BAB II ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MENURUT PRINSIP SYARIAH
A. Pengertian Bank Syariah 1. Pengertian bank syariah Pengertian bank menurut undang-undang perbankan Indonesia adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya pada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningktkan taraf hidup rakyat banyak. Sehingga secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari msyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary). Sedangkan makna
harfiah syariah (bahasa Arab: Syari’ah) adalah “jalan
menuju sumber kehidupan” dan dalam pengertian teknis kata ini digunakan untuk menyebut sistem hukum yang sesuai aturan perilaku yang dikehendaki oleh Al-Quran dan Hadits (Hadits Shahih).34 Dengan demikian pengertian syariah adalah ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qurán dan Al-Hadits.35 Istilah “bank syariah” itu sendiri sebenarnya adalah khas Indonesia yang tidak dijumpai di negara lain. Di tempat lain, lembaga itu disebut “bank Islam”
34
Mervyn K. Lewis, Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dari buku Islamic Banking, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semseta, 2005, hal. 30. 35 Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: PT. Intermasa, 2003, hal. 316.
Universitas Sumatera Utara
(Islamic Bank).36 Di Indonesia istilah atau penyebutan yang dipakai ialah “bank Islam” atau “bank syariah” dan “perbankan Islam”. Namun dari sekian istilah yang ada tersebut masyarakat Indonesia lebih dekat dengan nama “bank syariah”. Hal tersebut juga dapat dilihat pada pencantuman kata “syariah” dibelakang nama-nama bank di Indonesia yang melakukan berdasarkan prinsip syariah.37 Pemakaian kata “syariah” di belakang nama bank, menunjukkan bahwa dalam operasional bank tersebut memakai prinsip-prinsip syariah yang berdasarkan hukum Islam. Bank syariah dalam undang-undang perbankan Indonesia termasuk dalam kelompok bank umum, yang diberikan pengertian sebagai “bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah”. Prinsip syariah di sini diberikan pengertian sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah.38 Setelah piagam Jakarta, istilah syariat masuk pertama kali ke dalam khasanah hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, di mana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 :
36 Adiwarman A. Karim, Bank-Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004, hal. XXII 37 Dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, diatur bahwa bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata ”syariah” sesudah kata ”bank” pada penulisan namanya. 38 Istilah ini digunakan dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Universitas Sumatera Utara
“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).” Dalam Pasal ini diterangkan dengan jelas bahwa yang dimaksud prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam. Jadi istilah syariah di sini disamakan dengan hukum Islam.39 Dari beberapa pendapat istilah yang dipergunakan antara “bank Islam” atau “bank syariah”, dalam penulisan ini penulis menggunakan istilah “bank syariah” dan “perbankan syariah”, hal tersebut didasari oleh rumusan Peraturan Bank Indonesia yang menggunakan istilah “bank syariah” dalam praktik di perbankan yang menggunakan kata “syariah” di belakang nama sebuah bank, hal ini menunjukkan bahwa bank tersebut menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. 2. Prinsip-prinsip Bank Syariah Perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga atau riba. Pelarangan inilah yang membedakan sistem perbankan Islam dengan sistem perbankan konvesional. Pelarangan riba diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 278-279:
39
Rifyal Ka’bah, The Jakarta Charter and The Dynamic of Islamic Shariah in the History of Indonesian Law, Jakarta: PT. Kurnia Sejati, 2006, hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan lepaskan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu modalmu. Kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari modal dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal dasar yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba.40 Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.41 Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.42 Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaks jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.43
40 Yusuf al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dari buku Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram ,Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, hal. 58. 41 Abdullah Saeed, Islamic Banking Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation, Laiden: Ej Brill, 1996, diambil dari buku Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hal. 37. 42 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta: Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999 43 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap:44 1) Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. (ar-Ruum: 39). 2. Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT. mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang keji antara mereka itu siksa yang pedih.” (an-Nisa’: 160-161).
44
Ibid., hal. 48-50.
