BAB II SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KOTA SURABAYA
A. Geografis Surabaya adalah kota kedua terbesar di Indonesia setelah Jakarta. Surabaya adalah ibukota Propinsi Jawa Timur Wilayah Kota Surabaya dibagi dalam 31 kecamatan dan 163 kelurahan dengan jumlah penduduk sampai dengan tahun 2015 mencapai 2.806.306 jiwa. Dengan luas wilayah 326,36 km2, maka kepadatan penduduk rata-rata adalah 7.613 jiwa per km. Surabaya memiliki 31 kecamatan dan 163 desa/kelurahan.23 Batas daerah administratif Kota Surabaya adalah: 1. Sebelah Utara: Selat Madura; 2. Sebelah Selatan: Kabupaten Sidoarjo; 3. Sebelah Timur: Selat Madura; 4. Sebelah Barat: Kabupaten Gresik. Secara topografi, sebagian besar (25.919,04 Ha) merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 - 6 meter di atas permukaan laut pada kemiringan kurang dari 3 persen, sebagian lagi pada sebelah barat (12,77 persen) dan sebelah selatan (6,52 persen) merupakan daerah perbukitan landai dengan ketinggian 25 50 meter di atas permukaan laut dan pada kemiringan 5 – 15 persen. Jenis batuan yang ada terdiri dari 4 jenis yang pada dasarnya merupakan tanah liat atau unit-unit pasir. Sedangkan jenis tanah, sebagian besar berupa tanah alluvial, selebihnya tanah
Dikutip dari kode dan data Wilayah Administrasi Permerintahan (Pemendagri No.56-2015- situs www.kemendagri.go.id) 23
17
dengan kadar kapur yang tinggi (daerah perbukitan). Sebagaimana daerah tropis lainnya, Surabaya mengenal 2 musim yaitu musim hujan dan kemarau. Curah hujan rata-rata 172 mm, dengan temperatur berkisar maksimum 30° C dan minimum 25° C. Secara geografis, Kota Surabaya terletak di hilir sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang bermuara di Selat Madura. Beberapa sungai besar yang berfungsi membawa dan menyalurkan banjir yang berasal dari hulu mengalir melintasi Kota Surabaya, antara lain Kali Surabaya dengan Q rata2 = 26,70 m3/detik, Kali Mas dengan Q rata2 = 6,26 m3/detik dan Kali Jagir dengan Qrata2 = 7,06 m3/detik. Sebagai daerah hilir, Kota Surabaya dengan sendirinya merupakan daerah limpahan debit air dari sungai yang melintas dan mengakibatkan terjadinya banjir pada musim penghujan. B. Sosial Berbeda sekali dengan kota-kota pedalaman yang dulunya mempunyai penduduk relatif homogen, sebagai kota pelabuhan yang terletak di Pantai Utara Jawa, penduduk kotanya sejak awal sangat heterogen atau majemuk. Posisi geografi sebagai permukiman pantai menjadikan Surabaya berpotensi sebagai tempat persinggahan dan permukiman bagi kaum pendatang (imigran). Proses imigrasi inilah yang menjadikan Kota Surabaya sebagai kota multi etnis yang kaya akan budaya. Beragam migrasi, tidak saja dari berbagai suku bangsa di Nusantara, seperti, Madura, Sunda, Batak, Borneo, Bali, Sulawesi dan Papua, tetapi juga dari etnis-etnis di luar Indonesia, seperti etnis Melayu, China, Arab, India, dan Eropa,
18
datang, singgah dan menetap, hidup bersama serta membaur dengan penduduk asli, membentuk pluralisme budaya yang kemudian menjadi ciri khas Kota Surabaya.24 Sebagian besar penduduk Surabaya merupakan Orang Jawa. Komunitas terbesar kedua penduduk Surabaya adalah masyarakat Madura yang tinggal di sepanjang wilayah Surabaya bagian timur. Salah satu pendatang yang paling tua di Surabaya adalah orang Cina. Kehadirannya di satu kota ditandai dengan pemukiman yang sering disebut sebagai pecinan. Selain suasananya yang khas, daerah Pecinan selalu ditandai dengan bangunan yang disebut kelenteng. Kelenteng bukan sekedar tempat ibadah, tetapi juga mencerminkan ungkapan lahiriah masyarakat yang mendukungnya. 