Selatan
No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober, menyatakan tergugat I dalam rekonvensi (PT. MMM) telah wanprestasi dalam 74
75
melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada penggungat rekonvensi (PT. BM) dan menghukum PT. MMM untuk membayar secara seketika dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada PT. BM selaku kreditur sebesar Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMKUmum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %) sampai dengan pelunasan hutang. 3.
Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia dilakukan dengan melakukan
asuranasi
terhadap
benda
jaminan
tersebut
serta
mendaftaranan ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia sesuai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak berhalang secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan. B. Saran 1. Setiap benda yang menjadi objek jaminan fidusia seharusnya diasuransikan terlebih dahulu. Dalam melakukan asuransi juga harus diperhatikan polis mengenai resiko-resiko apa saja yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. Hal ini untuk mengantisipasi musnahnya benda jaminan, dimana dengan musnahnya benda jaminan tersebut
76
tidak menghapuskan piutang yang belum dihapus. Walaupun perusahaan asuransi tidak membayar sepenuhnya, tetapi perusahaan asuransi dapat meringankan beban debitur untuk mengembalikan sisa pinjaman kredit. 2. Bagi pihak bank dalam menyalurkan dana melalui perjanjian kredit kepada masyarakat, seharusnya bisa lebih selektif lagi dalam melakukan perjanjian kredit dengan mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Dan bagi pihak masyarakat(debitur), seharusnya bisa lebih teliti dan berhati-hati lagi dalam mencermati perjanjian yang diajukan oleh pihak bank sebelum menandatangani perjanjian kreditnya. 3. Adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagai dasar dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, sebenarnya sudah cukup membantu apabila terjadi suatu permasalahan tetapi akan lebih baik pihak lembaga legislatif (DPR-RI) untuk merevisi undang-undang ini karena undang-undang tersebut hanya memenuhi aspek yuridis saja, aspek lainnya belum terpenuhi guna tercapainya pelindungan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
77
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. I. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004. Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2004. Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2007. Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Djumhana,Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006. Fuady, Munir. Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2003. ____________. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. 1996. Hadisoeprapto,Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan. Yogyakarta: Liberty. 1984. Hasan, Djuhaendah. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1996. Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid II. Jakarta: Ind-Hill-Co. 2005. HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006. Kamelo, Tan. Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan Cetakan II. Bandung: PT. Alumni. 2010. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenda Media. 2005. Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
77
78
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2000. Naja, H. R. Daeng. Hukum Kredit dan Bank Garansi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2005. Patrik, Purwahid dan Kashadi. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 2008. Prajitno, A. A. Andi. Hukum Fidusia : Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Cetakan I. Malang: Bayumedia Publishing. 2009. Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Bandung: Alumni. 2000. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa. 2003. ______. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa. 1985. ______. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni, 1975. Supramono, Gatot. Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: Djambatan. 1996. Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Bandung : Alfabeta. 2003. Suyatno, Thomas. Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1995. Syahdeini, Sutan Remmy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Tiong, Oey Hoey. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. 1983. Tje'Aman, Edy Putra. Kredit Perbankan–Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty. 1989. Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2000.
79
Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Jaminan Fidusia Pedoman Praktis Cetakan ke-1. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1999.
PERUNDANG-UNDANGAN: Soebekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
PUTUSAN
ng
Nomor : 2914 K / Pdt / 2001
do
A gu
DEMI KEDILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG
In
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara :
PT. MULTI MAKMUR MATARI, berkedudukan di Jakarta, dalam
lik
ah
hal ini diwakili oleh Direkturnya : TJONG KWET KHIONG alias ATUNG, berkantor di Jalan Waspada Buntu No.19 Rt.004. Rw.
ub
m
012. Kelurahan Tambora, Jakarta Utara, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya : MOHAMAD ASSEGAF, SH. & Associate, berkantor di
ka
Jalan
H.