Universitas Sumatera Utara
3) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan
bertaqwalah
kamu
kepada
Allah
supaya
kamu
mendapat
keberuntungan.” (Ali Imran: 130). Ayat ini diturunkan pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dan terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dan surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah. 4) Tahap terakhir, Allah SWT. dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (al-Baqarah: 278-279).
Universitas Sumatera Utara
Prinsip larangan riba ini tidak hanya terdapat pada ajaran Islam, namun juga dapat dilihat pada agama lain. Perjanjian Baru memiliki tiga rujukan mengenai riba, dan Perjanjian Lama empat rujukan. Tiga rujukan tentang riba dalam Perjanjian Baru (Matius 25: 14-30, Lukman 19: 12-27, dan Matius 25: 27). Empat rujukan riba dari kitab Perjanjian Lama (Eksodus 22: 25, Levitikus 25: 35-7, Ulangan 23: 19-20, dan Mazmur 15: 1,5). Di India kuno, hukum yang berdasarkan Weda, kitab suci tertua agama Hindu, mengutuk riba sebagai sebuah dosa besar dan melarang operasi bunga. Dalam agama Yahudi, kitab Taurat (bahasa Yahudi untuk Hukum Musa atau Pantateuch, lima kitab Perjanjian Lama) melarang riba dikalangan bangsa Yahudi.45 Sebagai pengganti sistem bunga, maka bank syariah menerapkan berbagai cara yang bersih dan bebas dari unsur riba yaitu melalui prinsip-prinsip : 1. Wadiah ( titipan uang, barang dan surat berharga atau deposito). Wadiah ini biasa diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente/bunga), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu depositor memerlukannnya. 2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing). Dengan mudharabah ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian. 3. Musyarakah/Syirkah (persekutuan). Di bawah kerjasama musrakah/syirkah ini pihak bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (modal) pada usaha patungan (joint venture). Karena itu kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian profit and loss sharing. 4. Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atau dasar harga pembeliannnya pertama secara jujur). 45
Mervyn K. Lewis, Latifa M. Algoud, Perbankan Syariah, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dari buku Islamic Banking, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005, hal. 264-269.
Universitas Sumatera Utara
5. Qiradh hasan ( pinjaman yang baik atau benevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjamannya tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam. 6. Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan maka menejemennya dilakukan oleh bank bersama patner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.46 Dari prinsip-prinsip diatas yang menjadi focus penelitian adalah Pembiayaan murabahah, musyarakah dan mudharabah. Sehubungan dengan prinsip syariah pada bank syariah seperti diuraikan diatas, maka terlihat suatu kemajuan yang sangat berarti dari segi peraturan perundang-undangan di sektor perbankan yang berprinsip syariah. UU nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam ketentuan umum pasal 1 angka 12 disebutkan: Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.47 3. Konsep Usaha Bank Syariah Secara garis besar perbankan syariah dalam melakukan operasionalnya berupa usaha-usaha: Penghimpun dana masyarakat, penyalur dana masyarakat dan pemberian jasa.
46
Zulkarnain, Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah di Daerah Kabupaten Deli Serdang (Studi kasus BPR Syariah Kafalatul Ummah Sunggal dan BPR Syariah Al-Wasliyah Tanjung Morawa), Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2000, hal 29 47 Pasal 1 angka 12 UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah tentang kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah menyebutkan bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi: 1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi: a) Giro berdasarkan prinsip wadi’ah: b) Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah: c) Deposito berjangka dalam prinsip mudharabah; d) Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah. 2) Melakukan penyaluran dana melalui: a) Transaksi jual beli berdasarkan prinsip: (1) Murabahah; (2) Istishna; (3) Ijarah; (4) Salam; (5) Jual beli lainnya. b) Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip: (1) Mudharabah; (2) Musyarakah; (3) Bagi hasil lainnya. c) Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip: (1) Hiwalah;
Universitas Sumatera Utara
(2) Rahn; (3) Qard. 3) Membeli, menjual dan atau menjamin risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah. 4) Membeli surat-surat berharga pemerintah dan atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah. 5) Memindah uang untuk kepentingan sendiri dan atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah 6) Menerima pembayaran tagihan atas dasar surat yang berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah. 7) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah. 8) Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahanya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah. 9) Melakukan penempatan dana dan nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di beberapa bursa efek berdasarkan prinsip ujr. 10) Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, musyarakah, mudharabah, dan wadi’ah, serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah. 11) Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan prinsip ujr.
