TESIS
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
NI MADE TRISNA DEWI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
i
TESIS
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
NI MADE TRISNA DEWI NIM : 0790561070
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
i
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE TRISNA DEWI NIM : 0790561070
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 16 NOPEMBER 2010
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Prof. R. A. Retno Murni, SH, MH, Ph.D.) NIP. 194411261980032001
(Dr. I.B. Wyasa Putra, SH., MH.) NIP. 1962073119880311003
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU. NIP. 195604191983031003
Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001
iii
TESIS INI DIUJI PADA TANGGAL 16 NOPEMBER 2010
PANITIA PENGUJI TESIS BERDASARKAN SK REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA NOMOR : 0763/H14.4/HK/2010 TANGGAL 3 MEI 2010
Ketua
: Prof. R.A. Retno Murni, SH.MH.Ph.D.
Sekretaris
: Dr. I.B. Wyasa Putra, SH.MH.
Aggota
: 1. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU. 2. I.B. Putra Atmaja, SH.MH. 3. Dewa Gede Rudy, SH.MH.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa), bahwa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah tesis yang berjudul “TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA
BENDA
JAMINAN
FIDUSIA
DALAM
PERJANJIAN
KREDIT BANK”. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan Strata Dua (S2) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam penyelesaian tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak, terutama yang terhormat : 1. Prof. Dr. Made Bakta, dr. Sp.Pd (K), Rektor Universitas Udayana yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dan Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH,MH, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan arahan dan petunjuk serta dukungan selama proses perkuliahan, bimbingan dan penulisan tesis ini.
v
4. Prof. R.A. Retno Murni, SH,MH,Ph.D, Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan memberikan arahan dalam penyelesaian tesis ini. 5. Dr. I. B. Wyasa Putra, SH, MH, Pembimbing II yang telah dengan sabar dan tekun mengarahkan, membimbing serta memberi petunjuk dalam penyelesaian tesis ini. 6. Para Dosen atau Staff Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama proses perkuliahan dan proses pembimbingan penulisan tesis ini. 7. Seluruh Staff Administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan pelayanan administrasi selama proses perkuliahan dan penulisan tesis ini. 8. Bapak Made Sukerta, S.Sos. (Direktur BPR Padma Sesetan), Bapak Yohan Kristian Wijaya, SH, Bapak A.A. Wirasila, SH, Ibu Renny H. Nendissa, SH. MH, Bapak Jacob Hattu, SH, Bapak Ketut Sudra, In Trust Law Office (Bapak Husein, SH, M.Pd, Bapak Made Kartika, SH, Bapak Ali Sadikin, SH), Dewa Ayu Cinta, Mbok Komang, Mbok Gek Ratih yang telah banyak memberikan dukungan dalam penulisan tesis ini. 9. Ayahanda Alm. Bagus Sugiartha, Ibunda Putu Kusumawati yang telah memberikan dukungan, doa, cinta kasih yang begitu besar dan tak terhingga. 10. Ngakan Made Abdi Wahyudhi, ST yang telah memberikan rasa cinta dan dukungan sepenuh hati. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyusunan tesis ini.
vi
Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari kata sempurna baik dari segi teknis penulisan maupun materi yang dikaji, dan oleh karenanya kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima dengan senang hati. Namun demikian, penulis tetap berharap semoga karya tulis yang berupa tesis ini ada manfaatnya bagi pembaca dan bagi pengembangan ilmu hukum di masa mendatang.
Denpasar, April 2010
Penulis
vii
ABSTRAK
Tesis yang berjudul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” merumuskan 2 (dua) permasalahan pokok, yaitu : (1) Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; (2) Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia. Penelitian dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian hukum normative, yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan perundangundnagan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil penelitian tesis ini menunjukkan : (1) Tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia debitur tetap bertanggung jawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan; (2) Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah karena jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak perlindungan hukum tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan.
Kata kunci : Tanggung Jawab, Musnahnya Jaminan Fidusia, Perjanjian Kredit Bank
viii
ABSTRACT
The thesis entitled Debtor Responsibility Against Loss of Fiduciary Security Objects in Bank Credit Agreement formulates tow main problems, namely: (1) How is the arrangement of debtor responsibility against the loss of fiduciary security objects in a bank credit agreement according to Regulation Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security; (2) How is the legal protection for parties in the bank credit agreement against destruction of object fiduciary issues. This study which is in relation to the thesis is a normative legal study which is based on secondary data. There are two legal approaches used: they are statute approach and conceptual approach. The result of the study shows that: (1) Debtor responsibility against loss of fiduciary security objects in a bank credit agreement according to Regulation Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security in which debtor is still responsible for returning credit loan considering that the fiduciary security objects are under insurance or not; (2) Legal protection for parties in the bank credit agreement against destruction of object fiduciary issues is very weak because, in case there is a malpractice conducted by one of the parties, legal protection is not working effectively for those who are not benefitted.
Key words:
Responsibility, Loss of Fiduciary Security, Bank Credit Agreement
ix
RINGKASAN Pembahasan tesis tentang “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” ini dibagi dalam 5 (lima) Bab Pembahasan. BAB I, merupakan bagian awal yang diisi dengan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, metode penelitian. BAB II, merupakan tinjauan umum yang dimaksudkan sebagai landasan operasional dalam penelitian. Uraian dalam BAB II ini diawali dengan pengertian perjanjian kredit, sifat perjanjian krdit, bentuk perjanjian kredit, lahirnya perjanjian kredit, hapusnya perjanjian kredit. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai pengertian dan sejarah fidusia, dasar hukum jaminan fidusia, subjek dan objek jaminan fidusia, sifat-sifat jaminan fidusia, tata cara pembebanan jaminan fidusia. BAB III, dalam bab ini dibahas mengenai tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit. Pada uraian bab ini akan diawali dengan pendeskripsian musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit, selanjutnya akan diuraikan mengenai pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan yang musnah dalam perjanjian kredit. BAB IV, dalam bab ini diuraikan tentang perlindungan hukum bagi para pihak terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank. Dalam uraian awal bab ini akan dibahas tentang dasar hukum penyelesaian masalah musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank, selanjutnya dibahas upaya penyelesaian masalah musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank, pembahasan terakhir mengenai perlindungan hukum bagi para pihak terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank. BAB V, merupakan bagian penutup. Pada uraian penutup diawali dengan simpulan terhadap 2 (dua) permasalahan serta uraian dalam bahasan bab sebelumnya dilanjutkan dengan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Saran-saran yang diajukan adalah merupakan buah pikiran penulis sebagai solusi atau alternatif pemecahan atas permasalahan penelitian tesis ini.
x
DAFTAR ISI JUDUL ........................................................................................................
i
PERSYARATAN GELAR MAGISTER ......................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
v
ABSTRAK ...................................................................................................
viii
ABSTRACT .................................................................................................
ix
RINGKASAN ...............................................................................................
x
DAFTAR ISI ................................................................................................
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah .....................................................
1
Rumusan Masalah ..............................................................
6
Tujuan Penelitian ................................................................
7
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................ 1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................
7 7
Manfaat Penelitian ............................................................. Manfaat Teoritis ..................................................... Manfaat Praktis ......................................................
8 8 8
Landasan Teoritis ...............................................................
9
Metode Penelitian .............................................................. 1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................ 1.6.2 Jenis Pendektan ...................................................... 1.6.3 Sumber Bahan Hukum ............................................ 1.6.4 Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................
22 22 23 24 25 25
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA 2.1
Perjanjian Kredit ................................................................ 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit .................................. 2.1.2 Sifat Perjanjian Kredit ............................................
xi
27 27 34
2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.2
BAB III
3.2
BAB V
39 44 45
Jaminan Fidusia ................................................................. 2.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan Fidusia .................................................................. 2.2.2 Dasar Hukum Jaminan Fidusia .............................. 2.2.3 Subjek dan Objek Jaminan Fidusia ........................ 2.2.4 Sifat-Sifat Jaminan Fidusia ..................................... 2.2.5 Tata Cara Pembebanan Jaminan Fidusia ................
48 48 64 67 72 81
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT 3.1
BAB IV
Bentuk Perjanjian Kredit ........................................ Lahirnya Perjanjian Kredit...................................... Hapusnya Perjanjian Kredit ....................................
Pendeskripsian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit .................................................................
90
Pengaturan Tanggung Jawab Debitur Terhadap Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit ................
94
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK 4.1
Dasar Hukum Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank................... 102
4.2
Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ................................ 114
4.3
Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ........................................................................ 119
PENUTUP 5.1
Kesimpulan ........................................................................ 132
5.2 Saran .................................................................................. 133
DAFTAR PUSTAKA
xii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh siapapun sebagai bagian dari upaya peningkatan perekonomian negara. Salah satu faktor yang menjadi modal penting untuk menjalankan dan mengembangkan suatu usaha ekonomi tersebut adalah dana atau uang. Dana atau uang yang dibutuhkan guna pelaksanaan dan pengembangan usaha dapat diperoleh dengan cara pinjaman atau kredit melalui jasa perbankan. Bagi kalangan pengusaha dan atau pelaku usaha, pinjam meminjam merupakan kegiatan yang mewarnai dinamika pengembangan usaha. Kegiatan pinjam meminjam uang adalah kegiatan yang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga
1
2
merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaannya kepada pemegang jaminan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Jasa perbankan memiliki peranan yang besar dalam mendorong perekonomian nasional. Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur.1 Perjanjian kredit yang dibuat oleh bank kepada debitur merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian kredit. Perjanjian kredit dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada pengaturannya apakah dibuat secara tertulis atau lisan, akan tetapi pada umumnya yang terjadi pada setiap bank adalah setiap debitur yang meminjam uang di bank harus mengajukan
1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
3
permohonan kredit yang diajukan secara tertulis kepada pihak bank, tanpa harus melihat berapa jumlah kredit yang diminta.2 Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya. Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Keberadaan jaminan merupakan persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit. Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau hapus.
Sifat perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor
2
Hermansyah, 2003, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 68.
4
(accessoir). Perjanjian jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh kreditur dengan debitur atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok.3 Terhadap benda milik debitur yang dijadikan jaminan kredit, bisa berupa benda bergerak dan bisa pula benda tidak bergerak atau benda tetap. Apabila yang dijadikan jaminan kredit adalah benda tidak bergerak atau benda tetap,
maka
ketentuan
undang-undang
menetapkan
pembebanan
atau
pengikatannya menggunakan Hipotik atau Hak Tanggungan, sedangkan apabila yang dijadikan obyek jaminan itu adalah benda bergerak, maka pengikatannya bisa memakai Gadai atau Fidusia. Adanya pembagian bendabenda menjadi benda bergerak dan tidak bergerak, membawa konsekuensi berbedanya lembaga jaminan yang digunakan atau diterapkan, ketika bendabenda tersebut dijadikan jaminan utang. Benda yang dijadikan jaminan kredit pada bank, di samping jaminan benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik ke atas, kereta api termasuk mesin pabrik yang melekat dengan tanah juga jaminan benda bergerak seperti kendaraan bermotor. Meskipun demikian, pada umumnya benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan kredit. Terkait
3
Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 236.
5
dengan benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan, umumnya debitur sebagai pemilik jaminan tetap ingin menguasai bendanya digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha atau aktivitasnya. Dengan demikian, menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia, lembaga jaminannya adalah fidusia. Pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang disebut dengan ”Constitutum Prossesorium” (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik bendanya). 4 Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak. Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang dibebani jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak tersebut setiap tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat disebabkan karena terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur sebagai berikut : (1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau c. Musnahnya Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia. (2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.
4
Munir Fuady, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal. 152.
6
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur tentang pengecualian terhadap pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh dengan perjanjian jaminan tersendiri yaitu pada huruf (b) yaitu Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan. Jika mengkaji Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka tidak jelas atau adanya kekaburan pengaturan tentang indikator musnahnya jaminan fidusia dan lebih lanjut juga terjadi ketidakjelasan pengaturan tentang tanggung jawab pihak-pihak dalam perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kredit di bank. Selain itu, tidak jelas perlindungan hukum bagi para pihak karena musnahnya jaminan fidusia. Dengan demikian, penting untuk melakukan penelitian terkait dengan adanya kekaburan norma (Vague van Normen)5
terhadap tanggung jawab
debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank.
Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah, sebagaimana disampaikan di atas, maka dapat dirumuskan dua pokok masalah sebagai berikut :
5
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2006, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (selanjutnya disebut Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana I), hal. 8.
7
Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia
yang musnah dalam suatu perjanjian kredit
bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ? Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses).6 Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam penggaliannya atas kebenaran dalam bidang lembaga jaminan fidusia, khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu
6
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, 2007, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal. 30.
8
perjanjian kredit menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum jaminan fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas lembaga keuangan bank.
1.4.2. Manfaat Praktis Secara
praktis
hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama menyangkut
tanggung
jawab
ketentuan
yang
debitur terhadap musnahnya benda jaminan
fidusia dalam perjanjian kredit serta perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank.
9
1.5. Landasan Teoritis Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.7 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya. 8 Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit tidak terlepas dari peranan bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya, terdapat hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat ”percaya” untuk menempatkan uangnya dalam produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di banknya dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa perbankan. Bank sebagai lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian dana yang dihimpun
7
8
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19.
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 30.
10
tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian, fungsi konvensional dari bank adalah di samping menghimpun dana dari masyarakat, juga memberi pinjaman (menyalurkan kredit) kepada masyarakat. 9 Sutan Remmy Syahdeini memberikan batasan bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabahnasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. 10 Terkait dengan perjanjian kredit, Sutarno berpendapat bahwa perjanjian kredit dibuat untuk kepastian hukum akan hak dan kewajiban dari masingmasing pihak. Lahirnya perjanjian kredit memberi konsekuensi kepada kreditur mengenai kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.11 Pemberian kredit oleh pihak bank kepada pihak debitur tidak terjadi begitu saja, tetapi harus melakukan informasi mengenai calon debiturnya
9
Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Alumni, Bandung, hal. 8.
