KOMPENDIUM BIDANG HUKUM INVESTASI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI JAKARTA, 2011
KOMPENDIUM BIDANG HUKUM INVESTASI
Kompendium Bidang Hukum Investasi
Dikerjakan Oleh Tim Kompendium Di bawah Pimpinan Prof. Dr. I.B.R. Supancana, S.H., M.H.
Editor Tana Mantiri, S.H., M.H.
Terbit Tahun 2011 Diterbitkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Jalan Mayjen Sutoyo – Cililitan Telepon (021) 8091908, 8002192 Faksimile (021) 80871742 Jakarta Timur 1360
KATA PENGANTAR
Keterbukaan ekonomi negara terhadap arus investasi asing ke suatu negara bukan hanya merupakan kebutuhan suatu negara untuk ikut berpartisipasi dalam ekonomi global, tetapi juga menjadi keharusan suatu negara untuk berpartisipasi dalam ekonomi global, dalam rangka menumbuhkembangkan sumber-sumber ekonominya dari sumber daya asing. Menarik investasi asing ke Indonesia tentunya harus dibarengi dengan pra kondisi iklim investasi yang pro terhadap investor sehingga merasa nyaman dan yakin bahwa investasi yang mereka tanam akan menguntungkan. Iklim investasi yang baik akan memberikan kepastian dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha. Salah satu sisi yang harus dibenahi dalam upaya untuk menarik investasi langsung ke Indonesia adalah perubahan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang investasi baik pusat dan daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang saat ini berlaku dalam pelaksanaannya banyak dihambat oleh peraturan daerah dan karenanya peraturan pusat dengan peraturan daerah harus diselaraskan dengan isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan investasi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas, Badan Pembinaan Hukum Nasional melakukan kegiatan Penyusunan Kompedium Bidang Investasi yang membuat suatu doktrin berdasarkan hasil-hasil pendapat dari praktisi atau lembaga yang kompeten di bidang masalah investasi menjadi pegangan bagi regulator untuk membuat regulasi dan kebijakan, memadu praktisi dalam hal penyelesaian persengketaan investasi. Penerbitan kompedium ini selain untuk menambah khazanah informasi hukum investasi juga untuk mendapat umpan balik dari masyarakat berupa pemikiran-pemikiran yang berguna dalam pembinaan hukum investasi di Indonesia.
v
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. I.B.R. Supancana, S.H., M.H., yang telah dengan tulus ikhlas memberikan waktu, tenaga dan pemikirannya sehingga buku ini bisa diterbitkan. Jakarta, Juli 2011 Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.
vi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................
v
DAFTAR ISI .................................................................................
vii
BAB I
1 1 11
PENDAHULUAN ......................................................... A. Latar Belakang........................................................ B. Tujuan dan Kegunaan .............................................
BAB II TERMINOLOGI, BATASAN DAN RUANG LINGKUP PENANAMAN MODAL ............................................. A. Terminologi dan Definisi ......................................... B. Kegiatan Investasi Langsung ................................. C. Kegiatan Penanaman Modal Tidak Langsung ...... D. Kegiatan Investasi Langsung Yang Berasal Dari Kegiatan Investasi Tidak Langsung....................... E. Faktor-Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Untuk Melakukan Kegiatan Investasi ............................... F. Investasi Oleh Negara . ......................................... G. Investasi Oleh Subjek Hukum Bukan Negara ..... H. Investasi Asing . ..................................................... I. Investasi Dalam Negeri .......................................... BAB III PERMASALAHAN DALAM KEGIATAN INVESTASI A. Faktor-Faktor Yang Menghambat Kegiatan Investasi B. Faktor-Faktor Yang Memperkuat Kegiatan Investasi C. Jaminan dan Perlindungan Investasi ...................... D. Insentif Bagi Kegiatan Investasi ........................... E. Perjanjian Investasi ................................................. F. Kontrak Investasi .................................................... G. Risiko Investasi ....................................................... H. Perlindungan HAKI ................................................
13 13 14 24 26 27 34 36 36 39 41 41 47 50 52 53 56 57 64
vii
Birokrasi ................................................................... Ketenagakerjaan ...................................................... Kepastian Hukum ................................................... Perizinan .................................................................. Pertanahan ............................................................... Penyelesaian Sengketa Investasi (Vertikal/ HorizontalNasioanal/Transnasional).........................................
71 73 74 75 76
BAB IV REGULASI INVESTASI .............................................. A. Regulasi Nasional Yang Khusus Mengatur Kegiatan Investasi ................................................................... B. Regulasi Nasional Lain Yang Terkait Dengan Kegiatan Investasi ................................................................... C. Perjanjian Multilateral di Bidang Investasi ............ D. Perjanjian Regional di Bidang Investasi ................ E. Perjanjian Bilateral di Bidang Investasi ................ F. Perjanjian Internasional Lainnya Yang Terkait Dengan Masalah Investasi ................................................... H. Ketentuan-Ketentuan Soft Laws Yang Terkait Dengan Investasi ................................................................... I. Reformasi Regulasi Guna Perbaikan Iklim Investasi J. Regulasi Investasi Yang Mampu Mengakomodir Kebutuhan Sekarang dan Masa Mendatang .........
85
I. J. K. L. M. N.
77
85 86 92 200 200 202 204 206 208
BAB V PENUTUP . ................................................................... A. Kesimpulan .............................................................. B. Rekomendasi ............................................................
209 209 210
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
211
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Investasi bagi suatu negara merupakan suatu keharusan atau keniscayaan, karena investasi merupakan salah satu motor penggerak roda perekonomian agar suatu negara dapat mendorong pertumbuhan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya. Investasi di suatu negara akan dapat berlangsung dengan baik dan bermanfaat bagi negara dan rakyatnya, manakala negara mampu menetapkan kebijakan investasi sesuai dengan amanah konstitusinya. Secara konsep, investasi merupakan kegiatan mengalokasikan atau menanamkan sumber daya saat ini (sekarang, present) dengan harapan mendapatkan manfaat atau keuntungan di kemudian hari (future). Investasi adalah padanan dari “penanaman modal” yang merupakan terjemahan dari istilah investment.1 Investasi diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki dengan menanamkannya ke usaha/proyek yang produktif baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan harapan selain mendapatkan pengembalian modal di kemudian hari, tentunya pemilik modal juga akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari penanaman modal dimaksud. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan pengertian Penanaman Modal sebagai: “Kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia”.2 Investasi yang berjalan baik akan memberikan nilai tambah bagi kehidupan negara dan rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi akan 1
2
Lihat : John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1996 , hlm, 330. Lihat : UU No. 25 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1.
1
tumbuh sesuai dengan ekspektasi bersama jika ditopang dengan investasi yang kuat. Tanpa ada investasi yang signifikan baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (indirect investment), maka pertumbuhan ekonomi yang optimal hanyalah utopia belaka. Indonesia memerlukan modal asing karena: a.
Untuk menyediakan lapangan kerja;
b.
Melaksanakan substitusi import untuk meningkatkan devisa;
c.
Mendorong ekspor untuk mendapatkan devisa;
d.
Membangun daerah-daerah tertinggal dan sarana prasarana;
e.
Untuk industrialisasi atau alih teknologi.
Adapun syarat-syarat untuk menarik modal asing adalah: a.
Syarat keuntungan ekonomi (economic opportunity) Yaitu adanya kesempatan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedianya bahan baku, tersedianya lokasi untuk mendirikan pabrik, tersedianya tenaga kerja dan pasar yang prospektif.
b.
Syarat Kepastian Hukum (legal certainity) Pemerintah harus mampu menegakkan hukum dan memberikan jaminan keamanan. Penerapan peraturan dan kebijakan, terutama konsistensi penegakan hukum dan keamanan serta memperbaiki sistem peradilan dan hukum merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam rangka menarik investor.
c.
Syarat stabilitas politik (political stability) Penanaman modal asing pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor stabilitas politik (political stability). Konflik yang terjadi di antara elit politik atau dalam masyaratkat akan berpengaruh terhadap iklim penanaman modal. Selain itu, belum mantapnya kondisi sosial politik mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap arus penanaman modal.
Negara Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah namun oleh para pembuat kebijakan di bidang investasi dipandang bahwa pelaku usaha nasional belum memiliki kapasitas yang cukup dalam mengelola
2
kekayaan alam yang masih berbentuk potensi dan terpendam di bumi Indonesia secara maksimal, oleh karenanya pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan asing untuk ikut serta mengelola dan berinvestasi di Indonesia. Bagi Indonesia, kegiatan investasi langsung, baik yang berbentuk investasi langsung asing (foreign direct investment) maupun investasi langsung dalam negeri (penanaman modal dalam negeri) mempunyai kontribusi secara langsung bagi pembangunan. Investasi langsung terutama investasi asing akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi, alih teknologi dan pengetahuan, serta penciptaan lapangan kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran serta mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Di masa ekonomi global saat ini, keterbukaan ekonomi suatu negara adalah suatu keharusan. Keterbukaan ekonomi negara terhadap arus investasi asing ke suatu negara bukan hanya merupakan kebutuhan suatu negara untuk ikut berpartisipasi dalam ekonomi global, tapi juga menjadi keharusan suatu negara dalam rangka memenuhi kelangkaan sumber-sumber ekonomi di negaranya agar dapat segera terpenuhi dengan adanya peran dari sumber daya asing. Kebutuhan investasi Indonesia selepas 2010 diperkirakan mencapai Rp 2.900 triliun per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan investasi tersebut, Rp 400 triliun di antaranya bisa berasal dari perbankan dan Rp 500 triliun harus didatangkan dari luar negeri. Dan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi langsung. Paling tidak dibutuhkan US$ 10 miliar investasi langsung.3 Dari target investasi tahun 2010 sebesar Rp 2.900 triliun 17% akan ditopang oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2010. Selain itu diharapkan pula BUMN-BUMN dapat memberikan kontribusinya melalui belanja modal (capital expenditure) untuk menopang investasi di tahun 2010.4 Apabila dibandingkan dengan dua tahun yang lalu, pada tahun 2007 pemerintah memerlukan investasi Rp 958 triliun. Tapi, hanya Rp 120 triliun yang mampu disediakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Melihat kenyataan yang ada, tentu rasa was-was masih menyelimuti kita. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah terasa belum maksimal. Ruang nyaman yang disediakan pemerintah untuk investasi terasa belum 3
4
Lihat : Faisal Basri (Ekonom Universitas Indonesia) dalam Kontan Online, Kamis, 10 Desember 2009, Diakses dari http://www.kontan.co.id/ Lihat: Hatta Radjasa dalam Harian Sinar Indonesia Baru, 17 Desember 2009, diakses dari http://hariansib.com/
3
banyak diminati para investor. Peraturan yang dibuat sebagai jalan tengah bertemunya antara gairah untuk berinvestasi dari asing maupun dalam negeri dengan hasrat pemerintah terhadap masuknya investasi terasa masih lengang. Untuk mengundang investasi asing yang potensial ke suatu negara tentunya harus dibarengi dengan suasana dan iklim investasi yang pro terhadap investor atau yang menarik sehingga investor merasa aman dan yakin bahwa investasi yang mereka tanam akan menguntungkan.5 Oleh karena itu upaya untuk mendorong investasi langsung di Indonesia merupakan suatu keharusan. Dengan terus meningkatnya investasi pertumbuhan ekonomi dapat terus meningkat dan diharapkan akan dapat menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan mampu mengentaskan kemiskinan. Investasi langsung hanya akan meningkat apabila tercipta iklim investasi langsung yang kondusif dan sehat serta meningkatnya daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi langsung. Iklim investasi yang baik akan memberikan kesempatan dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha. Hingga saat ini memperbaiki iklim investasi adalah masalah kritikal yang dihadapi pemerintah di negara berkembang. Iklim investasi yang baik membutuhkan dukungan berbagai sektor. Beberapa masalah yang dihadapi pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang baik adalah kemungkinan terjadinya benturan antara kepentingan dunia usaha dan kepentingan masyarakat. Dunia usaha adalah pencipta utama kemakmuran, oleh sebab itu iklim investasi harus diciptakan sesuai dengan kepentingan mereka. Di sisi lain iklim investasi yang baik seharusnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan bukan hanya kepentingan dunia usaha. Kepentingan dunia usaha dan kepentingan masyarakat ini sering kali berbeda. Sering juga yang terjadi adalah perbedaan preferensi dan prioritas antara dunia usaha dan masyarakat, juga diantara sesama dunia usaha. Dalam hal inilah pemerintah diharapkan dapat mengatasi benturan kepentingan tersebut. 5
4
Para investor tentunya mau menanamkan investasinya di negeri ini bukan secara cuma-cuma. Orang barat bilang there is no such thing as free lunch. Maka harus ada tegenprestatie (prestasi balik) yang diberikan oleh negeri ini kepada para investor tersebut. Salah satu hal penting yang menjadi ukuran dari para investor untuk terstimulus menanamkan investasinya di negeri ini adalah adanya regulasi yang sistematik terhadap bidang investasi serta terdapatnya kepastian hukum bagi mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan pengusaha serta dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menarik para investor asing pemerintah sudah memberikan beragam fasilitas yang diberikan melalui UU Penanaman Modal Asing (PMA), antara lain (i) fasilitas pengesampingan bea masuk bagi barang modal yang sesuai dengan usulan kegiatan investasi, (ii) tax holiday dalam pajak penghasilan selama belum tiba masa produksi komersial, (iii) kepastian repatriasi segala keuntungan atau deviden ke negara asalnya setiap saat. Namun selain pemberian fasilitas, ada pula kebijakan pembatasan usaha bagi pelaku usaha asing misalnya (i) adanya Daftar Negatif Investasi (DNI)6 yang secara berkala direview, (ii) kewajiban divestasi,7 (iii) kewajiban untuk membangun kemitraan dengan usaha kecil & menengah (Kemitraan UKM),8 (iv) kewajiban memprioritaskan local content (prioritas Local content). Kebijakan mengenai aturan-aturan di atas sudah diselenggarakan sejak lama, akan tetapi masih menjadi aturan di atas kertas dapat saja dan sering menyimpang pada implementasinya, atau tidak berfungsi sebagaimana telah didisain sejak awal. Beban untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan sehat kiranya bukan hanya menjadi beban pemerintah, tetapi seluruh komponen bangsa, termasuk kalangan dunia usaha dan masyarakat umum. Sebagaimana tergambar di atas bahwa iklim investasi yang kondusif sangat mempengaruhi investor, terutama asing dalam 6
7
8
Daftar negatif investasi (DNI) adalah suatu daftar yang ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tentang bidang usaha apa saja yang terbuka sepenuhnya bagi investor asing, terbuka dengan persyaratan persentase saham tertentu dikuasai oleh mitra lokal, atau tertutup sama sekali. DNI berfungsi sebagai kran tutup, setengah buka atau terbuka penuh untuk memastikan adanya keseimbangan tertentu yang hendak dipelihara oleh BKPM, yaitu disatu sisi kepentingan swasta nasional akan pemerataan ekonomi dan di pihak lain kepentingan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Divestasi adalah kewajiban untuk mengurangi persentasi kepemilikan investor asing di PT PMA setelah kurun waktu tertentu, dan sekaligus meningkatkan persentasi kepemilikan investor lokal di PT PMA tersebut. Hal ini dimaksudkan agar perlahanlahan pemegang saham lokal dapat berangsur-angsur memiliki peran dan kewenangan serta tanggung jawab yang membesar sejalan dengan waktu, serta juga supaya ada proses alih teknologi dari investor asing ke investor lokal. Kemitraan dengan UKM dimaksudkan agar pihak PT PMA dapat membagi peran dalam kegiatn usahanya dengan pengusaha kecil dan menengah dan pada saat yang sama pengusaha UKM memiliki kesempatan untuk membangun jaringan kemitraan dan belajar menjalankan usaha secara mandiri dengan pihak asing, sehingga semangat kewirausahaan pengusaha lokal dapat dibangun.
5
menanamkan modalnya, namun hingga saat ini masih banyak penghambatnya. Salah satu yang mengemukan adalah masalah regulasi, masalah kepastian dan penegakan hukum, masih banyak peraturan yang bersifat abu-abu dan tidak konsisten, peraturan yang berlaku hari ini bisa berbeda untuk hari berikutnya tergantung kepada siapa yang melayani, sehingga terkesan bahwa peraturan yang berlaku adalah oknum yang melayani. Semenjak otonomi daerah dicanangkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Iklim regulasi di Indonesia mengalami perubahan besar dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan yang luas kepada kabupaten dan kota untuk mengatur dan mengadministrasikan perdagangan dan industri. Karena itu Pemda berhak mengenakan regulasi dan perizinan usaha. Hal tersebut bagus untuk mengembangkan prakarsa serta kreativitas dan pemberdayaan masyarakat daerah asalkan diberengi dengan pengelolaan yang optimal dan bukan hanya bertujuan untuk menambah pemasukan kas daerah semata. Karena terkesan malah terjadi investasi biaya tinggi apabila investor harus dibebani untuk membayar pajak atau perizinan di tingkat pusat dan daerah. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu dieliminasi. Prioritas perlu diberikan pada sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan daerah dan pusat. 9 9
6
Karena itu, untuk segera menciptakan kondisi kondusif bagi investasi, diperlukan langkah seperti mempercepat waktu yang diperlukan untuk mengurus izin. Seperti diketahui, kita menempati urutan terbawah untuk kategori waktu yang diperlukan mengurus perizinan bagi para calon investor. Sementara negara-negara di ASEAN berusaha memperpendek waktu yang diperlukan untuk keperluan yang sama. Di sini ternyata komitmen pemerintah untuk memberikan ruang dan suasana lebih nyaman untuk investor belum dibarengi perubahan perilaku para pengambil kebijakan. Karena itu, korupsi, kolusi, nepotisme, tampaknya masih tumbuh subur. Tidak jarang pungli berbaju peraturan dan restribusi masih dipelihara beberapa pemerintah daerah melalui peraturan daerah (perda). Hal yang disebut terakhir itu tercium oleh pemerintah pusat sehingga ribuan peraturan daerah terpaksa dibatalkan, karena ditengarai penuh aroma untuk mengisap para investor.
Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi berfungsinya sistem ekonomi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Sehingga melalui sistem hukum dan peraturan hukum yang dapat memberikan perlindungan, akan tercipta kepastian (predictability), keadilan (fairness) dan efisiensi (efficiency) bagi para investor untuk menanamkan modalnya.10 Tantangan atas perkembangan kebijakan hukum investasi secara universal adalah kebijakan hukum investasi nasional harus mampu menjaga dan melindungi kepentingan nasional (domestik) dalam era kompetitif yang terbuka antar negara berkembang dalam perebutan investasi asing. Dalam era kompetisi yang terbuka, suatu pengecualian atas berbagai prinsip dan hukum internasional dimungkinkan kalau suatu host country mampu memberikan argumentasi yang rasional dan kuat mengapa suatu negara diberikan perkecualian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku secara universal. Harapan ke depan yang masih dapat dilakukan adalah: 1. Supaya yang sungguh-sungguh untuk menyempurnakan hukum investasi dengan menyempurnakan berbagai aturan yang terkait dan aturan-aturan pelaksananya, khususnya dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal yang telah berupaya mengadopsi berbagai prinsip internasional dalam bidang hukum investasi, 2. beberapa perkecualian penerapan atas prinsip world trade organization (WTO) dalam bidang investasi dimungkinkan bagi Indonesia asalkan Indonesia sungguh-sungguh berusaha memberikan argumentasi yang rasional dan kuat sesuai dengan kepentingan nasional, 3. Indonesia masih mempunyai peluang cukup menjadi pertimbangan
10
Erman Radjagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, FH Univ Al Azhar Indonesia, cetakan pertama, Jakarta, 2007, hlm. 27-31
7
sebagai negara tujuan investasi dari segi pertimbangan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta letak strategis wilayah Indonesia sebagai lokasi investasi dan luasnya pasar produk. Paradigma baru kebijakan hukum investasi secara internasional adalah bersifat liberal terbuka dan adil. Keterbukaan ini didasarkan pada prinsip yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO) yang menetapkan adanya keleluasaan/kebebasan yang dinamis antar negara untuk melakukan investasi. Masing-masing negara saling menghormati kedaulatan negara masing-masing untuk menetapkan kebijakan hukum investasinya, namun masing-masing negara harus saling melindungi dan memperlakukan kegiatan investasi di negaranya tanpa ada diskriminasi antara investor asing dengan investor domestik, demikian juga antar sesama investor asing. Prinsip ini menekankan pada dasar pikiran prinsip perlindungan keseimbangan kepentingan antar masing-masing pihak dengan saling menghormati dan memberikan perlakuan tanpa diskriminasi.11 Apabila dilihat dari paradigma baru yang liberal dan terbuka, kebijakan hukum investasi di Indonesia saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal secara substansial telah memenuhi, karena beberapa prinsip hukum internasional telah diakomodasi dan prinsip perlindungan kepentingan internasional juga telah terakomodasi. Namun yang perlu dijaga adalah konsistensi daripada aturan pelaksanaan undang-undang tersebut yang dalam sejarah pengaturan investasi di Indonesia seringkali menyimpang. Selain itu, undang-undang penanaman modal tersebut sejak awal pembahasan sampai ditetapkan sebagai undangundang masih memperoleh respon yang negatif, karena dianggap terlalu pro pasar dan pro investor (asing). Akar perdebatannya justru berawal pada masalah yang substansial yaitu ketentuan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Bagi yang keberatan atas arah kebijakan investasi dalam undang-undang ini menganggap undang-undang ini berideologi “liberal” atau “neo liberal”. Walaupun perdebatan saat ini tidak terlalu sengit, 11
8
Lihat: Muchammad Zaidun, Prinsip-prinsip Hukum Internasional Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Ringkasan Disertasi), Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, 2005, h.17-20. Prinsip-prinsip penanaman modal asing yang meliputi non discriminatory principle, yang berintikan The Most Favoured Nation (MFN) Treatment Principle dan National Treatment Principle, juga tentang Perkecualian terhadap MFN dan National Treatment serta Transparency Principle.
namun dapat dikategorikan ada dua pandangan yang secara relatif mewakili pandangan moderat atas dua pandangan yang berbeda tersebut.12 Perbedaan pandangan tersebut tidaklah terlalu diametral, kedua-duanya sebenarnya memahami bahwa dalam konteks internasional liberalisasi telah berjalan jauh dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, namun keduanya merasa perlu untuk menegaskan pemberian perlindungan bagi kepentingan nasional. Dalam upaya pentingnya perlindungan kepentingan nasional, kedua pandangan tersebut menghendaki peran pemerintah untuk menjadi pengatur dan pengendali. Walaupun peran pemerintah dalam sektor ekonomi masih dikehendaki namun tetap diingatkan bahwa pemerintah jangan sampai terlalu over regulated sebagaimana pernah dialami oleh negara-negara yang menganut faham welfare state yang berlebihan di masa lalu. Karena itu langkah-langkah kebijakan hukum investasi perlu penyesuaian-penyesuaian dengan kepentingan ekonomi baik nasional ataupun internasional. Dan, hal paling penting adalah dalam perumusan berbagai kebijakan hukum investasi telah benar-benar memperoleh dasar pemikiran teoritik dan landasan hukum yang kuat baik dalam konteks nasional ataupun internasional sehingga paradigma kebijakan hukum yang dikembangkan betul-betul telah memperoleh pertimbangan dari berbagai segi sehingga tidak hanya merupakan suatu reaksi temporal yang kurang bersifat strategis. Bila kita melihat dari tujuan hukum yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan, tentunya persoalan hukum investasi menjadi penting. Hukum investasi merupakan norma-norma hukum mengenai kemungkinan-kemungkinan dilakukannya investasi, syarat-syarat maupun perlindungan hukum, dan yang terpenting mengarahkan agar investasi dapat mensejahterakan rakyat.13 Selain itu, ada persoalan lain yang tak 12
13
Satu sisi misalnya pandangan yang dikemukakan oleh para ekonom dari ISEI yang menyebutkan bahwa Indonesia menganut “sistem ekonomi pasar yang terkendali”, yang berarti masih dalam “faham liberalistik yang moderat”, pada sisi lain diwakili oleh sebagian para ahli yang menyebutkan bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh konstitusi Indonesia adalah bersumber pada “faham kenegaraan welfare state” (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya merupakan reaksi untuk penyempurnaan faham liberalistik yang kolot. Objek hukum investasi meliputi objek materiil berupa bahan yang dijadikan sasaran dalam pengkajiannya, dan objek formal berupa sudut pandang tertentu terhadap objek materiilnya. Objek formal hukum investasi adalah mengatur: hubungan antara investor dengan negara penerima modal; bidang-bidang usaha yang terbuka untuk investasi; prosedur dan syarat-syarat dalam melakukan investasi dalam suatu negara.