Universitas Sumatera Utara
12) Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah. 13) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui Dewan Syariah Nasional. B. Perjanjian Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan 1. Pengertian Perjanjian Pasal-pasal yang mengatur perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ((KUH Perdata) terdapat dalam Buku Ketiga tentang perikatan pada Bab Kedua Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah: ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari hal ini, timbullah hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.48 Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata ini merupakan salah satu perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan:
48
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kesepuluh, Jakarta : Intermasa, 1985, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena UndangUndang”. Kata persetujuan dalam Pasal ini adalah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua belah pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.49 2. Asas-asas perjanjian a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak atau yang biasa disebut sistem terbuka dalam hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melaksanakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban dan kesusilaan. Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan, membuat perjanjian, dalam KUH Perdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 (1), yang berbunyi ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjiian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang. Atau dengan perkataan lain dalam soal perjanjian, kita 49
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diperbolehkan membuat Undang-Undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.50 Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia adalah sebagai berikut:51 1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian; 2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; 3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausa dan perjanjian yang akan dibuat; 4) Kebebasan untuk menentukan objek dan perjanjian; 5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; 6) Kebebasan untuk menerima dan menyimpangi ketentuan Undnag-Undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). b. Asas konsensualitas Dalam hukum perjanjian berlaku
suatu asas, yang dinamakan asas
konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualitas bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak telah setuju atau bersepakat mengenai suatu hal. Arti
50
Ibid., hal. 14. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia, (akarta : Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 47. 51
Universitas Sumatera Utara
asas konsensualitas ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.52 Asas konsensualitas ini didasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal ini menetapkan harus ada kesepakatan (konsensus) antara para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Pasal ini menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. c. Syarat sahnya perjanjian Dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa syarat-syarat sah perjanjian adalah: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang halal. a) Kesepakatan Dengan sepakat atau juga yang dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dan perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, masing-masing pihak menghendaki sesuatu yang sarana timbal balik. 52
Subekti, Op.Cit., hal. 15
Universitas Sumatera Utara
b) Kecakapan Pada dasarnya dalam Undang-Undang beranggapan bahwa setiap orang cakap untuk berbuat dalam hukum atau dalam hal ini membuat perjanjian apabila ia telah dewasa (Pasal 330 KUH Perdata), kecuali sampai dinyatakan oleh Undang-Undang tidak cakap. Persoalan cakap atau tidaknya seseorang berbuat hukum diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu: 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang dibawah pengampuan; 3) Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian. c) Suatu hal tertentu Suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang ditentukan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.53 d. Suatu sebab yang halal Syarat keempat suatu perjanjian yang sah adanya sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa latin causa) dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian.54 Terpenuhinya syarat sahnya perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut telah
53 54
Subekti, hal. 19. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat kedua belah pihak. Sejak tercapainya kesepakatan kedua belah pihak untuk saling mengikatkan diri maka sejak itulah lahir apa yang dinamakan perikatan dan dengan sendirinya kemudian timbul apa yang dinamakan hak dan kewajiban masing-masing pihak. 3. Berakhirnya perjanjian menurut KUHPerdata Berakhirnya perjanjian menurut Pasal 1381 KUH Perdata adalah: 1) Karena pembayaran; 2) Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3) Karena pembaharuan utang; 4) Karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5) Karena percampuran utang; 6) Karena pembebasan utang; 7) Karena musnahnya barang yang terutang; 8) Karena kebatalan atau pembatalan; 9) Karena berlakunya suatu syarat batal; dan 10) Lewatnya waktu. Dengan demikian, bila salah satu syarat yang dimaksud terjadi maka dengan sendirinya perjanjian akan menjadi batal, karena telah terpenuhinya unsur-unsur hapusnya atau berakhirnya sebuah perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
