BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBUATAN PERIKATAN JUAL BELI YANG TERINDIKASI WANPRESTASI
A. Hubungan Hukum Antara Notaris Dengan Para Penghadap Hubungan hukum antara notaris dengan penghadap terjadi Ketika penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatannya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan notaris, dan kemudian notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum. Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut
aturan
hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang
bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. 31 Notaris dalam menjamin pembuatan akta otentik, yang harus sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, maka notaris mengklasifikasikan 3 (tiga) subyek hukum yaitu para penghadap, para saksi dan Notaris.
31
Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 57.
23
24
Subjek hukum ini juga harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 39 UUJN yaitu : 1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;dan b. cakap melakukan perbuatan hukum. 2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. 3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta. Kedudukan para penghadap atau para pihak dalam suatu akta notaris dapat dibedakan dalam 3 (tiga) hal : 1. Para penghadap atau para pihak bertindak untuk dirinya sendiri. Apabila pihak yang berkepentingan hadir dan memberikan suatu keterangan dan atau kehendaknya untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dituangkan oleh notaris dalam suatu akta notaris di hadapan notaris dan saksi-saksi. Kemudian dalam akta tersebut juga dinyatakan bahwa penghadap datang dan meminta kepada notaris untuk dibuatkan akta tersebut guna kepentingan para penghadap dan akta tersebut menjadi bukti telah terjadinya perbuatan hukum dan di harapkan akta tersebut dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para penghadap yang berkepentingan, ahli warisnya maupun pihak lain. 2. Para penghadap atau para pihak bertindak untuk mewakili orang lain berdasarkan surat kuasa maupun ketentuan undang-undang. Hal ini dimungkinkan apabila pihak yang berkepentingan tidak dapat hadir sendiri di hadapan notaris, namun demikian undang-undang memberikan syarat bahwa penghadap harus membawa
25
surat kuasa dan bukti-bukti otentik yang menjadi dasar pelimpahan kewenangan pembuatan akta tersebut. 3. Para penghadap atau para pihak bertindak dalam jabatannya dan atau kedudukannya berdasarkan ketentuan undang-undang. Pihak yang hadir dan menandatangani akta di hadapan notaris dalam hal ini bertindak dalam jabatannya atau kedudukannya berdasarkan undang-undang, bukan atas dasar keinginannya ataupun kepentingannya sendiri tetapi untuk mewakili pihak lain. Mengenai ketentuan para saksi diatur dalam Pasal 40 UUJN yaitu: 1) Setiap akta yang dibacakan oleh notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. 2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; b. cakap melakukan perbuatan hukum; c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan. e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. 3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada notaris oleh penghadap. 4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta. Kedudukan saksi dalam pembuatan akta adalah sebagai saksi yang bertanggung jawab sebatas pada formalitas- formalitas peresmian akta / proses suatu akta, akan tetapi saksi akta tersebut tetap dimintakan kesaksiannya. Dengan kondisi tersebut, saksi dalam akta notaris merasa tertekan harus memberikan keterangan tentang isi / materi akta yang memang bukan tanggung jawabnya. Tanggung jawab
26
saksi yaitu melihat kehadiran penghadap, kebenaran penghadap membubuhkan tanda tangan serta melihat dan mendengar akta tersebut dibacakan oleh notaris. Jika akta tersebut tersandung dalam masalah hukum, maka saksi dapat memberikan kesaksian dalam pengadilan yang berkaitan dengan tanggung jawabnya. Saksi dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan kesaksian sebatas tanggung jawabnya dalam melaksanakan kewajibannya yakni dalam melaksanakan perintah atau tugas yang diberikan oleh notaris. Dari sifat kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang dikonstantir itu dan penandatanganan dalam akta itu. Dalam pada itu, para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu, dan bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya. Saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu. Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa kedudukan saksi sangatlah penting dalam proses penyelesaian sebuah akta. Selain itu juga, saksi dapat membantu Notaris, apabila akta tersebut tersandung dalam permasalahan hukum. Saksi akan diminta pertanggungjawaban berkaitan dengan melihat bahwa para penghadap hadir pada saat proses peresmian akta, melihat bahwa akta tersebut benar dibacakan dihadapan penghadap oleh notaris serta bahwa para pihak membubuhkan tanda tangan disertai oleh saksi-saksi. 32 Kekuatan pembuktian dan tanggung jawab notaris hanya sebatas formalitasformalitas akta tersebut. Namun, untuk isi dari akta tersebut merupakan tanggung 32
G.H.S. Lumban Tobing., Op., Cit., hlm 170.
