BAB II RIWAYAT SINGKAT A.H. NASUTION A.
Kehidupan, dan Pendidikan A.H. Nasution A.H. Nasution lahir di Katanapan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 31 Mei 19181. Dari pasangan H. A. Halim Nasution (ayah) dan Hj. Zaharah Lubis (Ibu) yang bekerja sebagai petani. A.H. Nasution menikah dengan Sunarti putri dari Gondokusumo pada 30 Mei 1947 dan dikaruniai 2 orang anak bernama Hendriyanti Saharah dan Ade Irma Suryani2. Dia adalah dari keluarga Batak Muslim. Semasa kecil, A.H. Nasution akrab dengan panggilan si Ris3. A.H. Nasution menyenangi pelajaran ilmu bumi dan sejarah. Ia mendapat nilai tinggi untuk kedua pelajaran tersebut. Pada kelas 6 dan 7 HIS ia boleh meminjam buku dari perpustakaan sekolah yang umumnya berbahasa Belanda. Desa A.H. Nasution terdiri dari tiga kampung, yakni kampung Huta Pungkut Jae (Hilir), Huta Pungkut Tonga (Tengah), dan Huta Pungkut Julu (hulu). Kampung halaman A.H. Nasution dilihat dari segi geografisnya dikelilingi oleh barisan-barisan gunung, serta lembah dengan sungai-sungainya. Berdasarkan kondisi alamnya, kebanyakan masyarakat mata pencahariannya mengandalkan 1
Dalam Riwayat dinas tercantum lahir pada 3 Desember 1981. Akan tetapi yang sebenarnya lahir pada 31 Desember 1918. Untuk kepentingan sekolah Belanda, terpaksa diundurkan 6 bulan. 2
Ade Irma Suryani gugur pada 1 Oktober 1965 akibat peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) yang dilakukan oleh PKI. 3
TIM PDAT, Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (ed), 2002, Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H.A.H. Nasution, Jakarta: Grafitipers, (cetakan kedua), hlm. 2
26
27
dari bercocok tanam sekaligus pedagang. Ayahnya seorang pedagang tekstil, kelontong atau karet dan kopi yang dijual pada pedagang-pedagang Cina di Padang Sidempuan, Sibolga, Bukittinggi atau Padang4. Selain itu ayah A.H. Nasution juga salah seorang pengagum perjuangan kebangkitan Islam dan kebangkitan Turki. Hal ini terbukti dengan dijadikannya gambar Kemal Pasha sebagai satu-satunya hiasan dinding dirumahnya.5 Hiburan atau kesenangan anak-anak mudanya ialah bersepak bola, lapangannya adalah sawah yang sudah panen dan bolanya biasanya adalah hanya sebuah kulit jeruk bali yang besar-besar. Desa A.H. Nasution terkenal diseluruh wilayah sebagai desa maju usahanya, dan pedagang-pedagang Huta Pungut adalah unggul di pekan-pekan tersebut. Distrik A.H. Nasution terkenal dengan banyak sekolah dan banyak pergerakan politiknya. Tiga orang dari 6 Gubernur Sumatra Utara sejak republik ini berdiri, adalah 3 dari distrik A.H. Nasution.6 Desa A.H. Nasution juga terkenal sebagai desa pelopor pergerakan politik di masa kolonial. Di masa kebangkitan nasional telah ada Sarekat Islam yang selalu dibanggakan oleh Ayahanda A.H. Nasution. Berbagai jenjang pendidikan telah dilewatinya, A.H. Nasution memperoleh ijasah pada Sekolah Guru (HIK) (lihat lampiran 2), Sekolah Menengah Atas (AMS) dan dalam bidang militer dari Akademi Militer (KMA).