10
Sutan Remmy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 34. 11
hal. 92.
Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung,
11
dengan menggunakan beberapa prinsip, dengan tujuan untuk mengurangi resiko yang akan terjadi di kemudian hari, yaitu : a. Prinsip 3R, yaitu : 1. Returns, yaitu penilaian atas hasil yang akan dicapai perusahaan calon debitur setelah memperoleh kredit. 2. Repayment, adalah perhitungan pengembalian dana, dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan atau kredit. 3. Risk Bearing Ability, adalah perhitungan besarnya kemampuan debitur dalam menanggapi resiko yang tak terduga. b.
Prinsip 4P, yaitu : 1. Personality, maksudnya mencari data lengkap dari kepribadian debitur. 2. Purpose, maksudnya tujuan penggunaan kredit apakah digunakan untuk kegiatan yang bersifat konsumtif atau produktif. 3. Prospect, maksudnya bank melakukan analisis yang cermat menyangkut masa depan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh debitur. 4. Payment, maksudnya mengenai cara pembayaran atau pelunasan kredit dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
c. Prinsip 5C, yaitu : 1. Character, maksudnya pihak bank mengetahui watak atau sifatsifat dari calon debiturnya. 2. Capacity, maksudnya kemampuan debitur dalam memimpin suatu perusahaan dengan baik dan benar. 3. Capital, maksudnya permodalan dari debitur apakah sehat atau tidak sehat. 4. Condition of Economic, maksudnya kondisi perekonomian pada umumnya dan bidang usaha pemohon kredit pada khususnya. 5. Collateral, maksudnya adalah kemampuan calon debitur untuk memberikan agunan, memenuhi persyaratan yang ditentukan bank.
12
d. Prinsip 7P, yaitu : 1. Personality, maksudnya pihak bank mengetahui watak atau sifatsifat dari calon debiturnya. 2. Party, maksudnya pengklasifikasian atau penggolongan calon debitur. 3. Purpose, maksudnya tujuan penggunaan kredit oleh calon debitur. 4. Prospect, maksudnya menganalisis prospek perusahaan pemohon kredit di masa yang akan datang. 5. Payment, maksudnya mengetahui bagaimana pembayaran kembali kredit yang diberikan oleh pihak bank. 6. Profitability, adalah untuk menganalisis kemampuan nasabah mendapatkan laba. 7. Protection, maksudnya agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. 12 Dalam memberikan kredit kepada warga masyarakat, bank menerapkan prinsip The Five ”C”. Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat (debitur) bahwa yang bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian. Guna memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur dalam melunasi utangnya, maka bank wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), situasi ekonomi (condition of economic) dan agunan (collateral).13
12
Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 246-250. 13 Anak Agung Bagus Purnawan, 2007, Pembebanan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Kredit Menurut Undang-Undang Fidusia dan Prakteknya pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaien Badung, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 5.
13
Pada kenyataannya, dalam praktek pemberian kredit oleh bank, agunan (collateral) selalu menjadi faktor pertimbangan yang paling menentukan untuk dapat dikabulkannya permohonan kredit dari masyarakat (debitur). Kredit yang diberikan kepada debitur harus diamankan, dalam arti harus dapat dijamin pengembalian atau pelunasannya. Dalam rangka memberikan keamanan dan kepastian pengembalian kredit dimaksud, kreditur perlu meminta agunan untuk kemudian dibuatkan perjanjian pengikatannya. 14 Menurut Johannes Ibrahim, bahwa dalam hubungannya dengan pemberian kredit, jaminan hendaknya dipertimbangkan mengingat dua faktor, yaitu : 1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangundangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka pemberi kredit memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi. 2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dan segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.15 Dengan mempertimbangkan kedua faktor di atas, jaminan yang diterima oleh bank dapat meminimalkan resiko dalam penyaluran kredit sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, betapa pentingnya keberadaan 14
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 397. 15
Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 71.
14
jaminan dalam pemberian kredit. Apabila debitur tidak dapat melunasi kredit sesuai dengan perjanjian, maka hak kebendaan yang dijadikan jaminan kredit oleh kreditur akan dieksekusi untuk memenuhi pembayaran utang debitur yang bersangkutan. Kredit-kredit yang diberikan oleh bank perlu diamankan. Tanpa adanya pengamanan, bank sulit mengelakan resiko yang datang, sebagai akibat dari prestasinya nasabah. Pengamanan kredit merupakan suatu mata rantai kegiatan bank dan suatu aspek yang penting dalam manajemen kredit, karena proses pengamanan berjalan terus. Langkah-langkah yang diambil bank dalam mengamankan kreditnya, pada pokoknya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pengamanan prefentif dan pengamanan represif. Pengamanan prefentif adalah pengamanan yang dilakukan
untuk
mencegah
terjadinya
kemacetan
kredit.
Sedangkan
pengamanan represif adalah pengamanan yang dilakukan untuk menyelesaikan kredit-kredit yang telah mengalami ketidaklancaran atau kemacetan (debius). 16 Dengan demikian, pengamanan kredit pada hakekatnya adalah memperkecil resiko, bahkan sampai pada menghilangkan resiko yang mungkin timbul maupun sudah timbul atau terjadi. Dalam perjanjian
kredit dengan jaminan
fidusia, maka hak dan
kewajiban masing-masing para pihak (debitur dan kreditur) dapat diuraikan sebagai berikut :
16
Edy Putra Tje'Aman, 1989, Kredit Perbankan – Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, hal. 39.
15
a. Hak Debitur : - Menerima atau menarik fasilitas kredit sesuai platfon yang telah disetujui debitur dan bank; - Menggunakan atau menikmati objek jaminan fidusia; - Memperoleh sisa penjualan apabila dilakukan penjualan atau pelelangan. Kewajiban debitur antara lain : -
Membayar biaya-biaya (provisi, administrasi, dan biaya-biaya lainnya); Membayar bunga kredit; Memberikan jaminan atau agunan; Melakukan pengikatan jaminan kredit dengan fidusia (secara notariil); Membuka rekening atau tabungan di bank; Memelihara objek jaminan, mengganti bagian objek jaminan yang rusak; Menyampaikan laporan secara periodik atas nilai objek jaminan; Mengasuransikan objek jaminan; Tidak melakukan pengikatan jaminan dengan bank lain atas objek yang sama.
b. Hak kreditur : -
-
Menerima biaya-biaya (provisi, administrasi, dan biaya lainnya); Menerima bunga kredit; Menerima angsuran kredit; Menerima jaminan atau agunan; Menjual objek jaminan atas title eksekutorial atau melalui pelelangan umum atau melalui penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan dengan debitur; Memeriksa adanya dan keadaan objek jaminan fidusia.
Kewajiban kreditur antara lain : -
Memberikan atau mencairkan fasilitas kredit sesuai platfon yang telah disetujui debitur dan bank;
16
-
Mengembalikan objek jaminan fidusia bila tidak lagi menjadi jaminan atau lunas dan menerbitkan surat roya. 17
Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata ”Fides”, yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata tersebut, maka hubungan antara debitur dengan kreditur merupakan hubungan hukum berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah debitur melunasi hutangnya. Sebaliknya, penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia akan melunasi utangnya dan tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. 18 Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat mengembalikan kredit tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi atas barang yang menjadi jaminan fidusia adalah pihak bank harus memberitahukan secara tertulis kepada mereka agar segera menyerahkannya kepada bank. Setelah barang dikuasai oleh bank, maka tindakan selanjutnya melaksanakan eksekusi jaminan fidusia. Mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi atas barang yang menjadi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
17
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2008, Penetitian Hukum tentang Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia, Jakarta, hal. 64-65. 18
H.R. Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 276.
17
a. Pelaksanaan titel eksekutorial dari Sertifikat Jaminan Fidusia (SJF) oleh Penerima Fidusia. b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia (bank) melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi (Debitur) dan penerima fidusia (Bank) jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. 19 Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor. Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa : a. Tidak melakukan prestasi sama sekali. b. Debitur
memenuhi
prestasi,
tetapi
tidak
sesuai
dengan
yang
tidak
boleh
diperjanjikan. c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu. d. Melakukan
sesuatu
yang
menurut
perjanjian
dilakukannya. 20
19
Ibid, hal. 65-66.
20
R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 45.
18
Terhadap resiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mengatasi resiko, yaitu : 1. Menerima resiko, apabila suatu resiko yang dihadapi oleh seseorang diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari, mencegah, memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada keuntungannya, maka orang yang menghadapi resiko itu mungkin akan mengambil sikap, bahwa ia akan menerima saja resiko itu. Dengan kata lain ia akan pasrah saja. 2. Menghindari resiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara menghadapi masalah yang penuh dengan resiko. Seseorang yang menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang penuh resiko, berarti dia berusaha menghindari resiko itu sendiri. 3. Mencegah resiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga akibat yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi atau dihindari. 4. Mengalihkan resiko, bahwa seseorang yang menghadapi resiko meminta orang lain untuk menerima resiko tersebut. Ini dilakukan dengan memperalihkan resiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian. 21
Adanya beberapa cara mengatasi resiko maka pengalihan resiko merupakan cara yang paling efektif, karena dengan cara mengalihkan resiko
21
Man Suparman Sastrawidjaja, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung, hal. 7.
19
kepada pihak lain yang telah disepakati tentunya pihak tersebut bersedia mengambil alih resiko. Hal demikian berarti bahwa jika resiko atau peristiwa yang tidak pasti benar-benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung peralihan resiko tersebut adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan asuransi. Besarnya uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan akibat yang ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan, kehilangan, dan cacat. Namun, setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan beban ganti rugi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas
meninggalnya
atau
hidupnya
seseorang
yang
dipertanggungkan. Dari pengertian tersebut, maka setiap orang yang ingin memperkecil resiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti dapat dilakukan dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat menimbulkan resiko.
20
Manusia dalam mengarungi kehidupannya dan dalam setiap kegiatannya selalu berhadapan dengan resiko.
Sehubungan dengan masalah kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum merupakan satu unsur saja dari persoalan yang lebih luas, yaitu kesadaran hukum. Di samping itu masalah kepatuhan atau ketaatan, kesadaran hukum itu menyangkut pula masalah pengetahuan, pengakuan, dan penghargaan terhadap hukum.22 Ajaran Roscou Pound sehubungan dengan fungsi hukum dalam masyarakat adalah law as a tool of social engineering (hukum sebagai proses dari rekayasa sosial). Salah satu masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah apabila hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. 23 Selanjutnya Roscou Pound mengemukakan pendapatnya bahwa hukum sebagai institusi sosial diciptakan untuk : Satisfy human, social want by giving effect to as much as we may with the least sacrifice, so far as such wants may be satisfied or such claims given effect by an ordering of human conduct through politically organized society. The essence of legal order was securing and protection of a variety of interests and necessitated the modification of traditional and in herifed legal codes to existing social condition.24
22
B. Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
23
Soerjono Soekanto,1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), hal. 119. 24
hal. 148.
I. B. Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonal & Evan Ltd, Estover Plymouth,
21
Pokok pikiran Roscou Pound adalah bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu proses. Suatu pembentukan hukum, interpretasinya maupun penerapannya hendaknya dihubungkan dengan fakta-fakta sosial. Roscou Pound sangat menekankan pada efektivitas bekerjanya hukum, dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum di masyarakat. 25 Hukum sebagai salah satu norma sosial bertugas membingkai pola-pola yang jumlah dan ragamnya banyak sekali, dan akhirnya hukum itu sendiri memasuki aspek-aspek kehidupan sosial kemasyarakatan yang beraneka pula. Dengan konfigurasi semacam itu, akhirnya dapat dipahami kalau hukum yang ada dan berlaku dalam suatu kehidupan masyarakat pelaksanaannya akan dipengaruhi oleh banyak aspek. 26 Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam pelaksanaannya sangat bergantung pada aspek-aspek kemasyarakatan, sehingga karenanya tepat apa yang disampaikan oleh W. Friedman; “The self sufficiency of law is an illusion. It is, to use a well known pharase by Moltke, a dream, but not even a beautiful one”. Hukum sebagai norma sosial perkembangannya tidak semata ditentukan oleh hukum itu sendiri, tetapi lebih bergantung pada masyarakat dimana hukum itu berada. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Tidak dipungkiri memang ada hubungan antara 25
Yenny Candrawatie, 2006, Penerapan Ketentuan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Proses Pengikatan Jaminan Kredit di Kota Denpasar, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 22-23. 26
W. Friedmen, 1979, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 79.
22
kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas hukum. Ada pihak yang mengatakan bahwa hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat untuk siapa hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Terkait dengan efektivitas hukum, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa ada empat faktor seseorang berperilaku tertentu, yaitu : 1. Memperhitungkan untung rugi. 2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa. 3. Sesuai dengan hati nuraninya. 4. Adanya tekanan-tekanan tertentu.27 Berkaitan dengan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit dapat dipengaruhi oleh perilaku seseorang. Dalam pengertian sejauhmana perilaku seseorang (debitur) dalam menyelesaikan permasalahan musnahnya benda jaminan bergerak dalam perjanjian kredit.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.28
27
Soerjono Soekanto II, Op. Cit, hal. 19.
28
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 35.
23
Ada dua jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis.29 Jenis penelitian sehubungan dengan penyusunan tesis ini adalah penelitian hukum normatif. Philipus M Hadjon berpendapat bahwa jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum.30 1.6.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).31 Berdasarkan
permasalahan
penelitian
ini,
maka
penelitian
ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yakni dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
29
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), hal 147. 30
Philipus M Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya,hal.20. 31
Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.hal.93.
