BAB II PROBLEMATIKA YANG TERJADI DALAM PENDAFTARAN TANAH DI KOTA BATAM
Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita sampai saat ini. Berbagai daerah tentunya memliki karakteristik yang berbeda-beda terhadap permasalahan yang terjadi diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya, khususnya dalam hal ini seperti yang terjadi di Kota Batam. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakkan orang Indonesia menganggap tanah sebagai tempat tinggal dan memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Sebagaimana yang diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Kejelasan akan status atas tanah semakin dituntut khususnya dalam Negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat kian harinya. Adanya kejelasan status tanah akan memastikan hak yang melekat atas tanah tersebut, tidak seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat di Kota Batam pada saat ini. Kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA, amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan berbagai kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi terabaikan dimana seharusnya menjadi prioritas utama Negara untuk dapat melaksanakan upaya penyelesaian masalah pertanahan yang semakin meningkat.
Universitas Sumatera Utara
A. Pendaftaran Tanah Batam merupakan salah satu bagian wilayah Indonesia yang tidak terlepas dari problematika pertanahan yang kerap terjadi di nusantara. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru. Kegiatan pendaftaran tanah di Kota Batam dilaksanakan baik dengan sistem pendaftaran tanah secara sistematik dan secara sporadik. Saat ini Batam menggalakkan Program Nasional Agraria (Prona) dan Program Daerah Agraria (Proda). Prona sebagai salah satu kegiatan pembangunan dibidang pertanahan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan pendaftaran tanah pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk memberikan edukasi dan kepedulian sosial kepada warga yang kurang mampu. Kegiatan Prona pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penertiban sertifikat hak atas tanah terutama bagi masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah yang berada di desa miskin atau tertinggal, daerah penyangga kota, daerah miskin kota, pertanian subur serta daerah pengembangan ekonomi rakyat. Selain Prona, juga ada Proda yang dibiayai dengan APBD Kota Batam, yang maksud dan tujuannya sama dengan Prona. Saat ini lokasi proyek Prona dan Proda masih terfokus di wilayah Kecamatan Belakang Padang dan Kecamatan Bulan dan kedepannya akan
Universitas Sumatera Utara
dikembangkan ke kecamatan lainnya.47 Selain itu, peningkatan tugas pelayananan pertanahan juga ditingkatkan melalui program Larasita (Layanan Masyarakat untuk Sertifikat Tanah), yang merupakan wujud nyata dari pelayanan BPN RI kepada rakyat dengan jemput bola. Artinya petugas BPN mendatangi rakyat dan menembus daerah sulit terjangkau. Pengaturan kegiatan pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 19 UUPA, yang berbunyi : (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Bahwa kepastian hukum merupakan tujuan utama diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA, yang selanjutnya dijelaskan pendaftaran tanah akan dilaksanakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Pengertian “dijalankan oleh rakyat” secara sosiologis berarti adanya keterlibatan rakyat secara
47
http://humasbatam.com/2009/05/29/program-nasional-dan-daerah-bidang-agraria-untukmasyarakat-hinterland/?wpmp_switcher=mobile, diakses pada tanggal 26 Januari 2011, pukul 10.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
aktif dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah. Keterlibatan rakyat tersebut secara tegas tidak ditetapkan dalam pasal, namun terdapat dalam penjelasan Umum UUPA angka IV mengenai dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum, yang berbunyi sebagai berikut : “Sesuai dengan tujuannya, yaitu akan memberikan kepastian hukum, maka pendaftaran tanah itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya”.48 Dari penjelasan umum tersebut, keterlibatan rakyat dimaksudkan adanya kewajiban bagi para pemilik tanah untuk mendaftarkan haknya, walau tidak ditetapkan adanya sanksi apabila kewajiban itu tidak dilakukan, akan tetapi dapat menimbulkan konsekwensi, bahwa diadakannya pendaftaran tanah tidak akan memberikan manfaat bagi Pemerintah maupun pemilik tanah. Tujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dapat diukur dari kekuatan hukum pembuatan sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat, kebenaran dari data dan kesempatan penuntutan dari pihak-pihak lain yang merasa berhak atas tanah tersebut.49 Sebagai ilustrasi A.P. Parlindungan menyatakan bahwa dalam kalangan para ahli disebutkan pendaftaran itu bertujuan untuk baik kepastian hak seseorang, pengelakan suatu sengketa perbatasan (karena adanya syarat ukur yang teliti dan cermat) dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. Maka dengan
48
Muchtar Wahid, Op.Cit., hlm. 69. Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah, Kepastian Hak, Fakultas Hukum Universitas, Sumatera Utara, Medan, 2007, hlm. 36. 49
Universitas Sumatera Utara
diperolehnya sertifikat, bukan hanya sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang. Jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah, meliputi: 1. Kepastian status hak yang didaftar. Artinya dengan pendaftaran tanah dapat diketahui dengan pasti status hak yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atau Tanah Wakaf. 2. Kepastian subjek hak. Artinya dengan pendaftaran tanah dapat diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (warga Negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang secara bersama-sama, atau badan hukum (badan hukum privat atau badan hukum publik). 3. Kepastian objek hak. Artinya dengan pendaftaran tanah dapat diketahui dengan pasti letak tanah, batasbatas tanah, dan ukuran (luas) tanah. Untuk memberikan kepastian tersebut diperlukan infrastruktur yang memadai sehingga bidang tanah yang ada di lapangan dapat digambarkan pada peta dan surat ukur secara benar. Pendaftaran tanah di Indonesia hanya terfokus untuk pendaftaran tanah pada bidang tanah yang merupakan bagian dari permukaan bumi dalam satuan bidang yang terbatas, artinya tidak mencakup bumi, air, dan ruang angksa. Sedangkan pendaftaran untuk hak-hak dari kehutanan atau pertambangan dilakukan sendiri oleh departemen
Universitas Sumatera Utara
yang bersangkutan dengan surat-surat keputusan tentang HPH atau HPHH atau KP. Dengan diaturnya secara sektoral mengenai hak pengelolaan hutan oleh Departemen Kehutanan yang terpisah dari UUPA, maka hal ini akan menimbulkan konflik pengaturan yang akan berdampak kepada pengelolaan pertanahan yang diatur dalam UUPA. Misalnya akan terjadi konflik antara pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) pada lokasi yang sama masing-masing menyatakan berhak untuk melakukan pengelolaan. Konflik ini akan merugikan pemegang hak yang bersangkutan.50 Badan-badan hukum yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, adalah: a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah; b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); d. PT Persero; e. Badan Otorita; f. Badan-badan hukum Pemerintah Lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah. Adapun prosedur perolehan sertifikat hak pengelolaan di Kantor Pertanahan dengan pemenuhan persyaratan sebagai berikut: 1. Surat permohonan; 2. Fotokopi KTP atau identitas diri pemohon;
50 Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
3. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa disertai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan; 4. Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan; 5. Fotokopi anggaran dasar perusahaan; 6. Fotokopi akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum; 7. Bukti penguasaan tanah berdasarkan bukti data yuridis dan bukti data fisik; 8. Bukti pelepasan tanah kawasan hutan jika obyek berasal dari tanah kawasan hutan; 9. Bukti izin lokasi atau surat izin penunjukkan tanah; 10. Bukti penunjukan dari pemegang hak pengelolaan jika obyek berasal dari tanah hak pengelolaan. Persyaratan permohonan tersebut disampaikan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Subyek hak pengelolaan yaitu pemerintah daerah, badan otorita, masyarakat hukum adat, Perum Perumnas atau badan hukum lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Obyek hak pengelolaan yaitu tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. 3. Pengertian hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebahagian dilimpahkan kepada pemegangnya. 4. Tujuan penggunaan tanah hak pengelolaan, yaitu untuk: a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
Universitas Sumatera Utara
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya. 5. Setiap fotokopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Kegiatan Pendaftaran tanah dalam Pasal 19 Ayat (2) UUPA dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 24 tahun 1997, yaitu :51 1. Kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration) Yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997), yang dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik (Pasal 1 angka 10 PP No. 24 Tahun 1997) didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayahwilayah yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional.