25 Sejak Sri Susuhunan Pakubuwana II—raja terakhir Kasunanan Kartasura (kelanjutan dari Kesultanan Mataram)—menyerahkan penguasaan Surabaya kepada VOC pada 1743, Surabaya resmi berada di bawah kedaulatan kolonial Belanda. Pemerintahan pun berada di tangan Belanda. Di zaman kolonial tersebut, Belanda membagi-bagi masyarakat dalam kampung-kampung berdasarkan etnis. Sampai akhirnya kita mengenal ada Kampung Pecinan, Kampung Arab, Kampung Bumiputra (inlander atau orang-orang Jawa/Melayu), serta Kampung Eropa. Kampung-kampung etnis ini muncul karena peraturan Wijkenstensel yang berisi setiap etnis harus menempati kampung etnisnya masing-masing. Peraturan
Dukut Imam Widodo. Hors cadre Surabaya di luar bingkai out f frame. (Surabaya: CCL Surabaya.2004). hlm.11 24
Hadinoto. Komunitas Cina dan Perkembangan Kota Surabaya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hlm.6 25
19
Passenstensel yang menyatakan bahwa seseorang harus menunjukkan surat jalan jika hendak keluar dari lingkungan. Kedua peraturan ini menyebabkan akses keluarmasuk di kawasan Kampung Arab, Pecinan, atau pribumi menjadi sulit. Kampung cina di Surabaya berada di sekitar jalan Kembang Jepun yaitu kecamatan Bubutan, kecamatan Semampir, kecamatan Pabean Citian dan kecamatan Krembangan, Kampung Eropa berada di sekitar Jalan Rajawali (Daerah Kota Lama) dan Kampung Arab disekitar daerah Sunan Ampel. Komposisi Penduduk Kota Surabaya ditinjau menurut agama mayoritas memeluk agama Islam. Pada tahun 1980, penduduk Surabaya yang memeluk agama islam sebanyak 84,79 persen, selanjutnya pemeluk agama Kristen sebanyak 9,82 persen, kemudian pemeluk agama Katholik sebanyak 4,21% persen sedangkan penduduk yang memeluk agama Hindu, Budha dan lainnya, masing masing 0,33,1,76 dan 0,01 persen. Komposisi penduduk Kota Surabaya berdasarkan agama yang dipeluk untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Kemajemukan ini tidak terlepas dari peran kota Surabaya sebagai Kota Bandar pelabuhan. Pada kenyatannya suku Jawa dan Madura memainkan peran besar dalam memberi wama khas budaya Surabaya. Sejak awal Surabaya sudah diuntungkan dengan secara geografis sebagai kota pelabuhan dari situasi tersebut. Surabaya menjadi kota perdagangan yang sangat pesat karena posisi tersebut. Sebagai kota pendidikan, Kota Surabaya telah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, meliputi tingkat pendidikan dasar, menengah
20
dan pendidikan tinggi. Hampir di semua bidang ilmu pengetahuan dengan tingkat strata dari akademi dan politeknik, dari, S-1, S-2 hingga S-3, dapat ditemukan di lembaga pendidikan di Surabaya. Perguruan tinggi yang ada di Surabaya, tidak saja mampu menampung mahasiswa yang berasal dari Kota Surabaya, namun juga mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Keberadaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) semakin memperkuat dunia pendidikan di Surabaya. Bahkan beberapa PTS telah berkembang dengan sangat pesat, dan mampu berprestasi, seperti halnya pada Perguruan Tinggi Negeri. Surabaya juga memiliki sejumlah lembaga pendidikan praktis yang sifatnya non formal (dalam bentuk kursus-kursus singkat) yang dibuka dalam rangka memenuhi permintaan pasar kerja atas kebutuhan tenaga madya di pelbagai bidang yang siap pakai, seperti di bidang bahasa Inggris, komputer, sekretaris, elektronik, perbengkelan, kelistrikan, dan