BAB I
TIM KOMPENDIUM BIDANG HUKUM TENTANG LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pembangunan hukum merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam rangka pembangunan suatu negara, untuk itu berhasilnya suatu
Disusun Oleh Tim Kerja Di bawah Pimpinan
pembangunan
mengaturnya.
Dr. Tjip Ismail, S.H., M.H., MBA
Hukum
di
pengaruhi
berfungsi
produk
memberi
peraturan kepastian
yang hukum
(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan 1
(gerechtigkeit). Di samping itu juga hukum sebagai alat untuk mengatur tata tertib masyarakat. Peraturan yang tumpang tindih atau bertentangan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain sangat merugikan masyarakat dan negara, karena menimbulkan “ambiguitas” dan ketidakpastian hukum. Untuk itu, hukum sebagai sarana kontrol sosial dapat memberikan solusi dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL JAKARTA 2011
Dalam suatu masyarakat yang sedang membangun peranan
1
Sudikno dan Pitlo, 1993, hlm. 1.
hukum memegang arti penting, fungsi peranan itu dilakukan
pemungutan pajak negara harus didasarkan pada undang-
dengan memanfaatkan hukum yang telah dipercaya untuk
undang. Politik hukum nasional di bidang perpajakan tercantum
mengembangkan misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VII B Pasal 23A, yang
perubahan sosial (social engineering) dan sarana pembinaan
menyatakan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat
hukum di masyarakat (social control and dispute settlement).
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Kepercayaan ini didasarkan pada hakikat dan potensi hukum
Demikian pula di negara-negara maju berlaku slogan dalam
sebagai inti kehidupan masyarakat.
pemungutan pajak: “no taxation without representation” bahwa
3
Negara kita berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan tidak
tidak ada pajak tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau
berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachtsstaat), hal ini
“taxation without representation is robbery” bahwa pemungutan
2
2
ditemukan pada beberapa ketentuan yakni: (a) penjelasan UUD
pajak tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat berarti
1945 mengenai sistem pemerintahan, (b) penegasan penolakan
pencurian. Untuk itu fungsi pajak sangat vital dan strategis dalam
terhadap kekuasaan yang bersifat absolutisme, (c) negara hukum
penyelenggaraan pemerintahan umum, pengaturan ekonomi,
di Indonesia dalam arti materiil, (d) sejalan dengan negara
pemerataan
demokrasi, (e) kekuasaan kepala negara terbatas bukan tak
menyebabkan setiap negara menghendaki agar pemungutan pajak
terbatas, (f) dan dalam batang tubuh mengatur rumusan tentang
dapat terlaksana dengan baik. Apalagi penerimaan negara dari
hak-hak kemanusiaan. Dalam negara hukum yang bertujuan
sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan
mensejahterakan
pemerintah. Jika ditarik lebih lanjut, apapun sistem pajak yang
seluruh
Marbun, 2003, hlm. 11-13.
warga
negaranya
(walfare
state),
3
pendapat
Soemitro, 2004, hlm. 16.
dan
peningkatan
pembangunan
dilaksanakan maka ukuran keberhasilan akan berpulang pada jumlah setoran pajak pada kas negara.
4
umumnya dan wajib pajak pada khususnya. Dalam pemungutan
Hal tersebut bukan
pajak patut diperhatikan mengenai ketelitian dan kebenaran
pekerjaan mudah untuk seluruh aparatur Dirjen Pajak, mengingat
administrasi dan fiskus. Hal ini berkaitan dengan munculnya
perubahan tingkat kepatuhan wajib pajak (tax payer) belum
ketidakpuasan dari wajib pajak yang tidak mau menerima tindakan
signifikan, sedangkan target perorehan pajak dari tahun ke tahun
fiskus sehingga menimbulkan adanya sengketa antara wajib pajak
diharapkan selalu meningkat.
dan fiskus. Sengketa pajak sangat terbuka mengingat wajib pajak
Keberhasilan dalam pemungutan pajak dipengaruhi oleh 5
sering berpendapat untuk membayar pajak itu harus sekecil
sistem perpajakan yang mana dalam Undang-Undang Perpajakan
mungkin bahkan kalau perlu menghindarkan diri dari kewajiban
Indonesia berlandaskan pada ajaran The Four Maxims. Adam
membayar pajak, sedang fiskus sebagai pemungut dibebani
Smith (1723-1970) dalam bukunya yang berjudul An Inquire into
pemasukan negara dari pajak yang sangat besar.
the Nature and Cause of the Wealth of Nations yang diterbitkan
Dalam bagian menimbang pada Undang-Undang Nomor
1776 menyatakan asas the four maxims itu terdiri dari: equity
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak LNRI 2002 Nomor 27
(keadilan),
efisien
TLNR 14189 menyebutkan: ... diperlukan suatu Pengadilan Pajak
(convenience of payment). Akan tetapi akan prakteknya sukar
yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia
dipahami dan tidak sederhana dalam implementasinya yang pada
dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam
akhirnya berujung pada terusiknya rasa keadilan masyarakat pada
penyelesaian sengketa pajak. Hanya saja dalam realitas sekarang
certainty
(kepastian),
ekonomis
dan
6
apakah keberadaan pengadilan pajak itu sudah mencerminkan 4
Huda, 2005, hlm. 70. Muqodim, 1999, hlm. 24. 6 Hadi Irawan, 2003, hlm. 10. dan Moh. Zain, 1990, hlm. 33-35. 5
sistem kekuasaan kehakiman seraya dengan perubahan beberapa
8
ketentuan undang-undang baik Undang-Undang Nomor 14 Tahun
keputusan kepala daerah. Permohonan banding diajukan dalam
1970 yang sudah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun
waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima.
2004 dan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan 9
tentang Kekuasaan Kehakiman serta beberapa peraturan lainnya.
mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun demikian pihak-pihak
Keberadaan pengadilan pajak diatur secara khusus dalam
yang bersengketa dapat mengajukan peninjauankembali atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,
putusan
yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus
peninjauan kembali tersebut hanya dapat diajukan satu kali kepada
7
pengadilan
perkara tentang sengketa pajak. Sengketa pajak dimaksud adalah
Mahkamah
Agung
antara lain adalah banding atas keberatan wajib pajak terhadap
menangguhkan
pajak
melalui
atau
Mahkamah
Agung.
pengadilan
menghentikan
pajak
Permohonan
dengan
pelaksanaan
tidak
putusan
pengadilan pajak. 7
Disamping permohonan banding, wajib pajak dapat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa: (1) WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala daerah/pejabat yang ditunjuk atas: a. Surat ketetapan pajak daerah; b. Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar; c. Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan; d. Surat ketetapan pajak daerah lebih bayar; e. Surat ketetapan pajak daerah nihil; f. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan di daerah yang berlaku; (2) Keberatan diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas; (3) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, wajib pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
mengajukan
gugatan
atas
pelaksanaan
penagihan
kepada
Pengadilan Pajak. Dalam hal wajib pajak merasa keberatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak oleh pemerintah daerah, wajib pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak.
8
Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002.
Jangka waktu untuk mengajukan gugatan pelaksanaan pengadilan
adalah hanya pengelakan/penyulundupan dan pelalaian pajak
pajak daerah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan
saja, sedangkan penghindaran pajak pada dasarnya dapat
penagihan.
dilakukan oleh wajib pajak karena tidak bertentangan dengan
Undang-Undang
Nomor
14
Tahun
2002
tentang
Undang-Undang Perpajakan.
12
Pengadilan Pajak menyatakan sengketa pajak sebagai sengketa
Saat ini Indonesia telah memiliki empat lingkup peradilan,
yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan
penanggung pajak dan pejabat pajak yang berwenang sebagai
Militer, dan Peradilan Agama. Amademen terhadap Undang-
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding
Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-Undang Nomor 4
atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan
Tahun 2004 hingga pada perubahan terakhir dengan Undang-
perundang-undangan
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tidak merubah ketentuan apapun
perpajakan,
termasuk
gugatan
atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. sengketa avoidance),
pajak
terjadi
11
Menurut R. Santoso Brotodiharjo,
karenan
penghindaran
hal
ini.
Amandemen
tersebut
menimbulkan
permasalahan tersendiri pada saat Pengadilan Pajak dibentuk.
pajak
(tax
Keberadaan Pengadilan Pajak, sekilas dapat diketahui bahwa
evasion),
dan
pengadilan ini tidak mungkin masuk dalam lingkup Peradilan
Sebenarnya yang merupakan sengketa pajak
Umum karena Pengadilan Pajak menyelesaikan sengketa negara
pengelakan/
pelalaian pajak.
10
mengenai
penyulundupan (tax
yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh Negara, 10
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. LN Nomor 27 Tahun 2002 dan TLN Nomor 4189 Tahun 2002. 11 R. Santoso Brotodiharjo, Ilmi Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1987, hlm. 14.
khususnya Kantor Perpajakan baik itu di daerah dan/atau di pusat.
12
Mardiasmo, perpajakan,
Secara singkat dapat dinyatakan obyek gugatan dalam pengadilan
Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa
Pajak adalah putusan dari pejabat Negara. Sehingga dengan
upaya peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea
demikian, dapat dikatakan bahwa Pengadilan Pajak memiliki
masuk dan cukai, dan pajak daerah, dalam prakteknya, terkadang
kemiripan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam
dilakukan tanpa adanya peningkatan keadailan terhadap para
ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ayat 1
wajib pajak itu sendiri. Karenanya masyarakat, dalam hal ini para
dan ayat 5 menyatakan sebagai berikut :
wajib
pajak,
seringkali
kewajiban,perpajakan/
merasakan
bea
tidak
bahwa
peningkatan
memenuhi
asas
sengketa
antara
keadilan,
Ayat 1 menyatakan:
sehingga
Badan pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
perpajakan
meliputi badan peradilan dalam lingkup peradilan umum, peradilan
penyelesaian sengketa perpajakan, dirasakan adanya suatu
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk
menimbulkan dan
pihak
berbagai Wajib
Pajak.
Untuk
instansi
mempermudah
menanganinya. Ayat 5 menyatakan:
Walaupun sebelumnya telah didirikan lembaga khusus
Peradilan tata usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyelesai sengketa pajak yang dikenal dengan nama Badan
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sejak Tahun 1998, namun
sengketa tata usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
kebutuhan untuk membentuk badan peradilan seperti Pengadilan
perundang-undangan.