Samali
No.29
Pasar
Minggu
Jakarta
Selatan,
ep
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 02 Maret 2001 ;
ah
Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi dahulu
si
R
Penggugat/Pembanding juga Terbanding ;
MELAWAN:
ne
BANK EKSPOR IMPOR CABANG JAKARTA PANCORAN,
ng
1.
sekarang PT. BANK MANDIRI, berkantor di Gedung Graha
A gu
do
Bukaka, Jalan Raya Pasar Minggu No.17 A. Jakarta Selatan,
dalam hal ini diwakili oleh : DARMAWAN EFFENDI, SH. Group Head Bagian Litigasi Divisi Legal Kontor Pusat PT. Bank Mandiri,
In
berdasarkan Surat Kuasa Khusus 02 Nopember 1997 ;
Termohon Kasasi I juga sebagai Pemohon Kasasi II
dahulu
Tergugat II/Pembanding/Terbanding I;
lik
ka m ah
2. ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK
ub
INDAH, berkantor di Jalan Sultan Iskandar Muda No.8 B. Jakarta Selatan ;
I/Terbanding II ; Mahkamah Agung tersebut ;
ep
Termohon Kasasi II/Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat
R
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
s
Menimbang bahwa, dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
do
Hal.1 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
ne
Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 1
R ep ub
ne si a
hk am
putusan.mahkamahagung.go.id
menggugat sekarang Para Termohon Kasasi I dan II juga sebagai Pemohon Kasasi
ng
II dan Turut Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat I dan II dimuka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada pokoknya atas dalil- dalil :
do
Bahwa Penggugat adalah Perusahaan yang bergerak dibidang usaha
A gu
pengelolaan kertas khususnya pembuatan buku-buku tulis ;
asuransi sedangkan Tergugat II adalah perusahaan perbankan ;
In
Bahwa Tergugat I adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis jasa
Bahwa berdasarkan perjanjian kredit No.001/KMK-Umum/X/97 tertanggal 23
lik
ah
Oktober 1997 Penggugat telah mendapat pinjaman uang dari dari Tergugat II sebesar Rp.1.120.000.000,- (satu milyar seratus dua puluh juta rupiah) dan sebesar
ub
mewajibkan Penggugat untuk memberikan jaminan terhadap pengembalian kredit tersebut berupa penyerahan hak milik secara fiducia, pemindahan dan penyerahan
ep
hak sebagai jaminan pribadi yang kesemuanya itu diruangkan dalam bentuk Akta Notaris ; Bahwa
berdasarkan
Pasal
2
dalam
perjanjian,
Tergugat
II
telah
mengasuransikan barang jaminan tersebut kepada Tergugat I dengan polis asuransi
si
R
ah
ka
m
Rp. 740.000.000,- (tujuh ratus empat puluh juta rupiah) oleh karenanya Tergugat II
No. 02-18-22000246 dan No.02-18-22000247 ;
ng
ne
Bahwa barang-barang yang dijaminkan dalam penutupan polis tersebut adalah sebagaimana tertuang dalam point a dan b dalam gugatan ;
A gu
do
Bahwa pada tanggal 14 Mei 1998 telah terjadi kebakaran pada pabrik
Penggugat dan telah mengakibatkan musnahnya barang yang menjadi jaminan
In
kredit Penggugat kepada Tergugat II tersebut ;
Bahwa atas kejadian tersebut diatas, maka Penggugat meminta kepada
Tergugat II membantu melakukan proses klaim asuransi, namun pada saat hal
lik
tersebut diajukan kepada Tergugat I, Tergugat I menolak membayar dengan alasan
ka m ah
resiko yang diderita oleh Penggugat tersebut tidak dijamin oleh polis standar
ub
kebakaran ;
Bahwa dengan tidak dilaksanaknnya pembayaran klaim asuransi oleh
Tergugat I, maka Tergugat II tidak dapat melakukan penagihan pembayaran kredit
ep
yang telah jatuh tempo berikut segala bunga-bunganya sejak telah terjadinya kebakaran tersebut sampai dengan dilaksanakannya pembayaran klaim asuransi
R
oleh Tergugat I ;
ne
do
Hal.2 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
maka Tergugat II telah ingkar janji (wanprstasi) yang menimbulkan kerugian bagi
s
Bahwa dengan tidak dibayarnya klaim asuransi oleh Tergugat I tersebut,
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
2
ik
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 2
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Penggugat yang jumlah kesleuruhannya adalah sebesar Rp.3.600.000.000,- (tiga
ng
milyar enam ratus juta rupiah) sebagaimana perincian dalam gugatan ;
Bahwa untuk menjamin agar gugatan Penggugat tidak sia-sia, maka
do
Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk meletakkan sita
A gu
jaminan (Conservatoir Beslag) terlebih dahulu atas harta benda milik Tergugat I sebagaimana tertuang dalam point 1 dan 2 dalam gugatan ;
In
Bahwa oleh karena gugatan Penggugat ini didasarkan pada bukti-bukti yang
otentik, maka Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar
lik
ah
putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu (Uitvoerbaar bij Voorraad)
Bahwa
berdasarkan
alasan-alasan
tersebut
diatas,
maka
Penggugat
ub
menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan putusan dalam perkara ini sebagai berikut : DALAM PROVISI :
-. Memerintahkan
kepada
ep
-.