24
isu hukum yang sedang ditangani. 32 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.33 Dengan demikian, penelitian tentang pengaturan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank
menggunakan
pendekatan
perundang-undangan
dan
pendekatan
konseptual. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat digolongkan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pendapat Peter Mahmud Marzuki,bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim.34 Bahan-bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari: -
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; 32
Ibid
33
Ibid.hal.119.
34
Ibid. hal.140.
25
-
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.35 Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan persoalan yang sementara dikaji. Selain itu dipergunakan juga bahan hukum penunjang seperti kamus.
1.6.4. Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh, dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (Card System). Kemudian dilakukan pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang dilakukan. Kartu-kartu diklasifikasikan atas kartu kutipan, kartu ikhtiar, dan kartu ulasan, serta menurut rencana sistematika tesis. Kemudian diberikan identitas seperti : sumber bahan yang dikutip, dan halaman.
1.6.5. Tehnik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum terkait dengan kedua pokok permasalahan yang dibahas selanjutnya 35
Ibid.
dianalisis
melalui
langkah-langkah
deskripsi,
interpretasi,
26
sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi. 36 Pendeskripsian atau penggambaran dilakukan untuk menentukan isi atau makna dari suatu bahan hukum disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada. Pada tahapan ini dilakukan pemaparan serta penentuan terhadap makna dari aturan-aturan hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan di bidang
sarana dan
prasarana umum, maupun pemaparan terhadap berbagai pendapat sarjana yang terkait. Tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma, terutama dalam hal ditemukan norma-norma yang kabur (vague norm). Setelah bahan-bahan hukum dapat diidentifikasi secara jelas, maka dilanjutkan melakukan sistematisasi. Pada tahapan sistematisasi akan dilakukan pemaparan berbagai pendapat hukum dan hubungan hirarkhis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahapan ini juga dilakukan koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum dari para sarjana yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Bahan hukum yang telah tersistematisasi, baik berupa pendapat hukum maupun aturan-aturan hukum selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat atau argumentasi disesuaikan dengan koherensinya terhadap permasalahan yang dibahas.
36
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana , Op. Cit, hal. 8, 9.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA
2.1 Perjanjian Kredit 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit Sebelum menguraikan lebih banyak tentang perjanjian kredit, maka sebelumnya perlu diuraikan tentang pengertian perjanjian. Dalam memahami istilah dan pengertian perjanjian, perlu juga dipahami tentang istilah dan pengertian kontrak. Ada yang menyatakan kalau kontrak itu adalah perjanjian yang bentuknya tertulis. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah ”Contract" dalam bahasa Inggris. Black’s Law Dictionary mengartikan istilah “Contract” sebagai “an agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar thing”37 yang berarti bahwa kontrak merupakan suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Dalam sistem hukum Kontinental
(Civil Law
Indonesia
Legal System),
yang menganut sistem Eropa istilah
kontrak dikenal dengan
Perjanjian (Overrenkomst). Menurut Pasal 1313 BW (KUH Perdata),
37
Soedjono Dirjosisworo. 2003. Kontrak Bisnis Menurut Sistem Vicil Law, Common Law dan Praktek Dagang International, Mandar Maju, Bandung, hal. 65.
27
28
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 38 Pengertian perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1313 BW (KUH Perdata) tersebut dalam pandangan para sarjana mengandung kelemahan. Ketidak-sempurnaan dan tidak lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan : Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan BW di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap, karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu terlalu luas, karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuanketentuan tersendiri sehingga Buku III BW (KUH Perdata) secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuannya. 39
Menurut Abdulkadir Muhammad, kelemahan-kelemahan ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata) adalah sebagai berikut : a. Hanya menyangkut satu pihak Jika dilihat rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata Kerja ”mengikatkan” mempunyai sifat hanya datang dari satu pihak saja. Seharusnya rumusannya itu harus saling mengikatkan diri sehingga ada consensus para pihak. b. Kata ”Perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan pekerjaan tanpa kuasa (Zaakwaneming) yang tidak mengandung konsensus antara para pihak. Seharusnya digunakan kata ”persetujuan”. 38
Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, 2003, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, Mega Poin, Jakarta, hal. 8. 39
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal. 20.
29
c. Pengertian ”perjanjian” dalam pasal tersebut mempunyai arti yang terlalu luas karena dapat juga mencakup kelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal ”perjanjian” yang dimaksud oleh buku III hanya perjanjian yang bersifat kebendaan. d. Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengadakan perjanjian itu.40
Mengingat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata), maka untuk memahami pengertian perjanjian, maka dipandang penting untuk mengetengahkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana. Pandangan sarjana dimaksud dapat dijadikan scbagai pembanding dan bahan analisis dalam memahami perjanjian secara lebih mendetail dan lengkap. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan Hukum Kekayaan. 41 Sedangkan Prof. R. Soebekti, merumuskan perjanjian ini adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.42
Pendapat
ini perlu mendapat perhatian dan
penegasan, sebab tidak semua peristiwa itu akan menimbulkan adanya perjanjian, tetapi hanya peristiwa hukum yang dapat menimbulkan perjanjian.
40
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal. 78.
41
Ibid.
42
R. Soebekti I, Op. Cit, hal. 1.
30
R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.43 Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan : Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikatkan mereka untuk ditaati dan dijalankan, kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi. 44
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang telah disepakati oleh para pihak dalam rangka melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan yang telah diatur menurut hukum. Perjanjian itu merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat di dalamnya atau dikenal dengan perikatan (Verbintenis). Di dalam
menyalurkan kredit kepada
masyarakat,
bank akan
menuangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Sebelum memahami tentang perjanjian kredit, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu kredit. Secara etimologi perkataan kredit berasal dari bahasa latin “Credere” yang berarti kepercayaan, sehingga berpijak dari arti kata tersebut. dapat dikatakan bahwa pengertian dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan. 45
43
R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 5.
44
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 96. 45
127.
Bambang Sunggono, 1995, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Jakarta, hal.
31
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11, kredit adalah: ”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Dengan demikian, kredit bank adalah merupakan kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga. Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money.46 Istilah
perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai
surat edaran, antara lain: 1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan ”akad perjanjian kredit”; 2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996; dan 3. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan. 46
Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 57.
32
Dalam ketentuan itu tidak kita temukan pengertian perjanjian kredit. Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan,
telah ditentukan pengertian perjanjian
kredit.
Perjanjian kredit adalah: ”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.
Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah : 1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan; 2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur; 3. Adanya kewajiban debitur. Kewajiban debitur adalah: 1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya; 2. Membayar bunga; dan 3. Biaya-biaya lainnya. Para ahli juga memberikan pengertian perjanjian kredit. Sutarno mengartikan perjanjian kredit adalah: ”Perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur”.47
Definisi ini terlalu singkat karena hanya difokuskan pada hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur, padahal dalam perjanjian kredit itu
47
Sutarno, Op. Cit, hal. 6.
33
sendiri yang paling prinsip adalah kesepakatan para pihak. Definisi lain dikemukakan Sutan Remy Syahdeini. Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah: ”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. 48
Definisi yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeini terlalu luas karena tidak hanya mengemukakan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur, namun juga mengemukakan tentang ciri-ciri perjanjian kredit. Karena adanya kelemahan dari kedua definisi di atas, maka perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah: ”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biayabiaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”. 49
Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Yang menyangkut pemberian kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hakhak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit
48
49
Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 14.
Salim, HS, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim HS I), hal. 80.
34
diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap terjaga. Namun meskipun demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.
2.1.2 Sifat Perjanjian Kredit Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754 BW menentukan sebagai berikut : “Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur pinjam-meminjam adalah : 1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman; 2. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman; 3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama; 4. Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan. 50
50
Sentosa Sembiring, Op. Cit, hal. 67.
35
Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754 KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan karena di dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalarn penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan bahwa perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat riil. Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai berikut: “Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank.”51 Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.52 Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari bentuk perjanjian
51
Marhainis Abdul Hay, 1975, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, hal. 67. 52
R. Subekti, 1978, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung (selanjutnva disebut Subekti II), hal. 13.
36
pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW.53 Dengan demikian, pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuanketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman : “Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754.54 Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.55 Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa
53
Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 472.
54
Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Alumni, Bandung, (selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 110-111. 55
Ibid.
37
perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terletak pada beberapa hal, antara lain: a. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas. b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan (lihat ketentuan Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 7 Tahun 1992) dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat oleh individu. c. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya. d. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam
38
perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan. e. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam jaminan
merupakan
pengamanan
bagi
kepastian
pelunasan hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja. Apapun
yang
merupakan
pendapat
dari
para
sarjana tentang
sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa akar dari perjanjian kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti dirumuskan adalah;
oleh Undang-Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”,
“. . ., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminiam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.56 Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah, seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya. Seperti disampaikan oleh Edy Putra Tje'Aman, untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata (BW dan Undang-Undang Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku/dipakai dalam praktek perbankan. 57
56
Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal. 174.
57
Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 31.
39
2.1.3 Bentuk Perjanjian Kredit Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk perjanjian kredit. Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan
pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian
kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian
kredit
harus
dibuat
secara tertulis namun menurut pendapat
Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga
40
pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.58 Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis. Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu : 1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.59
58
Sutarno, Op. Cit, hal. 99.
59
H.R. Daeng Naja, Op. Cit, hal. 185.
41
Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian
ditawarkan
kepada
Debitur
untuk
disepakati.
Untuk
mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan
ketentuannya
secara lengkap. Bentuk perjanjian
kredit
disiapkan
terlebih
yang dibuat
dahulu
sendiri oleh
Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur melakukan protes atau tidak setuju tercantum
terhadap pasal-pasal tertentu yang
dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan
menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga
42
apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui. Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah : a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan. b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong. 60
Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu saat berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian kredit bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan perbankan, perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya tersebut. 2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris) Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. 60
Ibid.
43
Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik. 61 Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja. kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih dari satu Bank). Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah
barang
tentu
ada
perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu
membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan
pihak-pihak tersebut. Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim, kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak
61
Sutarno, Op. Cit, hal. 100.
44
pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya. Sebaliknya, jika tanda tangan pada akta di bawah tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri.
2.1.4 Lahirnya Perjanjian Kredit Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod, yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit, bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.62 Hal tersebut sesuai dengan asas tiada kredit tanpa jaminan. Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pad akita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan. Dalam
praktek,
penandatanganan
perjanjian
jaminan
dilakukan
bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban membayar bunga kredit. Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau 62
Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 35.
45
pencairan kredit.63 Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah boleh menarik kreditnya. Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedag pihak pemohon belum menerima kreditnya,
maka hal ini adalah suatu
kejanggalan,
suatu
ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.
2.1.5 Hapusnya Perjanjian Kredit Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada 63
Ibid.
46
ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata. Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini: 1. Pembayaran Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause). 2. Subrograsi (subrogatie) Pasal 1382 BW (KUH Perdata) menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrograsi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya subrograsi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai kreditur lama beralih kepada pihak ketiga.
47
3. Pembaharuan utang (novasi) Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi subjektif”. Di sini utang lama lenyap, dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap. Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia perbankan adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku. Pasal 1413 BW (KUH Perdata) menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu : 1. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang mengganti perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya; 2. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru;
48
3. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian baru yang diadakan; 4. perjumpaan utang (kompensasi) Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken) yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.64 Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata). Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi
demikian
itu
dijalankan
oleh
bank
dengan
cara
mengkompensasikan barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.
2.2 Jaminan Fidusia 2.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan Fidusia Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pengertian jaminan fidusia hendaknya kita memahami pengertian jaminan. Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, yang salah satunya adalah dalam bentuk
64
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 279-280.
49
kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan. 65 Dana yang berupa kredit itu diperlukan oleh debitur guna kepentingan pengembangan usaha atau keperluan lainnya. Penyaluran kredit kepada pelaku usaha selaku debitur sarat dengan resiko kemacetan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat di antaranya : 1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis; 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian; 3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, atau; 4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit).66 Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka bank dalam memberikan kreditnya wajib memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank juga wajib melakukan peninjauan ke lapangan dan pengikatan terhadap jaminan yang diserahkan oleh debitur sehingga jaminan yang diterima dapat memenuhi persyaratan dan kctcntuan yang berlaku. Untuk memperoleh keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur maka bank melakukan
65
M. Khoidin, 2005, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, Laks Bank Pressindo, Yogyakarta, hal. 1. 66
Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 510.
50
penilaian yang dikenal dengan the five c's of credit (5C) antara lain Character; Capital; Capacity; Collateral; Condition of economy. Berbagai aspek penilaian yang dilakukan bank tidak selalu dapat mencerminkan kinerja nasabah debitur di masa yang akan datang, maka pihak bank perlu berjaga-jaga terhadap resiko yang terburuk dari pelepasan kredit. Antisipasi terhadap kemungkinan macetnya pemenuhan kewajiban oleh nasabah adalah kewajiban penyerahan jaminan sebelum dana diberikan kepada nasabah. Jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit. Namun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh debitur, seperti yang diatur dalam UndangUndang Perbankan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 menyebutkan : “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”. Dalam kalimat tersebut tersirat bahwa siapapun yang ingin memperoleh kredit bank harus menyerahkan jaminan kepada bank. Terdapat perubahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 yang menyebutkan bahwa ”Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”. Untuk memperoleh
51
keyakinan tersebut, bank melalui analis kreditnya melakukan penilaian terhadap calon debiturnya berdasarkan the five c's of credit analysis (5C) di atas. Sebenarnya dalam literatur hukum tidak dikenal istilah hukum jaminan, sebab kata recht dalam rangkaiannya sebagai zakerheidsrechten berarti ”hak”, sehingga zakerheidsrechten berarti hak-hak jaminan.67 Dengan demikian kalau mau merumuskan hukum jaminan, maka dapat dikatakan sebagai ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya, maksudnya jaminan tagihan kreditur atas hutang debitur.68 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan umum tentang jaminan diletakkan dalam pasal 1131 sampai dengan pasal 1138. Dalam pasal-pasal tersebut diatur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap debiturnya. 69 Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sutarno menyatakan, jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk
67
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti Bandung, (selanjutnya disebut J. Satrio I), hal. 154. 68
J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J. Satrio II), hal. 4. 69
J. Satrio I, Op. Cit.
52
pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditur dan debitur.70 Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menyebutkan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal penting dalam penyerahan agunan ini adalah keabsahan secara yuridis di perjanjian pengikatan agunan. Pihak bank harus yakin bahwa agunan atau jaminan yang telah diserahkan telah berdasarkan perjanjian yang sah secara yuridis. 71 Kredit yang didukung dengan jaminan disebut secured loans, dengan menggunakan jaminan dalam penyaluran kredit dapat meyakinkan bank akan kemampuan debitur dalam pengembalian utangnya, sedangkan kredit yang tidak didukung dengan jaminan disebut unsecured loans, pemberian kredit ini yaitu dengan mempertimbangkan bonafiditas dan prospek usaha debitur. Kredit tanpa adanya jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami kemacetan pembayaran maka akan sulit menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Dengan adanya harta debitur yang dijadikan jaminan atas utangnya dapat menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 72
70
Sutarno, Op. Cit, hal. 142.