51
Urip Santoso, Op.Cit., hlm. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
Pendaftaran tanah secara sporadik (Pasal 1 angka 11 PP No. 24 Tahun 1997), dilaksanakan pada suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran secara sistematik. Pendaftaran tanah sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Pendaftaran tanah secara sporadik dapat dilakukan secara perseorangan atau massal. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik . Pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan melalui kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi: pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah, dan pembuatan surat ukur. b. Pembuktian hak dan pembukuannya, yang kegiatannya meliputi: pembuktian hak baru, pembuktian hak lama, pembukuan hak, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, serta penyimpanan daftar umum dan dokumen. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Pasal 5 adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), selanjutnya dalam Pasal 6 Ayat (1) ditegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut, tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Badan Pertanahan Nasional pada mulanya diatur dengan
Universitas Sumatera Utara
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988, kemudian ditambahkan dengan Keputusan Presiden No. 154 Tahun 1999, diubah dengan Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam
melaksanakan
pendaftaran
tanah,
Kepala
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain: Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Pejabat dari Kantor Lelang, dan Panitia Ajudikasi. Pasal 39 Ayat (1) penjelasan PP 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa fungsi dan tanggung jawab PPAT sebagai pelaksana Pendaftaran Tanah, akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggungjawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada dalam kantor pertanahan.52 Menurut Edward Silitonga, untuk sertifikat yang telah terbit dan akta jual beli atas perumahan itu adalah sah karena permasalahan hutan lindung ini mencuat setelah adanya surat keputusan Menteri Kehutanan yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan lindung sementara kawasan tersebut telah dialokasikan kepada pihak
52
T. Mursalin, Mewujudkan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Dengan Pendaftaran Tanah (Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Nagan Raya), Tesis, Sekolah Pascasarjana, USU, Medan 2008, hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
ketiga berdasarkan rekomendasi dari Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan atas kawasan pertanahan di Kota Batam.53 Pelaksanaan pendaftaran tanah harus memperhatikan bukan hanya pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, tetapi juga harus memperhatikan pemeliharaan data baik fisik maupun data yuridis dari objek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar. Setiap perubahan terjadi baik data fisik maupun data yuridis pada objek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar diwajibkan bagi pemegang hak untuk mendaftarkan perubahan tersebut. Pendaftaran terhadap perubahan dan peralihan serta hapusnya dan pembebanan hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan juga harus didaftarkan sebagai alat bukti yang kuat. Dengan demikian maksud dari pemeliharaan data pendaftaran tanah, agar tetap terpelihara dan selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pemegang hak yang berkepentingan dapat membuktikan haknya kepada pihak ketiga, sehingga tercipta kepastian hukum dan perlindungan hukum atas pemegang hak-hak atas tanah yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan dan kesejahteraan rakyat.54 Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) macam asas, yaitu:55 1. Asas Specialiteit Artinya pelaksanaan pendaftaran tanah itu diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan, dan pendataran peralihannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah, yaitu memberikan data fisik yang jelas mengenai luas tanah, letak dan batas-batas tanah. 2. Asas Openbaarheid (Asas Publisitas) Asas ini memberikan data yuridis tentang siapa yang menjadi subjek haknya, apa nama hak atas tanah, serta bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap orang dapat melihatnya. Berdasarkan asas ini, setiap orang mengetahui data yuridis tentang subjek hak, nama hak atas tanah, peralihan hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, termasuk mengajukan keberatan sebelum sertifikat diterbitkan, sertifikat pengganti, sertifikat yang hilang, atau sertifikat yang rusak.
53
Hasil wawancara dengan Edward Silitonga, Notaris/PPAT di Kota Batam, pada tanggal 4 Agustus 2011. 54 Syafruddin Kalo., Op.Cit., hlm. 9-10. 55 Urip Santoso, Op.Cit., hlm. 16-17.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran dilaksanakan berdasarkan asas : 1. Asas sederhana. Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 2. Asas aman. Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 3. Asas terjangkau. Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan. 4. Asas mutakhir. Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan,
Universitas Sumatera Utara
dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. 5. Asas terbuka. Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dalam sistem pendaftaran tanah dikenal adanya sistem publikasi, yaitu sistem publikasi negatif dan sistem publikasi positif. Sistem publikasi negatif maksudnya adalah Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertifikat, oleh karena itu belum tentu seseorang yang tertulis namanya pada sertifikat adalah mutlak sebagai pemilik, sedangkan dalam sistem publikasi positif adalah sebaliknya.56 Kelemahan asas yang dianut dalam stelsel publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yakni membuka kesempatan untuk menyangkal keabsahan dari nama yang tersebut dalam sertifikat hak atas tanahnya. Asas pendaftaran tersebut jelas dijumpai dalam bunyi Pasal 19 ayat 2 (c), “pemberian surat-surat tanda bukti, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”, dan Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, “sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”. Artinya hukum hanya memberikan jaminan atas bukti hak kepemilikan tersebut kepada seseorang. Dan bukti ini tidak satu-satunya sebagai bukti, hanya
56
Muhammad Yamin Lubis, Abd. Rahim Lubis, Op.Cit., hlm. 172.