9
kalah pentingnya selain hukum, yaitu masalah perpajakan, kepabeanan, infrastruktur, ketenagakerjaan dan perizinan. Hal tersebut masih menjadi kendala utama dalam melakukan kegiatan investasi di Indonesia. Oleh karena itu dalam tataran implementasinya kebijakan hukum di bidang investasi sesungguhnya tidak lepas dari pengaruh aspek-aspek non hukum khususnya dari aspek ekonomi dan politik. Setidaknya terdapat tiga hal yang diinginkan investor dan pengusaha ketika memutuskan untuk menanamkan investasi mereka yaitu penyederhanaan sistem dan perizinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya perizinan. Berbagai survei dan penelitian menunjukkan bahwa iklim berusaha (business climate) di Indonesia relatif masih kurang menarik. Misalnya, baru-baru ini IFC yang bekerja sama dengan World Bank mempublikasikan hasil survei Doing Business 2009 tentang kemudahan berusaha di 181 negara yang menunjukkan bahwa peringkat Indonesia mengalami kemerosotan dari 127 pada tahun 2007 menjadi 129 pada tahun 2008. Sebelumnya, World Economic Forum juga menempatkan posisi daya saing lingkungan bisnis negeri ini jauh di bawah lingkungan bisnis beberapa negara kompetitor, seperti Malaysia, Thailand, India, dan China. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator pembangunan ekonomi bertanggung jawab terhadap menarik atau tidaknya iklim berusaha di Indonesia. Ini berarti bahwa kurang menariknya iklim berusaha mengindikasikan lemahnya kapasitas pemerintah dalam mendorong daya saing negeri ini. Dalam kontek ini, studi yang dilakukan Sambodo et al. (2007) menggarisbawahi akan kelemahan tersebut, sebagaimana terindikasi dari beberapa hal, yaitu, pertama, ketidakmampuan pemerintah untuk membendung impor produk illegal. Kedua, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah baik di level pusat, daerah dan antar daerah. Kondisi ini kian diperumit oleh lemahnya kepemimpinan ataupun profesionalisme kerja birokrat serta masih kentalnya intervensi kepentingan kelompok dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Ketiga, kurangnya inisiatif pemerintah untuk melibatkan partisipasi kelompok asosiasi ataupun profesional secara nyata dalam perumusan kebijakan ekonomi serta dalam memonitor implementasi kebijakan, dan juga dalam menindaklanjuti/memecahkan penyimpangan kebijakan. Keempat, komitmen yang rendah dalam mengimplementasikan grand design/strategi dan road map pembangunan ekonomi nasional.14 14
Hadi Subhan, mengutip Latif Adam, Prioritas Pengembangan Hukum Di Bidang Investasi, makalah pada harmonisasi dan sinkronisasi, BPHN, Oktober 2008.
10
Berkaitan dengan bidang investasi, maka peraturan perundang-undangan hendaknya di selaraskan dengan isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan investasi di Indonesia. Isu-isu dasar yang sering dikaitkan dengan bidang investasi adalah masalah: 1. Kepastian ketentuan hukum; 2. Regulasi yang komprehensif; 3. Masalah kemudahan dan keringanan perpajakan; 4. Masalah pembangunan infrastruktur; 5. Masalah perburuhan; 6. Masalah Pemerintahan di daerah. Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu dilakukan pembahasan secara khusus masalah Hukum di Bidang Investasi. Oleh karena itu Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 2009 melakukan kegiatan penyusunan Kompendium bidang investasi. Maksud disusunnya kompendium ini adalah untuk membuat suatu doktrin berdasarkan hasil-hasil pendapat dari praktisi atau lembaga yang berkompeten untuk masalah Investasi dengan tujuan agar ada pegangan atau pedoman bagi praktisi untuk membuat regulasi dan kebijakan, membuat putusan dalam hal ada pesengketaan berkaitan dengan masalah investasi. B . Tujuan dan Kegunaan Tim Kompendium ini melaksanakan tugas menginventarisir seluruh lingkup yang menjadi persoalan di bidang investasi yang disusun dalam bentuk pandangan dan pendapat dari pakar di bidang investasi sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dan panduan bagi praktisi dalam melaksanakan tugas berkaitan dengan pembuatan regulasi dan kebijakan, serta pembuatan putusan dalam hal terdapat sengketa mengenai kasuskasus berkaitan dengan masalah investasi.
11
12
BAB II TERMINOLOGI, BATASAN, DAN RUANG LINGKUP PENANAMAN MODAL
A. Terminologi dan Definisi Untuk lebih memahami terminologi dan definisi dari penanaman modal maka perlu diberikan batasan yang jelas terhadap pengertian penanaman modal. Hal tersebut bertujuan agar persepsi dan pemahaman kita mengenai penanaman modal menjadi jernih dan jelas guna menghindari adanya arti negatif terhadap penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA), seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Dalam pasal 1 UUPM disebutkan bahwa:15 “1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. 2.
Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
3.
Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”.
Dari perumusan penanaman modal dalam Pasal 1 tersebut, baik definisi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), tidak diketahui bentuk penanaman modal seperti 15
Pasal 1, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
13
apa yang diperkenankan oleh UU tersebut di Indonesia. Hal ini baru diketahui jika melihat pada memori penjelasan UUPM khususnya pada penjelasan pasal 2 yang menyebutkan bahwa:16 “Yang dimaksud dengan ‘penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia’ adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio”. Dengan demikian pengertian penanaman modal, khususnya dalam hal PMA, di Indonesia hanya mencakup penanaman modal yang dilaksanakan secara langsung (direct investment) dan bukan penanaman secara tidak langsung (portofolio investment) di mana pemilik modal hanya memiliki sejumlah saham dalam suatu perusahaan tanpa ikut serta atau mempunyai kekuasaan langsung dalam pengelolaan manajemen perusahaan tersebut.17 Pengertian lain dari penanaman modal asing juga kita dapatkan pada perjanjian-perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman modal, baik di tingkat bilateral maupun regional, yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan negara asal penanaman modal asing, seperti dengan Rusia, Denmark, Finlandia, Libya, ASEAN, dan lain-lain.18 B . Kegiatan Investasi Langsung Menurut Organization for Economic Co-opertaion and Development (OECD), terminologi penanaman modal langsung tercermin pada keinginan kuat dari penanam modal untuk menanamkan modalnya yang berpengaruh kepada hubungan jangka panjang antara penanam modal dengan perusahaan tempat ia menanamkan modalnya dan pada derajat pengaruh yang signifikan pada manajemen perusahaan.19 Hal ini sejalan 16 17
18 19
Penjelasan Pasal 2, Ibid. Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 43. Ibid., hlm. 44. “Foreign direct investment reûects the objective of obtaining a lasting interest by a resident entity in one economy (‘‘direct penanam modal’’) in an entity resident in an economy other than that of the penanam modal (‘‘direct investment enterprise’’). The lasting interest implies the existence of a long-term relationship between the direct penanam modal and the enterprise and a signiûcant degree of inûuence on the management of the enterprise. Direct investment involves both the initial transaction between the two entities and all subsequent capital transactions between
14
dengan pengertian penanaman modal langsung yang diberikan oleh Organization European Economic Co-operation (OEEC) yaitu: “acquisition of sufficient interest in an undertaking to insure its controle by the penanam modal”. Kesimpulan yang dapat diambil dari kedua rumusan tersebut adalah bahwa penanaman modal diberi keleluasaan pengusahaan dan penyelenggaraan pimpinan dalam perusahaan dimana modalnya ditanamkan, dalam arti bahwa penanaman modal memiliki penguasaan atas modal.20 Berikut merupakan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penanaman modal langsung: 1.
Pendirian perusahaan UUPM menetapkan bahwa Penanaman Modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan.21 Bentuk badan usaha yang mempunyai status badan hukum adalah Perseroan Terbatas dan Koperasi. Sedangkan firma, CV, ataupun Perusahaan Dagang (PD) adalah badan usaha yang tidak mempunyai status hukum. Sementara itu, pasal 5 ayat 2 menetapkan bahwa penanam modal asing harus dalam bentuk Perseroan Terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Pasal 5 ayat 2 membuka kemungkinan penanam modal asing di Indonesia tidak berbentuk Perseroan Terbatas, misalnya di bidang minyak dan gas bumi, dimana perusahaan asing yang berasal dari luar negeri dapat menandatangani Production Sharing Contract dengan Pemerintah Indonesia. Pasal 5 ayat 3 menyatakan penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk Perseroan Terbatas dilakukan dengan:
20 21
them and among afûliated enterprises, both incorporated and unincorporated”. Dikutip dari OECD, Benchmark Definition of Foreign Direct Investment Third Edition,
, diunduh pada tanggal 28 Oktober 2007. Op. cit. Pasal 5 ayat 1, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
15
a.
mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas; Artinya, para pemegang saham tentu harus menyetor modal. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, modal yang disetorkan bisa dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk lainnya.22
b.
membeli saham; Artinya, Perseroan Terbatas yang sudah berdiri tersebut dapat memperbesar modalnya terlebih dahulu. Untuk penambahan modal tersebut perseroan mengeluarkan sahamsaham baru, dan dengan demikian dananya masuk ke dalam perseroan tersebut.
c.
melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pendirian perusahaan joint venture Dalam mendirikan suatu perusahaan penanaman modal patungan (joint venture) diperlukan suatu perjanjian Joint Venture Agreement (JVA) sebagai landasan hukum pembentukan perusahaan tersebut. Perjanjian JVA sendiri, bersumber kepada pasal 12 ayat 4 UUPM, yaitu adanya bidang usaha yang terbuka untuk modal asing dengan persyaratan pembatasan pemilikan saham. Sedangkan pada pasal 12 ayat 5, bahwa: “Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu...... partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah”. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, pengusaha asing, dan pengusaha lokal, membentuk suatu perusahaan baru yang disebut perusahaan joint venture dimana mereka menjadi pemegang saham yang besarnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Umumnya pihak asing menjadi pemegang saham 22
Pasal 34, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
16
mayoritas dan pihak lokal menjadi pemegang saham minoritas. Perjanjian antara kedua belah pihak untuk membentuk perusahaan joint venture. Perjanjian join venture ini sifatnya internasional karena para pihak dalam perjanjian ini. Di samping karena undang-undang mengharuskan joint venture untuk bidang usaha tertentu seperti yang disebutkan di atas, pada bidang usaha yang tidak diwajibkan adanya joint venture para pengusaha asing juga memilih joint venture dalam penanaman modal asing di suatu negara karena alasan-alasan ekonomi, politik, dan sosial. Dalam hal terdapat unsur asing baik sebagian ataupun seluruhnya, maka PT tersebut harus berbentuk PT PMA (Penanaman Modal Asing). Oleh karena adanya unsur asing dalam hal joint venture, maka dalam permohonan Surat Persetujuan BKPM, Perusahaan joint venture digolongkan sebagai PT PMA. Suatu PT biasa yang dalam perkembangannya memasukkan pemodal baru yang berstatus asing (baik itu perorangan maupun badan hukum) maka PT tersebut harus merubah statusnya menjadi PT PMA. Secara umum, syaratsyarat dan tahapan-tahapan untuk mendirikan PT PMA adalah sebagai berikut: a.
Pengajuan Izin Sementara untuk pendirian PT PMA melalui BPKM 1) Identitas perusahaan yang akan didirikan, yang meliputi: a) Nama Perusahaan b) Kota sebagai tempat domisili usaha c) Jumlah Modal d) Nama pemegang saham dan prosentase modal e) Susunan Direksi dan Komisaris 2) Pengajuan permohonan tersebut harus mengisi surat permohonan (aplikasi model II/PMA) dengan melampirkan dokumen2 sebagai berikut: a) Pendiri (Pemegang Saham) asing i. Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris berikut seluruh
17
ii.
perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun pelaporan/pemberitahuannya; atau Fotokopi paspor yang masih berlaku dari pemegang saham individual.
b) Dari Perusahaan PMA i. Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun pelaporan/pemberitahuannya; ii. NPWP Perusahaan. c) Pendiri (Pemegang Saham) Indonesia i. Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun pelaporan/ pemberitahuannya atau KTP untuk individual; ii. NPWP pribadi. d) Lampiran Data i. Flowchart proses produksi dan bahan baku (raw materials) yang dibutuhkan untuk proses industri tersebut; ii. Deskripsi/penjelasan untuk proses kelangsungan bisnis. e) Surat Kuasa asli (dalam hal pendiri diwakili oleh orang/pihak lain) f)
Kelengkapan lain23 i.
23
Kelengkapan data lain yang dibutuhkan oleh Departemen terkait (bila ada) dan dinyatakan dalam “Technical guidance’s book on investment implementation”.
Untuk persyaratan Nomor 6 poin a dan b akan dikoordinasikan oleh BKPM dengan institusi/departemen teknis terkait.
18
ii.
Untuk sektor tertentu, contohnya sektor pertambangan yang melakukan kegiatan ekstraksi, sektor energi, perkebunan kelapa sawit dan perikanan, membutuhkan Surat Rekomendasi dari Departemen teknis terkait.
g) Dalam sektor bisnis yang diperlukan dalam hal kerja sama i. Perjanjian kerja sama (bisa berupa Joint Venture, Joint Operation, MOU, dll) antara pengusaha kecil dan pengusaha menengah/besar yang menyebutkan pihak-pihaknya, sistem kerjasamanya, hak dan kewajibannya; ii. Surat Pernyataan dari perusahaan kecil yang memenuhi kriteria sebagai Perusahaan Kecil berdasarkan Peraturan No. 9/1995. Setelah berkas lengkap, izin baru dapat diproses di BKPM. Menurut aturan yang berlaku, sejak dokumen dinyatakan lengkap, maka persetujuan dari Kepala BKPM bisa diperoleh dalam jangka waktu 12 hari kerja. Namun, untuk memperoleh kepastian bahwa berkas permohonan yang dinyatakan lengkap, perlu mengalami proses koreksi yang berulang kali. Sehingga, ada baiknya jika sebelum berkas dimasukkan, dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan pejabat BKPM yang ada. Izin BKPM tersebut berlaku sebagaimana halnya Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) pada PT biasa b.
Pembuatan akta Pendirian PT PMA 1) Setelah Izin dari BKPM keluar, maka dapat mulai untuk proses pendirian PT PMA (dengan catatan, nama PT sudah bisa digunakan/memperoleh persetujuan Menteri. 2) Salinan Akta akan selesai dalam jangka waktu maksimal 2 minggu kerja sejak penandatanganan akta.
19
c.
Pengurusan Domisili dan NPWP atas nama PT yang bersangkutan NPWP yang dibuat untuk PT PMA harus NPWP khusus PT PMA. Waktunya sekitar 10 hari kerja.24
d.
Pembukaan rekening atas nama Perseroan dan menyetorkan modal saham dalam bentuk uang tunai ke kas Perseroan. Bukti setornya diserahkan kepada Notaris untuk kelengkapan permohonan pengesahan pada Departemen Hukum dan HAM.
e.
Pengajuan pengesahan ke Departemen Hukum dan HAM dalam UU No. 40 Tahun 2009 disebutkan adalah 14 hari kerja terhitung sejak diperolehnya Tidak keberatan Menteri (TKM).25 Namun dengan masih belum stabilnya Sistem Administrasi Badan Hukum (sebagai pengganti dari Sisminbakum), maka waktunya bisa mencapai 2,5 bulan.
f.
Setelah keluar pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM, dapat diurus Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Wajib Daftar Perusahaan (WDP) nya. Waktunya kurang lebih 2 minggu.
3. Pembentukan joint operation (JO) scheme Kemitraan operasi bersama atau Joint Operation merupakan salah satu alternatif kerja sama antara dua atau lebih kontraktor untuk mengatasi berbagai kendala operasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi, seperti misalnya keterbatasan sumber daya. Pola kerja sama ini lazim ditemui pada proyek-proyek berskala besar, termasuk pada proyek pembangunan jalan, di mana masingmasing pihak yang bekerja sama mempunyai keterbatasan dalam menyediakan sumber daya yang memadai. Sayangnya, dalam pengelolaan sumber daya kemitraan JO ini ternyata tidak mudah, di mana setiap mitra mempunyai mekanisme pengelolaan sendiri dan sering kali sulit untuk memadukannya.
24
25
Pada saat ini bisa sekaligus mengurus Surat PKP (Pengusaha Kena Pajak). Waktunya kurang lebih 4 hari kerja, karena ada survei dari Kantor Pajak setempat lokasi usaha. Pasal 30, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
20
4. Konversi pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan lokal Konversi pinjaman merupakan salah satu bentuk penyelesaian pinjaman oleh perusahaan.26 Konversi pinjaman seringkali dijadikan alternatif oleh perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban untuk membayar utang-utangnya yang tidak mampu dipenuhi oleh perusahaan tersebut. Dalam transaksi konversi utang menjadi modal (debt to equity swap) terdapat dua macam transaksi yang dilakukan secara bersamaan, yaitu: •
Transaksi pelunasan utang,
•
Transaksi penyertaan modal, sehingga meniadakan transaksi kas.
Atas transaksi perubahan utang menjadi modal (debt to equity swap), sepanjang dilakukan dengan nilai yang sama antara pelunasan utang dan penyertaan modal, yakni sebesar nilai buku utang terakhir, maka tidak terdapat konsekuensi perpajakan seketika. Dalam hal utang (sebesar nilai buku terakhir) dilunasi melalui perubahan bentuk menjadi penyertaan modal yang jumlahnya lebih kecil, maka selisihnya merupakan keuntungan karena pembebasan utang bagi debitur dan penghapusan piutang bagi kreditur berdasarkan suatu perjanjian. Sebaliknya apabila jumlah penyertaan modal lebih besar dari nilai buku terakhir utang yang dilunasi, maka selisihnya merupakan penghasilan bunga bagi kreditur dan biaya bunga bagi debitur. Agio atau disagio saham yang timbul karena transaksi penyertaan modal yang menggunakan harga pasar, bukan merupakan penghasilan ataupun kerugian bagi debitur. 5. Memberikan bantuan teknis dan manajerial (technical and manajerial assistance) Bantuan teknis dan manajerial merupakan salah bentuk kerja sama di bidang penanaman modal yang dalam kenyataannya 26
Pasal 8 Ayat 1, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
21
atau dalam praktik dilakukan oleh pemodal khususnya pemodal asing. Bentuk kerja sama ini diharapkan dapat memberikan nilai plus bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam kerja sama tersebut, khususnya terkait dengan peningkatan keuntungan dari penanaman modal yang dilakukan. a.
Bantuan Teknis (Technical Assistance) Suatu bentuk kerja sama yang dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut dengan kemampuan (skill) atau cara kerja (method). Misalnya, dalam hal suatu perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan produksinya. Membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan bantuan teknis dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara pembayaran dalam bentuk royalti yakni pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang bersangkutan.
b. Bantuan Manajerial (Management Assistance) Suatu bentuk usaha kerja sama antara pihak modal asing dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khususnya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. Misalanya yang lazim dipergunakan dalam pembuatan maupun pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia diserahkan kepada swasta luar negeri seperti; Mandarin International Hotel, Hyatt International Hotel, dll. 6. Pemberian lisensi Pada dasarnya lisensi adalah suatu bentuk pemberian izin pemanfaatan dari penggunaan Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki pemilik lisensi kepada penerima lisensi, dalam jangka waktu tertentu yang pada umumnya disertai dengan pemberian
22
imbalan berupa royalti. Pemberian Lisensi merupakan suatu bentuk usaha kerja sama yang digunakan apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah memiliki merk maupun reputasi terkenal, seperti Coca-Cola, Van houten, dan sebagainya. Sementara praktik pemberian lisensi (licensing) adalah praktik perusahaan atau seseorang (licensor) yang memberi hak kepada pihak tertentu (licensee) untuk memakai merek/hak cipta/paten (Hak milik kekayaan intelektual) untuk memproduksi atau menyalurkan produk/jasa pihak licensor. Imbalannya licensee membayar fee. Selain itu, licensor tidak mencampuri urusan manajemen dan pemasaran pihak licensee. Pada saat perusahaan menemukan bahwa ekspor tidak lagi efektif, tetapi perusahaan tersebut masih ragu-ragu untuk menanamkan modal secara langsung di luar negeri, pemberian lisensi dapat menjadi suatu solusi yang masuk akal. 7. Pengakhiran kegiatan penanaman modal Pada dasarnya, kegiatan penanaman modal dapat berakhir apabila penanam modal tidak melaksanakan kewajiban yang terdapat di dalam pasal 15 27 Setiap penanam modal berkewajiban: a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
27
Setiap penanam modal berkewajiban: a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
23
dan ketentuan mengenai sanksi dalam pasal 3328 UUPM mengenai sanksi. Adapun bentuk sanksi terhadap pelanggaran administratif yang dapat dikenakan terhadap penanam modal adalah:29 a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau penanaman modal. C. Kegiatan Penanaman Modal Tidak Langsung UUPM beserta peraturan pelaksanaannya termasuk Negative List (Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007) yang mengatur batasan modal asing berpenanaman modal langsung di Indonesia tidak mencakup pengaturan penanaman modal tidak langsung atau portofolio. Jadi walaupun sebuah bidang usaha masuk daftar Negative List dimana pemodal asing tidak boleh atau dibatasi untuk bidang usaha tertentu, namun apabila bidang usaha tersebut digerakkan oleh sebuah Perusahaan Terbuka, maka asing dapat masuk ke dalam Perusahaan Terbuka sampai menjadi pemegang saham mayoritas. Namun, sebagai penanam modal tidak langsung, maka ia tidak akan mendapatkan perlindungan BKPM serta fasilitas penanaman modal seperti bebas biaya impor barang modal, dll. Adapun bentuk kegiatan penanaman modal tidak langsung adalah sebagai berikut: 28
29 30
(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. (3) Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. Pasal 34, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Media Indonesia, “Investor Jepang Masih ragu-ragu”, 20 Maret 2000.
24
1.
Transaksi di pasar modal dan di pasar uang Dalam sistem keuangan, pasar uang (money market) dan pasar modal (capital market) merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market). Pasar uang dan pasar modal merupakan sarana penanaman modal dan mobilisasi dana bagi penanam modal. Pasar uang saat ini mencari penanaman modal yang menawarkan expected return yang paling tinggi untuk tingkat risiko tertentu sejalan dengan perkembangan perdagangan dunia. Pasar uang adalah pasar yang menyediakan sarana pengalokasian dan pinjaman dana jangka pendek, karena itu pasar uang merupakan pasar likuiditas primer. Sedangkan pasar modal berkaitan dengan surat-surat berharga yang berjangka panjang. Dana yang diperjual belikan dalam pasar modal berupa dana permanen atau semi permanen. Selain itu perbedaan pasar modal dengan pasar uang ada pada tempat pelaksanaan transaksi. Pasar modal memiliki tempat transaksi tertentu yang disebut bursa efek. Transaksi dalam pasar uang dilakukan melalui sarana telekomunikasi, sehingga pasar ini sering pula disebut sebagai pasar abstrak karena pelaksanaan transaksi tidak dilakukan di tempat tertentu seperti halnya pada pasar modal yang melalui bursa efek. Pasar uang juga merupakan suatu bentuk pasar yang tak terorganisasi (unorganized market).
2.