perhotelan. Surabaya juga memfasilitasi para investor dengan penyediaan kawasan pergudangan di kawasan segitiga Tambak Langon-Kalianak-Margomulyo, Surabaya Barat. Kawasan itu mudah dijangkau karena letaknya dekat jalan tol menuju pelabuhan Tanjung Perak. Pergudangan itu berfungsi strategis bagi ekspor hasil-hasil industri di Surabaya maupun Jawa Timur. Lancarnya perdagangan di Surabaya juga didukung oleh sistem transportasi yang memadai, baik lewat darat, laut maupun udara. Pelayanan angkutan darat yang melayani transportasi umum, baik dalam Kota Surabaya maupun antar kota, Surabaya didukung oleh beberapa terminal yang representatif antara lain: Terminal
21
Bungurasih (Purabaya),
Terminal Tambak, Osowilangun Terminal Jembatan
Merah, Terminal Joyoboyo, dan, Terminal Bratang. Masyarakat umumnya menggunakan angkutan umum bemo, sementara bisa juga menjadi fasilitas yang bisa diandalkan. Sebagaimana umumnya, angkutan publik di Surabaya masih belum mendapatkan perawatan yang memadai, sehingga banyak angkutan yang sudah tidak layak jalan, namun karena kurangnya perhatian dari pihak-pihak terkait, kendaraan-kendaraan tersebut masih terus beroperasi. Surabaya sebagai sebuah kota besar mempunyai fasilitas-fasilitas atau sarana yang dibutuhkan oleh warganya. Kegiatan sosial dan budaya secara umum untuk menunjang kebudayaan. Surabaya mernpunyai tempat-ternpat untuk digunakan sebagai pementasan diantaranya yaitu Taman Hiburan Rakyat (THR) dan Taman Budaya Surabaya atau Gedung Cak Durasim. Budaya khas Surabaya mencerminkan heterogenitas masyarakat yang tinggal kota itu. Heterogenitas masyarakat Surabaya nampak dalam proses interaksi dan keterbukaan sikap rnasyarakat Surabaya itu sendiri. Sebagian besar masyarakat Surabaya terdiri dari orang Jawa yang memiliki sikap hati-hati, bahkan terlihat pandai keharmonisan dan kenyamanan dalam interaksi sosialnya. Komunitas terbesar kedua penduduk Surabaya adalah masyarakat Madura yang tinggal di sepanjang wilayah Surabaya bagian timur. C.
Budaya Sikap kesabaran orang Jawa sangat mengesankan cinta perdamaian,
sementara orang Madura lebih terbuka dan berterus terang. Percampuran nilai-nilai
22
kedua etnis tersebut menjadi ciri khas masyarakat Surabaya lebih bersifat (1) terbuka; (2) pragrnatis; (3) egaliter; (4) terus terang dan lebih kritis; (5) lugas; dan (6) berani.26 Percampuran nilai ini pada akhimya menjadi ciri khas sifat budaya Surabaya lebih dikenal dengan sebutan "Budaya arek Suroboyo’. Terdapat beberapa budaya Suroboyan yang khas, yaitu: 1. Panggilan Cak dan Rek Banyak orang bangga ketika disebut sebagai Arek Suroboyo.
Dengan sikap
masyarakat yang terbuka dan dinamis serta saling rnengkritik merupakan hal yang wajar ditemui dalam keseharian rnasyarakat Surabaya. Rasa kerukunan atau guyup masih erat mewamai kehidupan antar gang-gang perkampungan di Kota Surabaya. Saling memberi sapaan "Yok opo kabare, Cak/Rek?" yang menjadi sapaan akrab. Dalarn pergaulan sehari-hari dan menjadi potret budaya Arek Surabaya. 2. Permainan Ontong-Ontong Bolong Onthong-Onthong Bolong merupakan ada
salah satu permainan
yang
di Surabaya. Permainan ini tidak memerlukan tempat yang Iuas, karena
seperti pada kenyataannya bahwa di Surabaya sudah sangat jarang ditemui lahan kosong di sela- sela perkampungan warga untuk dapat dijadikan tempat bermain anak-anak kampung. Onthong-onthong Bolong memiliki
sejarah yang panjang. Bagaimana
proses perkembangannya dari waktu ke waktu tidak dapat diikuti dengan jelas.