Universitas Sumatera Utara
sebagai alat bukti yang kuat saja. Hukum bukan memberikan milik, sehingga sering dianggap masih kurang melindungi pemiliknya. Seakan bukti hak itu hanya mengokohkan seseorang dengan miliknya (tanahnya) saja. Tetapi seharusnya di samping pendaftaran tanah itu memberikan hak kepada seseorang, pemilik tanah juga harus mengokohkannya sebagai pemegang hak yang ada dan sah. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah asas-asas tersebut belum dapat diwujudkan sepenuhnya, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan atau mengalami permasalahan dalam mendaftarkan tanahnya maupun terhadap sertifikat yang sudah dimiliki ternyata tidak memberikan mereka jaminan akan kepastian hukum seperti yang diamanatkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 dan UUPA. UUPA menetapkan bahwa bagi masyarakat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya pendaftaran tanah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (4) UUPA, yaitu “Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran yang termaksud dalam Ayat (1), dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya-biaya tersebut”. Akan tetapi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang terjadi, Pemerintah tidak mampu membebaskan seluruh biaya pendaftaran tanah yang menjadi kewajiban bagi pemohon pendaftaran tanah, disebabkan oleh keterbatasan dana yang dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah hanya dapat memberikan subsidi biaya pendaftaran tanah kepada pemohon pendaftaran tanah.57
57
Urip Santoso, Loc.cit., hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 22 Januari 2010, Pemerintah mengeluarkan Peraturan baru yang memberikan standarisasi besarnya uang Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pelayanan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu PP Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. Peraturan baru tersebut menyusul standarisasi besarnya PNBP untuk pelayanan masyarakat di lingkungan Departemen Hukum dan HAM RI (Depkumham) sebagaimana ditetapkan dengan PP No. 32 Tahun 2009.58 Terdapat peningkatan biaya yang cukup signifikan dalam tarif resmi tersebut dibandingkan dengan tarif yang sebelumnya berlaku selama ini. Peningkatan biaya pendaftaran tanah ini juga dirasakan oleh masyarakat Kota Batam, banyak masyarakat yang mengeluhkan biaya ‘lain-lain” yang cukup tinggi dan memberatkan untuk mendapatkan suatu pelayanan di bidang pertanahan, hal ini juga ternyata sudah dirasakan masyarakat sebelum peraturan ini berlaku. Hal ini juga yang dikemukan oleh Edward Silitonga, PP tersebut mempunyai sisi negatif dan positif dari penerapannya, dengan penerapan PP ini lebih jelas mengenai pengaturan tarif tentang biaya yang akan dikenakan kepada masyarakat, meskipun dirasakan memberatkan masyarakat khususnya.59 Menurut Darmansyah Nasution, pemberlakuan PP itu hanya akan memberatkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dalam bidang pertanahan, sementara peruntukkannya tidak jelas, dimana tidak sesuai dengan asas 58
http://irmadevita.com/2010/tarif-baru-untuk-pelayanan-pada-badan-pertanahan-nasional. diakses pada tanggal 10 Mei 2010, Pukul 19.13 WIB. 59 Wawancara dengan Bapak Edward Silitonga, Notaris/PPAT di Kota Batam pada tanggal 4 Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
kesederhanaan yang diamanatkan dalam pendaftaran tanah, meskipun demikian PP tersebut tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan karena sudah merupakan keputusan pemerintah sebagai peraturan yang harus ditaati.60 Diberlakukannya peraturan ini tidak menimbulkan dampak positif pada masyarakat khususnya bagi golongan ekonomi lemah. Ini menyebabkan kurangnya partisispasi masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, meskipun sadar akan pentingnya sertifikat guna memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 24 Tahun 1997. Menurut Ronald, PP No. 13 Tahun 2010 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk masyarakat tidak mendaftarkan tanahnya dikarenakan biaya yang cukup mahal, tarif yang ditetapkan dalam PP No. 13 Tahun 2010 tersebut sebenarnya seimbang dengan nilai ekonomi Negara pada saat ini, mana mungkin sama nilai ekonomi pada saat ini dengan nilai ekonomi pada belasan tahun yang lalu, dan tidak ada yang namanya pendaftaran tanah itu menyulitkan masyarakat karena berbelit-belit dan lama. Pendaftaran tanah itu membutuhkan proses, dari permohonan, pengukuran, pemetaan, sampai diterbitkannya sertifikat, dengan adanya pemberlakuan tarif secara resmi yang secara nasional tersebut dapat membuat standarisasi dan aturan baku yang jelas dalam pelayanan dibidang pertanahan. Peningkatan tersebut diharapkan juga berakibat langsung dengan peningkatan pelayanan masyarakat dibidang pertanahan.61 B. Kewenangan Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Batam Secara geogarfis Pulau batam yang dikenal sebagai wilayah Kota Batam mempunyai letak yang sangat strategis yaitu jalur pelayanan internasional dengan jarak 12,5 mil laut dari Negara Singapura. Wilayah Pulau Batam terdapat lebih dari 400 (empat ratus) pulau dan 329 (tiga ratus dua puluh sembilan) pulau diantaranya
60
Wawancara dengan Bapak Darmansyah Nasution, Notaris/PPAT di Medan pada tanggal 6 Agustus 2011. 61 Wawancara dengan Bapak Ronald P, selaku Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, di Kantor Pertanahan Kota Batam, pada tanggal 22 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
telah diberi nama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara, yang berbatasan dengan: Sebelah Utara
: Negara Singapura
Sebelah Timur
: Kabupaten Bintan dan Tanjung Pinang
Sebelah Selatan
: Kabupaten Lingga
Sebelah Barat
: Kabupaten Karimun
Sesuai Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam. Seiring pesatnya perkembangan Pulau Batam, pada dekade 1980-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983, wilayah kecamatan Batam yang merupakan bagian dari kabupaten Kepulauan Riau, ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendudukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam.62 Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri, akan tetapi juga di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, yang disebut Otorita Batam, dan sekarang berubah menjadi daerah Perdagangan Bebas atau Free 62
http://skpd.batamkota.go.id/tatakota/files/2010/03/PROFIL-RUSUN BATAM.p
Universitas Sumatera Utara
Trade Zone (FTZ) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009, dengan pemberian hak pengelolaan. Tujuan utamanya adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Bagian tanah hak pengelolaan dapat diberikan kepada pihak lain dengan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Pemberiannya dilakukan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Hak pengelolaan didaftar dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. 1. Pemerintah Kota Batam Pada tahun 1983, Pulau Batam menjadi kota administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dengan 3 (tiga) sub distrik (kecamatan), yakni Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur.63 Derasnya tuntutan otonomi daerah dan kisah melunaknya kekuasaan sentralistik mendorong perubahan sejarah pemerintahan di Batam. Tanggal 4 Oktober 1999 yang menjadi momentum perubahan bagi Kota Batam. Wilayah yang semula berstatus pemerintahan kota administratif dengan keunikan sebagai daerah khusus industri ditetapkan menjadi pemerintahan yang otonom melalui Undang-Undang 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.64
63 64
Ibid., hlm 174. Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Diberikannya status otonom kepada Batam juga sesuai dengan kehendak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga Batam memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.65 Dengan dijadikannya Batam sebagai
daerah
otonom,
maka
kewenangannya
mencakup
seluruh
bidang
pemerintahan, termasuk kewenangan wajib kecuali bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal. Kewenangan wajib, sebagaimana dimaksudkan di atas meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam.66 Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Dalam
65
Arie Sukanti Hutagalung, dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm.172. 66 Ibid., hlm 173.