71
Sri Susilo, Sigit Triandaru & Totok Budi S, 2000, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, hal. 73. 72
Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, hal. 50.
53
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu memberikan kepastian akan pelunasan utang debitur sesuai dengan perjanjian kredit. Jaminan dapat menutupi segala resiko terhadap kemungkinan macetnya suatu kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau tidak. Oleh karena itu, selain benda yang menjadi objek jaminan kredit diikat dengan asuransi tertentu, penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya. Istilah Fidusia berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan. 73 Hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dengan debitur merupakan hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Istilah fidusia sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia hukum di Indonesia. 74 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Dalam terminologi
Belandanya
sering
disebut
dengan
Fiduciare
Eigendom
Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership.75
73
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 113.
74
Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal. 3. 75
Ibid.
54
Jaminan fidusia ini lahir karena adanya kebutuhan dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Mengingat lembaga gadai mensyaratkan adanya penyerahan benda maka dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut. Akhirnya muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi kepentingan dalam praktek tersebut yaitu dengan jalan pemberian jaminan fidusia. Jaminan fidusia ini akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi, baik di Belanda maupun di Indonesia. 76 Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan "Constitutum Posessorium" (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali). Agar sahnya peralihan hak dalam kontruksi hukum tentang fidusia ini, haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain : a. terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk b. adanya titel untuk suatu peralihan hak c. adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda d. cara tertentu
untuk
penyerahan
yaitu
dengan
cara
constitutum
posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cessie untuk hutang piutang. 77
76
77
Ibid.
Sri Soedewi Masjchoen, Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, hal. 27.
55
Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian mengenai masing-masing tersebut: Pasal 1 butir 1: Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pasal 1 butir 2 : Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia dalam upaya pemberian hak jaminan kepada kreditur dengan tujuan : 1. Sebagai agunan Sebagai agunan menunjuk ciri umum dari hak jaminan, bahwa pengalihan hak milik terhadap suatu benda hanya diperuntukkan sebagai agunan atau jaminan kredit, konsepsi pengalihan hak milik dengan kepcrcayaan dalam jaminan fidusia, adalah semata-mata untuk mcmbcrikan jaminan kepastian pengembalian kredit, sebagai perlindungan bagi keamanan kreditur. Memang apabila dilihat lebih jauh terhadap konstruksi jaminan fidusia akan membingungkan dan dapat menimbulkan salah tafsir apabila dikaitkan dengan unsur dari pengertian fidusia tentang ”pengalihan hak
56
milik” yang sering ditafsirkan bahwa penerima jaminan fidusia semestinya menjadi pemilik atas benda yang bersangkutan. Apabila ditinjau lebih jauh riwayat sebenarnya merupakan penyelundupan atas ketentuan gadai yang diatur pada Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata untuk membedakan dari gadai berdasarkan kebutuhan praktek hukum jaminan. Karena hukum merupakan suatu sistem yang tidak memungkinkan untuk adanya pertentangan sehingga digunakan istilah pengalihan hak milik untuk membedakan dengan gadai. 2. Untuk kepentingan pelunasan tertentu Unsur ini menunjuk pada penjelasan bahwa pemberian jaminan fidusia memiliki tujuan yang sama dengan jaminan lainnya yaitu untuk jaminan agar debitur memenuhi kewajibannya yaitu dalam pelunasan utang tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa perjanjian pokoknya adalah hutang piutang dan perjanjian pemberian jaminan fidusianya sebagai perjanjian tambahan (accessoir). Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 UndangUndang Jaminan Fidusia yang menyatakan : ”Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sedangkan ciri perjanjian tambahan (accessoir) adalah perjanjian tersebut tidak dapat berdiri sendiri, kemudian berakhirnya adalah tergantung pada berakhirnya perjanjian pokoknya.
57
3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain dari pelunasan atau kewajiban debitur (pemberi jaminan fidusia). Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia akan mempunyai posisi lebih baik di depan hukum dalam penagihan, demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jaminan fidusia, maka kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan daripada kreditur lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda jaminan fidusia. Hal demikian dinamakan hak preferen. Dalam perkembangannya di zaman Romawi, ada dua bentuk jaminan fidusia yaitu fiducia cum amino dan fiducia cum creditore.78 Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak.79 Fiducia cum amino contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada teman dengan janji bahwa teman akan mengembalikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini kewenangan diserahkan kepada pihak pcnerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak pemberi.80
78
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Loc. Cit.
79
Ibid.
80
Ibid, hal. 115.
58
Fiducia cum creditore contracta berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan debitur, bahwa debitur akan mengalihkan suatu benda kepada kreditur sebagai suatu jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali benda jaminan tersebut apabila utang debitur sudah dibayar lunas, karena debitur bertindak dengan kepercayaan, hubungan seperti ini dinamakan hubungan yang didasarkan atas fides atau hubungan fiduciair.81 Timbulnya fiducia cum creditore ini disebabkan adanya suatu kebutuhan akan hukum jaminan yang belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki kreditur akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang dialihkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum. Debitur tidak akan dapat berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang kita kenal sekarang. 82 Karena kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan serta adanya hukum tertulis yang mengaturnya, akhirnya fidusia hilang dari Hukum Romawi. Ketika negara-negara Eropa Kontinental seperti Perancis dan Belanda mengadopsi hukum Romawi, dalam hukum Romawi lembaga fidusia sudah 81
J. Satrio II, Op. Cit, hal 166.
82
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 114.
59
lenyap sehingga dalam Burgerlijk Wetboek (BW) tidak dikenal lembaga fidusia, yang diatur hanya hipotek (hak tanggungan) dan pand (gadai). Baru kemudian terasa lagi kebutuhan dalam praktek hukum di negeri Belanda sehingga lembaga fidusia dimunculkan lagi dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi. Lahirnya lembaga fidusia di negeri Belanda tidak terlepas dari kebutuhan dan keadaan perekonomian pada saat itu. Pada abad 19, di negeri Belanda terjadi kemerosotan hasil panen, sehingga perusahaan pertanian sangat membutuhkan modal. Lembaga hipotik tidak dapat diandalkan saat itu karena petani memiliki tanah yang sangat terbatas, apalagi lembaga gadai, para petani tidak dapat menyerahkan barang-barang pertanian yang justru sangat dibutuhkan untuk proses produksi pertaniannya. Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Hindia Belanda (Indonesia) saat itu. Dengan keadaan seperti itu, di negeri Belanda saat itu ada usaha-usaha untuk menanggulangi masalah tersebut antara lain dengan jalan memformulasi pinjaman dalam bentuk bankbank koperasi. Di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu ditanggulangi dengan cara
mengintrodusir
jaminan
hutang
dalam
bentuk
“ikatan
panen”
(oogstverband). Oogstverband adalah suatu jaminan untuk pinjaman uang, yang diberikan atas panen yang akan diperoleh dari suatu perkebunan (teh, kopi, dan sebagainya) berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 24 Januari 1886 (Stbl.
60
1886-57).83 Dari pengertian oogstverband, ada 3 (tiga) hal yang cukup penting harus diketahui yaitu pertama, oogstverband sebagai memiliki
karakter
kebendaan
(zakenlijke
caracter)
lembaga jaminan berarti
lembaga
oogstverband mempunyai sifat-sifat kebendaan antara lain haknya dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, hak mengikuti
bendanya ditangan
siapapun benda itu berada dan mudah dieksekusi; kedua, objek oogstverband adalah hasil-hasil pertanian yang belum dipetik beserta perusahaan serta peralatan yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian; ketiga, hakikat oogstverband.84 Atas satu panenan hanya dapat berlaku satu oogstverband, apabila ada beberapa maka yang berlaku hanya yang pertama diletakkannya sedangkan yang kemudian dapat berlaku apabila yang pertama telah hapus sebagai suatu jaminan (accesoir) tentunya oogstverband ini hapus kalau utangnya telah dibayar. Menurut R. Soebekti, kelemahan dari lembaga ini adalah bahwa Oogstverband hapus apabila hasil panen yang dijadikan jaminan musnah.85 Bentuk jaminan “ikatan panen atau bank-bank koperasi” di dalam pratek dirasakan tidak memadai sehingga yang terjadi saat itu adalah perkembangan
kebutuhan
perekonomian
lebih
cepat
dibandingkan
perkembangan hukum perkreditan dan jaminan. Di samping itu hukum positif
83
R. Soebekti, 1978, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut R. Soebekti III), hal. 29. 84
Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, hal. 1.
85
R. Soebekti, Op. Cit, hal. 80.
61
saat itu tidak mengatur mengenai jaminan utang terhadap benda bergerak (gadai) tanpa penyerahan barangnya. Konsekuensi dari statisnya sektor hukum perkreditan dan jaminan tersebut melahirkan upaya-upaya untuk mencari jalan keluar yuridis, maka akhirnya di Belanda digunakan kembali yang disebut dengan fiducia cum creditore sampai akhirnya diakuinya lembaga fidusia tersebut oleh yurisprudensi lewat putusan pertamanya tentang fidusia, yaitu putusan tanggal 25 Januari 1929, N.J. 1929, 616, yang popular dengan nama Bier Brouwerij Arrest. Kasusnya sebagai berikut: NY Heineken Bierbrouwerij Maatschappij meminjamkan uang sejumlah f. 6000 (enam ribu gulden) kepada P. Bos pemilik warung kopi "Sneek" dengan jaminan berupa hipotek keempat atas tanah dan bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih menjamin pelunasan utangnya, Bos menjual inventaris warungnya kepada Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat bahwa inventaris itu untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai sebagai peminjam pakai. Pinjam pakai itu yang akan berakhir jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau pailit. Ternyata Bos benar-benar pailit dan hartanya diurus oleh kurator kepailitan (Mr. A.W. de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij kemudian menuntut kepada kurator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah tidak sah karena hanya berpura-pura saja. Dalam gugatan rekonpensi kurator kepailitan menuntut pembatalan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut.86
Dalam sidang pengadilan pertama, pengadilan Rechtbank dalam putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan mengabulkan gugatan rekonpensi, alasannya bahwa para pihak hanya berpura-pura mengadakan perjanjian. Perjanjian yang sesungguhnya dilakukan adalah perjanjian dengan 86
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 117.
62
pemberian jaminan gadai tetapi tidak sah karena barangnya tetap berada dalam penguasaan pemberi gadai sehingga bertentangan dengan larangan pasal 1152 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Atas putusan tersebut, Bierbrouwerij menyatakan banding yang keputusannya adalah bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah. Atas putusan tersebut, kurator menyatakan kasasi dan Hoge Raad memutuskan bahwa yang dimaksudkan oleh para pihak adalah perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan dan rnerupakan titel yang sah. Putusan Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest tersebut mengakui jaminan fidusia dengan pertimbangan : 1. perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan aturan tentang gadai, karena maksud para pihak tersebut bukanlah untuk membuat pengikatan gadai. 2. perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan peritas creditorium karena perjanjian tersebut mengenai barang-barang milik Heineken (kreditur), bukan barang milik Bos (debitur). 3. perjanjian fidusia tersebut tidak bertentangan dengan asas kepatutan 4. perjanjian tersebut tidak merupakan penyelundupan hukum yang tidak diperbolehkan. 87 Keberadaan fidusia di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18 Agustus 1932, kasusnya sebagai berikut :
87
Mariam Daruz Badrulzaman, 1979, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, Bandung, Alumni, (selanjutnya disebut Mariam Daruz Badrulzaman III), hal. 91.
63
Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroeum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar lalai, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett, jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai tetap berada dalam penguasaan debitur maka gadai tersebut tidak sah. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena perjanjian yang dibuat bukanlah gadai melainkan fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest. Clignett diwajibkan menyerahkan jaminan tersebut kepada BPM.88
Setelah putusan BPM tersebut, baik Mahkamah Agung zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung (pengadilan tingkat bawahan) di zaman kemerdekaan telah pula memberikan beberapa putusan yang antara lain menyimpulkan : 1. Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951) 2. Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971) 3. Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya tetapi hanya sebagai pemegang jaminan hutang saja, sehingga jika hutang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki (mendaku) benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980).
88
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 120.
64
Walaupun sudah diputuskan bahwa objek jaminan fidusia berupa benda bergerak, namun dalam praktek untuk benda-benda tidak bergerak juga digunakan sebagai jaminan fidusia. Apalagi dengan berlakunya Undangundang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, perbedaan benda bergerak dengan benda tidak bergerak menjadi kabur
karena dalam
UUPA
tersebut
menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi jelas.