27
jawab notaris. Notaris seharusnya mengerti isi atau klausul dalam akta tersebut dan telah diketahui oleh para pihak, sehingga terjadi sengketa, saksi hanya menjelaskan apa yang diketahuinya tentang formalitas tersebut. Isi akta tetap menjadi tanggung jawab notaris. 33 Mengenai ketentuan notaris diatur dalam Pasal 1 ayat 1 yaitu notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dan dijabarkan dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN yaitu notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Setiap akta yang di buat oleh notaris disamping harus dihadiri oleh penghadap, juga harus dihadiri dan ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali undang-undang menentukan lain. Sejak kehadiran penghadap di hadapan notaris untuk menuangkan tindakan atau perbuatannya dalam bentuk akta otentik, kemudian notaris membuat akta otentik tersebut
sesuai keinginan para
penghadap dengan memperhatikan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh UUJN,
33
Habib Adjie., Op., Cit., hlm 11-12
28
maka sejak penandatanganan akta tersebut oleh para pihak, saksi-saksi dan notaris, disinilah telah terjadi hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap. 34 Kedudukan notaris dalam pembuatan akta adalah notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal dari tanggung jawab Notaris. 35 Landasan terhadap hubungan hukum seperti tersebut di atas, perlu ditentukan tanggung gugat notaris apakah dapat berlandaskan kepada wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) atau pemberian kuasa (lastgeving), perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan. Sampai saat ini di Indonesia, khususnya di kalangan notaris masih dianut ajaran bahwa pertanggungjawaban notaris dalam hubungannya dengan para pihak yang menghadap, disamping berdasarkan UUJN, juga berdasarkan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Hubungan hukum antara para penghadap dengan notaris dapat dimasukkan atau dikualifikasikan dalam bentuk sebuah wanprestasi jika terjadi hubungan hukum secara kontraktual, misalnya para penghadap memberi kuasa untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
34 35
Agustining., Op., Cit., Hlm 65 Habib Adjie., Op., Cit., Hlm 55
29
Hubungan hukum dalam bentuk perbuatan melawan hukum yaitu tidak adanya hubungan kontraktual antara satu pihak dengan pihak lainnya. Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain tanpa adanya suatu kesengajaan tetapi dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. 36 Notaris sepanjang melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan yang berlaku dan telah memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuatan akta dan isi akta telah sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap, maka berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” tidak mungkin untuk dilakukan. Apabila hal tersebut terjadi, maka tuntutan terhadap notaris terjadi dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga berdasarkan adanya : 1) Hubungan hukum yang khas antara notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai perbuatan melawan hukum. 2) Ketidakcermatan, ketidak telitian dan ketidaktepatan dalam : a) Tehnik administratif membuat akta berdasarkan UUJN b) Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak di dasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya. 37 Notaris sebelum diminta pertanggungjawaban dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa :
36
Ibid., Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Adminstratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung:Refika Aditama, 2007, hlm 103-104. 37
30
a. Adanya diderita kerugian b. Kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari notaris terdapat hubungan kausal c. Pelanggaran atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris yang bersangkutan. 38 Hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, karena dalam hubungan hukum tersebut terdapat ciri hubungan dengan karakter: 1) Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan -pekerjaan tertentu; 2) Mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan bahwa Notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik; 3) Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang berasal dari permintaan atau keingian para pihak sendiri; 4) Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan. 39
B. Kewajiban Notaris Pengaturan mengenai kewajiban notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai k UUJN. Kewajiban notaris adalah sesuatu yang wajib dan harus dilakukan oleh Notaris, apabila kewajiban notaris terpenuhi maka notaris dapat memperoleh haknya yaitu mendapatkan honorarium dari pihak yang bersangkutan. Akan tetapi, apabila Notaris tidak melakukan dan melanggar kewajibannya, maka atas pelanggaran itu bisa dikenakan sanksi yang sesuai dengan akibat yang ditimbulkan oleh notaris.
38 39
Ibid., Ibid., hlm 102.
31
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k UUJN, yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Sedangkan untuk Pasal 16 ayat (1) huruf l dan m UUJN, meskipun termasuk dalam kewajiban notaris, tapi jika notaris tidak melakukannya maka tidak akan dikenakan sanksi apapun. Ketentuan Pasal 16 ayat (7) UUJN, pembacaan akta tidak wajib dilakukan jika
dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan/atau memahami isi akta tersebut, dengan ketentuan hal tersebut dicantumkan pada akhir akta. Sebaliknya, jika penghadap tidak berkehendak seperti itu, maka notaris wajib untuk membacakannya, yang kemudian ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN dan apabila Pasal 44 UUJN ini dilanggar oleh notaris, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Notaris masih memiliki suatu kewajiban lain yang berhubungan dengan sumpah/janji Notaris yang berisi bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris. Secara umum, notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa notaris tidak wajib
32
merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut. Undang-undang hanya dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui oleh notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud. 40 Hal ini dikenal dengan kewajiban ingkar. Instrumen untuk ingkar bagi notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang disebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, sehingga kewajiban ingkar untuk notaris melekat pada tugas jabatan notaris. Kewajiban ingkar ini mutlak harus dilakukan dan dijalankan oleh notaris, kecuali ada undang-undang yang memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar tersebut. Kewajiban untuk ingkar ini dapat dilakukan dengan batasan sepanjang notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau keterangan dari notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan notaris yang bersangkutan. 41 Pemanggilan notaris atas akta yang dibuat dihadapannya dalam proses peradilan menjadi hal yang penting untuk memperoleh keterangan secara langsung dari notaris yang bersangkutan mengenai akta yang dibuat dihadapannya atas permintaan para pihak (klien) yang berperkara. Hal ini didasarkan berdasarkan fungsi hukum acara pidana itu sendiri yang berbeda dengan hukum acara perdata. 40 41
Habib Adjie., Op., Cit. hlm 89 Ibid.,
33
Van Bemmelen berpendapat bahwa terdapat tiga fungsi hukum acara pidana, salah satunya yang merupakan tujuan pokoknya mencari serta memperoleh kebenaran yang selengkap-lengkapnya secara utuh dan menyeluruh.42 Hakim tidak bisa hanya puas terhadap kebenaran formil yang ditunjukkan, pengujian terhadap bukti-bukti formil tersebut dimuka persidangan, serta faktafakta yang ditemukan dalam persidangan menjadi bahan pertimbangan guna memperkuat keyakinan hakim dalam memutus perkara. Sehingga akta otentik yang diajukan sebagai alat bukti di persidangan wajib didampingi alat bukti lain dan biasanya berupa keterangan saksi. Sekalipun kondisi diatas terjadi pada Notaris diberikan perlindungan hukum oleh undang-undang dalam rangka memberikan kesaksian di persidangan. Bentuk dari perlindungan hukum ini adalah hak ingkar notaris yang dapat digunakan agar kewajiban menjaga rahasia jabatannya tetap terjaga. Hak ingkar notaris ini hanya sebatas kewajiban ingkar yang ditegaskan dalam sumpah jabatan notaris maupun Pasal 16 Ayat (1) huruf e, berupa akta yang dibuatnya berikut isi aktanya maupun keseluruhan fakta yang diperoleh notaris dari kliennya dalam proses pembuatan akta baik yang tercantum ataupun tidak tercantum dalam akta. 43 Kewajiban untuk menyimpan rahasia pada umumnya hanya berkaitan dengan hak untuk menolak memberi kesaksian yang dimiliki seorang wajib penyimpan 42
rahasia
yang merupakan
orang
kepercayaan. Hak
tolak
Andi Hamzah., Op., Cit., hlm 9 Eis Fitriyana Mahmud, batas-batas kewajiban ingkar Notaris dalam penggunaan hak ingkar pada proses peradilan pidana, Tesis, universitas brahwijaya, 2013, hlm 13. 43
untuk
34
memberikan kesaksian atau hak ingkar diberikan kepada notaris berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHAP. Hak ingkar yang diberikan oleh Undang-undang tersebut hanya berlaku terhadap hal-hal yang disampaikan dengan pengetahuan kepada notaris sebagai orang yang mempunyai kewajiban untuk merahasiakan dalam kedudukannya. Dan kaitannya hal tersebut dengan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 16 Ayat (1) huruf e. Hak ingkar notaris ini diatur dalam Pasal 66 UUJN namun hak ingkar ini dibatasi. Bunyi dari Pasal 66 UUJN adalah : 1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan notaris berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan b. memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. 2) Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. 3) Majelis kehormatan notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. 4) Dalam hal majelis kehormatan notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.” Penggunaan hak ingkar terkait
kewajibannya menjaga rahasia jabatan
dikembalikan lagi kepada diri notaris yang bersangkutan, dalam artian dikembalikan kepada hati nuraninya masing-masing. Sekalipun keputusan akhir berada ditangan hakim tetap harus diberikan kebebasan tertentu, karena notaris bersangkutan yang lebih memahami dan harus menentukan, apakah akan tetap merahasiakan atau memberitahukan hal-hal yang diketahuinya itu. Apabila dirasakan berada dalam
35
kondisi yang serba salah dan tidak ingin memihak pihak manapun notaris dapat menggunakan hak ingkarnya. Namun sebaliknya jika dirasa keterangan notaris yang bersangkutan
sebagai
saksi
khususnya
dalam
persidangan pidana
sangat
diperlukan untuk memperoleh fakta-fakta persidangan.44 Aturan pelaksanaan sebagaimana diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris yang dilakukan baik oleh penyidik maupun hakim harus mengingat adanya sumpah jabatan dan ketentuan UUJN. Para pembuat undang-undang di Indonesia dengan memberikan hak tolak berdasarkan
undang-undang,
dengan
tegas
telah
menentukan
pendapatnya bahwa kepentingan rahasia pekerjaan dalam kebanyakan hal lebih berat daripada kepentingan pengadilan untuk menentukan kebenaran. 45 Sehingga alasan bahwa aparat penegak hukum tidak mengetahui adanya hak ingkar yang dimiliki oleh notaris tidak dapat dibenarkan. Penggunaan hak ingkar dikembalikan kepada diri notaris yang bersangkutan. Apabila dirasakan terdapat kepentingan lebih tinggi, seperti kepentingan peradilan dapat melepaskan hak ingkarnya. Namun disini ia wajib meneliti secara cermat dan hati-hati agar keputusannya tersebut tidak menjadi boomerang untuk dirinya sendiri karena dianggap telah melanggar kewajibannya menjaga rahasia jabatan. Begitupun sebaliknya, apabila notaris memilih untuk tetap mempertahankan kewajiban ingkarnya dapat menggunakan hak ingkar dalam persidangan, dan ia
44 45
Ibid., hlm 14 Ko Tjay Sing, Op., Cit., hlm.57
36
wajib
memberikan
alasan-alasan
yang
rasional
serta
dapat
dipertanggungjawabkan dihadapan hakim. Tuntutan untuk menggunakan hak ingkar harus dinyatakan secara tegas. Pemanggilan notaris dalam persidangan sudah seharusnya menggunakan hak ingkarnya karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik perdata maupun pidana, tidak ada yang dapat memaksa Notaris untuk membuka rahasia jabatannya tanpa adanya suatu alasan yang jelas, kecuali terdapat Undang-undang yang secara tegas menggugurkan hak ingkar tersebut. Hal ini didasarkan bahwa alasan penggunaan hak ingkar notaris berkaitan adanya kewajiban ingkar sebagaimana ditegaskan dalam sumpah jabatan Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 16 Ayat (1) huruf e. Namun apabila hakim menolak alasan penggunaan hak ingkar yang diajukan oleh notaris sehingga notaris menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hakim dan berakibat pelanggaran rahasia jabatannya. Dalam hal ini hakim wajib memberikan perlindungan hukum bagi Notaris tersebut agar terhindar dari jeratan sanksi ketentuan dalam UUJN, Kode Etik dan Pasal 322 KUHP.