Jual beli saham Kepemilikan saham menyatakan satu unit kepemilikan dari perusahaan. Bila penanam modal membeli saham, maka penanam modal tersebut menjadi bagian dari pemilik perusahaan. Oleh karena itu, penanam modal tersebut akan mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan yang dialami perusahaan. Dan tentunya, penanam modal tersebut mendapatkan kerugian bila perusahaan rugi. Saham diperjualbelikan melalui sarana pasar yang di Indonesia disebut Bursa Efek. Bursa tersebut tidak membeli atau menjual sahamsaham yang ada, melainkan bursa hanya merupakan tempat atau sarana bagi para penanam modal untuk bertransaksi di dalamnya. Keberadaan bursa saham menjadi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Adapun daya tarik pasar modal adalah:
25
a) Bagi perusahaan yang mencari dana segar, pasar modal memberikan peluang untuk mencari dana yang murah—selain dari sektor perbankan, seperti yang kita kanal selama ini. Perusahaan dapat menjual saham kepemilikannya melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO), dan mendapatkan dana dari penjualan tersebut. Atau, perusahaan bisa juga mengeluarkan surat utang atau yang biasa disebut obligasi kepada masyarakat luas dan membayar bunga yang lebih rendah dari bunga pinjaman perbankan. b) Pasar modal juga memberikan peluang kepada para penanam modal untuk memilih penanaman modal yang sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap risiko. Seandainya tidak ada pasar modal, maka para pemodal mungkin hanya bisa mengpenanaman modalkan dana mereka dalam sektor perbankan—selain alternatif penanaman modal pada real assets. Selain dari hal di atas, masih ada lagi daya tarik berpenanaman modal di pasar modal, yaitu tingkat likuiditas yang tinggi. D. Kegiatan Investasi Langsung Yang Berasal Dari Kegiatan Investasi Tidak Langsung Pembiayaan dari sebuah perusahaan diperoleh dari dua sumber yaitu sumber dari dalam perusahaan (internal) berupa laba dan dari luar perusahaan (eksternal) berupa utang dan penerbitan sekuritas oleh perusahaan. Jika utang melebihi batas maksimum yang diindikasikan dengan tingginya debt to equity ratio (perbandingan antara utang dan modal sendiri), maka biaya modal perusahaan tidak lagi minimum. Akibatnya utang menjadi tidak efektif lagi sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Alternatif lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendapatkan sumber pembiayaan adalah menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda utang (obligasi) dan surat tanda kepemilikan (saham) melalui pasar modal. Sumber pendanaan melalui saham dianggap paling murah sebagai sumber dana karena mempunyai risiko paling kecil dibandingkan sumber lainnya. 1. Kepemilikan Saham Melalui Pasar Modal Investasi tidak langsung pada umumnya merupakan penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar
26
modal dan di pasar uang. Penanaman modal ini disebut sebagai penanaman modal jangka pendek, karena pada umumnya investor melakukan jual beli saham dalam jangka waktu relatif singkat tergantung pada fluktuasi nilai saham dan atau mata uang yang hendak mereka perjualbelikan. 2. Kepemilikan Saham Penuh di Pasar Modal atas Perusahaan yang Melakukan Kegiatan Investasi Langsung. Adapun apabila dari transaksi di pasar modal atau di pasar uang ternyata seorang investor memiliki saham secara penuh pada suatu perusahaan yang melakukan kegiatan investasi secara langsung, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas, investor tersebut dapat menjadi pengendali, dan oleh karenanya memiliki kewenangan secara penuh terhadap operasionalisasi perusahaan yang dibelinya. Dengan demikian, kegiatan investasi tidak langsung dapat menjadi/dikategorikan sebagai kegiatan investasi langsung, karena undang-undang mengenai perusahaan memungkinkan hal tersebut. E. Faktor-Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Untuk Melakukan Kegitan Investasi Dalam melakukan kegiatan investasi, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi investor sebelum menanamkan modalnya, yaitu: 1.
Risiko penanaman modal (country risk) Country Risk merupakan risiko tambahan yang berasal dari karakteristik negara tujuan penanaman modal. Para pakar dan praktisi pada umumnya menggolongkan country risk ke dalam empat sumber risiko: risiko politis, risiko keuangan, risiko transaksi, dan risiko sistem. Risiko politis berkaitan dengan suksesi kepemimpinan yang tak mulus, instabilitas dan kerusuhan, regulasi (seperti nasionalisasi perusahaan), dan semacam itu. Risiko politis, walaupun acap kali bukan risiko yang terbesar, merupakan komponen country risk yang paling ditakuti. Hal ini dikarenakan, risiko politis (termasuk di dalamnya unsur stabilitas
27
politik dan keamanan) seringkali menjadi pertimbangan utama penanam modal dalam menetapkan country risk. Kalau faktor-faktor ini yang memburuk, maka sulit bagi pemerintah untuk memperbaiki citra tersebut. Secara teknis, para ahli (ekonom) umumnya mengukur country risk dengan menghitung standar devisasi keuntungan dari penanaman modal di pasar modal dalam mata uang asing. Penyimpangan standar itu, secara statistik, sebagian besar bersumber dari fluktuasi harga saham. Sebagai ilustrasi, pada 1992 Nomura dengan menggunakan data 1988-1991 pernah menyatakan Indonesia sebagai pasar modal yang memiliki risiko tertinggi (the most volatile market in the word). Pada sisi lain, dalam hal penerapan AFTA, Indonesia saat ini menghadapi tantangan sebagai negara tujuan investasi. Dengan pasar tunggal ASEAN, maka produsen-produsen internasional cukup memilih satu negara di kawasan ini untuk dijadikan basis produksinya dalam mensuplai produknya ke negara-negara ASEAN. Para investor hanya akan memilih sebagai basis produknya adalah negara yang dianggap paling efisien. Indonesia tampaknya masih tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat produksi dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya. 2.
Rentang birokrasi Hambatan penanam modal menanamkan modalnya di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit dan memakan waktu lama. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah diminta memperbaiki iklim penanaman modal yang pro penanam modal. Menurut Institute for Development of Economics and Finance, hambatan penanaman modal di Indonesia adalah tumpang tindihnya peraturan pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah sendiri sebenarnya secara formal telah berupaya merespon keluhan-keluhan para penanam modal tersebut dengan melakukan restrukturisasi dan reorganisasi pada jalur birokrasi yang berkaitan dengan penanaman modal. Pengurusan izin usaha, misalnya, diupayakan dipersingkat hingga cukup beberapa hari saja. Pengurusan ekspor impor juga telah dipermudah pemerintah dengan merestrukturisasi organisasi birokrasi di Ditjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan.
28
3. Transparansi dan kepastian hukum Masalah transparansi dan kepastian hukum adalah modal utama untuk menarik para penanam modal masuk ke suatu negara atau daerah. Pada umumnya para penanam modal negara asing selalu menanyakan tentang iklim politik di Indonesia ataupun faktor-faktor non ekonomi, seperti Pada umumnya para penanam modal negara asing selalu menanyakan tentang iklim politik di Indonesia atau faktor-faktor non ekonomi, seperti jaminan kepastian hukum. Hal ini penting mengingat penanam modal tentunya memerlukan perlindungan berupa payung hukum untuk penanaman modal yang dilakukannya. 4. Alih teknologi Umumnya aspek alih teknologi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penanam modal enggan menanamkan modalnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan, oleh negara berkembang alih teknologi seringkali dijadikan sebagai suatu kewajiban sekaligus persyaratan bagi penanam modal jika ingin menanamkan modalnya. Di Indonesia, persyaratan alih teknologi diatur di dalam pasal 10 ayat 4 yang berbunyi: “Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 5. Jaminan dan perlindungan investasi Sejarah perkembangan perlindungan kegiatan penanaman modal telah berlangsung sejak periode kolonialisme, hingga saat ini, dimana bentuk perlindungan kegiatan penanaman modal telah berkembang, dari menggunakan kekuatan hingga sekarang menggunakan aturan yang dibuat untuk melindungi kegiatan penanaman modal. Dalam hukum internasional, sebuah sengketa penanaman modal dapat muncul dengan pengambilalihan properti secara langsung, atau tindakan tidak langsung yang menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan manajemen atas properti tersebut, yang dilakukan oleh negara penerima. Hukum internasional yang mengatur masalah penanaman modal, pada saat ini kebanyakan
29
diatur oleh soft law, yang tidak memiliki kekuatan mengikat dibandingkan hukum internasional lainnya. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia di dalam penjelasan Pasal 14 huruf a UUPM dijelaskan secara tegas bahwa kepastian perlindungan adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap penanaman modal penanam modal. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga melakukan kerja sama dengan negara lain dengan membentuk perjanjian-perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman modal di tingkat bilateral dan multilateral. 6. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi penanam modal dalam melakukan penanaman modal di suatu negara dikarenakan hal tersebut berkaitan langsung terhadap proses manajerial dan kegiatan produksi perusahaannya. Mengenai hal ini UUPM mengatur masalah ini di dalam satu pasal tersendiri, yaitu pasal 10, yang isinya antara lain mengatur mengenai keutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia dan kebolehan untuk menggunakan tenaga kerja asing. 7. Ketersediaan infrastruktur Ketersediaan infrastruktur dirasakan sangat penting untuk kegiatan usaha. Beberapa daerah telah memahami pentingnya penanaman modal bagi pembangunan perekonomian daerah. Secara umum penanaman modal akan masuk ke suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah tersebut terhadap penanaman modal dan adanya iklim penanaman modal yang kondusif. Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap penanaman modal salah satunya tergantung dari kemampuan daerah dalam merumuskan pengembangan infrastruktur. Sebagai salah satu contoh adalah pentingnya jalan. Jalan merupakan prasarana pengangkut darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang memadai akan meningkatkan usaha pembangunan khususnya dalam memudahkan
30
mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain. Dengan infrastruktur yang memadai, efisiensi yang dicapai oleh dunia usaha akan makin besar dan investasi yang didapat semakin meningkat. Infrastruktur fisik merupakan faktor pendukung bagi kelancaran kegiatan usaha. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik ini sangat berpengaruh bagi kelancaran kegiatan usaha yang terjadi di daerah. Semakin besar skala usaha, maka kebutuhan akan infrastruktur fisik juga semakin besar. Infrastruktur merupakan dasar utama dalam memasarkan daerah. Slogan dan image positioning tidak ada artinya tanpa diikuti oleh tersedianya prasarana dan sarana yang mampu menarik orang, penanaman modal dan modal. Dalam mempromosikan infrastruktur perlu ditekankan pada: •
Aksesbilitas Kemudahan untuk didatangi, mencakup jalan, kereta api, bandara, pelabuhan, transportasi umum dan telekomunikasi.
•
Kualitas infrastruktur Seberapa jauh sumber daya modal, fisik dan prasarana yang mendukung aktivitas ekonomi telah tersedia.
8. Keberadaan sumber daya alam (SDA) Tingkat output dalam pertumbuhan ekonomi yang dipergunakan untuk meningkatkan pendapatan perkapita menurut Adam Smith sangat dipengaruhi oleh komponen: *
Adanya persediaan SDA
*
Adanya jumlah penduduk
*
Adanya persediaan barang dan modal Berdasarkan teori tersebut, telah jelas kiranya jika ketersediaan SDA menjadi salah satu pertimbangan bagi para penanam modal dalam menanamkan modalnya. Hal ini dikarenakan SDA merupakan salah satu komponen penting dalam hal jalannya roda usaha penanam modal, khususnya pada tahapan produksi.
31
9. Akses pasar Peranan penanaman modal dalam pembangunan ekonomi sangat penting karena sebangian besar anggota masyarakat di negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang menggantungkan hidupnya pada penanaman modal. Hal ini berarti, jika para pengambil kebijakan akan berupaya meningkatkan kesejahteraan sebagian besar masyarakat dengan dukungan akses pasar yang terbuka dengan mengupayakan pasar luar negeri yang seluas-luasnya. Jika hal ini dapat dijalankan dengan konsisten oleh Pemerintah Indonesia, maka arus penanaman modal akan datang dengan sendirinya. Akses pasar merupakan faktor penting bagi kegiatan usaha penanam modal dalam memasarkan hasil produksinya. 10. Insentif pajak dan non pajak Insentif pajak penghasilan kepada pihak penanam modal untuk berpenanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau di daerahdaerah tertentu ini diatur dalam pasal 31A ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 tahun 2000. Perlakuan insentif pajak penghasilan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000 sebagaimana diubah melalui Peraturan Pemerintah No. 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Kepada wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk: Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan, Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, dan Pengenaan pajak penghasilan alas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah. Mengingat peranan pajak yang sangat penting dan strategis bagi penerimaan negara, maka kebijakan pemberikan insentif pajak penghasilan harus dilakukan secara hatihati, karena pemberian insentif pajak yang tidak tepat hanya mengurangi penerimaan pajak tanpa adalah kenaikan penanaman modal yang berarti.
32
Namun demikian, pemberikan insentif pajak penghasilan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penanaman modal asing. Dengan kata lain, insentif pajak penghasilan bukan merupakan faktor utama dalam keputusan penanaman modal. Ada faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan penanam modal dalam pengambilan keputusan penanaman modal, seperti kemudahan perizinan, besarnya pasar domestik, akses pasar internasional, infrastruktur, kondisi sosial dan keamanan, dan ketersediaan sumber daya manusia. 11. Mekanisme penyelesaian sengketa Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah Indonesia dengan penanam modal, mekanisme penyelesaian sengketa diatur di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pasal tersebut disebutkan beberapa alternatif penyelesaian sengketa, antara lain musyawarah dan arbitrase (atas kesepakatan para pihak). Selain itu, sejak tahun 1999, Indonesia juga telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam Pasal 3 undang-undang ini dinyatakan secara tegas bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjunjung proses penyelesaian sengketa di luar proses peradilan yang telah ada sebelumnya. Indonesia juga memiliki beberapa lembaga arbitrase yang biasa menangani sengketa-sengketa arbitrase. Salah satu lembaga arbitrase yang dikenal di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa, yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 dan Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States 1965.
33
F.
Investasi Oleh Negara
Penanaman modal adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomik seperti bunga, dividen, dan royalti atau manfaat sosial, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Menurut PSAP (Standar Akuntansi Pemerintahan) Nomor 06, penanaman modal pemerintah terbagi menjadi penanaman modal jangka pendek dan penanaman modal jangka panjang. Penanaman modal jangka panjang sendiri terdiri dari penanaman modal non permanen dan penanaman modal permanen. Bentuk penanaman modal dapat bervariasi, seperti penanaman modal dalam saham, obligasi, dan deposito. Sebagaimana aset lainnya, penanaman modal akan diukur sesuai dengan harga perolehannya. Dalam hal merupakan penanaman modal jangka pendek non-saham (misalnya deposito), penanaman modal tersebut diukur berdasarkan nilai nominalnya. Namun demikian, penilaian terhadap akun ini diperlukan dalam beberapa kondisi, yaitu apabila penanaman modal diperoleh tanpa nilai perolehan atau ketika penanaman modal tersebut tidak mempunyai pasar aktif yang dapat membentuk nilai pasarnya. Dalam keadaan yang terakhir ini, selain menggunakan nilai wajar, pengukuran penanaman modal dapat juga menggunakan nilai nominal atau nilai tercatat (book value). 1.
Investasi surat berharga
Merupakan bentuk penyertaan sementara atau penanaman modal jangka pendek negara dalam rangka memanfaatkan dana yang menganggur (idle fund). Penanaman modal surat berharga dapat dilakukan dengan cara: a.
Investasi Dengan Cara Pembelian Saham Berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2007 diketahui bahwa Pusat Penanaman modal Pemerintah (PIP) sebagai lembaga penanaman modal milik pemerintah, dapat melakukan pembelian saham. Dengan demikian hal ini memungkinkan pemerintah untuk dapat melakukan pembelian saham dan mendapatkan keuntungan atas pembelian tersebut.
b.
Investasi Dengan Cara Pembelian Surat Utang Penanaman modal dengan cara ini umumnya dilakukan pemerintah dengan bentuk pembelian kembali obligasi negara. Hal ini ditujukan
34
untuk meringankan beban pembayaran utang pada tahun-tahun mendatang. Pembelian kembali kali ini dengan cara menukarkan surat utang lama dengan surat utang baru, sehingga jangka waktunya bisa lebih panjang. 2. Investasi langsung Penanaman modal langsung adalah penyertaan modal dan/atau, pemberian pinjaman oleh badan penanaman modal pemerintah untuk membiayai kegiatan usaha. Penanaman modal langsung dapat dilakukan dengan cara: a.
Penyertaan Modal Penyertaan modal merupakan bentuk Penanaman modal Pemerintah pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian Perseroan Terbatas dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas. Salah satu tujuan negara yang hendak diwujudkan oleh negara adalah meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam upaya mewujudkan upaya tersebut Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomian negara melalui Badan Usaha Milik Negara dengan melakukan Penyertaan Modal Negara pada BUMN. BUMN terdiri Perum dan Persero. Penyertaan Modal Negara pada BUMN Persero dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan dana dari APBN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, selanjutnya didasarkan pada mekanisme ketentuan yang berlaku dalam hukum korporasi. Penyertaan modal negara merupakan konsekuensi kepemilikan modal pemerintah pada BUMN.
b.
Pemberian Pinjaman Pemberian Pinjaman adalah bentuk Penanaman modal Pemerintah pada Badan Usaha, Badan Layanan Umum (BLU), Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dengan hak memperoleh pengembalian berupa pokok pinjaman, bunga, dan/atau biaya lainnya. Selain itu, dalam hal Badan Penanaman modal Pemerintah memerlukan likuiditas, penjualan kepemilikan atas Pemberian Pinjaman dapat dilaksanakan setelah dilakukan analisis kelayakan.
35
G. Investasi Oleh Subjek Hukum Bukan Negara Penanaman modal dalam negeri pada dasarnya dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, terkecuali untuk penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum dan berkedudukan di Indonesia. 1.
Orang perorangan Setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun ada pengecualian menurut Pasal 2 KUHPerdata, bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum jika kepentingannya menghendaki, seperti dalam hal kewarisan. Namun, apabila dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan termasuk subjek hukum.
2. Badan hukum Adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum (Teori Kekayaan bertujuan) yaitu: o
Memiliki kekayaan yg terpisah dari kekayaan anggotanya.
o
Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan Hukum terbagi atas dua macam, yaitu badan hukum privat dan badan hukum publik. H. Investasi Asing 1. Bentuk badan usaha Sesuai kebijakan penanaman modal yang tertuang dalam Pasal 5 UUPM, di mana penanaman modal asing melaksanakan aplikasi penanaman modalnya di Indonesia, terlebih dahulu harus
36
membentuk badan hukum seperti yang dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 5 tersebut yang pada prinsipnya menetapkan bahwa penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. 2. Bidang usaha yang tertutup Agar memenuhi prinsip demokrasi ekonomi, UUPM mengamanatkan penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan, termasuk bidang usaha yang harus dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Namun pada dasarnya semua bidang usaha terbuka untuk penanaman modal, pengecualian untuk penanaman modal asing terdapat bidang usaha yang dinyatakan tertutup, yaitu untuk produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 12 UUPM. 3. Fasilitas penanaman modal Pentingnya kepastian fasilitas penanaman modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor. Meskipun demikian, pemberian fasilitas penanaman modal tersebut juga diberikan sebagai upaya mendorong penyerapan tenaga kerja, keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang lebih menguntungkan kepada penanam modal yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan produksi dalam negeri, serta fasilitas terkait dengan lokasi penanaman modal di daerah tertinggal dan di daerah dengan infrastruktur terbatas yang akan diatur lebih terperinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap pemberian fasilitas kepada penanaman modal asing dimana fasilitas sebagaimana disebutkan di atas tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 19 UUPM.
37
4. Perlakuan yang sama Perlakuan yang sama merupakan salah satu asas yang dianut dalam UUPM dalam hal penyelenggaraan kegiatan penanaman modal. Dalam UUPM, yang dimaksud dengan asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. Hal ini dinyatakan di dalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 huruf d. 5. Jangka waktu perizinan Pelayanan penanaman modal terdiri dari pelayanan permohonan persetujuan penanaman modal, permohonan perizinan penanaman modal, dan permohonan fasilitas penanaman modal. Untuk meningkatkan standar pelayanan penanaman modal, BKPM menerapkan mekanisme baru pelayanan perizinan penanaman modal yang tujuan utamanya adalah untuk penyederhanaan prosedur dan mempercepat waktu penyelesaian proses penerbitan perizinan penanaman modal dengan rincian sebagai berikut: a. Pendaftaran penanaman modal baik untuk rencana penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri, dengan layanan 1 hari kerja atau one day service; b. Pelayanan Izin Prinsip Penanaman Modal baik bagi perusahaan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dari semula layanan dalam 10 hari kerja menjadi 2 hari kerja (80% lebih cepat); c. Pelayanan Izin Usaha Penanaman Modal dari semula 10 hari kerja menjadi 7 hari kerja (30% lebih cepat); d. Pelayanan perizinan pelaksanaan penanaman modal dari 5 hari kerja menjadi 4 hari kerja (20% lebih cepat). 6. Divestasi Divestasi merupakan kewajiban bagi perusahaan penanaman modal asing untuk menjual beberapa jenis aset dalam bentuk
38
finansial (saham). Divestasi merupakan kebalikan dari penanaman modal pada aset yang baru. Mengenai kewajiban divestasi itu sendiri umumnya terjadi di sektor pertambangan, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara pada Pasal 112 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setelah lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi sahamnya pada pemerintah pusat, pemda, BUMN, BUMD atau Badan usaha swasta nasional. 7. Hak atas tanah Untuk kepemilikan hak atas tanah, penanaman modal asing dimungkinkan untuk memiliki hak atas tanah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Berdasarkan UU tersebut, penanaman modal asing diperkenankan untuk memiliki hak atas tanah berupa hak guna bangunan dan hak guna usaha, sesuai dengan bidang usaha yang dijalankannya. Kepemilikan hak atas tanah tersebut, dapat pula diperpanjang sesuai kebutuhan dan permintaan penanam modal. I.
Investasi Dalam Negeri 1. Bentuk badan usaha Sesuai kebijakan penanaman modal yang tertuang dalam Pasal 5 UUPM, di mana penanaman modal asing melaksanakan aplikasi penanaman modalnya di Indonesia, terlebih dahulu harus membentuk badan hukum seperti yang dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 5 tersebut yang pada prinsipnya menetapkan bahwa penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Perlindungan terhadap usaha mikro kecil menengah dan koperasi (UMKMK) Di dalam UUPM, negara secara rinci dan eksplisit mengatur mengenai bentuk perlindungan terhadap UMKMK. Hal ini terdapat
39
dalam Pasal 13 UUPM yang menyatakan bahwa Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat khusus. Selain itu, di dalam penjelasan pasal yang sama, dinyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan “bidang usaha yang dicadangkan” adalah bidang usaha yang khusus diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi agar mampu dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. 3. Fasilitas penanaman modal Fasilitas penanaman modal diberikan kepada penanaman modal asing dengan mempertimbangkan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan negara lain. Pentingnya kepastian fasilitas penanaman modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor.
40
BAB III PERMASALAHAN DALAM KEGIATAN INVESTASI
A. Faktor-Faktor Yang Menghambat Kegiatan Investasi Terdapat beberapa faktor penentu untuk dilakukannya penanaman modal, yaitu penanaman modal memberikan revenue tambahan kepada perusahaan melalui penjualan produknya secara lebih besar, suku bunga merupakan harga atau biaya yang harus dibayar dalam meminjamkan uang untuk suatu periode tertentu dan ekspekstasi keuntungan. Dengan demikian para penanam modal melakukan penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan atas penanaman modal yang dilakukan. Pertimbangan tersebut adalah sepenuhnya merupakan pertimbanganpertimbangan penanaman modal yang terkait secara langsung dengan faktor-faktor ekonomi. Perlu juga diperhatikan bahwa iklim investasi di Indonesia akan menjadi kurang menarik apabila layanan kepada pelaku usaha tidak diperbaiki. Termasuk dalam layanan kepada publik adalah birokrasi yang efektif. Dengan penerapan good governance maka prasyarat ini akan mendorong iklim investasi. Agar dapat mengakomodir kepentingan para penanam modal, maka pemerintah perlu menghilangkan ataupun meminimalisir hambatan-hambatan kegiatan penanaman modal. Berikut merupakan beberapa hambatan dalam kegiatan penanaman modal: 1.