4
A.H. Nasution. 1977. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda. Jakarta: Gunung Agung, hlm. 5 5
Ibid,. hlm. 11
6
Ibid,. hlm. 6
28
Ketika A.H. Nasution masih kecil, keinginan dari kakek dan neneknya, supaya A.H. Nasution kelak menjadi guru pencak silat seperti kakeknya, hal itu bertentangan dengan keinginan dari Ayahnya. Ayah A.H. Nasution ingin supaya A.H. Nasution sehabis sekolah dasar, mengutamakan kesekolah agama dan ibunya ingin supaya A.H. Nasution sekolah di sekolah umum , yang waktu itu disebut dengan sekolah “Belanda” mengikuti jejak almarhum kakaknya yang sekolah dokter di Betawi. A.H. Nasution sekolah di HIS di Kotanopan, yang jauhnya 6 km dari kampung Huta Pungut. Tiap hari naik bendi (delman) bersama 5 orang saudara sepupunya kesekolah dan pulang pukul 14.00 atau 15.00 kembali kerumah, dan setibanya di rumah melanjutkan aktivitasnya pergi ke madrasah untuk mengaji sampai pukul 18.00 7. Tahun 1932 A.H. Nasution tamat sekolah HIS dan melanjutkan di “Sekolah Raja” (HIK) Bukittinggi, yaitu Sekolah Guru. Pada waktu mengikuti pendidikan guru di HIK, ia berkeinginan untuk masuk ke akademi militer. A.H. Nasution mulai tertarik untuk menjadi seorang tentara militer. Keinginan untuk masuk dan menjadi prajurit militer bersumber dari inspirasi dimana A.H. Nasution telah banyak membaca buku tentang perjuanganperjuangan luar negeri. Seperti contohnya sesosok tokoh Kemal Attaruk sang pemimpin Turki yang membawa negeri dan bangsanya kearah yang lebih maju. Selain itu tokoh Napoleon Bonaparte yang mengisahkan revolusi Perancis menjadi darah muda A.H. Nasution terbakar oleh semangat perjuangan. Itulah 7
Ibid., hlm. 11-12
29
sebabnya keinginannya untuk masuk ke sekolah militer sangat kuat8. Akan tetapi untuk masuk ke akademi militer tersebut harus mempunyai ijazah sekolah AMS atau setara dengan SMU kalau sekarang. Tiap tahunnya hanya satu orang saja yang dapat diterima itupun hanya berasal dari keluarga-keluarga pamong praja serta keluarga yang sedang berdinas terhadap Belanda9.
Karena didorong
keinginannya yang sangat kuat, meskipun belum lulus HIK, ia mencoba untuk mengikuti ujian AMS. Dalam waktu yang bersamaan ia berhasil memperoleh dua ijazah sekaligus. Pada tahun 1935 A.H. Nasution memulai satu langkah lagi, yakni meninggalkan Sumatera untuk sekolah di Bandung, pindah ke pulau lain dan bagi A.H. Nasution untuk pertama kalinya mengalami perjalanan laut. Karena pada masa itu di Sumatera belum ada Sekolah Menengah Atas, karena itu harus pergi ke Pulau Jawa. Pada masa tengah tahun selalu banyak pemuda yang bertolak dari Padang ke Jawa Barat dengan kapal KPM, maskapai monopoli Belanda. Perjalanan dari Padang-Tanjung Priok berlangsung 4 hari 4 malam, dan terhenti setengah jam di depan Indrapura, Bungkulu dan Kroe Pada tahun 1940 setelah pecah Perang Dunia II di Eropa,
pemerintah
Hindia-Belanda menderita kekalahan dan kerugian di bawah kekuasaan Jerman. Belanda memiliki KMA (Koninklijke Militaire Academi) di Breda, yang terletak
8
Eko Endarmoko. (ed). 1999. Memoar Senarai Kiprah Sejarah Buku Kesatu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm 344 9
A.H. Nasution. 1977. op.cit., hlm 26.
