BAB II STUDI LITERATUR
2.1.
Analisis Kebijakan Hogwood dan Gunn (1990) menyatakan bahwa kebijakan adalah seperangkat
tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu (Rizal, 2007). Starling (1988) mendefinisikan kebijakan secara umum sebagai suatu suatu daftar tujuan cita-cita (goals) yang memiliki urutan prioritas atau pernyataan umum tentang maksud dan tujuan. Menurut Dunn (2003) analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Chadler dan Plano mendifinisikan kebijakan publik sebagai pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah publik (Syafiie et.al., 1999). Starling (1988) memberikan pula definisi rencana dan program. Rencana (plan) didefinisikan sebagai suatu himpunan tujuan (objectives) yang dapat diukur untuk mencapai suatu cita-cita (goals). Sebuah program atau proyek merupakan suatu himpunan tindakan (actions) yang spesifik untuk mencapai suatu tujuan (objectives). Kaitan antara kebijakan, rencana dan program dinyatakan dalam Gambar 2.1. Sebuah Kebijakan adalah sebuah daftar tujuan cita-cita (goals) yang memiliki urutan prioritas
Sebuah rencana adalah suatu himpunan tujuan (objectives) yang dapat diukur untuk mencapai cita-cita (goals)
Sebuah program adalah suatu himpunan tindakan (actions) yang spesifik untuk mencapai tujuan (objectives)
G1
O1
A1
G2
O2
A2
G3
O3
A3
. . .
O4
. .
. . .
Gn
On
An
Gambar 2.1. Kaitan antara Kebijakan, Rencana, dan Program (Starling, 1988, hal. 3)
13
2.1.1. Elemen-elemen Kunci Dalam Proses Pembuatan Kebijakan Starling (1988) mengidentifikasi elemen-elemen kunci dari proses pembuatan kebijakan meliputi beberapa tahapan sebagai berikut : identifikasi masalah, formulasi usulan kebijakan, adopsi, operasi atau implementasi program, dan evaluasi. Hubungan antara elemen-elemen kunci dalam proses pembuatan kebijakan digambarkan dalam Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Elemen-elemen Kunci Dalam Proses Pembuatan Kebijakan (Starling,1988, hal. 8) Usulan kebijakan berupaya untuk menjelaskan dalam garis besar mengenai apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah atau bagaimana mewujudkan peluang yang ada. Idealnya usulan kebijakan meliputi dua hal yaitu : (1) Suatu daftar tujuan-tujuan utama (goals) berdasarkan prioritas, dan (2) Alternatifalternatif untuk mencapai tersebut. Selanjutnya, usulan kebijakan harus diadopsi atau dilegitimasi. Pada tahap implementasi, berbagai macam tindakan harus dilakukan oleh individu atau organisasi pada waktu dan tempat tertentu untuk mencapai tujuan kebijakan. Pada tahap evaluasi, telah ditetapkan kriteria atau standar untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan (Starling, 1988). Dunn (2003) menyatakan suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional di mana di dalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Berikut pada Gambar 2.3 adalah gambar skema tiga elemen sistem kebijakan.
14
Pelaku Kebijakan
Lingkungan Kebijakan
Kebijakan Publik
Gambar 2.3. Tiga Elemen Sistem Kebijakan (Dunn, 2003, hal. 110)
2.1.2. Hubungan antara Pembuatan Kebijakan dengan Analisis Kebijakan Analisis kebijakan tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa pemahaman tentang proses pembuatan kebijakan. Starling (1988) memberikan sebuah kerangka atau model tentang hubungan antara pembuatan kebijakan dengan analisis kebijakan (Gambar 2.4). kerangka tersebut menunjukkan hal-hal khusus di dalam proses pembuatan kebijakan di mana berbagai konsep analitis, proposisi, dan teknik dapat memberikan arahan bagi pemikiran, pemilihan, serta perilaku administratif dari pembuatan kebijakan.
2.2.
Definisi Strategi Secara definisi kata strategi telah banyak diartikan oleh berbagai kalangan.
Pendefinisian ini banyak dipengaruhi oleh latar belakang dan era dimana meraka berada. Berbagai definisi strategi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut (Rangkuti, 2008) : 1. Argyris (1985), Mintzberg (1979), Steiner dan Miner (1977) “Strategi merupakan respon secara terus-menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi”. 2. Porter (1985) “Strategi adalah alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing”. 3. Chandler (1962) “Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya”.
15
Gambar 2.4. Hubungan Analisis dan Proses Pembuatan Kebijakan (Starling, 1988, hal. 10) 16
2.2.1. Definisi dan Konsep Manajemen Strategi Menurut David (2004) menyatakan bahwa manajemen strategis dapat didefinisikan
sebagai
seni
dan
pengetahuan
untuk
merumuskan,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai obyektifnya. Menurut Wheelen dan Hunger (2003) manajemen strategik adalah serangkaian daripada keputusan manajerial dan kegiatan-kegiatan yang menentukan keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang, kegiatan tersebut terdiri dari perumusan atau perencanaan strategi, pelaksanaan atau implementasi, dan evaluasi. Menurut Pearce II dan Robinson, Jr pada tahun 1985, menyatakan bahwa manajemen strategi merupakan kumpulan keputusan dan tindakan yang merupakan hasil dari formulasi dan implementasi, rencana, yang didesain untuk mencapai tujuan suatu perusahaan.
2.2.2. Proses Manajemen Strategi Proses manajemen strategi yang paling baik dapat dilakukan dan diterapkan dengan menggunakan suatu model, dimana setiap model menggambarkan semacam proses. Model ini tidak menjamin sukses, tetapi menggambarkan pendekatan yang jelas dan praktis untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan evaluasi strategi. Proses manajemen strategi ini bersifat dinamis dan berkelanjutan, suatu perubahan dalam suatu komponen utama dalam model dapat memaksa perubahan dalam satu atau semua komponen lainnya (Umar, 2008). Setiap model-model umum dari proses manajemen strategi memiliki kesamaan, yaitu untuk mengembangkan suatu model yang terbaik sebagai representatif dari pemikiran yang terkemuka dalam ruang lingkup manajemen strategik (Umar, 2008). Berikut ini beberapa contoh model manajemen strategik pada Gambar 2.5 dan 2.6 yang diambil dari para pakar manajemen strategik.
17
Misi Perusahaan
Lingkungan Eksternal
Tujuan Jangka Panjang
Grand Strategy
Tujuan Jangka Pendek
Strategi fungsional Feedback
Feedback
Profil Perusahaan
Kebijakan
Menginstitusionalisasi strategi
Kontrol dan evaluasi
Gambar 2.5. Model Manajemen Strategi dari Pearce II (Tunggal, 2009, hal. 17)
Model manajemen strategi dari Pearce II dimulai dari perumusan misi dari perusahaan. Perumusan misi perusahaan dimaksudkan untuk mengidentifikasi ruang lingkup operasi perusahaan dan memisahkan perusahaan dari perusahaan lain dari tipenya.
Setelah
mengidentifikasi
misi
perusahaan
dilanjutkan
dengan
pengidentifikasian profil perusahaan (lingkungan internal) dan lingkungan eksternal 18
perusahaan. Langkah berikutnya yaitu menentukan tujuan jangka panjang perusahaan,
dalam
menentuan
jangka
panjang
perusahaan
mencakup
kemampuanlabaan, ROI (Return of Investment), posisi kompetitif, kepemimipinan teknologi, produktivitas, hubungan karyawan, tangggung jawab sosial/publik, dan pengembangan karyawan. Misi perusahaan, profil perusahaan (faktor internal), lingkungan eksternal, dan tujuan jangka panjang, memiliki hubungan saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya. Tujuan jangka panjang dijabarkan melalui tujuan jangka pendek. Tujuan jangka pendek adalah hasil yang berusaha dicapai oleh sebuah perusahaan dalam periode satu tahun, dan tujuan jangka pendek ini mencakup ruang lingkup yang sama dengan apa yang diperlukan dalam tujuan jangka panjang (Tunggal, 2009). Tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek diimplementasikan dengan menentukan grand strategy untuk tujuan jangka panjang dan strategi fungsional untuk strategi jangka pendek. Grand strategy adalah rencana umum yang komprehensif dari tindakan-tindakan utama, yang merupakan tujuan jangka panjang perusahaan dalam linglungan dinamis. Setiap grand strategy merupakan suatu paket yang unik dari strategi-strategi jangka panjang. Dalam kerangka umum dari grand strategy, setiap fungsi atau devisi usaha memerlukan suatu rencana tindakan yang khusus dan integratif. Strategi fungsional menjadi penuntun dalam melakukan berbagai aktivitas agar konsisten bukan hanya dengan strategi utamanya saja, melainkan juga dengan strategi di bidang fungsional lainnya (Tunggal, 2009). Setelah penyusunan grand strategi dan strategi fungsional, maka langkah selanjutnya adalah menyususun sebuah kebijakan. Kebijakan adalah keputusan yang luas, keputusan yang ditetapkan terlebih dahulu (precedent setting decisions), yang mengarahkan atau mensubtitusi untuk mengambil keputusan manajerial yang berulang-ulang. Tahap selanjutnya setelah kebijakan adalah menginstitusionalisasi strategi, strategi secara keseluruhan harus diinstitusionalisasi karena strategi harus menyerap kedalam aktvitas perusahaan, apabila strategi dapat secara efektif diimplementasikan. Langkah terakhir adalah kontrol dan evaluasi terhadap strategi yang telah diimplementasikan. Kontrol dan evaluasi sebagai bahan feedback terhadap misi perusahaan, profil perusahaan dan lingkungan eksternal perusahaan (Tunggal, 2009).
19
Perumusan Strategis Implementasi Strategi Evalusi Strategi
Gambar 2.6. Model Manajemen Strategi (David, 2004, hal. 14) Model manajemen strategi dari David membagi tahapan manajemen strategi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu tahap perumusan strategis, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Pada tahapan perumusan strategi terdiri dari pengembangan pernyataan misi, melakukan audit internal, melakukan audit eksternal, menetapkan sasaran jangka panjang, dan menghasilkan, evaluasi dan memilih strategi. Pada tahap 20
implementasi strategi terdiri dari menetapkan kebijaksanaan dan sasaran tahunan. Pada tahap evaluasi strategi terdiri dari oengukuran dan evaluasi prestasi (David, 2004). Berdasarkan dari 2 (dua) model manajemen strategi dari Pearce II dan David, terdapat kesamaan dalam langkah atau tahapan penyusunan model manajemen strategi. Inti dari 2 (dua) model tersebut adalah perumusan atau penyusunan misi, melakukan analisis faktor internal dan eksternal, menentukan tujuan jangka panjang, menentukan tujuan jangka penjek, penetapan kebijakan, institusionalisasi strategi, dan kontrol dan evaluasi. 2.2.3. Klasifikasi Strategi Pada Tabel 2.1 berikut ini, dipaparkan jabaran strategi utama dari strategi generik dari David (2004) beserta penjelasannya.
Tabel 2.1. Klasifikasi Strategi (David, 2004) Strategi Generik
Strategi Integrasi Vertikal
Strategi Intensif
Strategi Diversifikasi
Strategi Bertahan
Strategi Utama ~ Strategi Interasi ke Depan ~ Strategi Integrasi ke Belakang ~ Strategi Integrasi Horizontal ~ Strategi Pengembangan Pasar ~ Strategi Pengembangan Produk ~ Strategi Penetrasi Pasar ~ Strategi Diversifikasi Konsentrik ~ Strategi Diversifikasi Konglomerat ~ Strategi Diversifikasi Horizontal ~ Strategi Usaha patungan ~ Strategi Penciutan Biaya ~ Strategi Penciutan Usaha ~ Strategi Likuidasi
Pengertian atau definisi dari strategi-strategi generik dan utama dari David dijelaskan sebagai berikut (David, 2004) : 1. Strategi Integrasi Vertikal (Vertical Integration Strategies) Staretegi Integrasi Vertikal ini menghendaki agar perusahaan melakukan pengawasan yang lebih terhadap distributor, pemasok, dan atau pesaing baik melalui
21
merger, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri. Adapun yang termasuk kedalam kelompok strategi ini adalah (Umar, 2008): a. Strategi Interasi ke Depan (Forward Integration Strategy) Strategi ini menghendaki agar perusahaan mempunyai kemampuan yang besar terhadap pengendalian para distributor atau pengecer mereka, bila perlu dengan memilikinya. Hal ini dapat dilakukan jika perusahaan mendapatkan banyak masalah dengan pendistribusian barang atau jasa mereka, sehingga menggangu stabilitas produksi, padahal perusahaan mampu untuk mengelola pendistribusian di maksud dengan sumber daya yang dimiliki. Cara efektif untuk melakukan strategi ini adalah dengan sistem franchise. Dengan cara ini bisnis dapat meningkatkan secara pesat, karena pembiayaan disebar ke banyak individu. b. Strategi Integrasi ke Belakang (Backward Integration Strategy) Pengusaha di bidang manufaktur dan para pengecer membutuhkan barang-barang dari pemasok, misalnya berupa bahan baku. Backward Integration merupakan strategi perusahaan agar pengawasan terhadap bahan baku dapat lebih ditingkatkan, apalagi para pemasok sudah dinilai tidak lagi menguntungkan perusahaan, seperti keterlambatan dalam pengadaan bahan, kualitas bahan yang menurun, biaya yang meningkat sehingga tidak lagi dapat diandalkan. Konsumen kini mulai lebih menghargai produk-produk yang ramah lingkungan, sehingga meraka lebih menyukai produk yang dapat didaur ulang. Beberapa perusahaan menggunakan backward integration untuk memperoleh pengawasan terhadap para pemasok barang agar produk-produk yang dapat didaur ulang itu bahan bakunya aman dipasok. Hal ini lebih mudah dilakukan jika jumlah pemasok sedikit padahal pesaing banyak, pasokan selama ini berjalan lancar, harga produk stabil, dan pemasok memiliki marjin keuntungan yang tinggi serta perusahaan mempunyai modal dan sumber daya yang berkualitas. c. Strategi Integrasi Horizontal (Horizontal Integration Strategy) Strategi ini dimaksudkan agar perusahaan meningkatkan pengawasan terhadap para pesaing perusahaan walau harus dengan memilikinya. Salah satu kecendrungan yang paling signifikan dalam manajemen strategis dewasa ini adalah dengan menggunakan strategi Horizontal Integration sebagai suatu strategi pertumbuhan. Jadi, tujuan strategi ini adalah untuk mendapatkan
22
kepemilikan dan atau meningkatkan pengendalian para pesaing. Hal ini dapat dilakukan jika perusahaan memiliki posisi monopoli seizin pemerintah, bersaing di industri yang berkembang, skala ekonomi meningkat, serta modal dan sumber daya yang dimiliki perusahaan mampu melakukan ekspansi.