C. Perjanjian Menurut Hukum Islam 1. Defenisi perjanjian Setidaknya ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qu’ran yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-’aqdu55 (akad) dan al-’ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.56 Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-’aqdu ini dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis dalam KUH Perdata. Sedangkan istilah al-’ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.57 Dari uraian tersebut di atas, mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang mengikatkan diri pada perbuatan yang akan dilakukan sebagaimana diperjanjikan. Fiqih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah
55 Kata al-‘aqdu terdapat dalam Al-Qurán surat Al-Maidah 5 : 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. 56 Ghufran A. Masadi, Fiqih Muamalah Konstektual, cet, I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 75., diambil dari buku Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 45. 57 Fathurrahman Djalil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Daruz Badrulzaman et. al., cet. I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 247-248., diambil dari buku Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad.58 Dari segi sifat dan hukumnya aqad dapat dibagi menjadi dua yaitu aqad yang sah (shahih) dan aqad yang tidak sah (tidak shahih), aqad shahih adalah aqad yang memenuhi rukun dan syaratnya, hukum dari aqad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan dari aqad itu dan mengikat bagi pihak-pihak beraqad, aqad tidak shahih adalah aqad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang beraqad. 59
2. Asas-asas perjanjian Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir 58
Adiwarman A. Karim, Bank Islam – Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 65. 59 M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank system Syariah, Universitas Sumatera Utara, Medan 2005, hal 3.
Universitas Sumatera Utara
atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya.60 Dalam kaitannya dengan Hukum Perikatan Islam, ada tujuh asas yang mendasarinya, yaitu:61 a) Asas Ilahiyah Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Hadid (57): 4, bahwa ”Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.” Kegiatan muamalat termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah lepas nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibatnya manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya, karena perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. b) Asas Kebebasan (Al-Hurriyah) Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para pihak yang
60
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hal. 70. 61 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun, kebebasan ini tidaklah absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan.62 c) Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah) Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sering kali terjadi, bahwa seseorang memiliki kelebihan dan yang lainnya. Seperti yang tercantum dalam QS. An-Nahl (16): 71, bahwa ”Dan Allah melebihkan sebagian kamu dan sebagian yang lain dalam hal rezeki.” Hal ini menunjukkan, bahwa di antara sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dan kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kewajiban masingmasing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini. Tidak boleh ada suatu kezaliman yang dilakukan dalam perikatan tersebut. Dalam QS. Al-Hujurat (49) : 13, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan supaya kamu saling kenal mengenal”.
62
Dasar hukumnya antara lain terdapat dalam QS. Al-Maidah (5): 1 ”Hai orang-orang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu. Dan QS. Al-Hijr (15): 29 ”maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud”.
Universitas Sumatera Utara
d) Asas Keadilan (Al-’Adalah) Dalam QS. Al-Hadid (57) : 25 disebutkan, bahwa Allah berfirman ”Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Adil adalah merupakan salah satu sifat Allah SWT. yang sering kali disebutkan dalam Al-Qur’an. Bersikap adil sering kali Allah SWT. tekankan kepada manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih dekat kepada taqwa. Dalam QS. Al-A’raaf (7) : 29, disebutkan bahwa ”Katakanlah: ”Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”.” e) Asas Kerelaan (Al-Ridho) Dalam QS. An-Nisa (4) : 29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang bathil (al-akl bil bathil). Berikut isi dari QS. An-Nisa (4) : 29, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” Ayat di atas menunjukkan, bahwa dalam melakukan suatu perdagangan hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidaklah dibenarkan bahwa suatu perbuatan muamalat, perdagangan misalnya, dilakukan dengan pemaksaan ataupun penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur sukarela ini menunjukkan keikhlasan dan i’tikad baik dari para pihak.