Pajak yang sekarang, ternyata tetap ada. Dalam butir-butir pertimbangan pada Undang-undang Pengadilan Pajak Nomor 14
Tahun 2002 dikatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung, karena itulah diperlukan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di
"sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang penagihan pajak dengan Surat Paksa."
Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum Adapun yang menjadi Keputusan dijelaskan lebih lanjut di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian 4
dalam pasal 1 angka 4 undang undang Pengadilan Pajak, yaitu:
hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
"Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang Kehadiran Pengadilan Pajak diharapkan dapat Iebih perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang memberikan keadilan dan kepastian hukum yang tidak didapatkan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dari institusi penyelesai sengketa pajak sebelumnya. Ekspektasi dan
dalam
rangka
pelaksanaan
Undang-undang
inilah yang hendak dicoba untuk dijawab oleh Pengadilan Pajak. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa." Sejak awal pendiriannya, Pengadilan Pajak cukup diminati oleh Dalam Undang Undang Pengadilan Pajak ini juga memberi para pihak
yang bersengketa pajak
dan dianggap cukup pengertian mengenai pajak dalam pasal 1 angka 2, yaitu:
menjanjikan sebagai suatu badan peradilan yang baru dibentuk "Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh dalam hal kepastian hukum. Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dart Undang Undang Pengadilan Pajak memberikan pengertian pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan mengenai yang dimaksud dengan sengketa pajak yang terdapat peraturan perundang-undangan yang berlaku." dalam pasal 1 angka 5 yang berbunyi:
Pengertian pajak di atas memberikan pemahaman bahwa
penyelesaian sengketa pajak yang dicoba diselesaikan dengan
tidak ada satu jenis sengketa pajak pun yang diatur dalam
mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan
peraturan perundang-undangan yang dikecualikan untuk dapat
Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan (out of court
diperiksa di Pengadilan Pajak setelah memenuhi persyaratan-
settlement).
13
persyaratan yang telah tertera dalam Undang-undang. Wajib
Namun tidak seperti halnya pengadilan lain, Pengadilan
pajak menurut Ketentuan Perpajakan, dapat terdiri dari: (1) orang
Pajak tidak mengenal upaya hukum banding ke pengadilan tinggi
pribadi (2) badan (termasuk badan hukum dan badan-badan
maupun kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan
usaha lainnya), (3) bentuk usaha tetap. Dengan demikian ketiga
Pengadilan pajak yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan
wajib pajak tersebut dapat menyelesaikan sengketa pajaknya di
pada Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dalarn putusan atas
Pengadilan Pajak.
permohonan
judicial
review
yang
diajukan
oleh
Cornelius
Hal unik pada Pengadilan pajak ini adalah adanya 2 (dua)
Moningka Vega atas pasal 33 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1)
jenis upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu pengajuan banding
Unndang Undang Pengadilan Pajak yang mengeliminasi upaya
dan gugatan. Banding adalah upaya yang dilakukan wajib pajak
hukum banding maupun kasasi, lebih lanjut mengatakan bahwa
bila ia merasa tidak puas dengan keputusan atas Keberatan yang
proses pengadilan pajak berdasarkan Undang Undang Nomor 14
diajukan. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat diajukan wajib
Tahun 2002 sama dengan proses pemeriksaan pada Pengadilan
pajak bila ia merasa tidak puas dengan prosedur penagihan pajak
Tinggi Tata Usaha Negara karena tersedianya upaya banding
atau keputusan lain di bidang perpajakan/bea dan cukai. Upaya
administratif bagi pencari keadilan. Penulis tidak sepenuhnya
hukum banding dapat mengakomodasi ketidakpuasan terhadap
13
Desita Sari. Sistem Peradilan Pajak. Jurnal Teropong Vol.III No. 12 Desember 2004., hlm. 126.
setuju terhadap hal ini karena selain dari banding ada upaya
Keuangan. Banyak kaiangan yang mengkhawatirkan bahwa
hukum lain yang dapat diajukan ke Pengadilan Pajak yaitu upaya
keadaan ini akan mempengaruhi independensi hakim dalam
hukum gugatan.
14
memeriksa dan memutus perkara.
Sama halnya dengan subyek pada Peradilan Tata Usaha
Pada dasarnya Pengadilan Pajak memang mempunyai
Negara, subyek pada Pengadilan Pajak dalam keadaan yang
karakteristik yang hampir menyerupai Peradilan TUN dilihat dari
tidak seimbang, antara wajib pajak atau penanggung pajak
jenis sengketa (obyek sengketa) yang dapat diperiksa dan diputus.
dengan pejabat yang berwenang. Hakim yang independen akan
Pada subyek sengketa terdapat sedikit perbedaan dikarenakan
mengambil peranan untuk membuat keadaan ini mejadi lebih
Peradilan TUN hanya mengakui orang dan badan hukum perdata
seimbang. Hakim pada Pengadilan Pajak diharuskan memiliki
saja yang dapat mengajukan perkaranya untuk diperiksa.
tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian khusus di
Pengadilan Pajak mengakui Bentuk Usaha Tetap sebagai
bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana
salah satu subyek yang dapat mengajukan perkara untuk diperiksa
lain. Secara praktek, hakim pada pengadilan pajak sebagian
di Pengadilan Pajak. Hal ini bagi sebagian akademisi tidak sesuai
besar adalah mantan pejabat pada Departemen Keuangan pada
sehingga tidak sepantasnyalah apabila Pengadilan Pajak berada di
khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan bukan hakim karir yang
bawah Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagian kalangan
berasal dari sistem pembinaan karir pada umumnya. Selain itu
kemudian mengartikan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan
pembinaan terhadap hakim pengadilan pajak memang bukan di
tersendiri yang terpisah dari 4 lingkup Peradilan di Indonesia.
bawah
Namun hal ini tidaklah terlalu tepat dikarenakan tidak ada satupun
Mahkamah
Agung
namun
dibawah
Departemen
pasal di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang menyiratkan 14
Ibid., hlm. 127.
bahwa Pengadilan Pajak adalah Pengadilan tersendiri. Salah satu
mengatur batasan kekhususan suatu pengadilan khusus yang
penjelasan Umum alinea terakhir pada Undang-undang tersebut
berada di bawah 4 lingkup peradilan yang telah ada. Mencontoh
hanya menyebutkan:
kepada pengadilan khusus yang telah berjalan sekian lama selama
Iingkup
"...bahwa ada kekhususan-kekhususan yang terdapat
ini seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM
pada Pengadilan Pajak karenanya dalam Undang-undang
yang berada di dalam lingkup Peradilan Umum, maka kekhususan-
ini diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan
kekhususan itu diperbolehkan untuk ada sebagai ciri khas dari
Pengadilan Pajak."
Pengadilan
Selain itu, bukanlah hal yang tabu bila kita merubah 4
disesuaikan dengan tujuan pembentukan pengadilan tersebut.
peradilan
seperti
kondisi
sengketa
dapat
masyarakat menuntut hal ini. Keempat lingkup peradilan yang kita
peradilan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
anut bukan bentuk baku namun hal ini memang akan merombak
Nomor 4 Tahun 2004 yang sudah diubah menjadi Undang-Undang
peraturan perundang-undangan yang menjadi payung pada sistem
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana
kekuasaan
dalam
Indonesia.
bila
penyelesaian
Pengadilan Pajak ini memberi warna baru dalam sistem
di
ini
agar
sosial
kehakiman
sekarang
tersebut
Kesiapan
infrastruktur,
ketentuan
peraturan
tersebut
terlihat
sekali
terjadi
sosiologis, dan sumber daya manusia harus diperhitungkan dalam
ketidaksinkronan dari pasal-pasal yang ada antar peraturannya
hal ini.
melahirkan ketidakpastian hukum. Ketentuan Undang-Undang di Diberlakukannya amandemen undang-undang Kekuasaan
atas saling tarik ulur untuk menempatkan peradilan pajak dalam
Kehakiman seharusnya dapat menghilangkan kesimpangsiuran
lingkup kompetensinya sebagaimana amanah dalam Undang-
yang ada. Selain itu tidak ada suatu aturan khusus apapun yang
Undang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi di pihak lain Undang-
Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dan
lembaga peradilan yaitu: lingkungan peradilan umum, lingkungan
Undang-Undang Pengadilan Pajak mendapatkan dirinya dalam
peradilan
peradilan “istimewa” yang kita analisa ketentuan ini tidak mau
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
menundukkan dalam sistem peradilan yang ada sesuai dengan
Konstitusi.
ketentuan Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 9
agama,
Idealnya
lingkungan
pengadilan
peradilan
pajak
yang
militer,
lingkungan
menyelenggarakan
Tahun 1994 yang sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor
peradilan pajak kedudukannya berada dalam sistem peradilan di
16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
Indonesia sesuai ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 14
merupakan “lex post prior” jika dibanding dengan Undang-Undang
Tahun 2002, dan juga peradilan pajak seharusnya dapat
Nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
memberikan perlindungan hukum terhadap pencari keadilan yaitu
merupakan “lex prior”.
wajib
Dengan demikian eksistensi pengadilan pajak menurut Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Pasal 33
pajak,
sehingga
dapat
tercapai
supremasi
hukum
(rechtmatigheid) dalam sistem peradilan (unity court system) di Indonesia
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tidak konsisten dengan sistem peradilan yang berlaku
Pembina Hakim di Pengadilan Pajak Undang-Undang
Nomor
14
Tahun
2002
tentang
sebagai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2004
pengadilan pajak pada bagian keempat tentang pembinaan Pasal
yang sudah diubah dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
5 ayat (1) menyatakan bahwa: “pembinaan teknis peradilan bagi
tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 18 mengenal empat
pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan ayat (2)
menyatakan: “pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan
independensi dari putusan sengketa pajak. Apabila ada sengketa
bagi pengadilan pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
maka permohonan atau wajib pajak mustahil mendapatkan
Rumusan ini menunjukkan bahwa pengadilan pajak adalah bentuk
keadilan
penggabungan kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Dari ketentuan
digaji/tunjangan oleh eksekutif (Menteri Keuangan) serta tempat
kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa hakim pengadilan pajak
persidangan bertempat di gedung keuangan (eksekutif) sehingga
“berkepala dua atau satu kapal bernahkoda dua” yaitu Mahkamah
akan dirasa setiap keputusan cenderung tidak independensi.