2.2.2 Dasar Hukum Jaminan Fidusia Perkembangan dan penggunaan fidusia semakin meluas, terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria. Selain benda bergerak, fidusia dapat pula dibebankan di atas tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak pakai dan hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria tidak mengaturnya walaupun memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk dijadikan sebagai jaminan hutang. 89 Seminar
Nasional tentang Fidusia,
menurut para
ahli hukum
mempermasalahkan apakah persoalan fidusia dibiarkan hidup dalam bentuk hukum tidak tertulis atau cukup hanya diatur dalam yurisprudensi atau dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pengertian fidusia yang tercantum dalam Pasal 1 angka 8 membawa 89
Parlindungan A.P,1988, Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hal. 200.
65
perubahan yuridis yang cukup berarti dalam perkembangan jaminan fidusia. Selanjutnya Pasal 12 dengan tegas mengatur bahwa satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan ikatan fidusia, kalau tanah milik bersama di atas mana rumah susun itu berdiri berstatus Hak Pakai Milik Negara. Pengakuan fidusia juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Perumahan mengatur pemilikan rumah sebagai objek jaminan fidusia berdasarkan asas pemisahan horisontal terlepas dari hak atas tanahnya. Pengaturan jaminan fidusia secara parsial dalam kedua UndangUndang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu lintas perkreditan. Memperhatikan keadaan seperti itu, maka kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Kehadiran
Undang-Undang
ini
diharapkan
dapat
menjawab
segala
permasalahan hukum yang menyangkut lembaga jaminan fidusia. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
sebelum lahirnya Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ada peraturan yang berkaitan dengan fidusia. Pertama, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah
66
susun yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani fidusia jika tanahnya tanah hak pakai atau tanah negara. Kedua peraturan dimaksud sudah tidak memadai lagi dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bila dilihat dari segi perkembangan penggunaan jaminan fidusia yang semakin meningkat. Kehadiran UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberi kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Dengan diundangkannya Undang-Undang jaminan fidusia memberikan kepastian hukum mengenai pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak yang masih dalam penguasaan debitur atau pemberi fidusia. Undang-Undang tentang jaminan fidusia tersebut sangat lama ditunggu masyarakat perbankan bertujuan memberikan ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengenai lembaga jaminan fidusia sehingga dapat membantu dunia usaha untuk mendapatkan dana dari perbankan dengan jaminan benda bergerak yang masih dikuasai debitur. Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan (kreditur dan debitur) dalam menyediakan pendanaan dengan jaminan fidusia. Dalam suatu Undang-Undang, kepastian hukum meliputi dua hal, yakni : pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang
67
itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar Undang-Undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum Undang-Undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti
hanya demi Undang-
Undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia. 90
2.2.3 Subjek dan Objek Jaminan Fidusia Chaidir Ali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. 91 Dapat pula dikatakan bahwa subyek hukum adalah pendukung atau pembawa hak dan kewajiban artinya subyek hukum itu mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum yang dilakukan.92 Jadi pendukung atau pembawa hak dan kewajiban adalah manusia atau orang. Subyek hukum dalam jaminan fidusia adalah para pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian atau akta jaminan fidusia. Dalam
90
91
92
Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung, hal. 117-118 Chaidir Ali, 1976, Badan Hukum, Alumni Bandung, hal. 12 Sutarno, Op. Cit, hal. 9.
68
jaminan fidusia, ada pihak yang dikatakan sebagai penerima fidusia (kreditur/bank) dan pihak pemberi fidusia (debitur). Black's Law Dictionary menyatakan: “Creditor is a person to whom a debt is owning by another person who is the “debtor”…………”.93 Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan : “Kreditur adalah yang berpiutang, yang memberikan kredit, penagih”. 94 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan secara implisit menyatakan bahwa kreditur yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah bank. Black's Law Dictionary menyatakan: “A bank is an institution, usually incorporate, whose business it is to receive money on deposit, cash checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer, known as bank notes. American commercial banks fall into rtwo main categories; state chartered banks and federally chartered national banks.”95
93
Henry Black Campbell, 1990, Black's Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, Minn, hal. 368. 94
Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 600. 95
Henry Black Campbell, Op Cit, hal. 367.
69
Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan : ”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.96 Pengertian debitur juga terdapat dalam Black's Law Dictionary yang menyatakan: “Debtor is one who owes a debt to another who is called the creditor; one who may be compelled to pay a claim or demand; anyone liable on a claim, whether due or to become due”.97 Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan : ”Debitur adalah orang atau lembaga yang berutang kepada orang atau lembaga lain”. 98 Dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemberi fidusia (debitur) adalah orang perorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, sedangkan dalam pasal 1 ayat (6) menyebutkan, penerima fidusia (kreditur/ bank) adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang 96
Thomas Suyatno, 1993, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
97
Henry Black Campbell, Op. Citm hal. 404.
98
Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 243.
hal. 1.
70
pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia milik sah pemberi fidusia, maka harus dilihat bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut. Penerima fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil dari nilai objek fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri ataupun melalui pelelangan umum. Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Pemisahan mulai diadakan setelah mulai dikenal gadai dan hipotek. Di zaman Belanda, objek fidusia dipersamakan dengan gadai karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan dalam gadai. Sementara itu di kalangan Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaminan fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak. Mengingat dalam UUPA, pembedaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan tanah dan bukan tanah, bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan terlepas dari tanahnya. Perkembangan ini sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dimana orang yang menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang tidak bisa
71
dijaminkan dengan hak tanggungan seperti hak sewa, hak pakai atau hak menumpang, dapat diatasi dengan jaminan fidusia, Dengan lahirnya UndangUndang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi lebih jelas, yaitu mengacu pada beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut antara lain Pasal 1 ayat 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum. Dapat atas benda berwujud. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang. Benda bergerak Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan. 6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik. 7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri. 8. Dapat atas satu satuan atau jenis benda 9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. 10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia. 11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia 12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.
Dalam hukum Anglo Saxon, terhadap pembebanan fidusia yang berobjekan benda persediaan ini, dikenal dengan nama Floating Lien atau Floting Charges. Disebut ’floating’ (mengambang) karena jumlahnya benda yang menjadi objek jaminan sering berubah-ubah sesuai dengan persediaan stok, mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Fidusia
72
terhadap benda persediaan ini diakui oleh pengadilan di Inggris sejak tahun 1870 dalam kasus Re Panama, New Zealand and Australian Royal Mail Co.99 Sifat mengambang dari floating charges ini berubah menjadi spesifik jika terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi yaitu terjadi keadaan-keadaan sebagai berikut: 1. pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan 2. jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan floting charges 3. jika diangkat receiver (kurator) oleh pengadilan
2.2.4 Sifat-Sifat Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : a.
Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban
99
Munir Fuady II, Op. Cit, hal. 23.
73
para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia. b.
Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite Jaminan fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang memiliki sifat droit de suite artinya penerima jaminan fidusia atau kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini dikecualikan untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk diperdagangkan. Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truck oleh pemilik benda dijual kepada pihak
74
lain, maka dengan sifat don’t de suite, jika debitur cidera janji kreditur sebagai penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan (obyek fidusia) itu.100 c.
Jaminan Fidusia memberikan hak preferent Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut. Contoh Bank Nasional Indonesia (BNI) memberikan kredit kepada B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN) tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada BNI
dan BTN. Jika
debitur cidera janji, maka BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan BTN baru mendapatkan pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar dari pelunasan seluruh hutang B kepada BTN.
100
Sutarno, Loc Cit.
75
d.
Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada. Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu : 1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit
merupakan jumlah utang maksimum atau
disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia. 2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada
76
karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar bank garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima bank garansi (pihak yang dijamin). 3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok, bunga,
denda
keterlambatan
dan
biaya-biaya
lainnya
yang
dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi. e.
Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur
77
digunakan untuk menjamin kepada semua kreditur itu secara bersama. Antara kreditur
satu dengan kreditur lainnya mempunyai kedudukan
yang sama atas jaminan fidusia, tidak ada kreditur yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain. Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur. Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi maupun secara bilateral atau masing-masing kreditur. f.
Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial Kreditur
sebagai
penerima
fidusia
mempunyai
hak
untuk
mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-
78
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur apabila debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda jaminan dinamakan Parate Eksekusi. g.
Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda
79
jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia. Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk bendabenda yang dibebani Jaminan Fidusia
tetapi berada di luar wilayah
Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia
berkedudukan. Dengan
dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga masyarakat akan berhatihati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. h.
Fidusia berisi hak untuk melunasi utang Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat
80
ini. Sifat ini sesuai
fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan
kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan janji bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik debitur jika debitur cidera janji maka oleh Undang-Undang janji semacam itu batal demi hukum. Batal hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dilaksanakan (vide Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). Sifat-sifat atau karakteristik dari jaminan fidusia sebagaimana diuraikan di atas sesuai atau selaras dengan azaz-azas yang ada dalam lembaga jaminan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa peraturan perundangundangan Indonesia mengatur tentang azas-azas jaminan yang garis besarnya sebagai berikut : 1) Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak. 2) Mempunyai sifat hak kebendaan (real right) sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW. Sifat dari pada hak kebendaan itu sendiri, yaitu : a. Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang. b. Droit de suite,yaitu hak kebendaan mengikuti benda pada siapapun dia berada. 3) Memiliki hak accessoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya (accessoir), seperti perjanjian kredit.
81
4) Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya (Pasal 1133, 1134 dan 1198 BW) 101
2.2.5 Tata Cara Pembebanan Jaminan Fidusia Pembebanan atau pengikatan tahapan sesuai dengan
jaminan fidusia melalui
beberapa
peraturan yang berlaku yang dimaksud dengan
tahapan-tahapan pengikatan
atau
pembebanan
fidusia adalah
rangkaian
perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta jaminan fidusia sampai dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran fidusia sampai mendapatkan sertifikat jaminan fidusia. Adapun tahap-tahap pengikatan (pembebanan) jaminan fidusia sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : a. Tahap Pertama (Pembuatan Perjanjian Pokok) Tahap pertama didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang. Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya dibuat oleh Kreditur dan Debitur sendiri atau akta otentik artinya dibuat oleh dan di hadapan Notaris. Didahuluinya pembuatan perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit ini sesuai sifat accessoir dari Jaminan Fidusia yang artinya pembebanan Jaminan Fidusia merupakan ikutan dari perjanjian pokok. Pasal 4 Undang-Undang Fidusia menegaskan Jaminan 101
Mariam Darus Badrulzaman, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi UUNo.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri (Persero), Jakarta, 9-10 Mei 2000, (selanjutnya disebut Mariam Daruz Badrulzaman IV), hal. 3-4.
82
Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Perjanjian
jaminan
sebagai
perjanjian
ikutan
(tambahan)
dimaksudkan untuk mendukung secara khusus perjanjian terdahulu yaitu perjanjian pokok (perjanjian kredit) yang telah disepakati dan yang hanya memiliki sifat relatif. Menurut Mochamad Isnaeni: Pada umumnya diakui bahwa segala sesuatu yang memperoleh dukungan akan menjadi lebih kokoh ketimbang saat sebelumnya ketika tidak ada pendukungnya. Begitu pula kalau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok bermula sekedar memiliki sifat relative, sehingga krediturnya hanya berposisi sebagai kreditur konkuren, kalau kemudian didukung oleh perjanjian jaminan (tambahan) yang bersifat kebendaan, mengakibatkan kreditur yang bersangkutan berubah posisi menjadi kreditur preferen dengan hak-hak yang lebih istimewa.102 b. Tahap Kedua (Pembuatan Akta Jaminan Fidusia) Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan Fidusia yang ditandai dengan pembuatan Akta Jaminan Fidusia ditandatangani Kreditur sebagai penerima Fidusia dan pemberi Fidusia (debitur atau pemilik benda tetapi bukan debitur). Dalam Akta Jaminan Fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal pembuatan juga dicantumkan mengenai waktu atau jam pembuatan akta tersebut. Bentuk Akta Jaminan Fidusia adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris. Pengikatan atau pembebanan fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang
102
Mochamad Isnaeni, 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya, hal. 36.
83
disebut “Akta Jaminan Fidusia”. Akta jaminan fidusia ini haruslah dibuat dengan akta Notaris (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999). Sejalan dengan ketentuan yang mengatur Hipotik dan Hak Tanggungan, maka Akta Jaminan
Fidusia harus dibuat oleh dan di
hadapan pejabat yang berwenang, yaitu Notaris.103
Pasal 1870 KUH
Perdata menyatakan bahwa Akta Notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan
pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di
dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa Undang-Undang Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999) menetapkan perjanjian Fidusia harus dibuat dengan Akta Notaris. 104 Menurut
Ratnawati
W.
Prasadja,
alasan
Undang-Undang
menetapkan bentuk perjanjian pembebanan jaminan fidusia dengan akta notaris adalah : Pertama, akta notaris adalah akta otentik, sehingga memiliki kekuatan pembuktian sempurna; Kedua, obyek jaminan fidusia umumnya adalah
benda bergerak;
Ketiga,
Undang-Undang melarang
adanya fidusia ulang. 105 Kewajiban pembebanan jaminan fidusia dengan akta notaris, adalah merupakan norma yang bersifat memaksa (dwingenrecht). Sudah tentu apabila dibuat hanya dengan akta di bawah tangan, perjanjian jaminan 103
Gunawan Widjaya dan Achmad Yani, OP. Cit, hal. 135.
104
Ibid, hal. 36.
105
Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 131.