Tergugat
II
untuk
tidak
melakukan
penagihan
pembayaran kredit terhadap Penggugat selama dalam proses pemeriksaan perkara sampai dengan diperolehnya putusan Pengadilan yang memperoleh
si
R
ah
ka
m
walaupun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi dari pihak Tergugat ;
kekuatan hukum yang pasti, dengan ketentuan Tergugat II akan dikenakan uang
ng
ne
paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila melalaikan putusan provisi ini ;
A gu
do
-. DALAM POKOK PERKARA : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
In
2. Menyatakan sah dan berharga terhadap sita jaminan yang telah diletakkan ;
3. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) ; 4. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran klaim asuransi kepada
lik
Rp.1.600.000.000,- (satu
milyar enam ratus juta rupiah) dan DEM 1.800.000.00- ;
ub
5. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran penggantian biaya kerugian dan bunga sebesar Rp.1.152.000.000,- (satu milyar seratus lima puluh dua juta rupiah) dan DEM 1.296.000.00,- ;
ep
6. Menyatakan secara hukum uang hasil pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat I kepada Penggugat adalah untuk kepentingan pelunasan pinjaman kredit
ne do
Hal.3 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng gu A
s
R
Penggugat kepada Tergugat II dan apabila terdapat sisa kelebihan maka menjadi
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
3
ik
ah
ka m ah
Penggugat dengan jumlah keseluruhannya sebesar
Halaman 3
R ep ub
hak Penggugat ;
ne si a
hk am
putusan.mahkamahagung.go.id
ng
7. Menghukum Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan pelunasan pinjaman kredit yang sudah jatuh tempo berikut bunga-bunganya kepada Penggugat
do
sampai dilunasinya pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat I kepada
A gu
Penggugat ;
8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada bantahan,
In
banding maupun kasasi ;
9. Menghukum Para Tergugat supaya membayar biaya perkara ;
lik
ah
-. ATAU :
Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat I telah mengajukan
ub
eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Bahwa Penggugat tidak berhak mengajukan gugatan kepada Tergugat I
ep
dalam perkara a quo, karena polis asuransi yang disengketakan dalam perkara a quo adalah polis asuransi yang memuat klausula Bank (Bankers Clause) maka yang berhak mengajukan claim atas asuransi terhadap Tergugat I adalah Tergugat II (PT. Bank Ekspor Impor Indonesia) ;
si
R
ah
ka
m
-. Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat II telah mengajukan
ng
ne
gugatan Rekonvensi yang pada pokoknya telah mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut :
A gu
do
Bahwa berdasarkan perjanjian kredit No.001/KMK-Umum/X/97 tanggal 23 Oktober 1997 dan No.001/KMK/Umum/IV/98 tanggal 03 April 1998 Tergugat
In
Rekonvensi telah menerima fasilitas kredit dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi yang besarnya sebagaimana tersebut dalam gugatan ;
Bahwa jaminan yang diletakkan oleh Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat
lik
dalam Konvensi atas fasilitas kredit yang diterbitkan diatas, terdiri dari jaminan
ka m ah
jaminan pokok dan jaminan tambahan masing-masing sebagaimana tersebut dalam
ub
point a, b dan c dalam gugatan ;
Bahwa jaminan pokok pada huruf a dan jaminan tambahan pada huruf a
diatas, telah diikat menjadi satu secara notariil sebagaimana ternyata paa akta
ep
pemberian jaminan dengan menyerahan hak milik secara fiducia No.19 tanggal 24 Oktober 1997, sedangkan jaminan pokok pada huruf b telah diikat secara notariil
R
dengan akta pemindahan dan penyerahan hak (cessie) sebagai jaminan No.20
ne
do
Hal.4 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
dan c berturut – turut telah diikat pula secara notariil dengan APHT No.6569/1997
s
tanggal 24 Oktober 1997, dan begitu pula halnya dengan jaminan tambahan huruf b
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
4
ik
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 4
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tanggal 21 Nopember 1997 dan akta pemberian jaminan pribadi (Bongtocht) No.21
ng
tanggal 24 Oktober 1997 ;
Bahwa menunjuk kepada jangka waktu perjanjian kredit ternyata masa
do
perjanjian kredit tersebut saat ini telah berakhir ;
A gu
Bahwa dengan demikian telah terbukti bahwa Tergugat dalam Rekonvensi/
Penggugat dalam Konvensi telah ingkar janji (wanprestasi) dalam melaksanakan
In
kewajiban pembyaran atas fasilitas kredit yang telah diterimanya dari Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi ;
lik
ah
Bahwa atas prbuatan Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi
tersebut, Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi telah mengalami
ub
tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar 25 % (+ provisi 1%) dan bunga