30
di bagian selatan negeri itu. Karena Belanda diduduki oleh Jerman, maka akademi serupa diadakan di Bandung untuk menghadapi tentara Jepang. Pemerintah Hindia-Belanda membutuhkan perwira cadangan, maka kemudian didirikan Corps Ofleiding Reserve Officieren (CORO) yang memberikan kesempatan pada pemuda-pemuda Indonesia yang memiliki ijazah AMS untuk dididik menjadi perwira cadangan militer10. Pemerintah kolonial Belanda mengadakan suatu proses secepatnya guna mengisi kebutuhan akan perwira-perwira. Pada tingkatan pertama semua menjadi milisi biasa. Selanjutnya akan diseleksi yang terpilih kemudian menjadi bintara-bintara milisi. Selanjutnya diseleksi lagi untuk manjadi taruna-taruna tingkat kedua akademi serta menjadi Vaandrig Milisi (calon perwira cadangan dengan pangkat Pembantu Letnan, dari tingkat Vaandrig Milisi dipilih untuk menjadi Taruna Akadem Militer III11. Di Breda landasan teoritis diberikan tahun pertama dan tahun kedua, sedangkan praktek pada tahun ketiga. Namun di Bandung sejak pertama diberikan sekaligus teori dan praktek agar setiap saat bisa terjun ke medan perang.12 A.H. Nasution mengikuti pendidikan di CORO, dan setelah selesai sebagai Taruna Akademi Militer (KMA) pada tingkat II dengan pangkat Sersan Taruna. Di sekolah ini, A.H. Nasution mempelajari seluk beluk dan teknik kemiliteran.
10
Hatta Taliwang, 2004. Jendral Besar A.H. Nasution dan Perjuangan Mahasiswa. Jakarta: LKPI ( Lembaga Komunikasi Informasi Perkotaan). hlm. 5 11 12
A.H. Nasution. 1977. op.cit. hlm. 44
Aswi Warman Adam, Militerisasi Sejarah Indonesia Peran A.H. Nasution. Artikel
31
A.H. Nasution merupakan salah satu siswa yang pandai dan cakap dalam menerima pelajaran sehingga ia cepat naik pangkat Pembantu Letnan Taruna. B.
Masuknya A.H. Nasution Dalam Dunia Militer A.H. Nasution memang sudah digariskan untuk menjadi seorang perwira yang berjuang untuk membela, mempertahankan, dan membebaskan negeri ini dari kolonialisme. Meskipun cita-citanya dari kecil untuk menjadi seorang guru, yang mengamalkan ilmunya lewat dunia pendidikan, dengan berjalannya waktu dan tumbuh pemikirannya, akhirnya A.H. Nasution memilih untuk menjadi seorang perwira yang berjuang untuk merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Pada waktu itu, untuk seorang guru sangat dihormati di mata masyarakat. Keinginan itu didorong sepenuhanya oleh kedua orang tuanya dalam memasuki sekolah guru yang bernama Sekolah Raja. Setelah lulus dari Sekolah Raja, A.H. Nasution bekerja dan menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan menjadi guru partikelir di Bengkulu dan di Muara Dua dekat Sumatera Selatan pada tahun 193713. Pada perkembangannya kondisi pekerjaan dirasakan kurang memuaskan bagi A.H. Nasution. Dengan hanya memiliki dua tenaga pengajar yang harus memberi pelajaran serta mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah ditambah lagi dengan hubungannya dengan pengurus sekolah tidak begitu lancar membuat A.H. Nasution memutuskan berhenti. Selain dari faktor tersebut A.H. Nasution juga semakin menyadari bahwa profesi seorang guru belum sesuai
13
Eko Endarmoko. (ed). 1993. op.cit. hlm. 12.
