BAB II PRINSIP FAIR AND EQUITABLE TREATMENT DI BIDANG INVESTASI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengaturan Prinsip Fair and Equitable Treatment di Bidang Investasi Menurut Hukum Internasional Pada dasarnya, Fair and Equitable Treatment merupakan aturan konvensional yang dapat ditemukan dalam hukum perjanjian internasional. Meskipun kebanyakan perjanjian multilateral dan bilateral di bidang investasi mengatur masalah Fair and Equitable Treatment, tidak ada satu klausa tetap yang disetujui bersama mengenai frase yang mengatur Fair and Equitable Treatment. Tetapi, apabila dilihat dari struktur dan isinya, Bilateral Investment Treaties (BITs) kerap memiliki satu persamaan yang dapat dijadikan satu bentuk generalisasi.44 Hal ini juga dapat diterapkan dalam hal perjanjian multilateral sebab perjanjian multilateral umumnya menerapkan pola yang sama seperti yang tercantum dalam BITs.45 Penggunaan standar FET dapat ditemukan dalam perjanjian internasional serta praktik negara sebagaimana dijelaskan berikut ini.
44 M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, 2nd Edition (2004), hlm. 217-218; A.F. Lowenfeld, International Economic Law, 2nd Edition (2008), hlm. 555; A. Newcombe dan L. Paradell, Law and Practice of Investment Treaties, (2009), hlm. 65; dan S.W. Schill, The Multilateralization of International Investment Law, (2009), hlm. 117-120. 45 UNCTAD, International Investment Rule Making, UNCTAD/ITE/IIT2007/3 (2008), hlm. 19.
!24
1. Perjanjian Bilateral Pengadopsian Draft Convention on the Protection of Foreign Property oleh OECD pada 12 Oktober 1967 menjadi titik awal perkembangan pesat investasi asing di dunia internasional.46 Pengaruh ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah BITs yang dibuat antara negara berkembang dan negara maju pada awal hingga akhir tahun 1960an. Salah satu fitur utama yang menonjol adalah rujukan terhadap “fair and equitable treatment”. Standar FET diketahui sebagai salah satu standar yang paling sering digunakan dalam perjanjian investasi.47 Namun tidak demikian halnya dalam perjanjian yang dibuat negaranegara di benua Asia, misalnya, pada perjanjian yang ditandatangani oleh Pakistan, Arab Saudi dan Singapura, tidak terdapat referensi terhadap FET.48 Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan negara-negara yang awalnya lebih mendukung prinsip national treatment daripada standar FET kini telah mencantumkan standar FET dalam BITs mereka. BIT antara Chile49 dan China50 serta antara Peru dan Thailand, Bulgaria dan Ghana, Arab Saudi dan Malaysia, selurunya mencantumkan standar FET.51 Dalam kategori ini, perlu diketahui
46
Lihat Bab I R. Dolzer dan M. Stevens, Bilateral Investment Treaties (The Hague: M. Nijhoff,1995), hlm. 58. 48 UNCTAD, Bilateral Investment Treaties in the Mid 1990s, (1998), hlm. 54. 49 Model Treaty, Pasal 4 tentang Perlakuan terhadap Investasi (1994), lihat UNCTAD, op. cit., hlm. 54. 50 Pasal 3 China Model Treaty 51 Lihat ICSID, Investment Laws of the World: Bilateral Investment Treaties (1972). 47
!25
bahwa negara-negara Amerika Latin telah menjadi penganut doktrin Calvo52 sejak awal abad ke 20 dan awalnya secara tegas menolak penggunaan prinsip FET. Beberapa perjanjian yang masih tergolong baru, seperti Perjanjian Perdagangan Bebas antara Amerika Serikat dan Australia,53 Amerika Tengah (CAFTA),54 Chile,55 Maroko,56 dan Singapura57, dalam bagian yang mengatur tentang investasi, memberikan spesifikasi yang lebih besar bahwa setiap negara anggota memiliki kewajiban untuk “memperlakukan investasi asing sesuai dengan hukum kebiasaan internasional, termasuk prinsip FET dan full protection and security”. Perjanjian Perdagangan Bebas antara Australia dan Thailand,58 pada Pasal 909, juga mengatur bahwa setiap pihak memiliki kewajiban untuk memastikan FET terhadap investasi asing yang terdapat dalam wilayahnya. Standar FET juga terdapat dalam beberapa BITs yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, antara lain dalam BITs dengan Inggris,59 Australia,60 dan 52
Doktrin Calvo adalah salah satu doktrin dalam kebijakan asing yang mengatur bahwa sengketa investasi akan menjadi kewenangan pengadilan setempat dari negara tempat investasi dilakukan (host state). Negara-negara penganut doktrin Calvo tidak ingin terlibat dalam perjanjian yang akan menyebabkan adanya pemindahan yurisdiksi atas properti yang dimiliki oleh investor asing dari pengadilan domestik ke pengadilan internasional. 53 US-Australia Free Trade Agreement, ditandatangani pada 1 Maret 2004. 54 US-Central America Free Trade Agreement (CAFTA), ditandatangani pada 28 Januari 2004. Negara-negara Amerika Tengah antara lain: Kosta Rika, El Salvador, Guatemala, Honduras, Nikaragua. 55 US-Chile Free Trade Agreement, ditandatangani pada 6 Juni 2003. 56 US-Morocco Free Trade Agreement, ditandatangani pada 15 Juni 2004. 57 US-Singapore Free Trade Agreement, ditandatangani pada 6 Mei 2003. 58 Australia-Thailand Free Trade Agreement, ditandatangani pada 19 Oktober 2003. 59 United Kingdom-Indonesia BIT (1977) 60 Australia-Indonesia BIT (1993)
!26
Korea Selatan.61 Sebagai contoh, klausa FET dalam Pasal 3 Ayat (2) UKIndonesia BIT berbunyi sebagai berikut. “Investments of nationals or companies of either Contracting Party shall at all times be accorded fair and equitable treatment and shall enjoy full protection and security in the territory of the other Contracting Party . Each Contracting Party shall ensure that the management, maintenance, use, enjoyment or disposal of investments in its territory of nationals or companies of the other Contracting Party is not in any way impaired by unreasonable or discriminatory measures. Each Contracting Party shall observe any obligation it may have entered into with regard to investments of nationals or companies of the other Contracting Party.”
2. Perjanjian Regional Pada tingkat perjanjian regional, prinsip FET juga dianggap penting dalam kerangka kerjasama perdagangan. Beberapa perjanjian regional yang mencakup klausa FET dalam isi perjanjiannya antara lain the Fourth Convention of the African, Caribbean and Pacific Group of States (ACP), European Economic Community (EEC) atau Lomé IV tahun 1990,62 dan North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA) tahun 2001. Pasal 159 dalam Konvensi pembentuk Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA) tahun 1994 juga mewajibkan negara anggota untuk “memberikan FET kepada investor swasta”.63 NAFTA pada Pasal 1105(1) tentang “Standar Perlakuan Minimum” mengatur bahwa: “Each Party shall accord to investments of investors of another
61
Korea-Indonesia BIT (1994) Lomé IV berlaku sejak tanggal 1 Maret 1990. 63 Convention on the Establishment of Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA), (1994), http://www.comesa.int/attachments/article/28/ COMESA_Treaty.pdf diakses pada 15 Oktober 2015. 62
!27
Party treatment in accordance with international law, including fair and equitable treatment and full protection and security.”64 Pada kawasan Asia Tenggara, prinsip FET terdapat dalam Pasal IV ASEAN Treaty for the Promotion and Protection of Investment tahun 198765 dan juga pada perjanjian investasi ASEAN yang baru yaitu pada Pasal 11 ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) tahun 2009 yang berbunyi:
Article 11 Treatment of Investment 1. Each Member State shall accord to covered investments of investors of any other Member State, fair and equitable treatment and full protection and security. 2. For greater certainty: (a) fair and equitable treatment requires each Member State not to deny justice in any legal or administrative proceedings in accordance with the principle of due process; and (b) full protection and security requires each Member State to take such measures as may be reasonably necessary to ensure the protection and security of the covered investments.