Universitas Sumatera Utara
f) Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq) Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidak jujuran dalam perikatan, akan menimbulkan perselisihan di antara para pihak. Dalam QS. Al-Ahzab (33) : 70, disebutkan bahwa ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar”. Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan mudharat adalah dilarang. g) Asas Tertulis (Al-Kitabah) Dalam QS. Al-Baqarah (2) : 282-283, disebutkan bahwa Allah SWT. menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain itu dianjurkan pula bahwa apabila perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya tulisan, saksi dan atau benda jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya perikatan tersebut. 3. Syarat sahnya perjanjian Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Secara definisi, rukun adalah ”suatu unsur yang merupakan bagian tak
Universitas Sumatera Utara
terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu”. Definisi syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.63 Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-’aqiadin, mahallul ’aqd, dan sighad al-’aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Mustafa Al-Zaqra menambah maudhu’ul ’aqd (tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat ’aqd (unsur-unsur penegak akad). Sedangkan menurut T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan kompenen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad. Keempat komponen itu adalah: 64 a) Subyek Perikatan (Al-’Aqidain) Al-’aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dan sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan dari manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan hukum Islam (1) Manusia
63 64
Gemala Dewi, Op.Cit., hal. 30. Ibid., hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata ”Mukallaf” berasal dari bahasa Arab yang berarti ”yang dibebani hukum”, yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah SWT. baik yang berkaitan dengan perintah maupun larangan-laranganNya. Oleh karena itu, selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad, kondisi psikologis seseorang perlu juga diperhatikan untuk mencapai sahnya suatu akad. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah baligh. Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan. Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang, seperti yang tercantum dalam Hadits dari Ibnu Umar yaitu 15 tahun. Dalam Hadits tersebut diceritakan, bahwa Ibnu Umar tidak diizinkan Nabi Muhammad SAW. untuk ikut berperang (Perang Uhud) ketika usianya 14 tahun. Ketika usianya mencapai 15 tahun, ia diizinkan untuk ikut berperang (Perang Khandaq). Terhadap orang yang sudah baligh sudah dapat dibebani hukum taklifatau sudah dapat bertindak hukum karena, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, ia sudah berakal dan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’ al-kamilah), berakal sehat. Seseorang yang melakukan perikatan harus
Universitas Sumatera Utara
memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia akan memahami segala perbuatan hukum yang dilakukan dan akibat hukum terhadap dirinya maupun orang lain. (2) Badan Hukum Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS. An-Nisa (4) : 12, QS. Shaad (38): 24, dan Hadits Qudsi. Pada QS. An-Nisa (4) : 12 disebutkan, ”Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” Pada QS. Shaad (38): 24, bahwa ”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman”. Pada Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim dan Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda : ”Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya”. Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingankepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan
Universitas Sumatera Utara
pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum. b) Objek Perikatan (Mahallul ’Aqd) Mahallul ’aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda yang berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda yang tidak berwujud, seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ’aqd adalah sebagai berikut: (1) Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan; (2) Objek perikatan dibenarkan oleh Syariah; (3) Objek akad harus jelas dan dikenali; (4) Objek dapat diserahterimakan c) Tujuan Perikatan (Maudhu’ul ’Aqd) Maudhu’ul ’aqd adalah tujuan dari hukum suatu akad yang disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. dalam Hadits. Menurut ulama fiqih, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah. d) Ijab dan Kabul (Sighat Al-’Aqd) Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. 4. Berakhirnya perjanjian Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:65 a) Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan. b) Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau majelis. c) Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual-beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya pada hari kiamat kelak. d) Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak terpenuhi pihakpihak yang bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli 65
Ibid., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akan berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak membayar, akad menjadi rusak (batal). e) Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang. f) Karena tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang. g) Karena kematian. Mengenai kematian ini, terdapat perbedaan pendapat diantara para fukaha mengenai
masalah
apakah
kematian
pihak-pihak
yang
melakukan
akad
mengakibatkan berakhirnya akad. Jadi apakah kematian salah satu pihak yang mengadakan akad mengakibatkan berakhirnya akad atau tidak, pada umumnya dapat disimpulkan, bahwa apabila akad menyangkut hak-hak perseorangan, kematian salah satu pihak mengakibatkan berakhirnya akad. Apabila akad menyangkut hak-hak kebendaan, terdapat berbagai macam ketentuan, tergantung kepada bentuk dan sifat akad diadakan. D. Aspek Hukum Perjanjian Pembiayaan Menurut Prinsip Syariah. Agar didalam suatu perjanjian terdapat prinsip-prinsip syariah Islam, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan, perjanjian itu bebas riba dan bunga. Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank syariah wajib membuat akad sesuai prinsip syariah dengan ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan
Universitas Sumatera Utara
(maslahah) dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan objek haram. Dalam penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 pada pasal 2 ayat 2 yand dimaksud dengan : “Adl” adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memberlakukan sesuatu sesuai porsinya. “Tawazun” adalah meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan public, sector keuangan dan sector riil, bisnis dan social, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. “Maslahah” adalah merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi 3 (tiga) unsure yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan. “Alamiyah” adalah dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). “Gharar “ adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah. “Maysir” adalah transaksi yang bersifat spekulatif (untung-untungan) yang tidak terkait langsung dengan produktifitas di sector riil. “Riba” adalah pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah ( bathil) antara lain pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl) atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah). “Dzalim” adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. “Risywah” adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi. Objek Haram adalah suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah. 66
66
Penjelasan pasal 2 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank syariah.