Agung dan Kementerian Keuangan “Jika ditilik dari sisi Mahkamah
Keberadaan ketentuan pasal tersebut dirasa bertentangan dengan
Agung pembinaan teknis tersebut tentunya tidak menjadi masalah
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
artinya tidak terlalu menimbulkan kekhawatiran akan kebebasan
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Akan tetapi
dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan
pembinaan
oleh
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
akan
Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal
memunculkan keraguan bagi wajib pajak pencari keadilan.
27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang sudah diubah
Sehingga dapat dirasakan adanya ketergantungan hakim-hakim
dengan
pengadilan pajak kepada Menteri Keuangan sehingga akan
perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang KUP
mempengaruhi setiap keputusan dalam sengketa pajak yang
menyatakan: “Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan
melibatkan
organisasi,
Keputusan Tata Usaha Negara” rumusan pasal ini semakin
administrasi dan keuangan, semua ini akan berpengaruh terhadap
menunjukkan ketidakjelasan eksistensi pengadilan pajak dalam
Kementerian
organisasi, Keuangan
pihak
yang
administrasi akan
dan
menjadi
membinanya
keuangan
polemik
dari
segi
dan
di
pengadilan
Undang-Undang
pajak
Nomor
karena
16
Tahun
hakim-hakimnya
2000
dengan
sistem pengadilan di Indonesia. Mengingat ketetapan yang
peradilan umum dan peradilan tata usaha negara dan peradilan
dikeluarkan Dirjen Pajak merupakan tata usaha negara sehingga
agama
upaya
negara
menyatakan: bahwa untuk melaksanakan Pasal 42, Pasal 43 dan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi: keputusan tata usaha negara
kekuasaan kehakiman perlu menetapkan peralihan organisasi,
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
administrasi dan finansial di lingkungan peradilan umum, peradilan
pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
tata usaha negara dan peradilan agama di Mahkamah Agung
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
dengan Keputusan Presiden (Undang-Undang Nomor 4 Tahun
berlaku, yang bersifat konkrit, dan final yang menimbulkan akibat
2004 Pasal 42). Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
diatur dalam Pasal 21 yaitu: Organisasi, administrasi, dan finansial
hukumnya
melalui
pengadilan
tata
usaha
ke
Mahkamah
Agung
pada
bagian
menimbang
Semula badan-badan peradilan itu secara organisasi,
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
administrasi dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ketentuan
kementerian yang bersangkutan kemudian secara tegas beralih di
mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
bawah
terjadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing
pemisahan secara tegas kekuasaan yudikatif dan kekuasaan
lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan
eksekutif. Adapun pengalihan tersebut diatur dalam Keputusan
kekhususan
Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang
ketidakjelasan status pengadilan pajak dalam sistem kekuasaan
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan
kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta
kekuasaan
kehakiman
(yudikatif)
sehingga
lingkungan
peradilan
masing-masing.
Dengan
pembinaan para hakimnya maka akan mengusik tujuan hukum
specialis
derogat
lex
generalis.
Berdasarkan
hal
tersebut,
dalam masyarakat.
sebenarnya tidak ada kerancuan, dualisme, atau pertentangan
Sampai saat ini penanganan terhadap penyelesaian
antara Pengadilan Pajak dengan PTUN, karena PTUN sebagai
sengketa pajak masih mengalami kerancuan, untuk itu perlu
badan peradilan administrasi negara (lex generalis), sedangkan
diadakan pemberdayaan peradilan pajak melalui penyempurnaan
Pengadilan Pajak sebagai peradilan khusus bidang perpajakan (lex
peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan
specialis).
justicial kepada peradilan pajak yang bebas dari campur tangan
Selain itu, sesuai dengan asas lex posteriori derogat lex
eksekutif atau pihak lain, peningkatan sumber daya manusia pada
anteriori,
apabila
terdapat
perbedaan-perbedaan
pengaturan
peradilan pajak, serta sosialisasi masalah perpajakan kepada
dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (dalam hal
seluruh lapisan masyarakat.
ini penjelasan Pasal 48) dengan Undang-Undang Pengadilan
Sesuai dengan asas legalitas dan hukum positif yang
Pajak, maka yang berlaku haruslah aturan dalam Undang-Undang
berlaku, Badan Peradilan Pajak di Indonesia saat ini adalah
Pengadilan Pajak karena Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
Pengadilan Pajak, sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor
terbit lebih akhir dari Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
14 Tahun 2002 dan peraturan pelaksanaannya. Kedudukan
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan
Pajak
sebagai
badan
peradilan
khusus
juga
Sedangkan cara beracara dalam sidang Peradilan Pajak,
dimungkinkan berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 14
maka sesuai dengan tuntutan reformasi dalam bidang hukum dan
Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-
tranparansi kebijaksanaan perpajakan oleh fiskus, pemeriksaan
Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan sesuai dengan asas hukum lex
sengketa pajak yang dilakukan secara terbuka untuk umum pada
Pengadilan Pajak harus lebih diusahakan lebih memungkinkan
pengadilan pajak di Amerika Serikat sebagai diatur dalam Pasal
keikutsertaan masyarakat, sehingga kebenaran materiil dalam
6673 ayat (1) Internal Revenue Code (ICR) ... Procedures
putusan peradilan pajak tersebut dapat diikuti dan dinilai oleh
instituted primarily for delay, etc. Whenever it appears to the Tax
masyarakat. Apabila Wajib Pajak mengajukan banding atau
Court that: Proceedings before it have been institute or maintained
gugatan ke Pengadilan Pajak maka kewajiban fiskus untuk
by the taxpayer primarily for delay; The Taxpayer’s positon in such
menjaga dan melindungi kerahasiaan data Wajib Pajak di depan
proceeding
sidang pengadilan tidak berlaku lagi karena Wajib Pajak sendiri
unreasonally failed to pursue available administrative remedies.
lebih dahulu mengekpos data perpajakannya kepada pengadilan.
The Tax Court, in its decision, may require the Taxpayer to pay to
Dalam hal Wajib Pajak akan mengajukan perkara pajak,
is
frivolour
or
groundless,
or;
The
Taxpayer
the United States a penalty not in excess of US $ 25.000.
agar Pengadilan Pajak tersebut dapat memenuhi tuntutan pencari
Sanksi denda terhadap Wajib Pajak yang menggugat ke
keadilan sebagai peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
pengadilan di luar pengadilan pajak di Amerika Serikat juga dapat
ringan maka pengajuan gugatan atau banding ke pengadilan pajak
dijatuhkan terhadap wajib pajak yang tidak mempunyai dasar
dapat ditetapkan atau dimungkinkan tanpa melunasi dahulu utang
hukum yang kuat dan hanya mencoba-coba untuk menghindari
pajaknya. Namun untuk mencegah jangan sampai Wajib Pajak
pembayaran pajak dengan denda maksimum US $ 10.000.
atau pihak ketiga mengajukan gugatan hanya sebagai upaya untuk
Mengingat pentingnya peran pajak di Indonesia pada saat
menunda atau mengelak pembayaran pajak, hakim peradilan pajak
ini dan masa yang akan datang, maka sanksi atau hukuman denda
diberi kewenangan untuk memberikan sanksi kepada Wajib Pajak
bagi
yang nakal tersebut. Hukum acara tersebut ditetapkan pada
mengajukan sengketa pajak dengan maksud untuk menunda
wajib
pajak
atau
penanggung
pajak
yang
berusaha
pembayaran hutang pajak tersebut dapat dikenakan denda
melakukan penulisan/penelitian terhadap maksud sesuai dengan
sebesar 200 % (dua ratus persen) dari hutang pajak yang belum
judul compendium atau terkait dengan judul compendium, dan
dibayar.
anggotalah
yang
menentukan
metode
sesuai
dengan
kehendaknya. B.
Perumusan Masalah Dalam
penulisan Kompendium mengenai LEMBAGA
D.
Jangka Waktu Penelitian
PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN proses masalah
Kegiatan Kompendium Tentang Lembaga Penyelesaian
secara spesifik tidak akan ditentukan, hal ini disebabkan karena
Sengketa Perpajakan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan
kompendium sendiri mempunyai arti adalah “kumpulan pendapat
terhitung mulai bulan April sampai dengan September 2011,
dari para pakar”. Dengan demikian, maka jika judul telah
Pembiayaan kegiatan ini berasal dari anggaran Badan Pembinaan
ditentukan dalam suatu topik untuk penulisan akan diberikan
Hukum Nasional Tahun 2011.
kepada setiap anggota untuk dapat menuangkan pemikirannya mengingat judul mengenai Lembaga Penyelesaian Sengketa Perpajakan disebut tulisan ilmiah.
C.
Metode Penelitian Seperti halnya dalam proses masalah, maka dalam Metode Penelitian ini akan ditentukan oleh anggota yang akan
E.
Personalia Tim Ketua
:
Dr. Tjip Ismail, S.H., M.H., MBA
Sekretaris
:
Artiningsih, S.H., M.H.
Anggota
:
1. Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M. 2. Syprianus Aristeus, S.H., M.H.
BAB II
3. Drs. Ulang Mangun Sosiawan, M.H.,
PERKEMBANGAN LEMBAGA PENYELESAIAN
APM
SENGKETA PAJAK DI PERADILAN PAJAK INDONESIA 4. Dr. Hari Djatmiko, S.H. 5. Dr. Machfud Sidik, S.E., M.Sc
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk 15
keperluan Negara diatur dengan undang-undang”
6. Revosia EP Sinaga, SE., Ak., M.Si Kriteria utama yang paling mendasar agar pajak sejalan dengan 7. Dr. Ali Kadir, S.H., M.Si
arti/ hakikat sebenarnya dari pungutan tersebut
adalah diupayakan
untuk kesejahterakan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya 16.
seluruh rakyat. Terdapat perdebatan yang cukup serius mengenai tujuan bangsa ini, apakah kemandirian ataukah kesejahteraan rakyat yang lebih didahulukan, walaupun dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan
UUD
1945 17
kesejahteraan rakyat .
bahwa
tujuan
Negara
adalah
untuk
Kemandirian dimaksud di sini adalah sebuah
bangsa mandiri yang tidak tergantung pada bangsa-bangsa lain. Terkait dengan dialektika antara kemandirian dan kesejahteraan di era global ini, seha-rusnya diartikan bahwa kemandirian bangsa lebih diutamakan untuk men-dukung dan membangun kesejahteraan rakyat.