C. Hak Dan Tanggung Jawab Notaris Pada dasarnya hukum memberikan beban tanggung gugat atau tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, namun demikian tidak berarti setiap kerugian terhadap pihak ketiga seluruhnya menjadi tanggung gugat atau tanggung jawab notaris. Hukum sendiri memberikan batas-batas dan rambu-rambu tanggung gugat dan tanggung jawab notaris, sehingga tidak semua kerugian menjadi tanggung
37
gugat dan tanggung jawab notaris. Hal inilah yang dalam ilmu hukum dikenal dengan bentuk perlindungan hukum terhadap notaris sebagai pejabat umum yang bertugas memberikan pelayanan masyarakat. 46 Pasal 54 UUJN mengatur hak notaris, notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan grosse, salinan atau kutipan, juga tidak diperbolehkan untuk memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-akta, selain dari kepada orang-orang yang langsung berkepentingan pada akta, seperti para ahli waris atau orang yang memperoleh/penerima hak mereka, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan serta mendapatkan honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya dan sebagainya. Menurut teori dari Robert B. Seidman tentang sistem bekerjanya hukum, maka pada waktu Notaris menjalankan tugas jabatannya di bidang kenotariatan, kedudukan notaris sebagai pelaksana hukum, sedangkan pada waktu notaris dikenakan tanggung gugat, kedudukan notaris sebagai yang dikenakan hukum berhadapan dengan penerap sanksi. 47 Batasan tanggung jawab notaris dapat diminta sepanjang mereka masih berwenang dalam melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris atau kesalahankesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai notaris dan
46
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggung jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Bandung : Mandar Maju, 2011, hlm 192. 47 Ibid, hlm 193
38
sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada notaris yang berwenang untuk melaksanakan jabatannya sebagai notaris. 48 Tanggung jawab notaris ini lahir dari adanya kewajiban dan kewenangan yang diberikan kepadanya, kewajiban dan kewenangan tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak notaris mengucapkan sumpah jabatannya sebagai notaris. Sumpah yang telah diucapkan tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan notaris dalam menjalankan jabatannya. Notaris dapat diminta pertanggungjawabannya apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari notaris sendiri. Hal tersebut dapat terjadi apabila seorang notaris dalam suatu transaksi peralihan hak misalnya dalam akta jual beli dengan sengaja mencantumkan harga yang lebih rendah dari harga yang sesungguhnya.49 Mengenai
tanggung
jawab
notaris
selaku
pejabat
umum,
Nico
membedakannya menjadi 4 (empat) poin yakni:50 1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru ada apabila orang itu melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan sebagian besar perbuatan-perbuatan seperti ini merupakan suatu perbuatan yang di dalam KUHPerdata dinamakan wanprestasi 48
Ibid, hlm 193. Raden Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hlm.229. 50 Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta: Center for Documentation and Studies of Business Law, 2003, dikutip dari : Abdul Ghofur Anshori, Ibid, hlm 34. 49
39
dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang terkenal sebagai pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam hukum perdata. Pasal 1365 KUHPerdata tersebut memuat ketentuan sebagai berikut : “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian” Perbuatan melawan hukum diartikan secara luas mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan berikut:51 1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu perbuatan yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak sebagai berikut : a. Hak-hak pribadi b. Hak-hak kekayaan c. Hak atas kebebasan d. Hak atas kehormatan dan nama baik
51 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2013, hlm 7-8.
40
Hoge
Raad
memutuskan
perbuatan
melawan
hukum,
dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Mempertimbangkan sifat dan tempat perbuatan tersebut 2. Besarnya kerugian yang diderita 3. Tidak ada alasan pemaaf 2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri Kewajiban hukum merupakan kewajiban yang diberikan berdasarkan hukum. Kewajiban ini mencakup yang tertulis maupun tidak tertulis, kewajiban hukum bukan hanya berbuat tapi juga tidak berbuat sesuatu berdasarkan hukum, apabila melakukan perbuatan
atau tidak melakukan perbuatan tersebut
bertentangan dengan apa yang diamanahkan oleh hukum maka itulah yang disebut dengan bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. karena itu, manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian tersebut dapat menuntut rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum.
41
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik Suatu perbuatan yang dilakukan dengan mengabaikan kepentingan orang lain terlanggar maka dapat dikatakan telah bertentangan dengan kepatutan. Kepatutan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh Notaris dalam membuat atau memformulasikan suatu akta. Notaris harus menghindari membuat akta yang di dalamnya lebih membela kepentingan salah satu pihak dengan melanggar kepentingan pihak lainnya. Notaris hanya sekedar bertanggung jawab secara formalitas terhadap suatu akta otentik yang dibuatnya, oleh karena itu Notaris wajib bersikap netral terhadap para pihak yang mengadap di hadapannya. 2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya. Pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukannya itu. 52 Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang 52 S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet. IV, Alumni, Jakarta, 1996, hlm. 245.
42
yang normal dan sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat. 53 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban. Ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum 2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa. 3. Yang di tentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan pengadilan negeri. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tidak mengatur mengenai ketentuan pidana. UUJN hanya mengatur mengenai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap UUJN, sanksi tersebut dapat berupa sanksi terhadap akta yang dibuatnya dan terhadap notaris. Sanksi terhadap akta yang dibuatnya menjadikan akta yang dibuat oleh notaris turun 53
I Gusti Bagus Sutrisna, Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan terhadap Pasal 44 KUHP), dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 78.
43
degradasinya dari akta otentik atau menjadi akta di bawah tangan, sedangkan untuk notaris diberikan sanksi mulai dari teguran hingga berujung pada pemberhentian dengan tidak hormat. Simons mengatakan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman karena bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. 54 Kemampuan bertanggungjawab adalah mengenai hal yang lain dari tindak pidana dalam artian abstrak, yakni mengenai syarat untuk dapat dipidananya pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang telah terbukti bahwa perbuatannya telah melanggar larangan berbuat tidak selalu dengan demikian dijatuhi pidana. Hal tersebut tampak jelas dengan dirumuskan dua alasan tentang ketidakmampuan bertanggungjawab dalam Pasal 44 KUHP yang tidak boleh dijatuhi pidana. Dengan demikian untuk mempidanakan seseorang pelaku tindak pidana diisyaratkan bahwa orang itu harus mempunyai kemampuan pertanggungjawaban pidana. 55 Kemampuan bertanggungjawab menjadi hal yang sangat penting dalam hal penjatuhan pidana, dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana. Untuk terjadi 54
Sjahruddin Husein dan Muhammad Zain, Inti Sari Hukum Pidana I Dalam Aneka Ragam Persoalan, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1987, hlm 12. 55 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 73.
44
dan terwujudnya tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan. 56 Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :57 a. Perbuatan b. Yang dilarang (oleh aturan hukum) c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman dengan dipidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris maka pidana yang dimaksudkan adalah pidana yang dilakukan oleh notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik yang diamanahkan oleh UUJN, bukan merupakan kapasitas pribadi atau individu dari notaris tersebut sebagai subjek hukum. Pertanggungjawaban pidana notaris sehubungan dengan kedudukannya sebagai pejabat umum yang berwenang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 263 jo 264 KUHP : 56 57
Ibid., hlm 73-74. Ibid., hlm 79.