Masalah keamanan dan kepastian hukum Iklim penanaman modal di Indonesia saat ini dinilai tak kunjung membaik secara signifikan, terutama yang terkait masalah keamanan, kepastian hukum, dan aturan yang tumpang tindih. Itu semua membuat risiko penanaman modal dan berbisnis menjadi tinggi. Penanaman modal sangat penting untuk menggerakkan perekonomian nasional sekaligus daerah yang pada gilirannya akan mampu menciptakan
41
kesejahteraan bangsa. Otonomi daerah menjadi momentum berharga untuk membuktikan diri bahwa daerah memiliki kemampuan tangguh dalam mengelola potensi ekonominya. Kunci keberhasilan dalam menarik penanam modal adalah adanya kepastian hukum. Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih belum terbenahi dengan baik. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum di daerah, dan pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya penanaman modal di daerah. Selain itu, konsepsi Ketahanan Nasional dengan mengutamakan keseimbangan antara pengaturan dan penyelenggaraan keamanan di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di lain pihak juga masih terabaikan. 2. Masalah ketidakpastian dalam interpretasi dan implementasi otonomi daerah Otonomi daerah pada hakikatnya penyerahan hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan utama kebijakan otonomi daerah ialah mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat agar dapat lebih cepat, efektif, dan efisien dalam melakukan aktivitas ekonominya. Namun, pelaksanaan otonomi daerah telah banyak menimbulkan ekses negatif. Kecenderungan orientasi pemerintah daerah untuk memperoleh keuntungan jangka pendek dan sikap yang melihat penanam modal sebagai sumber penghasilan daerah menyulitkan perkembangan penanaman modal. Dalam beberapa kasus di berbagai daerah, ada kecenderungan untuk meningkatkan pungutan secara berlebihan. Secara umum, kondisi ini sedikit banyak membawa implikasi pada iklim penanaman modal di daerah. Kalangan pengusaha menilai pungutan di daerah semakin tinggi seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sehingga mengurangi minat penanaman modal di daerah yang berdampak pada penyebaran penanaman modal yang tidak merata. 3.
Masalah ketenagakerjaan Dalam situasi ekonomi saat ini, untuk masalah ketenagakerjaan, peran pemerintah sebagai regulator belum dapat menciptakan solusi
42
yang bersifat win-win solution. Masalah ketenagakerjaan terjebak dalam situasi keberpihakan, antara pekerja dengan pengusaha. Sehingga tercipta kesan seolah-olah kepentingan antara pekerja dan pengusaha saling bertolak belakang, padahal yang seharusnya diciptakan oleh pemerintah adalah situasi yang bersifat simbiosis. Pekerja butuh penghasilan yang mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pengusaha butuh penghasilan untuk menjaga eksistensinya atau pertumbuhan usahanya. Oleh karena itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan sebaiknya direvisi untuk merangsang penanaman modal asing di Indonesia. Tidak tersedianya sumber daya manusia yang memadai baik secara kualitatif maupun kuantitatif untuk memenuhi kebutuhan industri juga turut berperan dalam mengurangi daya tarik kita untuk berpenanaman modal. Akumulasi dari berbagai faktor di atas telah menyebabkan semakin merosot dan rendahnya peringkat daya tarik penanaman modal Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya. 4. Masalah birokrasi Pemerintah yang sejak awal sudah menyadari penurunan pertumbuhan ekonomi ini, mencoba melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan aliran penanaman modal untuk menghindari pembusukan ekonomi. Upaya-upaya itu tidak hanya dilakukan untuk merangsang penanaman modal dari luar negeri, tetapi juga penanaman modal dari dalam negeri. Rendahnya daya saing Indonesia dalam menarik penanaman modal asing, diukur dari berbagai faktor. Komponen-komponen yang disurvei Bank Dunia dan IFC tersebut, di antaranya pengurusan ekspor impor, izin usaha, penyelesaian perkara, biaya PHK, indeks transparansi kebijakan pemerintah, indeks intensitas kompetisi lokal, dan beban pajak. Indikator dari keseluruhan komponen ini menunjukkan iklim berpenanaman modal di Indonesia yang buruk. Para penanam modal selalu mengeluhkan pengurusan ekspor impor yang sangat lama. Pengurusan izin usaha oleh para penanam modal juga sangat lama, berbelit-belit, dan mahal.
43
5. Masih tingginya korupsi kolusi nepotisme (KKN) Kendala utama adalah KKN. Budaya KKN aparat pemerintah di Indonesia sungguh sangat mengganggu jalannya langkah para penanam modal asing. Wajar, karena Indonesia memang tidak pernah keluar dari predikat negara-negara terkorup di dunia. Bukan cerita asing lagi, kalau perusahaan-perusahaan asing yang beraktivitas di Indonesia, harus siap dikenakan pungutan liar preman-preman aparat pemerintah dari level bawah sampai pejabat-pejabat berdasi. Dan mereka hanya bisa pasrah serta mulut harus dikunci terkecuali, sudah punya komitmen untuk gulung tikar. Hal ini menunjukkan betapa carut-marutnya praktik korupsi di Indonesia ini. 6.
Rendahnya jaminan dan perlindungan penanaman modal Meskipun Indonesia telah menandatangani serta meratifikasi berbagai perjanjian internasional, baik multilateral maupun bilateral, mengenai perlindungan dan promosi penanaman modal, namun dengan situasi yang berkembang seperti saat ini tetap saja para penanam modal merasa tidak secured, karena dalam kenyataannya masih saja terjadi tindakan-tindakan seperti penjarahan, pengambilalihan secara melawan hukum terhadap aset-aset penanam modal tanpa dapat dicegah oleh Pemerintah.
7.
Masalah koordinasi kelembagaan Selama ini masalah koordinasi antar departemen teknis maupun sektoral masih sangat lemah. Hal itu, dikhawatirkan akan mengurangi upaya pemerintah meningkatkan penanaman modal. Dunia usaha menilai koordinasi antardepartemen dan instansi masih sangat lambat untuk melaksanakan setiap ketentuan baru di bidang penanaman modal. Padahal, Timnas PEPI tidak bisa melaksanakan sendiri setiap kebijakan yang dibuatnya, tanpa dukungan departemen dan instansi terkait. Kurangnya koordinasi juga terlihat tidak hanya di antara sesama instansi Pemerintah Pusat, tetapi juga antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah serta antar pemerintah daerah. Dalam praktiknya, Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit, membutuhkan waktu cukup lama dan disertai
44
dengan biaya tambahan tidak resmi yang cukup besar. Persoalan ini muncul akibat tidak adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Keadaan ini disebabkan tidak adanya penjelasan lebih lanjut secara teknis dalam peraturan tentang Pemerintahan Daerah, termasuk soal pelaksanaan penanaman modal daerah yang berakibat tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Tanpa suatu panduan yang jelas, pemerintah daerah dapat menafsirkan berbeda dengan pemerintah pusat mengenai wewenang dalam pengurusan penanaman modal di daerah. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan oleh BKPM (pemerintah pusat) dan BKPMD (pemerintah daerah). Namun setelah berlakunya otonomi daerah, terjadi ketidakjelasan mengenai pengurusan izin usaha/investasi dan bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik antara kegiatan BKPMD dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah lainnya yang menangani kegiatan investasi. 8.
Masalah pertanahan Selama ini, yang menjadi ganjalan bagi penanam modal untuk melakukan penanaman modal di sektor infrastruktur adalah masalah pertanahan. Dia menyebut, masalah pertanahan ini terkait dengan tata ruang daerah yang masih berbenturan dengan pusat. Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi masyarakat negara kita semakin lama semakin jauh dari basis produksinya. Adanya politik penanaman modal secara besar-besaran, maka dibutuhkan lahan yang luas. Kondisi inilah yang memicu terjadinya pergolakan-pergolakan serta masalahmasalah yang menyangkut dengan pertanahan. Tidak jarang kita temukan masyarakat selalu berkonflik dengan perusahaan-perusahaan atau dengan instansi pemerintah lainnya dalam perkara penguasaan tanah.
9.
Masalah infrastruktur yang kurang memadai Keterbatasan infrastruktur masih menjadi hambatan bagi masuknya penanaman modal ke daerah. Hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah menunjukkan sebagian besar pelaku usaha mengeluhkan terbatasnya infrastruktur, terutama jalan raya
45
dan pasokan listrik, bagi pengembangan usaha mereka di daerah. Pemerintah daerah bersama-sama pemerintah pusat perlu segera membenahi permasalahan tersebut jika ingin mengundang penanaman modal yang digadang-gadang bakal menjadi penopang pembangunan. Khusus masalah infrastruktur, Agung menilai pemerintah perlu mencari cara untuk menuntaskan masalah tata ruang, pembiayaan, dan tata kelola pemerintahan daerah. Sebagian besar pemerintah daerah saat ini belum memiliki ketentuan tata ruang sehingga banyak rencana proyek pembangunan yang terhambat proses pembebasan lahan. Koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan sumber pembiayaan juga dinilai masih kurang. Jika hal itu tidak dibenahi pembangunan infrastruktur masih akan sulit dilakukan. 10. Masalah perizinan Menurut Rustiani (2008), beberapa masalah dalam perizinan di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, kebijakan yang tumpang tindih dan kurang konsisten menyebabkan ketidakpastian berusaha. Peraturan yang terlalu banyak dan inkonsistensi yang terjadi sering kali menimbulkan tidak adanya kepastian hukum, selain beban biaya, sehingga tindakan dan prediksi rasional yang sangat menentukan keuntungan melakukan suatu bisnis menjadi sulit untuk dilakukan. Kedua, kelembagaan, terlalu banyak lembaga yang terlibat tanpa disertai dengan koordinasi yang memadai yang akhirnya menyebabkan birokrasi yang tidak efisien. Ketiga, korupsi yang secara langsung menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Menurunnya iklim penanaman modal di Indonesia membuat pemerintah perlu melakukan renovasi sistem perizinan. Penanaman modal yang masih bersifat desentralisasi. Saat ini untuk masalah yang terkait dengan perizinan penanaman modal masih ditangani pusat. Guna memangkas prosedural agar penanaman modal lebih mudah mengurus masalah perizinan, pemerintah pusat perlu mengalihkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Hal ini merupakan upaya mempermudah kepengurusan masalah perizinan penanaman modal.
46
B . Faktor-Faktor Yang Memperkuat Kegiatan Investasi Untuk menarik modal asing dibutuhkan adanya kesempatan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedia bahan baku, tersedia lokasinya untuk mendirikan pabrik yang cukup, tersedianya tenaga kerja yang murah dan tersedianya pasar yang prospektif. Ditinjau dari aspek ekonomi, Indonesia secara umum masih memiliki keunggulan alamiah dan komparatif, seperti, pertama, negeri yang sangat luas dengan diberkahi kelimpahan kekayaan alam. Sumber daya alam Indonesia masih cukup banyak. Kedua, jumlah penduduk sangat besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah. Berikut diuraikan secara lebih spesifik beberapa faktor yang dapat meningkatkan daya saing Indonesia sebagai Negara tujuan investasi: 1.
Sumber daya alam yang melimpah Di tengah krisis global yang masih menyelimuti dunia, prospek penanaman modal di Indonesia dinilai masih cukup baik, meski demikian beberapa langkah inovatif diperlukan untuk dapat mempertahankan sekaligus meningkatkan peringkat daya saing tersebut. Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan dan untuk menutupi kekurangan tersebut pemerintah Indonesia disarankan agar meningkatkan penciptaan lapangan kerja, mengurangi ekspor hasil sumber daya alam yang belum diolah (raw material) dan penanaman modal tidak hanya dalam bentuk uang dapat pula dalam bentuk lain seperti, teknologi dan inovasi teknologi.
2.
Letak geografis yang strategis Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Negara ini juga memiliki posisi geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua sekaligus memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional. Posisi ini menempatkan Indonesia berbatasan laut dan darat secara langsung dengan sepuluh negara di kawasan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki karakteristik geopolitik yang khas dengan bentang luas dan letak geografis yang strategis dari Sabang sampai Merauke.
47
Dengan kondisi geografi yang demikian, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan potensi geografis yang ada. 3.
Pasar yang potensial (jumlah penduduk besar) Indonesia merupakan pasar potensial dengan jumlah penduduk 270 juta yang akan terus maju setelah India. Krisis finansial global beberapa waktu lalu dinilai tidak terlalu mempengaruhi prospek penanaman modal dan tidak menyurutkan produktivitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Krisis global yang berdampak langsung di Amerika Serikat (AS) tidak terlalu berdampak bagi Indonesia. Hal ini karena terdapat perbedaan secara potensi ekonomi. Indonesia mengandalkan aktivitas perekonomian domestik yang lebih besar. Stabilitas makro ekonomi Indonesia memang tergolong cukup mapan. Ancaman inflasi tinggi memang masih menjadi persoalan,tetapi karena fenomena ini berlaku universal maka penanam modal asing tidak terlalu khawatir dengan proyeksi tingkat inflasi Indonesia yang akan mencapai 2 digit tahun ini. Berdasarkan fakta tersebut diatas, Indonesia Masih menjadi pasar potensial bagi penanam modal asing karena gain yang besar jika dibandingkan pasar Asia lainnya. Selain itu, memang di dunia beredar anjuran dari berbagai institusi internasional bahwa akan lebih baik bagi para penanam modal menaruh dananya di surat utang pemerintah atau surat utang negara (SUN).
4.
Jumlah tenaga kerja yang banyak Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta. Dengan melimpahnya jumlah SDM yang ada di Indonesia, diharapkan masuknya arus penanaman modal dapat memberikan kesempatan kerja bagi angkatan kerja di Indonesia. Di sisi lain, penanam modal tidak dipusingkan untuk mendapatkan tenaga kerja dengan upah murah.
48
Berkaitan dengan keungulan komparatif Indonesia di bidang tenaga kerja diakui para investor Jepang. Investor Jepang cenderung melakukan alih teknologi dan pelatihan sumber daya manusia (SDM) dibandingkan membuka proyek baru di Indonesia. Jepang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia untuk keluar dari krisis melalui alih teknologi pada industri yang sudah ada, karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif di bidang tenaga kerja.30 Investor Jepang menilai krisis ekonomi yang menimpa Indonesia justru memberikan peluang untuk investasi. Negara yang sedang dilanda krisis, dipastikan akan memberi kemudahan-kemudahan kepada investor untuk menanamkan modalnya dan membangun proyek baru. Investor Jepang akan memfokuskan pada kegiatan alih teknologi dan pelatihan SDM. Sesuatu yang wajar jika investor menuntut jaminan keamanan, kemudahan, dan infrastruktur.31 5. Kondisi cuaca yang ramah Kondisi iklim cuaca di Indonesia yang ramah, menjadi salah satu faktor penarik bagi penanam modal untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia adalah negara dengan iklim tropis yang hanya memiliki 2 (dua) musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Dengan kondisi iklim yang seperti ini, tentunya tidak akan banyak menghambat penanam modal dalam kegiatan usahanya. 6. Sistem devisa terbuka Saat kondisi stabilitas politik dan keamanan kurang terjaga dan kepastian berusaha dan hukum yang kurang baik sekarang ini, sistem devisa bebas tidak begitu terasa manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan bangsa. Sistem ini justru mengakibatkan volatilitas nilai tukar rupiah, arus modal masuk dan keluar yang bersifat spekulatif dan merugikan serta kerentanan pasar karena faktor-faktor sentimen yang mengganggu kepastian berusaha dan harga-harga. Namun demikian, hal ini juga menguntungkan para penanam modal dalam berusaha khususnya dalam hal pasar modal, karena volatilitas nilai tukar mata uang dapat menjadi lebih fleksibel yang dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi penanam modal. 31 32
Ibid. IBR. Supancana, Perlindungan Terhadap Investasi di Bidang Pengangkutan dalam Era Globalisasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2006.
49
C. Jaminan dan Perlindungan Investasi Investor asing akan mempercayakan penanaman modalnya di suatu negara apabila terdapat perlindungan dan jaminan penanaman modal oleh tuan rumahnya. Dari sisi kebijakan, hukum dan peraturan yang berlaku, bentuk jaminan dan perlindungan penanaman modal sudah cukup memadai. Hal ini ditunjukkan oleh adanya bentuk jaminan dan perlindungan yang bersumber pada perjanjian baik bilateral maupun multilateral tentang promosi dan perlinduangan penanaman modal. 1. Jaminan pemerintah atas kerugian yang mungkin timbul Salah satu kebijakan konkret terkait investasi di bidang infrastruktur, pemerintah menempatkan dana penjaminan dalam suatu rekening khusus yang akan menampung dana-dana yang terkait dengan pengembangan infrastruktur. Rekening ini akan dikelola oleh Ditjen Perbendaharaan Negara. Pada tahun 2006 Kepala Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerja sama Internasional (Bapekki) Departemen Keuangan telah merekomendasikan tujuh proyek jalan tol yang dapat memperoleh penjaminan kepada Menteri Keuangan. Dana yang tersimpan dalam rekening tersebut terpisah dari alokasi anggaran infrastruktur yang ditetapkan untuk kementrian dan lembaga. Kondisi itu disebabkan karena rekening tersebut akan difungsikan juga sebagai penampung dana pihak ketiga yang bekerja sama dengan pemerintah dalam membangun proyek infrastruktur. Penggunaan dana itu bisa bersifat belanja atau penyertaan.32 Salah satu bentuk jaminan dan perlindungan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam UU Penanaman Modal adalah di mana Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan investor.33 2. Jaminan dalam pengadaan tanah Salah satu permasalahan dalam tahapan implementasi penanaman modal adalah masalah pertanahan. Terkait kegiatan investasi, kebijakan di bidang pertanahan kurang memberikan kemudahan kepada inves33
Pasal 7 ayat (2) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
50
tor, namun berdasarkan UU Penanaman Modal yang baru telah ditetapkan bahwa pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan investor.34 3. Jaminan percepatan pelayanan administratif (pasal 26) Sebagai upaya untuk meminimalkan high cost economy yang selama ini dikeluhkan oleh investor, pemerintah telah menetapkan kebijakan pelayanan terpadu satu pintu bagi kegiatan investasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Kebijakan ini tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.35 4. Jaminan kepastian hukum Isu kepastian hukum yang sangat besar pengaruhnya terhadap iklim investasi di Indonesia, telah menjadi bagian perhatian dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai jaminan kepastian hukum bagi kegiatan investasi, dalam UU No. 25 Tahun 2007, secara khusus pada Bab IX ditetapkan mengenai hak, kewajiban dan tanggung jawab investor dalam melaksanakan kegiatan investasi di Indonesia.36 5. Jaminan atas kerusuhan, pengambilan aset, nasionalisasi, repatriasi modal, dan penarikan keuntungan Maraknya kerusuhan serta berbagai tindakan lainnya terhadap aset investor yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu, telah dijadikan 34
35
36
Untuk uraian selengkapnya, baca Pasal 22 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah memberiakan kemudahan pelayanan kepada investor terkait perijzinan Hak Atas tanah diantaranya HGU, HGB dan Hak Pakai, termasuk perpanjangan jangka waktu terhadap kegiatan investasi dengan kriteriakriteria tertentu. Ibid, Pasal 26, Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. Bab ini menguraikan secara lengkap tentang hak investor diantaranya menyangkut perlindungan, kepastian hak, hukum, pelayanan, informasi yang terbuka serta fasilitas yang dapat diperoleh. Disamping itu, terhadap investor diwajibkan untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, melaksanakan CSR, membuat laporan kepada BKPM, menghormati tradisi budaya masyarakat setempat dan mematuhi aturan yang berlaku. Adapun tanggung jawab investor adalah menjamin ketersediaan modal, menanggung segala kerugian apabila dilakukan penghentian kegiatan investasi, menjaga kelestarian lingkungan hidup,....dll
51
acuan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan khususnya menyangkut jaminan dan perlindungan terhadap aset dan pemenuhan hak-hak investor yang melakukan kegiatan investasi di Indonesia. Kabijakan tersebut tercermin dalam UU No. 25 Tahun 2007 diantaranya menyangkut: a. Jaminan pemerintah untuk tidak melakukan tindakan nasionalisasi.37 b. Hak pengalihan aset oleh investor.38 c. Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing.39 D. Insentif Bagi Kegiatan Investasi Pada prinsipnya, fasilitas dan insentif diberikan kepada penanam modal yang penanaman modalnya sudah berjalan dan melakukan perluasan, selain penanam modal baru. Adapun bentuk pemberian insentif yang ada adalah: 1.
Insentif di bidang perpajakan Pemerintah saat ini telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 62/2008 untuk menggantikan PP 1/2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu. Dengan terbitnya PP tersebut, jumlah bidang usaha dan daerah lokasi penanaman modal yang dapat memperoleh fasilitas pajak penghasilan bertambah. Dari semula, 15 bidang usaha dan 9 bidang usaha di daerah tertentu pada PP 1/2007 menjadi 23 bidang usaha dan 15 bidang usaha di daerah tertentu. Fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan adalah dalam bentuk pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 tahun masing-masing sebesar 5 persen per tahun. Kemudian, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10 persen, Kompensasi kerugian
37
ibid, Pasal 7 ibid, Pasal 8 ayat (1) 39 ibid, Pasal 8 ayat (3), transfer dan repatriasi dapat dilakukan terhadap modal, keuntungan, bunga bank, dividen, penambahan dana untuk investasi, kompensasi atas kerugian, kompensasi atas pengambilalihan, hasil penjualan aset, dll 38
52
yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Peraturan ini akan dievaluasi dalam waktu paling lama dua tahun. Peraturan itu juga menetapkan bahwa wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang usaha industri semen yang melakukan rekonstruksi akibat bencana tsunami dapat memperoleh fasilitas sejak tanggal 1 Januari 2005. Selain itu, penerbitan PP 62/2008 itu merupakan salah satu dari rangkaian kebijakan yang tertuang dalam Inpres 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 untuk memperbaiki iklim penanaman modal dan meningkatkan daya saing nasional. 2. Insentif non pajak Selain insentif dalam bidang pajak, insentif lain yang dapat diberikan oleh pemerintah yaitu dalam bentuk insentif non pajak seperti perizinan, kepastian hukum, keamanan, stabilitas moneter, inflasi yang stabil, adanya sumber daya alam yang memadai, pelayanan perbankan dan keuangan yang kondusif. Faktor-faktor ini sebenarnya yang lebih menjadi perangsang. Selain itu juga masalah pertanahan, hak guna usaha atau hak pakai, hak usaha, keluar masuk devisa yang tidak terlalu ketat, perizinan tenaga kerja asing, pembebasan bea masuk barang modal, dan faktorfaktor non pajak lainnya. Faktor-faktor non pajak seperti yang disebutkan di atas merupakan jenis insentif yang juga dapat menarik penanam modal untuk menanamkan modalnya. Terlebih lagi apabila insentif yang diberikan yaitu berupa paket insentif sehingga manfaat yang dirasakan oleh penanam modal akan semakin bertambah. E. Perjanjian Investasi Adapun bentuk-bentuk perjanjian penanaman modal antara lain: 1. Perjanjian multilateral Perjanjian multilateral pertama yang berhasil dibuat adalah the Convention on the Establishment of an International Centre for the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (ICSID). Konvensi ini
53
berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966. ICSID mengatur prosedur penyelesaian sengketa penanaman modal. ICSID juga memiliki suatu daftar nama-nama orang yang berkualitas sebagai konsiliator atau arbitrator yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian multilateral kedua yang dibuat oleh Bank Dunia adalah the Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi ini berlaku pada tanggal 12 April 1988. Tujuan utama dari lembaga MIGA ini adalah untuk memberikan jaminan kepada penanam modal terhadap risiko non ekonomis khususnya di negara sedang berkembang. Di samping itu, MIGA berperan dalam menggalakkan aliran penanaman modal untuk tujuan-tujuan produktif ke negara-negara sedang berkembang. Pada pokoknya Konvensi MIGA tidak mengatur hal-hal pokok mengenai standar perlakuan dari suatu PMA. Ia hanya menyatakan bahwa di dalam menjamin penanaman modal, MIGA harus berkeyakinan bahwa kondisi-kondisi penanaman modal di negara tuan rumah telah tersedia, termasuk tersedianya perlakuan yang fair dan equitable serta perlindungan hukum bagi penanaman modal. 2. Perjanjian regional Saat ini terdapat berbagai organisasi regional dengan berbagai bentuk perjanjian regional di bidang penanaman modal. Organisasiorganisasi ini berupaya membentuk suatu hukum perjanjian di bidang ini. Upaya-upaya tersebut menyebabkan dan menunjukkan bahwa adanya persamaan pandangan dari negara-negara yang berada di suatu kawasan mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi dan keadaan-keadaan khusus di setiap negara. Integrasi ekonomi regional melalui perjanjian-perjanjian yang ada memberikan banyak peluang dan tantangan bagi bisnis internasional. Dalam hal ini terjadi peningkatan penguatan blokblok perdagangan. Negara-negara berupaya mengintegrasikan perekonomiannya secara kolektif guna membuka pasar baru bagi perusahaan mereka.