32
dengan keinginannya. Ia berkeinginan untuk menjadi seorang militer sejati. Pada dasarnya jiwa A.H. Nasution adalah jiwa seorang militer. Masuknya Jepang ke Indonesia, mempunyai kesempatan untuk melakukan propaganda akibat meletusnya Perang Dunia II, untuk memerdekakan negaranegara di Asia dari penjajahan Barat. Dengan alasan untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bangsa-bangsa di Asia percaya terhadap Jepang untuk bisa mengusir kolonialisme barat sangat besar termasuk Indonesia. Kepercayaan ini pula yang menjadikan dinas rahasia Jepang dapat mengadakan front dalam negeri untuk menikam Belanda14. Dengan demikian secara tidak langsung dimulailah kolonial Jepang menggantikan kolonial Belanda atas Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang dibentuk ketentaraan teritorial yang disebut dengan Pembela Tanah Air (PETA). Anggota PETA sendiri dari kalangan pribumi yang ingin membela dan mempertahankan bangsa bersama Jepang. Itu merupakan siasat dari Jepang untuk menambah kekurangan pasukan Jepang karena kekalahan pada perang melawan sekutu. A.H. Nasution menjadi salah satu anggota Badan Pembantu Prajurit yang tidak dipersenjatai15. Badan ini bertugas untuk membantu kesejahteraan prajurit PETA dengan pimpinan Otto Iskandardinata dengan mempunyai wilayah tugas yang diemban pada A.H. Nasution meliputi Jakarta, Semarang, Solo, dan Surabaya.
14
A.H. Nasution. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid I: Proklamasi. Bandung: Angkasa, hlm 71. 15
Ibid., hlm 107
33
Kariernya dalam militer perlahan tapi pasti terus berkembang dalam masamasa yang bergejolak. Ketika bangsa ini mencapai kemerdekaan pada 1945, A.H. Nasution merupakan Kolonel Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat. Pada tahun 1945-1946 itu pula kemudian A.H. Nasution sebagai Kolonel Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Panglima Divisi III TKR (Priangan). Pada tahun 1943, A.H. Nasution bekerja sebagai pegawai Kotapraja Bandung dan menjabat sebagai Pimpinan Barisan Pemuda dan Wakil Komandan Batalyon Barisan Pelopor. Ketika bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, A.H. Nasution merupakan Perwira Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat16. Kemudian beliau mendapatkan kepercayaan untuk menggantikan Kolonel Aruji sebagai Panglima Divisi III TKR yang meliputi wilayah seluruh Priangan ditambah wilayah Sukabumi dan Cianjur. A.H. Nasution membawahi Resimen 8 dan 9 sehingga kelaskarannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1946 dan 1948 jabatan A.H. Nasution naik sebagai Mayor. Divisi Siliwangi yang merupakan gabungan dari Divisi I, Devisi II, dan Divisi III17. Dalam kurun tahun 1947-1948 A.H. Nasution telah memimpin perang gerilya Jawa Barat melawan Agresi Militer Belanda I. Selama menjabat sebagai Mayor Jendral, A.H. Nasution menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) merangkap sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar 16
Eko Endarmoko., op.cit., hlm 16.
17
Ibid., hlm. 17.
34
Angkatan Perang dan mewakili tugas Panglima Besar Jenderal Sudirman karena pada saat itu beliau dalam keadaan sakit18. Pada tahun 1949, beliau mendapat kepercayaan lagi untuk menjabat Kepala Staf Angkatan Darat Republik Indonesia Serikat (KSAD RIS) dengan pangkat Kolonel sampai dengan tahun 1952. Pada tahun 1952 beliau sempat dinonaktifkan sebagai KSAD setelah peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan dimana A.H. Nasution memimpin tentara mengadakan Show of Force yakni dengan mengepung istana kepresidenan dengan persenjataan lengkap. Karena peristiwa tersebut, A.H. Nasution dianggap melakukan kudeta. Didalam petisi tersebut, A.H. Nasution menginginkan ketegasan dari Presiden Sukarno dan membubarkan parlemen yang pada waktu itu tidaklah stabil. Setelah masalah intern TNI AD itu selesai tahun 1955, A.H. Nasution diangkat kembali menjadi KSAD. Pada tahun 1958-1960 terjadi kemelut mengenai Irian Barat. A.H. Nasution menjadi salah satu anggota yang bergabung dalam Anggota Dewan Nasional dan Ketua Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Dan pada tahun 1958 pula, A.H. Nasution diangkat sebagai Letnan Jendral19. A.H. Nasution menapaki karier dan pekerjaannya, secara setapak demi setapak sampai akhirnya ia mencapai pangkat tertinggi dalam karier kemiliterannya.