45
Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika dilakukan terhadap : 1. Membuat secara tidak benar atau memalsu: 1. Akta-akta otentik; 2. Surat utang atau sertifikat utang dari suatu negara atau bagiannya atau dari suatu lembaga umum; 3. Surat sero atau utang sertifikat dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; 4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari suatu surat yang diterangkan dalam angka 2 dan angka 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; atau 5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan; 6. Surat keterangan mengenai hak atas tanah; 2. Menggunakan surat-surat sebagaimana dimaksud pada huruf a, yang isinya tidak benar atau dipalsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. UUJN tidak mengatur secara khusus mengenai ketentuan pidana, hanya mengatur ketentuan mengenai pemberhentian dan sanksi terhadap notaris, yaitu dalam Pasal 12, Pasal 13 UUJN karena hubungan hukum yang terjadi antara notaris dengan para pihak berada dalam ranah hukum perdata, namun hubungan hukum tersebut dapat ditarik dalam ranah hukum pidana. Penarikan kasus pada hukum pidana terjadi apabila terdapat pelanggaran hak dari salah satu pihak dan
46
pihak yang dirugikan melaporkan perkara tersebut kepada penyidik bahwa dari akta notaris tersebut penyidik bahwa dari akta notaris tersebut berindikasi perbuatan pidana yang dilakukan oleh notaris, baik dalam kedudukannya sebagai turut serta maupun membantu salah satu pihak sehingga merugikan pihak lainnya, dengan demikian fungsi notaris yang diamanatkan oleh UUJN Pasal 16 ayat (1) huruf a harus netral dan tidak boleh berpihak telah dilanggar. Ketentuan hukum pidana yang berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan notaris, yang berkaitan dengan akta otentik dalam KUHP diatur dalam Pasal 263 jo 264 KUHP sehingga ketentuan pidana dalam pasal-pasal di UUJN yang berhubungan dengan pertanggung jawaban notaris bertolak dari KUHP. 58 3. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya. Berdasarkan Pasal 91 UUJN yang merupakan Pasal penutup dengan tegas mencabut dan menyatakan tidak berlakunya peraturan-peraturan yang terdahulu mengenai jabatan notaris, sehingga yang menjadi kompas dalam pelaksanaan jabatan notaris saat ini adalah UUJN. Tanggung jawab notaris dalam UUJN secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 65 UUJN yang menyatakan bahwa notaris (notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris) bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris. 58
Edi Purnomo, Eko Soponyono, Purwoto, Jurnal Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Notaris Sehubungan Dengan Kedudukannya Sebagai Pejabat Pembuat Akta, Diponegoro Law Review, volume 1, Nomor 4, Tahun 2012, hlm 5.
47
Ketika seorang notaris pensiun atau diberhentikan sebagai notaris, dan pejabat sementara notaris, notaris pengganti sudah selesai melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan keputusannya pengangkatannya, dan notaris pengganti khusus telah membuat akta yang wajib dibuat sesuai yang tercantum dalam surat keputusan pengangkatannya, maka telah selesai pula pertanggungjawaban mereka dalam melaksanakan tugas jabatannya.59 Ada kerancuan mengenai batas pertanggungjawaban notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris berdasarkan Pasal 65 UUJN yaitu semua akta yang dibuat oleh notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris telah diserahkan dan dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris, hal ini berarti meskipun sudah berhenti atau pensiun sebagai notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris masih harus bertanggungjawab sampai hembusan nafas terakhir. 60 Batas pertanggungjawaban notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris dapat diminta sepanjang mereka masih berwenang dalam melaksanakan tugas jabataan sebagai notaris, atau kesalahankesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai notaris dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap notaris dapat dijatuhkan sepanjang 59
Habib Adjie, Tanggungjawab Notaris, Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus dan pejabat sementara Notaris sampai Hembusan Nafas Terakhir...?, Renvoi, Nomor 26, Th. III, 3 Juli 2005. 60 Habib Adjie,. Op.,Cit., Hlm 44.
48
notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris masih berwenang untuk melaksanakan tugas jabatannya sebagai notaris. Dengan konstruksi pertanggungjawaban seperti diatas, tidak akan ada lagi notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris diminta pertanggungjawabannya lagi setelah yang bersangkutan berhenti dari tugas jabatannya sebagai notaris. 61 4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara UUJN dengan kode etik profesi. Kode etik profesi mengatur notaris secara internal dan UUJN secara eksternal. Menurut Muhammad, sebagaimana dikutip Nico, dan Abdul Ghofur Anshori, notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:62 a. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena jabatannya. b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu, artinya akta yang dibuatnya itu
sesuai dengan
aturan hukum dan kehendak
pihak-pihak
yang
berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. 61 62
Habib Adjie,. Op., Cit., Hlm 45. Abdul Ghofur Anshori., Op., Cit., hlm 38-39
49
Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya notaris harus berpegang teguh kepada Kode Etik Jabatan Notaris, karena tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang sama sekali. Dalam pidato yang disampaikan oleh Soedharmono (ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI) mengungkapkan terlebih-lebih karena pembangunan Nasional kita tidak lain sebagai Pengamalan Pancasila, maka pengamalan setiap profesi dibidangnya masing-masing, termasuk profesi notaris haruslah dilandasi oleh sikap dan prinsip keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum, antara mengejar kepentingan material dan kepentingan etis spiritual. 63 Moctar Kusumaatmadja juga mengungkapkan pendidikan itu bukan hanya menyangkut
ketrampilan
tanggungjawab
teknis
profesional dan
akan etika.
tetapi Apabila
harus tidak
dibarengi
dengan
dibarengi dengan
tanggungjawab profesional dan etika akan mengakibatkan nantinya sang penyandang profesi menjadi liar, karena tidak dapat melaksanakan profesinya secara profesional, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian yang besar terhadap penyandang profesi secara keseluruhan. 64 D. Wanprestasi Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan
63 64
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum ,Jakarta:Sinar Grafika, 2014, hlm 35. Ibid., hlm 37.