54
3. Perjanjian bilateral Dalam suatu pengamatannya, UNCTAD berpendapat bahwa pada waktu tahun-tahun permulaan Perang Dunia II, negaranegara sebenarnya belum siap untuk mengadopsi aturan-aturan hukum internasional untuk mengatur kebijakan penanaman modalnya. Karena itu pula negara-negara, terutama negara maju, mengambil kebijakan untuk mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lainnya di bidang penanaman modal ini. Waktu itu perjanjian demikian dikenal sebagai the Friendship, Commerce and Navigation (FCN) treaties. Perjanjian seperti ini biasanya mengatur hal-hal yang cukup luas. Termasuk di dalamnya adalah hak warga negara dari masing-masing negara dan perlindungan harta miliknya di luar negeri. Prinsip lainnya yang terkait adalah perlakuan nasional dan perlakuan MFN, pelayaran dan masalah jurisdiksi masing-masing negara. Ketentuan yang luas ini sebagaimana termuat dalam perjanjian FCN ternyata tidak memuaskan para penanam modal dan negara penerima. Mereka berpendapat bahwa perlu adanya peraturan yang khusus untuk mengatur masalah penanaman modal. Pandangan seperti ini kemudian melahirkan suatu bentuk perjanjian baru yang khusus di bidang penanaman modal yaitu perjanjian penanaman modal bilateral (the bilateral investment treaty atau BIT). Dalam perkembangannya kemudian, negara-negara telah menggunakan perjanjian seperti BIT ini sebagai salah satu upaya untuk mengadakan perjanjian dengan negara lainnya. Tujuan utama dari perjanjian bilateral seperti itu adalah untuk memastikan bahwa harta milik para penanam modal tidak akan diambil alih tanpa adanya ganti rugi yang sifatnya Prompt, Adequate and Effective. Perjanjian seperti ini juga mengandung ketentuan mengenai perlakuan non-diskriminatif, peralihan dana, dan prosedur penyelesaian sengketanya manakala sengketa timbul antara penanam modal dengan negara tuan rumah.
55
F.
Kontrak Investasi 1. Letter of intent Naskah/surat pernyataan bersama (letter of intent) adalah surat dari suatu pihak kepada pihak lainnya yang memuat mengenai keinginan dan kemampuan untuk melakukan bisnis. Suatu letter of intent umumnya memuat pengakuan atas fakta bahwa suatu merger antar perusahaan atau suatu akuisisi akan dilakukan secara serius. 2. Memorandum of understanding Nota Kesepahaman merupakan dokumen yang mengekspresikan persetujuan bersama mengenai suatu isu antara dua atau lebih pihak. Nota kesepahaman umumnya dianggap mengikat, walaupun tidak ada klaim hukum yang dapat didasarkan pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalamnya. 3. Basic cooperation agreement Perjanjian dasar yang bersifat umum antara dua pihak atau lebih mengenai suatu bentuk kerja sama usaha atau bisnis. 4. Joint operation agreement Merupakan salah satu alternatif kerja sama antara dua atau lebih kontraktor untuk mengatasi berbagai kendala operasi pelaksanaan pekerjaan. 5. Joint venture agreement Suatu perjanjian usaha kerja sama yang dilakukan antara penanam modal asing dengan penanam modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian atau kontrak (kontraktual), di mana tidak terjadi pembentukan suatu badan hukum baru. 6. Shareholders agreement Perjanjian antara pemilik saham dari suatu perusahaan yang memuat mengenai kewajiban, keistimewaan, perlindungan, dan hak-hak, serta umumnya juga berisikan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga perusahaan.
56
7. Agency agreement Perjanjian terbatas (meliputi barang, jasa, pasar dan wilayah) antara pihak utama (dalam perjanjian) dengan agen dalam suatu asosiasi dimana tiap pihak tidak diperkenankan untuk membentuk kesepakatan sejenis dengan kompetitor lain (untuk jangka waktu tertentu). 8. Loan agreement Dokumen formal yang membuktikan adanya suatu utang. Hal tersebut juga termasuk persetujuan positif maupun negatif, tipe dan nilai perjanjian jaminan, garansi, persyaratan pelaporan keuangan, tingkat bunga yang aplikatif dan biaya-biaya, dan bagaimana pinjaman dibayarkan dan jangka waktunya. 9. Technical assistance agreement Suatu bentuk kerja sama yang dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang berkaitan dengan skill atau cara kerja (method). 10. Management assistance agreement Suatu bentuk usaha kerja sama antara pihak modal asing dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khususnya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. 11. Production sharing contract Perjanjian kerja yang dilakukan antara pemilik usaha sebagai salah satu pihaknya dengan pengelola usaha di pihak yang lainnya yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak serta pembagian keuntungan dari usaha yang dijalankan. G. Risiko Investasi 1. Stabilitas politik dan keamanan Investor mau datang ke suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor political stability (stabilitas politik). Terjadinya konflik elit politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam modal asing akan datang dan
57
mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional. Memburuknya iklim investasi, meningkatnya country risk dan belum mantapnya kondisi sosial politik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadup arus modal. Kondisi semacam inilah yang terjadi dalam perkembangan politik di Indonesia. Akibatnya terjadilah pelarian arus modal yang sempat memuncak dan disebutkan pernah mencapai 40 miliar dollar AS dalam beberapa bulan setelah krisis finansial tahun 1997.40 akibat lain, sampai saat ini Indonesia tidak termasuk negara favorit untuk berinvestasi.41 Dari hasil pemeringkatan yang disusun oleh perusahaan AT Kearney tahun 2001. Indonesia tidak termasuk dalam 25 negara favorit tujuan investasi, sementara China menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat. Banyak bukti yang menunjukkan adanya korelasi yang erat antara stabilitas keamanan dengan meningkatnya investasi. Misalnya, Jepang merupakan salah satu negara dengan investasi terbesar di Indonesia. Saat ini investasi Jepang di Indonesia sekitar 11 miliar dollar AS dengan sekitar 900 perusahaan dan menyerap tenaga kerja 282 ribu orang. Tetapi lima tahun terakhir perusahaan-perusahaan Jepang tidak lagi melakukan investasi baru karena berbagai alasan, salah satunya adalah kondisi keamanan Indonesia yang sering bergejolak. Bahkan, maraknya kasus sweeping yang dilakukan oleh beberapa organisasi masyarakat dan organisasi keagamanan beberapa waktu belakangan ini, semakin mencitrakan Indonesia sebagai negara dengan stabilitas keamanan dan ketertiban yang rapuh. Semakin menurunnya minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia pasca terjadinya kasus peledakan bom dan aksi anarkis massa di beberapa daerah, semakin menyadarkan kita bahwa betapa kuatnya kaitan antara faktor keamanan dan penegakan hukum dengan kegiatan investasi. 40
41
Adig Suwandi, Pelarian Modal, Mengapa Terjadi?, Artikel Kompas, Rabu 26 Desember 2001, hlm. 4-5. Ibid.
58
2. Kebijakan pemerintah Tingginya angka defisit dalam anggaran pemerintah disebabkan karena total penerimaan pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan total belanja negara. Untuk dapat mencapai tingkat petumbuhan ekonomi yang dinginkan maka kebijakan pemerintah untuk menstimulasi perekonomian nasional melalui alokasi anggaran pemerintah untuk meningkatnya pengeluaran pembangunannya sebagai manifestasi dari investasi yang dilakukan pemerintah. Dalam konteks ini maka kebutuhan investasi yang akan dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak dapat dipenuhi dari jumlah tabungan pemerintah yang merupakan selisih dari penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin pemerintah. Selisih (gap) antara kebutuhan investasi pemerintah dengan tabungan yang dimilikinya inilah yang kemudian ditutup melalui pembiayaan yang berasal dari luar negeri dalam bentuk utang luar negeri. Dalam konteks awal pembangunan, komponen utang luar negeri diposisikan sebagai “pelengkap” yang diharapkan dapat menambah “energi” pemerintah untuk menstimulasi perekonomian nasional melalui APBN. Tetapi dalam perjalanannya komponen utang luar negeri justru mendominasi hampir seluruh pengeluaran pembangunan pemerintah sehingga menimbulkan tingkat ketergantungan yang tinggi pada utang luar negeri. Tidak ada tahun anggaran yang terlewatkan tanpa utang luar negeri. Implikasinya, sebagian besar pengeluaran rutin pemerintah tersedot untuk pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri sehingga mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi. Penurunan investasi pemerintah tersebut akan berdampak pada menurunnya total investasi nasional sehingga secara simultan juga akan mengurangi tabungan masyarakat melalui penurunan output nasional (POB). 3. Ekonomi Untuk menarik modal asing dibutuhkan adanya kesempatan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedia bahan baku, tersedia lokasinya untuk mendirikan pabrik yang cukup, tersedianya tenaga kerja yang murah dan tersedianya
59
pasar yang prospektif. Dengan melihat beberapa potensi sebagaimana telah diurai diatas, sebenarnya Indonesia masih menjadi tempat tujuan penanaman modal yang menarik bagi investor asing meskipun penegakan keamanan dan kepastian hukum masih dipertanyakan banyak pihak.42 Selain potensi-potensi ini, International Moneter Fund (IMF) memperkirakan ekonomi Indonesia bakal mengalami booming seperti negara Asia lainnya. Syaratnya, pemerintah harus serius dalam melanjutkan reformasi dan bisa meyakinkan pasar.43 Deputi Direktur IMF Anoop Singh menyatakan, dengan dilaksanakannya kebijaksanaan secara konsisten, kepercayaan pasar akan pulih dan Indonesia pasti akan memenuhi sasaran pertumbuhan. Langkahlangkah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi adalah dengan melaksanakan reformasi struktural yang meliputi reformasi perbankan, restrukturisasi perusahaan, serta reformasi hukum.44 Namun potensi-potensi tersebut pada saat ini belum mampu diberdayakan secara maksimal dan Indonesia justru terpuruk dalam krisis ekonomi yang menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan. Berdasarkan kajian Bank Dunia, kemiskinan Indonesia bukan sekedar 10-20% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi 60% penduduk sudah hidup dengan pendapatan di bawah US$ 2 per hari, sehingga sangat rentan terhadap kemiskinan pendapatan dan sosial. Adanya rekomendasi IMF kepada CGI untuk meneruskan dukungan kepada pemerintah Indonesia merupakan salah satu faktor lain yang turut mendukung datangnya para investor.45 Dukungan tersebut mempunyai persyaratan agar pemerintah bersungguh-sungguh menjalankan program ekonomi dan reformasi struktural. Laporan IMF kepada anggota CGI menetapkan lima kebijakan utama yang dibutuhkan untuk mengembalikan 42 43
44 45
Media Indonesia, Indonesia masih menarik Investor Asing, 7 Oktober 2000. Media Indonesia, “Ekonomi Indonesia Bisa Booming – Jika Pemerintah Serius Lakukan Reformasi”, 2000. Ibid Kompas, TIMTENG dan ASEAN Dukung Investasi di RI, 31 Juli 2000, hlm. 14
60
perekonomian ke jalurnya, yaitu: pertama, membuat kemajuan signifikan dalam keberlanjutan fiskal dengan mengurangi beban utang pemerintah; kedua, membuat kemajuan dalam privatisasi dan restrukturisasi aset BPPN; ketiga, menerapkan kebijakan moneter untuk membawa kembali laju inflasi satu digit tahun depan; keempat, memperkuat upaya untuk mengurangi kerentanan sistem perbankan dan memulihkan berfungsinya mekanisme kredit; kelima, mempercepat upaya perbaikan iklim investasi melalui reformasi hukum dan pemerintahan. Dalam rangka tujuan pembangunan yang luas, kebijakan makro ekonomi dan proyek investasi pemerintah cenderung kurang memiliki kosestesi interen dan rasionalitas ekonomi dibandingkan dengan yang diungkapkan dalam beberapa buku pelajaran mengenai model-model perencanaan yang kita percayai. Keterbatasan sumber daya fisik, manusia, dan administrasi di bagian besar negara berkembang menyebabkan pembuatan rencana yang komprehensif tidak lebih dari suatu latihan, walaupun hal ini dapat menghasilkan pandangan tentang pentingnya mengetahui fungsi ekonomi dan kendala-kendala pertumbuhan yang pokok. 4. Neraca pembayaran dan utang luar negeri Terbatasnya tabungan domestik dan adanya peluang untuk memanfaatkan sumber dana dari luar negeri menyebabkan pemerintah maupun investor swasta terlalu mengandalkan pinjaman luar negeri dalam rangka membiayai investasinya. Dalam jangka pendek, pemanfaatan tabungan luar negeri tersebut tidak menimbulkan dampak inflasi, tetapi dalam jangka panjang akan menimbulkan masalah yang serius dalam suplai uang domestik. Investasi Pemerintah umumnya dilakukan untuk membangun infrastuktur untuk mendukung investasi swasta, tetapi jika investasi tersebut tidak menghasilkan tingkat pengembalian yang layak, sementara tingkat bunga utang luar negeri tetap harus dibayar akan memberi tekanan untuk meningkatkan suplai uang. 5. Jaminan kepastian hukum dan penegakkan hukum Salah satu faktor yang sangat penting dalam menciptakan iklim penanaman modal yang sehat yang selama ini terabaikan
61
adalah tegaknya supremasi hukum. Kelemahan dalam penegakan supremasi hukum ini merupakan salah satu keprihatinan di kalangan investor. Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) terutama menyangkut putusan lembaga-lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga arbitrase, baik asing maupun lokal telah menyebabkan kurangnya kepercayaan investor menyangkut tata cara dan proses penyelesaian sengketa dan penegakan hukum di Indonesia. Hal itu dapat dipahami mengingat dalam kenyataannya memang pelaksanaan terhadap putusan baik oleh lembaga peradilan maupun arbitrase masih menghadapi kendala, meskipun sebenarnya peraturan perundang-undangan yang terkait telah cukup memadai. Keadaan ini tentu saja tidak kondusif karena dianggap tidak memperhatikan kepentingan investor. Oleh karena itu Pemerintah hendaknya secara sungguhsungguh menempuh berbagai langkah yang diperlukan ke arah tegaknya supremasi hukum, termasuk di dalamnya menciptakan sistem peradilan yang benar-benar mampu menciptakan keadilan bagi setiap pencari keadilan. Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin untuk usaha sampai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk mencapai kondisi ini adalah adanya penegakan supremasi hukum (rule of law). Presiden Direktur Grant Thormton Indonesia (GTI) James Kallman menyatakan, insentif yang paling efektif untuk menarik kegiatan investasi asing adalah pemerintah harus mampu menegakkan hukum dan memberikan jaminan keamanan. Ketegasan pemerintah dalam menerapkan peraturan dan kebijakan, terutama konsistensi penegakan hukum dan keamanan.46 Banyak investor asing masih tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan negara-negara tujuan investasi yang lainnya. Investor tidak akan melihat insentif pajak seperti tax holiday
46
Media Indonesia, Investor Butuh Jaminan Keamanan, Mei 2001.
62
sebagai daya tarik investasi, melainkan apakah ada jaminan keamanan maupun penegakan hukum. Managing Director Bayer (South East Asia) Pte Peter Glaessel,47 menilai, Indonesia merupakan negara utama tujuan investasi dan pengembangan bisnis di kawasan Asia Tenggara. Alasannya, luas wilayah dan jumlah penduduknya diatas 200 juta merupakan insentif yang menarik para investor. Untuk merespon peluang ini, pemerintah perlu mengurangi sektor usaha yang termasuk dalam daftar negatif investasi yang selama ini tertutup bagi investor asing. Hasil survei United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menempatkan Indonesia pada urutan kedua terakhir dari 153 negara yang masuk dalam daftar indeks Foreign Direct Investment (FDI). Faktor accountability dengan melakukan reformasi secara konstitusional serta memperbaiki sistem peradilan dan hukum merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam rangka menarik investor. Pembahasan tentang hubungan hukum dengan investasi pada era reformasi ini berkisar sebagaimana menciptakan hukum yang mampu memulihkan kepercayaan investor asing untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia dengan menciptakan “certainty” (kepastian), “fairness” (keadilan), dan “efficiancy” (efisien). Daniel S.Lev.48 menyatakan bahwa negara hukum merupakan sine qua non, karena tanpa proses hukum yang efektif, tidak mungkin diharapkan perbaikan ekonomi, politik, kehidupan, sosial, dan keadilan, sejak pertengahan tahun 1998, tidak ada pembaharuan kelembagaan hukum, karena elit politik tidak mampu menjalankannya. Ketidak-mampuannya berakar pada kepentingan, kalau proses hukum makin kuat, pimpinan politik makin terbatas kekuasaannya. Selama 40 tahun sejak tahun 1959, pimpinan politik menikmati keleluasaan bertindak menurut kemauan sendiri 47 48
Ibid. Daniel S.Lev. “Pemulihan Negara Hukum”, Tempo 6 Januari 2002.
63
tanpa dikurungi tindakannya oleh pengadilan, kejaksaan, polisi, pers, atau organisasi dalam masyarakat. Akibatnya para jaksa, hakim, dan polisi kehilangan orientasinya pada hukum dan tidak lagi mengelak korupsi. Untuk memulihkan perekonomian, Bangsa Indonesia memerlukan investasi. Investasi bisa berjalan kalau ada strategi dalam hukum.49 Strategi akan goyah jika, umpamanya, pemerintah tidak menghormati kontrak-kontrak karya yang sudah ada. Akibatnya, investor enggan datang ke Indonesia karena tidak ada kepastian hukum. H. Perlindungan HAKI Diberlakukannya perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pada tanggal 1 Januari 2000 memberikan harapan adanya perlindungan bagi berbagai produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi dalam bidang industri dan perdagangan dalam upaya menjaga pelanggaran hak atas keaslian karya cipta yang menyangkut Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Produk, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi TRIPs sebenarnya telah memberikan landasan hukum bagi perlindungan HaKI melalui 3 (tiga) Undang-undang di bidang HaKI yang dikeluarkan pada tahun l997, yaitu: 1.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
2.
Undang-Undang nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;
3.
Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dan ada 3 (tiga) Undang-Undang lagi yang dikeluarkan pada akhir Tahun 2000, yaitu: 1.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
2.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Produk;
49
Suara Pembaruan Indonesia Takkan Ubah Kontrak Karya dengan PT Freeport, 5 Maret 2000.
64
3.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi kalangan industri dan perdagangan, namun hingga saat ini berbagai masalah di bidang HaKI masih saja terjadi. 1.
Hak Cipta Perkataan Hak Cipta terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu hak dan cipta, kata hak sering dikaitkan dengan kewajiban yang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak, sedangkan kata cipta diartikan sebagai hasil kreasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada padanya berupa pikiran, perasaan, pengetahuan dan pengalaman. Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap karyakarya cipta di bidang Seni, Sastra dan Ilmu Pengetahuan dan pemberian hak cipta itu didasarkan pada kriteria keaslian sehingga yang penting adalah bahwa ciptaan itu harus benar-benar berasal dari pencipta yang bersangkutan, bukan merupakan jiplakan maupun tiruan karya pihak lain. Ditentukan pula oleh Undang Undang Hak Cipta, bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa hak cipta diberikan secara khusus kepada pencipta, oleh karena itu pencipta memiliki hak monopoli terhadap ciptaannya. Di dalam Pasal 12 Undang Undang Hak Cipta telah ditentukan ciptaan apa saja yang dilindungi yang semuanya berada dalam ruang lingkup ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Hak Cipta ini diberikan terhadap ciptaan yang berwujud atau berupa ekspresi yang dapat dilihat, dibaca, didengarkan dan sebagainya. Hak Cipta tidak melindungi ciptaan yang masih berupa ide. Oleh karena itu agar suatu ciptaan dapat dilindungi, maka ciptaan itu harus diekspresikan terlebih dahulu dan setelah diekspresikan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi, sejak saat itu pula ciptaan itu sudah dilindungi.