2. Strategi Intensif (Intensive Strategy) Strategi ini disebut strategi intensif karena strategi ini memerlukan usahausaha yang intensif untuk meningkatkan posisi persaingan perusahaan melalui produk yang ada. Adapun yang termasuk dalam kelompok strategi ini adalah (Umar, 2008) : a. Strategi Pengembangan Pasar (Market Development Strategy) Strategi ini bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk atau jasa yang ada sekarang ke daerah-daerah yang secara geografis merupakan daerah baru. Dalam perspektif global, pengembangan pasar berskala internasional sudah banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Namun, industri-industri tertentu akan menghadapi kesulitan dalam bersaing jika hanya bermain di pasar lokal. Jadi, tujuan strategi ini adalah untuk memperbesar pangsa pasar. Hal ini dapat dilakukan jika memiliki jaringan distribusi, terjadi kelebihan kapasitas produksi, pendapatan laba yang sesuai harapan, serta adanya pasar yang baru atau pasar yang belum jenuh. b. Strategi Pengembangan Produk (Product Development Strategy) Strategi ini merupakan strategi yang bertujuan agar perusahaan dapat meningkatkan penjualan dengan cara meningkatkan atau memodifikasikan produk-produk atau jasa-jasa yang ada sekarang. Strategi ini biasanya memerlukan penelitian yang luas dan tajam serta membutuhkan biaya yang cukup besar. Jadi, tujuan strategi ini adalah untuk memperbaiki dan atau mengembangkan produk yang sudah ada. Hal ini dapat dilakukan, jika produk sudah berada pada tahapan jenuh, pesaing menawarkan produk sejenis yang lebih baik, dan atau lebih murah, memiliki kemampuan untuk mengembangkan produk, dan berada pada industri yang sedang tumbuh
23
c. Strategi Penetrasi Pasar (Market Penetration Strategy) Strategi ini berusaha untuk meningkatkan market share suatu produk atau jasa melalui
usaha-usaha
pemasaran
yang
lebih
besar.
Strategi
ini
dapat
diimplimentasikan baik secara sendiri-sendiri atau bersama strategi lain untuk menambah jumlah tenaga penjual, biaya iklan, items untuk promosi penjualan, dan atau usaha-usaha promosi lainnya. Jadi, tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pangsa pasar dengan usaha pemasaran yang maksimal. Hal ini dapat dilakukan jika pasar belum jenuh, pangsa pasar pesaing menurun, kolerasi yang positif antara biaya 4P pemasaran dan sales serta kemampuan untuk bersaing yang meningkat.
3. Strategi Diversifikasi (Diversification Strategy) Strategi diversifikasi ini dimaksudkan untuk menambah produk-produk baru. Strategi ini makin kurang populer, paling tidak ditinjau dari sisi tingginya tingkat kesulitan manajemen dalam mengendalikan aktivitas perusahaan yang berbeda-beda (Umar, 2008). a. Strategi Diversifikasi Konsentrik (Concentric Diversification Strategy) Stretegi ini dapat dilaksanakan dengan cara menambah produk dan jasa yang baru tetapi masih saling berhubungan. Tujuan strategi ini adalah untuk membuat produk baru yang berhubungan untuk pasar yang sama. Hal ini dapat dilakukan jika bersaing pada industri yang pertumbuhannya lambat atau decline. b. Strategi Diversifikasi Konglomerat (Conglomerate Diversification Strategy) Strategi ini dilakukan dengan menambahkan produk dan jasa pelayanan yang tidak saling berhubungan. Tujuan dari strategi ini untuk menambah produk baru yang tidak saling berhubungan untuk pasar yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan, jika industri disektor ini telah mengalami kejenuhan, ada peluang untuk memiliki bisnis yang tidak berkaitan yang masih berkembang baik, serta memiliki sumber daya untuk memasuki industri baru tersebut. c. Strategi Diversifikasi Horizontal (Horizontal Diversification Strategy) Strategi ini dilakukan dengan menambah produk dan jasa pelayanan yang baru, tetapi tidak saling berhubungan untuk ditawarkan kepada para konsumen yang ada sekarang. Tujuan strategi ini adalah menambah produk baru yang tidak saling
24
berhubungan dengan tujuan memuaskan pelanggan yang sama. Hal ini dapat dilakukan jika produk baru dapat mendukung produk lama, persaingan pada produk lama berjalan ketat dan dalam tahapan mature, distribusi produk baru kepada pelanggan lancar , dan pada tingkat yang lebih dalam adalah bahwa musim penjualan dari kedua produk relatif beda.
4. Strategi Bertahan (Defensive Strategy) Strategi bertahan ini bermaksud agar perusahaan melakukan tindakantindakan penyelamatan agar terlepas dari kerugian yang lebih besar, yang pada ujung-ujungnya adalah kebangkrutan. Pada strategy bertahan ini ada beberapa macam strategi yang termasuk kedalam kelompok ini, yaitu (Umar, 2008): a. Strategi Usaha patungan (Joint Venture Strategy) Strategi ini merupakan strategi yang populer, yakni dimana terjadi saat lebih atau dua perusahaan membentuk suatu perusahaan temporer atau konsorsium untuk tujuan kapitalisasi modal. Strategi ini dapat dipertimbangkan dalam hal perusahaan bertahan untuk tidak mau memikul beban-beban usahanya sendirian. Jadi tujuan dari strategi ini untuk menggabungkan beberapa perusahaan dalam bentuk perusahaan baru yang terpisah dari induk-induknya. Hal ini dapat dilakukan, jika mereka merasa tidak mampu untuk bersaing dengan perusahaan lain yang lebih besar, atau bermaksud dalam rangka mendapatkan kemudahankemudahan lain. b. Strategi Penciutan Biaya (Retrenchment Strategy) Strategi ini dapat dilaksanakan melalui reduksi biaya dan aset perusahaan. Hal ini dilakukan karena, misalnya, telah terjadi penurunan penjualan dan laba perusahaan. Retrenchment yang kadang-kadang disebut juga sebagai strategi turnaround
dirancang
agar
perusahaan
mampu
bertahan
pada
pasar
persaingannya. Jadi, tujuan startegi ini adalah untuk menghemat biaya agar sales ataupun keuntungan dapat dipertahankan dengan cara menjual sebagian aset perusahaan. Hal ini dapat dilakukan, jika perusahaan sering mendaptkan kegagalan dalam berusaha padahal sumber daya cukup tersedia, kurang efisien dalam berusaha, atau diperlukan reorganisasi internal karena dianggap perusahaan terlalu cepat tumbuh.
25
c. Strategi Penciutan Usaha (Divestiture Strategy) Menjual satu devisi atau bagian dari perusahaan disebut divestiture. Strategi divestiture sering digunakan dalam rangka penambahan modal dari suatu rencana investasi atau untuk menindaklanjuti strategi akuisisi yang telah diputuskan untuk proses selanjutnya. Divestiture dapat berupa bagian dari strategi retrenchment untuk mengganti aktivitas perusahaan yang sudah tidak lagi menguntungkan dengan aktivitas perusahaan lainnya. Jadi, implementasi dari strategi ini adalah misalnya, dengan menjual sebuah unit bisnis. Hal ini dapat dilakukan jika suatu unit bisnis sudah tidak dapat dipertahankan keberadaannya karena, misalnya, terus merugi dan berdampak pada kinerja perusahaan secara keseluruhan. d. Strategi Likuidasi (Liquidation Strategy) Menjual seluruh aset perusahaan yang dapat dihitung nilainya disebut liquidation. Strategi liquidation merupakan sebuah pengakuan dari suatu kegagalan. Bagaimanapun juga, mungkin lebih baik menghentikan operasi perusahaan daripada meneruskannya akan tetapi nanti akan rugi besar. Jadi, strategi ini bertujuan untuk menutup perusahaan. Hal ini dapat dilakukan jika perusahaan sudah tidak dapat dipertahankan keberadaannya. Dengan menjual harta perusahaan, maka pemegang saham akan dapat memperkecil kerugiannya. 2.3.
Definisi Ritel Penjualan eceran (ritel) disebut dengan istilah retailing. Semula, retailing
berarti memotong kembali menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. “Retailing may be defined as the activities incident to selling goods and service to ultimate consumers. Retailing is the final link in the chain of distribution of most product from initial producers to ultimate consumers. Artinya, perdagangan eceran bisa didefinisikan sebagai suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir (Sopiah dan Syihabudhin, 2008). Berman dan Ervans tahun 2003 mendefinisikan penjualan eceran adalah tingkat terakhir dari proses distribusi, didalamnya terdapat aktivitas bisnis dalam penjualan barang atau jasa kepada konsumen (Foster, 2008).
2.3.1. Klasifikasi Bisnis Ritel Buchari (2004) mengklasifikasikan bisnis ritel atau perdagangan eceran menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu perdagangan eceran besar dan perdagangan 26
eceran kecil (Foster, 2008). Perdagangan eceran kecil terdiri atas eceran kecil berpangkalan dan eceran kecil tidak berpangkalan. Secara skema, pembagian tersebut bisa digambarkan pada Gambar 2.7 sebagai berikut :
Gambar 2.7. Klasifikasi Bisnis Ritel (Foster, 2008, hal. 47)
2.3.2. Karakteristik Pedagang Eceran (Ritel) Lewinson (1994) mengemukakan bawha terdapat beberapa ciri atau karakteristrik dari perdagangan eceran, yaitu (Foster, 2008) : 1. Pedagang eceran sebagai institusi pemasaran 2. Pedagang eceran sebagai penghubung antara produsen dengan konsumen 3. Pedagang eceran sebagai perantara 4. Pedagang eceran sebagai pencipta citra
2.3.3. Definisi Pasar Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 23/MPP/1/1988 tentang lembaga usaha perdagangan menyatakan pasar merupakan suatu perwujudan kegiatan ekonomi yang telah melembaga sejak lama dan juga merupakan tempat bertemunya berbagai kepentingan antara produsen dan konsumen. Secara umum, pasar didefinisikan sebagai : Tempat bertemunya pihak penjual dan pembeli untuk melaksanakan transaksi dimana proses jual beli terjadi. Ditinjau dari
27
segi kepentingan konsumen, maka pasar menjadi penyedia barang keperluan seharihari yang murah dan mudah untuk memperolehnya. Sedangkan bagi produsen, digunakan sebagai sarana untuk menawarkan barang-barang yang dihasilkannya melalui pertukaran yang dilakukan (Takaendengan et.al., 2005)
2.3.4. Klasifikasi Pasar Menurut Swastha (1979) pasar dapat digolongkan menurut (Tambunan et.al.,, 2004): a. Luasnya Lini Produk Lini Produk adalah sekelompok barang yang memiliki tujuan penggunaan yang sama, misalnya alat-alat rumah tangga, alat-alat olah raga, makanan dan minuman, dll dari sebuah toko serba ada. Menurut Susanto (2001) berdasarkan luasnya LP, pengecer dapat dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut (Tambunan et.al.,, 2004): 1. Toko khusus, yaitu toko yang menjual satu macam barang atau LP yang lebih sempit dengan ragam yang lebih banyak dalam lini tersebut. Contoh pengecer khusus adalah toko alat-alat olah raga, toko pakaian, toko meubel, toko bunga, dan toko buku. Biasanya volumenya tidak terlalu besar, milik pribadi, dan badan hukumnya berbentuk usaha perorangan. 2. Toko serba ada, yaitu toko yang menjual berbagai macam LP. Biasanya toko seperti ini mempunyai volume usaha yang besar, kondisi keuangannya lebih kuat, dan badan hukumnya berbentuk perseroan terbatas atau paling tidak berbentuk CV. Misalnya Ramayana dan Sarinah. 3. Pasar Swalayan, yaitu toko yang merupakan operasi relatif besar, berbiaya rendah, margin rendah, volume tinggi, swalayan, yang dirancang untuk melayani semua kebutuhan konsumen seperti makanan, cucian, dan produk-produk perawatan rumah tangga. 4. Toko Convenience, yaitu toko yang relatif kecil dan terletak di daerah pemukiman atau di jalur high traffic, memiliki jam buka yang panjang (24 jam) selama tujuh hari dalam seminggu, dan menjual LP convenience yang terbatas seperti minuman, makanan ringan, permen, rokok, dan sebagainya, dengan tingkat perputarannya yang tinggi. Jam buka yang panjang dan karena konsumen
28
hanya membeli di toko ini hanya sebagai “pelengkap” menyebabkan toko ini menjadi suatu operasi dengan harga tinggi. Termasuk dalam kelompok ini adalah seven eleven (7-11). 5. Toko Super, Toko Kombinasi dan Pasar Hyper. Toko Super rata-rata memiliki ruang jual 35.000 kaki persegi dan bertujuan memenuhi semua kebutuhan konsumen untuk pembelian makanan maupun bukan makanan secara rutin. Mereka biasanya menawarkan pelayanan seperti cucian, membersihkan, perbaikan sepatu, penguangan cek, dan pembayaran tagihan, serta makan siang murah. Toko kombinasi merupakan diversifikasi usaha pasar swalayan ke bidang obat-obatan, dengan luas ruang jual sekitar 55.000 kaki persegi. Masuk dalam kelompok ini mulai dari yang konvensional seperti Naga SM dan Bilka hingga yang lebih modern dan besar seperti Hero dan Top’s. Pasar hyper lebih besar lagi, berkisar antara 80.000 sampai 220.000 kaki persegi. Pasar ini tidak hanya menjual barang-barang yang rutin dibeli tetapi juga meliputi meubel, perkakas besar dan kecil, pakaian, dan banyak jenis lainnya, seperti Carrefour dan Mega M. 6. Toko Diskon, yaitu toko yang menjual secara reguler barang-barang standar dengan harga lebih murah karena mengambil marjin yang lebih rendah dan menjual dengan volume yang lebih tinggi. Umumnya menjual merek nasional, bukan barang bermutu rendah. Pengeceran diskon telah bergerak dari barang dagangan umum ke khusus, seperti toko diskon alat-alat olah raga, toko elektronik, dan toko buku. 7. Pengecer Potongan Harga. Kalau toko diskon biasanya membeli pada harga grosir dan mengambil margin yang kecil untuk menekan harga, pengecer potongan harga membeli pada harga yang lebih rendah daripada harga grosir dan menetapkan harga pada konsumen lebih rendah daripada harga eceran. Mereka cenderung menjual persediaan barang dagangan yang berubah-rubah dan tidak stabil sering merupakan sisa, tidak laku, dan cacat yang diperoleh dengan harga lebih rendah dari produsen atau pengecer lainnya. Pengecer potongan harga telah berkembang pesat dalam bidang pakaian, asesoris, dan perlengkapan kaki. Contoh dari pengecer potongan harga ini adalah factory outlet, seperti Herritage dan Millenia.