50
dalam perjanjian 65 dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Wanprestasi menurut Prodjodikoro, Wanprestasi adalah tidak adanya suatu prestasi dalam perjanjian, ini berarti bahwa suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Dalam istilah bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi, sedangkan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu :66 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. 3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. 65 66
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003, hlm 2. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Putra Abadin, 1999, hlm.18.
51
Marhainis Abdulhay menyatakan bahwa wanprestasi adalah apabila pihakpihak yang seharusnya berprestasi tidak memenuhi prestasinya. 67 Subekti menyatakan, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu :68 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya. Wanprestasi terjadi disebabkan oleh sebab-sebab sebagai berikut: a. Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri. Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah: 1. Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali; 2. Faktor keadaan yang bersifat general; 3. Tidak
disiplin
sehingga
melakukan
prestasi
tersebut
ketika
sudah
kedaluwarsa; 4. Menyepelekan perjanjian.
67 68
Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata Material, Jakarta: Pradaya Paramita, 2004, hlm 53. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985, hlm 148.
52
b. Adanya keadaan memaksa (overmacht). Biasanya, overmacht terjadi karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti kecelakaan dan bencana alam. Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut: 1. Perikatan tetap ada; 2. Debitur harus membayar
ganti rugi kepada kreditur (Pasal
1243
KUHPerdata); 3. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa; 4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata. Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam, yaitu: 1. Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata); 2. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata);
53
3. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata); 4. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR). Debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya. Wanprestasi
dapat
terjadi
karena
kesengajaan
debitur
tidak
mau
melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitur untuk tidak melaksanakannya. Dalam hal debitur memang sengaja tidak mau melaksanakannya, maka sesungguhnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 1236 dan 1239 KUHPerdata mengenai debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. 69 Selanjutnya Pasal 1237 mengatakan, bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur. Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan Pasal 1266 sekarang kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.
69
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op., Cit., hlm 70.
54
Wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Pengajuan ke pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang. 70 Di pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya (debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi, bukan overmacht. Begitu pula dengan debitur, debitur harus meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan seperti berikut: 1. Overmacht; 2. Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya; dan 3. Kelalaian kreditur. Jika debitur tidak terbukti melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak bisa menuntut apa-apa dari debitur tersebut. Tetapi jika yang diucapkan kreditur di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat menuntut: 1. Menuntut hak pemenuhan perjanjian; 2. Menuntut hak pemenuhan perjanjian berikut dengan ganti rugi sesuai Pasal 1246 KUHPerdata yang menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut 70
Subekti, Op. Cit., hlm 147
55
kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga. a. Ganti biaya yaitu mengganti pengeluaran yang dikeluarkan kreditur; b. Ganti rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan c. Ganti bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya didapat. 3. Pembatalan perjanjian Dalam hal pembatalan perjanjian, banyak pendapat yang mengemukakan bahwa pembatalan ini dilakukan oleh hakim dengan mengeluarkan putusan yang bersifat declaratoir. Hakim juga mempunyai suatu kekuasaan yang bernama “discretionair”, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian meski ganti rugi yang diminta harus dituluskan. 71 4. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi; 5. Meminta/ menuntut ganti rugi saja. Hak-hak yang dituntut oleh kreditur dicantumkan pada bagian petitum dalam surat gugatan. Jika debitur tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan wanprestasi tersebut, maka biaya perkara seluruhnya dibayar oleh debitur. Debitur yang wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu 71
Subekti, Op., Cit., hlm 148
56
berupa membayar kerugian yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara bila sampai diperkarakan secara hukum di pengadilan. Kewajiban membayar ganti rugi tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan, atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang, tetapi juga berupa kehilangan keuntungan yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai. 72 Kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu: a. Conditio Sine qua Non (Von Buri) : Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A; b. Adequated Veroorzaking (Von Kries) : Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut
72
Ibid.,
57
pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B). Kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan. Pasal 1243-1252 KUHPerdata mengatur lebih lanjut mengenai ganti rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti meliputi ongkos, kerugian dan bunga. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu disamping tuntutan ganti rugi ada kemungkinan tuntutan pembatalan perjanjian, pelaksanaan hak retensi dan hak reklame. Tuntutan ganti rugi dalam peristiwa-peristiwa seperti tersebut di atas diakui, bahkan diatur oleh undang-undang, maka untuk pelaksanaan tuntutan itu, kreditur dapat minta bantuan untuk pelaksanaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam Hukum acara perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana, atas harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanmya telah diletakkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata.
58
E. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembuatan Perikatan Jual Beli Yang Terindikasi Wanprestasi Pada dasarnya hukum memberikan beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, hukum sendiri memberikan batas-batas atau rambu-rambu tanggung jawab notaris, sehingga tidak semua kerugian ditanggung oleh notaris akan tetapi harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu pihak manakah yang melakukan pelanggaran. Atmadja berpendapat pertanggungjawaban adalah suatu kebebasan bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari kebebasan bertindak, berupa penuntutan untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya. Pandangan tersebut bersesuaian dengan batasan
Ensiklopedia
Administrasi
yang mendefinisikan responsibility sebagai
keharusan seseorang untuk melaksanakan secara layak apa yang telah diwajibkan kepadanya. 73 Mulyo Sudarmo membagi pengertian pertanggungjawaban dalam dua aspek sebagai berikut: 1. Aspek internal yakni pertanggungjawaban yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh pimpinan dalam suatu instansi.
73
Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, hlm. 291
59
2. Aspek eksternal yakni pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain berupa tanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang diperbuat. 74 Secara sepintas, dari berbagai pengertian pertanggungjawaban menyebabkan timbulnya kesulitan untuk memberi satu definisi yang disepakati mengenai pertanggungjawaban. Bagaimana pertanggungjawaban diartikan, dimaknai, dipahami, serta batasan- batasannya tergantung kepada konteks dan sudut pandang yang digunakan untuk menelaahnya. secara sederhana dapat dipahami bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu objek di dalam hak dan kewajiban ke konteks mana pun pertanggungjawaban hendak dipahami dan diwujudkan. Seorang notaris dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa Notaris tersebut bersalah. Kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kecerdasan seseorang yang membawa kepada tiga kemampuan yaitu : 1. Mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibatnya sendiri. 2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan. 3. Mampu untuk menentukan niat dalam melakukan perbuatan itu.