Universitas Sumatera Utara
Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Berdasarkan rumusan Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan berskala kabupaten/kota yang diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.67 Pemerintah Kota Batam melaksanakan kewenangan di bidang pertanahan melalui Dinas Pertanahan berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut antara lain:68 1. Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang. 67 68
Ibid., Ibid., hlm. 176.
Universitas Sumatera Utara
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Pemberian izin lokasi; Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; Penyelesaian sengketa tanah garapan; Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; Pemberian izin membuka tanah; Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
2. Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah. a. penetapan nilai obyek pajak bumi dan bangunan; b. izin mendirikan bangunan; c. izin usaha; d. undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal; e. penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan; f. lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan Pemukiman jo. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999). Berkaitan dengan adanya hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam atas seluruh tanah di Pulau Batam, kewenangan Pemerintah Kota Batam yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam hal ini izin lokasi menjadi tidak berlaku. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi dalam Pasal 2 Ayat (2) d disebutkan bahwa izin lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut. Namun, kewenangan lainnya di luar pemberian izin lokasi tersebut tetap dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam.
Universitas Sumatera Utara
Jika sebelumnya, Otorita Batam mengikutsertakan Pemerintah Kota Batam dalam menjalani tugas pemerintahan dan pembangunan, kini sebaliknya justru pemerintah Kota Batam diamanatkan untuk mengikutsertakan Otorita Batam.69 Di dalam pertimbangan mukadimah Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 ini juga disebutkan bahwa perkembangan Kotamadya Batam tidak terlepas dari keberadaan Otorita Batam sebagai pengelola industri Pulau Batam. 2. Otorita Batam Keberadaan Otorita Batam tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat untuk memberlakukan Pulau Batam secara khusus demi memicu iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan memanfaatkan potensi dan letak strategis Pulau Batam. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menerbitkan sejumlah keputusan yang menjadi dasar hukum bagi keberadaan Otorita Batam. Keputusan tersebut antara lain: Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 tentang Proyek Pengembangan Pulau Batam sebagai Dasar Logistik Lepas Pantai Untuk Kegiatan Pengeboran Oleh Pertamina; Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pembangunan Pulau Batam; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang telah lima kali diubah yaitu dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1978, Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun 1998, Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000, Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005; Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang Penunjukan Beberapa Lokasi di Sekupang, Batu Ampar, dan Kabil sebagai Kawasan Bonded Ware House dan PT Persero Batam sebagai Penguasa Bonded Ware House; Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Dan Penggunaan Tanah Di Daerah Industri Pulau Batam; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluruh Pulau Batam Sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone); Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1984 69
Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam), Tesis, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Depok, 2007, hlm. 79.
Universitas Sumatera Utara
tentang Hubungan Kerja Antara Pemerintah Kotamadya Batam dengan Otorita Batam; Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1984 tentang Perluasan Wilayah Kerja Otorita Batam meliputi lima puluh pulau kecil di sekitar Pulau Batam, Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Otorita Batam meliputi Pulau Rempang, Galang Baru, dan beberapa pualu kecil di sekitarnya dan Penetapan sebagai wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone).70 Dalam bidang pertanahan, kepada Otorita Batam diberikan hak pengelolaan atas seluruh wilayah di Pulau Batam. Hak pengelolaan Otorita Batam diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam. Terhadap hak pengelolaan Otorita Batam, harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota Batam untuk kemudian dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Kebijakan pemerintah berikutnya yang berkaitan dengan pengelolaan pertanahan di Pulau Batam adalah dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993 tanggal 13 Juni 1999 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lain disekitarnya. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang mengatur tentang kedudukan Pulau Batam sebagai daerah industri, adanya lembaga Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan mengatur peruntukan dan penggunaan tanah di Pulau Batam. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau Otorita Batam memiliki kewenangan menyusun blue print yang berfungsi sebagai master plan pembangunan Batam. Di dalam master plan tersebut ada kawasan tertentu yang dikelompokkan 70
Ibid., 177-178.