15
Amandemen ke-III UUD 1945 Pasal 23A. Tjip Ismail, Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Paradigma Pajak Daerah di Indonesia, Disertasi, FH-UI: Tahun 2005, hlm. 32. 17 Preambule UUD 1945 alinea ke-IV: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia…” 16
Kemandirian bangsa bertujuan mensejahteraan rakyat adalah merupakan suatu keharusan untuk menyelenggarkan pemerintahan
pelaksanaan pungutan pajak sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
dalam suatu negara. Tanpa ada kemandirian posisi pemerintah dari sisi
Seperti kita ketahui bersama, bahwa peranan pajak dalam
finansial menjadi lemah dan akan terus bergantung pada bantuan luar
pembangunan di Indonesia saat ini menjadi primadona. Dari tahun ke
negeri yaitu berupa pinjaman yang pada akhirnya selain membebani
tahun Pajak menunjukkan penerimaan yang menaik secara significant,
rakyat secara politis kebijakan pemerintah menjadi gamang karena selalu
bahkan di tahun 2007 memasok hampir 72 % terhadap penerimaan
dipengaruhi oleh negara2 donor dengan ber-bagai kepentingannya.
Negara, sebagaimana tabel dibawa ini :
Dalam
rangka
kemandirian
itulah
peranan
pajak
untuk
membiayai pembangunan di Indonesia ini menjadi teramat penting.
PERAN PENERIMAAN PAJAK NEGARA
Disadari bahwa implikasi pungutan pajak akan membawa dampak yang
(dalam miliar rupiah)
contraproduktif dilakukan dengan semena-mena
tidak sesuai dengan
Tahun
Penerimaan DN
Penerimaan Pajak
%
1
2
3
4 (3:2)
untuk
2005
493.919
347.031
70,3
mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu pungutan pajak secara implisit
2006
636.153
409.203
64,3
diatur dalam UUD 1945 dasar konstitusi RI yaitu bahwa pajak “memiliki
2007
681.760
489.892
71,9
menjadi penting, hingga
2008
779.215
569.972
73,1
makna pajak tidak saja sebagai kewajiban tetapi lebih dari itu merupakan
2009
871.000
652.000
74,9
hak warga negara untuk ikut berpartisipasi
2010
949.700
742.700
78,2
rasa keadilan, dan justru akan bertentangan dengan tujuan negara yang telah
diikrarkan
sifat memaksa
dalam
pembukaan
UUD
untuk keperluan negara”,
18
1945,
yaitu
dalam membiayai
pembangunan negara.
Sumber: UU APBN
Dasar itulah kemudian secara otomatis meneguhkan eksistensi pengadilan pajak dalam mengawal laju kelancaran arus
* APBN, dan Rencana penerimaan pajak
pemasukan
Negara disamping memberikan perlindungan hukum agar dalam
Fakta ini menunjukkan begitu besarnya peranan Pajak di Indonesia, dan sebagai konsekwensi logis perlu adanya institusi khusus yang menanganinya manakala timbul dispute antara aparat pemerintah
18
Lihat Pasal 23A UUD 1945 Amandemen ke-tiga
sebagai pemungut pajak
dalam hal ini Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan
Cukai, atau Pemerintah Daerah
Sebenarnya sejak penjajahan Belanda dulu, penyelesaian
dan Wajib Pajak. Institusi dimaksud
sengketa perpajakan telah dilakukan oleh sebuah institusi khusus yang
adalah Pengadilan Pajak yang bersifat netral dan tidak memihak
mempunyai kewenangan menanganinya, yang kemudian berkembang
(imprasial), yang dapat memutus perkara sengketa pajak dengan cepat
sesuai
mengingat obyek sengketanya sangat dibutuhkan untuk kelang-sungan
Pembentukan lembaga-lembaga tersebut dapat dilihat dalam kilasan
pembiayaan negara.
sejarah penyelesaian sengketa pajak dari masa ke masa, sebagai
dengan
kebutuhan
dan
sistem
peradilan
yang
berlaku.
berikut: Mengapa perlu Peradilan Pajak ?
1.
Zaman Hindia Belanda
mengawal
Berdasarkan Ordonansi 1915 - Staatsblad No.707, Peradilan Pajak
penerimaan negara, kadang berbeda perlakuannya dengan sistem
disebut Badan Banding Administrasi Pajak (Raad van het Beroep
akutansi secara umum, bahkan dari sisi moral sekalipun. Seperti
voor Belasting-zaken), kewenangannya berubah dan bertambah
misalnya pemberian sumbangan yang lazim dilakukan dalam dunia
dengan dikeluarkannya Staatsblad 1917 No. 593; Staatsblad 1919
bisnis justru tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan dalam
No. 598; Staatsblad 1921 No. 406; Staatsblad 1922 No. 69 dan
aturan pajak, atau pengenaan pajak tidak membedakan atas penghasilan
805; Staatsblad 1925 No. 146 dan 171; dan Staatsblad 1927
dari sebab yang halal atau haram dst. Norma pajak yang kadang
Nomor 29 yang kemudian diganti dengan nama Peraturan Banding
menyimpang dari kaidah umum ini, memerlukan suatu penanganan
Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken) terakhir
khusus apabila timbul perselisihan.
ditambah dan dirubah sebagaimana dimuat dalam LN 1959 No.
Pengaturan
UU
Perpajakan
dalam
rangka
Hal tersebut bisa dipahami,
mengingat betapapun tingginya kesadaran membayar pajak, karena fungsi pajak disamping regurelend juga mempunyai tugas penerimaan
13. 2.
Lembaga tersebut dengan UU Nomor 5 Tahun 1959 diubah
negara atau budgeter maka pengaturannya selalu dinamis berkembang
namanya menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang
seiring dengan pesatnya pertum-buhan dunia usaha. Apalagi di era
tugasnya memberikan keputusan terhadap sengketa keputusan
global sekarang ini, dimana dunia bisnis antar negara semakin meluas
keberatan pajak yang diajukan kepadanya. Keberadaan MPP
dengan segala pengaturan reciprocal (antar negara) maupun kebiasaan
sebagai badan peradilan pajak dinyatakan dalam UU Nomor 6
bisnis Internasional memerlukan penanganan khusus.
tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
tidak dinyatakan secara eksplisit dalam UU MPP (Staatsblad van
sebagai hukum formal Pajak
Nederlandsch Indie 1927 No. 29, LN). Di sisi lain, bahwa pengaturan
Pasal 27 UU No.6 Tahun 1983 ayat (1) penjelasan
penanganan sengketa atas Keputusan MPP pada peradilan tata usaha
Dalam hal Wajib Pajak masih merasa kurang puas terhadap
negara merupakan ketentuan baru yang harus dipatuhi. Adagium Hukum
keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan,
lex poster derogate legi priori ketentuan perundangan yang ditetapkan
Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk mengajukan banding
kemudian menggantikan ketentuan yang ditetapkan terdahulu.
ke badaan peradilan pajak, dalam hal ini seperti yang ada
Perubahan MPP menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
sekarang Majelis Pertimbangan Pajak dalama jangka waktu tiga
(BPSP) berdasar UU Nomor 17 Tahun 1997, yang menyatakan
bulan sejak tanggal keputusan keberatan tersebut.
putusannya merupakan putusan akhir dan bersifat tetap
19
bersifat final
Kedudukan MPP sebagai Badan Peradilan Pajak menjadi goyah
dst. juga tidak membawa perubahan berarti, karena keberadaan BPSP
sejak ditetapkannya UU 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
tidak dalam lingkup UU Kekuasaan Kehakiman. Hingga pada saat itu
Negara yang berlaku efektif pada 1 Januari 1991, yang dalam penjelasan
putusan BPSP, banyak yang digugat kembali oleh Wajib Pajak ke
Pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa ;
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuanketentuan dalam Staatsblad 1912 Nomor 29 (Regeling van Het Beroep in Belasting Zaken) juncto UU No. 5 Tahun 1959 merupakan keputusan Banding Administratif. Akibatnya sesuai dengan Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun
Tarik menarik kekuasaan penanganan sengketa pajak ini baru berakhir setelah diundangkannya UU No. 14 Tahun 2002, LN 2002 Nomor 27 pada tanggal 12 April 2002 tentang Pengadilan Pajak. yang keberadaannya dibawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
1986, keputusan Majelis Pertimbangan Pajak, seperti halnya Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian dan Keputusan Penyelesaian
A.
Pengadilan Pajak di Era Global Keberadaan
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dapat digugat kembali ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) karena dianggap sebagai Keputusan Banding Administratif. Hal
tersebut
dapat
dimengerti,
anggapan
bahwa
keputusan MPP bersifat final dan tidak dapat diajukan lagi ke Peradilan
Pajak
merupakan
peradilan
khusus yang menangani sengketa perpajakan sangat dinantikan 19
bahwa
Pengadilan
Pasal 76 UU No.17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak: Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap dan bukan keputusan Tata Usaha Negara.
para pengusaha dan investor di Indonesia, di mana
dalam
penanganannya dilakukan dengan adil melalui prosedur dan No
Tahun
Banding
Gugatan
Jumlah
% Kenaikan
1.
2002
1.730
141
1.871
22,47%
2.
2003
2.071
180
2.251
20,30%
3.
2004
2.612
313
2.925
7,29%
4.
2005
2.271
342
2.613
16,59%
5.
2006
2.907
410
3.317
26,94%
6.
2007
4.316
526
4.842
45,97%
7.
2008
8.
2009
9.