74 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 42.
60
Dalam kasus Notaris X apabila di analisis lebih jauh maka Notaris X dapat dimintai pertanggung jawaban sebagai berikut : 1. Tanggung jawab secara kode etik Notaris dan UUJN Terdapat hubungan yang sangat kuat antara UUJN dengan Kode Etik Notaris. UUJN mengatur notaris secara eksternal sedangkan Kode etik Notaris mengatur notaris secara internal. Dalam kasus Notaris X melakukan pekerjaannya yang berada diluar kewenangannya karena Notaris X bisa dikategorikan sebagai makelar tanah dimana hal ini dilarang oleh undang-undang. Notaris X dalam hal ini melanggar dan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diatur didalam Kode Etik Notaris dan UUJN yaitu tidak menjalankan tugas dan jabatannya dalam hal melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar artinya akta yang dibuat tidak memenuhi kehendak hukum, dan juga tidak menghasilkan akta yang bermutu. 2. Tanggung jawab secara Pidana Notaris X dapat dimintai pertanggungjawaban karena melanggar Pasal 263 jo 264 KUHP yaitu Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika dilakukan terhadap : 1. Membuat secara tidak benar atau memalsu: a. Akta-akta otentik; b. Surat utang atau sertifikat utang dari suatu negara atau bagiannya atau dari suatu lembaga umum; c. Surat sero atau utang sertifikat dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
61
d. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari suatu surat yang diterangkan dalam angka 2 dan angka 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; atau e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan; f. Surat keterangan mengenai hak atas tanah; atau g. Surat-surat berharga lainnya. 2. Menggunakan surat-surat sebagaimana dimaksud pada huruf a, yang isinya tidak benar atau dipalsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. UUJN tidak mengatur secara khusus mengenai ketentuan pidana, karena hubungan hukum yang terjadi antara notaris dengan para pihak berada dalam ranah hukum perdata, namun hubungan hukum tersebut dapat ditarik dalam ranah hukum pidana. Penarikan kasus pada hukum pidana terjadi apabila terdapat pelanggaran hak dari salah satu pihak dan pihak yang dirugikan melaporkan perkara tersebut kepada penyidik bahwa dari akta notaris tersebut penyidik bahwa dari akta notaris tersebut berindikasi perbuatan pidana yang dilakukan oleh notaris, baik dalam kedudukannya sebagai turut serta maupun membantu salah satu pihak sehingga merugikan pihak lainnya. Dalam penelitian ini dianalisis dan difokuskan kedalam tanggung jawab Notaris secara perdata yaitu notaris membuat sebuah kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian kerjasama. Akibat dari perjanjian kerjasama itu mengikatkan diri notaris dengan para pihak. notaris seharusnya sudah mengerti dengan benar akan nilai dan akibat-akibat yang ditimbulkan apabila ia tidak mengerjakan sesuai dengan kesepakatan dan dampaknya adalah akta tersebut
62
dinyatakan cacat hukum dan bahkan akta tersebut menjadi tidak sempurna sehingga merugikan para pihak yang berkepentingan secara materil dan immateril. Kesalahan notaris, perlu terlebih dahulu diperhatikan yakni apakah kesalahan tersebut merupakan perbuatan wanprestasi ataukah perbuatan melawan hukum. terjadinya wanprestasi apabila didahului dengan adanya perjanjian, sedangkan jika tidak ada kaitannya dengan perjanjian maka bentuk pelanggarannya dinamakan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini kesalahan dari Notaris X dikategorikan wanprestasi karena didahului dengan adanya perjanjian, dimana notaris telah membuat kesepakatan dan menyanggupi akan menyelesaikan pekerjaan tersebut. Wanprestasi itu sendiri adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian 75 dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Dalam melakukan perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, haruslah dipenuhi terlebih dahulu persyaratan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Notaris X dalam hal ini yang bisa dikategorikan sebagai makelar dimana Notaris X telah menyalahi kewenangan jabatannya yang diatur dalam UUJN bisa dikatakan tidak memenuhi klasul dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu mengenai suatu hal yang halal.
75
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003, hlm 2.