18
A.H. Nasution. Bakri A.G Tianlean (ed). 1997. Bisikan Nurani Seorang Jendral. Jakarta: Mizan Pustaka. hlm. 4. 19
A.H. Nasution. 1977. loc.cit.
35
Selain di dunia militer, A.H. Nasution juga mempunyai karier dalam bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari kedudukannya yang sangat strategis di bidang politik. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional, Ketua Panitia Penyusun Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara, anggota Panitia Perumus Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945, panitia Tiga Menteri Pelaksanaan Penpres Tujuh tentang Penyederhanaan Kepartaian, anggota Panitia Enam untuk Regrouping Kebinet Kerja, anggota Penyusunan MPRS, Ketua Panitia Retooling aparatur Negara, Wakil Ketua Pengurus Besar Front Barat, Anggota MPRS, dan Ketua MPR. Ringkasan tentang Karier20 A.H. Nasution adalah sebagai berikut. a. Masa Hindia-Belanda: 1939-1940 : Menjadi Guru di daerah Bengkulu kemudian di daerah Palembang Sumatera Selatan 1940-1942 : Cadet Vaandrig Pembantu Letnan/Taruna, Perwira Batalyon Inf. III Surabaya (pada saat Pendaratan Tentara Jepang di Indonesia) b. Masa Pendudukan Jepang: 1943-1945
: Bekerja sebagai Pegawai Kotapraja Bandung
c. Masa Republik Indonesia:
20
Solichin Salam, 1990, A.H. Nasution: Prajurit, Pejuang, dan Pemikir, Jakarta: Penerbit Kuning Mas, hlm. 293-294
36
1945
: Kolonel. selama setengah bulan menjabat sebagai Kepala Staf Komandan Jawa Barat, kemudian menjadi Panglima divisi III/TKR (Priangan).
1946
: Panglima Divisi I Siliwangi (Jawa Barat), kemudian dengan sukarela menurunkan pangkat satu tingkat menjadi Kolonel.
1948
: Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Kemudian terjadi penurunan pangkat setingkat dalam TNI yaitu Kolonel.
1948-1949
: Menjabat sebagai Panglima Komando Jawa
1949-1950
: Kepala Staf Angkatan Darat RIS
1950-1952
: Kepala Staf Angkatan Darat RI
1952
: Berhenti menjadi KSAD
1955
: 1. Terpilih menjadi anggota Konstituante, 2. Mayor Jendral, Diangkat kembali menjadi KSAD, 3. Ketua GKS (Gabungan Kepala Staf)
1958
:
Letnan
Jendral.
Anggota
Dewan
Nasional,
mengusulkan dengan lisan, untuk kembali ke UUD 1945. 1959
: Menteri Keamanan Nasional/ Menko Hankam/ KASAB.
1960
: Jenderal, Anggota MPRS
37
1962
: (1). Wakil Panglima Besar Pembebasan Irian Barat, (2). Berhenti Menjadi KSAD. Diangkat sebagai KSAB,
di
samping
tetap
menajadi
Menteri
Koordinator Hankam. (3). Berhenti sebagai Wakil Panglima Besar Pembebasan Irian Barta, berhubung jabatan tersebut dihapuskan. 1965
: Sebentar diangkat kembali menjadi Wakil Panglima Besar, setalah terjadi G.30.S/PKI, kemudian jabatan tersebut dihapuskan lagi.
1966
:(1). Februari 1966, setelah TRITURA (Aksi KAMI), diberhentikan
sebagai
Menko
Hankam/KASAB
(jabatan-jabatan tersebut dihapuskan oleh Presiden. (2).