29
8. Ruang Jual Katalog, yaitu toko yang menjual cukup banyak pilihan produkproduk dengan marjin tinggi, perputarannya cepat, bermerek, dengan harga diskon. Produk-produk yang dijual meliputi perhiasan, alat-alat pertukangan, kamera, koper, perkakas kecil, mainan, dan alat-alat olah raga. 9. MOM & POP Store, yaitu toko berukuran relatif kecil yang dikelola secara tradisional, umumnya hanya menjual bahan pokok/kebutuhan sehari-hari yang terletak di daerah perumahan/pemukiman. Jenis toko ini dikenal sebagai toko kelontong. 10. Mini Market, yaitu toko berukuran relatif kecil yang merupakan pengembangan dari Mom & Pop Store, dimana pengelolaannya lebih modern, dengan jenis barang dagangan lebih banyak. Misalnya Indomaret.
b. Bentuk Kepemilikan Menurut bentuk pemilikannya, pengecer dapat digolongkan ke dalam dua kategori sebagai berikut: 1. Independent store yaitu toko yang tidak dimiliki oleh sekelompok orang, melainkan milik pribadi seseorang yang juga merupakan pimpinan dari toko tersebut. Dalam kategori ini, pengusaha lebih bebas dalam menentukan kebijaksanaan dan strategi pemasarannya. 2. Corporate chain store yaitu beberapa toko yang berada di bawah satu organisasi, dan dimiliki oleh sekelompok orang. Masing-masing toko menjual LP yang sama dan struktur distribusinya juga sama.
c. Penggunaan Fasilitas Pengecer
dapat
digolongkan
menurut
penggunaan
fasilitas
dalam
memasarkan produk mereka ke konsumen, yakni toko pengecer dan pengecer tanpa toko. Toko pengecer dapat dijumpai di mana-mana, seperti yang telah disebut di atas. Sedangkan pengecer tanpa toko terdiri dari tiga jenis yaitu penjualan dari rumah ke rumah (door to door saleman), penjualan melalui pos (mail order selling) atau elektronik, dan penjualan dengan mesin otomatis (automatic vending machine).
30
d. Ukuran Toko Menurut ukuran toko, pengecer dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni pengecer kecil dan pengecer besar. Pembedaan ini dapat didasarkan pada banyak faktor, diantaranya volume penjualan, manajemen, kegiatan promosi, kondisi keuangan, pembagian tenaga kerja, fleksibilitas dalam operasi, merek pengecer, integrasi horisontal dan vertikal, dll. Tambunan et.al. (2004) membagi pasar menjadi 2 (dua) kategori, yaitu pasar tradisional dan pasar moden. Pembagian kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut :
Tabel 2.2. Pembagian Pasar Modern dan Tradisional (Tambunan et.al., 2004, hal. 5) Klasifikasi Lini Produk
Pasar Modern • • • • • • •
Kepemilikan Penggunaan Fasilitas
• • • •
Promosi Keuangan
• •
Tenaga Kerja
•
Fleksibilitas Operasi
•
Toko Khusus Toko Serba Toko Swalayan Toko Convinience Toko Super, Kombinasi dan Pasar Hyper Toko Diskon Pengecer Potongan Harga Ruang Penjual Katalog Corporate Chain Store Alat-alat pembayaran modern (komputer, credit card, autodebet) AC, Ekskalator/Lift
Pasar Tradisional • Mom & Pop Store • Mini Market
• Independent Store • Alat pemabayaran tradisional (manual/calculator, cash) • Tangga, tanpa AC Ada • Tidak ada Tercatat dan dapat • Belum tentu tercatat dipublikasikan dan tidak dipublikasikan Banyak • Sedikit, biasanya keluarga Tidak Fleksibel • Fleksibel
31
2.3.5. Karakteristik Pasar Untuk memahami pola persaingan dan tingkat intensitasnya antara pasar modern dengan pasar tradisional, perlu diketahui perbedaan karakteristik antara kedua jenis pasar tersebut. Perbedaan karakterisktik tersebut dapat dilihat di Tabel 2.3 di bawah ini (Tambunan et.al.,, 2004).
Tabel 2.3. Perbedaan Karakteristik antara Pasar Tradisional dengan Pasar Modern (Tambunan et.al., 2004, hal. 9) No
Aspek
1 2
Histori Fisik
3 4
Pemilikan / kelembagaan Modal
5
Konsumen
6 7
Metode pembayaran Status tanah
8
Pembiayaan
9
Pembangunan
10
Pedagang yang masuk
11
Peluang masuk/partisipasi
12
Jaringan
Pasar Tradisional Evolusi panjang Kurang baik, sebagian baik Milik masyarakat/desa, Pemda, sedikit swasta Modal lemah/subsidi/ swadaya masyarakat/Inpres Golongan menengah bawah Ciri dilayani, tawar menawar Tanah negara, sedikit sekali swasta Kadang-kadang ada subsidi Umumnya pembangunan dilakukan oleh Pemda/desa/masyarakat Beragam, masal, dari sektor informal sampai pedagang menengah dan besar Bersifat masal (pedagang kecil, menengah dan bahkan besar) Pasar Regional, pasar kota, pasar kawasan
Pasar Modern Fenomena baru Baik dan mewah Umumnya perorangan atau swasta Modal kual/digerakkan oleh swasta Umumnya golongan menengah atas Ada ciri swalayan, pasti Tanah swasta/perorangan Tidak ada subsidi Pembangunan fisik umumnya oleh swasta Pemilik modal juga pedagangnya (tunggal) atau beberapa pedagang formal skala menengah dan besar Terbatas, umumnya pedagang tunggal, dan menengah ke atas Sistem rantai korporasi nasional atau bahkan terkait dengan modal luar negeri (manajemen tersentralisasi
Sumber : CESS, 1998 (Tambunan et.al., 2004)
32
Meskipun terdapat beberapa perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya persaingan di antara keduanya. Persaingan ini terjadi ketika masyarakat memilih satu diantara keduanya sebagai tempat mereka berbelanja. Penentuan pilihan itu dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti peningkatan pendapatan ratarata masyarakat per kapita, terutama fisik, modal dan kelompok konsumen (Tambunan et.al.,, 2004). Semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita semakin besar kelompok konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke pasar modern yang fisiknya jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan dan arena parkir yang luas; dan untuk pengadaan fisik seperti memerlukan modal yang besar (Tambunan et.al.,, 2004). Secara hipotesa pertumbuhan retail moderen berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat, dengan kata lain semakin tinggi pendapatan masayarakat, semakin pesat pertumbuhan retail modern. Sebaliknya, pertumbuhan retail tradisional berkorelasi negatif dengan pendapatan atau berkorelasi positif dengan kemiskinan. Semakin besar populasi di bawah garis kemiskinan semakin banyak pasarpasar tradisional (Tambunan et.al.,, 2004).
2.3.6. Persaingan Pasar Tradisional dan Pasar Modern Kelayakan tempat transaksi sangat penting dan menjadi pertimbangan utama produsen maupun konsumen, akan tetapi “layak” dalam hal ini adalah menjadi relatif jika dihubungkan dengan kemampuan dan kondisi hidup yang dihadapi terutama oleh konsumen. “Layak” bagi golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi akan berbeda dengan “layak” bagi golongan penduduk yang berpenghasilan rendah. Konsumen yang berpendapatan tinggi dan menengah atas akan lebih menyukai tempat transaksi atau pasar yang lebih mewah, aman, luas, bersih, barang tertata rapi disertai dengan petunjuk yang jelas, ada pelayanan yang profesional, menyediakan semua yang dibutuhkan dan mekanisme pembayaran yang canggih (bisa non-cash). Tempat ini biasanya disebut dengan “pasar modern”. Golongan penduduk, terutama para wanita profesional, yang dalam kehidupan sehari-hari sangat sibuk melakukan aktivitasnya, juga lebih menyukai berbelanja di pasar modern yang berlokasi di tempat yang terdekat dengan lokasi aktivitasnya. Sebaliknya, bagi golongan
33
penduduk yang berpendapatan rendah dan menengah bawah umumnya lebih menyukai melakukan transaksi atau berbelanja ditempat yang lebih ramai, banyak tersedia pilihan barang kebutuhan, bisa ditawar karena penjual dan pembeli bertemu secara langsung, harga terjangkau, pembayaran dengan cash, tersedia fasilitas angkutan umum, tempat ini umum disebut dengan “pasar tradisional” (Depdag, 2007). Berdasarkan pendapatan, konsumen dapat dibagi dalam 5 (lima) segmen, yaitu atas-
(paling miskin) Seperti yang terlihat pada Gambar 2.8 berikut ini
(Tambunan et.al., 2004). Segmen Pasar Special market atau toko yang menjual produk dengan kualitas tinggi Retail Modern
Retail Tradisional
Atas-Atas - Menengah-Atas - Menengah - Menengah-Bawah Bawah-Bawah
Gambar 2.8. Segmen Pasar dari Retail Modern dan Retail Tradisional (Tambunan et.al., 2004, hal. 23) Pesatnya pembangunan pasar modern dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Di satu sisi, pasar modern dikelola secara profesional dengan fasilitas yang serba lengkap di sisi lain, pasar tradisional masih berkutat dengan permasalahan klasik seputar pengelolaan yang kurang profesional dan ketidaknyamanan berbelanja. Pasar modern dan tradisional bersaing dalam pasar yang sama, yaitu pasar ritel. Hampir semua produk yang dijual di pasar tradisional seluruhnya dapat ditemui di pasar modern, khususnya hypermarket. Semenjak kehadiran hypermarket, pasar tradisional disinyalir merasakan penurunan pendapatan dan keuntungan yang drastis (Suryadarma et.al., 2007). 2.4.
Model Analisis Lingkungan Model dasar analisis lingkungan yang digunakan pada penelitian ini adalah
model analisis lingkungan dari Wheelen dan Hunger (2003). Model analisis 34
lingkungan dari Wheelen dan Hunger (2003) berdasarkan faktor-faktor lingkungan pembentuknya hampir sama dengan model analisis lingkungan dari David (2004). Perbedaannya terletak cara menggambarkan model analisis lingkungan tersebut. Model dari Wheelen dan Hunger (2003) membagi analisis lingkungan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu lingkungan sosial, lingkungan kerja (industri) dan lingkungan internal. Lingkungan sosial digambarkan pada bagian terluar lingkaran dikarenakan faktor ini merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan dan cenderung mempengaruhi lingkungan yang berada didalam lingkaran, yaitu lingkungan kerja (industri) dan lingkungan internal. Model analisis dari Wheelen dan Hunger (2003) digambarkan pada Gambar 2.9 dibawah ini.
Lingkungan Sosial
Lingkungan Kerja (Industri) Kekuatan Sosiokultural
Pemegang Saham
Pemerintah
Pemasok
Lingkungan Internal : Struktur Budaya Sumber Daya
Kelompok kepentingan khusus
Kreditur
Pekerja / Serikat Buruh
Pesaing
Pelanggan
Kekuatan Poitik-Hukum
Kekuatan Ekonomi
Asosiasi Pedagang Komunitas
Kekuatan Teknologi
Gambar 2.9. Model Analisis Lingkungan (Wheelen dan Hunger, 2003, hal. 14)
35
Menurut David (2004), lingkungan bisnis atau industri dibagi atas 2 (dua) lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Lingkungan eksternal dibagi kedalam dua kategori, yaitu lingkungan jauh dan lingkungan industri, sementara lingkungan internal merupakan aspek-aspek yang ada di dalam perusahaan atau organisasi. Analisis eksternal akan memberikan gambaran atas peluang yang dimiliki dan ancaman yang dihadapi, sedangkan analisis internal akan memberikan gambaran atas kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
2.4.1. Analisis Lingkungan Eksternal David (2004) mengkategorikan lingkungan jauh terdiri dari lingkungan jauh (Remote Environment) dan lingkungan industri (Industry Environment). Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan diperinci satu persatu.
2.4.1.1. Analisis Lingkungan Jauh Lingkungan jauh suatu organisasi atau perusahaan terdiri dari faktor-faktor yang pada dasarnya di luar dan terlepas dari organisasi (Tunggal, 2009). David (2004) menyebutkan faktor-faktor yang termasuk dalam lingkungan jauh adalah kekuatan ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, dan pemerintah. Wheelen dan Hunger (2003) menyebutkan faktor-faktor yang termasuk lingkungan jauh terdiri dari faktor politik, ekonomi, sosial, dan teknologi. Faktor ini biasa disingkat PEST (Umar, 2008). Lingkungan jauh ini memberikan kesempatan besar bagi perusahaan untuk maju, sekaligus dapat menjadi hambatan dan ancaman untuk maju. Penjelasan dari tiap faktor dipaparkan berikut ini.
a. Faktor Politik Arah, kebijakan, dan stabilitas politik pemerintah menjadi faktor penting bagi para pengusaha untuk berusaha. Situasi politik yang tidak kondusif akan berdampak negatif bagi dunia usaha, begitu pula sebaliknya. Beberapa hal utama yang perlu diperhatikan dari faktor politik agar bisnis dapat berkembang dengan baik, adalah (Umar, 2008) : 1. Undang-undang dan peraturan pemerintah 2. Stabilitas pemerintah,
36
3. Kebijakan pemerintah 4. Sistem perpajakan dan retribusi
b. Faktor Ekonomi Faktor-faktor ekonomi berkaitan dengan sifat dan arah ekonomi suatu organisasi berdiri. Karena pola konsumsi dipengarugi oleh kemakmuran relatif dari segmen
pasar,
dalam
perancangan
strategik
setiap
organisasi
harus
mempertimbangkan kecenderungan ekonomi dalam segmen yang mempengaruhi industrinya. Baik pada tingkat nasional maupun internasional, organisasi harus mempertimbangkan ketersediaan umum dari kredit, tingkat pendapatan yang dikonsumsikan, dan kecenderungan orang mengeluarkan uang. Tingkat suku bunga, dan kecenderungan dalam pertumbuhan produk nasional bruto adalah faktor-faktor ekonomi lain yang harus dipertimbangkan (Tunggal, 2009).
c. Faktor Sosial Kondisi sosial masyarakat memang berubah-ubah. Hendaknya perubahanperubahan sosial yang terjadi yang mempengaruhi dapat diantisipasi oleh organisasi. Menurut Umar tahun 2008 kondisi sosial ini banyak aspeknya, misalnya sikap, gaya hidup, adat-istiadat, kondisi kultural, ekonomi, ekologis, demografis, religius, pendidikan dan etnis. Seperti kekuatan lain dalam lingkungan eksternal yang jauh (Remote Environment), kekuatan sosial adalah dinamis.
d. Faktor Teknologi Teknologi itu tidak hanya mencakup penemuan-penemuan yang baru saja, tetapi juga meliputi cara-cara pelaksanaan atau metode-metode baru dalam mengerjakan suatu pekerjaan, artinya bahwa ia memberikan suatu gambaran yang luas, yang meliputi : mendesain, menghasilkan, dan mendistribusikan (Umar, 2008). Setiap kegiatan usaha agar dapat berjalan terus-menerus harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan teknologi yang dapat diterapkan pada produk atau jasa yang dihasilkan atau pada cara operasinya.