ep
kredit KMK-Umum sebesar 17 % (+ provisi 0,50 %) sampai dengan pelunasan hutang ;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka Penggugat dalam Rekonvensi/ Tergugat II dalam Konvensi mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta
si
R
ah
ka
m
kerugian sebesar Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat ratus sembilan puluh
Selatan untuk menghukum Tergugat dalam Rekonvensi/ Penggugat dalam Konvesi
ng
ne
untuk membayar seluruh hutang berikut bunganya tersebut kepada Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi ;
A gu
do
Bahwa karena gugatan Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam
Konvensi ini didasarkan atas bukti-bukti yang otentik, maka mohon kepada
In
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu (Uitvoerbaar bij voorraad) meskipun ada upaya hukum verzet,
lik
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Penggugat dalam
Rekonvensi/ Tergugat II dalam Konvensi menuntut kepada Pengadilan Negeri
ub
Jakarta Selatan agar memberikan putusan dalam perkara ini sebagi berikut : 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ;
ep
2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi ; Tergugat
I
Rekonvensi
R
3. Menghukum
untuk
membayar
secara
seketika
ne do
Hal.5 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng gu A
s
dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi yang
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
5
ik
ah
ka m ah
banding maupun kasasi dari pihak lawan ;
Halaman 5
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar
ng
empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh
tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar
do
25 % (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-Umum sebesar 17 % (+ provisi 0,50
A gu
%) sampai dengan pelunasan hutang ;
4. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada
In
bantahan, banding maupun kasasi ;
5. Biaya perkara menurut hukum ;
Selatan
telah
mengambil
putusan,
yaitu
lik
ah
Menimbang bahwa, terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta dengan
putusannya
Nomor
:
ub
sebagai berikut : -. DALAM KONVENSI :
ep
-. DALAM PROVISI : -. Menolak gugatan provisi ; -. DALAM EKSEPSI :
-. Menolak eksepsi Tergugat I Konvensi ;
si
R
ah
ka
m
175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 yang amarnya berbunyi
-. DALAM POKOK PERKARA :
ng
ne
1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi seluruhnya ;
2. Membebankan biaya perkara pada Penggugat Konvensi sebesar Rp.200.000,-
do
A gu
(dua ratus ribu rupiah) ;
-. DALAM REKONVENSI :
In
-. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ;
-. Membebankan biaya dalam gugatan Rekonvensi pada Penggugat Rekonvensi
lik
Menimbang bahwa, putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan
Penggugat I/Pembanding/Terbanding dan Tergugat II/Terbanding I/Pembantah telah dikuatkan oleh
ub
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut
Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya No.1076/Pdt/1999/PT.DKI. tanggal 16 Mei 2000 ;
ep
Menimbang bahwa, sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat/Pembanding/Terbanding dan Tergugat II/Terbanding I/Pembanding pada
R
tanggal 21 Pebruari 2001 dan tanggal 02 Maret 2001 kemudian terhadapnya oleh
ne do
Hal.6 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng gu A
s
Penggugat / Pembanding / Terbanding dan Tergugat II / Terbanding I / Pembanding
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
6
ik
ah
ka m ah
yang hingga kini ditaksir nihil ;
Halaman 6
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
dengan perantaraan masing-masing kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus
ng
masing-masing tanggal 02 Maret 2001 dan tanggal 02 Nopember 1999 diajukan permohonan kasasi secara lisan masing-masing 02 Maret 2001 dan
tanggal 02
do
Maret 2001 sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No. 175/Pdt.G/
A gu
1999/PN.Jkt.Sel. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
permohonan mana kemudian disusul oleh memori kasasi yang memuat alasan-
In
alasan yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut masing-masing pada 14 Maret 2001 dan tanggal 27 Maret 2001 ;
lik
ah
Menimbang bahwa, setelah itu oleh Para Termohon Kasasi yang masing-
masing pada tanggal 05 April 2001 dan 27 Maret 2001 telah diberitahukan tentang
ub
jawaban memori kasasi oleh Para Termohon Kasasi yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masing-masing pada tanggal 05 April 2001 dan
ep
tanggal 17 April 2001 ;
Menimbang bahwa, permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam tenggang waktu dan
dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu
si
R
ah
ka
m
memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II, dan telah diajukan