Universitas Sumatera Utara
Faturrahman Djamil dalam tulisannya
yang berjudul
hukum perikatan
syariah mengemukakan bahwa hal-hal yang harus di perhatikan dalam membuat perjanjian adalah sebagai berikut : 1. Dari segi subjek aqad atau para pihak. a. Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum, artinya orang dewasa dan bukan mereka yang secara hukum berada dibawah pengampuan atau perwalian, seseorang yang dibawah pengampuan atau perwalian, didalam melakukan perjanjian wajib diwakili oleh wali atau pengampunya. b. Identitas para pihak dan kedudukannya masing-masing dalam perjanjian harus jelas, apakah bertindak untuk diri sendiri atau mewakili sebuah badan hukum. c. Tempat dan saat perjanjian dibuat, untuk kebaikan, seyogyanya harus disebutkan dengan jelas dalam aqad. 2. Dari Segi Tujuan dan Objek Aqad. disebutkan secara jelas tujuan dari dibuatnya akad tersebut, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, bagi hasil, dan seterusnya yang telah dijelaskan oleh ajaran Islam. a. Sekalipun diberikan kebebasan dalam menentukan objek aqad, namun jangan sampai menentukan suatu objek yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam atau ‘urf (kebiasaan/kepatutan) yang sejalan dengan ajaran Islam, dengan kata lain objek akad harus halal dan thayyib. 3. Adanya kesepakatan, dalam hal yang berkaitan dengan : a. Waktu perjanjian, baik bermula atau berakhirnya perjanjian, jangka waktu angsuran dan berakhirnya, harus diketahui dan disepakati sejak awal akad oleh
Universitas Sumatera Utara
bank dan nasabah, tidak boleh berobah ditengah atau diujung perjalanan pelaksanaan kesepakatan, kecuali bila hal itu disepakati oleh kedua belah pihak. b. jumlah dana, dana yang dibutuhkan, nisbah atau margin yang disepakati, biaya-biaya yang diperlukan, dan hal-hal emergency yang memerlukan biayabiaya lainnya. c. Mekanisme kerja, disepakati sejauh mana kebolehan melakukan operasional, pengawasan dan penilaian terhadap suatu usaha (khususnya pembiayaan mudharabah dan musyarakah). d. Jaminan, bagaimana kedudukan jaminan, seberapa besar jumlah dan kegunaan jaminan tersebut serta hal-hal lain berkaitan dengannya. e. Penyelesaian, bila terjadi perselisihan atau adanya ketidak sesuaian antara dua belah pihak, bagaimana cara penyelesaian yang disepakati, tahapan-tahapan apa yang harus di lalui dan seterusnya. Objek yang diperjanjikan dan cara-cara pelaksanaannya. 4. Pilihan Hukum. Ditegaskan dengan jelas pilihan hukum dalam akad tersebut, misalnya, untuk perjanjian ini dan segala akibatnya, kedua belah pihak sepakat untuk memberlakukan syariah Islam.
Universitas Sumatera Utara