BAB I PENDAHULUAN
Osteoartritis adalah salah satu penyakit yang terkait dengan penuaan dan kemungkinan besar akan mempengaruhi sendi yang digunakan terus-menerus seperti daerah lutut, panggul, tangan dan tulang belakang. OA biasanya dimulai pada usia 40 tahun dan prevalensi tertinggi pada usia diatas 60 tahun. OA juga lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria (Fauci et al., 2008). Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang banyak ditemukan di dunia dan merupakan penyebab ke empat dari semua kecacatan (Fransen et al, 2011). Di Amerika, OA menjadi penyebab utama hendaya (dissability) pada orang dewasa. Penelitian epidemiologi pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 27 juta orang atau lebih dari 10% jumlah orang dewasa di Amerika menderita OA dan pada tahun 2009 OA menjadi penyebab keempat pasien dirawat inap di rumah sakit (Murphy and Helmick, 2012). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 prevalensi nasional untuk penyakit sendi adalah 30,3% dan salah satu provinsi dari 11 provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit sendi di atas angka nasional adalah provinsi Aceh. Dari berbagai macam jenis penyakit sendi yang ada, penyakit sendi yang paling umum dijumpai adalah OA. Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention (CDC) (2011) prevalensi OA secara keseluruhan di Amerika adalah 13,9% pada orang dewasa usia lebih dari 25 tahun dan 33,6% pada orang dewasa usia lebih dari 65 tahun. Berdasarkan gejala OA yang dirasakan (OA simptomatis) prevalensi OA pada tangan yakni 8% (8,9 % wanita; 6,7% laki-laki) pada 2,9 juta penduduk berusia 60 tahun. Prevalensi OA
pada kaki yakni 2% (3,6% wanita; 1,6% laki) pada
penduduk usia 15-74 tahun. Prevalensi OA pada lutut yakni 12% (13,6% wanita; 10% laki-laki) pada 4,3 juta penduduk usia 60 tahun atau lebih dan 16% (18,7% wanita; 13,5% laki) pada penduduk usia lebih dari 45 tahun. Prevalensi OA pada pinggul yakni 4,4% (3,6% wanita; 5,5% laki-laki) pada penduduk usia lebih dari 55 tahun.
1
Menurut Soeroso et al. (2009) diperkirakan 1 sampai 2 juta orang berusia lanjut di Indonesia menderita kecacatan karena OA. OA dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang baik akibat rasa nyeri yang ditimbulkan maupun karena cacat fisik yang diderita, sehingga OA memberikan dampak sosial-ekonomi yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Mengingat besarnya dampak yang dapat ditimbulkan akibat OA, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dengan meminimalisir faktor-faktor risiko yang menyebabkan peningkatan beban biomekanis pada sendi antara lain : overweight, nutrisi, penyakit metabolik, cedera sendi, dan kebiasaan olahraga. Faktor risiko lain seperti jenis kelamin, usia, ras atau etnis dan genetik merupakan faktor risiko yang tidak bisa dicegah. Penegakan diagnosis OA didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis sendi. Pada pasien OA terdapat perubahan-perubahan radiografis sendi diantaranya, penyempitan celah sendi yang sering tidak simetris, peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi dan perubahan struktur anatomi sendi (Soeroso et al., 2009).
2
BAB II STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien Nama
: Ny. Mahliawati
Umur
: 60 tahun
No. CM
: 1-04-29-39
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Gandapura, Bireun,
Suku
: Aceh
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Pensiunan Guru
Tanggal Masuk
: 19 April 2015
Tanggal Pemeriksaan
: 21 April 2015
2.2 Anamnesis a. Keluhan Utama
: Nyeri kedua lutut
b. Keluhan Tambahan
: Lutut bengkak, tidak bisa melipat
lutut saat shalat, tidak bisa berdiri lama, susah berdiri jika sudah duduk c. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang ke poli Bedah Ortopedi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 19 April 2015 dengan keluhan nyeri kedua lutut sejak 5 tahun yang lalu, namun memberat dalam 3 bulan yang lalu, nyeri dirasakan berdenyut seperti di tusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri bertambah berat jika berdiri lama saat mengajar, namun berkurang jika duduk atau beristirahat, dan nyeri hilang jika mengkonsumsi obat anti nyeri yang didapat dari puskesmas. Pasien juga mengeluhkan kedua lutut membengkak sejak setahun yang lalu dan susah dilipat saat shalat, selama setahun terakhir pasien shalat dengan posisi duduk di atas kursi. Jika pasien sudah duduk lesehan susah untuk berdiri kembali.