3. Perjanjian Multilateral Pada konteks perjanjian multilateral, Draft United Nations Code of Conduct on Transnational Corporations, pada Pasal 48 menyatakan bahwa: “Transnational corporations should receive [fair and] equitable [and non-discriminatory] treatment [under] [in accordance with] 64
NAFTA, op. cit., Pasal 1105(1) Perjanjian ASEAN ini adalah perjanjian antara pemerintah Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand untuk Promosi dan Perlindungan Investasi. http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/ item/the-1987-asean-agreement-for-the-promotion-and-protection-of-investments diakses pada 15 Oktober 2015. 65
!28
the laws, regulations and administrative practices of the countries in which they operate [as well as intergovernmental obligations to which the Governments of these countries have freely subscribed] [consistent with their international obligations] [consistent with international law]”.66
Meskipun sebagian besar isu di atas tidak mencapai satu kesepakatan pada perumusan versi terakhirnya pada tahun 1986, seluruh negara anggota setuju bahwa Code of Conduct tersebut harus memberikan perlakuan yang adil kepada perusahaan transnasional. Convention establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency67 (MIGA Convention) tahun 1985 pada Pasal 12(d) mengatur bahwa untuk menjamin investasi, MIGA harus memastikan bahwa terdapat perlindungan atas FET dan perlindungan hukum terhadap investasi pada host state terkait.68 Ini tidak hanya akan menjadi standar yang bijaksana untuk meminimalkan resiko investasi, tetapi juga menjadi salah satu tujuan MIGA sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 23 untuk mempromosikan arus investasi kepada dan di antara negara berkembang, termasuk juga promosi atas perlindungan investasi. 66
UNCTC, The United Nations Code of Conduct on Transnational Corporations, Current Studies, Series A (New York, 1986) UN Doc. ST/CTC/SER.A/4, Annex 1. 67 Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency, (1985), https://www.miga.org/documents/miga_convention_november_2010.pdf , diakses pada 15 Oktober 2015. 68 Pasal 12(d) MIGA Convention menyatakan bahwa:
(d) In guaranteeing an investment, the Agency shall satisfy itself as to: (i) the economic soundness of the investment and its contribution to the development of the host country; (ii) compliance of the investment with the host country's laws and regulations; (iii) consistency of the investment with the declared development objectives and priorities of the host country; and (iv) the investment conditions in the host country, including the availability of fair and equitable treatment and legal protection for the investment.
!29
World Bank Guidelines on Treatment of Foreign Direct Investment69 tahun 1992 pada Pasal III(2) menyatakan bahwa: “setiap Negara akan menjamin FET terhadap investasi yang dilakukan oleh warga negara negara lain berdasarkan standar yang direkomendasikan oleh panduan ini.” Kemudian pada Pasal II(3) mengindikasikan standar perlakuan yang harus diberikan kepada investor asing dalam hal perlindungan terhadap orang dan properti asing, pemberian izin dan lisensi, perpindahan pendapatan dan keuntungan, serta repatriasi modal. Pendekatan yang dianut dalam panduan ini adalah bahwa prinsip FET merupakan prinsip dengan syarat yang komprehensif. Colonia Protocol on Reciprocal Promotion and Protection of Investments yang ditandatangani oleh negara anggota MERCOSUR70 pada Januari 1994 dengan jelas menjamin FET pada saat apapun kepada investor dari setiap negara anggota MERCOSUR. Sebuah protokol tambahan mengenai promosi dan perlindungan investasi dari negara pihak ketiga juga memberikan perlakuan dan perlindungan yang sama terhadap investor negara pihak ketiga.71 Draft OECD Multilateral Agreement on Investment tahun 1998 pada bagian preambul mengindikasikan bahwa “rezim investasi yang adil, transparan dan dapat diprediksi melengkapi dan menguntungkan sistem dunia
69
World Bank, Legal Framework for the Treatment of Foreign Investment, (1992), http://www.italaw.com/documents/WorldBank.pdf diakses pada 15 Oktober 2015. 70 MERCOSUR dibentuk pada tahun 1991 berdasarkan Asuncion Treaty, negara anggota nya antara lain: Argentina, Brazil, Paraguay, dan Uruguay. 71 UNCTAD, International Investment Instruments: A Compedium (1996) Vol. II, hlm. 527-534.
!30
perdagangan”, sementara pada bagian “General Treatment”, Pasal 1 mencantumkan bahwa: “Each Contracting Party shall accord fair and equitable treatment and full and constant protection and security to foreign investments in their territories. In no case shall a contracting Party accord treatment less favorable than that required by international law.”72
Energy Charter Treaty73 tahun 1995 juga mengatur bahwa FET harus diberikan pada saat dan kondisi apapun. Meskipun perjanjian tersebut hanya terbatas pada sektor energi, tetapi berhubungan dengan konteks ini karena para pihak dalam perjanjian tersebut merupakan negara-negara dengan beberapa transisi ekonomi dunia yang juga menganut standar tersebut.74 Akhirnya, Agreement between Singapore and EFTA pada tahun 2002 mengembangkan suatu area perdagangan bebas antara para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 39 dimana setiap pihak harus “menjamin FET kepada investasi yang dilakukan oleh pihak lain.”75
72
OECD, Draft Text Of The Multilateral Agreement on Investment, (1998), hlm. 56. http://www.oecd.org/daf/mai/pdf/ng/ng987r1e.pdf diakses pada 18 Oktober 2015. 73 Energy Charter Treaty, (1994), http://www.ena.lt/pdfai/Treaty.pdf diakses pada 18 Oktober 2015. 74 Negara-negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian ini termasuk: Armenia, Azerbaijan, Belarus, Bulgaria, Kroasia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Turkmenistan. 75 Agreement Between The EFTA States and Singapore, (2002), http:// wits.worldbank.org/GPTAD/PDF/archive/EFTA-Singapore.pdf diakses pada 19 Oktober 2015.
!31
B. Prinsip - Prinsip Perlindungan dalam Fair and Equitable Treatment
Berikut ini adalah upaya lebih jauh untuk menganalisis prinsip-prinsip FET dan bagaimana mahkamah arbitrase menerapkannya dalam sengketa investasi. Prinsip perlindungan berdasarkan FET dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (i) prinsip yang berhubungan dengan substansi perlindungan FET; dan (ii) prinsip yang berhubungan dengan aspek prosedural dalam sistem hukum host state.76
1. Prinsip Substantif i. Kedaulatan Sebagaimana diketahui, kedaulatan negara merupakan prinsip utama hukum internasional publik77 yang mengabadikan independensi dan otonomi negara sebagai subjek hukum internasional. Prinsip ini dibahas oleh Penulis dengan pertimbangan pentingnya prinsip kedaulatan dalam hukum internasional dan fakta bahwa sebagian besar prinsip-prinsip FET biasanya bertentangan dengan kedaulatan negara. Pada bagian ini, Penulis tidak akan memberikan pembahasan menyeluruh mengenai konsep kedaulatan, tetapi hanya akan membahas aspek-aspek kedaulatan yang berhubungan dengan prinsip FET.
76 Roland Kläger, Fair and Equitable Treatment in International Investment Law, (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm. 154. 77 Lihat Pasal 2 Ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebutkan prinsip kesetaraan negara-negara di dunia.
!32
Secara umum diterima bahwa kedaulatan menjelaskan status hukum suatu negara dalam tapi tidak di atas hukum internasional. Hal itu menandakan subjektivitas langsung negara terhadap hukum internasional dan perlindungan terhadap kesatuan teritorial, yurisdiksi eksklusif personal dan teritorial, identitas budaya, dan kebebasan menentukan nasib sendiri dalam urusan politik serta sosial ekonomi.78 Dalam hukum investasi internasional, bentuk kedaulatan yang dianut negara-negara di dunia, terutama pasca dekolonisasi, adalah konsep ‘permanent sovereignty over natural resources’ atau kedaulatan tetap atas sumber daya alam yang dapat ditemukan dalam Pasal 2 Ayat (1) Charter of Economic Rights and Duties of States tahun 1974.79 Pemakaian konsep kedaulatan ini tidak lepas dari tujuan negara-negara baru untuk menasionalisasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan negara terhadap asing. Sebagai bentuk ekspresi kedaulatan, negara-negara menandatangani ratusan perjanjian investasi internasional dan dengan demikian menyetujui pembatasan terhadap kedaulatan negara mereka sendiri dalam hal regulasi investasi. Tidak jarang, pelaksanaan perjanjian investasi tersebut memengaruhi kebebasan host state dalam meregulasi.80 Secara khusus, pengaruh tersebut tidak hanya terbatas pada sebagian kecil tindakan pemerintah, tetapi dalam setiap cabang kewenangan pemerintah — legislatif, eksekutif, dan
78
H. Steinberger, Sovereignty, dalam R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law (1987), Vol. 10/12, hlm. 408-410. 79 Pasal 2(1) Charter of Economic Rights and Duties of States 1974 berisi:
“Every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and disposal, over all is wealth, natural resources and economic activities.” 80 Sornarajah, op. cit., hlm. 265-266.