65
2. Paten Objek pengaturan paten adalah suatu penemuan baru di bidang teknologi yang dapat diterapkan di bidang industri, sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri, teknologi lahir dari kegiatan penelitian dan pengembangan. Kegiatan tersebut berlangsung dalam berbagai bentuk, ada yang secara sederhana tetapi ada pula yang dilakukan dengan cara yang sulit dan memakan waktu yang lama melalui lembaga Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) Pasal 1 butir 1 Undang Undang Paten menentukan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak eksklusif adalah hak khusus yaitu hak untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produksi yang diberi paten. Untuk mendapatkan hak khusus tersebut penemu atau pemegang paten harus mendaftarkan penemuannya tersebut pada kantor paten Setelah penemu atau pemegang paten memperoleh hak khusus, maka penemu atau pemegang paten memperoleh hak monopoli atas penemuannya tersebut untuk jangka waktu 20 tahun sejak penerimaan permintaan paten, setelah itu paten akan menjalankan fungsi sosialnya dan menjadi milik umum. Hal ini berarti setiap orang (masyarakat) bebas untuk menggunakan paten tersebut tanpa meminta izin dari pemilik paten dalam hal ini tidak dianggap pelanggaran hak paten. Dengan kata lain bila jangka waktu paten berakhir, maka hapuslah hak paten tersebut. Pasal 1 butir 3 menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan inventor/penemu, adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Ketentuan ini merupakan perubahan dan penyempurnaan dari ketentuan lama dengan menghapus kata “badan hukum” sebagai penemu, karena yang dapat melakukan penelitian dan menghasilkan penemuan adalah manusia, badan hukum tidak dapat. Sedangkan
66
yang dimaksud dengan penemuan menurut pasal 1 butir 2 UU Paten adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Dalam pengertian ini yang dimaksud dengan invensi/penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah atau ide, sehingga bukan barang atau bendanya. Penemuan di bidang teknologi baik yang berupa proses atau hasil produksi yang dapat diberi paten harus memenuhi syaratsyarat : baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. 3. Merek Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 butir l UU Merek) Dari pengertian tersebut secara umum diartikan bahwa merek adalah suatu tanda untuk membedakan barang-barang yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memiliki daya pembeda yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, sehingga tanda tersebut mampu memberi kesan pada saat seseorang melihat merek tersebut. Undang-Undang membedakan merek menjadi 2 (dua), yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek Dagang adalah tanda yang digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk membedakan dengan barangbarang sejenis lainnya, sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. Menurut Undang-undang Merek agar suatu merek memperoleh hak atas merek, maka pemilik merek harus mendaftarkan mereknya tersebut pada kantor merek, dengan demikian agar suatu merek dapat diterima pendaftarannya, maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Merek dan timbulnya hak atas merek tersebut apabila merek yang didaftarkan tersebut diterima pendaftarannya oleh kantor merek. Pasal 3 Undang-Undang Merek menentukan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan
67
oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Hak khusus yang diberikan tersebut berfungsi untuk memonopoli, sehingga hak tersebut mutlak pada pemilik merek dan dapat dipertahankan terhadap siapapun, selain itu hak atas merek ini hanya diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik, sehingga orang lain/badan hukum lain tidak boleh menggunakan merek tersebut tanpa izin. Suatu merek dapat disebut merek apabila memenuhi syaratsyarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Merek dan permintaan pendaftaran merek hanya dapat dilakukan oleh pemilik merek yang beritikad baik. Penggunaan merek milik orang lain banyak dilakukan orang atau badan hukum, mereka menggunakan merek tersebut tanpa izin pemiliknya, hal ini tentu akan merugikan pemilik merek yang terdaftar. Biasanya merek yang digunakan secara melawan hukum ini adalah merek terkenal. Menurut Insan Budi Maulana, merek dapat dianggap sebagai “roh” bagi suatu produk barang atau jasa Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Merek, perlindungan terhadap merek terkenal didasarkan pertimbangan bahwa peniruan merek terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, karena mencari ketenaran merek orang lain, sehingga seharusnya merek tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum, sehingga untuk ini, permintaan pendaftaran merek terkenal milik orang lain harus ditolak. Perlindungan terhadap merek terkenal dapat pula dilakukan melalui gugatan pembatalan pendaftaran merek yang dilakukan tanpa hak, gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang memutuskan pembatalan tidak dapat diajukan permohonan Banding, tetapi langsung mengajukan permohonan Kasasi atau Peninjauan Kembali. 4. Rahasia dagang Dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Pasal 1 bahwa: “Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum
68
di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempuyai nilai ekonomi karena berguan dalam kegiatan usaha dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang”. Dilihat dari definisi tersebut terdapat unsur-unsur, sebagai berikut: a) informasi yang tidak diketahui umum di bidang teknologi atau bisnis; b) mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha; dan c) dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Dalam pasal 2 UU No. 30 Tahun 2000, bahwa ruang lingkup dari rahasia dagang adalah: “Lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan atau informasi lain di bidang teknologi dan atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum”. Informasi tersebut harus memiliki nilai ekonomis, bersifat aktual dan potensial, tidak diketahui umum serta tidak dapat dipergunakan oleh orang lain yang tidak secara detail mengetahui informasi tersebut. Informasi inipun harus secara konsisten dijaga kerahasiaannya (dengan langkah-langkah tertentu menurut ukuran wajar), sehingga tidak dapat dipergunakan oleh orang lain, karena dengan informasi tersebut seseorang dapat memperoleh keunggulan kompetitif untuk bersaing dengan kompetitornya yang tidak mengetahui informasi tersebut. Kelalaian pemilik informasi atas hal ini dapat menggugurkan eksistensi rahasia dagang itu sebagai Hak Milik Intelektual. Perlindungan rahasia dagang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam dunia investasi dan perdagangan karena melalui sistem perlindungan maka informasi bisnis yang sifatnya sangat strategis dan kompetitif yang tidak terlindungi dengan sistem hukum hak milik intelektual lainnya (seperti paten dan hak cipta) dapat dilindungi. Berbeda dengan hak cipta atau paten, perlindungan terhadap rahasia dagang tidak memiliki jangka waktu yang terbatas. Oleh
69
karenanya banyak inventor yang merasa perlindungan yang diberikan oleh rahasia dagang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlindungan hak milik intelektual lainnya. Seperti paten dimana untuk mendapatkan perlindungannya seorang inventor harus benar-benar menemukan sesuatu yang sifatnya baru (novelty), adanya langkah inventif, serta harus memenuhi syarat-syarat yang sangat kompleks yang ditetapkan Kantor Paten. Selain itu memiliki jangka waktu selama 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu tersebut tidak dapat diperpanjang. Setelah tercapainya jangka waktu tersebut hak paten tersebut akan diumumkan ke publik. 5. Desain industri Perlindungan hukum terhadap HKI, termasuk desain industri, memiliki hubungan erat dengan pembangunan ekonomi Indonesia, terutama bila dikaitkan dengan masuknya investasi asing dan eksistensi desain industri Indonesia. Desain industri sendiri merupakan suatu kreasi yang berasal dari hasil perwujudan ide atau inspirasi yang berbeda dengan kreasi yang ada sebelumnya. Sesuai dengan persetujuan TRIPs-WTO tentang desain industri, Indonesia mengimplementasikannya melalui Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2000. Penegakan UU ini terhambat faktor budaya masyarakat yang cenderung menganggap HKI sebagai public right dan bukan merupakan suatu private right yang membutuhkan perlindungan hukum optimal. Salah satu kasus menimpa “Suarti Collection” yang digugat “Lois Hill Collection” karena dinilai memalsukan desain. Sebagai langkah proaktif, perlu dilakukan sosialisasi, baik untuk produk hukum nasional maupun ketentuan internasional di bidang HKI seperti TRIPs-WTO. Sosialisasi hukum internasional penting untuk memberikan pemahaman komprehensif kepada masyarakat bahwa pelanggaran desain industri merugikan kepentingan nasional secara keseluruhan. 6. Desain tata letak sirkuit terpadu Desain tata letak sirkuit terpadu diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (UU DTLST), dan mulai berlaku sejak tanggal 20 Desember 2000. Untuk
70
memudahkan pengertiannya secara garis besar istilah desain tata letak sirkuit terpadu dibagi dua yaitu: desain tata letak dan sirkuit terpadu yang masing-masing pengertiannya adalah sebagai berikut: a.
Sirkuit terpadu (circuit layouts) Adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang didalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu didalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik;
b.
Desain tata letak Adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.
Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain tata letak sirkuit terpadu. Hak desain tata letak sirkuit terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut. I.
Birokrasi
Birokrasi merupakan masalah tersendiri dalam upaya pengembangan iklim investasi yang kondusif. Buruknya birokrasi, dapat menghambat datangnya arus investasi pada suatu negara. Berikut merupakan masalahmasalah yang terdapat di dalam sistem birokrasi di Indonesia: 1. Koordinasi antar lembaga Koordinasi dalam sistem birokrasi kita merupakan barang langka, sebagaimana dihasilkan dalam agenda sinkronisasi dan harmonisasi program pengembangan sistem hukum nasional yang pernah diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional yang antara lain mengikutsertakan berbagai instansi yang terkait secara langsung
71
dengan kegiatan investasi, diantaranya departemen yang membidangi pertanahan, pertambangan, kehutanan serta lingkungan hidup. Disimpulkan bahwa salah satu penyebab sulitnya koordinasi antara berbagai lembaga negara adalah adanya kesalahan pemahaman tentang Undang-undangan sektoral hanya karena usulan prakarsanya dari sektor sehingga mengesampingkan kepentingan nasional dalam praktiknya.50 Tidak sedikit bahwa buruknya koordinasi antara lembaga pemerintah telah menyebabkan konflik baik yang bersifat horizontal (sengketa antar Instansi Pemerintah Pusat) maupun vertikal (sengketa yang terjadi karena adanya silang kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah).51 Hal ini kerap terjadi meskipun telah perintahkan dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bahwa terkait kegiatan investasi pemerintah menunjuk Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai koordinator bagi pelaksanaan penanaman modal di Indonesia. Menjadi jelas, bahwa dalam hal terjadinya sengketa baik yang bersifat vertikal maupun horizontal dalam konteks investasi, pihak yang akan sangat dirugikan adalah investor. Permasalahan seperti ini secara langsung akan mempengaruhi Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Oleh karenanya perlu dilakukan terobosan untuk meminimalisasi problema koordinasi antar lembaga agar dapat mendukung penciptaan iklim investasi yang kondusif. Di samping itu, lemahnya koordinasi kelembagaan ditimbulkan karena ketidakjelasan tupoksi dari masing-masing instansi, yang antara lain disebabkan oleh adanya pertimbangan subjektif yang berlatar belakang politis maupun ekonomi. 2.
Masalah otonomi daerah Kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengelola potensi yang ada pada
50
51
Laporan Akhir, Sinkronisasi dan Harmonisasi Program Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Peminaan Hukum Nasional, Depkumham RI, 2008. Laporan Penelitian tentang Penyelesaian sengketa di bidang Pertambangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depkumham, 2007.
72
daerah bersangkutan, telah menyebabkan munculnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) baik di bidang pajak maupun retribusi yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun di lain hal pemerintah pusat tidak memberikan guidelines yang jelas sebagai panduan bagi Pemda untuk mencegah disusunnya Perda yang bermasalah. Melihat situasi yang demikian, dalam konteks kegiatan investasi isu high cost economy menjadi bagian dari permasalahan investasi yang pengaruhnya akan sangat buruk terhadap minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. 3. Pungutan liar Salah satu permasalahan yang sering kali dialami oleh investor dalam melakukan kegiatan investasi di Indonesia adalah masih maraknya pungutan liar. Timbulnya pungutan liar maupun praktek korupsi yang cenderung sistemik merupakan akibat dari pengaturan yang tidak jelas sehingga dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri dengan dalih melaksanakan aturan yang ada tanpa memperhatikan implikasi yang dapat ditimbulkan dari tindakan yang telah dilakukan. Situasi demikian, secara tidak langsung akan berakibat buruk terhadap keberlanjutan kegiatan investasi pada daerah bersangkutan. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya-upaya yang secara sistematis dapat memberikan pemahaman baik pada perumus kebijakan maupun pelaksana di lapangan tentang pentingnya investasi bagi keberlangsungan ekonomi suatu daerah. J.
Ketenagakerjaan Masalah ketenagakerjaan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan investasi di Indonesia. Sebagai salah satu contoh, beberapa tahun yang lalu, Sonny hengkang dari Indonesia karena terganjal masalah ketenagakerjaan. Perlu juga diperhatikan bahwa masalah ketenagakerjaan yang ada saat ini juga disebabkan oleh kondisi tenaga kerja yang kurang produktif, tidak terampil, etos kerja yang lemah, kenaikan UMR yang terlalu cepat serta maraknya
73
demo dan kasus-kasus perburuhan. Di samping itu, penerapan ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan yang tidak transparan merupakan salah satu penyebab kompleksnya masalah ketenagakerjaan. Dari hasil inventarisasi terhadap permasalahan ketenagakerjaan pada kegiatan investasi, tergambarkan beberapa permasalahan yaitu: 1. Proses pengalihan teknologi dan keterampilan yang berjalan lambat. 2. Pelanggaran terhadap izin kerja TKA. 3. Rendahnya keterampilan dan produkstivitas TKI. 4. Upah TKI yang rendah dan sering disalahgunakan oleh pihak asing. 5. Jumlah TKI yang besar, tidak sesuai dengan lapangan yang tersedia. 6. Penyelesaian sengketa perburuhan. K. Kepastian Hukum 1. Investasi yang Predictable Agar suatu kegiatan investasi dapat diperkirakan “predictable”, seharusnya proses dan tata cara penanaman modal dapat dilakukan secara transparan. Transaparansi dalam kegiatan investasi di samping menjadikan kegiatan investasi mudah diramalkan juga akan memberikan kepastian hukum bagi investor.52 2. Ekonomi biaya tinggi Kepastian hukum menjadi penting dalam kaitannya dengan motif investasi yang dilakukan oleh investor. Tidak dapat dipungiri bahwa kegiatan investasi yang dilakukan oleh investor semata-mata untuk memperoleh keuntungan, dengan demikian apabila dalam praktiknya harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi sebelum memperoleh keuntungan, dapat dipastikan bahwa minat investasi akan semakin menurun pada masa-masa mendatang. 52
IBR. Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, 2006.
74
3. Inkonsistensi regulasi Berbagai bentuk inkonsistensi regulasi khususnya yang terkait langsung dengan kegiatan investasi antara lain menyangkut daftar skala prioritas dan daftar negatif investasi yang sering kali berubah-ubah, menjadikan kegiatan investasi di Indonesia terkesan tidak pasti. 4. Peradilan yang fair dan impartial Terhadap berbagai sengketa yang melibatkan investor yang melaksanakan kegiatan investasi, dalam upaya penyelesaiannya harus didukung oleh sistem hukum yang efektif serta peradilan yang fair dan impartial. Hal ini sejalan dengan semangat yang tercermin dalam UU No. 25 Tahun 2007 yang tidak membedabedakan antara Penanaman Modal Dalam Negeri dengan Penanaman Modal Asing. 5. Penegakan hukum Demikian pula terkait pelaksanaan dari putusan yang dihasilkan dari proses penyelesaian melalui lembaga yang ditunjuk untuk itu, agar memberikan kepastian hukum harus dapat dilaksanakan secara efektif dan sesuai dengan prosedur yang diatur oleh lembaga peradilan. L. Perizinan 1. Prosedur perizinan Meskipun pemerintah melalui UU No. 25 Tahun 2007 telah mengamanatkan untuk dibentuknya pelayanan terpadu satu pintu yang bertujuan untuk membantu investor dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal baik di tingkat pusat maupun daerah, namun dalam pelaksanaannya masih ada daerah-daerah yang sampai dengan saat belum memiliki pelayanan seperti ini. Proses perizinan tetap dilaksanakan oleh satuan kerja terkait yang pada akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi pada tahap perizinan. 2. Waktu perizinan Meskipun Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan aturan standar bagi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan
75
perizinan agar waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat, apabila pada daerah-daerah tertentu tidak melaksanakan ketentuan dimaksud, maka tetap jangka waktu perizinan menjadi suatu ketidakpastian. Oleh karenanya pemerintah harus secara proaktif melakukan monitoring dan evaluasi agar berbagai regulasi benarbenar dilaksanakan oleh daerah. 3.
Biaya perizinan Diharapkan dengan dilaksanakannya pelayanan terpadu satu pintu atau lebih dikenal dengan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), maka biaya perizinan yang selama ini membengkak dapat ditekan. Akan tetapi dalam implementasinya di daerahdaerah praktik KKN khususnya terkait perizinan masih marak terjadi. Hal inilah yang menjadikan biaya perizinan menjadi besar.
M . Pertanahan Dalam UU No. 25 Tahun 2007, pemerintah memberikan insentif di bidang pertanahan dengan persyaratan. Adapun insentif dimaksud meliputi: 1. Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; 2. Hak Pakai Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. 3. Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun
76
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud di atas diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Akan tetapi pemberian dimaksud dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Dalam pelaksanaannya apakah fasilitas sebagaimana dimaksud di atas dapat secara mudah diperoleh investor pada saat merealisasikan usahanya, oleh karenanya Peran pemerintah akan tetap dibutuhkan dalam tataran implementasinya. N. Penyelesaian Sengketa Investasi (Vertikal/Horizontal-Nasional/ Transnasional) 1. Sengketa verikal/horizontal-nasional Dalam kegiatan penanaman modal, karena menyangkut kewenangan negara, maka ada beberapa pihak (stake holder) yang memiliki peran di dalamnya. Di antaranya Pemerintah Pusat (instansi terkait), Pemerintah Daerah, serta investor dan masyarakat.
77
Dalam konteks sengketa kewenangan, setidaknya dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu sengketa kewenangan Vertikal dan Horizontal. Sengketa Vertikal adalah sengketa yang terjadi karena adanya silang kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal ini berhubungan dengan ketentuan tentang Otonomi Daerah. Sengketa ini berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, biasanya menyangkut Perizinan, Pengelolaan atau Kepemilikan usaha. Salah satu contoh bentuk sengketa Vertikal, dapat dilihat dari kasus Divestasi Kaltim Prima Coal. Bentuk sengketa kewenangan lainnya adalah sengketa horizontal, yakni sengketa kewenangan yang terjadi antar Instansi Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen yang membawahi bidang yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi yang sedang dilakukan. Pada praktiknya, baik sengketa Vertikal maupun Horizontal sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan penanaman modal di bidang pertambangan. Adapun langkah yang dapat dilakukan oleh para pihak dalam upaya menyelesaikan sengketa-sengketa dimaksud, dapat dilakukan melalui: a.
Penyelesaian melalui Pengadilan Upaya penyelesaian melalui pengadilan nasional, akan mengacu pada: a) Reglemen Indonesia yang diperbarui (HIR), Staatsblad 1941 Nomor 44; b) Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura, Staatsblad 1927 Nomor 227; c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer); d) Reglemen Indonesia (ER); e) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglemen op de Rechtvordering), Staatsblad 1847 Nomor 52;
78
f)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; g) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tanggal 30 Desember 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004; h) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Sistem Peradilan Umum sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004. b.
Penyelesaian melalui Arbitrase Meskipun dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dijelaskan tentang kemungkinan arbitrase sebagai media bagi penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan investor, akan tetapi belum mengatur secara detail mekanisme yang diterapkan. Oleh karenanya terkait ketentuan tentang berarbitrase mengacu pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini secara cukup komprehensif mengatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase, sementara penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal, itupun dengan fokus pada penyelesaian sengketa melalui mediasi.53 Tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur secara cukup rinci dalam UU ini, yang meliputi: - syarat arbitrase, pengangkatan arbiter dan hak ingkar;54 - acara yang berlaku di hadapan majelis arbitrase;55 - pendapat dan putusan arbitrase;56 - pelaksanaan arbitrase;57 - pembatalan putusan arbitrase;58
53
54 55 56 57
Lihat ketentuan Pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana ADR lebih dititikberatkan pada penyelesaian melalui mediasi sementara cara-cara ADR lainnya tidak dikembangkan secara tuntas. Ibid, ketentuan Bab III, Pasal 7 -26. Ibid, ketentuan Bab IV, Pasal 27-51. Ibid, ketentuan Bab V, Pasal 52-58. Ibid, ketentuan Bab VI, Pasal 59-69.
79
c.
58 59
berakhirnya tugas arbiter;59 dan biaya arbitrase.60
Penyelesaian melalui ADR -
Negosiasi Negosiasi dapat diupayakan dengan hadirnya para pihak untuk duduk bersama dengan tujuan menyelesaikan sengketa secara damai baik dibuat secara tertulis maupun verbal.
-
Mediasi Mediasi dicirikan dengan terlibatnya pihak ketiga untuk membantu para pihak dalam penyelesaian sengketa. Mediator ini bertindak secara netral, tidak memihak (impartial) dan tidak ada benturan kepentingan serta hanya memfasilitasi para pihak untuk menegosiasikan dan menyepakati penyelesaian sengketa. Mediator tidak bertindak sebagai hakim dalam penyelesaian sengketa
-
Inguiries Inguiries merupakan penyelesaian sengketa melalui pembentukan suatu komisi terhadap sengketa yang terjadi antara para pihak, dapat diterapkan sepanjang para pihak menyetujui mekanisme tersebut. Komisi yang dibentuk bertugas mencari fakta dan bukti-bukti dari dokumendokumen dan informasi yang terkait dengan sengketa dimaksud untuk kemudian dilaporkan kepada para pihak.
-
Konsiliasi Konsiliasi merupakan gabungan antara mediasi dengan enquiries. Konsiliasi dapat dibedakan dari 3 (tiga) ciri, yaitu: Pertama prosedurnya berlangsung di depan suatu komisi permanen atau sementara yang dibentuk oleh para pihak; Kedua prosedur mencakup pencarian fakta yang dipersengketakan; dan Ketiga prosedur konsultasi terkait dengan laporan dari komisi pencari fakta
Ibid, ketentuan Bab VII, Pasal 70-72. Ibid, ketentuan Bab VIII, Pasal 73-75.
80
(commission of enquiries) termasuk rekomendasi bagi penyelesaian sengketa, meskipun rekomendasi tersebut bersifat tidak mengikat.
2.
-
Good Offices Good Offices (jasa baik) merupakan cara penyelesaian sengketa di mana pihak ketiga membantu mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk menegosiasikan sengketa diantara mereka sendiri atau melalui semacam “roundtable meeting”.
-
Ombudsman Ombudsman merupakan alternatif penyelesaian sengketa di mana pihak yang merasa dirugikan dapat menyampaikan laporan terkait pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur negara. Ketentuan mengenai hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Ombudsman.
Sengketa yang bersifat transnasional Terhadap sengketa yang bersifat transnasional, berdasarkan pihaknya terdapat 3 (tiga) jenis sengketa yaitu: sengketa antar negara; sengketa negara tuan rumah dengan investor asing; serta sengketa antara investor asing dengan mitra lokalnya. Para pihak dapat menggunakan berbagai skema penyelesaian sengketa yang ada baik dalam bentuk Alternative dispute resolution maupun arbitrase sebagaimana telah diuraikan di atas. Adapun instrumen hukum internasional yang dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya penyelesaian sengketa investasi yang bersifat transnasional adalah International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID). ICSID memberikan kemudahan bagi pelaksanaan konsiliasi dan arbitrase. Pihak-pihak yang dapat mengajukan konsiliasi dan arbitrase adalah: -
setiap warga negara atau badan pribadi (natural persons) dari negara anggota konvensi yang bukan warga negara dari negara yang digugat (host country) mengenai permasalahan investasi tersebut.
81
-
setiap badan hukum dari negara anggota konvensi yang bukan badan hukum atau dianggap badan hukum host country.
Sebagai gambaran, berikut adalah mekanisme penyelesaian yang diatur oleh ICSID: a.
Konsiliasi Ketentuan penyelesaian sengketa penanaman modal yang diatur dalam konvensi ini antara lain menyangkut: permohonan konsiliasi (“request for conciliation”);61 pembentukan komisi konsiliasi (“constitution of the conciliation commission”);62 serta acara konsiliasi (“conciliation proceedings”).63 Penyelesaian dengan cara ini dilakukan dengan conciliation commission, yang bertugas mencari sumber pokok permasalahan dan menyelesaikannya dalam suatu rumusan perjanjian atau kesepakatan yang dapat diterima oleh para pihak secara baik. Apabila cara ini tidak efektif, maka dibuat laporan mengenai kegagalan sebelum melanjutkan upaya penyelesaian lainnya.
b.
Arbitrase Ketentuan-ketentuan pokok yang diatur meliputi, antara lain: permohonan arbitrase (“request for arbitration”); pembentukan majelis (“constitution of tribunal”); kewenangan dan fungsi majelis (“power and functions of tribunal)”; keputusan (award); interpretasi, revisi dan pembatalan putusan (“interpretation, revision and annulment of the award”); serta pengakuan dan penegakan putusan (“recognition and enforcement of the award”). Ketentuan yang sangat menarik untuk dikaji dari Arbitration Rules adalah menyangkut interpretasi, revisi dan pembatalan putusan. Apabila hendak mengajukan interpretasi, maka
60 61
62
Ibid, ketentuan Bab IX, Pasal 76-77. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States, Pasal 28. Ibid, Pasal 29-31.
82
harus dinyatakan secara jelas butir-butir yang dipersengketakan.64 Dalam hal mengajukan permohonan revisi, maka terhadap putusan yang dibuat harus diajukan fakta-fakta yang karena sifatnya dapat mempengaruhi putusan serta bukti-bukti yang tidak diketahui ketika putusan tersebut dibuat, tidak diketahui oleh majelis maupun oleh pemohon.65 Jika hendak mengajukan pembatalan terhadap putusan, maka pihak yang mengajukannya harus mengajukan dasar-dasar, seperti:66 - majelis tidak dibentuk secara layak; - majelis telah melampaui wewenangnya; - terdapat korupsi pada anggota majelis; - terdapat penyimpangan yang serius dari aturan yang berlaku; - bahwa putusan tersebut telah gagal menyampaikan pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dari putusannya. Apabila salah satu pihak mengajukan permohonan pembatalan atas putusan yang dibuat oleh majelis arbiter pada tingkat pertama, maka sekretaris jenderal akan menyampaikan hal itu kepada ketua dewan administrasi untuk menunjuk “Ad-Hoc Committee”.67 Selanjutnya jika Ad-Hoc Committee membatalkan sebagian maupun seluruh putusan sebelumnya, maka pihak yang tidak setuju dapat menyampaikan kembali (“resubmission”) kasus tersebut kepada suatu majelis baru (“new tribunal”)68. Penyampaian kembali kasus tersebut harus dilakukan secara tertulis kepada sekretaris jenderal. Oleh sekretaris jenderal kemudian didaftarkan pada register arbitrase, memberitahu para pihak tentang registrasi tersebut, menyampaikan salinan kepada pihak lainnya, serta mengundang para pihak untuk segera membentuk majelis baru.69 Keputusan dari 63 64 65 66 67 68 69
Ibid Pasal 32-35. Ibid, Pasal 50 ayat (1) (c) (i). Ibid, Pasal 50 (1) (c) (ii). Ibid, Pasal 50 (1) (c) (iii). Lihat juga Pasal 52 (1) ICSID Convention. ICSID Arbitration Rules, op. cit, Pasal 52 (1) Lihat, ibid, Pasal 55 (1) Ibid. Pasal 55 (2)
83
majelis yang baru tidak boleh menyentuh putusan lama yang tidak dimintakan pembatalannya.70 Pada penyelesaian sengketa di ICSID melalui arbitrase, meskipun idealnya penyelesaian melalui arbitrase berlangsung cepat dan dengan biaya yang murah, namun dalam kenyataannya berlangsung lama dan mahal, hal itu disebabkan oleh dimungkinkannya pembatalan (“annulment”) sebanyak 2 (dua) kali dengan membentuk Ad-Hoc Committee dengan majelis arbiter yang baru.71
70 71
Ibid, Pasal 55 (3). Hal ini dialami oleh Indonesia pada kasus Republik Indonesia versus Amco Asia yang penyelesaiannya memakan waktu lebih dari 10 tahun.