Fuji Rahayu. Perkembangan Seni Pertunjukan Ludruk Kartolo di Surabaya Tahun 1980-1995 (Tinjauan Historis Group Kartolo)., (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2014). hlm. 22. 26
23
Tetapi permainan
Onthong-Onthong Bolong sudah berurnur
dibuktikan dengan adanya naskah-naskah perrnainan dan lagu-lagu dolanan
tua, clapat
yang mernuat bermacam-macam
anak-anak.27 Onthong-onthong Bolong jenis
permainan yang khusus untuk anak-anak perempuanberumur antara 5 sampai 9 tahun. Dengan jumlah pemain yang tidak pasti antara 4 atau 5 orang, tidak lebih karena permainan akan menjadi membosankan. Mereka berasal dari masyarakat pinggiran kota Surabaya, yaug memiliki latar belakang sebagai anak dari pegawai, buruh, pedagang yang mendiami kampung- karnpung,yang bukan termasuk orang-orang dengan istilah Gedhongan.28 Perlengkapan permainanpun sangat sederhana, hanya membutuhkan tempat bermain hanya sekedar lantai yang tidak perlu luas, cukup untuk 5 pemain yang duduk melingkar dan saling berhimpitan. Cara bermain dimulai dengan anakanak rnenggenggamkan kedua tangan masing-masing dengan ibu jarinya tegak ke atas. Genggaman tangan tersebut diletakkan di atas lantai, tersusun berturnpang tindih satu sarna lain, ibu jari yang berdiri tegak ke atas itu menjadi penguat masuk dalam genggaman yang lain, sehingga dengan demikian terbentuk satu susunan genggaman yang bertingkat-tingkat. Genggaman tangan anak yang merrumpm menempati susunan paling atas. Kemudian genggaman tangan yang
Permainan Rakyat Daerah Jawa Timur. (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981)., hlm.242. 27
28
Ibid., hlm., 247. 24
paling atas digerakkan dan dengan sendirinya genggaman
yang dibawahnya
mengikuti. 3. Permainan Adu Doro Adu Doro merupakan
salah satu budaya mengadu
burung merpati
yang ada pada masyarakat bawah di Surabaya. Doro merupakan bahasa Jawa dari merpati, salah satu spesies burung. Dan doro banyak sekali dipelihara di Surabaya. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang tua (baik kalangan bawah serta kalangan atas) sangat menyukai memelihara burung merpati. Sehingga
memelihara doro
seakan- akan sudah biasa.
Memelihara doro
merupakan tradisi, bahkan lebih dari tradisi, yang ada di Surabaya. Sering kali bisa dilihat, banyak pegupon (rumah doro) menjulang tinggi. Mernelihara doro sudah ada sejak kolonial. Kegiatan ini bisa kita jurnpai setiap akhir pekan (sabtu dan minggu), warga Surabaya bertaruh (berjudi) dengan doro sebagai medianya (Adu). Misalnya daerah-daerah yang masih melakukan hal tersebut adalah Manyar Medokan Ayu, Rungkut, Keputih, PIasa, Bulak, Kenjeran, Manukan, Sirna, Perak dan daerah pinggiran Surabaya yang lainnya. Bahkan untuk Adu Doro, setiap petaruh berani memasang taruhan besar. Tidak tanggung-tanggung, untuk sekali taruhan bisa terkumpul uang sampai jutaan. Bisa dikatakan bahwa adu doro tidak hanya sekedar tradisi saja. Dari kegernaran dan juga taruhan inilah, adu doro rnenjadi sebuah hiburan setiap akhir pekan bagi masyarakat pinggiran Surabaya. Adu doro rnerupakan kegiatan
25
untuk melupakan sejenak kepenatan hidup dan persoalan-persoalan rumit dalam kehidupan. Setelah pergantian Kapolri dari Da'i Bachtiar ke Sutanto, konsekuensi logis tradisi Adu Doro ini menjadi sepi. Dengan diberlakukannya kebijakan Kapolri baru mengenai pemberantasan perjudian, banyak masyarakat
yang