!33
yudikatif. Namun demikian, karena rezim perjanjian investasi sebagaimana hukum perjanjian internasional pada umumnya, pembatasan tersebut dibuat berdasarkan persetujuan para pihak (mutual consent of states). Dengan demikian, secara a contrario, kelangsungan rezim tersebut tergantung pada persistent acceptance dari negara-negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian. 81 Meskipun demikian, kedaulatan negara untuk mengatur masalah dalam negeri nya serta untuk menerapkan prosedur tertentu, baik administratif maupun yudisial, kerap kali menjadi sumber sengketa investasi karena dianggap merugikan kepentingan investor asing. Salah satu contoh yang menarik mengenai hal ini adalah kasus Pope & Talbot Inc. v. Canada,82 dimana Kanada memberlakukan serangkaian peraturan yang rumit dalam penerapan Softwood Lumber Agreement (SLA) antara Kanada dan Amerika. Claimant merasa bahwa peraturan yang dibuat pemerintah Kanada telah merugikan bisnisnya. Putusan Mahkamah menyatakan bahwa peraturan yang dibuat pemerintah tersebut tidak melanggar prinsip FET karena peraturan tersebut sesuai dengan spesifikasi internasional sebagaimana diatur dalam SLA, tidak mendiskriminasi investor asing, berupaya untuk mengurangi dampak akibat adanya perubahan hukum, dan oleh karenanya, merupakan ‘respon yang wajar’ terhadap kondisi hukum dan
81 Acceptance dalam hal ini berarti penerimaan rezim perjanjian investasi secara umum. Oleh karena itu, penolakan negara terhadap putusan mahkamah arbitrase investasi tertentu yang mewajibkan negara untuk membayar ganti rugi kepada investor, tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Hal tersebut dikarenakan resiko atas suatu putusan dianggap telah disetujui sejak dibuatnya perjanjian investasi yang bersangkutan. 82 Pope & Talbot Inc. v. Canada, UNCITRAL, Final Merits Award, 10 April 2001.
!34
ekonomi.83 Sebaliknya, Mahkamah menemukan adanya pelanggaran FET terkait perlakuan terhadap investor dalam hal audit setelah adanya sengketa ini.84 Mahkamah berpendapat bahwa sikap tidak kooperatif pejabat pemerintahan Kanada ketika melakukan audit telah memberatkan investor, dan tidak dapat dibenarkan.85 Contoh lain yang berkaitan dengan right to regulate pemerintah adalah kasus ADC Affliliate Ltd and others v. Hungary.86 Kasus ini menyangkut adanya peraturan yang menyebabkan hilangnya laba investor asing akibat pembangunan bandar udara di Hungaria. Meskipun Mahkamah mengakui right to regulate yang dimiliki host state, namun terdapat limitasi terhadap hak tersebut, dan dalam kasus ini, Mahkamah menolak argumentasi Hungaria sebagai berikut: “It is the tribunal’s understanding of the basic international law principles that while a sovereign state possesses the inherent right to regulate its domestic affairs, the exercise of such right is not unlimited and must have its boundaries. As rightly pointed out by the claimants, the rule of law, which includes treaty obligations, provides such boundaries. Therefore, when a state enters into a bilateral investment treaty like the one in this case, it becomes bound by it and the investment-protection obligations it undertook therein must be honoured rather than be ignored by a later argument of the state’s right to regulate.”87
83
Ibid., para. 119. Ibid., para. 155. 85 Ibid., para. 172, 173, 181. 86 ADC Affiliate Ltd and ADC & ADMC Management Ltd. v. Hungary, ICSID Case No. ARB/03/16, Award, 2 Oktober 2006, para. 79. 87 Ibid., para. 423. Mahkamah merujuk kepada right to regulate dalam konteks nya terhadap gugatan ekspropriasi, namun kemudian menyatakan bahwa pendekatan ini dapat berlaku juga terhadap pelanggaran FET secara umum; lihat para. 445. 84
!35
Mengenai resiko kerugian yang dialami investor terkait dengan perubahan peraturan hukum di host state, Mahkamah berpendapat bahwa resiko kerugian tidak dapat dihubungkan dengan rezim pengaturan negara. Investor harus melaksanakan bisnis nya sesuai dengan hukum domestik host state. Namun, tidak berarti investor harus siap menerima apapun perubahan yang diwajibkan host state. Mahkamah berpendapat bahwa ketika melakukan investasi, investor telah mengambil resiko tersebut dengan ekspektasi bahwa investor akan menerima perlakuan yang adil serta kompensasi yang sewajarnya (apabila ada), dan bukan sebaliknya.88 Mahkamah dalam kasus ADC tersebut telah secara utuh membedakan antara fleksibilitas right to regulate negara dengan hak absolut negara yang digunakan untuk membenarkan tindakan tidak adil terhadap invesotr asing. Selain itu, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun investor asing wajib patuh terhadap hukum domestik host state, bukan berarti investor harus menanggung seluruh kerugian yang disebabkan oleh tindakan negara yang melanggar prinsip FET. Kasus-kasus tersebut di atas telah menunjukkan bahwa hak regulasi negara bukanlah tak terbatas, tetapi harus berada dalam batasan-batasan yang telah disetujui dalam hukum investasi internasional.89 Negara harus memastikan bahwa dalam mengambil kebijakan maupun dalam membuat peraturan harus diberlakukan sedemikian rupa sehingga tidak akan berakibat kepada perlakuan
88 89
Ibid., para. 424. Roland Kläger op. cit., hlm. 163.
!36
yang tidak adil terhadap investor. Dengan demikian, dalam melaksanakan kedaulatan negaranya, host state harus menghormati prinsip-prinsip FET lain sebagaimana akan dijabarkan di bawah ini.
ii. Legitimate Expectations Konsep legitimate expectations, atau biasa juga disebut dengan basic expectations atau reasonable and justifiable expectations,90 merupakan komponen utama dalam prinsip standar FET.91 Konsep ini berkembang pesat dalam proses penyelesaian sengketa investasi melalui mahkamah arbitrase internasional seperti ICSID. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya putusan ICSID yang menekankan konsep legitimate expectations investor asing pada saat awal investasi dilakukan.92 Alasan di balik perlindungan terhadap legitimate expectations tidak
90
Enron and Ponderosa Assets v. Argentina, ICSID Case No. ARB/01/3, Award, 22 Mei 2007, para. 262. 91 Saluka Investment BV v. Czech Republic, Permanent Court of Arbitration, Partial Award, 17 Maret 2006, para. 302; Rudolf Dolzer dan Christoph Schreuer, Principles of International Investment Law (Oxford University Press, 2008), hlm. 135; Abhijit PG Pandya dan Andy Moody, Legitimate Expectations in Investment Treaty Arbitration: An Unclear Future, (2010) 15 Tilburg Law Review 93, hlm. 105. 92 Beberapa putusan mahkamah arbitrase yang mengatur masalah legitimate expectations antara lain: Metalclad v. Mexico (2000); Tecmed v. Mexico (2006); Occidental v. Ecuador (2004); CMS Gas Transmission Co. v. Argentina (2003); Waste Management v. Mexico (2001); International Thunderbird Gaming Corporation v. Mexico (2006); Saluka Investments v. Czech Republic (2006); LG&E Energy Corporation v. Argentina (2007); Enron Corporation v. Argentina (2007); Sempra Energy International v. Argentina (2007); Bayinder Insaat Turizm Ticaret ve Sanayi v. Pakistan (2005); Parkerings-Compagniet AS v. Lithuania (2007).
!37
lain adalah untuk mendorong investor asing untuk mengambil keputusan bisnis berdasarkan kondisi dan rezim hukum yang ditawarkan oleh host state.93 Konsep ini berhubungan erat dengan fenomena ‘perubahan’. Investasi bukan merupakan transaksi yang berlangsung satu kali, melainkan melibatkan suatu proses ekonomi dengan jangka waktu yang signifikan, seperti kontrak bisnis, dan banyak diantaranya tidak mencantumkan jangka waktu berlakunya perjanjian, misalnya perusahaan asing di bidang manufaktur dan penyedia jasa. Akibat lamanya jangka waktu proyek bisnis yang dilakukan maka terdapat resiko akan perubahan dalam kondisi investasi sehingga dapat berdampak buruk pada investasi.94 Perubahan lingkungan bisnis dapat diakibatkan oleh banyak hal: faktor ekonomi yang buruk seperti lambatnya perkembangan teknologi, naik turunnya harga, dan daya jual kompetitor bisnis. Alasan lainnya adalah akibat tindakan pemerintah host state, baik tindakan tertentu maupun umum, komisi maupun omisi. Standar FET paling banyak berkaitan dengan tindakan omisi pemerintah terkait. Sebagaimana bisnis yang lain, investasi asing juga tunduk kepada peraturan pemerintah. Terkadang, dalam proyek bisnis skala besar, terdapat hubungan kontraktual langsung antara investor dengan pemerintah host state,
93 Christoph Schreuer dan Ursula Kriebaum, At What Time Must Legitimate Expectations Exist?, sebagaimana dikutip dalam Jacques Werner dan Arif Hyder Ali, A Liber Amicorum: Thomas Walde—Law Beyond Conventional Thoughts, (London: Cameron May, 2009), hlm. 265. 94 UNCTAD, Fair and Equitable Treatment, op. cit., hlm. 63.