37
2.4.1.2. Analisis Lingkungan Industri Industri adalah kelompok perusahaan yang memproduksi produk barang atau jasa yang serupa, seperti jasa keuangan atau minuman ringan. Pemeriksaan tentang pentingnya kelompok pemegang saham dalam lingkungan kerja perusahaan sering disebut analisis industri (Hunger dan Wheelen, 2003). Aspek lingkungan industri akan lebih mengarah pada aspek persaingan di mana
bisnis
perusahaan
berada.
Akibatnya,
faktor-faktor
kondisi
yang
mempengaruhi persaingan, seperti ancaman-ancaman dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki perusahaan termasuk kondisi persaingan itu sendiri menjadi perlu untuk dianalisis (Umar, 2008). Porter (1998) mengemukakan Competitive Strategy yang menganalisis persaingan bisnis berdasarkan 5 (lima) aspek utama yang disebut lima kekuatan bersaing. Freeman merekomendasikan aspek yang ke 6 (enam) untuk melengkapinya (Wheelen dan Hunger, 2003). Pemetaan lingkungan industri diatas dapat dilihat pada Gambar 2.10 berikut. PENDATANG BARU POTENSIAL Kekuatan serikat, pemerintah dan lainsebagainya STAKEHOLDER LAINNYA
PEMASOK
Kekuatan tawar menawar pemasok
Ancaman masuknya pendatang baru PARA PESAING INDUSTRI
Kekuatan tawar menawar pembeli
PEMBELI
Persaingan di antara Perusahan yang ada
Ancaman produk atau jasa pengganti PRODUK PENGGANTI Gambar 2.10. Kekuatan-kekuatan yang Mempengaruhi Persaingan Industri (Wheelen dan Hunger, 2003, hal. 123)
38
Pengertian dari masing-masing aspek kekuatan bersaing dijelaskan sebagai berikut (Porter, 1998) : 1. Ancaman Masuk Pendatang Baru Pendatang baru pada suatu industri membawa kapasitas baru, keinginan untuk merebut bagian pasar, serta seringkali juga membawa sumberdaya yang besar, yang berakibat turunnya harga atau biaya membengkak sehingga mengurangi kemampuanlabaan (Porter,1998). Ancaman pendatang baru ke dalam industri tergantung pada rintangan masuk yang ada, digabung dengan reaksi dari para pesaing yang sudah ada dapat diperkirakan oleh pendatang baru. Jika rintangan atau hambatan ini besar atau pendatang baru memperkirakan akan ada perlawanan yang keras dari perusahaan atau organisasi yang telah ada, maka ancaman masuknya pendatang baru akan rendah (Porter, 1998). Ada beberapa faktor penghambat pendatang baru untuk masuk ke dalam suatu industri yang sering disebut dengan hambatan masuk, yaitu (Umar, 2008) : a. Skala Ekonomi. Apabila pendatang baru berproduksi dalam skala kecil, mereka akan dipaksa berproduksi pada biaya per unit yang tinggi, padahal perusahaan yang ada tengah berupaya pada skala produksi yang terus diperbesar dan proses produksi yang terus-menerus diefisienkan sehingga harga per unit barang menjadi lebih rendah. b. Diferensiasi Produk. Diferensiasi yang akan menciptakan hambatan masuk ini memaksa pendatang baru mengeluarkan biaya dan usaha yang besar untuk merebut para pelanggan yang loyal kepada perusahaan yang ada atau utama. Usaha besar itu, misalnya melakukan pengiklanan gencar dan memberi service yang baik. Pada tahap awal, usaha-usaha ini membutuhkan biaya yang sangat besar dan bahkan menciptakan kerugian. Seringkali kondisi ini berjalan cukup lama. c. Kecukupan Modal. Jenis industri yang memerlukan modal besar merupakan hambatan yang besar bagi pemain baru, terutama pada jenis industri yang memerlukan biaya yang besar untuk riset dan pengembangan serta eksplorasi.
39
d. Biaya Peralihan. Hambatan masuk akan tercipta dengan adanya biaya peralihan pemasok, yaitu biaya yang harus dikeluarkan pembeli bilamana berpindah dari produk pemasok tertentu ke produk pemasok lainnya. Biaya peralihan (switching cost) ini berupa biaya latihan, biaya peralatan perlengkapan yang harus diganti, dan desain ulang produk atau jasa. Biaya-biaya ini akan ditanggung oleh konsumennya. Apabila biaya peralihan yang diperlukan cukup besar, pesaing baru harus memberikan penawaran yang jauh lebih menarik, terutama soal harga. e. Akses ke Saluran Distribusi. Jalur distribusi sangat menentukan penyebaran produk. Perusahaan yang mempunyai jalur distribusi yang luas akan bekerja secara baik akan sangat menghambat masuknya produk baru ke dalam pasar. Pendatang baru mungkin sulit memasuki saluran yang ada dan harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membangun saluran sendiri. f. Ketidakunggulan Biaya Independen. Keunggulan biaya yang dipunyai oleh perusahaan yang sudah ada sulit ditiru oleh pendatang baru. Keunggulan itu mungkin dimiliki karena teknologi yang telah dipatenkan perusahaan, konsesi bahan baku, atau subsidi pemerintah. g. Peraturan Pemerintah. Pemerintah biasanya menerbitkan sejumlah aturan yang mengatur bidang-bidang tertentu seperti yang selalu diterbitkan oleh pemerintah Indonesia, misalnya lewat Daftar Investasi Negatif (DIN). Perturan pemerintah dapat menimbulkan hambatan masuk bagi pendatang baru.
2. Tingkat Rivalitas di antara Para Pesaing yang Ada Rivalitas (rivalry) di kalangan pesaing yang ada berbentuk perlombaan untuk mendapatkan posisi dengan menggunakan taktik-taktik seperti persaingan harga, perang iklan, introduksi produk, dan meningkatkan pelayanan atau jaminan kepada pelanggan (Porter, 1998). Menutut porter (1998) persaingan terjadi karena satu atau lebih pesaing merasakan adanya tekanan atau melihat peluang untuk memperbaiki posisi.
40
Menurut Porter (1998), tingkat persaingan dipengaruhi beberapa faktor struktural yang saling berinteraksi, yaitu : a. Jumlah Kompetitor Jumlah kompetitor atau pesaing sudah tentu akan mempengaruhi tingkat persaingan. Kompetitor hendaknya dilihat dari beberapa sisi, seperti jumlah, ukuran, dan kekuatannya. b. Tingkat Pertumbuhan Industri Pertumbuhan industri yang besar biasanya menyediakan sejumlah peluang bagi perusahaan untuk tumbuh bersama industrinya. Pertumbuhan industri yang lamban sebaiknya tidak direspons dengan ekspansi pasar kecuali perusahaan mampu mengambil pangsa pasar pesaing. Kondisi ini dapat menimbulkan trend penurunan harga atau terjadinya perang harga. c. Karakteristik Produk Produk hendaknya tidak sekedar menyediakan kebutuhan dasar, tetapi juga memiliki suatu pembedaan (differentiation) atau nilai tambah. d. Biaya Tetap yang Besar Pada jenis industri yang mempunyai total biaya tetap yang besar, perusahaan hendaknya beroperasi pada skala ekonomi yang tinggi. Akibatnya adalah perusahaan kadang kala terpaksa menjual produk di bawah biaya produksi. e. Kapasitas Kapsitas selalu berkolerasi dengan biaya produksi per unit. Produksi pada kapasitas tinggi diperlukan untuk menjaga efesiensi biaya per unit. Penambahan fasilitas produksi dapat dilakukan apabila perusahaan telah mampu berproduksi pada tingkat yang maksimal. f. Hambatan Keluar Hambatan keluar memaksa perusahaan untuk tidak keluar dari industri. Hambatan ini dapat berupa aset-aset khusus ataupun kesetiaan manajemen pada bisnis tersebut. Contohnya adalah idealisme dalam bisnis. Dalam kondisi demikian, perusahaan biasanya akan berusaha bertahan dan menghindari kerugian yang besar sambil menunggu waktu yang tepat untuk keluar.
41
3. Tekanan Dari Produk Pengganti (Substitute Product) Produk pengganti adalah produk atau jasa lain yang dapat menjalankan fungsi yang sama seperti priduk atau jasa dalam industri (Porter, 1998). Perusahaanperusahaan yang berada dalam suatu industri tertentu akan bersaing pula dengan produk pengganti, walaupun karakteristiknya berbeda, barang subtitusi dapat memberikan fungsi atau jasa yang sama. Ancaman produk subtitusi kuat bilamana konsumen dihadapkan pada switching cost yang sedikit dan jika produk subtitusi ini mempunyai harga yang lebih murah atau kualitasnya sama, bahkan lebih tinggi dari produk-produk suatu industri (Umar, 2008).
4. Kekuatan Tawar-Menawar Pembeli Menurut Porter (1998) pembeli bersaing dengan industri dengan cara memaksa harga turun, tawar-menawar untuk mutu yang lebih tinggi dan pelayanan yang lebih baik, serta berperan sebagai pesaing satu sama lain, semuanya dengan mengorbankan kemampuanlabaan industri. Kelompok pembeli disebut kuat jika situasi berikut terjadi (Porter, 1998) : a. Kelompok pembeli terpusat atau membeli dalam jumlah besar relatif terhadap penjualan pihak penjual. b. Produk yang dibeli dari industri merupakan bagian dari biaya atau pembelian yang cukup besar dari pembeli. c. Produk yang dibeli dari industri adalah produk standar atau tidak terdeferensiasi. d. Pembeli menghadapi biaya pengalihan yang kecil. e. Pembeli mendapatkan laba kecil. f.
Pembeli menunjukkan ancaman untuk menentukan integrasi balik.
g. Produk industri tidak penting bagi mutu produk atau jasa pembeli h. Pembeli mempunyai informasi lengkap.
5.
Kekuatan Tawar-Menawar Pemasok Pemasok dapat menggunakan kekuatan tawar menawar terhadap para pelaku
industri dengan mengancam akan menaikan harga atau menurunkan mutu produk atau jasa yang dibeli (Porter, 1998). Kondisi-kondisi yang membuat pemasok kuat
42
cenderung serupa dengan kondisi yang membuat pembeli kuat. Kelompok pemasok dikatakan kuat jika terdapat hal-hal berikut (Porter, 1998) : a. Para pemasok didominasi oleh beberapa perusahaan dan lebih terkonsentrasi ketimbang industri di mana mereka menjual. b. Pemasok tidak menghadapi produk pengganti lain untuk dijual kepada industri. c. Industri tidak merupakan pelanggan yang penting bagi kelompok pemasok. d. Produk pemasok merupakan input penting bagi bisnis pembeli. e. Produk kelompok pemasok teridiferensiasi atau pemasok telah menciptakan biaya peralihan. f.
Kelompok pemasok memperlihatkan ancaman yang meyakinkan untuk melakukan integrasi maju.
6. Kekuatan Stakeholder lainnya Kekuatan yang keenam yang ditambahkan oleh freeman adalah berupa kekuatan di luar perusahaan yang mempunyai pengaruh dan kepentingan secara langsung bagi perusahaan. Stakeholder yang dimaksud antara lain adalah pemerintah, serikat pekerja, lingkungan masyarakat, kreditor, pemasok, asosiasi dagang, kelompok yang mempunyai kepentingan lain, dan pemegang saham. Pengaruh dari masing-masing stakeholder adalah bervariasi di antara industri yang satu dengan yang lain (Wheelen dan Hunger, 2003).
2.4.2. Analisis Lingkungan Internal 2.4.2.1. Bauran Penjualan Eceran (Retailing Mix) Untuk mendukung usaha eceran dibutuhkan strategi-strategi yang terpadu, agar di dalam mengambil suatu keputusan tidak menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Beberapa pakar ekonomi menyebut strategi ritel dengan istilah retailing mix (bauran penjualan eceran). Bauran penjualan eceran terdiri dari unsur-unsur strategis yang digunakan untuk mendorong pembeli melakukan transaksi usahanya dengan pedagang eceran tertentu (Foster, 2008) Menurut Davidson (1988): The marketing mix of a firm has classically been called the retailing mix consist of location and physical facilities, merchandising, pricing, promotion, service, and organization/personal. The concept of a marketing
43
mix or retailing mix help describe the decision areas the marketing manager is involved with and by extension, the kinds of decisions market executive in manufacturing and retailing enterprices must make (Foster,2008). Menurut Kotler dan Armstrong (2004) keputusan pemasaran pedagang eceran terdiri dari keputusan pasar sasaran, keputusan ragam produk dan perolehan, keputusan pelayanan dan suasana toko, keputusan harga, keputusan promosi, keputusan tempat, yang digambarkan pada Gambar 2.11 (Foster, 2008).
Strategi Pengecer
Pasar Sasaran Positioning
Bauran Pemasaran Eceran Bauran Produk Layanan Suasana toko Harga Promosi Lokasi
Gambar 2.11. Strategi Bauran Penjualan Eceran (Foster, 2008, hal. 50)
Menurut Dunne, Lusch dan Griffith (2002) bauran penjualan eceran adalah kombinasi dari merchandise, harga, periklanan dan promosi, pelayanan konsumen dan penjualan, serta suasana toko dan desain toko yang digunakan untuk memuaskan konsumen (Foster, 2008). Menurut Masson, Mayer, F. Ezeel (1998) bauran penjualan eceran adalah semua variabel yang dapat digunakan sebagai strategi pemasaran untuk berkompetisi pada pasar yang dipilih. Dalam variabel penjualan eceran termasuk produk, harga, pajangan, promosi, penjulan secara pribadi dan pelayanan kepada konsumen (customer service) (Foster, 2008). Menurut Berman dan Evans (2004) trategi bauran penjualan eceran yang terdiri dari lokasi department store (store location), prosedur pembelian/pelayanan (operating procedurs), produk/barang yang ditawarkan (goods offered), harga barang (pricing tactics), suasana department store (store atmosphere), karyawan (customer service), dan metode promosi (promotional methods) (Foster, 2008).