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
ng
ne
Menimbang bahwa, keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
A gu
do
-. Bahwa Judex Facti dalam putusannya telah salah dalam menerapkan hukum, karena telah mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama
In
dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh Judex Facti tanpa memberikan pertimbangan dan alsan yang cukup ;
-. Bahwa pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang telah diambil alih oleh Judex
lik
kejadian kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998, sehingga dikecualikan dari
ub
pertanggungan asuransi, jelas merupakan pertimbangan yang keliru, karena peristiwa tanggal 14 Mei 1998 adalah merupakan peristiwa criminal murni, sehingga Tergugat harus membayar klaim asuransi terhadap Penggugat ;
ep
-. Bahwa adalah tidak adil dan tidak patut apabila Tergugat II tidak dihukum untuk ikut menanggung akibat hukum distopnya pembayaran klaim asuransi Penggugat
R
oleh Tergugat I, padahal ditunjuknya Tergugat I sebagai penanggung adalah atas
ne do
Hal.7 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng gu A
s
perintah Tergugat II, sehingga dengan tidak dihukumnya Tergugat II untuk ikut
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
7
ik
ah
ka m ah
Facti yang menyatakan kebakaran yang diderita oleh Penggugat akibat adanya
Halaman 7
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
menanggung
akibat
hukum
ditolaknya
klaim
asuransi
Penggugat
ng
pertimbangan tersebut tidak adil ;
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
jelas
Menimbang bahwa, atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh
do
Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
A gu
Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak
salah menerapkan hukum, sebab Judex Facti dapat mengambil alih pertimbangan
In
dan putusan Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan pertimbangan sendiri apabila putusan tersebut telah tepat dan benar, lagi pula keberatan-keberatan tersebut
lik
ah
mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat
ub
wenangan atau melampaui batas wewenang, atau salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, atau lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
ep
oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 UndangUndang Mahkamah Agung No.14 tahun 1985 sebagaimana
telah diubah
dan
ditambah dengan Undang-Undang No.5 tahun 2004 ;
si
R
ah
ka
m
kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan ketidak
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
ng
ne
lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi
A gu
do
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR MATARI tersebut harus ditolak ;
In
Menimbang bahwa, keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi II dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan ketentuan mengenai keadaan yaitu
hukumnya
Pasal
yang
1245
menyatakan
KUHPerdata.
Sesuai
lik
(overmacht)
pertimbangan
Termohon
Kasasi
dengan I/semula
ub
Penggugat tidak beralasan untuk membayar kewajibannya pada Pemohon Kasasi/semula Tergugat II seketika karena terjadinya keadaan memaksa berupa kebakaran stock barang dagangan Termohon Kasasi I/semula Penggugat akibat
ep
kerusuhan massa tanggal 14 Mei 1998 ;
Hal tersebut bukanlah merupakan alasan agar Termohon Kasasi I/semula
R
Penggugat tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi II/semula
ne do
Hal.8 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng gu A
s
Tergugat II, karena peristiwa kebakaran tersebut hanyalah keadaan memaksa
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
8
ik
ah
ka m ah
memaksa
Halaman 8
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang bersifat relatif/tidak mutlak dan kejadian tersebut bukanlah hal-hal yang
ng
menyebabkan berakhirnya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1381
KUHPerdata. Hal inipun telah diakui oleh Judex Facti pada pertimbangan
do
hukumnya dibagian konvensi yang menyatakan bahwa tidak diperoleh ketentuan
A gu
bahwa Tergugat II tidak diperbolehkan menagih pelunasan dari Penggugat ;
Oleh karena itu, Termohon Kasasi I/semula Penggugat harus tetap memenuhi
In
kewajiban hutangnya kepada Pemohon Kasasi sesuai perjanjian yang disepakati
dan klaim asuransi yang tidak disetujui oleh Termohon Kasasi II, bukanlah
lik
ah
merupakan alasan untuk tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi ;
I/semula Penggugat belum melunasi hutangnya karena alasan overmacht
ub
sebagaimana tersebut diatas adalah pertimbangan yang keliru dan tidak adil karena hutang Penggugat sudah jatuh tempo. Apabila Termohon Kasasi I/semula
ep