84
BAB IV REGULASI INVESTASI A. Regulasi Nasional Yang Khusus Mengatur Kegiatan Investasi 1. Peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting yang terkait dengan peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Terdapat dua di antara aspek-aspek tersebut yang selama ini merupakan masalah serius yang dihadapi pengusaha yaitu pertama, Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum yang menjabarkan tentang pelayanan terpadu satu pintu. Sistem pelayanan satu atap diharapkan dapat mengakomodasi keinginan investor untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal (Tambunan, 2007). Kedua, Bab III Pasal 4 Nomor 2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal yang menyatakan menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Kepastian hukum yang tidak ada sering dianggap sebagai salah satu penghambat investasi, khususnya investor asing di dalam negeri. Namun UU Penanaman Modal tersebut terdapat satu titik penting yang perlu diperhatikan yaitu investor asing mendapatkan perlakuan yang sama (equal treatment) dengan investor domestik. UU tersebut membuka pintu lebar-lebar bagi pemodal mancanegara. Berbagai fasilitas istimewa kepada pemodal asing itu, mulai dari kemudahan perpajakan, pembebasan lahan,
85
kemudahan memindahkan modal kapan pun dan di mana pun, sampai tak perlu khawatir dengan nasionalisasi. 2. Peraturan daerah di bidang penanaman modal Pada beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, hampir pada umumnya Pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi, misalnya perizinan, pajak dan retribusi dilatar belakangi untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah yang sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan apakah perda yang disusun telah mengakomodasikan aspirasi pelaku usaha atau tidak. Perda yang dihasilkan cenderung memberatkan investor, karena dalam implementasinya diorientasikan bagi peningkatan pendapatan daerah. B . Regulasi Nasional Lain Yang Terkait Dengan Kegiatan Investasi 1. Peraturan perundang-undangan di bidang perusahaan Undang-undang mengenai perusahaan yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi adalah Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). UU ini telah secara teknis mengatur beberapa hal yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di antaranya menyangkut pembentukan badan usaha dan kedudukan, Corporate Social Responsibility (CSR), dll. Terkait pembentukan badan usaha dalam UUPT secara detail diatur mengenai : Pendirian; anggaran dasar dan perubahan anggaran dasar; daftar perseroan dan pengumuman. Demikian pula halnya dengan CSR, dalam UUPT, diatur secara tegas bahwa CSR merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam. Namun demikian, ada beberapa hal yang diatur dalam UUPT yang dianggap kontraproduktif bagi pengembangan kegiatan investasi di Indonesia, yaitu terkait:
86
a.
Ketentuan modal dasar minimal dalam pendirian Perseroan Terbatas. Limit Modal dasar dengan nilai nominal Rp 50.000.000,- yang terlalu besar sebagaimana ditentukan oleh undang-undang dianggap memberatkan pelaku usaha yang akan mendirikan badan hukum. Seharusnya ketentuan modal dasar diatur dalam ketentuan yang lebih teknis dan bersifat fleksibel, sehingga faktor ekonomi biaya tinggi yang selama ini menjadi hambatan dalam kegiatan investasi dapat dikurangi pada saat investor hendak memulai kegiatan usaha melalui pendirian badan usaha.
b.
Kewajiban Corporate Social Responsibility. Ketentuan mengenai CSR tampaknya hanya dibebankan terhadap badan usaha yang berbentuk perseroan. Bagaimana terhadap badan usaha yang tidak berbentuk perseroan yang juga melakukan kegiatan usaha di bidang pengolahan sumber daya alam, karenanya ketentuan ini dianggap diskriminatif. Dalam praktiknya, ketentuan mengenai CSR menjadi beban tambahan bagi investor, karena harus mencadangkan biaya secara khusus.
2. Peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan Bidang pertanahan yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria dan Pertanahan. Dalam UU Penanaman Modal terkait kemudahan pelayanan perizinan hak atas tanah ditentukan bahwa: a.
Hak Guna Usaha dapat diberikan selama 95 tahun dan dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun;
b.
Hak Guna Bangunan dapat diberikan selama 80 tahun dan dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 Tahun.
c.
Hak Pakai dapat diberikan selama 70 tahun dan dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun.
87
Dalam penerapannya, apakah pemberian insentif yang diamanatkan dalam UU Penanaman Modal dapat dilaksanakan manakala ada prosedur-prosedur yang secara khusus harus mengacu pada UU Agraria dan peraturan pelaksanaannya. Oleh karenanya peran lembaga yang secara khusus melaksanakan fungsi koordinasi harus memiliki kewenangan secara jelas untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut. 3. Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan Bidang ketenagakerjaan yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU Penanaman Modal, ditentukan bahwa perusahaan penanaman modal harus mengutamakan tenaga kerja lokal dan wajib untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan serta kewajiban untuk menyelenggarakan alih teknologi kepada tenaga kerja lokal.72 Dalam UU Penanaman Modal juga diatur mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Namun demikian ada beberapa isu terkait ketenagakerjaan yang juga dapat mempengaruhi kegiatan investasi, di antaranya: a. Perlindungan yang diberikan oleh UU hanya terhadap pekerja di sektor formal. b. Ketentuan mengenai outsourcing yang memungkinkan untuk dilaksanakannya pemborongan dan penyediaan jasa pekerja, seharusnya pengaturan hanya pada penyediaan jasa pekerja saja. c. Masalah Upah Minimum Regional yang sering menimbulkan pemogokan dan tindakan-tindakan lainnya yang merugikan investor, seharusnya kebijakan mengenai hal ini ditetapkan secara transparan. 4.
Peraturan perundang-undangan di bidang ESDM Bidang energi dan sumber daya mineral yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi diatur dalam UU No. 4 Tahun 2007 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
72
Pasal 10 UU No. 25 tentang Penanaman Modal
88
Dalam ketentuannya, UU Mineral dan Batu bara telah memberikan kepastian berusaha bagi kegiatan investasi. Hal ini terlihat pada ketentuan mengenai pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang dilakukan pada wilayah-wilayah tertentu, pengaturan mengenai kewenangan pemerintah pusat dan daerah, pengaturan mengenai wilayah pertambangan, dll. Namun demikian dalam pelaksanaannya di lapangan, resistensi terhadap kegiatan investasi khususnya yang bergerak di bidang pertambangan masih sering kali terjadi, resistensi dimaksud dapat berasal dari departemen/instansi yang membawahi bidang kehutanan, pertanahan, lingkungan hidup, dll. 5. Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan Bidang kehutanan yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi, diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU ini telah secara rinci mengatur tentang aspek-aspek terkait kehutanan, seperti: penguasaan hutan, status dan fungsi hutan, klasifikasi hutan, pengurusan hutan, perencanaan kehutanan, pengukuhan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, Rehabilitasi dan reklamasi hutan, Perlindungan hutan dan konservasi alam, dll. Dari berbagai pengaturan di atas, tidak ada satupun ketentuan yang kontra produktif dengan kegiatan investasi. Terkait pelaksanaan kegiatan investasi, sinkronisasi dan harmonisasi serta koordinasi kelembagaan menjadi sangat penting manakala kegiatan investasi harus dilakukan pada wilayah hutan. 6. Peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup Bidang lingkungan hidup yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi, diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 UU Penanaman Modal, bahwa setiap penanam modal harus menjaga Kelestarian lingkungan hidup. Terkait hal ini, UU No. 32 Tahun 2009 menetapkan bahwa setiap usaha/pelaku usaha yang melakukan kegiatan yang
89
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) untuk menghindari pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. 7. Peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan 8. Peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian Bidang perindustrian yang terkait secara langsung dengan kegiatan investasi diatur dalam UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian. UU ini mengatur secara garis besar mengatur tentang perizinan industri; teknologi industri, desain industri, rencana bangun dan perekayasaan industri dan standardisasi; wilayah industri; dan penyerahan kewenangan dan urusan industri pada daerah. Dari berbagai pengaturan yang ditetapkan, tampak bahwa terhadap UU ini perlu dilakukan perubahan/revisi, mengingat pengaturan di bidang industri saat ini semakin dinamis dan harus mampu memenuhi kebutuhan hukum. 9. Peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual Bidang hak kekayaan intelektual yang terkait langsung dengan kegiatan investasi diatur dalam beberapa undang-undang, yaitu: a.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
b.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;
c.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
d.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
e.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Produk;
f.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
10. Peraturan daerah terkait retribusi dan perizinan 11. Peraturan perundang-undangan lain terkait penyelesaian sengketa investasi
90
a.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 32 yang mengatur tentang penyelesaian sengketa. Ketentuan tentang penyelesaian sengketa tersebut boleh dikatakan sangat umum serta hanya mencakup sengketa antara Pemerintah (RI) dengan investor, baik investor dalam negeri maupun investor asing.
b.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang mengatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (mediasi). Dalam UU ini diatur mengenai tata cara, hukum acara yang berlaku di arbitrase, pendapat dan putusan, pelaksanaan putusan, dll.
c.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO Agreement 1994, termasuk Annexnya yang berkaitan dengan tata cara penyelesaian sengketa. Melalui pengesahan terhadap WTO Agreement tahun 1994 maka berarti Indonesia juga terikat dengan ketentuan-ketentuan tentang tata cara penyelesaian sengketa dalam kerangka Dispute Settlement Understanding, termasuk dalam hal timbulnya sengketa investasi yang terkait dengan kegiatan perdagangan.
d.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal (“Convention of Settlement of Disputes between States and Nationals of Other States”)
e.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award” yang ditandatangani pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959.
f.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1990.
91
C. Perjanjian Multilateral di Bidang Investasi 1. Draft multilateral agreement on investment Upaya untuk merumuskan perjanjian multilateral yang bersifat global di bidang investasi dimulai sejak tahun 1992 ketika sekelompok ahli Bank Duna (“the World Bank”) mengkaji kemungkinan ditetapkannya suatu persetujuan multilateral tentang investasi. 73 Karena saat itu belum memungkinkan, maka dirumuskan dalam bentuk “guidelines”, yaitu “The World Bank Guidelines on Foreign Investment”. Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1995 OECD (“Organization of Economic Cooperation and Development”) berupaya untuk menyusun “draft Multilateral Agreement on Investment”. Draft ini dalam perumusannya hanya melibatkan negara-negara maju, dan terutama dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara-negara maju yang melakukan investasi. Meskipun demikian negara-negara berkembang diperbolehkan untuk melakukan aksesi terhadap perjanjian tersebut, jika disetujui. Pada saat itu dirancang agar jika disetujui, maka perjanjian ini dapat diambilalih oleh WTO. Ketika draft tersebut diketahui secara meluas, kemudian segera menjadi target serangan dari environmentalist dan aktivis HAM karena keberatan mereka bahwa kegiatan MNC akan cenderung merusak lingkungan dan rentan terhadap pelanggaran HAM. Karena banyaknya tentangan terhadap draft tersebut, ditambah lagi dengan adanya isu yang tak terpecahkan antara kepentingan AS dan Uni Eropa, maka upaya menggolkan draft MAI (“Multilateral Agreement on Investment”) semakin meredup. Apalagi beberapa kalangan dari negara-negara berkembang menilai draft MAI lebih menguntungkan kepentingan negara-negara maju, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan dan perlakuan terhadap investor. Ketentuan-ketentuan yang banyak menimbulkan keberatan dari negara-negara berkembang dari draft tersebut yang dianggap mencerminkan 73
Lihat M Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, Cambridge University Press, Cambridge, 2nd Edition, 2004, halaman 291-297.
92
konsep liberalisasi yang berlebihan dari kegiatan investasi mencakup isu-isu, seperti: the right of establishment; the provision on national treatment yang berlaku pada fase “pre-entry” maupun “post-entry”; prohibition on performance requirement; prohibition of export requirement,the domestic content requirement, the tying of imports to value of exports, requirement relating to transfer of technology, territorial exclusivity in export, the compulsory location of research and development activities, the entry of investment through joint ventures, and a requirement to hire local personnel.74 Semua persyaratan dan larangan tersebut di satu pihak sangat menguntungkan investor (yang pada umumnya dari negara maju), sebaliknya membatasi kedaulatan negara-negara berkembang dalam membuat aturan mengenai investasi. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa pada draft MAI sangatlah ekstensif dibandingkan dengan ketentuan serupa pada perjanjian-perjanjian bilateral di bidang investasi, yang meliputi tidak hanya sengketa antar negara, namun juga sengketa antara negara dengan badan usaha (investor). Kegagalan menjadikan draft MAI menjadi MAI disebabkan oleh banyak hal, antara lain: kuatnya peran oposisi dari NGO; aturannya yang kurang kuat/tegas sehingga dukungan dari kalangan dunia usaha bersifat setengah hati; tidak adanya kesepakatan di antara negara-negara maju sendiri mengenai norma-norma perlindungan investasi.75 2.
Ketentuan perlindungan investasi dalam kerangka WTO Jika kita mengacu pada Piagam Havana (“The Havana Charter”) pada tahun 1948 yang mengarah kepada pembentukan the International Trade Organization, dapat kita temukan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan investasi.76 Ketentuan Pasal 11 berkaitan dengan perlindungan dan perlakuan investasi
74 75 76
Lihat, Ibid, halaman 294-295. Ibid, halaman 297. Ketentuan pasal 11 dan 12 dari Havana Charter.
93
yang adil, sementara ketentuan Pasal 12 berkaitan dengan kewajiban “host country” untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara layak untuk melindungi (“safeguard”) investasi asing. Dalam perkembangan selanjutnya GATT lebih difokuskan kepada perdagangan dan upaya menghilangkan hambatan dalam perdagangan, sehingga isu investasi kurang mendapatkan porsi yang memadai. Pada putaran Uruguay mulai terdapat upaya yang sungguh-sungguh untuk mengintrodusir langkah-langkah tertentu yang berkaitan dengan investasi ke dalam isu-isu perdagangan internasional. Instrument WTO yang berpengaruh secara langsung kepada investasi dan memberikan kewenangan kepada WTO untuk mengurusi masalah investasi terdapat pada agreement tentang TRIPS, TRIMs, GATS. Misalnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan “government procurement” yang menerapkan prinsip non-diskriminasi menyangkut sumber bahan materialnya.77 TRIMs (the Trade Related Innvestment Measures) yang terkait secara langsung dengan investasi bukanlah merupakan dokumen yang komprehensif, karena hanya berkaitan dengan larangan penggunaan “performance requirements”. Sejak putaran Doha (Doha round), terutama sejak Ministerial Meeting di Singapore pada tahun 1996, telah dibentuk suatu kelompok kerja (“working group”) untuk melakukan kajian terhadap keterkaitan antara perdagangan dan investasi. Kajian tsb melibatkan UNCTAD yang banyak mempunyai pangalaman dalam perdebatan menyangkut penyusunan instrumen perjanjianperjanjian internasional. Isu-isu pokok yang dibahas meliputi:78 1) The definition of Investment; 2) Definition and the preservation of regulatory control; 3) Definition of investor; 4) Treatment standard; 5) Most-favoured-nation treatment; 77 78
Ibid, halaman 299. Untuk uraian selengkapnya, lihat, Ibid, halaman 304-311.
94
6) Expropriation; 7) Balance-of-payment safeguard; 8) Dispute resolution. 3. Convention on multilateral investment guarantee agency (MIGA) tahun 1985 MIGA yang didirikan oleh Bank Dunia dirancang sebagai suatu subjek Hukum Internasional yang berfungsi di satu sisi mendorong investasi serta pada sisi lain melindungi kepentingan investor atas “non-commercial risk” yang ditimbulkan dari kegiatan investasi. “Non-commercial Risk” tersebut meliputi persoalanpersoalan seperti: 1) Currency transfer; 2) Expropriation and similar measures; 3) Breach of contract; 4) War and civil disturbances. Di luar keempat kategori di atas, para pihak juga dapat memperluas cakupan “non-commercial risk” atas kesepakatan bersama. Kegiatan lain yang dilakukan oleh MIGA meliputi: riset, promise investasi, informasi kesempatan investasi, memberikan technical advice and assistance. MIGA juga mendorong negara-negara anggotanya untuk mengadakan perjanjian tentang perlindungan dan jaminan investasi. Konvensi MIGA juga mengatur (dalam Annex II) tentang mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui negosiasi, konsiliasi, maupun arbitrase. Dalam hal cara-cara penyelesaian tersebut tidak berhasil maka penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada ICSID (International Center for Settlement of International Disputes). 4. Convention on the settlement of investment disputes between states and nationals of other states of 1966 Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Investasi antara Negara dengan Badan Hukum Bukan Negara ditetapkan oleh para Direktur Eksekutif dari International Bank for Reconstruction and Development (the World Bank) pada tanggal 18
95
Maret 1965. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966, yaitu pada saat telah diratifikasi oleh 20 negara. Sampai dengan Desember 2002 Konvensi ini telah diratifikasi oleh 136 negara. Melalui Konvensi maka dibentuklah the International Center for Settlement of Investment Disputes atau yang dikenal dengan singkatan ICSID. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi, ICSID menyediakan berbagai fasilitas/kemudahan bagi Konsiliasi dan Arbitrase menyangkut sengketa investasi antara negara (hostcountry) dengan badan hukum/warga negara lain. Ketentuanketentuan konvensi dilengkapi dengan peraturan (regulations) dan kaidah (rules) yang ditetapkan oleh Administrative Council dari ICSID. ICSID Regulations and Rules terdiri dari: - Administrative and Financial regulations; - Rules of Procedure for the Instution of Conciliation and Arbitration Proceedings (Institution Rules); - Rules of Procedure for Conciliation Proceeedings (Conciliation Rules); - Rules of Procedure for Arbitration Proceedings (Arbitration Rules). Pada tanggal 29 September 2002, Administrative Council dari ICSID menyetujui perubahan atas ICSID Regulations and Rules. Perubahan tersebut berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2003. Konvensi terdiri dari 10 Bab dan 75 pasal, yaitu: - Bab I tentang ICSID, berisi ketentuan menyangkut pembentukannya, organisasi, pembiayaan, status, kekebalan dan hak-hak istimewa (Pasal 1-24); - Bab II tentang Yurisdiksi ICSID (Pasal 25-27); - Bab III tentang Konsiliasi (conciliation), (Pasal 28-35); - Bab IV tentang Arbitrase (Pasal 35 sampai dengan 55); - Bab V tentang Penggantian dan Diskualifikasi Conciliators
96
and Arbitrators (Pasal 56-58); - Bab VI tentang Biaya penyelenggaraan (Pasal 59-61); - Bab VII Tempat penyelanggaraan (Pasal 62-63); - Bab VIII tentang Sengketa antara negara anggota (Pasal 64); - Bab IX tentang Amandemen (Pasal 65-66); - Bab X tentang Ketentuan penutup dan tanda tangan (Pasal 67-65). Beberapa ketentuan penting dari Konvensi, antara lain: - ICSID terdiri dari Administrative Council serta Sekretariat yang terdiri dari Panel of Conciliators and Arbitrators;79 - ICSID mempunyai kedudukan penuh sebagai subjek hukum internasional (“international legal personality”) dan karenanya memiliki kapasitas untuk: membuat kontrak; memperoleh atau melepas kekayaan baik bergerak maupun tidak bergerak; menjalankan proses hukum serta menikmati imunitas dan memiliki hak-hak privileges;80 - Yurisdiksi ICSID meliputi sengketa hukum yang secara langsung timbul dari kegiatan investasi yang melibatkan hostcountry dengan warga/badan hukum negara lain yang merupakan investor di mana pihak yang bersengketa memberikan persetujuan tertulis bagi penyelesaian sengketanya melalui ICSID;81 - Sengketa investasi yang menjadi yurisdiksi ICSID dapat diselesaikan melalui cara konsiliasi82 dan/atau arbitrase;83 - Dalam hal penyelesaian melalui arbitrase, maka pihak yang dikalahkan dapat mengajukan pembatalan (“annulment”), apabila diajukan pembatalan maka harus dibentuk Ad Hoc 79
80 81 82
83
Untuk selengkapnya, baca: Convention on the Settlement of Disputes between States and Nationals of Other States of 1965 Pasal 1-16. Lihat ibid, Pasal 18-24. Ibid, Pasal 25. Mengenai tata cara penyelesaian sengketa melalui cara Konsiliasi, periksa “Rules of Procedure for Conciliation Proceedings” (“Conciliation Rules”). Mengenai tata cara penyelesaian sengketa melalui cara Arbitrase, periksa “Rules of Procedure for Arbitration Proceedings” (“Arbitration Rules”).
97
-
Committee dan Majelis Arbiter baru; atas keputusan majelis arbiter yang baru juga dapat dimintakan pembatalan (“annulment”) kembali; yang selanjutnya dibentuk Ad-Hoc Committee baru lagi yang harus memutus pada tingkat akhir;84 Pengajuan pembatalan (“annulment”) sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan dengan alasan-alasan sah, yaitu;85 a) Majelis arbiter dibentuk secara tidak wajar/layak; b) Majelis telah bertindak melebihi kewenangannya; c) Telah terjadi korupsi yang dilakukan oleh salah seorang/ lebih anggota majelis;
d) Telah terjadi penyimpangan yang serius terhadap kaidah atau prosedur fundamental yang berlaku. -
Keputusan (award) ICSID bersifat mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan bersifat final serta tidak ada upaya hukum lain (remedy) yang bisa ditempuh atas keputusan tersebut kecuali sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan konvensi. Setiap negara anggota wajib mengakui dan melaksanakan putusan ICSID.86
5. New York convention on recognition and enforcement of foreign arbitral awards of 1958 Konvensi yang ditetapkan di New York pada tanggal 10 Juni 1958 ini terdiri dari 16 (enam belas) pasal. Adapun beberapa ketentuan yang penting dari Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing ini, antara lain:87 84 85 86 87
Ibid, Pasal 50 dan 51. Ibid, Pasal 52. Untuk uraian selengkapnya, lihat ibid, Pasal 53-55. Bagi analisis selengkapnya tentang Konvensi ini, baca: Tineke Louise Tuegeh Londong, Asas ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Baca juga: Tony Budidjaja, Public Policy as Grounds Refusal of Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, PT Tata Nusa, Jakarta, 2002.
98
1) Konvensi berlaku untuk keputusan arbitrase asing yang dibuat oleh arbitrase di luar Negara tempat keputusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan; 2) Keputusan arbitrase tersebut dibuat, baik oleh arbitrase permanen maupun arbitrase untuk suatu kasus khusus; 3) Negara yang meratifikasi dapat menetapkan bahwa keputusan yang diakui adalah keputusan yang berkaitan dengan persoalan hukum yang termasuk dalam lapangan hukum komersial di negara tersebut; 4) Negara anggota konvensi mengakui bahwa keputusan arbitrase yang sudah memenuhi syarat-syarat tertentu bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah dan aturan dari negara di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan; 5) Pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing dapat ditolak atas permintaan salah satu pihak jika dipenuhi persyaratan, seperti: perjanjian arbitrase tidak sah, tidak ada pemberitahuan yang memadai tentang penunjukan arbiter, keputusan tersebut melampaui apa yang diminta untuk diputuskan, komposisi arbiter tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, keputusan tersebut belum mengikat atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pihak yang berwenang. Di samping perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat multilateral sebagaimana tersebut di atas, dapat dicatat beberapa dokumen yang penting yang mencerminkan upaya pengaturan internasional masalah investasi langsung, antara lain: a. The International Chamber of Commerce (ICC’s) Draft Guidelines for International Investment;88 b. The United Nations Commission on Transnational Corporation (UNCTC’s) Draft Code of Conduct on Multinational Corporation; 89 88 89
Untuk uraian selengkapnya, lihat M Sornarajah, op. cit, halaman 270. Beberapa isu yang dicakup dalam draft code of conduct tersebut, antara lain: preamble, definition, respect for national sovereignty, renegotiations of contract, noninterference on domestic affairs, economic and other control, disclosure of information, treatment of transnational orporation, dll.
99
c. World Bank’s Guidelines on Foreign Investment of 1992; d. NAFTA’s Provision on Investment.90 6. The international chamber of commerce (ICC’s) draft guidelines for international investment D. Perjanjian Regional di Bidang Investasi 1.