Universitas Sumatera Utara
sebagai daerah hijau atau daerah resapan air yang harus dilindungi. Dalam Pasal 6 Ayat (2) disebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah Daerah Industri Pulau Batam dalam rangka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang agraria dengan ketentuan sebagai berikut: 71 1. Seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. 2. Hak pengelolaan tersebut diberi wewenang kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk: a. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah tersebut; b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA; d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan. Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Presiden Nomor 41 tahun 1973 bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan Hak Pengelolaan namun tidak dijelaskan apakah pendaftaran hak dilakukan sekaligus terhadap seluruh areal lokasi yang ditetapkan menjadi areal Hak Pengelolaan atau didaftarkan secara parsial (sebagian-sebagian), namun merujuk pada kalimat “seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan”, seharusnya seluruh areal tersebut didaftarkan sekaligus dan diterbitkan satu sertifikat Hak Pengelolaan secara parsial, mengikuti aturan dalam Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993. Penerbitan sertifikat
71
Ibid., hlm. 179
Universitas Sumatera Utara
Hak Pengelolaan dapat dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan pengukuran untuk mengetahui luas tanah yang pasti dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat.72 Akibat dari diberikannya Hak Pengelolaan (Right of Managemnt Control) oleh negara kepada Otorita Batam adalah merupakan perbuatan hukum dari Pejabat yang berwenang dalam pemberian Hak atas Tanah dan didasarkan atas ketentuan ketentuan yang berpangkal pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang memiliki karakteristik khusus, yaitu tidak mempunyai Right of Disposal ( tidak dapat dipindah tangankan).73 C. Problematika yang Terjadi Dalam Pendaftaran Tanah Di Kota Batam Problematika pertanahan yang terus terjadi di Kota Batam seperti benang kusut yang tak kunjung usai dan terselesaikan sehingga menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat Batam khususnya. Ditengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, akhirnya jalan pintas untuk mendirikan tempat tinggal di atas tanah Negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang diambil oleh sebagian masyarakat Batam. Hal ini didukung oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah, akibatnya bermunculan rumah-rumah liar, tanpa ada usaha untuk membendungnya.74 Persoalan lain yang berkembang pada saat ini adalah tuntutan
72
Juliani Libertina Nasution, 087011144, Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Atas Tanah Di Wilayah Pulau Batam (Studi: Di Pulau Sekikir Dan Pulau Bulat), Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011, hlm. 91. 73 Agus Setyadi Hadisusilo, B4B 007 008, Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Orang Asing Di Indonesia Khususnya Di Pulau Batam Dengan Orang Asing Di Negara Malaysia, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm. 54. 74 Ibid., 171
Universitas Sumatera Utara
masyarakat terhadap sertifikat yang tidak bisa diagunkan ke Bank, dikarenakan ternyata berada di atas kawasan hutan lindung serta lambatnya penerbitan sertifikat tanah masyarakat karena belum adanya kepastian akan status lahannya. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Otorita Batam Nomor 003/UMKPTS/III/86 tentang Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) mengenai penyerahan bagianbagian areal tanah di Pulau Batam kepada pihak ketiga pada Pasal 5 sebagai berikut: “Di luar bidang industri sebagian areal tanah di Pulau Batam dapat juga diperuntukkan perkembangan industri pada khususnya dan kemudian ekonomi pada umumnya, dengan mengutamakan usaha-usaha dibidang jasa, perumahan, pariwisata, pertanian, peternakan, dan perikanan (rawa-rawa)”. Pasal ini menyatakan bahwa penyerahan areal tanah kepada pihak ketiga dalam hal ini developer/pengembang yang bergerak di bidang perumahan dan pemukiman dapat mengadakan perjanjian dengan Otorita Batam. Akan tetapi permasalahan yang timbul dalam problematika yang terjadi di Kota Batam saat ini adalah peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dan pemegang kekuasaan atas Pulau Batam pada akhirnya tidak sejalan dengan ketentuan yang ada di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam. Hal ini menimbulkan problematika seperti banyaknya kawasan hijau dan kawasan hutan yang sesuai Tata Ruang Kota/Wilayah yang dilanggar dengan memberikan izin kepada pihak ketiga yang dikeluarkan Otorita Batam. Sehingga perlu adanya penerapan prinsip KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi) antara peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional
Universitas Sumatera Utara
(BPN) Kota Batam dengan peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dalam menjalankan kewenangannya masing-masing dimana perlu menyamakan misi bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian apapun peranan yang menjadi wewenangnya masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan publik. Peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dengan ketentuan yang ada di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam tidak sejalan, misalnya: 1). Banyaknya kawasan hijau yang dibangun perumahan atau toko oleh developer yang telah mendapat izin dari Otorita Batam sehingga Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Kota Batam dilanggar, karena kawasan hijau sebenarnya tidak boleh digunakan atau diberikan kepada developer untuk dibangun. 2). Kawasan hutan yang oleh Otorita Batam diberikan kepada developer untuk hutan dilindungi diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1990 bahwa dalam rangka kebijaksanaan pengembangan pola tata dibangun perumahan yang semula adalah kawasan hutan. Otorita Batam tidak memperhatikan masalah apa yang akan timbul akibat wewenang yang dimilikinya disalah gunakan dalam mengambil keputusan untuk mengalokasikan lahan yang ada di Kota Batam. Mengenai pengelolaan ruang tersebut perlu ditetapkan adanya
Universitas Sumatera Utara
kawasan lindung yang memberi arahan bagi badan hukum dan perseorangan dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Yang terjadi adalah pada tahun 2006 sertifikat rumah yang dimiliki masyarakat masih bisa diajukan dan diterima Bank, akan tetapi kondisi mulai berubah pada bulan Agustus 2008.75 Ada sekitar 200 hektare lahan perumahan di Batam yang ternyata adalah kawasan hutan lindung. Lebih ironisnya pengembang tidak mengetahui lahan yang digarap tersebut berdiri di atas kawasan hutan lindung, sehingga masalah ini terungkap belakangan. Inilah yang menyebabkan kekacauan dimana masyarakat dan pengembang merasa dirugikan karena tidak ada kepastian hukum akan kejelasan status lahan. Maka wajar saja kalau sengketa pertanahan masih berkembang dan meluas di masyarakat akibat ketiadaan bukti hak atas kepemilikan tanah tersebut dan/atau dianggap susah proses yang dilalui masyarakat untuk memperoleh bukti ini. Adapun tuntutan masyarakat tersebut antara lain:76 1.
Meminta kepada pihak BPN kota Batam agar segera merubah sertifikat dari hak guna bangunan menjadi hak milik. 2. Meminta kepada instansi terkait secepatnya dapat menindak lanjuti status lahan yang selama ini dikatakan sebagai hutan wisata maupun hutan lindung, agar secepatnya disahkan menjadi lahan sesuai peruntukan tanpa ada masalah tumpang tindih peraturan. 3. Meminta kepada BPN Kota Batam agar secepatnya menentukan status sertifikat yang dimiliki sebagaimana mestinya dalam hal ini bisa diagunkan ke bank.
Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian dan kemanfaatan. Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena 75
http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37457&Itemi d=1054, diakses pada tanggal 5 Oktober 2010, pukul 22.10 WIB. 76 Wawancara dengan salah satu warga yang rumahnya berdiri diatas kawasan hutan lindung, pada tanggal 23 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai bila suatu peraturan dirumuskan secara jelas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda secara tumpang tindih antara peraturan yang ada, baik secara vertikal maupun horizontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik akan menjadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada.77 Pengaturan penggunaan tanah di Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya terjadi dualisme, yakni yang dilakukan oleh Otorita Batam berdasarkan pemberian Hak Pengelolaan yang di dalam ketentuannya memberikan kewenangan untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanahnya, dan juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam dengan didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 20 Tahun 2001 jo Nomor 2 Tahun 2004, sungguhpun pada kenyataannya, pengaturan penggunaan tanah dimaksud belum sepenuhnya dilaksanakan di lapangan sesuai dengan RTRW Kota Batam, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.78 Dan juga tidak adanya kesinkronan peraturan dan data-data antara Otorita Batam dengan Departemen Kehutanan Kota Batam akan status lahan yang ada di pulau Batam. Sehingga masalah tumpang tindih akibat wewenang masing-masing instansi pemerintah Kota Batam terus terjadi sampai saat ini. Sebagaimana dalam Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam, yang menyebutkan bahwa dengan terbentuknya Kota Batam sebagai daerah Otonom, Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan 77 78
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm.181. Juliani Libertina Nasution, Op.Cit., hlm. 121.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan dan pembangunan didaerahnya mengikutsertakan Otorita Batam, untuk itu perlu diatur hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam dengan peraturan pemerintah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Kota Batam. Hubungan kerja itu diatur selambat-lambatnya satu tahun atau 12 (dua belas) bulan sejak diresmikannya Kota Batam sebagai daerah otonom. Selama proses penantian peraturan pemerintah tersebut, sering terjadi gesekan dan benturan di lapangan dalam menerapkan kewenangan oleh masing-masing instusi. Ketegangan demi ketegangan muncul antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam, akan tetapi peraturan pemerintah yang mengatur hubungan kerja tetap tidak terbit.79 Dua lembaga pengelola wilayah yang saling bersiteru hingga membingungkan investor/pengembang, bersedia untuk bekerjasama melalui sebuah nota kesepahaman mengenai hak dan wewenang pemerintah kota Batam dan Badan Otorita Batam. Fungsi dan wewenang dua lembaga ini mengalami tumpang tindih satu sama lain setelah otonomi daerah diberlakukan. Badan Otorita Batam tidak bersedia melepas wewenangnya sementara pemerintah daerah kota Batam bersikeras bahwa mempunyai hak dan wewenang untuk mengelola Batam. Pemerintah Pusat sendiri sampai sekarang belum mengeluarkan undang undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tugas dan wewenang Badan Otoritas Batam dan pemerintah daerah Batam dalam mengelola wilayah ini. Karena itu, MOU antara pemerintah daerah Batam dengan badan Otorita
79
Arie Sukanti Hutagalung, dan Markus Gunawan, Op.Cit., hlm. 190.
Universitas Sumatera Utara
Batam dipandang sebagai satu terobosan penting, yang mengatur tentang pertanahan, perizinan, infrastruktur, pelayanan masyarakat, pariwisata dan sebagainya. Menurut Budi Setiawan, persoalan tumpang tindih ini tidak bisa langsung diselesaikan secara langsung karena harus ada undang undang yang mengatur hubungan kerja antara pemerintah kota Batam dan Badan Otorita Batam. Tetapi sampai sekarang undang undang itu belum ada. Jadi selama undang undang atau peraturan pemerintah belum diterbitkan, maka hubungan kerja antara dua lembaga tersebut tidak akan sempurna, meskipun telah ada MOU, akan lebih sempurna apabila ada peraturan dari pemerintah pusat.80 Karena belum terciptanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, akan timbullah gejala penguasaan dan pengusahaan atas bidang-bidang tanah oleh pihakpihak tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, seperti pendudukan atau pengklaiman atas suatu bidang tanah oleh seseorang/kelompok orang yang belum tentu berhak atas tanah yang bersangkutan, okupasi liar dan tumpang tindih hak serta peruntukkan hak atas tanah. Menurut Isman Hadi, ketidaksinkronan aturan yang ada ini terjadi pada pemerintahan daerah Kota Batam, oleh karena Batam dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang penetapan Batam sebagai kawasan industri yang memiliki kewenangan khusus dalam pengalokasian lahan-lahan yang ada di Batam, sedangkan BPN hanya melegalkan sertifikatnya saja. Semua alas haknya dari Otorita Batam (Badan Pengusahaan Batam), maka seluruh lahan yang masuk wilayah Badan
80
Hasil wawancara dengan Staf Perencanaan Otorita Batam, pada tanggal 4 Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
Pengusahaan (BP) Batam harus mendapat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) terlebih dahulu, setelah itu kewenangan BP Batam untuk mengalokasikan lahan kepada pihak ketiga (pengembang). Sebaliknya yang terjadi adalah BP Batam belum memiliki HPL tetapi sudah mengeluarkan izin kepada para pengembang untuk dialokasikan pembangunan perumahan.81 Hak Pengelolaan tersebut diberikan kepada Otorita Batam untuk jangka waktu selama dipergunakan dan berlaku terhitung sejak didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota Batam. Artinya Otorita Batam diwajibkan oleh peraturan perundangan untuk mendaftarkan Hak Pengelolaannya supaya menjadi berlaku, sebelum didaftarkan maka belum berlaku, belum berkekuatan hukum. Dengan perkataan lain, pendaftaran merupakan syarat yang wajib dipenuhi Otorita Batam agar Hak Pengelolaannya berlaku. Faktor-Faktor Penyebab Lahirnya Sertifikat Dipermasalahkan. Lahirnya sertifikat bermasalah menunjukan adanya kelemahan struktural dan atau kelemahan substansi yang disebabkan oleh berbagai faktor, dan dapat diidentifikasi sebagai berasal dari:82 1). Faktor manusia, dalam hal ini terdiri dari Aparat Pertanahan dan Pemohon Hak Tanah. Secara umum kualifikasi seorang aparat di dalam melaksanakan tugasnya dibentuk oleh:
81 82
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam pada tanggal 22 Juli 2010. Muchtar Wahid, Op.Cit., hlm. 150-153.