3
d. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM sejak 15 tahun yang lalu. e. Riwayat Penyakit Keluarga Disangkal f. Riwayat Pemakaian Obat Sebelumnya pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat anti nyeri dan obat reumatik, namun pasien lupa apa nama obat yang di konsumsi. Pasien juga rutin mendapat obat DM dari poli endokrin, namun pasien lupa apa nama obatnya. g. Riwayat Kebiasaan Sosial Pasien merupakan seorang guru, sehari-hari pasien sering berdiri lama saat mengajar, pasien suka makan makanan berlemak, namun pasien malas berolahraga. 2.3 Pemeriksaan Fisik Status Present Keadaan Umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg Nadi (HR)
: 84 x/menit
Frekuensi Nafas
: 18 x/menit
Temperatur
: 36,7º C
TB
: 155 cm
BB
: 90 Kg
IMT
: 37,4609 (Obesitas II)
Status General Kulit Warna
: Sawo matang
Turgor
: Kembali cepat
Ikterus
: (-)
Pucat
: (-)
Sianosis
: (-)
4
Oedema
: (-)
Kepala Bentuk
: Kesan Normocephali
Rambut
: Berwarna hitam, sukar dicabut
Mata
: Cekung (-), refleks cahaya (+/+), konj. Palp inf pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
: Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung
: Sekret (-/-), perdarahan (-/-), NCH (-/-)
Mulut Bibir
: Pucat (-), Sianosis (-), mukosa lembab (+)
Gigi geligi
: Karies (-)
Lidah
: Beslag (-), Tremor (-)
Tenggorokan
: Tonsil dalam batas normal
Faring
: Hiperemis (-)
Leher Bentuk
: Kesan simetris
Kel. Getah Bening
: Kesan simetris, Pembesaran KGB (-)
Peningkatan TVJ
: R-2 cmH2O
Axilla
: Pembesaran KGB (-)
Thorax 1. Thoraks depan a) Inspeksi Bentuk dan Gerak
: Normochest, pergerakan simetris.
Tipe pernafasan
: Abdominal-torakal
Retraksi
: (-)
b) Palpasi Stem premitus Lap. Paru atas Lap. Paru tengah Lap. Paru bawah
Paru kanan Normal Normal Normal
Paru kiri Normal Normal Normal
5
c) Perkusi Lap. Paru atas Lap. Paru tengah Lap.Paru bawah
Paru kanan Sonor Sonor Sonor
Paru kiri Sonor Sonor Sonor
d) Auskultasi Suara pokok Lap. Paru atas Lap.Paru tengah Lap.Paru bawah
Paru kanan Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Paru kiri Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Lap. Paru atas Lap. Paru tengah Lap. Paru bawah
Paru kanan Rh(-) , Wh(-) Rh(-) , Wh(-) Rh(-) , Wh(-)
Paru kiri Rh(-) , Wh(-) Rh(-), Wh(-) Rh(-), Wh(-)
2. Thoraks Belakang a) Inspeksi Bentuk dan Gerak
: Normochest, pergerakan simetris.
Tipe pernafasan
: Thorako-abdominal
Retraksi
: interkostal (-)
b) Palpasi Stem Fremitus Lap. Paru Atas Lap. Paru Tengah Lap. Paru Bawah
Paru kanan Normal Normal Normal
Paru kiri Normal Normal Normal
Paru kanan Sonor Sonor Sonor
Paru kiri Sonor Sonor Sonor
Paru kanan Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Paru kiri Vesikuler Vesikuler Vesikuler
c) Perkusi Lap. Paru atas Lap. Parutengah Lap.Paru bawah d) Auskultasi Suara pokok Lap. Paru atas Lap. Paru tengah Lap. Paru bawah
6
Suara tambahan Lap. Paru atas Lap. Paru tengah Lap. Paru bawah
Paru kanan Rh(-) , Wh(-) Rh(-) , Wh(-) Rh(-) , Wh(-)
Paru kiri Rh(-),Wh(-) Rh(-), Wh(-) Rh(-), Wh(-)
Jantung - Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi
: Ictuscordis teraba ICS V linea midclavicula sinistra
- Perkusi
:
Batas atas
: ICS III LMCS
Batas kanan
:ICS V Linea parasternalis
Batas Kiri
: ICS V linea midclavicula sinistra
- Auskultasi
dextra
: BJ I > BJ II, reguler, bising (-)
Abdomen -
Inspeksi
: Kesan simetris, distensi (-)
-
Palpasi
: Distensi abdomen (-), Nyeri tekan (-), hati, limpa dan ginjal tidak teraba
-
Perkusi
: Timpani (+), asites (-)
-
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal.
Genetalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
:
Ekstremitas Sianotik
Superior Kanan Kiri -
Inferior Kanan Kiri -
Edema
-
-
+
-
Ikterik
-
-
-
-
Aktif
Aktif
Terbatas
Aktif
Tonus otot
Normotonus
Normotonus
Normotonus
Normotonus
Sensibilitas
N
N
N
N
Atrofi otot
-
-
-
-
Gerakan
7
2.4 Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 19 April 2015 Darah Rutin Jenis pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
12,0gr/dl
12,0-150 gr/dl
Eritrosit
4,3 106/mm3
4,2-5,4.106/mm3
Leukosit
6,3 .103/ul
4,5-10,5.103/ul
Trombosit
262.103 /ul
150-450.103/ul
Hematokrit
36%
37-47%
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
Eosinofil
4
0-6
Basofil
0
0-2
Netrofil Segmen
61
50-70
Limfosit
27
20-40
Monosit
8
2-8
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
Protein Total
7,1
6,4-8,3 g/dL
Albumin
4,37
3,5-5,2 g/dL
Globulin
2,73
Haemoglobin
Hitung Jenis Jenis pemeriksaan
Hati dan Empedu Jenis pemeriksaan
Elektrolit Jenis pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
Na
145
135-145 mmol/L
K
4,1
3,5-4,5 mmol/L
Cl
102
90-110 mmol/L
Diabetes Jenis pemeriksaan Gula Darah Sewaktu
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
150 mg/dL
<200 mg/dl
8
3.5 Radiologi Foto Genu AP dan Lateral Tanggal 4 Maret 2015
Interprestasi Foto : Foto Genu Dextra
Foto Genu Sinistra
Aligment baik
Aligment baik
Tampak osteophyte di condylus
Tampak osteophyte di condylus
medialis et lateralis os tibia dan os
medialis et lateralis os tibia dan os
femur disertai dengan penyempitan
femur disertai dengan penyempitan
aspect medial femurotibial joint
aspect medial femurotibial joint
dextra
sinistra
Tampak osteophyte di margo posterosuperioinferior os patella
Tampak osteophyte di margo posterosuperioinferior os patella
Tak tampak destruksi/erosi
Tak tampak destruksi/erosi
Tak tampak fracture
Tak tampak fracture
Tak tampak dislokasi/subluksasi
Tak tampak dislokasi/subluksasi
Tak tampak soft tissue
Tak tampak soft tissue
swelling/mass
swelling/mass
Kesimpulan:
Kesimpulan:
Osteoarthritis genu dextra (grade III)
Osteoarthritis genu sinistra (grade III)
9
3.6 Diagnosa Kerja 1. Osteoarthritis Knee Dextra Sinistra Grade III 2. DM Tipe II 3. Obesitas stage II 3.7 Penatalaksanaan -
IVFD RL 20gtt/i
-
Diet MB
-
Inj. Cefazolin 1gr/12 jam
-
Inj. Ketorolac 3% 1 amp/8 jam
-
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
-
Kaltropen Supp K/P
3.8 Prognosis Quo ad Vitam
: dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam Quo ad Functionam
: dubia ad malam
10
BAB III TINJAUAN KEPUSTAKAAN
3.1 Definisi Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi panggul, lutut, pergelangan tangan dan juga pada sendi tulang vertebra. Penyakit ini secara klinis ditandai oleh keluhan nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena (Soeroso et al.,2009). 3.2 Klasifikasi Berdasarkan patogenesisnya, OA dibedakan menjadi 2 yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi (Soeroso et al., 2009). Menurut Brandt (2000) OA idiopatik terlokalisir dibeberapa tempat yaitu: 1. Tangan: Heberden’s and Bouchard’s nodes, erosive interphalangeal arthritis. 2. Kaki: hallux valgus, hallux rigidus. 3. Lutut:
kompartemen
medial,
kompartemen
lateral
dan
kompartemen
patelofemoralis. 4. Pinggul: eksentrik, kosentrik dan difus. 5. Tulang belakang: sendi intervertebra, spondilosis dan sendi apophyseal. 6. Bagian tunggal lainnya: glenohumeral, tibiotalar dan sakroiliak. Secara patologis, OA sekunder tidak dapat dibedakan dari OA idiopatik, namun OA sekunder memiliki penyakit yang mendasarinya, seperti : kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro, serta immobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan daripada OA sekunder (Brandt, 2000; Soeroso et al., 2009). 3.3 Etiopatogenesis OA merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum diketahui secara pasti. Jejas mekanik dan kimiawi pada sinovia sendi dapat terjadi
11