!38
yang melingkupi campur tangan pemerintah dengan hak kontraktual. Perubahan kebijakan host state kerap kali mengikuti perubahan kondisi politik negaranya.95 Gugatan terkait pelanggaran legitimate expectations muncul ketika investor menderita kerugian karena perubahan akibat tindakan tertentu yang diambil pemerintah. Dengan kata lain, ketika tindakan host state memberikan dampak yang merugikan bagi investasi, yakni yang berdampak pada turunnya nilai investasi maka investor dapat melakukan gugatan dengan dugaan pelanggaran legitimate expectations oleh pemerintah host state. Namun, mahkamah internasional dalam menguji tindakan pemerintah96 untuk mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran terhadap legitimate expectations, harus dilakukan secara seimbang dan menyeluruh, mengingat bahwa BITs dapat diinterpretasikan secara luas sehingga dapat menciptakan ekspektasi yang tidak terbatas oleh investor.97 Oleh karena itu, penting untuk menetapkan syarat dan ketentuan bagi investor untuk dapat mengajukan gugatan atas perlindungan legitimate expectations di mahkamah investasi internasional.98 Mahkamah internasional dan para sarjana setuju bahwa legitimate expectations investor dipengaruhi oleh stabilitas, prediktabilitas, dan konsistensi
95
Ibid. Thomas W Walde, International Investment Law: an Overview of Key Concepts and Methodology, (2007) 4 Transnational Dispute Management 80
diakses pada 25 September 2015. 97 Pandya dan Moody, Legitimate Expectations in Investment Treaty Arbitration, op. cit., hlm. 93. 98 Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 265. 96
!39
kerangka hukum dan kerangka bisnis host state.99 Kerangka ini meliputi peraturan perundang-undangan, tindakan atau pernyataan yang dilakukan secara eksplisit maupun implisit oleh pemerintah host state, ataupun gabungan dari faktor-faktor tersebut.100 Selain itu, perlu dicatat bahwa legitimate expectations investor juga dapat dipengaruhi oleh kerangka hukum pada saat diambilnya keputusan untuk pembangunan, perluasan, perkembangan, atau perubahan investasi.101 Hukum setempat juga turut serta dalam merawat dan menumbuhkan legitimate expectations karena investasi biasanya dilakukan pada daerah tertentu dalam teritori host state.102 Oleh karena itu, menurut hukum investasi internasional, di satu sisi investor memiliki ekspektasi bahwa host state tidak akan mengubah kondisi hukum dan bisnis dan/atau praktik administrasi negaranya103 setelah investasi dilakukan.104 Namun di sisi lain, investor juga mengharapkan agar host state mengupayakan dan menerapkan kebijakannya secara bona fide melalui tindakan yang, selama memengaruhi investor, dapat dibenarkan secara hukum.105 Untuk memunculkan legitimate expectations dalam hukum investasi internasional, tatanan hukum di host state, sebagai jaminan oleh pemerintah, secara umum cenderung harus menguntungkan investor. Dengan kata lain, adalah 99 Kenneth J Vandevelde, A Unified Theory of Fair and Equitable Treatment, 2011, 43 New York Univ J Intl L & Pol 43, hlm. 66. 100 Dolzer dan Schreuer, op. cit., hlm. 134. 101 Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 276. 102 Dolzer dan Schreuer, op. cit., hlm. 135. 103 Bayindir v. Pakistan, op. cit., para. 240. 104 Occidental v. Ecuador, op. cit., para. 191 105 Saluka v. Czech Republic, op. cit., para. 307
!40
penting bagi sebuah tindakan hukum yang dapat menimbulkan legitimate expectations untuk memiliki efek menguntungkan bagi investor, karena tidak mungkin investor akan mengharapkan keuntungan dari sistem regulasi yang negatif.106 Esensi dari legitimate expectations investor adalah kewajaran dan kepantasan dari ekspektasi tersebut, baik secara objektif maupun subjektif.107 Apabila dilihat dari perspektif objektif, mahkamah harus mempertimbangkan apakah ekspektasi tersebut datang dari investor yang pantas,108 yaitu investor yang telah memperhitungkan semua keadaan sekitar investasi, termasuk kondisi politik, sosial ekonomi, budaya dan sejarah yang berlaku di host state.109 Dalam kasus Saluka Investments BV v. Czech Republic, Mahmakah arbitrase UNCITRAL memutuskan bahwa Claimant tidak dapat hanya mengandalkan jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan dengan pertimbangan bahwa jaminan tersebut tidak dapat mengikat pemerintah baru yang akan datang.110 Sebaliknya, suatu ekspektasi dianggap tidak wajar secara subjektif apabila ekspektasi tersebut bertentangan dengan pengetahuan seorang individu akan hukum dan/atau pernyataan yang dibuat oleh host state.111 Oleh karena itu,
106
Elizabeth Snodgrass, Protecting Investors’ Legitimate Expectations: Recognizing and Delimiting a General Principle, (2006) 21 ICSID Rev—FILJ 1, hlm. 36. 107 Ibid., lihat juga Duke Energy Electroquil Partners & Electroquil SA v. Republic of Ecuador, ICSID Case No. ARB/04/19, Award, 18 Agustus 2008, para. 351-354. 108 Snodgrass, op. cit., hlm. 41. 109 Duke v. Ecuador Award, op. cit., para. 340, 347. 110 Saluka v. Czech Republic Award, op. cit., para. 351. 111 Snodgrass, op. cit., hlm. 41; Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 273.
!41
investor tidak dapat berargumentasi bahwa investasinya gagal akibat hukum, kebijakan atau tindakan negara pada saat investasi dilakukan, terutama apabila kondisi hukum mana telah diketahui olehnya sebelum investasi dilakukan.112 Mahkamah arbitrase ICSID dalam kasus International Thunderbird Gaming Corporation v. The United Mexican States menyimpulkan bahwa Claimant tidak dapat bergantung pada sebuah pendapat hukum (legal opinion) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini tidak hanya karena pendapat hukum tersebut didasarkan pada kesalahan penafsiran oleh Claimant mengenai karakter permainan yang ia kembangkan, tetapi juga karena Claimant mengetahui fakta bahwa perjudian merupakan aktivitas yang dianggap ilegal di Meksiko.113 Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut ini: (i) ekspektasi adalah sah apabila bertumpu pada hukum dan/atau jaminan tertentu yang diberikan oleh host state;114 (ii) dalam tujuan untuk menimbulkan ekspektasi yang sah, kerangka hukum dan bisnis pada host state, termasuk pernyataan apapun yang diberikan oleh pemerintah, harus cenderung menguntungkan investor;115 (iii) hanya ekspektasi yang wajar dan pantas secara objektif dan subjektif yang dianggap sah;116 dan (iv) berdasarkan doktrin legitimate expectations, hukum investasi internasional melindungi investor dari 112
Campbell McLachlan QC, Laurence Shore dan Matthew Weiniger, International Investment Arbitration Substantive Principles, Oxford University Press 2007, hlm. 236. 113 International Thunderbird Gaming Corporation v. The United Mexican States, UNCITRAL, Award, 26 Januari 2006, para. 148, 164. 114 Snodgrass, op. cit., hlm. 44. 115 Ibid., hlm. 35. 116 Ibid., hlm. 57.
!42
perubahan tatanan hukum dan/atau perubahan atas jaminan pemerintah yang menjadi tumpuan investasi.117 Meskipun demikian, apabila perubahan hukum dan/atau komitmen atau pernyataan yang diberikan oleh pemerintah malah menguntungkan investor asing, maka legitimate expectations investor tidak terlanggar, melainkan semakin dilindungi dan diperkuat. Selain itu, perubahan apapun yang bersifat menguntungkan dalam kerangka hukum selama jangka waktu investasi akan menciptakan legitimate expectation yang tunduk pada perlindungan hukum investasi internasional dan akan mengikat investor asing dalam putusan bisnis berikutnya.118
iii. Non Diskriminasi Prinsip non-diskriminasi merupakan elemen penting lainnya yang berkaitan dengan konsep fair and equitable treatment. Meskipun beberapa putusan pengadilan arbitrase menggunakan istilah perlindungan terhadap “arbitrariness”, “unjustified measures”, atau “unreasonable measures”,
perlu
diketahui bahwa istilah-istilah tersebut dapat digunakan secara bergantian dan dapat dikategorikan sebagai perlindungan di bawah prinsip non-diskriminasi.119 Dalam sejumlah BITs umumnya terdapat klausa yang melindungi investor dari
117
Dolzer dan Schreuer, op. cit., hlm. 134. Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 273-274. 119 Roland Kläger, op. cit., hlm.187. 118
!43
tindakan diskriminasi maupun kesewenang-wenangan.120 Contohnya, Pasal II(2) (b) dalam BIT antara Argentina dan Amerika Serikat menyatakan bahwa: “neither Party shall in any way impair by arbitrary or discriminatory measures the management, operation, maintenance, use, enjoyment, acquisition, expansion, or disposal of investments.” Terdapat kontroversi dalam definisi non-diskriminasi menurut hukum internasional, dan oleh karenanya telah lahir beberapa pendapat. Sebagai titik awal, referensi dari kamus dapat mengungkapkan adanya afinitas linguistik antara non-diskriminasi dengan kewajiban FET, tetapi tidak mampu memberikan pencerahan tentang arti harfiah dari non-diskriminasi. Dalam menentukan ordinary meaning dari satu atau beberapa terminologi, mahkamah arbitrase ICSID sering menggunakan kamus bahasa seperti Black’s Law Dictionary dan Oxford English Dictionary sebagai langkah awal untuk mencari definisi suatu terminologi.121 Menurut Black’s Law Dictionary, kata ‘discrimination’ diartikan sebagai ‘differential treatment; especially a failure to treat all persons equally when no reasonable distinction can be found’.122 Sementara Oxford Dictionary of Law mengartikannya sebagai ‘treating a person less favourably than others on grounds unrelated to merit’.123 Sementara, kata ‘arbitrary’ diartikan sebagai
120
V. Heiskanen, Arbitrary and Unreasonable Measures, dalam A. Reinisch, Standards of Investment Protection, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hlm. 87. 121 Alpha Projektholding GmbH v. Ukraine, ICSID Case No. ARB/07/16, Decision on Respondent’s Proposal to Disqualify Arbitrator Dr. Yoram Turbowicz, 19 Maret 2010. 122 B. A. Garner (ed.), Black’s Law Dictionary, 8th Edition (2004) 123 E. A. Martin dan J. Law (ed.), Oxford Dictionary of Law, 6th Edition (2006).