2010
Sumber Laporan Kinerja Pengadilan Pajak Tahun 2007
. Bila melihat uraian di atas, eksistensi MPP dalam UU No. 5/ 1986 tidak lebih hanyalah merupakan instansi di luar Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan keputusan terhadap “Banding 20
Administratif” , atas putusan tersebut, wajib pajak masih dapat mengajukan perkaranya ke Peradilan TUN. Bila demikian halnya, maka perselisihan dan penyelesaian sengketa pajak akan semakin memakan waktu yang lama, sebab memerlukan prosedur yang sangat panjang. 1. Dalam perkembangan selanjutnya, MPP sudah dianggap tidak dapat mengakomodir berbagai permasalahan dan sengketa
proses yang cepat, murah dan sederhana dengan memberikan
dalam perpajakan di Indonesia, hal tersebut membawa kembali
putusan yang bersifat final. Hal
tersebut
MPP pada suatu perubahan, dengan diundangkannya UU No.
sangat
diperlukan,
mengingat
bahwa
17 Tahun 1997 dan berganti nama menjadi menjadi Badan
perkembangan dunia usaha yang pesat memicu terjadinya konflik diakibatkan adanya analogi dan interpretasi terhadap suatu peraturan yang diterbitkan
Pemerintah.
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). 2. Tidak sampai 5 tahun, BPSP kemudian diganti dengan
Manakala terjadi hal
Pengadilan Pajak Seiring dengan berbagai kebijakan, antara
tersebut, maka putusan pengadilan akan membentuk suatu kaidah
lain; bahwa BPSP masih belum merupakan badan peradilan
hukum yang harus dipatuhi oleh para pihak, dalam teori hukum
yang berpuncak ke Mahkamah Agung, Maka BPSP dengan
disebut dengan common law.
sendirinya diganti oleh Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak
Keberadaan Pengadilan Pajak ternyata disambut baik oleh pencari keadilan, sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini:
20
Tjip Ismail, Op. Cit.
adalah sebagai berikut: “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi
Tentang upaya hukum yang bisa dilakukan, antara lain:
wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
a. Banding: “Banding adalah upaya hukum yang dapat
21
terhadap sengketa pajak” .
dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak
Dalam undang-undang tentang Pengadilan Pajak terdapat
terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding,
beberapa istilah, antara lain:
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
a. Pajak: “Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut
yang berlaku.”
oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai,
b. Gugatan: “Gugatan adalah upaya hukum yang dapat
dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah,
dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak
berdasarkan
terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap
berlaku”
peraturan
perundang-undangan
yang
22
keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan
b. Sengketa Pajak: “Sengketa pajak adalah sengketa yang
peraturan berlaku”.
timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau c.
penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang
perundang-undangan
perpajakan
yang
25
Peninjauan Kembali/ PK: “Pihak-Pihak yang bersengketa
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan
diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak
Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung” .
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,
Dari penjelasan beberapa istilah hukum di atas, dapat
termasuk
gugatan
atas
pelaksanaan
26
penagihan
dipahami bahwa tidak ada satu sengketapun yang tidak dapat
berdasarkan undang-undang Penagihan Pajak dengan
diadili dalam Pengadilan Pajak setelah memenuhi persyaratan
Surat Paksa”
23
yang terdapat dalam undang-undang dengan melakukan upaya24
21
24
UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (Pasal 2) 22 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. 23 Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. 25 Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. 26 Pasal 77 ayat 3 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
upaya hukum yang telah diatur di atas, antara lain dengan
dasarnya
dapat
dilakukan
oleh
wajib
(Banding dan Gugatan) dalam Pengadilan Pajak ini, adalah
bertentangan dengan UU Perpajakan28.
pajak
karena
tidak
merupakan suatu yang unik. Keunikan ini, karena dalam
Pajak memegang peran penting dan strategis dalam
pengadilan pajak tidak mengenal upaya hukum banding ke
penerimaan negara, oleh karena itu dalam penyelesaian Sengketa
pengadilan tinggi dan kemudian kasasi (seperti terjadi pada
Pajak diperlukan jenjang pemeriksaan ulang vertikal yang lebih
Lembaga penyelesaian pajak sebelumnya yaitu MPP).
ringkas. Memperbanyak jenjang pemeriksaan ulang vertikal akan
Upaya hukum banding dalam pengadilan pajak ini adalah bentuk
akomodasi
atas
ketidakpuasan
wajib
pajak
mengakibatkan potensi pengulangan pemeriksaan menyeluruh29.
atau
Walaupun pajak merupakan sumber utama penerimaan
penanggung pajak terhadap putusan penyelesaian sengketa yang
suatu negara, tetapi tidak boleh dilakukan secara semena-mena,
diajukan berupa keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak atau
baik dalam pembuatan aturannya maupun pelaksanaannya30.
Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Sementara gugatan
Menurut
adalah akomodasi atas bentuk ketidak puasan terhadap prosedur
masyarakat (sebagai wajib pajak) mempunyai posisi tawar yang
penagihan pajak atau keputusan lain di bidang perpajakan/ bea
sama kuatnya untuk menentukan bagaimana sebaiknya pajak
dan cukai. Upaya hukum di luar itu adalah upaya hukum
harus diterapkan, yaitu siapa yang dikenakan pajak, apa yang
Peninjauan Kembali yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung.
dikenakan pajak, kapan dikenakan, berapa yang harus dibayar,
Adam
Smith,
baik
negara/
pemerintah
maupun
Terkait dengan sengketa pajak, R. Santoso Brotodiharjo
dan sebagainya31. Mengingat pentingnya pengaturan pajak
berpandangan bahwa Sengketa Pajak terjadi karena penghindaran
tersebut, maka ditegaskan dalam UUD bahwa pajak harus
pajak (tax avoidance), pengelakan/penyelundupan pajak (tax
ditetapkan dengan undang-undang .
32
evasion), dan pelalaian pajak27. Sebenarnya yang merupakan sengketa pajak adalah hanya pengelakan/ penyelundupan dan pelalaian pajak saja, sedangkan penghindaran pajak pada
27
R. Santoso Brotodiharjo, Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1987, hlm. 14.
28
Mardiasmo, Perpajakan, Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 10. Memori Penjelasan UU No.14 Tahun 2002 Bagian Umum. 30 Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, PT. Yellow Mediatama, Jakarta, 2005, hlm. 150. 31 Harold M. Groves, Financing Government, Henry Holt and Co. Inc, New York, 1959, hlm. 11. 32 Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. 29
B.
Upaya-Upaya dalam Peningkatan Pajak
Keberadaan undang-undang ini harus memiliki makna
Target pencapaian penerimaan pajak yang sebesar-
dan
pemahaman
yang
jelas,
sederhana
dan
mudah
besarnya adalah upaya maksimal untuk mengoptimalkan jumlah
dimengerti, baik oleh fiskus, maupun oleh pembayar pajak,
subyek atau obyek yang dikenakan pajak agar tidak ada yang
karena
terlewatkan,
penafsiran
peningkatan
itupun
berbanding
lurus
dengan
perbedaan akibat
penafsiran dari
atau
adanya
ketidakjelasan
kesalahan
peraturan
akan
pembanguan kesadaran akan bayar pajak di masyarakat wajib
berdampak fatal dalam proses penyelesaian sengketa atau
pajak atau para penanggung pajak. Ada beberapa faktor penting
bahkan indikasi timbulnya konflik yang akan menjadi penyebab
dalam upaya optimalisasi tersebut, antara lain:
terhambatnya pembayaran pajak itu sendiri.
1. Adanya Kejelasan dan Kepastian Peraturan PerundangUndangan dalam Bidang Perpajakan
Hal-hal lain yang perlu diwaspadai dari munculnya aturan perundang-undangan yang tidak dapat dimengerti dan
Secara formal, pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang demi tercapainya keadilan dalam pungutan 33
dipahami
pajak
(wajib
pajak)
itu
akan
membingungkan baik fiskus maupun pembayar pajak yang
pajak . Keadilan ini juga adalah salah satu syarat dalam
akhirnya
pemungutan pajak, sesuai dengan tujuan hukum, yakni
cenderung berbelit-belit, padahal azas dalam penyelesaian
mencapai
perundang-undangan
sengketa di Pengadilan Pajak ini adalah penyelesaian dengan
diantaranya adalah mengenakan pajak secara umum dan
acara cepat, sederhana dan murah serta memiliki keputusan
merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
final, proses yang rumit dan berbelit-belit ini akan menimbulkan
Sedangkan
rasa malas dan cenderung merugikan para pembayar pajak.
memberikan
keadilan.
adil hak
Adil
dalam bagi
dalam
pelaksanaannya wajib
pajak
yakni
untuk
dengan
mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak.
34
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ed. ke-3, Bandung: Refika Aditama, 1998, hlm. 37. 34 Mardiasmo, Op. Cit., hlm. 2.
berdampak
pada
rumitnya
birokrasi
bahkan
2. Penegak Hukum yang Profesional dan Berkompeten Pada bagian penjelasan UU No 14 Tahun 2002 dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam ketentuan
33
pembayar
tersebut
bersifat
khusus
menyangkut
acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan. Terkait
dengan kekhususannya itu, ada beberapa hal yang patut
Hal ini menjadi sangat krusial, terkait dengan maju-
menjadi perhatian bersama, antara lain:
mundurnya perekonomian suatu bangsa. Pemungutan tidak
a. Kekhususan dalam melaksanakan persidangan, bahwa
boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
sidang peradilan pajak pada perinsipnya dilaksanakan
perdagangan, sehingga tidak membuat perekonomian menjadi
secara terbuka, namun dalam hal-hal tertentu dan hal-hal
lesu . Prinsip ini juga berlaku dalam pelaksanaan proses
yang bersifat khusus, maka sidang bisa dinyatakan
peradilan dalam hal sengketa perpajakan.
tertutup,
sedangkan
pembacaan
Pengadilan
Pajak
37
5. Azas Sederhana Dalam Sistem Pemungutan dan Dalam Proses Penyelesaian Sengketa
dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. b. Dalam upaya penyelesaian sengketa perpajakan ini
c.
System
pemungutan
yang
sederhana
akan
memerlukan tenaga-tenaga hakim yang juga memiliki
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi
kekhususan,
dan
kewajiban perpajakan, syarat ini nampaknya telah dipenuhi
kompetensi dalam bidang perpajakan dan berijazah
oleh UU perpajakan yang baru . Adapaun asas sederhana
sarjana hukum yang menguasai betul masalah perpajakan.
dalam
Kekhususan tersebut juga terdapat pada sengketa yang
pentingnya, karena hal ini juga akan terkait dengan sikap dan
diselesaikan, yakni khusus sengketa dalam masalah
upaya para wajib pajak dalam mencari keadilan atas sengketa
perpajakan.
dalam
arti
memiliki
kemampuan
38
35
upaya penyelesaian sengketa, juga tidak kalah
yang mereka alami.