oleh berbagai faktor, antara lain: faktor umur, stres mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, efek anatomik, overweight dan genetik. Jejas mekanik dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadinya inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri (Soeroso et al., 2009). OA terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi tulang rawan sendi, remodeling tulang dan inflamasi cairan sendi. Setelah adanya lesi pada tulang rawan sendi, kondrosit akan mengalami replikasi memproduksi matriks baru sehingga tulang rawan dapat melakukan perbaikan sendiri. Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Namun, pada orang tua matriks baru yang dihasilkan tidak sekuat matriks sebelumnya dalam menahan beban mekanis sehingga peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi. Pada pasien OA sintesis matriks yang terbentuk lebih rendah dari pada degradasi yang terjadi. Kelebihan produk degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Soeroso et al., 2009; Fauci et al., 2008). Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktifitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Hal ini mengkibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan nyeri tulang (bone angina) lewat subkondral. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari lepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi. Kelainan disekitar rawan sendi tergantung pada pada sendi yang terkena, namun prinsipnya adalah adanya tanda-tanda inflamasi sendi, perubahan fungsi dan struktur rawan sendi seperti persambungan sendi yang tidak normal, gangguan fleksibelitas, terjadinya instabilitas sendi, timbulnya krepitasi baik pada gerakan aktif maupun pasif (Soeroso et al., 2009).
12
3.4 Manifestasi klinis Keluhan-keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA adalah: a. Nyeri sendi Pada umumnya gambaran klinis OA adalah nyeri sendi. Nyeri yang dikeluhkan biasanya merupakan nyeri yang dalam dan terlokalisir pada sendi yang terkena (Brandt, 2000). Nyeri sendi yang dirasakan terutama pada saat sendi tersebut bergerak atau menanggung beban yang akan berkurang bila penderita istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadangkadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan lain. Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misal pada OA servikal dan lumbal (Soeroso et al., 2009). b. Kaku pagi Selain nyeri juga terdapat kekakuan sendi. Kaku dan nyeri pada sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur (Soeroso et al., 2009). Kekakuan ini biasanya akan menetap kurang dari 20 menit dan menghilang setelah sendi digerakkan (Brandt, 2000; Price and Wilson, 2005). c. Hambatan gerak sendi Kesukaran bergerak pada sendi bisa disebabkan oleh berbagai macam masalah seperti nyeri dan spasme otot. Hal ini sudah sering timbul meskipun penyakitnya masih dini dan biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Soeroso et al., 2009). d. Krepitasi Krepitasi adalah bunyi gesekan tulang yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu. Gejala ini timbul karena
13
gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi (Soeroso et al., 2009). e. Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen dapat timbul karena adanya perubahan pada tulang dan permukaan sendi, kontraktur sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri (Soeroso et al., 2009). f. Pembengkakan sendi yang asimetris Pembengkakan sendi dapat timbul karena terjadinya efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (< 100cc) atau karena adanya osteofit, sehingga terjadi perubahan bentuk permukaan sendi (Soeroso et al., 2009). g. Perubahan gaya berjalan Pada pasien berusia lanjut, perubahan gaya berjalan merupakan gejala yang menyusahkan dan menjadi ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada OA lutut, panggul, tumit dan pergelangan kaki (Soeroso et al., 2009). 3.5 Diagnosis Diagnosis OA biasanya didasarkan pada anamnesis yaitu riwayat penyakit, gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan radiologis. 3.6 Pemeriksaan Fisik Lutut adalah sendi utama penahan berat badan, sehingga lutut menjadi sendi yang paling sering terkena OA. Kriteria diagnosis OA lutut biasanya menggunakan kriteria klasifikasi American College of Rheumatology yang berdasarkan gejala klinik yaitu: nyeri lutut dengan minimal 3 dari 6 kriteria berikut: umur > 50 tahun, kaku pagi < 30 menit, krepitasi, nyeri tekan, pembesaran tulang dan tidak panas pada perabaan, sehingga mengakibatkan kesulitan untuk berjalan, menaiki tangga, bangkit dan duduk (Altman et al., 1986). Kriteria diagnosis OA pinggul adalah usia > 40 tahun, nyeri dirasakan ketika menanggung beban, nyeri yang dirasakan hilang ketika duduk,