84
fidusia itu tidak memiliki eksistensi dan konsekuensinya tidak dapat didaftarkan untuk memenuhi azas publisitas sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang. Secara teoritis fungsi akta adalah untuk kesempurnaan perbuatan hukum (formalitas causa)106, dan akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian lahir sesuai azas “acta publica proban seseipsa”. Bila dibandingkan dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih dapat dipungkiri oleh para pihak. Dengan demikian, akta notaris mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum yang lebih besar dan sempurna dibandingkan akta di bawah tangan.107 Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud, haruslah berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut : (a) Identitas pihak pembeli fidusia, berupa : - Nama lengkap, - Agama, - Tempat tinggal atau tempat kedudukan, - Tempat lahir, - Tanggal lahir, - Jenis kelamin, - Status perkawinan, - Pekerjaan. (b) Identitas pihak penerima fidusia, yakni tentang data seperti tersebut di atas. (c) Haruslah dicantumkan hari, tanggal dan jam pembuatan akta fidusia. (d) Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia. 106
Sudikno Mertokusumo, 1970, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Gunung Agung, Jakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), hal. 121-122. 107
Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 130.
85
(e) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti kepemilikannya. Jika bendanya selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan (inventory), haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut. (f) Berapa nilai penjaminannya. (g) Berapa nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.108
c. Tahap Ketiga (Pendaftaran Jaminan Fidusia) Pada tahap ketiga ini, ditandai dengan pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi Fidusia (domisili debitur atau pemilik benda jaminan fidusia). Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan Pemerintah ini terdiri atas 4 bab dan 14 pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian sertifikat. Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia maupun berada di luar wilayah negara Republik Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Pendaftaran dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Untuk pertama kalinya Kantor 108
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 20.
86
Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah RI. Tapi kini Kantor Pendaftaran Fidusia telah dibentuk pada setiap provinsi di Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup tugas Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut
J.
Satrio
Undang-Undang
Fidusia
menganut
prinsip
pendaftaran jaminan fidusia. Sekalipun dalam pasal 11 Undang-Undang Fidusia
disebutkan
”benda
yang
dibebankan
jaminan
fidusia
wajib
didaftarkan”, tetapi sebaliknya dibaca ”jaminan fidusia” harus didaftarkan, karena dari ketentuan-ketentuan lebih lanjut dapat diketahui bahwa demikian itulah yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.109 Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh kreditur atau kuasanya atau wakilnya. Dalam prakteknya kreditur memberikan kuasa kepada Notaris yang membuat akta jaminan fidusia untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia dimaksud. Adapun tujuan pendaftaran jaminan fidusia adalah : 1. Untuk
memberikan
kepastian
hukum
kepada
para
pihak
yang
berkepentingan. 2. Memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada penerima fidusia terhadap kreditur yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang menjadi obyek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan (Penjelasan
109
J. Satrio II, Op. Cit, hal. 175.
87
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia).110 Prosedur dalam pendaftaran jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia disajikan berikut ini: 1. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa, atau wakilnya pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Permohonan itu diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Permohonan pendaftaran itu dengan melampirkan pernyataan pendaftaran fidusia. Pernyataan itu memuat: a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; b. Tempat, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat; c. Kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; d. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; e. Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia; f. Nilai penjaminan; dan g. Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fidusia. Permohonan itu dilengkapi dengan: a. Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia;
110
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim HS III), hal. 21.
88
b. Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia; c. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia (Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia). 2. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. 3. Membayar biaya pendaftaran fidusia Biaya pendaftaran fidusia diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akra Jaminan Fidusia. Biaya pembuatan pendaftaran fidusia ditentukan secara berjenjang. Biaya pendaftaran fidusia disesuaikan dengan besarnya nilai penjaminannya. Apabila nilai penjaminannya kurang dari Rp 50.000.000, maka besarnya biaya pendaftarannya paling banyak Rp 50.000. Besarnya biaya pendaftaran fidusia ini adalah 1 per mil dari nilai penjaminan (nilai kredit). Walaupun biaya pembuatan akta jaminan telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah, namun para notaris juga telah menentukan tarif yang dikenakan kepada nasabah. Tarif yang ditentukan oleh notaris sebesar 2 % dari nilai jaminan. Oleh karena itu, diharapkan ke depan para notaris dapat memungut biaya dari nasabah sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
89
4.
Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia. Hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia adalah: a. Dalam judul sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat jaminan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri; b. Di dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan hal-hal berikut ini: 1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia, 2) Tempat,
nomor
akta jaminan
fidusia,
nama, dan tempat
kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; 3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; 4) Uraian mengenai obyek benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia; 5) Nilai penjaminan; 6) Nilai benda yang menjadi obyek benda jaminan fidusia. 5.
Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.
BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
3.1 Pendeskripsian Musnahnya Perjanjian Kredit
Benda
Jaminan
Fidusia
Dalam
Dalam praktek perkreditan yang sesungguhnya, ternyata jaminan merupakan hal yang sangat diutamakan oleh bank daripada sekedar jaminan berupa keyakinan bahwa debiturnya akan membayar kembali kredit tersebut. Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak dilarang untuk meminta jaminan kepada pihak debitur, hal tersebut mempunyai dasar hukum yang sangat kuat sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya. Dengan demikian, maka hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan sebagai jaminan untuk kredit. Perjanjian kredit dengan meminta jaminan dari debitur dimaksudkan untuk mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan tetapi tidak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi dengan penggunaan benda jaminan bergerak memiliki resiko yang sangat besar karena pihak debitur bisa saja melakukan fidusia ulang dengan mengalihkan hak kepemilikan
benda
jaminan
bergerak
90
kepada
pihak
lain tanpa
91
sepengetahuan kreditur sebagai penerima fidusia. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Pada bagian Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, hal tersebut disebabkan karena hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia (constitutum poosessorium). Resiko lain yang dapat terjadi adalah dengan musnahnya barang jaminan. Dalam peraturan yang mengatur tentang fidusia, tidak ditemukan defenisi dalam aturan tersebut tentang istilah ”musnahnya” barang jaminan. Namun, sejauhmana mengartikan musnahnya barang jaminan dalam penelitian ini perlu dipertegas. Berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapatlah diartikan bahwa yang dimaksudkan dengan ”musnah” adalah lenyap, binasa atau hilang.111 Dengan demikian, musnahnya barang jaminan fidusia dalam penulisan ini adalah barang yang dijadikan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit telah lenyap atau hilang. Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang resiko terhadap musnahnya benda jaminan, maka dapatlah dikaji dengan memperhatikan pendapat Subekti, yaitu resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
111
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 767.
92
barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.112 Resiko merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Sebagai contoh, pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa di luar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang atau obyek sewa. Musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : a) Musnah secara total (seluruhnya) Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal. b) Musnah sebagian Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati
112
Subekti, Aneka Perjanjian, hal. 92
93
kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu : 1. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa. 2. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa. Terkait dengan musnahnya
barang jaminan sebagaimana
yang
dipaparkan pada bagian sebelumnya ini, telah memberikan gambaran bahwa yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang khususnya yang menjadi jaminan ada dua yaitu musnah secara total dan musnah sebagian. Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensikonsekuensinya secara sendiri. Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam pengaturan normanormanya masih belum dapat menjawab permasalahan dalam hal jaminan fidusia, khususnya mengartikan musnahnya barang jaminan. Sehingga diartikan dengan berpedoman pada kamus bahwa yang dimaksudkan dengan musnah dalam pengkajian ini adalah hilangnya, rusaknya barang yang dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.
94
3.2 Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur Terhadap Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit
Terkait dengan musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit tidak diuraikan yang dimaksud dengan musnahnya benda jaminan. Namun, pada bagian sebelumnya pada bab ini telah dipertegas bahwa yang dimaksudkan dengan musnahnya barang jaminan adalah lenyap atau hilang. Kondisi musnahnya barang jaminan dapat diklasifikasikan pada musnah seluruhnya atau musnah sebagian. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat dari musnahnya barang jaminan. Terkait dengan musnahnya barang jaminan hanyalah disebutkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek jaminan adalah salah satu bagian atau alasan dari hapusnya jaminan fidusia. Hal tersebut sebagaimana dikaji secara rinci pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada Pasal 25 ayat (1) mengatur bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Pada ayat (2) ditambahkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b. Sehingga tidak nampak secara rinci yang dimaksudkan
95
dengan musnahnya benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut. Namun berdasarkan penafsiran yang dilandasi pada pengertian secara umum dari kata ”musnah”, maka diartikan sebagai lenyap atau hilangnya barang yang menjadi objek jaminan. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia yang dikenal dengan prinsip ”droit de suite” yaitu hak mutlak atas kebendaan. Pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Benda persediaan adalah benda yang telah ada selain dari benda pokok jaminan yang dijadikan jaminan fidusia. Benda persediaan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) boleh dialihkan oleh debitur tetapi wajib diganti dengan benda yang setara, kecuali apabila telah terjadi cidera janji oleh debitur dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga. Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya barang jaminan dalam perjanjian kredit adalah sebuah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi. Di sini akan muncul perbedaan antara tanggung jawab dan kewajiban. Terkait dengan penelitian ini, maka dapatlah dijelaskan bahwa istilah ”tanggung jawab” diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal tersebut)
96
bertanggungjawab
atau
sesuatu
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 113
”Kewajiban” adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sesuatu yang harus dilaksanakan, sesuatu yang berkenaan dengan tugas atau pekerjaan. 114 Dengan demikian dapat disimpulkan secara ringkas bahwa tanggungjawab lebih luas maknanya dibandingkan kewajiban. Sebab tanggung jawab berisiko pada akibat dari sesuatu atau sesuatu yang dilaksanakan dengan mempertegas pada konsekuensi, sedangkan kewajiban hanya terfokus pada sesuatu yang harus dilaksanakan tanpa menekankan pada konsekuensi. Penelitian ini mengkaji sejauhmana tanggungjawab dari salah satu pihak (debitur) terhadap musnahnya barang jaminan. Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor. Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa : a. Tidak melakukan prestasi sama sekali. b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Risiko merupakan suatu akibat dan suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Apabila 113
Depdiknas, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 739.
114
--------------, 1979, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, hal. 795.
97
debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat mengembalikan kredit tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi atas barang yang menjadi jaminan fidusia adalah pihak bank harus memberitahukan secara tertulis kepada mereka agar segera menyerahkannya kepada bank. Setelah barang dikuasai oleh bank, maka tindakan selanjutnya melaksanakan eksekusi jaminan fidusia. Terhadap risiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mengatasi risiko, yaitu : 1. Menerima risiko, apabila suatu risiko yang dihadapi oleh seseorang diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari, mencegah, memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada keuntungannya, maka orang yang menghadapi risiko itu mungkin akan mengambil sikap, bahwa ia akan menerima saja risiko itu. Dengan kata lain ia akan pasrah saja. 2. Menghindari risiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara menghadapi masalah yang penuh dengan risiko. Seseorang yang menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang penuh risiko, berarti dia berusaha menghindari risiko itu sendiri. 3. Mencegah risiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga akibat yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi atau dihindari.
98
4. Mengalihkan risiko, bahwa seseorang yang menghadapi risiko meminta orang lain untuk menerima risiko tersebut. Ini dilakukan dengan memperalihkan risiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian. Beberapa cara mengatasi risiko maka pengalihan risiko merupakan cara yang paling efektif, karena dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain yang telah disepakati tentunya pihak tersebut bersedia mengambil alih risiko. Hal demikian berarti bahwa jika risiko atau peristiwa yang tidak pasti benarbenar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung peralihan risiko tersebut adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan asuransi. Besarnya uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan akibat yang ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan, kehilangan, dan cacat. Namun, setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan beban ganti rugi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
99
didasarkan
atas
meninggalnya
atau
hidupnya
seseorang
yang
dipertanggungkan. Dari pengertian tersebut, manusia dalam mengarungi kehidupannya dan dalam setiap kegiatannya selalu berhadapan dengan risiko. Setiap orang yang ingin memperkecil risiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti dapat dilakukan dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat menimbulkan risiko. Perusahaan asuransi tidak memberikan ganti rugi sepenuhnya atas benda jaminan fidusia yang musnah tersebut, yang mengakibatkan bank masih mengalami kerugian maka bank meminta kepada debitur untuk menutup sisa kerugian yang timbui dengan beberapa cara : 1. Dengan cara pengembalian langsung sisa kerugian yang tidak diganti sepenuhnya oleh perusahaan asuransi. 2. Jika debitur belum dapat mengembalikan sepenuhnya kerugian yang timbul tanpa
melalui
perusahaan
asuransi
karena
benda
jaminan
tidak
diasuransikan maka debitur meminta kebijakan kepada kreditur untuk diberikan tenggang waktu pengembalian dari tenggang waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, dan juga keringanan terhadap nilai pinjaman yang harus dilunasi oleh debitur. Tanggung jawab debitur terhadap jaminan benda bergerak yang hilang adalah tetap mengembalikan pinjaman kredit kepada kreditur. Jika benda bergerak yang diasuransikan hilang maka debitur tetap mempertanggungjawabkan
100
pengembalian pinjaman kredit melalui perusahaan asuransi kepada kreditur, walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi dimana benda jaminan diasuransikan. Sisa dari pinjaman kredit yang belum lunas tetap dilunasi oleh pihak debitur. Tetapi jika benda jaminan bergerak tidak diasuransikan ternyata musnah maka debitur bertanggung jawab penuh dalam pengembalian pinjaman kredit kepada kreditur. Hal ini dikarenakan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak bank. Pada dasarnya setiap perjanjian kredit yang dilaksanakan tidak merugikan pihak bank, walaupun dalam pelaksanaan perjanjian kredit itu benda jaminan musnah. Mengenai perpindahan atau pengalihan hak milik dimaksud haruslah tetap mengacu kepada sistem hukum jaminan yang berlaku, yaitu bahwa pihak penerima jaminan atau kreditur tidak dibenarkan menjadi pemilik yang penuh atas benda tersebut, artinya kewenangan kreditur hanyalah kewenangan yang berhak atas benda jaminan dalam hal ini hanya hak kepemilikan yang beralih sedangkan benda jaminan masih dikuasai oleh pemberi fidusia. Konsekuensi hukum jika timbul masalah atau gugatan karena kesalahan (kesengajaan atau kekuranghati-hatian) dari pemberi fidusia sehubungan dengan penggunaan atau pengalihan benda jaminan fidusia, maka pihak penerima fidusia dibebaskan dari tanggung jawab. Dengan kata lain pihak pemberi fidusia yang bertanggung jawab penuh. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 24 UU. No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa :
101
“Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari pihak pemberi fidusia, baik yang timbul karena hubungan kontraktual atau timbul dari perbuatan melanggar hukum, sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.”