Universitas Sumatera Utara
a. Aspek Psikologis. Kondisi psikologis seorang aparat yang terefleksikan dalam wujud; kemampuan (ability) dan integritas (integrity) serta komitmen (commitment), menentukan kwalitas kerja dan kinerjanya. b. Aspek Sosiologis. Pelaksanaan pendaftaran tanah, dapat dipengaruhi oleh derajat hubungan sosiologis antara aparat pertanahan dengan pemohon hak. Dalam proses kegiatan pendaftaran tanah terjadi interaksi sosial sehingga terbuka peluang hubungan emosional, yang lebih dari sekedar dimensi pelayanan, tetapi dapat berkembang kepada hal-hal yang menyimpang dari aturan, sehingga dapat mempengaruhi proses pendaftaran, baik menyangkut kebenaran data tehnisyuridis maupun tatalaksana, yang berimplikasi pada kadar kepastian hukum sertifikat sebagai produk pendaftaran tanah. 2). Faktor Sistem Pendaftaran Tanah. Secara
umum
meliputi
aturan
hukum,
prosedur
pendaftaran
secara
administratif dan operasional, sistem publikasi negatif, penggunaan prasarana pelayanan terutama peta dasar pendaftaran, ketentuan mengenai bukti pemilikan dan data transaksi serta keterangan pendukung dari institusi terkait, pembagian fungsi dan tugas organisasi. Dalam kaitan dengan aturan hukum, sangat diperlukan tingkat pemahaman dan kemahiran aparat menerapkan ketentuan konversi hak lama yang masih mengalami kesenjangan substansi terkait pluralisme jenis dan ciri pemilikan tanah adat dalam
Universitas Sumatera Utara
realitas masyarakat. Terkait dengan kegiatan tehnis-yuridis, diperlukan disiplin ilmu dan pengalaman tertentu sesuai dengan spesifikasi tugas pekerjaan (pengukuran kadasteral dan pemetaan serta penelitian riwayat pemilikan tanah). Berbagai
dimensi
tugas
dan
kompleksitas
masalah
pendaftaran
tanah,
membutuhkan skills dan kecerdasan serta wawasan yang cukup dari aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. 3). Faktor Lingkungan Strategis. Faktor lingkungan strategis, dapat berupa pengaruh dari kultur hukum masyarakat, lemahnya basis data dan sistem administrasi pemilikan tanah di tingkat kelurahan/desa, pluralisme jenis dan ciri pemilikan tanah yang terdapat dalam masyarakat. Selain itu, tinggi rendahnya beban kerja juga memberi pegaruh terhadap kecermatan dan disiplin aparat dalam melaksanakan tugasnya. Kultur hukum terutama menyangkut sikap masyarakat merespon kegiatan pendaftaran tanah, dapat mempengaruhi sikap atau perilaku aparat dan pemohon hak. Proses penetapan lokasi dan pengukuran serta penelitian riwayat pemilikan tanah memerlukan proses interkasi sosial seperti kesaksian/konfirmasi masyarakat tentang kepastian letak lokasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Achmad Ali bahwa efektif atau tidaknya hukum, tidak semata-mata ditentukan oleh peraturannya, tetapi juga dukungan dari beberapa institusi yang berada disekelilingnya, seperti faktor manusia, faktor kultur hukumnya, faktor ekonomis, dan sebagainya. Apabila faktor-faktor tersebut dapat sejalan, maka kesalahan dalam penerbitan sertifikat tanah terutama yang disebabkan oleh kebenaran data fisik dan data yuridis
Universitas Sumatera Utara
yang diberikan masyarakat akan terjadi dengan didukung oleh sikap profesionalisme, kedisiplinan, kejujuran, keterampilan, dan kecermatan aparat dalam menafsirkan data fisik dan data yuridis yang diperoleh dari anggota masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, ada 6 (enam) faktor yang melatari ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan, yaitu:83 a. Lambatnya penyelesaian perkara; b. Hakim kurang sungguh-sungguh menggunakan pengetahuan hukumnya dalam memutuskan perkara; c. Kasus penyuapan atau percobaan penyuapan terhadap hakim tidak dapat dibuktikan; d. Perkara yang diperiksa kadang di luar pengetahuan hakim yang bersangkutan; e. Pengacara yang tidak selalu secara professional bertindak demi klien; f. Pencari keadilan sendiri tidak melihat proses pengadilan sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun. Bahwa hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam membatasi ruang gerak Pemerintah Kota Batam, sering kali terjadi tanah yang dialokasikan tidak sesuai dengan rencana yang dimohonkan oleh Pemerintah Kota Batam. Bahkan aset-aset Pemerintah Kota Batam dalam bentuk tanah, tidak memiliki sertifikat termasuk Kantor Walikota Batam.84 Wewenang hak pengelolaan yang diberikan kepada Otorita Batam untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah inilah yang menyebabkan mekanisme pengalokasian lahan tidak sesuai peruntukannya. Dimana lahan yang belum dikuasai Otorita Batam, tetapi sudah dialokasikan ke pihak ketiga, dalam hal ini pengembang (investor/developer). Ketidaksinkronan data yang ada pada lembaga
83
Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang, 2008,
hlm. 15. 84
Ibid., hlm. 191.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah yakni Otorita Batam, BPN Batam, Pemko Batam, dan Dinas Kehutanan tentang status lahan di Batam menyebabkan kerugian terhadap investor/pengembang yang telah mendapat alokasi lahan.85 Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, Otorita Batam menjadikan kawasan di Batam menjadi kawasan hutan. Kemudian, terbitlah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam undangundang ini, aturan untuk alih fungsi hutan cukup pelik dimana ada persetujuan dari DPR. Sebagian besar lahan hutan lindung sudah dialokasikan Otorita Batam ke pengembang sebagai pemukiman dan pusat bisnis, bahkan di atasnya sudah berdiri puluhan ribu unit rumah, akan tetapi pengalihan fungsinya belum disetujui oleh pemerintah dan DPR. Adapun persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk perusahaan, koperasi dan yayasan dalam permohonan lahan ke Otorita Batam, antara lain:86 1. 2.
mengisi surat permohonan, form daftar isian, form surat pernyataan; foto kopi akta pendirian perusahaan/yayasan/koperasi yang disahkan Dephuk dan HAM; 3. mengajukan proposal rencana pengajuan lahan; 4. foto kopi rekening koran 3 bulan terakhir; 5. foto kopi laporan keuangan perusahaan 2 tahun terakhir; 6. foto kopi NPWP; 7. foto kopi SIUP; 8. pengalaman yang sudah dilaksanakan sesuai bidangnya; 9. alamat korespondensi; dan 10. melampirkan progres pembayaran UWTO dan pembangunan fisik lahan di lokasi sebelumnya bagi yang sudah pernah mendapatkan lahan.