63
Hubungan kontraktual antara klien dengan ahli expert, yaitu dalam hal ini Notaris merupakan perjanjian yang bersifat sui generis 76. Pengaturan terhadap hubungan kontraktual tidak ada dalam aturan tersendiri, sehingga terhadap hubungan ini diterapkan peraturan umum. Dengan hubungan kontraktual antara notaris dengan klien tersebut, maka prestasi yang dibebankan kepada notaris antara lain kewajiban untuk memberikan informasi yang cukup tentang perkara atau persoalan yang dirumuskan kemudian.77 Isi prestasi dari seorang notaris terhadap kliennya dapat ditentukan oleh bentuk perjanjian antara seorang notaris dengan klien tersebut. Prestasi untuk memberikan infomasi yang cukup, bertindak berdasarkan prinsip kecermatan dan kehati-hatian termasuk prestasi atau kewajiban yang timbul dari bentuk perjanjian, konsekuensinya dengan tidak dipenuhinya kewajiban ini akan menimbulkan suatu wanprestasi dari pihak notaris, seorang notaris yang telah membuat akta menjadi cacat hukum karena tidak terselesaikan akta tersebut secara sempurna yang mengakibatkan akta tersebut dibatalkan dan kekuatan pembuktian menjadi tidak sempurna. Disini notaris telah melalaikan kewajibannya dalam memberikan informasi yang cukup kepada kliennya karena pada asasnya seorang klien berhak untuk mengetahui dan mendapatkan laporan yang jujur, lengkap dan jelas tentang perkembangan situasi dan kondisi dari Notaris maupun dari pekerjaannya. 76
Perjanjian Sui Generis adalah perjanjian yang tidak termasuk didalam salah satu kontrak yang disebutkan didalam Undang-Undang sehingga pada dasarnya hanya dikuasai oleh ketentuanketentuan umum, lihat Marthalena Pohan, Tanggung Jawab Advocat, Dokter dan Notaris, Surabaya:Bina Ilmu, 1985, hlm 16. 77 Ibid.,
64
Notaris dalam hal ini dituntut untuk bisa bersikap berdasarkan prinsip kehatihatian dan asas kecermatan, dengan membekali dirinya dengan penguasaaan terhadap peraturan-peraturan yang diterapkan dan paham mengenai yurisprudensi yang berlaku. 78 Teori dari Hans Kelsen tentang tanggung jawab hukum. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. 79 Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab notaris yang berkaitan dengan kewenangan notaris berdasarkan UUJN yang berada dalam bidang hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah menciptakan alat bukti yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak,
kemudian
menjadi
suatu
sanksi
atau
perbuatan
yang
harus
dipertanggungjawabkan secara perdata, pidana atau administratif sesuai dengan akibat hukum yang ditimbulkannya. Kewenangan notaris yang diberikan oleh UUJN, berkaitan dengan kebenaran materiil atas akta otentiknya, jika dilakukan tanpa kehati-hatian dapat membahayakan
78
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op., Cit., Hlm 189. Hans Kelsen (Alih Bahasa oleh Somardi), General Theory Of Law and State,Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hlm. 81. 79
65
masyarakat dan atau menimbulkan kerugian baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak, maka Notaris harus mempertanggung jawabkan perbuatan.80 Tanggung jawab notaris terhadap pembuatan perikatan jual beli yang terindikasi wanprestasi ini mengakibatkan akta menjadi cacat hukum dan tidak sempurna dalam penyelesaiannya, sehingga pihak yang dirugikan dapat menggugat notaris yang bersangkutan berdasarkan wanprestasi karena sebelumnya telah didahului dengan adanya perjanjian antara notaris dengan klien. Dalam mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, istilah wanprestasi hanya ada pada masalah perjanjian yang mana perjanjian ini melibatkan lebih dari satu pihak. Maksud dibuatnya perjanjian perikatan jual beli ini disini disebabkan beberapa hal antara lain:81 a. Sertifikat belum terbit atas nama pihak penjual, dan masih dalam proses di Kantor Pertanahan. b. Sertifikat belum atas nama pihak penjual, dan masih dalam proses balik nama keatas nama pihak penjual. c. Sertifikat sudah ada dan sudah atas nama pihak penjual tapi harga jual beli yang telah disepakati belum semuanya dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak penjual. d. Sertifikat sudah ada, sudah atas nama pihak penjual dan harga sudah dibayar lunas oleh pihak pernbeli kepada pihak penjual, tetapi pelunasan belum terjadi. 80
Hans kelsen, Op., Cit., hlm 102 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang -Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,Jakarta: Djambatan, 1999, hlm 319. 81
66
e. Sertifikat pernah dijadikan sebagai jaminan di Bank dan masih belum dilakukan roya. Dari beberapa sebab tersebut di atas, dapatlah digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:82 a. Pembayaran oleh pihak pembeli kepada pihak penjual telah lunas, tetapi Syaratsyarat formal belum lengkap, misalnya sertifikat masih dalam proses penerbitan ke atas nama pihak penjual. b. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran, tetapi syarat-syarat formal sudah lengkap. c. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran karena syarat formal belum terpenuhi. Dengan adanya beberapa sebab tersebut, maka untuk mengamankan kepentingan penjual dan pembeli dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi ingkar janji dari para pihak, diperlukan adanya suatu pegangan atau pedoman. Berdasarkan Pasal 1340 KUHPerdata perjanjian hanya berlaku mengikat bagi pihak yang membuatnya, sedangkan pihak ketiga hanya terikat jika memang dalam perjanjian tersebut dimuat janji untuk kepentingan pihak ketiga (Pasal 1317 KUH Perdata) dalam perjanjian tersebut, memuat prestasi-prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak sehingga kata mengikat dalam Pasal 1340 KUHPerdata 82
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op., Cit., hlm. 85
67
tersebut mengandung arti para pihak yang membuat akta tersebut saling terikat untuk melaksanakan prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. atas pertimbangan inilah, maka tidak dimungkinkan bagi pihak luar yang membuat akta tersebut untuk menyatakan bahwa salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah melakukan wanprestasi, dengan
tidak memenuhi prestasi yang diterapkan dalam
perjanjian tersebut. Dalam hal perjanjian yang telah terjadi antara notaris dan klien, maka pihak yang menggugat notaris atas dasar wanprestasi adalah pihak klien itu sendiri. Dan dalam kaitannya dalam pembuatan akta yang tidak sempurna disini adalah pihak yang terlibat dalam pembuatan akta. Dalam hal ini yang menggugat notaris atas dasar wanprestasi adalah pihak yang dirugikan akibat dibatalkan atau tidak diselesaikan akta tersebut. kerugian para pihak ini dilihat dari saat setelah dibatalkan atau tidak diselesaikan akta tersebut. Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu. 83 Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian tersebut”. 83
hlm 77.
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke 2, Jakarta: Diapit Media, 2002,
68
Keadaan ini semakin jelas dengan adanya unsur kerugian yang diderita oleh orang lain, berkaitan dengan pembuatan akta yang cacat hukum. kerugian yang diderita oleh para pihak sangat tampak pada saat dibatalkannya akta tersebut sebagai konsekuensi final dari akta yang cacat hukum. Dibatalkan atau tidak diselesaikan akta Notaris tersebut mengakibatkan prestasi-prestasi yang semula tercantum dalam perjanjian itu dianggap tidak ada dengan kata lain perjanjian dalam akta tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Bahkan apabila sebelum dinyatakan dibatalnya akta tersebut telah dilakukan sejumlah prestasi oleh para pihak, harus dilakukan pemulihan keadaan yaitu keadaan seperti sebelumnya adanya perjanjian.84
84
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op., Cit., Hlm 190-191.