nilai
14
erythrocyte sedimentation rate (ESR) yang normal serta nilai negatif dari rhematoid factor test (Altman et al., 1991). Kriteria diagnosis OA tangan adalah nyeri atau kaku pada tangan dengan 34 kriteria berikut : pembesaran 2 atau lebih jaringan dari 10 sendi pada tangan, pembesaran 2 atau lebih dari sendi distal interphalangeal(DIP), kurang dari 3 sendi metacarpophalangeal (MCP), deformitas minimal 1 dari 10 sendi pada tangan. 10 sendi pada tangan yang dinilai adalah DIP ke dua dan ke tiga, proximal interphalangeal ke dua dan ke tiga, sendi pertama carpometacarpal dari ke 2 tangan (Altman et al., 1990). Radiografis sering dijadikan gold standar untuk diagnosis OA. Pada tahap awal, mungkin dapat terlihat normal, tetapi seiring dengan berkurangnya kartilago sendi maka akan tampak penyempitan ruang sendi. Temuan radiografis khas lainnya adalah sklerosis tulang subkondral, kista subkondral dan osteofit marginalis. Dapat dijumpai perubahan kontur sendi akibat remodeling tulang dan subluksasi (Brandt, 2000). Walaupun menjadi gold standar, radiografis tidak menjadi satu-satunya penanda untuk OA lutut. Enam manifestasi klinis seperti: nyeri lutut yang persisten, kaku sendi pada pagi hari dan fungsi sendi yang berkurang dan krepitasi, gerakan sendi yang terbatas dan pembesaran tulang merupakan gejala paling berguna dalam menegakkan diagnosis. Kemungkinan menderita OA lutut yang positif secara radiografis akan meningkat seiring dengan bertambahnya hasil positif dari manifestasi klinis, bahkan bisa mencapai 99% jika keenam manifestasi klinis tersebut muncul (Zhang et al., 2009). 3.7 Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan pada pasien OA dapat dilakukan dengan menggunakan foto rontgen, MRI, artroskopi, artrografi dan mielografi (Soeroso et al., 2009). Radiografis digunakan untuk mendiagnosa OA ditinjau dari aspek kartilago yang rusak serta perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subkondral. Walaupun banyak sistem gradasi radiografis yang telah dimunculkan 20 tahun belakangan ini, metode yang dikembangkan oleh Kellgren dan Lawrence pada tahun 1957 sudah diakui oleh WHO di Roma sejak tahun 1961 dan sampai saat ini dipakai sebagai gold standar untuk cross secsional dan longitudinal studi epidemiologi.
15
Sistem ini mengklasifikasikan OA atas 5 grade yaitu grade 0 – 4 yang dibedakan berdasarkan adanya gambaran osteofit, jarak antar sendi, sklerosis subkondral dan kista yang terbentuk (Majumdar, 2010). Hal ini seperti tercantum pada tabel 3.1 dan seperti terlihat pada gambar 3.1. Tabel 3.1 Klasifikasi Derajat OA berdasarkan Kellgren-Lawrence (Majumdar, 2010; Milne et al., 2010) Grade 0 1 2 3 4
Klasifikasi Normal Meragukan Ringan Sedang Berat
Deskripsi tidak ada gambaran osteoarthritis gambaran sendi normal, tetapi terdapat osteofit minimal osteofit kecil, kemungkinan penyempitan sendi osteofit sedang, deformitas ujung tulang, dan celah sendi sempit osteoartritis berat dengan osteofit besar, deformitas ujung tulang, celah sendi hilang, serta adanya sklerosis dan kista subkondral
Gambar 3.1 Klasifikasi OA berdasarkan Kellgren-Lawrence (Brandt, 2010) 3.8 Penatalaksanaan Menurut
Brandt
(2000)
tidak
terdapat
pengobatan
yang
dapat
menyembuhkan OA. Pengobatan yang dilakukan ditujukan untuk mengurangi nyeri, mempertahankan mobilitas dan memperkecil kecacatan. Kuat lemahnya intervensi terapeutik tergantung pada keadaan tiap-tiap pasien.