44
Menurut Utami (2006) bauran ritel adalah kombinasi elemen-elemen produk, harga, lokasi, personalia, promosi dan presentasi atau tampilan untuk menjual barang dan jasa pada konsumen akhir yang menjadi pasar sasaran. Foster (2008) mengkombinasikan alat-alat bauran penjualan eceran yang dapat dikontrol menjadi 7 (tujuh) komponen, komponen-komponen akan diuraikan sebagai berikut : 1. Lokasi Toko (Store Location) Keputusan mengenai lokasi bagi suatu usaha ritel memegang peranan yang sangat penting karena lokasi toko sangat mempengaruhi tingkat profitabilitas dan keberhasilan usaha dalam jangka panjang (Foster, 2008). Menurut Kotler tahun pada 2004, bahwa tiga kunci sukses bagi pedagang eceran adalah lokasi, lokasi, dan lokasi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keputusan mengenai lokasi bagi usaha eceran (Foster, 2008). Davidson (1988) mengatakan bahwa bila semua faktor mempunyai nilai yang hampir sama dalam pemutusan pemilihan toko, pada umumnya konsumen akan memilih tempat yang paling dekat, karena hal itu akan memberikan kenyamanan yang lebih bagi konsumen dalam hal waktu dan tenaga (Foster, 2008). Ada beberapa faktor dalam mempertimbangkan pilihan lokasi atau tempat agar konsumen tertarik (Sopiah dan Syihabudhin, 2008) : a. Lalu lintas kendaraan Informasi mengenai jumlah dan karakteristik kendaraan-kendaraan yang melintas penting untuk diperoleh, juga informasi mengenai faktor lebar jalan, kondisi jalan dan kemacetan akan menjadi suatu nilai tambah atau nilai kurang bagi pengendara. Jalan yang lebar dan dalam kondisi baik akan menjadi potensi yang baik pagi pedagang. b. Fasilitas parkir Untuk kota-kota besar, pertokoan atau pusat perbelanjaan yang memiliki fasilitas parkir yang memadai bisa menjadi pilihan yang lebih baik bagi peritel dibandingkan pertokoan dan puasat perbelanjaan yang fasilitas parkirnya tidak mencukupi. Sementara untuk menengah dan kecil, tempat parkir belum terlalu menjadi masalah. Fasilitas yang memadai mencakup area yang luas, tertata, aman, cukup cahaya, bersih, dan pintu masuk dan keluar yang mudah.
45
c. Transportasi umum Transportasi umum berupa bis dan angkot yang melintas di depan suatu perbelanjaan atau pertokoan akan memberi daya tarik yang lebih tinggi karena banyak konsumen yang dengan mudah langsung masuk ke area perbelanjaan atau pertokoan. d. Komposisi toko Komposisi toko yang saling melengkapi akan menjadi tujuan belanja yang disebut one-stop shopping. Oleh karena itu, seorang peritel yang akan membuka toko di pertokoan atau di pusat perbelanjaan hendaknya mempelajari lebih dahulu tokotoko apa saja yang ada disekitarnya. Toko yang saling melengkapi menimbulkan affinity (sejenis sinergi). e. Letak berdirinya toko Letak berdirinya toko berhubungan dengan visibility (keterlihatan), yaitu mudah terlihatnya toko dan plang namanya oleh pejalan kaki dan pengendara mobil untuk toko yang didirikan di area pertokoan. f. Syarat dan ketentuan pemakaian ruang Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah biaya operasional dan perawatan, pajak dan dan batasan-batasan yang perlu diketahui dan lain-lain.
2. Pelayanan (Operation Procedures) Menurut Dunne, Lusch dan pada Griffith (2002) pelayanan yang berkualitas tinggi dapat menggunakan relationship retailing yang di dalamnya termasuk desain untuk menarik, memelihara, dan meningkatkan customer relationship (Foster, 2008). Pelayanan kepada konsumen dilakukan pedagang eceran untuk memberikan : a) kemudahan kepada konsumen potensial dalam berbelanja atau mengenal yempat barang atau jasa yang disediakan, b) kemudahan pelaksanaan transaksi pada saat konsumen berusaha melakukan pembelian, c) kepuasan pelanggan terhadap jasa atau barang setelah transaksi dengan cara (Foster, 2008): a. Pre transaction service, Pelayanan yang disediakan untuk pelanggan sebelum masuk ke dalam transaksi penjulan information aids (bantuan informasi) dan convinience hours (saat yang menyenangkan)
46
b. Transaktion service, Pelayanan yang disediakan selama penjulan, seperti kredit, pembungkusan, checking chasing, personal shopping, aktivitas perakitan bermacam-macam barang untuk langganan, merchandise avaibility (adanya barang, personal selling, sales transaction). c. Past transaction service, Pelayanan yang disediakan setelah penjulan dilakukan seperti
complain
handling
(penanganan
keluhan),
merchandise
return
(pengembalian barang), servicing and repair (pelayanan dan perbaikan), dan delivery (pengiriman barang).
3. Merchandising (Produk/Barang yang Ditawarkan) Menurut Ma’ruf (2005) merchandising adalah kegiatan pengadaan barangbarang yang sesuai dengan bisnis yang dijalani toko untuk disediakan dengan jumlah, waktu, dan harga yang sesuai untuk mencapai sasaran toko atau perusahaan ritel (Sopiah dan Syihabudhin, 2008). Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam merchandise antara lain (Sopiah dan Syihabudhin, 2008) : a. Melakukan pesanan dan menerima kiriman pesanan sebisa mungkin secara mudah, akurat, dan memuaskan. b. Meminimalkan jurang waktu antara saat pesanan dan saat menerima barang, mengoordinasikan pengiriman barang dari berbagai pemasok yang berbeda. Memiliki cukup persediaan untuk memenuhi permintaan konsumen, tanpa harus menyimpan persediaan berlebihan. c. Dapat segera memenuhi permintaan konsumen secara efisien. d. Menerima barang yang dikeluhkan pembeli dan meminimalisir produk-produk yang rusak.
4. Harga (Pricing Tactics) Menurut Kotler dan Amstrong (2004) harga merupakan faktor utama penentuan posisi dan harus diputuskan sesuai dengan pangsa sasaran, bauran ragam produk, dan pelayanan, serta persaingan (Foster, 2008). Menurut Lewinson (1994) peritel memandang harga sebagai berikut (Foster, 2008) : a. Profitabilitas, yaitu keuntungan yang mereka dapat setelah memperhitungkan harga beli dan biaya operasi.
47
b. Volume penjualan, yaitu Berapa unit dagangan yang dapat mereka jual pada berbagai tingkat harga. c. Lalu lintas konsumen, yaitu berapa banyak konsumen yang dapat menggunakan dan strategi harganya. d. Citra toko, yaitu Jenis citra apa yang mereka proyeksikan kepada konsumen melalui tingkat, kebijakan, dan strategi harga yang berbeda-beda.
5. Suasana Toko (Store Atmosphere) Menurut Kotler (2003) suasana (atmosphere) setiap toko mempunyai tata letak fisik yang memudahkan atau menyulitkan untuk berputar-putar didalamnya (Foster, 2008). Suatu toko harus membentuk suasana terencana yang sesuai dengan pasar sasarannya dan dapat menarik konsumen untuk membeli di toko tersebut (Foster, 2008). Menurut Gilbert (2003) menjelaskan bahwa atmosphere toko merupakan kombinasi dari secara pesan secara fisik yang telah direncanakan, atmosphere toko dapat digambarkan sebagai perubahan terhadap perancangan lingkungan pembelian yang menghasilkan efek emosional khusus yang dapat menyebabkan konsumen melakukan tindakan pembelian (Foster, 2008). Agar konsumen merasa senang berkunjung, maka pedagang eceran harus senantiasa mengusahakan suasana yang menyenangkan bagi para pengunjung, suasana tersebut dapat diciptakan melalui 3 (tiga) hal berikut (Foster, 2008) : a. Eksterior Eksterior meliputi keseluruhan bangunan fisik yang dapat dilihat dari bentuk bangunan, pintu masuk dan lain-lain. Dalam ritel, desain eksterior merupakan bagian dari fasilitas fisik yang mempunyai peranan dalam memberi tempat bagi mereka yang datang. Lewinson (1994) pertimbangan utama dalam eksterior toko adalah posisi toko dan arsitekturnya, hal tersebut sangat berperan dalam mengkomunikasikan informasi tentang apa yang ada di dalam gedung sehingga menjadi iklan permanen serta membentuk citra bagi konsumen terhadap keseluruhan penampilan suatu toko eceran (Foster, 2008).
48
b. Interior Desain interior yang dimiliki toko eceran pada dasarnya harus sesuai dengan desain eksteriornya. Hal ini sangat perlu demi menjaga keseimbangan citra yang telah terbentuk dari luar gedung. Beberapa komponen yang didefinisikan untuk interior adalah estetika, perancangan ruang, dan tata letak (lay out) toko. Estetika toko menyangkut bagaimana fasilitas toko dapat menciptakan kesan yang mempengaruhi perasaan konsumen, yaitu pandangan dan perasaan konsumen mengenai suasana toko ketika melakukan kunjungan atau berbelanja di toko yang bersangkutan. Sedangkan perancangan ruang, yaitu menyangkut bagaimana ritel memanfaatkan seluruh ruang yang ada sesuai dengan tingkat produksi pengecer itu sendiri. Lewinson (1994) perancangan ruang terdiri dari pemanfaatan ruang dan pengalokasian ruang, bersama-sama dengan aspek penting diatas, penerangan, dekorasi,
serta
kebersihan
turut
menunjang
suasana
berbelanja
yang
menyenangkan (Foster, 2008). c. Tata letak Tata letak toko merupakan pengaturan secara fisik dan penempaan barang dagangan, perlengkapan tetap, dan departemen di dalam toko. Tujuan tata letak adalah memberikan gerak terhadap konsumen, memperlihatkan barang dagangan atau jasa, serta menarik dan memaksimalkan penjulan secara umum.
6. Karyawan Toko (Customer Service) Bisnis ritel bukan hanya sekedar bisnis penjualan barang, tetapi didalamnya melibatkan unsur jasa (Foster, 2008). Ujung tombak usaha jasa adalah orang atau dalam suatu bisnis ritel biasa disebut sebagai pramuniaga. Pramuniaga yang berkualitas akan menunjang suato toko untuk mempertahankan konsumennya, toko atau perusahaan yang mampu membayar lebih para pramuniaganya akan mendapat keuntungan yang lebih daripada kompetitornya (Foster, 2008). Menurut Dunne, Lusch, dan Griffith (2002) kriteria yang diperlukan oleh seorang karyawan peritel adalah sebagai berikut (Foster, 2008) : a. Kelengkapan
barang,
prosedur
keakuratan
dalam
menghitung
dan
menginventarisasi barang, menjaga barang/merchandise tetap bersih dan pengaturan secara berurutan, mengetahui desain dan spesifikasi, jaminan, dan
49
garansi dari tiap kelompok barang dan memajang barang yang baru datang dengan cepat. b. Kemampuan dalam melayani (customer servive ability) dan memberikan pelayanan yang baik kepada para pelanggan dalam menangani keluhan berdasarkan prosedur yang ada c. Kemampuan melakukan penjualan (sales ability), promosi barang-barang yang dijual untuk mendapatkan profit margin. d. Memiliki pengetahuan tentang barang baik itu cara penggunaan, kondisi dan jenis barang.
7. Metode Promosi (Promotional Method) Menurut Alma (2004) promosi adalah sejenis komunikasi yang memberi penjelasan untuk meyakinkan calon pelanggan tentang barang dan jasa (Foster, 2008). Menurut Berman (2004) “Retail promotion is broadly defined as any communication by a retailer that informs, persuades, and/or remind the target market about any aspect of the firm” (Foster, 2008). Dunne, Lusch, dan Griffith (2002) mengemukakan promosi merupakan aktivitas yang dibutuhkan penjualan eceran untuk menarik dan membujuk konsumen untuk membeli barang (Foster, 2008). Kotler (2003) berpendapat bahwa promosi mempunyai 5 (lima) perangkat utama yaitu (Foster, 2008) : a. Iklan (Advertising) Kegiatan periklanan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti papan reklame, poster, katalog, folder, spanduk, slide, dan iklan media cetak seperti surat kabar, majalah atau media elektronik seperti televisi dan radio. b. Penjulan secara langsung (direct selling) Penjualan yang menggunakan fasilitas-fasilitas seperti surat, telepon, dan berbagai alat kontak non personal untuk mengkomunikasikan atau mengumpulkan informasi mengenai para pembeli potensial. c. Promosi penjualan (sales promotion) Bentuk-bentuk promosi penjulan seperti harga diskon, demonstrasi, harga premi, kupon, voucher games, undian, dan lain-lain.
50
d. Hubungan masyarakat (public relationship) Kehumasan adalah kegiatan komunikasi yang dimaksudkan untuk membangun citra yang baik dari perusahaan. e. Penjualan tatap muka (personal selling) Suatu proses membantu dan membujuk satu atau lebih calon konsumen untuk membeli barang atau jasa atau bertindak sesuai ide tertentu dengan menggunakan presentasi oral.
2.4.2.2. Internal Pemerintah Faktor internal adalah faktor lingkungan yang berada atau berasal dari dalam organisasi itu sendiri (Tunggal, 2009). Menurut David (2004), faktor internal adalah aktivitas dalam kendali organisasi yang prestasinya luar biasa baik atau buruk (dapat dikendalikan). Faktor internal inilah yang memberikan dampak atau menunjukkan adanya kekuatan atau kelemahan organisasi itu sendiri, baik yang sudah lampau, kini maupun prospeknya dikemudian hari. Menurut Pearce II (1985), penilaian lingkungan internal dilakukan analisis pada organisasi, Sumber Daya Manusia, keuangan, pemasaran dan faktor-faktor teknis (Tunggal, 2009). Penjelasan dari tiap faktor dipaparkan berikut ini. 1. Organisasi Organisasi dalam pengertian statis adalah wadah tempat berhimpun sejumlah manusia (dua orang atau lebih) karena memiliki kepentingan yang sama, sedangkan organisasi dalam pengertian dinamis adalah proses kerja sama sejumlah manusia (dua orang atau lebih) untuk mencapai tujuan tertentu yang disepakati bersama (Nawawi, 2005). Menurut Stoner organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan manajer mengejar tujuan bersama (www.organisasi.org). Menurut Pearce II (1985) secara garis besar yang merupakan faktor-faktor yang termasuk ke dalam organisasi dan manajemen umum, yaitu (Tunggal, 2009): a. Struktur organisasi b. Citra dan prestise perusahaan c. Organisasi dari sistem komunikasi d. Sistem pengendalian organisasi secara keseluruhan (efektifitas dan utilisasi)
51
e. Suasana organisasi (Organization Climate); budaya atau kultur organisasi (Organization Culture) f. Penggunaan prosedur dan teknik-teknik yang sistematis dalam pengambilan keputusan. g. Keterampilan manajemen puncak; kemampuan, dan kepentingan. h. Sinergi antar organisasi (Intraorganizational Synergy) untuk perusahaan yang banyak usaha.