Setelah
SUPER
SEMAR
dan
diadakan
pembaruan Kabinet, diangkat kembali sebentar sebagai Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (KOGAM). 1966-1972
: Menjabat sebagai Ketua MPRS
1997
: Dianugerahkan Pangkat Kehormatan Jenderal Bintang Lima
C.
Pemikiran A.H. Nasution Terhadap Dwi Fungsi ABRI Berbeda dari banyak angkatan bersenjata lain, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), terutama Angkatan Daratnya, merupakan salah satu dari sedikit angkatan bersenjata yang dilahirkan sebagai pasukan pembebasan
38
nasional.21 Selanjutnya Nugroho Notosusanto, mantan Kepala Pusat Sejarah ABRI menjelaskan bahwa sebenarnya lebih 50 negara baru yang lahir sesudah akhir Perang Dunia II, hanya empat yang mencapai kemerdekaan dengan perjuangan bersenjata perang kemerdekaan atau revolusi. 22 Masalah mulainya militer Indonesia berpolitik, ada yang mengatakan sejak awal kelahirannya 5 Oktober 194523, peristiwa 3 Juli 194624 atau 17 Oktober 195225. Hal ini merupakan konsekuensi dari keadaan-keadaan istimewa yang terjadi di Indonesia. Setelah lebih dari tiga abad kolonilisme Belanda, Indonesia dijajah oleh jepang dari Maret 1942 sampai Agustus 194526. Selama periode ini, seperti halnya tempat lain di Asia Tenggara, rakyat Indonesia harus mengalami banyak penderitaan. Sementara warisan penderitaan dan dominasi asing meninggalkan bekas yang tidak bisa dihapuskan pada jiwa orang Indonesia. Secara militer pihak Jepang juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi arah masa depan politik masyarakat Indonesia.
21
Harlod Crouch, Kaum Militer Masalah Pergantian Generasi, Prisma, Tahun VIII, No 2, Februari 1980, hlm. 15-23 22
Nugroho Notosusanto, Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik di Indonesia , Prisma , Tahun VIII, No. 8, Agutus 1978, hlm. 23
Ibid.,
24
Sides Sudaryanto (ed). 1983, Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman . Jakarta : Karya Unipers, hlm. 165 25
Aris Santoso,” Peranan 17 Oktober 1952 : Awal Dwifungsi ABRI ,” Media Indonesia. 26
Bilveer Singh. 1996. Dwi Fungsi ABRI, Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. hlm. 25
39
Kelahiran konsep Dwifungsi ABRI tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa, oleh karenanya memang sulit untuk di mengerti Dwifungsi ABRI tanpa mengaitkannya dengan kerangka sejarah perjuangan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan hal ini Ulf Sundhaussen mengakui faktor budaya, idiologi dan sistem nilailah yang mungkin dapat menerangkan tentang sikap dan prilaku ABRI. Asal-usul ABRI amat menentukan pembentukan pandangan tentang peran dan tempatnya dalam masyarakat. ABRI merupakan angkatan bersenjata ciptaan ABRI sendiri dalam sejauh ini, ABRI merupakan dirinya berada diatas politik dan proses-proses politik. Empat perkembangan yang mempengaruhi persepsi diri dan norma perilaku ABRI antara lain. Pertama, fakta bahwa ABRI menciptakan diri sendiri dan memandang dirinya sebagai pihak yang memiliki hak yang sama besarnya dengan kekuatan-kekuatan lain di negara ini, untuk ikut menentukan jalannya masyarakat. Kedua, adalah fakta bahwa para pemuda dan anggota angkatan bersenjata memandang diri mereka sendiri sebagai pejuang kemerdekaan yang telah ikut memperjuangkan kemerdekaan bagi Negara. Ketiga adalah fakta bahwa para politikus sipil cenderung terpecah-pecah dan hanya mementingkan diri atau partai sendirinya, sementara angkatan bersenjata muncul sebagai kekuatan satu-satunya yang nampak mempunyai sifat “nasional”. Keempat adalah kenyataan bahwa Jenderal Sudirman, melalui tindakannya dan sikap diamnya, mampu menarik garis dalam hubungan sipil-militer, bahkan sampai tidak mau ditundukan27.