Penggugat tidak memenuhi kewajibannya dengan baik sedangkan hutangnya sudah jatuh tempo, maka demi hukum Pemohon Kasasi berwenang untuk melelang agunan kredit yang telah diserahkan kepada Termohon Kasasi I ; Mengenai keberatan-keberatan ad. 1 dan ad. 2 dari Pemohon Kasasi II tersebut : Bahwa keberatan-keberatan
si
R
ah
ka
m
2. Bahwa pertimbangan Judex Factie yang menyatakan bahwa Termohon Kasasi
ini dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah
ng
ne
salah menerapkan hukum ;
-. Bahwa Termohon Kasasi/Penggugat tidak melunasi hutang (kreditnya) karena
A gu
do
keadaan terpaksa (overmacht) tidak dapat dibenarkan. Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak
In
menghapus atau mengurangi kewajiban Penggugat seperti diatur dalam
perjanjian kredit. Penerima kredit tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar, karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat
lik
Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
menurut
ub
pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II : PT. BANK EKSPORT IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut dan membatalkan
ep
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/
ne do
Hal.9 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng gu A
s
R
1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 serta Mahkamah Agung akan mengadili
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
9
ik
ah
ka m ah
merupakan jaminan utang ;
Halaman 9
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
sendiri perkara ini dengan amar putusannya seperti tersebut dibawah ini :
ng
Menimbang bahwa, oleh walaupun permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
II dikabulkan, namun karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I ditolak,
A gu
kasasi ini ;
do
maka Pemohon Kasasi I dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004,
dengan Undang-Undang No.5
In
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah Tahun 2004 1985 serta peraturan perundang-
lik
MENGADILI :
ub
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR
MATARI tersebut ;
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : : PT. BANK
ep
EKSPORT IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut ; Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang
telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/
Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 ;
si
R
MENGADILI SENDIRI :
ne
ah
ka
m
ah
undangan lain yang bersangkutan ;
ng
-. DALAM KONVENSI : -. DALAM PROVISI :
A gu
do
-. Menolak gugatan provisi ; -. DALAM EKSEPSI :
In
-. Menolak eksepsi Tergugat I ; -. DALAM POKOK PERKARA : 1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ;
lik
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat
ub
Rekonvensi untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam melaksanakan
ep
kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi ;
3. Menghukum Tergugat I Rekonvensi untuk membayar secara seketika dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi yang
do
Hal.10 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
ne
s
R
hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
10
ik
ah
ka m ah
-. DALAM REKONVENSI :
Halaman 10
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh
ng
tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar
6% (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %)
do
sampai dengan pelunasan hutang ;
A gu
Menghukum Pemohon Kasasi I/Penggugat dalam Konvensi membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu
In
rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
lik
ah
pada hari Kamis tanggal 31 Januari 2008 dengan Bagir Manan Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Andar Purba, SH. dan Prof.DR.H. Kaimuddin Salle,
ub
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut, dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Reza Fauzi, SH.CN.
ep
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak ;
UNTUK SALINAN MAHKAMAH AGUNG RI a/n. P A N I T E R A PANITERA MUDA PERDATA
ep
ub
lik
ka m ah
ne
Panitera Pengganti : ttd/ Reza Fauzi, SH.CN.
6.000,1.000,193.000 200.000,-
do
A gu
Rp. Rp. Rp. Rp.
In
Biaya-Biaya : 1. M e t e r a i. 2. R e d a k s i. 3. Administrasi Kasasi. Jumlah
si
Ketua: ttd/ Bagir Manan
R
Hakim-Hakim Anggota : ttd/ Andar Purba, SH. ttd/ Prof.DR.H. Kaimuddin Salle, SH.MH.
ng
( MUH. DAMING SUNUSI, SH.MH. )
s ne
do
Hal.11 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
M
R
ah
NIP. 040 030 169
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
11
ik
ah
ka
m
SH.MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam
Halaman 11
R ep ub
ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
s ne do In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka m ah
In
A gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A gu
do
ng
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
12
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 12