2. SDM (Sumber Daya Manusia) Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu negara atau dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah maupun belum memperoleh pekerjaan (lapangan kerja), sedangkan pengertian SDM secara mikro adalah manusia atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, pekerja, tenaga kerja, dll (Nawawi, 2005). Menurut John A. Pearce II (1985) secara garis besar yang merupakan faktorfaktor yang termasuk ke dalam sumber daya manusia, yaitu (Tunggal, 2009): a. Personil manajemen b. Keterampilan dan moral karyawan c. Efesiensi dan efektifitas dari kebijakan personil d. Efektivitas dari insentif yang digunakan untuk memotivasi kinerja e. Kemampuan untuk pemekerjaan pada tingkat puncak (peaks) dan kekosongan atau lowongan (valleys) f. Perputaran dan kemangkiran karyawan g. Keterampilan khusus h. Pengalaman
3. Keuangan Keuangan atau anggaran adalah suatu rencana keuangan yang berisi jumlah uang yang dimiliki
atau dapat diadakan (pendapatan dan pemasukan) untuk
membiayai kegiatan (belanja atau pengeluaran) suatu organisasi non profit dalam rangka mencapai tujuannya (Nawawi, 2005). Anggaran adalah program yang
52
dinyatakan dalam bentuk satuan uang, setiap program akan dinyatakan secara rinci dalam biaya, yang dapat digunakan oleh manajemen untuk merencanakan dan mengendalikan (Hunger dan Wheelen, 2003).
4. Pemasaran Suatu aktivitas dalam suatu organisasi yang konsentrasi terhadap penjualan, kemampuan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk pasar, promosi, saluran distribusi, penetapan strategi harga, dan pelayanan dari tindak lanjut setelah penjualan (Tunggal, 2009). Aktivitas pemasaran mempengaruhi tingkat, waktu, dan karakter permintaan dalam suatu cara yang akan membantu perusahaan atau organisasi mencapai tujuan-tujuannya (Hunger dan Wheelen, 2003).
5. Faktor-faktor Teknis (Program, Sarana dan Prasarana) Faktor-faktor teknis merupakan faktor-faktor yang menjadi faktor pendukung yang bersifat teknis dalam suatu organisasi baik itu berupa sarana dan prasarana, kebijakan ataupun program kerja (Nawawi, 2005). Program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas atau langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan perencanaan sekali pakai. Program melibatkan restrukturisasi perusahaan, perubahan budaya internal perusahaan, atau awal dari suatu usaha penelitian baru (Hunger dan Wheelen, 2003).
2.5.
Pemilihan atau Penentuan Alternatif Strategi Dalam menentukan strategi utama dilakukan dalam tiga tahapan (three-stage)
kerangka kerja dengan matriks sebagai model analisisnya (David, 2004). Perangkat atau alat yang berbentuk matriks-matriks itu telah sesuai dengan segala ukuran dan tipe organisasi perusahaan, sehingga alat tersebut dapat dipakai untuk membantu para ahli strategi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memilih strategistrategi yang paling tepat. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.12 seperti dibawah ini :
53
Tahap 1 : The Input Stage
Internal Factor Evaluation (IFE) Matrix
External Factor Evaluation (EFE) Matrix
Competitive Profile (CP) Matrix
Tahap 2 : The Matching Stage
Threats (ancaman)Opportunity (peluang)Weak (kelemahan)Strengths (kekuatan) (TOWS) Matrix
Strategic Position and Action Evaluation (SPACE) Matrix
Boston Consulting Group (BCG) Matrix
InternalExternal (IE) Matrix
Grand Strategy Matrix
Tahap 2 : The Decision Stage
Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)
Gambar 2.12. Menentukan Strategi Utama (David, 2004, hal. 182)
2.5.1. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Matriks
yang
mengevaluasi
faktor-faktor
internal
dominan
dengan
memberikan bobot dan skor sehingga diperoleh total skor terbobot pada faktor-faktor yang merupakan ancaman dan peluang bagi organisasi (Umar, 2008). Adapun faktorfaktor internal organisasi yang berkaitan dengan kelemahan dan kekuatan organisasi adalah data aspek internal organisasi yang dapat digali dari beberapa fungsional organisasi, misalnya dari aspek keuangan, SDM, pemasaran, organisasi dan produksi atau operasi. Adapun tahapan kerja dari matriks IFE ini adalah sebagai berikut (Umar, 2008) : 1. Susunlah daftar critical success factors untuk aspek internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).
54
2. Tentukan bobot (weight) dari critical success factors tadi dengan skala yang lebih tinggi bagi yang berprestasi tinggi dan begitu pula sebaliknya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0. Nilai bobot dicari dan dihitung berdasarkan rata-rata industrinya. 3. Tentukan rating setiap critical success factors antara 1 sampai 4, di mana : 1 = sangat lemah 2 = tidak begitu lemah 3 = cukup kuat 4 = sangat kuat Jadi, rating mengacu pada kondisi organisasi, sedangkan bobot mengacu pada industri di mana organisasi berada. 4. Kalikan antara bobot dengan rating dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya. 5. Jumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total bagi organisasi yang dinilai. Nilai rata-rata adalah 2,5. Jika nilainya di bawah 2,5 menandakan bahwa secara internal, organisasi adalah lemah, sedangkan nilai yang berada di atas 2,5 menunjukan posisi internal yang kuat. Seperti halnya pada matriks EFE, matriks IFE terdiri dari cukup banyak faktor. Jumlah faktor-faktornya tidak berdampak pada jumlah bobot karena ia selalu berjumlah 1,0. 2.5.2. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal organisasi (Umar, 2008). Data eksternal dikumpulkan untuk menganalisis hal-hal yang menyangkut persoalan ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintahan, hukum, teknologi, persaingan di pasar industri di mana organisasi berada, serta data eksternal relevan lainnya. Hal ini penting karena faktor eksternal berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisasi. Adapun tahapan kerja dari matriks EFE ini adalah sebagai berikut (Umar, 2008) : 1. Susunlah daftar critical success factors (faktor-faktor utama yang mempunyai dampak penting pada kesuksesan atau kegagalan usaha) untuk aspek eksternal yang mencakup perihal opportunities (peluang) dan threats (ancaman) bagi perusahaan.
55
2. Tentukan bobot (weight) dari critical success factors tadi dengan skala yang lebih tinggi bagi yang berprestasi tinggi dan begitu pula sebaliknya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0. Nilai bobot dicari dan dihitung berdasarkan rata-rata industrinya.
3. Tentukan rating setiap critical success factors antara 1 sampai 4, di mana : 1 = di bawah rata-rata, 2 = rata-rata, 3 = di atas rata-rata, 4 = sangat bagus. Rating ditentukan berdasarkan efektivitas strategi perubahan. Dengan demikian, nilainya didasarkan pada kondisi organisasi. 4. Kalikan nilai bobot dengan nilai rating-nya untuk mendapatkan skor semua critical success factors. 5. Jumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total bagi perusahaan yang dinilai. Skor total 4,0 mengindikasikan bahwa perusahaan merespons dengan cara yang luar biasa terhadap peluang-peluang yang ada dan menghindari ancamanancaman di pasar industrinya. Sementra itu, skor total sebesar 1,0 menunjukan bahwa perusahaan tidak memanfaatkan peluang-peluang yang ada atau tidak menghindari ancaman-ancaman eksternal.
2.5.3. Matriks Strength Weakness Opportunities Threats (SWOT) Analisis SWOT matriks adalah dengan cara mengidentifikasi kekuatan dan kelamahan sehingga dapat diperoleh suatu cara untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam organisasi, dan cara yang sama juga yaitu mengidentifikasi peluang dan ancaman yang terjadi di organisasi sehingga pada akhirnya dapat melakukan berbagai cara untuk mensiasati pemanfaatan peluang terhadap organisasi (Rangkuti, 2008). Matriks SWOT merupakan matching tool yang berfungsi untuk membantu para pembuat keputusan mengembangkan 4 (empat) tipe strategi, keempat tipe strategi dari SWOT adalah (Umar, 2008) : a.
Strategi SO (Strength-Opportunity) Strategi ini menggunakan kekuatan internal organisasi untuk meraih peluangpeluang yang ada diluar organisasi. Pada umumnya organisasi berusaha melaksanakan strategi-strategi WO, ST, atau WT untuk menerapkan Strategi SO. 56
Oleh karena itu, jika organisasi memiliki banyak kelemahan, mau tidak mau organisasi harus mengatasi kelemahan-kelemahan itu agar menjadi kuat. Sedangakan, jika organisasi menghadapi banyak ancaman, organisasi harus berusaha menghindarinya dan berusaha berkonsentrasi pada peluang-peluang yang ada. b.
Startegi WO (Weakness-Opportunity) Strategi ini bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal organisasi dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Kadang kala organisasi menghadapi kesulitan untuk memangfaatkan peluang-peluang karena adanya kelemahan-kelemahan internal. Misalnya, ada permintaan yang tinggi terhadap permintaan elektronika untuk mengontrol jumlah dan waktu fuel injection pada mesin mobil (opportunity), tetapi pabrik-pabrik mengalami kesenjangan teknologi untuk memproduksikan alat-alat ini (weakness). Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kesenjangan teknologi ini adalah melalui WO, yakni dengan mengadakan suatu kerja sama (joint venture) dengan perusahaan lain yang memiliki kompetensi.
c.
Strategi ST (Strength-Threat) Melalui strategi ini organisasi berusaha untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal. Hal ini bukan berarti bahwa organisasi yang tangguh harus selalu mendapatkan ancaman.
d.
Strategi WT (Weakness-Threat) Strategi ini merupakan taktik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman. Suatu organisasi yang dihadapkan pada sejumlah kelemahan internal dan ancaman eksternal sesungguhnya berada dalam posisi yang berbahaya. Organisasi harus berjuang untuk dapat tetap bertahan dengan melakukan strategi-strategi seperti merger, declared bankruptcy, retrench, atau liquidation. Representasi skematis dari matriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 2.4
dibawah ini. Matriks SWOT terdiri dari sembilan sel. Ada empat sel untuk key success factors, empat sel untuk strategi dan satu sel yang selalu kosong (terletak di sebelah kiri atas). Keempat sel strategi berlabelkan SO, WO, ST, dan WT yang
57
dikembangkan melalui key success factors pada sel yang berlabelkan S, W, O, dan T (Umar, 2008). Tabel 2.4. Skematik Matriks SWOT (Umar, 2008, hal. 228) Strengths (S)
Weakness (W)
IFAS
EFAS
1. 2. 3. 4. 5.
1. 2. 3. 4. 5.
Catatlah kekuatankekuatan Eksternal perusahaan
Threats (T) 1. 2. 3. 4. 5.
Catatlah kelemahankelemahan eksternal perusahaan
1. 2. 3. 4. 5.
Strategi SO
Opportunities (O) 1. 2. 3. 4. 5.
Catatlah kekuatankekuatan internal perusahaan
Daftar kekuatan untuk meraih keuntungan dari peluang yang ada
Strategi WO 1. 2. 3. 4. 5.
Strategi ST 1. 2. 3. 4. 5.
Daftar kekuatan untuk menghindari ancaman
Catatlah kelemahankelemahan internal perusahaan
Daftar untuk memperkecil kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada
Strategi WT 1. 2. 3. 4. 5.
Daftar untuk memperkecil kelemahan dan menghindari ancaman
Adapun delapan tahapan untuk menentukan strategi dibangun melalui matriks SWOT (Umar, 2008) : 1. Susunlah daftar peluang eksternal organisasi. 2. Susunlah daftar ancaman eksternal organisasi. 3. Susunlah daftar kekuatan kunci internal organisasi. 4. Susunlah daftar kelemahan kunci internal organisasi 5. Cocokan kekuatan-kekuatan internal dan peluang-peluang eksternal dan catat hasilnya dalam sel strategi SO. 6. Cocokan kelemahan-kelemahan internal dan peluang-peluang eksternal dan catat hasilnya dalam sel strategi WO. 7. Cocokan kekuatan-kekuatan internal dan ancaman-ancaman eksternal dan catat hasilnya dalam sel strategi ST. 8. Cocokan kelemahan-kelemahan internal dan ancaman-ancaman eksternal dan catat hasilnya dalam sel strategi WT.
58
Kegunaan dari setiap alat pada matching Stage adalah untuk membangkitkan strategi alternatif yang fisibel untuk dilaksanakan, bukan untuk memilih atau menentukan strategi mana yang terbaik (Umar, 2008). Oleh karena itu tidak semua strategi dikembangkan di dalam SWOT matriks.
2.5.4. Matriks IE (Internal-Eksternal) Matriks Internal-Eksternal ini dikembangkan dari model General Electric (GE-Model) (Rangkuti, 2008). Parameter yang digunakan meliputi parameter kekuatan internal organisasi dan pengaruh eksternal yang dihadapi. Matriks IE merupakan tahapan yang menggunakan hasil evaluasi dari matriks EFE dan IFE. Sumbu horizontal pada matriks IE merupakan IFE Total Weighted Score, sedangkan sumbu vertikalnya merupakan EFE Total Weighted Score (Umar, 2008). Pada sumbu X atau horizontal dari matriks IE, skornya ada tiga, yaitu : skor 1,0 – 1,99 menyatakan bahwa posisi internal lemah, skor 2,0 – 2,99 posisinya adalah rata-rata, dan skor 3,0 – 4,0 adalah kuat. Dengan cara yang sama, pada sumbu Y atau Vertikal yang dipakai untuk Matriks EFE, skor 1,0 – 1,99 adalah rendah, skor 2,02,99 adalah sedang dan skor 3,0 – 4,0 adalah tinggi. Untuk lebih jelasnya dilihat pada Gambar 2.13 berikut.