27
Ibid., hlm. 44-45.
40
Konsep yang dihasilkan A.H. Nasution sampai saat ini menjadi bahan dan kajian yang terus dibicarakan yaitu Dwifungsi ABRI. Dialah yang mula pertama melemparkan gagasan tersebut. Sebagai Kepala Staf TNI-AD, ia mengemukakan pada bulan November 1958. Militer Indonesia tak ingin menjiplak situasi di Amerika Latin, di negeri Latin itu, saat itu tentara mempunyai kekuatan dan kekuasaan politik yang mutlak, sebaliknya, ia juga tak ingin meniru militer model Eropa Barat yang hanya tinggal di barak. Dengan Dwifungsi ABRI inilah tentara Indonesia tak hanya berperan di belakang moncong bedil mempertahankan negara, tetapi juga punya andil dalam kehidupan politik.28 Dwi fungsi ABRI adalah suatu konsep politik yang menempatkan ABRI baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik dalam supra maupun infra struktur politik sekaligus29. ABRI adalah angkatan bersenjata yang lahir dan tumbuh dengan kesadaran untuk melahirkan kemerdekaan, membela kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Kelahiran dan pertumbuhan ABRI yang demikian itu membuat ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab pokok mengapa ABRI mempunyai dua fungsi, yakni sebagai kekuatan militer (pertahanan dan keamanan) yang merupakan alat negara, dan sebagai kekuatan
28
TIM PDAT, Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (ed), 2002, op. cit.,
hlm. 13 29
Soebijono, dkk. 1995. Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. hlm. 1
41
sosial politik yang merupakan alat perjuangan rakyat.30 Pada hakikatnya dwifungsi ABRI adalah jiwa dan semangat pengabdian ABRI, yang bersamasama dengan kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik dibidang keamanan nasional maupun dibidang kesejahteraan nasional31. Sejak awal kemerdekaan Indonesia pihak militer sudah terlibat dalam masalah politik, bahkan tidak jarang pihak militer lebih dominan dari pada sipil. Dalam beberapa catatan sejarah, ada beberapa peristiwa yang menggambarkan dominasi militer dalam masalah sipil, antara lain pertentangan Sudirman terhadap perintah Soekarno saat menghadapi Agresi Militer Belanda II (1948-1949). Sudirman sebagai pimpinan tentara memutuskan untuk melaksanakan perang gerilya dalam menghadapi Belanda, sedangkan Soekarno memutuskan untuk menempuh jalan diplomasi. Dari sikap Sudirman tersebut mengilhami tokoh militer bahwa angkatan bersenjata biasa memiliki sikap sendiri yang bisa berbeda dengan pemerintah. Peristiwa tersebut menunjukan bahwa pihak militer mampu melaksanakan haknya sebagai kelompok militer sekaligus sebagai politikus. Walaupun Jendral Sudirman telah menunjukan bagaimana dwifungsi ABRI dapat dilaksanakan,
Jenderal
A.H.
Nasutionlah
yang
sebenarnya
mengkonseptualisasikan secara teoritis.
30 31
Ibid.,
Mabes ABRI, 1988. Doktrin Perjuangan TNI-ABRI ‘Catur Darma Eka Karma’ Cadek 1988. Jakarta: Mabes ABRI. hlm. 63.