85
http://budianto78.blogspot.com/2009 06 01 archive.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2010, Pukul 19.39 WIB. 86 Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hotben Purba, sebelum pembangunan perumahan tersebut, mereka telah memenuhi persyaratan administrasi pengajuan permohonan lahan ke Otorita Batam, tanpa pernah mengetahui dan diberitahu akan status lahan tersebut dan ternyata setelah pembangunan baru diketahui bahwa pembangunan tersebut berdiri di atas kawasan hutan lindung. Mereka hanya melakukan pembangunan setelah mendapat izin lokasi lahan dengan ketentuan bahwa semua yang telah ada atau yang akan ada di atas lahan tersebut merupakan tanggung jawab dari pihak developer. Oleh karena itu banyak pihak developer mengalami kerugian.87 Bahwa persoalahan lahan di Batam memang di beberapa titik masih dilingkupi masalah dimana beberapa kawasan rumah yang telah ditempati masyarakat selama bertahun-tahun dan telah bersertifikat, ternyata kemudian dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. M.Lubis seorang masyarakat Batu Aji, mengungkapkan bahwa mereka hanya menginginkan ketegasan akan kepastian sertifikat yang mereka miliki dari BPN, karena mereka telah memperjuangkan sertifikat tersebut sejak 2 tahun yang lalu, dan mengapa pemerintah terlalu lambat menerbitkan sertifikat tanah warga yang diajukan sejak beberapa tahun lalu, seolah-olah ada lempar tanggung jawab diantara instansi pemerintah yang ada di Batam.88 Ketidakjelasan status lahan tersebut dipicu oleh tidak adanya kepastian hukum atas lahan di Batam, karena ada sejumlah investor atau pengembang yang telah melakukan pembangunan serta penjualan ternyata lahannya berstatus hutan lindung.
87 88
Wawancara dengan Hotben Purba, selaku Developer, pada tanggal 21 Juli 2010. Hasil wawancara dengan M. Lubis, warga Batu Aji, di Kota Batam, pada tanggal 23 Juli
2010.
Universitas Sumatera Utara
Markus Gunawan dalam penelitiannya, kendati demikian sebagian besar masyarakat (terutama yang telah bermukim lebih dari 10 tahun di Batam) banyak berpihak kepada kebijakan-kebijakan Otorita Batam, sebagai institusi yang profesional dan telah eksis sejak dekade 1970, Otorita Batam tetap melanjutkan visi dan misinya sebagai otoritas pengelola pembangunan Pulau Batam dan sekitarnya (termasuk Pulau Rempang dan Galang).89 Berdasarkan data Real Estat Indonesia, sekitar 15000 sampai dengan 20000 rumah berada di kawasan hutan lindung, yang tersebar di beberapa perumahan di kota Batam, sekitar 7.000 rumah sudah dihuni. Hutan lindung itu terdapat di 20 lokasi yang tersebar di penjuru kota Batam, seperti Batuampar, hutan wisata Mukakuning, hutan lindung Bukit Dangas, hutan lindung Seiladi, hutan lindung Tiban, hutan lindung Baloi dan lainnya yang luasnya mencapai 12.081,60 hektar. Para pemilik rumah sudah memiliki sertifikat, meskipun rumahnya berada di lahan hutan lindung. Namun, sertifikat rumah yang dikeluarkan oleh BPN tidak bisa diagunkan ke bank dan diperjualbelikan karena tanah rumah berada di kawasan hutan lindung.90 Menanggapi persoalan lahan ini, menurut Tamsil, wakil kepala Kantor Pertanahan Kota Batam, mengatakan bahwa Batam kondisinya spesifik. Mulai 1973 sesuai Keppres No. 41/ 1973, Batam ditetapkan sebagai daerah industri. Seluruh areal tanah di Batam diserahkan HPLnya ke Otorita Batam (BP). Artinya Kepres sudah menyerahkan HPL. Tindak lanjutnya harus didaftarkan ke BPN. Ini diperkuat lagi
89
Markus Gunawan, Op.Cit., hlm. 85. http://www.koran-jakarta.com/berita-detail-terkini.php?id=17213, diakses pada tanggal 26 Januari 2011, pukul 10.33 WIB. 90
Universitas Sumatera Utara
dengan keputusan Mendagri No. 43/ 1977, tentang pemberian HPL atas seluruh areal tanah yang terletak di pulau Batam, dengan memegang HPL ini otorita punya kewenangan untuk merencanakan peruntukan tanah, mengalokasikan ke siapa saja, termasuk ke pengembang. Dengan demikian otorita Batam juga punya kewenangan menarik Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Sejak 2008, kita tidak boleh melakukan aktivitas, termasuk produk hukum di area tanah yang ternyata terkena kawasan hutan lindung.91 Fenomena di atas, menunjukkan bahwa belum profesionalnya aparat pemerintah dalam hal pendataan dalam konsep sistem pendaftaran tanah yang pada akhirnya melahirkan tumpang tindih hak atas tanah. Jika pemerintah dalam hal ini BPN memeriksa secara mendetail mengenai kebenaran materil sampai kepada penelusuran aspek kesejarahan terhadap objek tersebut, tentunya persoalan tumpang tindih hak atas suatu objek tanah tidak akan terjadi. Serta didukung oleh keseragaman peraturan-peraturan yang berlaku dalam pemerintahan daerah Kota Batam.
91
Hasil wawancara dengan Tamsil, di Kantor Pertanahan Kota Batam , pada tanggal 22 Juli
2010.
Universitas Sumatera Utara