3. Pemungutan Pajak harus Efisien (Syarat Finansiil)
6. Memberikan Pendidikan Pajak kepada Masyarakat
36
Hal ini sesuai dengan fungsi budgetair , biaya
Sejak tahun 1984, sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip Self Assessment
pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah
39
Prinsip ini memberikan
dari hasil pemungutannya. 4. Tidak Mengganggu Perekonomian 35
UU No. 14 Tahun 2002.Op. Cit. “…Fungsi Budgetair: Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya”. Mardiasmo, Op. Cit. hlm. 2. 36
37
Mardiasmo, Perpajakan, Penerbit Andi Yogyakarta: 2002 Edisi Revisi, hlm. 3. 38 Ibid. hlm. 3. 39 Ibid., hlm. 14. “…sehingga melalui system administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak”
kepercayaan
penuh
melaksanakan
hak
kepada dan
pembayar
kewajibannya
pajak dalam
untuk
Kualitas fiskus sangat menentukan di dalam efektivitas
bidang
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
Bila
16 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) bahwa wajib pajak harus
penerimaan
pajak,
mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan
berkompenten di bidang perpajakan, memiliki kecakapan
benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. Sementara di
teknis, dan bermoral tinggi. Baru-baru ini diberitakan bahwa
Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap wajib pajak harus
seluruh kantor wilayah pajak di Indonesia tidak sanggup
membayar
memenuhi penghimpunan dana sesuai target yang ditetapkan
yang
terutang
berdasarkan
ketentuan
fiskus
optimalisasi
haruslah
target
orang
yang
40
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Dalam
maka
dengan
bidang
perpajakan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.
pajak
dikaitkan
di
dalam APBN . 8. Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat
hal ini, pembayar pajak mengisi sendiri Surat Pemberitahuan
Seberapa besar penerimaan yang diperoleh melalui
(SPT) yang dibuat pada setiap akhir masa pajak atau akhir
pemungutan
tahun pajak. Nantinya, fiskus melakukan penelitian dan
pemungutan pajak itu dilakukan. Secara umum, Adam Smith,
pemeriksaan mengenai kebenaran pemberitahuan tersebut.
mengajukan beberapa prinsip bagi pengenaan pajak umum
peraturan
perundang-undangan
juga
dipengaruhi
oleh
yang baik, disebut dengan “Smith’s Conons”, yaitu:
Dengan menerapkan prinsip ini, pembayar pajak harus memahami
pajak
bagaimana
41
mengenai a) Equity/Equality
perpajakan sehingga dapat melakukan tugas administrasi perpajakan. Untuk itu, intelektualitas menjadi sangat penting
Keadilan
merupakan
sehingga tercipta masyarakat yang sadar pajak dan mau
membangun
sistem
pertimbangan perpajakan.
penting Dalam
dalam hal
ini,
memenuhi kewajibannya tanpa ada unsur pemaksaan. Namun, semuanya itu hanya dapat terjadi bila memang undang-undang itu
sendiri
sederhana,
mudah
menimbulkan kesalahan persepsi. 7. Kualitas Fiskus (Petugas Pajak)
dimengerti,
dan
tidak
40
http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.sho w_file_clp?v_filename=F7510/31%20Kanwil%20Tak%20Sanggup%20Ca pai%20Target.htm 41 Harold M. Groves, Financing Government, Henry Holt and Co. Inc., New York, 1959, hlm. 11. Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan. Teori dan Aplikasi Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 117.
pemungutan pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya.
Negara
tidak
boleh
2. Pemerataan dalam pengenaan pajak dan keadilan dalam
melakukan
pembebanan pajak.
diskriminasi di antara sesama pembayar pajak.
3. Menjamin adanya kepastian.
b) Certainty
4. Sederhana.
Di sini, pajak yang harus dibayar haruslah terang (certain)
5. Menutup
peluang
penghindaran
pajak
dan/atau
dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Kepastian
penyelundupan pajak oleh wajib pajak dan penyalahgunaan
hukum
wewenang oleh petugas pajak.
harus
besarnya
tercermin
pajak
dan
mengenai juga
subyek,
ketentuan
obyek,
mengenai
6. Memberikan dampak yang positif dalam bidang ekonomi. Sebagai konsekuensi dari sistem Self Assessment, maka
pembayaran. c) Convenience
pembayaran pajak haruslah dibuat semudah mungkin dengan tidak
Pajak harus dipungut pada saat yang paling baik bagi
melupakan aspek pengawasan terhadap seluruh dana yang
pembayar pajak, yaitu saat diterimanya penghasilan.
disetor.
d) Economy
Bila
sistem
pemungutan
dan
sistem
pembayaran
dirancang berbelit-belit dan rumit, tentu akan menghambat kinerja
Pemungutan
pajak
hendaknya
dilakukan
sehemat-
fiskus dalam melakukan pemungutan dan pengawasan serta
hematnya. Biaya pemungutan hendaknya tidak melebihi
menimbulkan keengganan bagi pembayar pajak untuk melakukan
pemasukan pajaknya.
kewajibannya. Tentunya, sistem administrasi ini haruslah didukung
Kelima asas ini sebenarnya sudah tercakup dalam sasaran
oleh peraturan perundang-undangan yang memberikan keluwesan,
dari reformasi perpajakan di Indonesia. Enam sasaran utama yang dilakukan
pemerintah
perpajakan mencakup
pada
tahun
1984
dalam
baik bagi fiskus maupun pembayar pajak.
reformasi
42
:
C.
System Peradilan di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
1. Penerimaan negara dari sektor perpajakan menjadi bagian dari
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
negara yang mandiri dalam rangka pembiayaan pembangunan
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
nasional.
hukum
42
Ibid., hlm. 118
dan
keadilan
berdasarkan
Pancasila,
demi
terselenggaranya
Negara
hukum
Republik
Indonesia.
43
Di
pembenahan sistem peradilan serta sistem hukum di Indonesia
Indonesia saat ini terdapat 2 (dua) institusi penyelenggara
pada umumnya. Pengadilan khusus tersebut dibentuk dalam salah
peradilan yang sama sekali terpisah baik organisasi, administrasi,
satu lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan
maupun finansialnya, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah
agama
44
atau
peradilan
TUN.
Misalnya:
pengadilan
anak,
Konstitusi . Mahkamah Agung, memiliki badan peradilan antara
pengadilan niaga, pengadilan HAM, TIPIKOR, yang berada di
lain: Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak yang berada di
Lingkungan Peradilan Militer, dan Lingkungan Peradilan Tata
lingkungan peradilan TUN.
Usaha Negara. Di samping pengadilan-pengadilan di atas, juga
tersebut, ada terdapat Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nangroe
muncul berbagai pengadilan khusus, antara lain: Pengadilan
Aceh Darusalam sebagai sebuah peradilan khusus yang berada di
Niaga, Pengadilan Anak, Pengadilan HAM, Pengadilan TIPIKOR,
lingkungan peradilan agama sepanjang berada dalam kewenangan
Pengadilan
peradilan agama dan termasuk pengadilan khusus di lingkungan
Tenaga
Kerja,
Pengadilan
Syariah
Islam
dan
Di samping semua pengadilan khusus
Pengadilan Pajak. Bahkan masih ada beberapa usulan untuk
peradilan
memunculkan pengadilan-pengadilan khusus lainnya, antara lain:
kewenangan peradilan umum.
sebagainya . “baru”
kewenangannya
menyangkut
Pengadilan
pajak
adalah
badan
peradilan
yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau
Berbagai upaya untuk membentuk pengadilan-pengadilan 46
sepanjang 48
Pengadilan Khusus Pers, Pengadilan Khusus Perikanan dan 45
umum,
47
(baca: khusus) seperti telah diungkap di atas, adalah
menjadi sebuah keniscayaan, terlebih dengan diundangkannya UU
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa 49
pajak.
Pembinaan teknis peradilan bagi pengadian pajak
dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pembinaan reorganisasi,
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, untuk dapat memfasilitasi
berbagai
kepentingan
dan
merupakan
upaya
43
Pasal 24 ayat 1 Amandemen ke III UUD 1945; Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 44 Amandemen ke III UUD 1945 Pasal 24 ayat 2. 45 Tjip Ismail, Sistem Peradilan di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, tp., tt, Makalah, hlm. 1. 46 Ibid. hlm. 3
47
Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 48 Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 49 Pasal 2 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
50
dapat melakukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
53
Hukum acara yang berlaku
Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang
pada pemeriksaan Peninjauan Kembali adalah hukum acara
memeriksa dan memutus sengketa pajak, dalam hal banding,
pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam
Pengadilan Pajak hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang
keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
diatur secara khusus dalam UU Pengadilan Pajak.
perundang-undangan yang berlaku. Pengadilan Pajak dalam hal
peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan:
gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan
1.
54
Permohonan
Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu
penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui
lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) Undang-
setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
undang No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat
2.
dengan Undang-Undang no 16 tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan
51
di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang
Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
berbeda; Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
3.
Untuk keperluan pemeriksaan sengketa pajak, Pengadilan Pajak
lebih daripada yang dituntut, kecuali diputus berdasarkan pasal
dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang
80 ayat (1) huruf b dan huruf c;
berkaitan dengan sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus
4.
52
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pihak-pihak yang bersengketa 50
Pasal 5 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pasal 31 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 52 Pasal 33 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 51
53 54
Pasal 77 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Pasal 90 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
5.
57
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai
persoalan hukum . Ungkapan di atas tadi tidak berlebihan dan
dengan
tidak dilebih-lebihkan, dengan pertimbangan bahwa ke depan pasti
berlaku.
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
55
akan muncul problem-problem dan permasalahan baru sesuai dengan
D.