16
Menurut Soeroso et al. (2009) penatalaksanaan OA dapat dibagi berdasarkan distribusinya yaitu, sendi mana yang terkena dan berat ringannya sendi yang terkena. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terhadap penderita OA adalah terapi non farmakologis, terapi farmakologi dan terapi bedah. Menurut Fauci et al. (2008) terapi non farmakologis yang paling efektif bagi pasien OA adalah menghindari kegiatan yang memicu rasa sakit, yakni menghindari kegiatan yang membebani sendi. Terapi farmakologis OA bersifat simtomatis. NSAID merupakan obat yang paling populer dalam pengobatan OA, namun asetaminofen (paracetamol) adalah analgesik pilihan pertama untuk mengurangi nyeri pada OA lutut. NSAID memiliki efek samping pada gastrointestinal
seperti
maag,
mual,
kembung,
dan
perdarahan
pada
gastrointestinal. Strategi untuk meminimalkan risiko efek sampingnya yakni : 1. Mengonsumsi obat setelah makan. 2. Menghindari mengonsumsi 2 jenis NSAID. 3. Menggunakan NSAID yang relatif aman untuk gastrointestinal seperti nonacetylated salicylates, ibuprofen dan nabumetone. 4. Bagi pasien yang bersiko perdarahan gastrointestinal sebaiknya memberikan obat-obat gastroprotektif. Terapi bedah dilakukan apabila terpai farmakologis tidak berhasil mengurangi rasa nyeri dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi. Osteotomi merupakan tindakan bedah yang paling efektif terhadap pasien OA derajat sedang karena dapat menghilangkan konsentrasi beban dinamik dan untuk mengurangi nyeri pada pasien OA lutut. Untuk pasien OA stadium lanjut, artroplasti sendi total dapat dipertimbangkan jika penatalaksanan medis agresif tidak berhasil. 3.9 Prognosis Prognosis pada osteoarthritis adalah: Quo ad Vitam
: dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam Quo ad Functionam
: dubia ad malam
17
BAB IV ANALISA KASUS
Hasil anamnesa pasien datang dengan keluhan nyeri kedua lutut sejak 5 tahun yang lalu, namun memberat dalam 3 bulan yang lalu, nyeri dirasakan berdenyut seperti di tusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri bertambah berat jika berdiri lama saat mengajar, namun berkurang jika duduk atau beristirahat, dan nyeri hilang jika mengkonsumsi obat anti nyeri yang didapat dari puskesmas. Pasien juga mengeluhkan kedua lutut membengkak sejak setahun yang lalu dan susah dilipat saat shalat, selama setahun terakhir pasien shalat dengan posisi duduk di atas kursi. Jika pasien sudah duduk lesehan susah untuk berdiri kembali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema pada kedua sendi lutut dan gerakan sendi lutut terbatas. Lutut adalah sendi utama penahan berat badan, sehingga lutut menjadi sendi yang paling sering terkena OA. Kriteria diagnosis OA lutut biasanya menggunakan kriteria klasifikasi American College of Rheumatology yang berdasarkan gejala klinik yaitu: nyeri lutut dengan minimal 3 dari 6 kriteria berikut: umur > 50 tahun, kaku pagi < 30 menit, krepitasi, nyeri tekan, pembesaran tulang dan tidak panas pada perabaan, sehingga mengakibatkan kesulitan untuk berjalan, menaiki tangga, bangkit dan duduk (Altman et al., 1986). Hasil dari pemeriksaan radiologi foto x-ray genu AP/Lateral didapatkan : Aligment baik Tampak osteophyte di condylus medialis et lateralis os tibia dan os femur disertai dengan penyempitan aspect medial femurotibial joint dextra dan sinistra Tampak osteophyte di margo posterosuperioinferior os patella dextra dan sinistra Tak tampak destruksi/erosi Tak tampak fracture, dislokasi/subluksasi Tak tampak soft tissue swelling/mass Kesimpulan: Osteoarthritis genu dextra (grade III)
18