!44
‘depending on individual discretion, founded on prejudice or preference rather than on reason or fact.’124 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ‘diskriminasi’ memiliki konotasi negatif, yang berarti secara tidak adil, sewenangwenang, atau pembedaan yang tidak beralasan.125 Definisi inilah yang paling banyak digunakan dalam hukum internasional.126 Prinsip non-diskriminasi dalam kaitannya dengan FET telah diakui dalam beberapa sengketa investasi internasional, salah satunya adalah S. D. Myers Inc. v. Canada. Dalam kasus tersebut, pemerintah Kanada melarang ekspor bahan kimia beracun untuk melindungi industri pembuangan domestik. Mahkamah beranggapan bahwa pelanggaran FET terjadi apabila ‘terbukti bahwa investor telah diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang dan perlakuan tersebut dalam derajat yang tidak dapat diterima menurut perspektif internasional.127 Kemudian, Mahkamah menegaskan bahwa pelanggaran tersebut didasarkan pada alasan yang sama dengan pelanggaran atas kewajiban national treatment,128 dimana Mahkamah menimbang apakah tindakan negara telah secara prima facie membedakan antara warga negara nya dengan warga negara asing, dan apakah perlakuan tersebut menimbulkan perbedaan yang lebih menguntungkan warga
124
Garner, op. cit. W. A. McKean, The Meaning of Discrimination in International and Municipal Law, BYIL 44 (1970), hlm. 177. 126 E. W. Vierdag, The Concept of Discrimination in International Law, (1973), hlm. 48,49,60; Ian Brownlie, Principles of Public International Law, 7th Edition (Oxford: Oxford University Press, 2008), hlm. 573. 127 S. D. Myers v. Canada, op. cit., para. 263. 128 Ibid., para. 266. 125
!45
negara nya dibandingkan asing.129 Selain itu, Mahkamah juga memutus bahwa adanya niat untuk mendiskriminasi merupakan faktor yang penting, tetapi tidak serta merta menentukan adanya pelanggaran.130 Mahkamah berpendapat bahwa adanya niat untuk melindungi industri domestik dalam rangka untuk memelihara kemampuan pemeliharaan bahan kimia di Kanada memang merupakan sebuah tujuan yang sah. Namun, masih terdapat cara lain yang lebih ramah investor untuk mencapai hasil tersebut daripada tindakan pelarangan ekspor.131 Oleh karena itu, Mahkamah memutuskan bahwa adanya suatu tujuan yang sah dapat membenarkan tindakan pembedaan, tetapi juga harus mempertimbangkan efeknya terhadap investor.132 Dugaan pelanggaran terhadap FET melalui tindakan diskriminasi juga terjadi dalam kasus Saluka Investment v. Czech Republic,133 sebuah sengketa investasi berdasarkan BIT antara Belanda dengan Republik Ceko. Dalam kasus tersebut, empat bank di Republik Ceko berada dalam proses privatisasi. Pemerintah Ceko memberikan bantuan finansial kepada tiga dari bank tersebut yang dimiliki oleh pemerintah setempat, tetapi tidak kepada satu bank lainnya, yang juga merupakan tempat Claimant menanamkan investasinya. Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat alasan yang wajar atas tindakan diskriminasi tersebut, dan oleh karena nya telah melanggar standar FET. 129
Ibid., para 252. Ibid., para. 254. 131 Ibid., para. 255. 132 Putusan lain yang serupa yaitu Alex Genin v. Estonia, op. cit., para. 363. 133 Saluka Investment v. Czech Republic, op. cit. 130
!46
Dalam Parkerings-Compagniet v. Lithuania,134 Mahkamah berpendapat bahwa tindakan diskriminasi melanggar standar FET apabila baik Claimant maupun investasinya berada dalam situasi yang serupa dengan pihak investor lain. Namun dalam kasus ini, tidak terdapat investor lain yang dapat dijadikan pembanding. Mahkamah kemudian memutus bahwa tidak terjadi pelanggaran, dan bahwa gugatan diskriminasi berdasarkan kewarganegaraan merupakan ranah klausa MFN dan akan dianalisis dengan menggunakan doktrin MFN.135 Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa mahkamah arbitrase secara umum mendukung non-diskriminasi sebagai salah satu elemen FET. Hal ini juga dikonfirmasi dalam tulisan beberapa sarjana yang sejak awal telah menganggap non-diskriminasi sebagai satu bagian integral dari konsep FET.136 Tetapi, bukan berarti bahwa FET mewajibkan host state untuk memperlakukan investor asing selayaknya investor domestik dalam hal apapun.137 Hal ini karena hukum internasional diterima secara luas tidak memberlakukan suatu aturan selama negara-negara belum menyepakati kewajiban yang akan diberikan kepadanya (dalam hal ini adalah kewajian untuk memperlakukan asing sebagaimana warga negara sendiri) dalam sebuah perjanjian internasional.138
134
Parkerings-Compagniet AS v. Republic of Lithuania, ICSID Case No. ARB/ 05/8, Award, 11 September 2007. 135 Ibid., para. 291 (dimana disebutkan bahwa apabila telah terdapat klausa MFN dalam BIT maka analisis FET tidak diperlukan lagi). 136 G. Schwarzenberger, The Abs Shawcross Draft Convention on Investments Abroad, Current Legal Problems 14 (1961), hlm. 221. 137 Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, (New York: Springer, 1991), hlm. 315-316. 138 Dolzer dan Stevens, op. cit., hlm. 58.
!47
Singkatnya, tindakan diskriminasi melanggar standar FET apabila diskriminasi tersebut dilakukan tanpa alasan yang sah. Isu kewarganegaraan bukan merupakan alasan yang sah untuk menjustifikasi diskriminasi. Diskriminasi dapat dibenarkan, hanya apabila dilakukan untuk tujuan yang sah dan nondiskriminatif.
iv. Pembangunan Berkelanjutan Sebagai suatu klausa umum, FET cenderung bertindak sebagai pintu gerbang untuk integrasi prinsip-prinsip eksternal lain dalam proses investasi. Kemampuan ini mengungkapkan adanya hubungan konseptual antara FET dengan pembangunan berkelanjutan, karena kedua konsep tersebut sama-sama bertujuan untuk mempertemukan dua tujuan yang saling bertolak belakang. Dalam hal pembangunan berkelanjutan, tujuan ini meliputi perlindungan terhadap lingkungan serta perlindungan terhadap pembangunan ekonomi.139 Beberapa prinsip dalam pembangunan berkelanjutan dapat digunakan dan diintegrasikan ke dalam konsep FET. Secara khusus, aspek kesetaraan dalam pembangunan berkelanjutan terkait dengan pemberantasan kemiskinan dan kesetaraan antargenerasi mewakili suatu elemen dalam wacana FET. Prinsip kesetaraan ini membawa perubahan — redistribusi kekayaan dan sumber daya agar generasi sekarang dan yang akan datang dapat mendapatkan akses ke sumber daya ini secara adil dan merata. 139
Roland Kläger, op. cit., hlm.203.