Dengan demikian di dalam setiap peijanjian kredit yang dilakukan adanya pengikatan atau perlindungan terhadap benda jaminan debitur melalui perusahaan asuransi khususnya terhadap benda jaminan bergerak merupakan syarat penting yang bertujuan untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan di kemudian hari. Sehingga dengan demikian pihak bank dapat menuntut ganti rugi kepada perusahan asuransi, dimana benda jaminan itu diasuransikan walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi tersebut.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
4.1 Dasar Hukum Penyelesaian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank
Dasar hukum pengaturan Jaminan Fidusia secara umum diatur oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UndangUndang Fidusia). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa fidusia ialah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Obyek atau benda-benda yang dapat dibebani jaminan fidusia antara lain: 1) Benda bergerak berwujud, contohnya: kendaraan bermotor seperti mobil, bus, truck, sepeda motor; 2) Barang bergerak tidak berwujud, contohnya: wesel; sertifikat deposito; saham; obligasi; deposito berjangka; dan lain sebagainya;
102
103
3) Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan; 4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan; 5) Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah orang lain; 6) Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun piutang yang diperoleh kemudian hari. Pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjelaskan hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut yaitu: 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; 2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur); 3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Penyelesaian hukum bagi permasalahan yang terkait dengan musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank tidak terlepas dari memperhatikan sifat-sifat dari Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, yaitu :
a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya atau hapusnya
104
tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite. Jaminan fidusia memiliki sifat droit de suite ini mengikuti sifat droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang memiliki sifat droit de suite artinya penerima Jaminan Fidusia atau Kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini dikecualikan untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan tersebut
105
merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk diperdagangkan. Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truk oleh pemilik benda dijual kepada pihak lain, maka dengan sifat droit de suite, jika debitur cidera janji kreditur sebagai penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur
untuk mengeksekusi benda jaminan
(obyek fidusia) itu.
c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut. Contoh Bank Nasional Indonesia (BNI) memberikan kredit kepada B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN) tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika debitur cidera janji, maka BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari
106
hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan BTN baru mendapatkan pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar dari pelunasan seluruh hutang B kepada BTN.
d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada. Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu : 1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit
merupakan jumlah utang maksimum atau
disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia. 2. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau
107
yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar bank garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima bank garansi (pihak yang dijamin). 3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening koran
yang
meliputi
penarikan
hutang
pokok,bunga,denda
keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.
e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang
108
kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin kepada semua kreditur itu secara bersama. Antara kreditur satu dengan kreditur lainnya mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan fidusia, tidak ada kreditur yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain. Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur. Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi maupun secara bilateral atau masing-masing kreditur.
109
f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial Kreditur
sebagai
penerima
fidusia
mempunyai
hak
untuk
mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur apabila debitur cidera janji, kreditur
sebagai penerima fidusia mempunyai hak
untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa”
mempunyai
kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari Pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda jaminan dinamakan Parate Eksekusi.
110
g. Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia. Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga masyarakat akan berhati-hati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.
111
h. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat ini. Sifat ini sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan janji bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik debitur jika debitur cidera janji maka oleh Undang-Undang janji semacam itu batal demi hukum. Batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dilaksanakan (vide Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). Sifat-sifat atau karakteristik dari jaminan fidusia sebagaimana diuraikan di atas sesuai atau selaras dengan azaz-azas yang ada dalam lembaga jaminan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa peraturan perundang–undangan Indonesia mengatur tentang azas-azas jaminan yang garis besarnya sebagai berikut : 1. Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
112
2. Mempunyai sifat hak kebendaan (real right) sebagaimana diatur dalam Pasal 528 KUH Perdata. Sifat dari pada hak kebendaan itu sendiri, yaitu : a. Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang. b. Droit de suite,yaitu hak kebendaan mengikuti benda pada siapapun dia berada. 3. Memiliki hak accessoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya (accessoirum), seperti perjanjian kredit. 4. Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya (Pasal 1133, 1134 dan 1198 KUH Perdata) Berdasarkan
sifat-sifat
jaminan
fidusia
sebagaimana
diuraikan
sebelumnya, maka dapatlah dijelaskan bahwa konsekuensi dari perjanjian accessoir apabila perjanjian induk atau perjanjian pokok tidak sah atau karena sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku karena berakhirnya perjanjian pokok, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian accessoir juga ikut menjadi batal atau juga ikut berakhir. Pemberlakuan aturan ini mempunyai arti akta otentik yang berupa akta jaminan fidusia dapat gugur karena akta perjanjian utang yang dibuat di bawah tangan cacat hukum. Dalam hal piutang beralih kepada kreditur lain atau baru, maka jaminan fidusia yang menjaminnya demi hukum ikut beralih kepada kreditur baru. Jaminan fidusia bukan jaminan yang berdiri sendiri tetapi keberadaannya atau hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya yang
113
menimbulkan kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi yang dapat dinilai dengan uang, walaupun perjanjian pokoknya dibuat secara otentik maupun di bawah tangan, baik dibuat di Indonesia maupun di luar negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menegaskan secara jelas bahwa Jaminan Fidusia adalah agunan atau kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang didahulukan kepada penerima fidusia. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan pemberi fidusia. Penegasan dimaksud menghilangkan keraguan dan pendapat bahwa jaminan fidusia tidak menimbulkan hak agunan atas kebendaan, melainkan hanya merupakan perjanjian obligatoir
yang melahirkan hak
yang bersifat
persoonlijk
(perorangan) bagi kreditur. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menentukan bahwa jaminan fidusia diberikan sebagai agunan bagi pelunasan utang. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berbunyi : ”Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur.”
114
Pasal 1 ayat (7) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur lebih lanjut jenis utang yang pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan fidusia. Sehubungan dengan kedua ketentuan dimaksud perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut adalah perikatan dalam Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Utang yang lahir karena Undang-Undang adalah misalnya kewajiban membayar ganti rugi karena perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) dan negotiorum gestio atau zaakwarneming seperti diatur dalam Pasal 1354-1357 KUH Perdata.
4.2 Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank
Perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan hak kepemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi fidusia ingkar janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan itu atau dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai dengan hak preferensi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kreditur. Selain itu, bahwa fidusia merupakan perjanjian yang memiliki sifat accessor dan berkarakter kebendaan. Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk menanggulangi utang, karena itu jaminan merupakan sarana perlindungan bagi para kreditur yaitu kepastian akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh
115
debitur atau penjamin debitur. Secara hukum baik jaminan kebendaan maupun perorangan, keduanya merupakan sarana untuk menanggulangi utang. Dalam berbagai literatur, jika mengkaji tentang jaminan selalu dikaitkan pada hak kebendaan karena dalam KUH Perdata jaminan merupakan hak kebendaan yang diatur dalam Buku II, sedangkan sebenarnya ada jenis jaminan lain yang dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III yaitu tentang perjanjian penanggungan (bortoght) yang merupakan jaminan perorangan. Baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan merupakan sarana perlindungan bagi para kreditur. Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan untuk suatu ketika, apabila debitur ingkar janji dapat diuangkan bagi pelunasan suatu utang. Pembahasan tentang jaminan diarahkan kepada berbagai jenis cara kreditur untuk menjamin dipenuhi tagihannya dan memberikan kewajiban debitur untuk memberikan harta kekayaannya untuk diambil kreditur sebanyak utang debitur.
Kewajiban debitur tersebut dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata.
Kedua pasal ini
mengatur semua barang bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan bagi semua perikatan perorangannya. Barang-barang
itu
menjadi
jaminan
bagi
semua
krediturnya.
Hasil
penjualannya akan dibagi menurut perbandingan besarnya piutang masing-
116
masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada yang memiliki alasan yang sah menurut hukum untuk didahulukan pembayarannya. Hal tersebut di atas menjadi kaitan diperlukannya lembaga jaminan, karena seorang debitur itu tidak bisa dipaksa (secara fisik) membayar hutangnya di luar kehendaknya sendiri, sekalipun dengan putusan hakim. Pemaksaannya bisa dilakukan dengan penjatuhan uang paksa (dwangsom) dalam suatu putusan hakim, namun uang paksa sebenarnya hanya satu upaya agar debitur atas kesediaannya sendiri bersedia membayar hutangnya (melakukan perbuatan hukum tertentu). Apabila debitur tidak membayar hutangnya (tidak melakukan perbuatan hukum sendiri) pada waktunya sebagaimana yang ditentukan dalam putusan hakim, maka ia bisa dikenakan uang paksa untuk setiap hari keterlambatan pembayaran. Uang paksa itu harus dibayarnya kepada kreditur. Dalam hal seorang debitur tetap tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, maka yang bisa dilakukan oleh Pengadilan adalah melakukan sita eksekutorial atas harta kekayaan debitur atas permintaan kreditur. Dengan adanya sita eksekutorial ini kemudian diikuti pelelangan di muka umum. Hasil penjualan lelang tersebut diserahkan kepada kreditur sebagai pelunasan atas piutangnya. Langkah ini bisa dilakukan kalau debitur masih memiliki barang-barang yang dapat disita dan dijual di muka umum.
117
Di lain pihak, dalam hal eksekusi untuk kepentingan beberapa orang kreditur pada saat yang bersamaan, karena seorang kreditur melakukan gugatan bersama-sama dengan beberapa kreditur lainnya, maka semua hasil penjualan atas harta kekayaan debitur dibagi secara seimbang. Namun, hal tersebut menimbulkan rasa tidak aman oleh para kreditur untuk itulah diperlukannya lembaga penjamin. Dalam menganalisis jaminan fidusia tersebut baik yang terdapat dalam putusan-putusan Pengadilan maupun perjanjian fidusia yang terjadi dalam praktek perbankan dan
peraturan perundang-
undangan yang mengatur jaminan fidusia, diperlukan pendekatan system (approach
system).
Maksud
menggunakan
pendekatan
sistem
adalah
mensyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum jaminan fidusia yang dihadapi
dengan
tujuan
untuk
menghindarkan
pandangan
yang
menyederhanakan persoalan jaminan fidusia sehingga menghasilkan pendapat yang keliru. Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum. 115 Berdasarkan teori sistem ini dapat dirumuskan bahwa sistem hukum jaminan kebendaan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi, dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan suatu sistem hukum. 115
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman V), hal. 15.
118
Hukum jaminan fidusia bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan norma-norma hukum yang masing-masing berdiri sendiri melainkan peraturan hukum jaminan fidusia memiliki arti yang penting dalam kaitannya dengan norma-norma hukum lain dari jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan perkataan lain, norma hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang berinteraksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan dari Undang-Undang tersebut. ”Kesatuan jaminan fidusia sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan harus diterapkan terhadap kompleks unsurunsur yuridis seperti peraturan hukum jaminan fidusia, asas hukum dan pengertian hukumnya.” 116 Pendekatan sistem terhadap pemecahan jaminan fidusia akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari sistem hukum yaitu budaya hukum.117 Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).118
116
Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 102. 117
118
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 167.
Lawrance M Friedman, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, New YorkLondon, hal.5-6 dikutip oleh Tan Kamello, Op.Cit, hal. 21.
119
4.3 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank
Prinsip hukum bahwa dalam Undang-Undang melalui ketentuannya adalah hendak melindungi pihak atau orang tertentu, maka Undang-Undang memberikan suatu hak tertentu kepada orang atau pihak yang bersangkutan dan dalam peristiwa demikian, maka terserah kepada pihak atau orang yang hendak dilindungi untuk menggunakan atau tidak hak tersebut. Perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam pengkajian ini adalah terkait dengan pihak pemberi fidusia (debitur) dan penerima jaminan fidusia (kreditur). Persoalan perlindungan hukum para pihak dalam jaminan fidusia adalah mengenai eksekusi. Sertifikat jaminan fidusia ini merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila pemberi fidusia (debitur) ingkar janji, kreditur dapat langsung meminta eksekusi tanpa melalui gugatan. Masalah perlindungan hukum terletak pada perlindungan penerima fidusia dalam menghadapi pemberi fidusia yang beritikad buruk. Terkait dengan jaminan fidusia sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya dari penelitian ini, maka untuk merealisasikan asas publisitas dan asas spesialitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menggunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini pun
120
diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada penerima fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut. Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian secara sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa penting menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Apalagi mengingat obyek jaminan fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka bentuk akta otentik dianggap menjamin kepastian hukum berkenaan dengan obyek jaminan fidusia. Sedangkan untuk memenuhi asas spesialitas, maka dalam akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris memuat mengenai uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda tersebut dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Kalau benda yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, maka dalam akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut. Demi memenuhi asas publisitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal baru yaitu mengenai pendaftaran jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum tidak saja
121
kepada para pihak tetapi juga kepada pihak ketiga serta menimbulkan hak untuk didahulukan bagi penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Proses pendaftaran akta jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan Pemerintah itu terdiri dari 4 bab dan 14 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah meliputi pendaftaran fidusia dan biaya perbaikan sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian sertifikat. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur : (1) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. (2) Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.