The ASEAN agreement on promotion and protection of investment of 1987 as amended in 1996 Merupakan suatu agreement yang cukup berarti yang menciptakan sistem perlindungan dalam lingkup ASEAN. Ketentuan dalam agreement ini juga mengikat anggota baru ASEAN dan berlaku terhadap kegiatan investasinya apabila persetujuan yang bersifat tertulis untuk maksud tersebut telah diberikan. Salah satu ciri khusus dari persetujuan ini adalah it contemplates hak unilateral dari host state untuk mencabut ketentuan tentang penyelesaian sengketa dari persetujuan ini bagi investor asing.
2.
The framework agreement for the ASEAN investment agreement 1998 as amended in 2001 (the framework agreement) Ketentuan dalam agreement ini mencakup hak-hak investor sejak pre-establishment, termasuk fasilitasi, promosi dan liberalisasi investasi asing langsung (“foreign direct investment”). Dalam agreement tersebut juga dinyatakan bahwa prinsip “national treatment” disetujui dan semua industri akan terbuka bagi investor ASEAN pada tahun 2010 dan kepada semua investor pada tahun 2020.91
3.
NAFTA’S provision on investment
E. Perjanjian Bilateral di Bidang Investasi Saat ini Indonesia telah menandatangani lebih dari 50 perjanjian 90
91
Dokumen ini telah dijadikan model bagi OECD’s Draft on Multilateral Agreement on Investment 1994. Bagi uraian selengkapnya mengenai ASEAN Framework Agreement 1998, baca Rajenthran Arumugam, “An Overview of Foreign Direct Investment Legal Rudiments in ASEAN”, dalam buku Regional Outlook, South East Asia 2006-2007, ISEAS, Singapore, 2006, halaman 81-84.
200
bilateral mengenai “promotion and protection on Investment”. Secara umum perjanjian-perjanjian bilateral termaksud memuat ketentuanketentuan pokok, sebagai berikut:92 1. Batasan-batasan yang terkait, seperti investasi, investor, kebangsaan, perseroan, wilayah;
92
2.
Kewajiban masing-masing pihak untuk mendorong dan menciptakan situasi yang favourable bagi investasi sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku;
3.
Lingkup persetujuan, yang biasanya mengacu kepada ketentuan hukum nasional masing-masing mengenai investasi;
4.
Kewajiban untuk memberikan ganti rugi yang diderita oleh investor asing karena keadaan-keadaan tertentu seperti perang, konflik bersenjata, negara dalam keadaan darurat, revolusi, pemberontakan, kerusuhan dan lain-lain di mana ganti rugi yang diberikan sama perlakuannya dengan perlakuan terhadap badan hukum dari negara tuan rumah;
5.
Larangan untuk melakukan tindakan nasionalisasi dan pengambilalihan kecuali untuk kepentingan public dari negara tuan rumah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal terpaksa dilakukan tindakan tersebut, maka harus disertai dengan ganti rugi sesuai dengan nilai pasar pada saat itu. Ganti rugi tersebut harus diberikan tanpa ditunda-tunda;
6.
Hak repatriasi modal, termasuk transfer keuntungan ke negara asal yang diberikan secara timbal balik;
7.
Penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah sejauh mungkin diselesaikan dengan cara-cara damai. Jika cara damai tidak dimungkinkan, maka penyelesaiannya dapat dilakukan baik melalui forum peradilan negara yang memiliki yurisdiksi tersebut atau melalui “International Center for Settlement of Investment Disputes” sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku;
Bagi analisis selengkapnya, lihat I.B.R Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Mitra Karya-Jakarta, 2005, Halaman 154-156.
201
8.
Sengketa antar negara yang menyangkut interpretasi dan implementasi perjanjian, pada instansi pertama diselesaikan melalui negosiasi diplomatik, jika gagal maka dapat dibentuk mahkamah arbitrase atau mahkamah internasional.
Dari ketentuan-ketentuan pokok yang terdapat pada perjanjianperjanjian bilateral mengenai “Promotion and Protection of Invesment” sebagaimana tersebut di atas, tampaklah bahwa tidak saja terdapat arah standardisasi dalam perjanjian bilateral di bidang investasi, namun juga terutama bentuk-bentuk jaminan dan perlindungan investasi yang diberlakukan secara “reciprocal” (timbal-balik). Dalam realisasinya, sikap dan kepatuhan dari negara-negara tuan rumah (“host country”) terhadap perjanjian-perjanjian di bidang investasi akan mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap iklim investasi negara tersebut. F. Perjanjian Internasional Lainnya Yang Terkait Dengan Masalah Investasi 1. WTO agreement of 1994, (trade related aspects of intelectual property rights (TRIPs), trade related investment measures (TRIMs), dan general agreements on trade in services (GATS) Apabila mengacu pada Piagam Havana (“The Havana Charter”) pada tahun 1948 yang mengarah kepada pembentukan the International Trade Organization, dapat kita temukan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan investasi.93 Ketentuan Pasal 11 berkaitan dengan perlindungan dan perlakuan investasi yang adil, sementara ketentuan Pasal 12 berkaitan dengan kewajiban “host country” untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara layak untuk melindungi (“safeguard”) investasi asing. Dalam perkembangan selanjutnya GATT lebih difokuskan kepada perdagangan dan upaya menghilangkan hambatan dalam perdagangan, sehingga isu investasi kurang mendapatkan porsi yang memadai. Pada putaran Uruguay mulai terdapat upaya yang sungguh-sungguh untuk mengintrodusir
93
Ketentuan Pasal 11 dan 12 dari Havana Charter.
202
langkah-langkah tertentu yang berkaitan dengan investasi ke dalam isu-isu perdagangan internasional. Instrument WTO yang berpengaruh secara langsung kepada investasi dan memberikan kewenangan kepada WTO untuk mengurusi masalah investasi terdapat pada agreement tentang TRIPs, TRIMs, GATS. Misalnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan “government procurement” yang menerapkan prinsip non-diskriminasi menyangkut sumber bahan materialnya.94 TRIMs (the Trade Related Innvestment Measures) yang terkait secara langsung dengan investasi bukanlah merupakan dokumen yang komprehensif, karena hanya berkaitan dengan larangan penggunaan “performance requirements”. Sejak putaran Doha (Doha round), terutama sejak Ministerial Meeting di Singapore pada tahun 1996, telah dibentuk suatu kelompok kerja (“working group”) untuk melakukan kajian terhadap keterkaitan antara perdagangan dan investasi. Kajian tsersebut melibatkan UNCTAD yang banyak mempunyai pangalaman dalam perdebatan menyangkut penyusunan instrument perjanjian-perjanjian internasional. Isuisu pokok yang dibahas meliputi:95 1) The definition of Investment; 2) Definition and the preservation of regulatory control; 3) Definition of investor; 4) Treatment standard; 5) Most-favoured-nation treatment; 6) Expropriation; 7) Balance-of-payment safeguard; 8) Dispute resolution 2. The ASEAN treaty on the protection and promotion of foreign investment of 1987
94 95
Ibid, halaman 299. Untuk uraian selengkapnya, lihat, Ibid, halaman 304-311.
203
G. Ketentuan-Ketentuan Soft Laws Yang Terkait Dengan Investasi 1. The Havana Charter of 1948. 2. The International Chamber of Commerce (ICC’s) Draft Guidelines for International Investment. 3. The United Nations Commission on Transnational Corporation (UNCTC’s) Draft code of Conducts on Multinational Corporation. 4. The OECD’s Study and Draft on Multilateral Agreement on Investment of 1994. 5. World Bank’s Guidelines on Foreign Investment of 1992. 6. UN Code of Conduct for Transnational Corporations. H. Kebutuhan Harmonisasi dan Sinkronisasi 1. Regulasi terkait investasi Salah satu permasalahan mendasar dalam menjalankan kegiatan investasi di Indonesia adalah adanya tumpang tindih peraturan baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah yang terkait secara langsung. Tumpang tindih peraturan dalam praktiknya telah menghambat proses kegiatan investasi, perlu diketahui bahwa implikasi dari tidak sinkronnya peraturan terkait menyebabkan pula pola pikir yang sektoral oleh aparaturnya. Bahwa tidak sedikit pelaku usaha/ investor yang menjadi bingung dengan adanya dualisme pengaturan terkait kegiatan yang mereka lakukan, bahkan tidak jarang bahwa investor harus menanggung biaya yang besar karena adanya pengaturan pada instansi yang berbeda padahal objek pengaturannya sama. Untuk menghindari permasalahan regulasi sebagaimana dimaksud di atas, perlu kiranya dilakukan langkah-langkah komprehensif terkait pembentukan peraturan baik yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan kegiatan investasi melalui pengawalan regulasi dimulai dari proses perumusan, penyusunan, penetapan, implementasi, sosialisasi sampai pada tahap monitoring dan evaluasi dengan menitikberatkan pada aspek harmonisasi dan sinkronisasi
204
serta tetap memperhatikan aspek substansial peraturan, agar permasalahan tumpang tindih regulasi secara signifikan dapat segera teratasi. 2. Kewenangan antar lembaga pemerintah Pentingnya sinkronisasi dan harmonisasi terkait kewenangan antar lembaga pemerintah dilatarbelakangi oleh intens-nya sengketa yang bersifat horizontal, yaitu sengketa yang ditimbulkan karena adanya fungsi dan kewenangan suatu instansi pemerintah atas objek yang sedang dikelola dan adanya intervensi dari instansi-instansi pemerintah lainnya yang terkait (biasanya menyangkut perizinan), sehingga menimbulkan tarik-menarik kepentingan di dalamnya. Dalam hal terjadinya sengketa kewenangan antar lembaga pemerintah ini, investor adalah pihak yang sangat dirugikan, karena operasionalisasi perusahaan akan terhenti sampai dengan terselesaikannya masalah antar instansi terkait. Dalam konteks harmonisasi dan sinkronisasi antar lembaga pemerintah, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperjelas tupoksi setiap lembaga dalam regulasi yang akan ditetapkan, tentunya dengan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada departemen/ instansi yang secara langsung akan bersinggungan dengan objek yang menjadi pengaturan. 3. Kewenangan antar pemerintah daerah Kewenangan antar Pemerintah Daerah biasanya terkait dengan masalah kewilayahan, pihaknya dapat terdiri atas dua pemda atau lebih. Pada umumnya, sengketa yang timbul terkait kewenangan antar pemerintah daerah terjadi pada saat investor melaksanakan kegiatan investasi pada wilayah suatu pemda dan dalam operasionalisasinya ada pemda lain yang merasa keberatan dengan kegiatan dimaksud karena dianggap merugikan atau memanfaatkan wilayahnya tanpa izin. Pihak yang sangat dirugikan dengan adanya sengketa ini adalah investor, karena kegiatan investasi akan terhenti sampai dengan terselesaikannya sengketa antara pemerintah daerah dimaksud.
205
4.
Kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Kebijakan otonomi daerah, seringkali ditafsirkan sebagai pelimpahan seluruh kewenangan pusat kepada daerah, sehingga tidak sedikit akibat dari pemahaman ini telah menimbulkan sengketa vertikal yaitu sengketa yang terjadi karena adanya silang kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sengketa ini biasanya menyangkut perizinan, pengelolaan atau kepemilikan usaha dalam kegiatan investasi. Oleh karenanya sebelum pemerintah daerah menetapkan regulasi atau kebijakan terkait investasi, perlu kiranya dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi terlebih dahulu dengan peraturan di tingkat pusat, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terbentur dengan ketentuan yang telah diatur.
I.
Reformasi Regulasi Guna Perbaikan Iklim Investasi 1. Kepastian dan penegakan hukum Kepastian dan penegakan hukum merupakan faktor yang tidak dapat ditawar dalam upaya perbaikan iklim investasi. Kegiatan investasi sebagaimana telah diuraikan di atas, menjadi lebih mudah untuk diprediksi apabila ditunjang dengan regulasi dan penegakan hukum yang konsisten, termasuk melaksanakan instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi karena akan memberikan kepercayaan kepada dunia internasional bahwa sistem hukum di Indonesia telah berjalan yang secara otomatis akan meningkatkan minat investasi. Agar kepastian dan penegakan hukum dapat terwujud sesuai harapan, perlu dilakukan langkah-langkah konkret baik dari sisi perumusan kebijakan yang memperhatikan dan menerapkan asasasas pembentukan peraturan yang baik sampai dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia yang ada dimulai dari aparatur pemerintah, penegak hukum, sampai dengan legislatornya. 2. Birokrasi dan pelayanan publik Buruknya birokrasi dan pelayanan publik telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi setiap pelaku usaha yang hendak
206
melakukan kegiatan penanaman modal. Berbagai isu terkait birokrasi dan pelayanan publik misalnya: korupsi, kolusi, nepotisme sampai dengan pungutan liar telah memposisikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Langkahlangkah konkret yang dapat dilakukan untuk menekan buruknya birokrasi dan pelayanan publik adalah melalui pembentukan regulasi yang mengutamakan kemudahan bagi kegiatan investasi. Kebijakan ini telah tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2007, khususnya mengenai sistem pelayanan satu atap yang diharapkan dapat mengakomodasi keinginan investor untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Namun dalam implementasinya hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal. Dengan demikian, peningkatan kualitas SDM kembali menjadi agenda penting dalam upaya pembenahan birokrasi dan pelayanan publik. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah reformasi terhadap aparatur negara melalui perbaikan integritas moralnya, kemampuan profesionalnya, kematangan intelektualnya dan wisdomnya. 3. Kewenangan antar lembaga Koordinasi yang harmonis di antara berbagai institusi yang berkaitan dengan efektivitas sistem hukum, merupakan hal penting dalam menata hukum di bidang investasi. Kejelasan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari masing-masing institusi akan meniadakan duplikasi dan konflik atar lembaga negara. Untuk itu, diperlukan mekanisme koordinasi yang dipahami dan mengikat bagi instansi-instansi terkait, misalnya menyangkut masalah promosi investasi, perizinan, fasilitas investasi, dll. Adapun penertiban koordinasi kelembagaan mencakup: sinkronisasi wewenang dan peningkatan kerjas ama antar lembaga. Diharapkan dengan tertibnya koordinasi antara instansi terkait, akan memberikan kejelasan dan kepastian dalam pemenuhan kewajiban mereka dan menciptakan efisiensi dalam berusaha
207
yang secara langsung akan memberikan dampak positif bagi kegiatan investasi. J.
Regulasi Investasi Yang Mampu Mengakomodir Kebutuhan Sekarang dan Masa Mendatang Memaknai berbagai permasalahan kegiatan investasi di antaranya menyangkut regulasi, kebijakan, kualitas SDM, sistem pemerintahan, ketersediaan fasilitas, dll, perlu kiranya dilakukan upaya-upaya yang secara signifikan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia, langkah-langkah dimaksud di antaranya adalah:96 1. Menjamin konsistensi dalam perumusan kebijakan dan implementasinya di bidang investasi langsung. 2. Memperbaiki birokrasi perizinan. 3. Meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi kelembagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. 4. Penyediaan infrastruktur yang memadai. 5. Memelihara stabilitas politik dan keamanan yang kondusif bagi iklim investasi. 6. Menawarkan bentuk insentif investasi yang proporsional, baik pajak maupun non pajak. 7. Meningkatkan implementasi jaminan dan perlindungan investasi. 8. Reformasi aparatur negara dan pelayanan publik serta meningkatkan peran serta masyarakat. 9. Melindungi hak-hak normatif tenaga kerja serta mendorong produktivitas dan etos kerja yang tinggi. 10. Mendorong terciptanya kepastian dan penegakan hukum yang bersendikan keadilan, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif. 11. Mendorong kesempatan dan partisipasi usaha kecil, menengah dan koperasi. 12. Memanfaatkan hasil-hasil pembangunan dan investasi untuk kesejahteraan masyarakat, terutama orang-orang miskin.
96
IBR. Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Mitra Karya-Jakarta, 2005,
208
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Masuknya investasi (terutama asing) ke dalam suatu negara (berkembang khususnya) memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam memacu pembangunan ekonominya, mengingat kebutuhan akan modal pembangunan masih merupakan masalah utama bagi mereka. Terdapat tiga hal utama yang diinginkan oleh investor dan pengusaha dalam rangka memanamkan investasinya yaitu: penyederhanaan sistem dan perizinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih kaitannya dengan tidak sinkron dan harmonisnya peraturan perundangundangan dan stabilitas politik. Terdapat 3 (tiga) pola pendekatan di bidang investasi yang biasa diterapkan oleh berbagai negara, yaitu pendekatan pragmatis, pendekatan integratif dan pendekatan diferensiasi. Pendekatan pragmatis mengatur berbagai bidang investasi secara terpisah, misalnya sektor riil, sektor finansial, sektor pertambangan umum dan sebagainya. Pendekatan integratif menerapkan kebijakan dengan menyatukan seluruh bidang dalam satu bidang tunggal. Pendekatan ini tidak lagi membedakan antara penanam modal asing dengan penanam modal dalam negeri. Semua penanam modal diberi perlakuan dan kesempatan yang sama. Sedangkan pendekatan diferensiasi, ciri pragmatis dalam pengaturan berbagai bidang investasi tetap dipertahankan di samping melakukan berbagai upaya untuk menyatukan atau menyederhanakan berbagai peraturan dalam masing-masing bidang penanam modal asing yang ada. Hukum investasi sebagai bagian dari hukum ekonomi harus mempunyai fungsi stability, yaitu bagaimana hukum dapat menyeimbangkan dan mengakomodasi berbagai kepentingan dalam masyarakat. Perlunya wibawa hukum agar dapat ditaati dan menjadi pegangan dalam menjalankan relasi dalam lalu lintas bisnis. Walaupuan sudah diatur dengan UUPM, dalam tataran normatif masih diperlukan
209
peraturan pelaksanaan lainnya yang sekaligus mencabut peraturanperaturan yang bertentangan dan bersifat kontradiktif. Pengaturan mengenai penguatan kelembagaan yang mendukung pelaksanaan hukum investasi juga harus mendapat perhatian utama. B . Rekomendasi
210
1.
Pemerintah harus berupaya keras untuk me-rebuild persepsi investor terutama investor asing terhadap iklim berusaha di Indonesia.
2.
Mengingat regulasi masih dipandang sebagai kendala terbesar dalam menjalankan bisnis atau penghambat dalam pengembangan investasi, terutama investasi asing, maka pemerintah perlu meningkatkan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan di bidang hukum investasi maupun yang terkait dengan investasi.
3.
Pembenahan keterpaduan dan koordinasi dari aspek aparatur penegak hukum pendukung investasi. Pemerintah pusat harus mengatur kejelasan pembagian wewenang dan ukuran investasi yang berhak dikelola oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA
Araga, Pandji, Perusahaan Multinasional, Penanaman Modal Asing. Pustaka Jaya, Jakarta, 1995. Arumugam, Rajenthran, “An Overview of Foreign Direct Investment Legal Rudiments in ASEAN”, dalam buku Regional Outlook, South East Asia 2006-2007, ISEAS, Singapore, 2006. ASEAN Framework Agreement 1998. Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan, Kompendium Perdagangan, Jakarta, 1994. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, West Publishing Company, 1979. Budidjaja, Tony, Public Policy as Grounds Refusal of Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, PT Tata Nusa, Jakarta, 2002. Ciambella and Davidson, Investment in South-East Asia, Singapore, 1987. Dolzer, R and Stevens, M, Bilateral Investment Treaties, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1995. “Ekonomi Indonesia Bisa Booming Jika Pemerintah Serius Lakukan Reformasi”, Media Indonesia, 20 Maret 2000. Hartono, Sunaryati, Beberapa Permasalahan Transnasional pada Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1971. Himawan, Charles, The Foreign Investment Process in Indonesia, Gunung Agung, Singapura, 1980. ICSID (International Center for Settlement of International Dispute), Rules of Procedure for the Institution of Conciliation and Arbitration Proceedings (Institution Rules), 2003.
211
ICSID, Administrative and Financial Regulations, 2003. ICSID, Rules of Procedures for Arbitration Proceedings (Arbitration Rules), 2003. Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004. “Indonesia Masih Menarik Investor Asing”, Media Indonesia, 7 Oktober 2000. “Indonesia Takkan Ubah Kontrak Karya dengan PT Freeport”, Suara Pembaharuan, 5 Maret 2000. International Chamber of Commerce (ICC), Dispute Board Rules, with Standard ICC Dispute Board Clauses & Model Dispute Board Member Agreement, 2004. “Investor Butuh Jaminan Keamanan”, Media Indonesia, Mei 2001. “Investor Jepang Masih ragu-ragu”, Media Indonesia, 20 Maret 2000. Kanumoyoso, Bondan, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Pustaka Sumur Harapan, Jakarta, 2001. Kartasapoetra, G, RG Kartasapoetra, AG Kartasapoetra, A Setijadi, Manajemen Penanaman Modal Asing, Bina Aksara, Jakarta, 1985. Laporan Akhir, Sinkronisasi dan Harmonisasi Program Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depkumham RI, 2008. Laporan Penelitian tentang Penyelesaian sengketa di bidang Pertambangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depkumham, 2007. Londong, Tineke Louise, Tuegeh, Asas ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Modjo, M Ikhsan, “Implementasi Paket Kebijakan Investasi”, Jawa Pos, 13 Maret 2006. Moran, Theodore H (ed), International Political Risk Management, Exploring New Frontiers, The World Bak Group, Washington; OECD, Benchmark Definition of Foreign Direct Investment Third Edition, http://www.oecd.org/dataoecd/10/16/2090148.pdf. OECD’s Draft on Multilateral Agreement on Investment 1994.
212
Qi, Cheng Wei, Investing in China, Legal Perspectives, Butterworth, Hongkong, 2003. Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, cetakan ketiga, 2003. Rules of Procedure for Arbitration Proceedings” (“Arbitration Rules”). Rules of Procedure for Conciliation Proceedings” (“Conciliation Rules”). S.Lev., Daniel, “Pemulihan Negara Hukum”, Tempo 6 Januari 2002. Schrever, C, ICSID Convention A Commentary, Cambridge University Press, Cambridge, 2001. Sornarajah, M, The International Law on Foreign Investment, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2004. Sornarajah, M. The International Law on Foreign Investment, Cambridge University Press, Cambridge, 2nd Edition, 2004, halaman 291-297. Sumantoro, Peranan Perusahaan Multinasional dalam Pembangunan Negara yang sedang Berkembang dan Implikasinya di Indonesia. Alumni, Bandung, 1983. Supancana, I.B.R, “Aspek-Aspek Kontraktual pada Pembangunan dan Pengoperasian Proyek-Proyek Infrastruktur dengan Pola BOOT (Build, Own, Operate and Transfer)”, Center for Regulatory Research, 2002. Supancana, I.B.R, Jaminan dan Perlindungan Investasi dalam Pembangunan Infrastruktur Bidang Transportasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2006. Supancana, I.B.R, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006. Suwandi, Adig, Pelarian Modal, Mengapa Terjadi?, Artikel Kompas, Rabu 26 Desember 2001. Tambunan, Tulus, “Iklim Investasi di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi”, Kadin Indonesia-Jetro, 2006. “TIMTENG dan ASEAN Dukung Investasi di RI”, Kompas, 31 Juli 2000.
213
UNCITRAL, Model Law on International Commercial Conciliation with Guide to Enactment, 2002. —————, UNCITRAL Arbitration Rules, UNGA Resolution 31/98. —————, UNCITRAL Conciliation Rules, 1980. —————, UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration, 1985. —————, UNCITRAL tes on Organizing Arbitral Proceedings, 1996. UNCTAD, Dispute Settlement: Investor-State, UNCTAD Series on Issues in International Investment Agreements, Geneva, 2003. ————-, Dispute Settlement: State-State , UNCTAD Series on Issues in International Investment Agreements, New York, 2003. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UNECOSOC, UNECOSOC Proposed Text of the Draft Code of Conduct for Transnational Corporation, 1991. Yasin, H Nazarkhan, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
214
PERSONALIA TIM
Ketua
:
Prof. Dr. I.B.R. Supancana, S.H., M.H.
Sekretaris
:
Purwanto, S.H., M.H.
Anggota
:
1. Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H., M.H. 2. Dr. Riyatno, S.H., LL.M. 3. Widodo, S.H. 4. Miftahul Hakim, S.H. 5. Sumiyati Sahala, S.H., M.Hum. 6. Sri Sedjati, S.H., M.H. 7. Drs. Ulang Mangun Sosiawan, M.H. 8. Tyas Dian Anggraeni, S.H., M.H.
215
216