!48
Kedaulatan negara dalam menentukan kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan nya sendiri, yang juga merupakan konsep dalam pembangunan berkelanjutan, mewujudkan kesetaraan dalam investasi. Prinsip-prinsip tersebut menjadi kewajiban negara untuk mengambil tindakan pencegahan, untuk memastikan adanya transparansi, keikutsertaan publik dalam proses pengambilan keputusan, dan due process of law sebagaimana tertuang dalam konsep good governance. Seluruh aspek ini menjamin legitimasi tindakan negara dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.140 Begitu pula dengan FET yang menuntut legitimasi tindakan negara dengan cara meminta perlindungan terhadap legitimate expectations, non-diskriminasi, keadilan prosedural dan transparansi. Dengan demikian, FET juga mencakup dimensi tata kelola pemerintahan yang baik.141 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa konsep FET memerlukan keseimbangan yang komprehensif antara seluruh faktor dan kepentingan. Artinya, selain tindakan host state dan kebijakan publiknya, tindakan investor asing tertentu juga dapat menjadi faktor yang relevan.142 Gagasan ini diungkapkan lebih jelas oleh maksim ekuitas (maxims of equity) yang berasal dari hukum domestik 140
Ibid., hlm. 204. Lihat Thomas Walde, op. cit., hlm. 385; Dolzer, op. cit., hlm. 72. 142 Peter Muchlinski, dalam The Relevance of the Conduct of the Investor under the Fair and Equitable Treatment Standard, International and Comparative Law Quarterly, 55 (2006), mengidentifikasi tiga kewajiban utama investor asing: (i) untuk menahan diri dari tindakan yang tidak etis, (ii) untuk ikut serta dalam investasi dengan pengetahuan yang memadai tentang resiko, dan (iii) untuk melakukan bisnis dengan cara yang wajar. Menurut Muchlinski, tiga kewajiban ini relevan dalam setiap tahap; mempengaruhi adanya dugaan pelanggaran FET, hubungan sebab akibat antara tiap tindakan, dugaan besaran kerugian yang diderita, dan besarnya kompensasi yang harus dibayarkan. Sementara kewajiban yang pertama cenderung terlihat seperti membatasi hak investor untuk melakukan gugatan, kewajiban yang lainnya bersifat lebih ringan dan oleh karenanya dapat berujung pada pengurangan jumlah kompensasi yang diberikan. 141
!49
dalam tradisi hukum Anglo-Amerika, yang terkenal dengan dalil: ‘one who seeks equity must do equity’.143 Oleh karena itu, integrasi konsep FET dan equity menuntut adanya pertimbangan akan implikasi sosial dan lingkungan dari satu kasus yang muncul akibat tindakan investor asing dan instrumen hukum yang berlaku. Misalnya, dalam kasus Ogoniland144 yang diputus oleh African Commission on Human and Peoples’ Rights. Dalam kasus tersebut, konsorsium yang terdiri atas investor asing dan perusahaan minyak negara Nigeria mengeksploitasi cadangan minyak di wilayah Ogoniland dan mengakibatkan kerusakan terhadap masyarakat dan lingkungan dengan membuang limbah beracun di dekat desa. Pasukan keamanan Nigeria yang meneror wilayah tersebut dengan membunuh warga dan menghancurkan desa, rumah, dan lahan pertanian, semakin memperburuk dampak tumpahan minyak. Komisi menyatakan Nigeria bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak atas hidup dan hak atas lingkungan hidup yang sehat.145 Dalam hal ini, apabila diasumsikan bahwa Nigeria menghentikan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh perusahaan minyak tersebut, dan bahwa investor asing mendapat perlindungan di bawah BIT, pendekatan tersebut akan mengubah kondisi sehingga investor akan kehilangan
143
Ibid., hlm 532. The Social and Economic Rights Action Center and The Center for Economic and Social Rights v. Nigeria (Ogoniland Case), African Commission on Human and Peoples’ Rights Comunication No. 155/96 (2001), Decision of 13 October 2001. 145 Ibid., para. 69. Perusahaan minyak Shell akhirnya setuju untuk membayar kompensasi sebesar $15,5 juta kepada masyarakat Ogoni. http://www.theguardian.com/ world/2009/jun/08/nigeria-usa, diakses 5 Oktober 2015. 144
!50
haknya untuk menggugat adanya pelanggaran FET dengan alasan tindakan yang dilakukan host state untuk memenuhi kewajiban hak asasi manusia atau kewajiban hukum lingkungan internasional. Salah satu contoh lainnya adalah prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebagai salah satu aspek dalam pembangunan berkelanjutan, dalam hubungannya dengan hukum investasi internasional. Kasus Emilio Augustin Maffezini v. Spain146 menggambarkan dimana seorang investor berkebangsaan Argentina mendirikan sebuah perusahaan yang memproduksi produk-produk kimia berbahaya. Salah satu perusahaan negara Spanyol juga terlibat dengan menyumbangkan 30 persen dari modal perusahaan tersebut. Perusahaan tersebut mengalami kesulitan finansial yang berujung pada gagalnya proyek tersebut. Investor menduga bahwa syarat dan prosedur yang harus dipenuhi untuk AMDAL meningkatkan biaya produksi proyek sehingga menyebabkan runtuhnya perusahaan dan merupakan pelanggaran terhadap BIT.147 Mahkamah menolak pandangan investor dan menyatakan tidak terjadi pelanggaran BIT dengan diterapkannya AMDAL. Mahkamah merujuk pada beberapa peraturan mengenai perlindungan lingkungan dalam konstitusi Spanyol dan hukum Uni Eropa, dan malah menegaskan pentingnya AMDAL: “the environmental impact assessment procedure is basic for the adequate protection of the environment and the application of appropriate preventive measures. This is true, not only under 146 Emilio Augustín Maffezini v. Spain, ICSID Case No. ARB/97/7, Award, 13 November 2000, para. 39. 147 Ibid., para. 65.
!51
Spanish and EEC law, but also increasingly so under international law.”148
Mahkamah kemudian memutuskan bahwa tindakan Spanyol adalah tidak lebih bertujuan untuk memenuhi kewajiban hukumnya dan oleh karena itu tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam hal ini.149 Sengketa lainnya mengenai pertentangan perlindungan lingkungan dan perlindungan investasi adalah kasus Methanex Corp. v. United States.150 Kasus ini menyangkut UU di California yang melarang zat aditif bahan bakar MTBE karena alasan lingkungan. Investor asing yang merupakan produsen komponen MTBE metanol mengeluh bahwa larangan tersebut diberlakukan untuk memihak produsen etanol, karena etanol adalah bahan pengganti MTBE yang lebih ramah lingkungan. Dalam putusannya, Mahkamah menolak seluruh gugatan investor tersebut. Hal ini dianggap sebagai satu kemenangan besar bagi komunitas lingkungan, dan disorot sebagai langkah menuju arbitrase investasi internasional yang lebih seimbang.151 Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa UU California tersebut dicapai dengan melalui proses hukum, untuk kepentingan
148
Ibid., para. 67. Ibid., para. 71. 150 Methanex Corporation. v. United States of America, UNCITRAL, Final Award, 3 Agustus 2005. 151 J. C. Lawrence, Chicken Little Revisited: NAFTA Regulatory Expropriations after Methanex, 41 Georgia Law Review 261 (2006), hlm. 261; Alvarez Jimenez, The Methanex Final Award, Journal of International Arbitration 23 (2006), hlm. 427. 149
!52
umum, bersifat non-diskriminatif,152 dan didukung oleh alasan ilmiah yang wajar.153 Kesimpulannya, prinsip pembangunan berkelanjutan dapat menjadi salah satu aspek penyeimbang dalam prinsip FET. Oleh karena itu, hubungan konseptual antara FET dan pembangunan berkelanjutan dapat digunakan sebagai panduan dalam substansi maupun metode untuk menyeimbangkan kepentingan dalam kasus tertentu. Dalam hal ini, fleksibilitas FET dapat dijadikan alat yang berguna bagi arbitrator untuk mengambil pendekatan yang komprehensif dalam menentukan kepentingan investor maupun host state dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.
2. Prinsip Prosedural Prinsip-prinsip berikut ini akan memaparkan hak prosedural investor asing yang dilindungi berdasarkan FET. Prinsip prosedural mencakup kewajiban untuk memberikan keadilan dalam prosedur peradilan maupun administrasi serta transparansi dalam sistem hukum host state.
152 153
Methanex Corp. v. United States, op. cit., para. 15. Ibid., para. 101-102.
!53
i.