Eksistensi Pengadilan Pajak
dinamika
perkembangan
zaman
baik
dari
sudut
perkembangan perekonomian (baca: kebijakan ekonomi), atau
Memahami kata “eksistensi” dalam tema tulisan ini
berbagai kepentingan politik regional dan internasional. Munculnya
dipandang perlu, untuk dapat mengantarkan pada pembahasan
problem
selanjutnya. Makna eksistensi ini adalah bagian dari buah
bagaimanapun sempurnanya pembuat hukum untuk mengatasi
pemikiran filosofis yang lahir dari keprihatinan atas sebuah
persoalan-persoalan dan berbagai kekurangan ia tidak akan dapat
keberadaan manusia dan dari keinginan untuk memahami makna
menolak timbulnya problem baru dikemudian hari. Jika demikian
56
baru
adalah
bagian
dari
proses
sosial,
maka
signifikansinya. Dalam konteks tema ini, eksistensi dimaksud, pun
maka yang sudah sempurnapun akan menjadi kurang sempurna
demikian
seiring dinamika sosial, ekonomi dan politik masyarakat.
berangkat
dari
sebuah
keprihatinan
dan
upaya
58
memahami makna dan signifikansi Pengadilan Pajak dalam Era
Pertimbangan-pertimbangan di atas, akan menjadi sangat
Globalisasi, keprihatinan tersebut adalah sebuah kewajaran,
rentan bila dilihat dari kacamata persaingan perekonomian dunia
tatkala Pengadilan Pajak yang baru seiring lahirnya UU No. 14
yang secara terbuka dan bebas tanpa batas
tahun 2002.
globalisasi ini, dunia yang seakan tanpa batas dalam berbagai
Namun demikian, kendati Pengadilan Pajak sudah diatur
kegiatan
ekonomi
merupakan
ciri
dari
59.
Dalam era
perubahan
arah
dalam UU, tidak kemudian muncul anggapan bahwa kodifikasi
perekonomian dunia ke arah globalisasi. Perubahan ke arah global
peraturan perihal Pengadilan Pajak dalam UU No. 14 tahun 2002
tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan peran organisasi
tersebut kemudian dianggap cukup untuk mengatasi semua
internasional dan regional dalam hubungan bisnis antar Negara
57
55
Pasal 91 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Thomas Hidya Tjaya, Jurnal Filsafat Driyarkarya “Eksistensialisme”, Th. XXVIII No. 1/ 2005, hlm.1. 56
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2006 cet. VI, hlm. 92. 58 Ibid, hlm. 93 59 Emil Salim, Visi Baru Ekonomi Indonesia; Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia, Jakarta: 1997, hlm. 3.
seperti World Trade Organization (WTO), sebagai lanjutan dari
adalah pada pertemuan puncak ASEAN di Singapura pada tanggal
system General Greement on Tariff and Trade (GATT), Asean
28 Januari 1992, mencontoh pembentukan pasar tunggal Eropa
Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Coorperation
dan
60
NAFTA
(North
American
Free
Trade
Area)
yang
(APEC) menghadapkan Indonesia pada tantangan yang besar .
beranggotakan Amerika Serikat, Mexico dan Canada, pola
Lebih lanjut, Emil Salim mengatakan dalam tulisannya, bahwa
keduanya (Pasar tunggal Eropa dan NAFTA) ini dicontoh karena
tantangan yang paling nyata dari globalisasi ekonomi dan politik ini
telah memperlihatkan keberhasilan yang sangat pesat.
adalah munculnya “dunia tanpa batas” (borderless world), yang
Kekhawatiran ini menjadi sangat beralasan karena pajak
akan membuka kemungkinan pergerakan bebas barang, jasa, dan
yang ada sekarang ini, masih menjadi primadona di samping
manusia dari satu Negara ke Negara lain, hal ini sejalan dengan
pemasukan lainnya pada kas Negara. Berangkat dari keprihatinan
perkembangan
canggih,
ini yang kemudian mengakar pada upaya untuk memahami urgensi
perkembangan berbagai jenis alat transportasi modern yang akan
dan signifikansi Pengadilan Pajak ke depan, terkait dengan
membuka peluang bagi siapa saja untuk mencari tempat paling
kekuatan
nyaman untuk dihuni dan beraktifitas di dunia ini.
profesionalitas para penegak hukum dan Fiskus, serta keteladanan
teknologi
informasi
yang
semakin
putusan,
kompetensi
hakim,
proporsionalitas
dan
Berbagai upaya menuju ke arah globalisasi ekonomi ini,
dan niat baik dari para wajib pajak atau penanggung pajak untuk
antara lain terlihat dari adanya program untuk menghilangkan tarif
bersama-sama membangun kemandirian bangsa yang bertujuan
impor terhadap semua produksinya yang saat ini berjalan di
mensejahterakan rakyat Indonesia.
negara-negara ASEAN dalam rangka mewujudkan kawasan Asean
Pertanyaan tentang eksistensi Pengadilan Pajak di era
Free Trade Area (AFTA) yang berlaku untuk anggota ASEAN lama
Global ini menjadi sangat wajar, terlebih bila kita melihat kenyataan
(Indonesia, Malaysia, Filifina, Thailand, dan Singapura) tenggang
yang sedang terjadi dewasa ini, dari mulai isu globalisasi,
waktu sampai dengan tahun 2015, dan pada tahun 2018 berlaku
penghapusan tarif impor, munculnya permasalahan-permasalahan
bagi anggota ASEAN yang lainnya
61.
Permulaan lahirnya AFTA ini
baru dan tentu juga sengketa baru yang relatif lebih berkembang dan menuntut untuk selalu dapat diatasi dengan baik karena terkait
60
Ibid. Tjip Ismail, Peranan BUMN dalam Penerimaan Pendapatan Negara (Tinjauan dari PErspektif Pajak), Jurnal Hukum Bisnis, YPHB, Jakarta: 2007. Vol. 26 No. 1, hlm. 45. 61
dengan pembangunan bangsa dan kesejahteraan rakyat secara
umum. Antara lain dari kekhawatiran tersebut adalah yang terkait
dilakukan tanpa adanya keadilan terhadap para wajib pajak sendiri.
dengan kekhususan Pengadilan Pajak.
Karena itu masyarakat (wajib pajak) seringkali merasakan bahwa
Membincang pengadilan pajak dan eksistensinya dalam penyelesaian
pelbagai
permasalahan
seputar
perpajakan.
peningkatan kewajiban pajak/ bea tidak memenuhi azas keadilan, sehingga
menimbulkan
berbagai
sengketa
antara
instansi
Pengadilan pajak adalah pengadilan yang memiliki kekhususan,
perpajakan dan pihak wajib pajak. Untuk itu, dalam rangka
terkait dengan kekhususan tersebut dijelaskan dalam UU No. 4
mempermudah upaya penyelesaian sengketa perpajakan maka
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa yang dimaksud
dibentuklah suatu badan peradilan khusus untuk menangani
pengadilan khusus dalam UU tersbut adalah antara lain termasuk
persengketaan tersebut.
di dalamnya pengadilan pajak yang berada di lingkungan PTUN.
Berkaitan dengan kekhususan Pengadilan Pajak ini, perlu
Pengadilan khusus atau pengkhususan pengadilan pajak ini,
ada upaya pengklasifikasian, antara lain;
adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi berbagai
1. Apakah kekhususan Pengadilan Pajak di lingkungan Peradilan
permasalahan perpajakan di Indonesia sebagai tulang punggung
Tata Usaha Negara hanyalah berupa kamar saja (ad hoc)?
Negara dalam menjalankan roda pembangunan. Pengadilan Pajak adalah suatu badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung yang mampu menciptakan dan memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian 62
2. Bila memang begitu halnya, maka kehususan sebagai pengadilan ad hoc pajak ini, akan berdampak pada upaya hukum yang berjenjang. 3. Dampak
selanjutnya
ketiadaan
diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang
perkara, yang secara otomatis akan tersebar di seluruh
tidak didapatkan dari badan penyelesaian pajak sebelumnya.
pengadilan TUN di seluruh wilayah yang sangat mungkin akan
masuk dan cukai, dan pajak daerah, dalam prakteknya terkadang 62
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (LN No. 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4189).
pada
upaya
dalam
kekhususan
upaya peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea
adalah
spesifikasi
sengketa pajak . Kehadiran Pengadilan Sengketa Pajak ini
Pengadilan Pajak dibentuk dengan suatu asumsi bahwa
tersebut
dari
penyelesaian
membuka peluang terjadinya disparitas dalam putusan. 4. Padahal, bila kita melihat lebih spesifik perihal urgensi pajak dan
upaya-upaya
penyelesaian
sengketa
pajak
serta
pengaruhnya terhadap iklim perekonomian dan investasi di Indonesia, tidak seharusnya Pengadilan Pajak ini hanya
bersifat ad hoc (temporal) saja atau hanya menjadi kamar saja
mensejahterakan rakyatnya melalu berbagai pembangunan di
di lingkungan Peradilan TUN.
semua sektor.
5. Sehubungan dengan beberapa hal di atas (poin 1-4), maka
Eksistensi pengadilan pajak di era global ini menjadi
dipandang perlu untuk segera dirumuskan, atau apabila
sangat vital, karena terkait dengan pembangunan iklim investasi
terbuka kemungkinan untuk segera diatur dalam UU mengenai
yang ramah, yang berpihak dan dapat memberikan jaminan hukum
kekhususan pengadilan Pajak yang sementara ini belum ada
kepada para investor. Sejatinya, pengadilan pajak ini juga sangat
yang
tersebut.
berpengaruh dalam laju mundurnya perekonomian bangsa. Dalam
Sementara perkara yang diadili di Pengadilan Pajak pada
pertimbangan ini ada dua hal yang harus diperhatikan dengan
tahun 2006 saja mencapai sekitar 5.162 perkara atau sekitar
seksama:
secara
spesifik
mengatur
kekhususan
17 perkara yang harus disidangkan setiap harinya.