42
A.H. Nasution berpendapat bahwa dalam negara Pancasila, TNI mempunyai posisi dan peranan sebagai salah satu kekuatan sosial revolusi Indonesia, yang bahu-membahu dengan kekuatan sosial lainnya mempertahankan dan membangun bangsa dan negara Indonesia32. A.H. Nasution juga menekankan Dwifungsi ABRI jangan diekseskan dan disalahtafsirkan bahwa seorang anggota ABRI dapat sekaligus merangkap jabatan atau fungsi dibidang eksekutif, legeslatif atau pula seperti yang sering dikatakan dengan “penguasa” dan “pengusaha”33. Ketika Konstituante mengalami kemacetan saat penyusunan UUD yang baru, A.H. Nasution termasuk salah seorang yang paling gigih mendukung gagasan Bung Karno untuk kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi dengan landasan konstitusional tersebut, ia melihat peluang konsep Dwifungsi ABRI bisa dipraktekkan secara mulus. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya ada tiga kelompok politik yaitu partai politik, golongan fungsional, dan utusan daerah. Dan ABRI, menurut A.H. Nasution, bisa digolongkan dalam kelompok fungsional34. Konsep A.H. Nasution mengenai dwifungsi ABRI yang dikenal dengan “The Army’s Middle Way” adalah menekan pada fungsi ABRI sebagai stabilisator, ABRI hanya perlu ikut dalam pembinaan negara bukan untuk
32
A.H. Nasution. 1977. Kekaryaan ABRI, Jakarta: Seruling Masa, hlm. 19.
33
Ibid., hlm. 22.
34
TIM PDAT, Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (ed), 2002, op.cit. hlm. 304
43
mendominasi atau memonopoli kekuasaan, karena bertentangan dengan “Sapta Marga”35. Isi dari Sapta Marga antara lainsebagai berikut. 1. Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. 2. Kami patriot Indonesia, pendukung serta pembela idiologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah. 3. Kami ksatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. 4. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pemimpin serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit. 5. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan bangsa. 6. Kami prajurit Tentara Indonesia, setia dan menepati janji serta sumpah prajurit Sumpah Prajurit: 1. Setia kepada negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 35
Sapta Marga berasal dari bahasa Sansekerta atau Jawa Kuno. Sapta Marga berarti tujuh dan Marga yang berarti jalan. Sapta Marga berarti tujuh jalan. Sapta Marga lahir pada tanggal 5 Oktober 1951. Isi Sapta Marga lihat Dinas Militer TNI-Angkatan Darat, 1972, Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-Angkatan Darat, Bandung: Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat dan Fa. Mahjuma, hlm. 323-324.
44
2. Tunduk kepada hukum dan memegang disiplin keprajuritan 3. Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau keputusan 4. Menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada tentara dan negara Republik Indonesia. 5. Memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya. Menurut A.H. Nasution roh dari konsep Dwifungsi ABRI itu sebenarnya terletak dalam urusan politik dengan “Partai Besar”, seperti ABRI yang hanya memiliki wakil di MPR, mewakili utusan golongan sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945, dengan kata lain, tentara tidak usah terlibat dalam kegiatan “politik praktis”36. Konsep Dwifungsi ABRI sudah tertuang dalam buku karya A.H. Nasution sendiri yang berjudul Kekarayaan ABRI (1971). Dalam buku itu A.H. Nasution Menjelaskan: Dari sejak semula, maksud dan tujuan dari Kekaryaan itu adalah untuk pekerjaan yang berhubungan dengan keadaan yang bersifat darurat atau dimana betul-betul lebih bermanfaat menggunakan Kekaryaan TNI/ABRI itu, dan untuk partisipasi dalam lembaga-lembaga demi ikut sertanya ABRI dalam rangka pembinaan Negara sebagai salah satu kekuatan sosial.37 Untuk lebih memahami hakikat dan isi dwifungsi ABRI, kita mesti mulai dengan perkembangan selama revolusi dari tahun 1945-1949 kemudian melihat
36
Definisi Politik Praktis adalah suatu kegiatan, aktivitas atau gerakan dari satu orang atau sekelompok yang dapat mempangaruhi pandangan, pendapat (opini) masyarakat tentang suatu keputusan/kebijakan pemerintah, atau bahkan dapat merubah keputusan pemerintah 37
A.H. Nasution 1971, op.cit., hlm. 121
45
evolusinya selama periode demokrasi liberal tahun 1950-1957, selama fase demokrasi terpimpin tahun 1959-196538.
38
Bilveer Singh. 1996, op.cit., hlm. 48