ditangakap.ini mengakibatkan banyaknya masyarakat yang enggan untuk Adu Doro. Burchardt seorang sejarawan yang mendedikasikan banyak waktunya untuk meneliti akan kebudayaan, mengatakan bahwa setiap detail yang kecil dan tunggal sebenamya merupakan simbol dari keseluruhan dan satuan yang lebih besar. Adu Doro yang merupakan tradisi serta hiburan bagi masyarakat Surabaya, secara sadar ataupun tidak sadar telah menjadi ciri khas Surabaya. Adu Doro layak untuk kita beri perhatian dan dilestarikan akan keberadaannya. 4. Bonek (Bondho Nekad) Supporter dari Surabaya yang paling terkenal adalah Supporter Persebaya (Persatuan sepak Bola Surabaya). Supporter ini diberi nama Bonek yang merupakan kepanjangan dari bondho nekad atau dalam bahasa Indonesia yang berarti modal nekad. Setiap kali ada perhelatan sepak bola liga Indonesia, Surabaya juga akrab dengan pasukan green force Persebaya dan Boneknya. Nama besar Bonek dengan segala aktivitas serta dukungan terhadap Persebaya, banyak terdapat pada media massa baik media cetak atau Koran dan media elektronik atau televisi. Tidak hanya itu ada juga ungkapan yang telah melekat pada kita semua
26
bahwa orang Surabaya itu adalah Bonek, orang yang tidak hanya mempunyai tekad yang tinggi melainkan juga sikap nekad. 5. Kesenian di Surabaya Kehidupan berkesenian di Kota Surabaya tumbuh dengan baik. Kesenian tradisional dan modern saling melengkapi rnernbentuk keragaman kesenian Surabaya. Kesenian tradisional tumbuh karena perjalanan sejarah melawan penjajahan zaman dahulu sampai saat ini tetap dilestarikan. Bentuk kesenian tradisional banyak ragamnya. Ada seni tari, seni musik dan seni panggung. Ludruk adalah kesenian rakyat asli Jawa Timur. Kesenian rakyat yang berasal dari Jombang ini, menjadi budaya khas Surabaya, terutama Tarian Ngrema. Ludruk sudah ada sejak tahun 1942. Dan menjadi sangat popuIer di Surabaya sejak zaman revolusi. Sementara kesenian modem
juga
tumbuh
pesat.
Sejumlah
sanggar
tari berkonsentrasi
mengembangkan perpaduan seni tradisional dan modem. Seiring dengan perkembangan Kota Surabaya menjadi pusat perdagangan, banyak kelompokkelompok teater berdatangan. Kehadiran teater-teater dari Cina dan Arab lewat misi
dagang,
dan dari Belanda maupun Eropa pada umumnya melalui
kolonisasi, memperkuat pertumbuhan teater di Surabaya. Dinamika kota mendorong teater terus menerus. Teater tradisional
tradisional
mengalami
Ludruk sekarang tidak ubahnya
perubahan menjadi
teater modem yang berpakaian dan berbahasa Jawa, serta alat musik tradisional
27
Jawa. Salah satu buktinya adalah semakin menurunnya animo penonton dalam pertunjukan Ludruk. Tari Ngrema berkembang di Surabaya pada tahun kurang lebih 1990an yang digunakan
oleh
beberapa
tokoh
perjuangan
sebagai
media
komunikasi dengan masyarakat (dikemukakan oleh Satari. tokoh Ludruk yang sejamn dengan Durasim). Ngrema adalah suatu bentuk tari yang diekspresikan oleh seniman-senimannya yang dalam aktivitasnya digunakan sebagai awal pertunjukan sandiwara ludruk.29 Jenis tarian Ngrema
dibawakan
oleh penari putra maupun penari
putri, sedangkan gaya tarinya ada dua macarn yaitu gaya tari putra dan gaya tari putri. Selain dipentaskan pada acara pernikahan dan di pangung kesenian tari ini juga berfungsi sebagai tarian penghormatan atau ucapan selamat datang kepada para yang hadir. Terdapat pula perkumpulan-perkumpulan Parneran
seni
lukis
maupun
seni
teater
seni
teater, dan
musik.
seringkali dipertunjukkan di
Gedung Balai Pemuda, sementara pagelaran seni tari tradisional di Taman Hiburan
Rakyat
(THR)
dan Taman
Budaya.
Eri Broto Wibisono. NGREMA. (Proyek Pengembangan Kesenian Jawa Timur. 1981)., hlm.8. 29
28