SKOR TOTAL IFE 3,0
4,0
2,0
1,0
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Kuat 3,0 - 4,0
Rata-rata 2,0 - 2,99
Tinggi 3,0 - 4,0
3,0 Sedang 2,0 - 2,99
2,0 IX
Rendah 1,0 - 1,99
1,0 Lemah 1,0 - 1,99
Gambar 2.13. Bagan Matriks Internal-External (IE) (Umar, 2008, hal. 235) 59
Matriks IE memiliki 3 (tiga) implikasi strategi yang berbeda, yaitu (Umar, 2008) : a. Perusahaan atau organisasi yang berada pada sel I, II, atau IV dapat digambarkan sebagai Grow dan Build. Strategi-strategi yang cocok bagi Perusahaan atau organisasi ini adalah stretegi intensif seperti market penetration, market development, dan product development atau strategi terintegrasi seperti backward integration, forward integration, dan horizontal integration. b. Perusahaan atau organisasi yang berada pada sel-sel III, V, atau VII paling baik dikendalikan dengan strategi-strategi hold dan maintain. Strategi-strategi yang umum dipakai yaitu strategi market penetration dan product development. c. Perusahaan atau organisasi yang berada pada sel VI, VIII, atau IX
dapat
menggunakan strategi harvest atau divestiture.
2.6.
Analytical Hierarchy Process (AHP) Metoda Proses Analisis Hirarki adalah sebuah hirarki fungsional dengan
input utamanya persepsi manusia (Suryadi et.al., 2002). AHP mengatur bagianbagian dari komponen tersebut ke dalam bentuk hirarki, memberikan bobot numerik pada variabel yang dianggap penting dengan cara menbandingkan secara berpasangan, dan pada akhirnya melakukan sintesis dari pendapat tadi untuk menentukan variabel mana yang memiliki prioritas tertinggi yang akan keluar sebagai hasil analisis, baik dalam penilaian relatif maupun penilaian secara absolut (Halim et.al., 1996). Metoda
AHP
ini
dikembangkan
dengan
memperhatikan
proses
pengembangan pendapat manusia pada saat menghadapi pemecahan suatu masalah, dan juga berhubungan dengan proses dengan perhitungan matematisnya, untuk menguji validitas proses pendapat manusia tadi (Halim et.al., 1996). Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode lain adalah (Suryadi, et.al., 2002) : 1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai subkriteria yang paling dalam 2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan.
60
3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi objektif dan multi kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki (Halim et.al., 1996). Pada dasarnya langkah-langkah dalam metoda AHP meliputi (Halim et.al., 1996): 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgement seluruhnya sebanyak n x [(n-a)/2], dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulang. 6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki 7. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen, maka penilaian judgement harus diperbaiki. Untuk membandingkan tingkat kepentingan antar variabel, Saaty pada tahun 1980 menetapkan skala kuantitatif 1 sampai 9, yaitu (Suryadi et.al., 2002):
61
Tabel 2.5. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan (Suryadi et.al., 1996, hal. 132) Intensitas Pentingnya Variabel
Definisi Variabel
Penjelasan
numerik 1
Kedua variabel sama pentingnya
3
Sebuah variabel yang lebih lemah Pengalaman judgement sedikit nilai/tingkat kepentingannya memihak pada sebuah variabel dibanding variabel yang lain dibanding variabel lainnya.
5
Sebuah variabel adalah essensial Pengalaman judgement secara atau mempunyai tingkat kuat memihak pada sebuah kepentingan yang kuat variabel dibandingkan variabel dibandingkan dengan variabel lainnya. lainnya Menunjukkan jelasnya tingkat Sebuah variabel secara kuat kepentingan suatu variabel disukai, dan dominasinya dibandingkan dengan variabel tampak dalam praktek. lainnya.
7
Kedua variabel membpunyai pengaruh yang sama pentingnya terhadap tujuan
9
Menunjukkan tingkat kepentingan Bukti bahwa sebuah variabel yang mutlak dari salah satu adalah lebih penting daripada variabel. variabel lainnya adalah sangat jelas.
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai tengah diantara dua Nilai ini diberikan bila judgement yang berdampingan. diperlukan adanya kompromi / nilai antara dua intensitas.
2.7
Kerangka Kerja 7-S McKinsey Untuk dapat mengimplementasikan strategi dengan baik, suatu organisasi
harus melihat pada keseluruhan aspek yang ada dalam organisasi tersebut. Sering kali diperlukan perubahan-perubahan terhadap organisasi kerja pada elemen-elemen organisasi yang bersangkutan. Model yang banyak digunakan dalam menelaah perubahan yang terjadi pada organisasi diantaranya adalah kerangka kerja oleh McKinsey atau yang dikenal dengan 7-S McKinsey Framework (Miller, 1998).
62
Sering kali perubahan yang terjadi pada satu elemen harus diikuti dengan perubahan pada elemen-elemen lainnya. Seperti digambarkan pada gambar 2.14, tiap elemen mempunyai hubungan yang berkaitan satu sama lainnya. Bentuk dari diagram tersebut juga mempunyai arti penting yang menggambarkan bahwa tidak ada satu titik asal untuk memulai perubahan. Tidak ada elemen yang menjadi daya dorong utama dalam mendorong terjadinya suatu perubahan dalam suatu organisasi tertentu pada saat tertentu pula (Miller, 1998).
Gambar 2.14. Model Kerangka Kerja 7-S McKinsey (Miller, 1998, hal. 318)
Pengertian dari tiap-tiap elemen organisasi tersebut dijelaskan sebagai berikut (Miller, 1998) : a. Strategy Strategi merupakan suatu cara yang dilakukan oleh suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Strategi dapat merupakan tindakan-tindakan yang direncanakan untuk merespon atau mengantisipasi perubahan-perubahan yang datang dari lingkungannya. Strategi merupakan elemen kritis dalam desain organisasi,namun lebih penting lagi untuk dilaksanakan secara nyata.
63
b. Structure Struktur sering kali diartikan sebagai cara untuk membagi tugas. Namun yang sebenarnya yang dimaksud adalah penekanan dan koordinasi sebagai jawaban dari bagaimana membuat semuanya berjalan dengan lancar. Struktur suatu organisasi harus dapat mewadahi semua aktivitas yang perlu dilakukan oleh organisasi tersebut dalam menjalankan semua kegiatannya. c. System Sistem yang dimaksud adalah seluruh prosedur, formal maupun informal, yang membuat suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar. Salah satu aspek dari sistem yang penting adalah bagaimana sistem dapat mencerminkan landasan atau dasar suatu organisasi. d. Style Style atau gaya adalah pola-pola tindakan yang dilakukan tim manajemen, misalnya salah satu gaya elemen dari gaya manajer adalah bagaimana ia memilih untuk mempergunakan waktu. Aspek lain dari gaya adalah perilaku simbolis yang membedakan tindakan dan keputusan seorang atau suatu organisasi berdasarkan lingkungan dan pengalamannya. e. Staff Staff dapat diartikan dalam dua sisi yang berbeda. Pertama adalah mengenai sistem penghargaan (appraisal), skala program program pelatihan formal, dan lainlain. Kedua adalah moral, sikap, motivasi dan prerilaku. Memperhitungkan staf sebagai sumber untuk dibina, dikembangkan, dijaga dan dialokasikan, adalah salah satu cara untuk mengubah dimensi staff dalam kerangka 7-S McKinsey menjadi suatu yang tidak saja dapat dipengaruhi, tetapi juga dapat dikendalikan oleh manajemen. f.
Skills Skill (keahlian atau keterampilan) merupakan salah satu basis kompetensi
yang merupakan suatu keunggulan bersaing dari suatu organisasi. Secara praktis skill sering kali digunanakan untuk mempermudah pengenalan suatu organisasi dalam menggambarkan
atribut
yang
penting.
Perubahan
strategi
kemungkinan
menimbulkan organisasi menambah satu atau beberapa keterampilan baru. inisiatif
64
strategik yang mengharuskan pembongkaran atau revisi keterampilan lama menempatkan masalah implementasi yang bahkan lebih sulit. g. Shared Values Shares values atau nilai yang dianut bersama merupakan kepercayan yang dominan yang dianut oleh organisasi sebagai dasar dari budaya organisasi.
2.8.
State of the Art Penelitian State of the art merupakan kumpulan penelitian terdahulu yang memiliki
kaitan dengan penelitian ini. Topik penelitian ini adalah perancangan strategi dan kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kabupaten Cirebon. Dari topik tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam state of the art terdapat 3 (tiga) kata kunci, yaitu perancangan strategi, kebijakan pemerintah (government), dan pasar tradisional. Kumpulan penelitian yang tecantum dalam state of the art ini bersumber pada buku, jurnal, artikel dan proceeding. State of the art penelitian terangkum dalam skema state of the art penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 2.15. Isi dari state of the art akan dibahas pada beberapa subbab berikut. Posisi penelitian ini dalam skema state of the art terletak di antara kata kunci perancangan strategi, kebijakan pemerintah dan pasar tradisional, karena penelitian ini merupakan irisan dari ketiga kata kunci tersebut. Pada kata kunci perancangan strategi, penelitian ini berkaitan dengan proses penyusunan sebuah strategi, mulai dari model analisis lingkungan sampai proses formulasi strategi. Pada kata kunci kebijakan pemerintah, penelitian ini terkait fungsi dan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan khususnya dalam pengembangan pasar tradisional. Pada kata kunci pasar tradisional, penelitian ini terkait masalah-masalah yang dihadapi oleh pasar tradisional beserta konsep-konsep dalam pengembangan pasar tradisional. 2.8.1. Perancangan Strategi Kelompok kata kunci perancangan strategi memuat literatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses perancangan strategi. Literatur dalam kelompok kata kunci perancangan strategi dibagi menjadi 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama adalah konsep strategi, kelompok kedua adalah manajemen dan strategi ritel.
65
2.8.1.1. Konsep Strategi Kelompok konsep strategi memuat literatur-literatur yang berkaitan dengan hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum memulai proses pembuatan strategi. Hal-hal tersebut meliputi berbagai indikator analisis lingkungan dan tahapan-tahapan formulasi strategi. Imelia
(2002)
mengidentifikasi
indikator-indikator
lingkungan
yang
berpengaruh pada pengembangan bisnis perikanan di laut Jawa Barat. Indikatorindikator lingkungan tersebut untuk lingkungan internal terdiri dari SDM, fasilitas, sarana, prasarana, pendanaan, dan struktur organisasi, sedangkan untuk lingkungan ekternal terdiri dari faktor ekonomi, sosial, politik, dan teknologi. Kelemahan pada penelitian ini tidak adanya model atau analisis mengenai kondisi perikanan laut secara khusus, model yang digunakan masih umum. Wilopo
(2002)
mencoba
menyajikan
alternatif
pemikiran
didalam
peningkatan performansi manajemen strategi untuk sektor publik melalui Balanced Scorecard dan beberapa isu Manajemen yang terkait. Kesamaan yang kuat antara model dengan pendekatan masa depan dan dengan pendekatan analogi keberhasilan masa lalu yang diapliasikan pada sektor komersil, menyarankan bahwa kepuasan maksimal secara sederhana merupakan turunan proses penguatan perilaku manajemen umum yang lebih baik. Kelemahan penelitian ini adalah belum diimplementasikannya model penelitian ini pada sistem real sehinggan belum dapat diketahui bagaimana output atau hasil strategi yang di formulasikan. Tunggal (2009) membahas mengenai berbagai macam konsep strategi, mulai dari konsep dasar strategi, menganalisis lingkungan internal dan eksternal, formulasi tujuan jangka panjang dan pendek, mengimplementasikan strategi melalui fungsifungsi usaha, dan pengendalian strategik. Model analisis lingkungan yang di pakai untuk lingkungan jauh menggunakan model PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi), untuk lingkungan industri menggunakan model 5 (lima) competitive force dari Porter, untuk lingkungan internal menggunakan model indikator dari Pearce II.
66
67
Sunarto dan Hasibuan (2007) meneliti tentang perancangan strategi sistem informasi dengan menggunakan strategi bisnis blue ocean strategy (BOS) dan diintegrasikan dengan balanced scorecard (BSC). Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak memperhitungkan faktor-faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, keberdaan pesaing, kondisi ekonomi dan sebagainya. Syahza (2006) meneliti model pengembangan wajib belajar 12 tahun di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Pada penelitian ini menggunakan analisis SWOT untuk memformulasikan strategi yang akan dicari. Kelemahan pada penelitian ini adalah tidak dijabarkannya indikator-indikator lingkungan secara jelas dan dalam formulasi strategi hanya menggunakan 1 (satu) tool, yaitu matriks SWOT. Penggunaan 1 (satu) tool analisis menyebabkan formulasi yang dihasilkan akan sangat subjektif. Djunaedi (2001) meneliti tentang alternatif model perancangan strategis dalam penataan ruang kota di Indonesia. Pada penelitian ini perancangan strategis sektor publik mempunyai karakteristrik atau urutan proses yaitu, (1) rencana strategis yang berisi visi, misi, isu-isu strategi, dan strategi, (2) rencana operasional yang berisi program dan proyek atau rencana tindakan, (3) tindakan atau aksi. Pada penelitian ini menggunakan analisis SWOT untuk membuat rencana strategis. Kelemahan pada penelitian ini adalah tidak dijabarkannya kekuatan, kelemahan, peluang, dan anacaman yang akan menjadi input dari matriks SWOT. Nawawi (2005) membahas penerapan manajemen strategi pada organisasi non profit (pemerintahan) khususnya pada bidang pendidikan. Pada buku ini dibahas mengenai manajemen fungsional organisasi non-profit, manajemen pengendalian mutu terpadu di lingkungan organisasi non-profit, pengembangan organisasi dalam manajemen strategi di lingkungan organisasi non-profit, pengaruh aspek sosio kultural pada lingkungan kerja dalam menginplementasikan manajeman strategik. Porter (1998) membahas mengenai model competitive strategy sebagai daya saing usaha. Terdapat 5 (lima) indikator dalam model ini, yaitu kekuatan tawar pembeli, pemsok, pendatang baru, produk subtitusi/pengganti, dan persaingan diantara industrinya sendiri. Hunger dan Wheelen (2003) membahas tentang konsep-konsep dari manajemen strategi. Analisis lingkungan yang digunakan untuk memformulasikan 68
strategi terdiri dari analisis lingkungan sosial, analisis lingkungan kerja (industri) dan analisis lingkungan internal. Pada lingkungan sosial indikator yang dipakai adalah kekuatan sosiokultural, kekuatan politik-hukum, kekuatan ekonomi, dan kekuatan teknologi. Pada lingkungan kerja (industri) indikator yang dipakai adalah pemegang saham, pemerintah, kelompok kepentingan khusus, pelanggan, kreditur, komunitas, asosiasi pedagang, pesaing, pekerja/serikat beruh, pemasok. Pada lingkungan internal indikator yang digunakan adalah struktur, budaya, dan sumber daya. David (2004) membahas tentang konsep dan formulasi penyusunan strategi. Analisis yang digunakan untuk menformulasikan strategi terdiri dari analisis lingkungan eksternal, industri, dan inetrnal. Pada analisis lingkungan eksternal indikatornya adalah kekuatan ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintah, teknologi, dan persaingan. Pada analisis lingkungan industri menggunakan model 5 (lima) kekuatan bersaing dari Porter. Pada analisis lingkungan internal menggunakan bidang-bidang fungsional dalam perusahaan seperti pemasaran, keuangan, produksi/operasi, litbang, dan sistem informasi. Dalam memformulasikan strategi dirumuskan dengan 3 (tiga) tahap, tahap pertama yaitu input stage, tahap kedua yaitu matching stage, dan tahap yang terakhir adalah decision stage. Rangkuti (2008) membahas mengenai penggunaan analisis SWOT dalam penyelesaian kasus bisnis. Kerangkaformulasi strategi yang digunakan menggunakan model dari David, yaitu membagi tahapan formulasi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap pengambilan keputusan. Selain matriks SWOT dibahas pula penggunaan dari matrik-matrik lainnya seperti BCG, matrik IE, matrik Space, dan matrik Grand strategy. Halim, Buchara, dan Hidayat (1996) membahas berbagai macam teknik pengambilan keputusan, diantaranya adalah metode analisis hirarki, metode delphi, NGT, pohon keputusan dan sebagainya. Metode AHP adalah metode yang digunakan untuk mengambil prioritas keputusan yang akan diambil pada penelitian ini. Umar (2008) membahas mengenai konsep, teori dan teknik menganalisis manajemen strategi SBU berdasarkan konsep dari Porter, David, dan WheelenHunger. Secara umum terori atau konsep strategi yang digunakan merupakan kombinasi dari model-model strategi dari David, Porter, dan Wheelen-Hunger, baik
69
dari analisis lingkungan sampai formulasi strategi yang menggunakan kerangka formuasi strategi milik David. Millier (1998) membahas mengenai model-model, indikator, tools, dan contoh-contoh kasus mengenai pengimplimentasian manajemen strategis. Pada buku ini dibahas mengenai implikasi strategi yang akan digunakan terhadap organisasi atau lembaga, yaitu dengan menggunakan model analisis 7-S McKinsey. Model ini akan digunakan dalam menganalisis implikasi strategi terdapat organisisasi pada penelitian ini.