Transparansi
Prinsip transparansi dalam hubungannya dengan FET adalah keterbukaan dan kejelasan dalam prosedur dan rezim hukum yang berlaku di host state.154 Transparansi dianggap dapat meningkatkan prediktabilitas dan stabilitas hubungan investasi dan oleh karena nya memberikan dorongan untuk dilakukannya investasi.155 Secara umum, suatu sistem hukum dianggap transparan apabila (i) peraturan hukumnya ditulis dengan jelas, tidak ambigu, dan mudah diakses; (ii) informasi terkait disediakan untuk diakses secara bebas sehingga dapat memperkirakan aktifitas dan kebijakan pemerintah; dan (iii) disertai prosedur yang jelas, dengan cara yang sesuai dengan aturan dan kebijakan yang dapat ditinjau.156 Sejumlah perjanjian investasi internasional telah secara tegas menyatakan kewajiban atas transparansi hukum, biasanya mewajibkan host state untuk menerbitkan undang-undang, peraturan, prosedur dan praktik administrasi dalam cara apapun yang terkait dengan kepentingan investor asing.157 Ketentuan
154
Dalam konteks lain, konsep transparansi dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara suatu institusi internasional dengan negara anggotanya atau proses partisipasi dalam komunitas di dalam institusi internasional tersebut. Dalam konteks hukum investasi internasional, transparansi juga dapat mencakup penjabaran kewajiban perusahaan yang mewajibkan investor asing untuk memberikan informasi mengenai perusahaan kepada host state. Lihat: UNCTAD, Transparancy, UNCTAD/ITE/ IIT/2003/4 (2004), hlm. 18. 155 Ibid., hlm. 7; C. S. Zoellner, Transparency: An Analysis of an Evolving Fundamental Principle in International Economic Law, Mich. J. Intl L. 27 (2006), hlm. 579. 156 Zoellner, op. cit., hlm. 583-585. 157 A. Kotera, Regulatory Transparency, sebagaimana dikutip dalam P. Muchlinski et. al. (eds.), The Oxford Handbook of International Investment Law, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hlm. 625-628.
!54
transparansi ini mencakup kewajiban pemerintah untuk menyediakan serangkaian informasi mengenai pemerintahan, beserta prosedur cara penukaran informasi yang dapat dilakukan.158 Dalam Pasal X GATT, WTO dalam US-Shrimps case telah menghubungkan prinsip transparansi dengan prinsip due process of law serta syarat prosedur yang adil.159 Kegagalan untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan mengenai regulasi dagang tertentu dan ketidakterbukaan dalam prosedur dapat dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi yang sewenangwenang dan bertentangan dengan Pasal XX GATT.160 Transparansi dalam kerangka hukum nasional beserta prosedurnya dianggap penting dalam proses pertimbangan keputusan. Putusan arbitrase pertama dengan isu FET dan transparansi adalah putusan dalam kasus Metalclad v. Mexico.161 Mahkamah memasukkan kewajiban transparansi dari Pasal 1105 NAFTA, dan kemudian meninjau dalam kaitannya dengan FET: “Prominent in the statement of principles and rules that introduces the agreement is the reference to ‘transparency’ (NAFTA Article 102(1)). The tribunal understands this to include the idea that all relevant legal requirements for the purpose of initiating, completing and successfullyoperating investments made, or intended to be made, under the agreement should be capable of being readily known to all affected investors of 158
UNCTAD, op. cit., hlm. 22. United States Import Prohibition of Certain Shrimp and Shrimp Products, WTO Dispute Settlement Body WT/DS58/AB/R (Report of the Appellate Body, 12 Oktober 1998), para. 182-183. 160 Ibid., para. 184. 161 Metalclad Corp. v. Mexico, op. cit. 159
!55
another party. There should be no room for doubt or uncertainty on such matters. Once the authorities of the central government of any party … become aware of any scope for misunderstanding or confusion in this connection, it is their duty to ensure that the correct position is promptly determined and clearly stated so that investors can proceed with all appropriate expedition in the confident belief that they are acting in accordance with all relevant laws.”162 Mahkamah memutus bahwa dengan menolak menerbitkan izin bagi pembangunan TPA milik investor, host state telah gagal dalam menjamin kerangka hukum yang transparan dan dapat diprediksi sebagaimana telah diekspektasikan oleh investor.163 Dengan demikian, putusan Metalclad tersebut menunjukkan adanya hubungan erat antara prinsip transparansi dengan ekspektasi investor berdasarkan FET. Dalam kasus Siemens AG v. Argentina, Mahkamah memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip FET dengan alasan karena kurangnya transparansi oleh host state. Kasus tersebut berkenaan dengan kontrak penyediaan jasa untuk pengembangan dan pemeliharaan sistem identifikasi pribadi berbasis komputer (computer-based personal identification system), termasuk pengembangan kartu identitas nasional.164 Setelah adanya perubahan personil pemerintahan dan masalah teknis, kontrak tersebut ditinjau kembali dan akhirnya dibatalkan seluruhnya oleh pemerintah Argentina dengan alasan darurat hukum, yang memungkinkan pemerintah Argentina untuk melakukan renegosiasi kontrak 162
Metalclad Corp. v. Mexico, op. cit., para. 76. Ibid., para. 85, 89, 99. 164 Siemens AG v. Argentina, op. cit., para. 81, 97. 163
!56
semasa krisis finansial Argentina. Dalam proses pengadilan, Mahkamah menyetujui pembelaan investor yang mengklaim bahwa penutupan akses berkas administrasi untuk keperluan pengajuan banding yang dilakukan oleh pemerintah Argentina telah menunjukkan kurangnya transparansi dan telah melanggar kewajiban FET.165 Penjelasan lebih lanjut mengenai transparansi diberikan oleh Mahkamah dalam kasus Champion Trading Co. and others v. Egypt, yaitu kasus mengenai peraturan yang memberikan subsidi terhadap privatisasi industri kapas di Mesir.166 Perusahaan investor tidak mendapat subsidi yang dijanjikan tersebut, dan kemudian menuduh bahwa cara dan prosedur pemerintah memilih perusahaan untuk disubsidi di bawah standar internasional dan oleh karena itu telah melanggar prinsip transparansi dalam hukum internasional.167 Dalam pertimbangannya, Mahkamah tidak menyinggung isu apakah hukum internasional benar-benar mewajibkan host state untuk bertindak secara transparan; dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa Mahkamah menerima argumen investor
165
Ibid., para. 114, 308. Champion Trading Co. and Ameritrade International Inc. v. Egypt, ICSID Case No. ARB/02/9, Award, 27 Oktober 2006, para. 40. 167 Ibid., para. 104, 108. Prinsip Transparansi yang digunakan Claimant mengacu kepada transparansi dalam kasus-kasus WTO dan kasus Tecmed. Claimant awalnya menggugat pelanggaran FET, namun kemudian mengubah gugatannya menjadi pelanggaran atas prinsip transparansi menurut Pasal II(4) US-Egypt BIT, yang menyatakan bahwa: “The treatment, protection and security of investments shall never be less than that required by international law and national legislation.
The BIT also contains specific transparency requirements, which, however, were not expressly mentioned by the tribunal. That provision in Article II(8) of the BIT reads:
Each party and its subdivisions shall make public all laws, regulations, administrative practices and procedures, and adjudicatory decisions that pertain to [or] affect investments in its territory of nationals or companies of the other party.” 166
!57
bahwa kewajiban transparansi tersebut memang berlaku. Meskipun demikian, Mahkamah menolak adanya pelanggaran kewajiban transparansi oleh host state akibat kurangnya alat bukti. Selanjutnya Mahkamah menyebutkan: It was … the obligation of the claimants to prove that the settlements were not made in a transparent manner. The tribunal notes that the laws and decrees regarding the organisation of the cotton trading structures ... were public, available, or have been published or produced by the respondent upon the request of the claimants. The claimants were in a position to know beforehand all rules and regulations that would govern their investments for the respective season to come. The claimants have not produced any evidence or even pertinent arguments that Egypt violated the principle of transparency under international law and this claim therefore also has to be denied.168
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa isu transparansi kerap kali menjadi dasar gugatan dalam sengketa investasi. Meskipun cenderung kontroversial, prinsip ini semakin banyak diakui oleh mahkamah arbitrase sebagai salah satu prinsip dalam FET.169 Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman yang berujung pada gugatan, diperlukan adanya komunikasi yang jelas antara host state dengan pihak investor; selain itu, pemberian akses atas berkas ataupun informasi tertentu dapat menjadi salah satu cara untuk menunjukkan prosedur yang adil dan terbuka. Di lain pihak, kompleksitas dalam rezim hukum negara tertentu tidak berarti negara bertindak tidak adil secara sengaja, terutama apabila undang-undang negara tersebut dapat diakses secara bebas oleh investor.
168 169
Champion Trading Co. and others v. Egypt, op. cit., para. 164. Kotera, op. cit., hlm. 634.
!58
ii. Due Process of Law Untuk memenuhi standar perlindungan FET terhadap investor, prinsip prosedural lainnya adalah due process of law untuk mencegah ketidakadilan terhadap investor.170 Sebagai contoh, dalam kasus Middle East Cement v. Egypt 171 yang muncul berdasarkan BIT antara Yunani-Mesir,172 host state mengambilalih dan melelang mesin milik Claimant tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Claimant. Mahkamah berpendapat bahwa pengambilalihan aset Claimant ini tidak sesuai dengan due process of law dan telah melanggar standar FET.173 Salah satu konsep yang penting dalam due process of law adalah pengingkaran keadilan atau yang biasa disebut dengan denial of justice.174 Secara sederhana, denial of justice merupakan munculnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional apabila negara tidak memenuhi standar tertentu dalam menyelenggarakan peradilan terhadap investor asing.175 Denial of justice dianggap penting bahkan konsep sentral dalam standar minimum internasional. Konsep denial of justice semakin luas dan berkembang, baik dalam forum arbitrase maupun sumbernya. Salah satunya, konsep ini muncul dalam Pasal 11
170
Lihat Waste Management Inc. v. Mexico, op. cit., para. 98.; Jan de Nul NV v. Egypt, ICSID Case No. ARB/04/13, Award, 6 November 2008, para. 187; AMTO LLC v. Ukraine, SCC Case NO. 080/2005, Award, 26 Maret 2008, para. 75. 171 Middle East Cement Shipping & Handling Co. S.A. v. Arab Republic of Egypt, ICSID Case No. ARB/99/6, Award, 12 April 2002. 172 Agreement for the Promotion and Reciprocal Protection of Investments, Greece-Egypt, 16 July 1993, 1895 UNTS 173. 173 Middle East Cement Shipping, op. cit., para. 143. 174 Samosir, Zefanya B.P., Konsep Denial of Justice dalam Arbitrase Internasional, (Bandung: CV Keni Media, 2015), hlm. 3. 175 Ibid.