Pendaftaran yang dimaksudkan dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia yang dimaksudkan ini berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang lengkapnya sebagai berikut : (1) Pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia;
122
(2) Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (3) Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman. (4) Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia untuk daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan Keputusan Presiden. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat : 1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; 2. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; 3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; 4. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; 5. Nilai penjaminan; 6. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia ini dilakukan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF). Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia, baik berada di Indonesia maupun di luar Indonesia wajib didaftarkan di KPF di tempat kedudukan pemberi fidusia. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
123
tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) yang menerima pendaftaran tersebut akan memuat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan hanya untuk melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Berdasarkan pendaftaran jaminan fidusia tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan sertifikat jaminan fidusia kepada penerima fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Pasal 13 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menguraikan sebagai berikut : 1) Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia. 2) Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia; c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; d. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia; e. Nilai penjaminan; dan f. Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. 3. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
124
Apabila terjadi kekeliruan penulisan dalam sertifikat jaminan fidusia yang telah diterima oleh pemohon, maka dalam waktu enam puluh (60) hari setelah menerima sertifikat tersebut pemohon memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Penerima
fidusia
wajib
mengajukan
permohonan
pendaftaran
perubahan, jika selama fidusia dipasang terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia. Perubahan tersebut harus diberitahukan kepada para pihak dan tidak perlu dibuat dengan akta notaris. Berdasarkan perubahan tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia akan melakukan pencatatan perubahan tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan dalam Buku Daftar Fidusia dan akan diterbitkan pernyataan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sertifikat jaminan fidusia. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada terbuka untuk umum. Hal tersebut diatur berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia : (1) Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2),
Penerima
Fidusia
wajib
mengajukan
permohonan
pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
125
(2) Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan tersebut dalam Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia. Di samping itu, sertifikat jaminan tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan terhadap substansi. Bahwa yang dimaksud dengan perubahan substansi antara lain perubahan objek jaminan fidusia berikut dokumen terkait, perubahan penerima jaminan fidusia berikut dokumen, perubahan perjanjian pokok yang dijamin fidusia, dan perubahan nilai jaminan. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Segala keterangan mengenai Benda Fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum. Pengalihan
hak
atas
piutang
yang
dijamin
dengan
fidusia
mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru. Namun, penerima fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian pemberi fidusia baik yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Apabila terjadi pengalihan jaminan fidusia, maka pengalihan ini harus didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor
126
Pendaftaran Fidusia. Hal tersebut di atas diuraikan berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, secara lengkap mengatur bahwa : (1) Pengalihan hak atas piutang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditur baru. (2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitur maupun penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, karena sebagian hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia. Hal itu dipertegas dengan tidak dikenalnya roya partial seperti halnya Undang-Undang Hak Tanggungan. Berdasarkan asas droit de suit, maka jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut tetap melekat. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal dimaksud. Apabila utang dari pemberi fidusia telah dilunasi olehnya menjadi kewajiban penerima fidusia, kuasanya, atau wakilnya untuk memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) mengenai hapusnya jaminan fidusia yang dikarenakan hapusnya utang pokok. Pemberitahuan itu
127
dilakukan paling lambat tujuh hari setelah hapusnya jaminan fidusia. Dengan diterimanya surat pemberitahuan tersebut, maka ada dua hal yang dilakukan Kantor Pendaftaran Fidusia, yaitu sebagai berikut : 1. pada saat yang sama mencoret pencatatan jaminan fidusia dari dafatar fidusia ; dan 2. pada tanggal yang sama dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia dari buku daftar fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan
yang
menyatakan
”sertifikat
jaminan
fidusia
yang
bersangkutan tidak berlaku lagi.” Selain itu, perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur pemberi fidusia, maka pendaftaran ikatan jaminan atas benda tidak terdaftar sesungguhnya tidak cukup melindungi kepentingan kreditur terhadap pihak ketiga. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan atau inventory, maka kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan baik jumlah, perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut sulit terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum. Selain itu, sistem pendaftaran dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia untuk sementara hanya bermanfaat bagi kreditur besar dengan jaminan yang mempunyai nilai besar saja. Debitur dari sektor unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat sulit diterapkan karena hanya
128
golongan tertentu khususnya pengusaha yang bermodal kuat saja yang dapat memanfaatkan keberadaan Undang-Undang ini. Hal-hal tersebut di atas menggambarkan kerancuan dalam peraturan norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Sebab, eksistensi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak berdasar pada asas hukum, seakan-akan dibuat secara tergesa-gesa dan tidak melewati kajian secara akademis yang memadai. Berkaitan dengan dibuatnya suatu aturan hukum agar adanya ketertiban, keteraturan dan memberikan kepastian hukum khususnya bagi pelaku usaha dengan adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Artinya bahwa dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha, ternyata yang terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan ketidak pastian hukum atau legal uncertainty. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak yang dirugikan. Hal lain yang harus diperhatikan bagi keberlakuan suatu aturan hukum menyangkut aspek moral, aspek sosial, dan aspek yuridis. Berkaitan dengan tiga aspek tersebut Meuwissen dalam bukunya Rechtstheorie menegaskan bahwa hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang kita namakan
129
keberlakuan (gelding). Sebagaimana yang kita lihat, keberlakuan itu mengenal atau memiliki tiga aspek, yakni aspek moral, aspek sosial,dan aspek yuridis. 119 Jika
pendapat
Meuwissen dihadapkan dengan eksistensi Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya memenuhi aspek yuridis saja sementara aspek moral, aspek sosial, dan aspek filosofi pada dasarnya belum terpenuhi. Sementara sasaran yang ingin dicapai guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum, serta ketertiban dalam masyarakat khususnya lembaga-lembaga pemberi kredit dalam kaitannya dengan benda yang difidusiakan tidak tercapai secara efektif. Praktik pembuatan aturan perundang-undangan seperti itu harus dicegah karena membebani masyarakat dengan problematika hukum baru. Jika membahas perlindungan hukum, maka terkait pula dengan kepastian hukum. Sebab, bagaimana mungkin melakukan perlindungan hukum sementara aturan hukum yang menjadi acuan untuk menilai sah tidaknya atau dilakukannya suatu pelanggaran hukum memiliki ketidakpastian hukum hanya karena aturan yang tidak jelas. Sehingga, perlu dipertegas dalam klausula suatu peraturan perundang-undangan. Dari hal-hal yang diuraikan di atas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum dapat memberikan perlindungan
119
D.H.M. Meuwissen, 1985, Rechtsteorie dalam Van Apeldoorn’s Inleiding Tot De Studie Van Het Jamiederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 433.
130
hukum jika terjadi Wanprestasi yang dilakukan oleh debitur Pemberi Fidusia. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu : 1. Bahwa pendaftaran ikatan jaminan atas benda tidak terdaftar sesungguhnya tidak cukup melindungi kepentingan kreditur terhadap pihak ketiga. 2. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan atau inventory, maka kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan baik jumlah, perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut sulit terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum. Keberlakuan dekoratif sesungguhnya memiliki potensi memunculkan masalah hukum baru yang tentu saja tidak dikehendaki oleh para pelaku bisnis dan pembuat UndangUndang di badan legislatif (DPR-RI), khusus mengenai objek barang fidusia berupa inventory, barang komoditi agro telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. 3. Dari sisi praktis, sistem pendaftaran dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia untuk sementara hanya bermanfaat bagi kreditur besar dengan jaminan yang mempunyai nilai besar saja. Debitur dari sektor unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat sulit memanfaatkan keberadaan Undang-Undang ini bagi pengembangan usaha mereka. Sifat universalitas aturan perundang-undangan menjadi sulit diterapkan karena karena hanya golongan tertentu khususnya pengusaha
131
yang bermodal kuat saja yang dapat memanfaatkan keberadaan UndangUndang ini. 4. Keberadaan Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) di ibu kota provinsi sangat menyulitkan pelaksanaan pendaftaran fidusia, karena belum semua provinsi memiliki fasilitas transportasi yang memadai sehingga tidak memberikan manfaat dari segi kepraktisan. Terlebih bagi pemberi fidusia yang bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan pendaftaran akan menimbulakn biaya yang tidak sedikit sedangkan waktu yang digunakan juga cukup lama. Ini tidak menunjang kondisi bisnis yang mempunyai filosofi waktu adalah uang (time is money). 5. Akta jaminan fidusia yang seharusnya didaftarkan ternyata di dalam kenyataannya sebagian besar tidak didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia (KPF). Dengan tujuan ingin menciptakan keteraturan dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha,
ternyata
yang
terjadi
sebaliknya,
yaitu
ketidakteraturan
dan
ketidakpastian hukum atau legal uncertainty. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak dapat berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak yang dirugikan.
BAB V PENUTUP
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang dikemukakan untuk
diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa : 5.1.1. Pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 adalah debitur tetap bertanggung jawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan. Jika benda jaminan fidusia diasuransikan maka akan dilunasi oleh perusahaan asuransi dimana benda jaminan fidusia diasuransikan sesuai dengan isi perjanjian, jika benda jaminan fidusia tidak diasuransikan maka debitur bertanggung jawab penuh mengembalikan pinjaman kredit. Hal ini dikarenakan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak bank, walaupun benda jamian fidusia musnah. 5.1.2. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah. Hadirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumbe
132
133
pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha ternyata yang terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan ketidakpastian hukum atau ”legal uncertainty”. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak berhalan secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan.
5.2.
Saran
5.2.1. Setiap benda yang menjadi objek jaminan fidusia seharusnya diasuransikan
terlebih
dahulu.
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
mengantisipasi musnahnya benda jaminan, dimana dengan musnahnya benda jaminan tersebut tidak menghapuskan piutang yang belum dihapus. Walaupun perusahaan asuransi tidak membayar spenuhnya, tetapi perusahaan asuransi dapat meringankan beban debitur untuk mengembalikan sisa pinjaman kredit. 5.2.2. Diharapkan kepada DPR agar merevisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimana dapat dikatakan UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia saat ini hanya memenuhi aspek yuridis saja sementara aspek moral, aspek sosial dan aspek filosofi belum terpenuhi. Sementara sasaran yang ingin dicapai guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum, serta ketertiban dalam masyarakat tidak tercapai secara efektif.
134
DAFTAR PUSTAKA
I.
Buku – Buku
Ali Chaidir, 1976, Badan Hukum, Alumni, Bandung. Ashshofa Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2008, Penetitian Hukum tentang Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 1981, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Alumni, Bandung. --------------, 1983, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Buku II Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung. --------------, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung. --------------, 1979, Bab-Bab Tentang Crediet Verband, Gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung. --------------, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Makalah Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, BPHN Hukum dan Perundang-Undangan RI Bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri. Budi S. Totok, Sri Susilo, Sigit Triandaru, 2000, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta. Campbell Henry Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sicth Edition, West Publishing Co, St. Paul, Mina. Curzon I. B., 1979, Jurisprudence, Macdonal & Evan Ltd, Estover Plymouth. Dirjosisworo Soedjono, 2003, Kontrak Bisnis Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan Praktek Dagang Internasional, Mandar Maju, Bandung. Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
135
Djumhana Muhamad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Friedman Lawrence, M, 1984, American Law, W.W. Norton-company, New York, London. Friedman, W, 1979, Legal Theory, Columbia University Press, New York. Fuady Munir, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. --------------, 2003, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hadisoeprapto Hartono, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta. Hadjhon Philipus, M, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya. Hay Marhainis Abdul, 1975, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramiota, Jakarta. Hermansyah, 2003, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. --------------, 2007, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta. HS Salim, 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. --------------, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. --------------, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ibrahim Johannes, 2004, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung. Isnaeni Mochamad, 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya. Kamelo Tan, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung. Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Khoidir, M, 2005, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, Laks Bank Pressindo, Yogyakarta.
136
Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta. Mertokusumo Sudikno, 1970, Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangannya Di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Gunung Agung, Jakarta. --------------, 1988, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Meuwissen, D.H.M, 1985, Rechtsteorie Dalam Van Apeldorn’s Inteiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwdle. Muhamad Abdulkadir, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung. Naja H.R. Daeng, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2006, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar-Bali. --------------, 2007, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar-Bali. Parlindungan A.P, 1988, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. Prakoso Djoko dan Riyadilany Bambang, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Sastrawidjaja Man Suparman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung, Satrio, J, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung. --------------, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kebendaan
Hak
Sembiring Sentosa, 2000, Hukum Perbankan, Alumni, Bandung. Setiawan R., 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung. Sidharta B. Arief, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Soebekti, R, 1975, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung. --------------, 1978, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung.
137
--------------, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. Soekanto Soerjono, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta. --------------, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta. --------------, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sofwan Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta. Sunggono Bambang, 1995, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Jakarta. Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung. Suyatno Thomas, 1993, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Syahdeini Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta. Syahrani Ridwan, 1985, Seluk Beluk dan Azas-Azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung. Tunggal Hadi Setia dan Liliawati Muljono Eugenia, 1996, Eksekusi Grosse Akta Hipotik Oleh Bank, Rineka Cipta, Jakarta. Tje'Aman Edy Putra, 1989, Kredit Perbankan – Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta. Untung Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta. Usman Rachamdi, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta. Veithzal H. Rivai dan Veithzal Andria Permata, B, 2007, Credit Management Handbook : Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Widjaya Gunawan dan Yani Ahmad, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Widjaya Rai, I.G.A, 2003, Merancang Suatu Kontrak, Teori Dan Praktek, Mega Poin, Jakarta.
138
II.
Artikel, Makalah, Tesis
Candrawatie Yenny, 2006, Penerapan Ketentuan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Proses Pengikatan Jaminan Kredit di Kota Denpasar, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 22-23. Purnawan Anak Agung Bagus, 2007, Pembebanan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Kredit Menurut Undang-Undang Fidusia dan Prakteknya pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Badung, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. III. Peraturan Perundang - Undangan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. IV. Kamus Departemen Pendidikan Nasional, 1979, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press. --------------, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. --------------, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Tim Penyusunan Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.