2.8.1.2. Manajemen dan Strategi Ritel Kelompok manajemen dan strategi ritel memuat literatur-literatur yang berkaitan dengan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dan strategi pada bisnis ritel. Hal-hal tersebut meliputi berbagai indikator dalam penyusunan strategi ritel. Mahendra (2008) menunjukkan kelemahan dari fasilitas dan utilitas pasarpasar tradisional di Indonesia adalah ketersediaannya yang tidak memadai, kurang terpelihara, tidak tersedianya listrik dan air yang cukup, tidak tersedianya TPS, kegiatan bongkar muat dengan tenaga manusia, jalan pasar kotor karena terbuat dari paving block, tempat parkir tidak terawat, warung dan restoran tidak terlokalisasi, fasilitas MCK kurang bersih, dan cold storage belum tersedia. Sedangkan hasil analisis SMART menunjukkan bahwa rata-rata keragaan fasilitas dan utilitas pasar pasar tradisional jauh di bawah rata-rata angka keragaan institusi pembanding (mendekati 40 % dibawahnya). Sopiah dan Syihabudhin (2008) membahasas segala aspek mengenai manajemen ritel. Pembahasan meliputi struktur dasar bisnis ritel, klasifikasi bisnis ritel, diferensisasi bisnis ritel, distribusi dalam bisnis ritel, manajemen toko, image toko, kebijakan promosi bagi para pengecer, manajemen toko swalayan, riset pemasaran dalam bisnis ritel, dan proses/siklus menjual. Materi yang diambil pada literatur ini adalah tata cara manajemen bisnis ritel untuk mendukung model bauran ritel yang akan digunakan pada penelitian ini. Utami (2006) membahsas mengenai model proses keputusan manajemen ritel. Dalam proses pembuatan keputusan manajemen ritel sebelumnya dibahas
70
mengenai ruang lingkup bisnis ritel, pengembangan strategi ritel (bauran ritel), manajemen barang dagangan, dan manajemen toko. Bauran ritel yang digunakan mempunyai 6 (enam) faktor pembentuk, yaitu personalia, produk, promosi, lokasi, harga, dan presentasi. Syafwati dan Soemitro (2007) memfokuskan penelitian pada peningkatan kualitas pelayanan pasar Puring di Kota Pontianak. Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi prioritas penanganan di Pasar Puring dan merumuskan langkah strategis untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan pasar. Alat yang digunakan yaitu analisis kepentingan persepsi, kuadran dan SWOT. Kelemahan pada penelitian ini hanya menfokuskan kepada permasalahan yang ada di pasar puring yaitu mengenai kondisi fisik pasar yang buruk, dan tidak memperhatikan faktorfaktor eksternal yang dapat memengaruhi. Foster (2008) membahas mengenai model bauran ritel, yang terdiri dari 7 (tujuh) faktor. Faktor-faktor tersebut adalah lokasi toko (store location), pelayanan (operation procedures), merchandising (produk/barang yang ditawarkan), harga (price tactics), suasana toko (store atmosphere), karyawan toko (customer service), metode promosi (promotional method). Utami (2008) membahas mengenai konsep-konsep mengelolaan ritel modern. Teknik-teknik atau tata cara mengelolaan ritel modern yang digunakan yaitu pengumpulan informasi dan penentuan pelanggan sasaran (segmentasi), pemilihan lokasi ritel, pengelolaan barang dagangan, pengelolaan harga barang dagangan, komunikasi dengan pelanggan, operasional ritel, dan teknologi dalam bisnis ritel.
2.8.2. Kebijakan Pemerintah Andrian et.al. (2007) menyebutkan bila peran negara/pemerintah kecil maka kesenjengan yang terjadi akan kian lebar. Inti dari artikel ini adalah perlu adanya campur tangan pemerintah mengenai peraturan, program, atau kebijakan pemerintah, yang dapat memproteksi para pengusaha kecil dari tekanan para pengusaha besar (pemodal besar). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2007) membahas mengenai rancangan terhadap peraturan presiden tentang penataan dan pembinaan usaha pasar modern dan usaha toko modern. Pada artikel ini mengungkapkan perlu adanya perlindungan
71
dan pemberdayaan usaha kecil ritel, adanya penanganan masalah persaingan, dan memberikan penekanan agar dalam substansi pengaturan tetap memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1999. Starling (1988) merancang kerangka proses pembuatan kebijakan yang akan menjadi langkah proses pembuatan strategi dan kebijakan pada penelitian ini. langkah-langkah dalam proses pembuatan kebijakan ini terdiri dari identifikasi masalah, formulasi usulan kebijakan, adopsi, operasi program/imlementasi, dan evaluasi. Suharto (2007) mengemukakan bahwa perlindungan sosial merupakan satu tipe kebijakan sosial yang menunjuk pada berbagai bentuk pelayanan, ketetapan atau program yang dikembangkan oleh pemerintah untuk melindungi warganya, terutama kelompok rentan dan kurang beruntung, dari berbagai macam resiko ekonomi, sosial dan politik yang akan senantiasa menerpa kehidupan mereka. Intinya peran pemerintah sangat besar dalam melindungi dan membantu mengembangkan potensi masyarakat golongan menengah kebawah. Saepina (2008) meneliti mengenai efektifitas implementasi kebijakan perizinan toko modern atau minimarket di Kabupaten Cirebon. Pada penelitian ini menunjukkan adanya ketidakefektifan ataupun penyimpangan dari implementasi kebijakan perizinan toko modern di Kabupaten Cirebon. Berdasarkan penelitian ini maka perlu ada pendekatan lain untuk mengembangakan pasar tradisional di Kabupaten Cirebon. Dunn (2003) membahas model atau tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap proses pembuatan kebijakan ini terdiri dari penyusunan kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Tahapan proses kebijakan Dunn hampir sama dengan tahapan proses kebijakan yang disusun oleh Starling tahun 1988. Syahyuti (2008) membahas mengenai pasar perdagangan hasil pertanian di Indonesia terutama pada perdagangan dalam negeri, umumnya masih dijalankan dalam bentuk sistem yang tradisional-nonformal. Hal ini disebabkan lemahnya keberpihakan pengambil kebijakan terhadap kalangan pedagang, terutama pedagang tradisional.
72
Prawirokusumo et.al. (2004) membahas tentang peran pemerintah dalam pembuatan konsep, kebijakan, dan strategi pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Pada buku ini dibahas pula mengenai dasar hukum yang memayungi kebijakan atau perlindungan terdapat para pengusaha kecil dan menengah.
2.8.3. Pasar Tradisional Smeru (2007) menggambarkan bagaimana kondisi pasar tradisional di Indonesia dengan segala bentuk persaingan yang ada, selain itu mengkaji kebijakan dan regulasi yang ada saat ini dalam hal perlindungan dan pengembangan pasar tradisional. Pada artikel ini membahas mengenai persaingan pasar tradisional dengan modern, kondisi pasar tradisional di Indonesia, dampak negatif pasar modern, lemahnya regulasi pasar ritel. Tambunan et.al. (2004) membahas pertumbuhan bisnis ritel yang ada di Indonesia. Penelitian ini mengidentifikasi adanya persaingan tidak sehat dari para pelaku pasar modern, diantaranya antara lain pada jalur distribusi yang diindikasikan terjadi praktek monopoli dan melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang persaingan tidak sehat dan monopoli. Isu ini adanya praktek monopoli pada jalur distribusi ini menjadi salah satu isu perlunya adanya pengembangan strategi dan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Takaendengan et.al. (2005) meneliti tentang strategi peningkatan sistem sanitasi pasar-terminal paal II di Manado. Pada penelitian ini menyatakan bahwa penataan ulang, mengembalikan fungsi dari fasilitas/sistem sanitasi yang ada di Pasar khususnya Pasar Paal II Manado dapat mengembalikan citra pasar yang bersih, aman, nyaman, teratur. Kelemahan pada penelitian ini yaitu tidak menggambarkan lingkungan strategi secara detail seperti kondisi sosial budaya masyarakat, ekonomi, pemasok, dan ancaman pendatang baru. Pada penelitian ini menitikberatkan kepada kondisi internal, yaitu kekuatan dan kelemahan. Suryadarma, et.al. (2007) meneliti mengenai dampak supermarket terhadap pasar dan pedagang ritel tradisional di daerah perkotaan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode difference-in-difference (DiD) dan metode ekonometrik, serta metode kualitatif dengan cara wawancara. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa
73
kehadiran pasar modern membawa dampak negatif pada pasar tradisional yang mengalami penurunan omzet dan sepi pengunjung karena keberadaan pasar modern. Hidayat (2006) mengatakan perlu adanya proteksi dan regulasi untuk melindungi pasar tradisional, dengan adanya proteksi diharapkan akan membuka kesempatan perkembangan koperasi dan pengusaha kecil karena pedagang di pasar tradisional memasarkan produk-produk dari koperasi dan pengusaha kecil. Dalam melakukan proses penataan pasar tradisional perlu memberikan perlindungan kepada pedagang lama dengan cara memberikan harga sewa yang lebih murah dibandingkan pedagang baru. Departemen Perdagangan RI (2007) menunjukkan adanya penurunan kinerja pasar tradisional sementara itu pasar modern terjadi kenaikan kinerja. Lemahnya aspek pengelolaan, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan pasar tradisional di daerah belum mendorong dilaksanakannya tata kelola yang baik (good governance) di bidang perpasaran. Orientasi pengelolaan pasar cenderung lebih mengejar pencapaian PAD berupa retribusi dibanding upaya peningkatan sistem pengelolaan sebuah entitas bisnis yang mandiri dan tanggap terhadap perubahan situasi ekonomi dan selera konsumen. Silitonga (2008) mengungkapkan bahwa perlu adanya pengaturan jarak antara pasar tradisional dan modern. Dalam kajian di lapangan pasar tradisional yang berada kurang dari 1 (satu) Km dengan pasar modern mengalami penurunan omset yang lebih besar. Oleh karena itu perlu dibuatkannya Perda pengaturan jarak pasar tradisional dengan modern di masing-masing daerah di Indonesia. Megawati (2006) meneliti tentang pertumbuhan minimarket di pemukimanpemukiman penduduk mempunyai dampak negatif dan positif. Dampak negatif dirasakan oleh para pedagang kecil terutama yang berada di sekitar minimarket dan memperdagangkan komoditi yang sama. Dampak positifnya dengan banyaknya didirikan minimarket adalah banyaknya penyerapan tenaga kerja, yang rata-rata menyerap 5 (lima) sampai 6 (enam) tenaga kerja setiap minimarket, sedangkan bagi pemerintah yaitu meningkatnya pendapatan asli daerah (PAD). Adanya pergeseran konsumsi masyarakat dari pasar tradisional ke minimarket. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembeli dan konsumen berbelanja di pasar tradisional adalah karena ingin dilayani, ada kepuasan tersendiri jika melakukan tawar menawar, kepuasan
74
dalam bertegur sapa dengan penjual, dan sentuhan humanis. Kelemahan pada penelitian ini tidak memberikan solusi bagi pengembangan dan perlindungan pasar tradisional dalam persaingannya dengan minimarket. Setiyanto (2008) membahsas mengenai kondisi masa depan pasar tradisional yang keberadaannya kian menurun. Beberapa aspek yang memebuat menurunnya keberadaan pasar tradisional adalah keberadaan pasar modern yang berada dekat dengan pasar tradisional, image pasar tradisional yang terkesan becek, kotor, kurang nyaman, dan fasilitas yang minim, dan lemahnya manajemen dan kurang mengantisipasi perubahan. Pada penelitian ini komponen-komponen dari pasar tradisional adalah pengelola, fisik bangunan, pedagang, barang dagangan, dan financial. Waluyo (2006) mengusulkan pembentukan pasar tradisional sebagai daya tarik wisata. Konsep ini bisa dijalankan jika pasar tradisional menjual produk barang dan jasa yang unik, khas atau langka. Dalam pelaksanaannya perlu dilakukan pendekatan SAPTA PESONA yang terdiri dari faktor keamanan, ketertiban, bersih, sejuk, indah, ramah tamah, dan kenangan.
75