Radiografis sering dijadikan gold standar untuk diagnosis OA. Pada tahap awal, mungkin dapat terlihat normal, tetapi seiring dengan berkurangnya kartilago sendi maka akan tampak penyempitan ruang sendi. Temuan radiografis khas lainnya adalah sklerosis tulang subkondral, kista subkondral dan osteofit marginalis. Dapat dijumpai perubahan kontur sendi akibat remodeling tulang dan subluksasi (Brandt, 2000). Pasien mendapatkan terapi IVFD RL 20gtt/menit, Diet MB, Inj. Cefazolin 1gr/12 jam, Inj. Ketorolac 3% 1 amp/8 jam, Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam, Kaltropen Supp K/P. Menurut
Brandt
(2000)
tidak
terdapat
pengobatan
yang
dapat
menyembuhkan OA. Pengobatan yang dilakukan ditujukan untuk mengurangi nyeri, mempertahankan mobilitas dan memperkecil kecacatan. Kuat lemahnya intervensi terapeutik tergantung pada keadaan tiap-tiap pasien. Menurut Soeroso et al. (2009) penatalaksanaan OA dapat dibagi berdasarkan distribusinya yaitu, sendi mana yang terkena dan berat ringannya sendi yang terkena. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terhadap penderita OA adalah terapi non farmakologis, terapi farmakologi dan terapi bedah. Menurut Fauci et al. (2008) terapi non farmakologis yang paling efektif bagi pasien OA adalah menghindari kegiatan yang memicu rasa sakit, yakni menghindari kegiatan yang membebani sendi. Terapi farmakologis OA bersifat simtomatis. NSAID merupakan obat yang paling populer dalam pengobatan OA, namun asetaminofen (paracetamol) adalah analgesik pilihan pertama untuk mengurangi nyeri pada OA lutut. NSAID memiliki efek samping pada gastrointestinal
seperti
maag,
mual,
kembung,
dan
perdarahan
pada
gastrointestinal. Strategi untuk meminimalkan risiko efek sampingnya yakni : 1. Mengonsumsi obat setelah makan. 2. Menghindari mengonsumsi 2 jenis NSAID. 3. Menggunakan NSAID yang relatif aman untuk gastrointestinal seperti nonacetylated salicylates, ibuprofen dan nabumetone. 4. Bagi pasien yang bersiko perdarahan gastrointestinal sebaiknya memberikan obat-obat gastroprotektif.
19
DAFTAR PUSTAKA
Altman, RD; Asch, E; Bloch, D; Bole, D; et al. 1986. Development of Criteria for the Classification and Reporting of Osteoarthritis of the Knee. Arthritis Rheum 29(8): 1039-49. Altman, RD; Alarcon, G; Appelrouth, D; Bloch, D; et al. 1990. The American College of Rheumatology Criteria For The Classification and Reporting of Osteoarthritis of the Hand. Arthritis Rheum 33(11): 1601-10. Altman, RD; Alarcon, G; Appelrouth, D; Bloch, D; et al. 1991. The American College of Rheumatology Criteria For The Classification and Reporting of Osteoarthritis of the Hip. Arthritis Rheum 34(5): 505-14. Brandt, K.D. 2000. Osteoarthritis. In: Isselbatcher, K.J; Braunwald, E; Wilson, J.D; Martin, J.B; et al. Eds. 2000. Harisson Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi: 13. Jakarta : EGC. Brandt, K.D. 2010. Diagnosis and Nonsurgical Management of Osteoarthritis. Professional Communications,Inc. USA. Center for Disease Control and Prevention. 2011. Osteoarthritis. Fauci, A.S; Braunwald, E; Kasper, D.L; Hauser, S.L; et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi : 17. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. Fransen, M; Bridgett, L; March, L; Hoy, D; et al. 2011. The Epidemiology of Osteoarthritis in Asia. Int J Rheum Dis 14: 113-121. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Majumdar, S. 2010. Advenced in MRI of the Knee for Osteoarthritis. World Scientific Publishing. Inggris. Murphy, L. dan Helmick, C.G. 2012. The Impact of Osteoarthritis in the United States: A Population-Health Perspective. AJN 112(3) : 13-19. Price, S.A. and Willson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-4. Jakarta : EGC. Soeroso, J; Isbagio, H; Kalim, H; Broto, R et al. 2009. Osteoarthritis. In : Sudoyo A.W; Setiohadi, B; Alwi, I; Simadibrata, M; et al. Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Zhang, W; Doherty, M; Peat, G; Bierma-Zeinstra S. M. A; et al. 2010. EULAR Evidence-Based Recommendations for the Diagnosis of Knee Osteoarthritis. Ann Rheum Dis 69:483–489.
20