!59
Ayat 2 (a) ASEAN Comprehensive Investment Agreement yang menyebutkan “fair and equitable treatment requires each Member State not to deny justice in any legal or administrative proceedings in accordance with the principle of due process.”176 Sejumlah mahkamah arbitrase mengakui bahwa adanya denial of justice merupakan pelanggaran terhadap standar FET. Namun, sampai saat ini belum ada Claimant yang berhasil memenangkan gugatan berdasarkan denial of justice yang muncul dari BIT. Sebagai contoh, dalam kasus Azinian v. Mexico177 yang muncul berdasarkan NAFTA, pemerintah kota Naucalpan de Juarez memutuskan kontrak dengan perusahaan milik Claimant karena dugaan adanya wanprestasi dan kesalahan interpretasi kapasitas perusahaan. Ketika kasus tersebut dibawa ke pengadilan Meksiko, pengadilan membenarkan terminasi kontrak dan tidak menemukan adanya denial of justice. Kalahnya Claimant dalam gugatan tersebut lebih karena kesalahan dalam pembelaan, dan Mahkamah memberikan pertimbangan terhadap isu apakah Claimant dapat menggugat atas dasar denial of justice oleh pengadilan Meksiko. Mahkamah lebih lanjut menjelaskan: [a] denial of justice dapat terjadi apabila pengadilan terkait menolak untuk menerima gugatan, menunda nya sampai jangka waktu yang tak terbatas, atau apabila pengadilan memutus dengan cara yang tidak pantas. … Terdapat tipe keempat dalam denial of justice, yaitu penerapan hukum secara curang dan buruk.178
176
ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA), 26 Februari 2009, Pasal 11 Ayat 2 (a). 177 Azinian v. United Mexican States, ICSID Case No. ARB/97/2, Award, 1 November 1999. 178 Ibid., para. 102-103.
!60
Dalam menerapkan standar ini, Mahkamah tidak untuk bertindak sebagai pengadilan tingkat banding terhadap pengadilan Meksiko. Sebaliknya, Mahkamah berpendapat bahwa “…adanya kemungkinan negara bertanggungjawab secara internasional atas putusan pengadilannya tidak serta merta memberikan hak kepada Claimant untuk meminta peninjauan atas putusan pengadilan nasional suatu negara sekalipun pengadilan internasional memiliki kewenangan untuk itu. Hal ini tidak benar secara umum, dan juga tidak benar dalam NAFTA.”179 Mahkamah kemudian menimbang apakah putusan pengadilan Meksiko merupakan ‘penerapan hukum secara curang’. Mahkamah berpendapat bahwa kesalahan dalam penafsiran kapasitas perusahaan merupakan alasan yang cukup bagi pemerintah kota untuk membatalkan kontrak berdasarkan hukum Meksiko, dan oleh karena nya, tidak terdapat penerapan hukum yang salah.180 Mahkamah memutuskan bahwa tidak terjadi denial of justice terhadap investor dalam hal ini. Dalam kasus Mondev v. United States181 yang juga muncul berdasarkan NAFTA, Otoritas Pembangunan Boston (Boston Redevelopment Authority) membatalkan kontrak terkait proyek pembangunan kota dengan perusahaan Claimant. Ketika perusahaan menggugat otoritas tersebut di pengadilan Massachussetts, pengadilan menolak gugatan dan putusan tersebut dibawa ke Mahkamah Agung Massachusetts, yang juga menolak gugatan Claimant. Dalam 179
Ibid., para. 99. Ibid., para 103. 181 Mondev International Ltd. v. United States, ICSID Case No. ARB/99/02, Award, 11 October 2002. 180
!61
mempertimbangkan apakah terdapat denial of justice dalam putusan pengadilan Massachusetts, Mahkamah arbitrase menerapkan empat tipe pelanggaran yang dapat dianggap sebagai denial of justice sebagaimana dikutip dalam kasus Azinian di atas.182 Mahkamah mempertimbangkan bahwa putusan Mahkamah Internasional dalam kasus ELSI mendefinisikan ‘arbitrariness’ sebagai “a wilful disregard of due process of law…which shocks a sense of judicial propriety” dan menggunakan definisi tersebut sebagai standar untuk menguji denial of justice.183 Mahkamah lebih lanjut mengamati bahwa standar pengujian adalah apakah, pada tingkat internasional dan dengan mengacu pada norma-norma keadilan yang diterima secara umum, sebuah pengadilan dapat memutus, berdasarkan seluruh fakta yang ada, bahwa putusan yang disengketakan adalah tidak adil dan tercela, dengan hasil bahwa investasi tersebut telah diperlakukan secara tidak adil dan sejajar.184 Mahkamah kemudian mengakui bahwa standar yang diberlakukan tersebut bersifat ‘agak luas’, tetapi mengingat bahwa tidak ada rumusan lain yang lebih tepat untuk diberlakukan untuk mencakup segala bentuk kemungkinan.185 Claimant memiliki empat hal yang menjadi dasar gugatan terhadap adanya denial of justice oleh pengadilan Massachusetts. Tiga diantaranya adalah mengenai dugaan bahwa pengadilan telah memberlakukan hukum yang baru atau telah
182 183
para. 128. 184 185
Ibid., para. 126. Elettronica Sicula S.p.A. (ELSI) (United States v. Italia), ICJ, 20 July 1989, Mondev v. US, op. cit., para. 127. Ibid.
!62
menerapkan hukum dengan tidak tepat. Mahkamah berpendapat bahwa memberlakukan hukum baru merupakan kewenangan hakim berdasarkan sistem common law, dan bahwa isu-isu prosedural merupakan diskresi pengadilan setempat. Dasar tuntutan ke empat adalah bahwa pengadilan Massachusetts memberikan imunitas terhadap otoritas tertentu dari adanya gugatan yang berasal dari hubungan kontraktual. Hal ini, dalam arti luas, merupakan hak setiap negara bagian, sehingga Mahkamah kemudian memutuskan tidak ada denial of justice dari putusan tersebut. Dalam Bayinder v. Pakistan,186 sebuah kasus yang muncul berdasarkan Turkey-Pakistan BIT, Claimant menggugat bahwa pengadilan Pakistan telah melanggar due process melalui suatu surat yang ditulis oleh salah seorang pejabat pemerintah kepada pejabat lainnya yang berisi prediksi bahwa pemerintah akan memenangkan gugatan pemutusan kontrak yang dibawa ke pengadilan setempat. Mahkamah menolak argumentasi ini. Claimant juga menduga bahwa sistem peradilan di Pakistan terkenal buruk, namun Mahkamah tidak menemukan ada bukti yang cukup untuk mendukung dugaan ini.187 Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa dalam hukum investasi internasional, FET mencakup serangkaian besar prinsip-prinsip perlindungan yang berlaku bagi investor. Namun dalam praktik arbitrase penyelesaian sengketa investasi, penerapan prinsip-prinsip tersebut kerap kali menghasilkan putusan 186 Bayindir Insaat Turizm Ticaret Ve Sanayi A.S. v. Islamic Republic of Pakistan, ICSID Case No. ARB/03/29, Decision on Jurisdiction, 14 November 2005. 187 Ibid., para. 252.
!63
yang berbeda-beda. Hal ini didukung oleh pendapat Mahkamah arbitrase yang berulang-ulang menekankan bahwa putusan atas gugatan FET akan selalu tergantung pada kondisi dari masing-masing kasus.188
188
CME Czech Republic B.V. v. Czech Republic, UNCITRAL, Partial Award 13 September 2001, para. 336; Mondev v. United States, op. cit., para 118; Petrobart v. Kyrgyz Republic, Stockholm Chamber Case No. 126/2003 (Energy Charter) Final Award, 29 Maret 2005, para. 26; Noble Ventures v. Romania, op. cit., para 181; MTD v. Chile, op. cit., para 109; ADC v. Hungary, op. cit., para 44; Waste Management v. Mexico, op. cit., para. 99 dalam GAMI Investments v. Mexico, para. 96.
!64