63
Pertama, pajak sebagai sumber pemasukan Negara paling
6. Begitu banyaknya perkara yang harus diselesaikan oleh
besar, dan menjadi tulang punggung pembangunan. Karena itu,
Pengadilan Pajak ini, nampaknya akan menjadi suatu alasan
terkait dengan masalah perpajakan ini, Negara harus ekstra hati-
yang layak dipertimbangkan untuk mempertimbangkan kembali
hati, karena salah-salah dalam mengatur dan mengelola pajak ini
kekhususannya.
dapat menurunkan tingkat pendapatan dan mengganggu stabilitas. Kedua,
Kehususan ini tentu memiliki alasan dan kepentingan yang
munculnya
berbagai
sengketa
dalam
hal
kuat, terlebih dalam situasi sekarang ini yang telah membuka
perpajakan ini, tentu harus disikapi dengan sebijaksana dan seadil-
pasar dengan sebebas-bebasnya, dan Indonesia adalah salah satu
adilnya, untuk itulah maka dibentuk Pengadilan Pajak. Dalam hal
yang menandatangani perjanjian AFTA (Asean Free Trade Area)
penyelesaian
atau yang akrab disebut pasar global atau era globalisasi yang
melaksanakan sebuah konsep efektivitas dan efisiensi atau proses
sangat membutuhkan kehadiran pengadilan pajak sebagai payung
pengadilan dengan azas sederhana, cepat, dan biaya ringan .
tentu
dengan
tujuan
untuk
semaksimal
mungkin
perpajakan,
Pengadilan
Pajak
harus 64
hukum dan proteksi Negara dari para wajib pajak yang bandel dan nakal,
perkara
Azas tersebut harus dilakukan terkait dengan kepentingan investasi misalnya, karena bila proses pengadilan dilaksanakan terlalu lama dan banyak memakan waktu, maka investor akan lari
63
Pengadilan Pajak, Laporan Pengadilan Pajak 2006, Jakarta, Januari 2007.
64
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
E.
tungganglanggang meninggalkan Indonesia, azas murah; bahwa
serta hokum acaranya Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) sebagai
pengadilan pajak dalam penyelesaian sengketa tidak banyak
badan yang melasanakan peradilan tersebut masih menggunakan
memakan biaya yang akan memberatkan wajib pajak dalam
system yang berlaku di Negara Belanda.
menghadapi proses peradilan dan persidangan. Dan azas
hanya mengadili dan memutus 3 jenis sengketa pajak, yaitu: Pajak
keputusan final, hal ini yang nampaknya masih menjadi pokok
Pendapatan, Pajak Rumah Tangga, dan Pajak Verponding.
permasalahan, karena putusan
Dalam
yang dikeluarkan/ diberikan
perkembangannya
MPP
67
Pada awalnya MPP
beberapa
kali
68
mengalami
pengadilan pajak kepada penggugat (wajib pajak) ini masih belum
perubahan, dan terakhir dengan Staatsblad 1927 Nomor 29.
bersifat final dan mengikat.
Dalam Staatsblad tersebut kompetensi MPP adalah memeriksa
Kebijakan Pemerintah Dalam Menyelesaikan Sengketa Pajak
dan memutus/ menyelesaikan semua sengketa pajak baik pusat
di Indonesia
maupun daerah.
Kebijakan sengketa
pajak
pemerintah Indonesia
bidang
perubahan, diawali pada saat pemerintah penjajah Belanda, untuk
menjadi masalah adalah dengan berlakunya Pasal 121 IS yang
pertama kali mendirikan peradilan pada pada tanggal 11
menyatakan bahwa golongan Bumi Putra jika beracara di muka
Desember 1915 yaitu dengan Staatsblad 1915 Nomor 707 yang
pengadilan, maka banding merupakan peradilan yang tertinggi dan
mengatur
Belastingzaken
secara otomatis merupakan puncak peradilan. Sedangkan untuk
Pembentukan Badan
golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa masih dimungkinkan
Peradilan tersebut mengadopsi peradilan pajak di Belanda, sesuai
untuk mengajukan kasasi atau penijauan kembali ke Mahkamah
dengan penerapan asas konkordansi oleh pemerintah Hindia
Agung. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemberlakuan
Belanda. Oleh karena itu susunan, kedudukan dan kewenangan
hukum di Indonesia pada saat itu belum ada persamaan antara
van
Beroep
(Peradilan banding untuk urusan pajak).
66
voor
beberapa
Uraian di atas menunjukkan bahwa hampir semua urusan sengketa pajak dapat diajukan banding ke MPP, namun yang
Raad
mengalami
penyelesaian kali
tentang
di
dalam 65
65
Jamal Widodo, Membangun Model Penyelesaian Sengketa Pajak Yang Berkeadilan, Solo: Sebelas Maret University Press, 2008, hlm. 93. 66 Sofrin Sofyan “Penyelesaian Sengketa Pajak Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Jurnal Perpapajakn Indonesia, Jakarta, Agustus 1998, hlm. 56.
67
Jamal Wiwoho “Prosedur Penyelesaian Sengketa Pajak setelah berlakunya UU No. 17 tahun 1997 tentang BPSP. Makalah Fakultas Ekonomi UNS, Surakarta, 1998, hlm. 5. 68 Mushlih Mkhsin “Kewenangan MPP Dalam Menyelesaikan Sengketa Pajak, Makalah, Jakarta, 1995, hlm. 6.
orang Indonesia dengan orang Eropa, sehingga penerapan
peradilan pajak di Indonesia. Sebab keputusan MPP atas
ketentuan dalam Stb 1927 No. 29 tersebut belum banyak
permohonan banding tentang pajak-pajak Negara dan pajak-pajak
menyentuh aspek keadilan.
69
daerah, yang semula tidak dapat diajukan banding maupun kasasi
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia keberadaan
(karena keputusan itu sudah bersifat final), menjadi dapat
MPP sebagai badan peradilan dalam bidang pajak tetap diakui
dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
keberadaannya, berdasarkan Pasal 3 Osamu Seirei Nomor 1
(PT TUN) dan dapat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung
Tahun 1942 yang menyatakan bahwa bahwa semua badan
(MA). Selain itu gugatan wajib pajak terhadap pelaksanaan
pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu,
penagihan pajak dengan surat paksa yang semula merupakan
asal tidak berpihak
kompetensi Pengadilan Negeri (peradilan umum) beralih menjadi
kepada pemerintah Jepang, karena pada
waktu itu pemerintah Jepang membutuhkan biaya yang besar untuk perang dengan Negara lain. Kemudian
pada
kompetensi PTUN.
70
masa
71
Selanjutnya dengan berlakunya UU No. 17 Tahun 1997 kemerdekaan
Indonesia
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) terhitung
berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, maka
mulai 1 Januari 1998 penanganan perkara yang berhubungan
kedudukan MPP tetap melakukan tugas dan fungsinya sebagai
dengan banding, yang semula merupakan kewenangan dari MPP
peradilan banding sengketa pajak, dengan beberapa jenis pajak
beralih menjadi kewenangan BPSP. Demikian pula penanganan
baru, seperti Pajak Penjualan, Pajak Hasil Bumi dan Pajak
perkara gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak dengan
Pembangunan I.
Surat
Perkembangan selanjutnya, dengan adanya UU No. 5
paksa,
Sita,
dan
Lelang
yang
semula
merupakan
kewenangan PTUN beralih menjadi konpetensi BPSP.
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang
Sebagai lembaga yang bertugas memeriksa dan memutus
mulai berlaku pada tahun 1991 dan terakhir dirubah dengan UU
sengketa pajak, keberadaan BPSP tidak begitu lama, sejak
No. 9 tahun 2004 yang menimbulkan dualisme dalam system
berlakunya UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
69
Jamal Wiwoho, Op.Cit., hlm. 6. Malimar. “Eksistensi MPP Sebagai Badan Peradailan Pajak di Indonesia”. Makalah Seminar Nasional FH UNDIP, taggal 25 September 1995, Semarang, hlm. 5. 70
71
Wirawan B Ilyas dan Richard Burton., Op.Cit., hlm. 51.
maka penyelesaian sengketa pajak baik itu banding maupun gugatan menjadi kewenangan Pengadilan Pajak.
pranata
72
maupun
lembaga
menyelesaian sengketa pajak.
serta
birokrasi
yang
berhak
73
Sejarah perkembangan kebijaksanaan pemerintah dalam menyelesaikan sengketa pajak di Indonesia dapat diketahui bahwa pada tahap awal (zaman Hindia Belanda), maka kebijaksanaan
F.
Peradilan Pajak Setelah Berlaku Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
pemerintah dalam penyelesaian sengketa pajak sepenuhnya
Penyelesaian
sengketa
pajak
sebelum
berlakunya
menggunakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di
Undang-Undang nomor 14 Tahun 2002 tentang Peradilan Pajak),
Negara Belana dan Jepang . Penerapan ketentuan tersebut
dilakukan oleh Badan Penyelesaian sengketa Pajak (BPSP) yang
kiranya
disebabkan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang
perbedaan struktur dan kultur masyarakat Indonesia dengan
badan Penyelesaian Sengketa pajak. Namun, dalam pelaksanaan
masyarakat Belanda dan Jepang.
penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat ketidak
banyak
mengalami
hambatan,
hal
ini
Setelah Indonesia merdeka, kebijaksanaan pemerintah
pastian hukum yang dapat menimbulkan ketidak adilan. Padahal,
yang mengatur masalah sengketa pajak ini masih belum ada
penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan dengan adil melalui
kesatuan pengaturan, saling menentukan sendiri baik aspek
prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Selain itu keberadaan BPSP yang diatur dalam undang-undang nomor 17 Tahun 1997 bukan hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 ketika itu. Di mana dalam undang-
72
Pasal 31 ayat (1) UU No. 14 tahun 2002 dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak mmepunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Ayat (2) Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Pengdailan Pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
undang nomor 17 Tahun 1997 dinyatakan bahwa segala keputusan yang dibuat Badan Penyelesaian Sengketa Pajak merupakan putusan terakhir yang tidak dapat diajukan banding kebadan peradilan yang ada. Sedangkan dalam konstitusi
73
Muslih Muhsin “Mencari Alteratif Penyelesaian Sengketa Pajak Indonesia”. Makalah Seminar, Jakarta, 7 Maret 2006, hlm. 8.
(Undang-Undang Dasar
1945) jelas dinyatakan, kekuasaan
kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung.
sengketa perpajakan melalui pengadilan pajak mengharuskan wajib pajak untuk melunasi 50% (lima puluh persen) kewajiban
Pemerintah melakukan perubahan terhadap Undang-
perpajakannya
terlebih
dahulu.
Meskipun
demikian
proses
Undang Nomor 17 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 14
penyelesaian sengketa perpajakan melalui pengadilan pajak tidak
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang menentukan putusan
menghalangi proses penagihan pajak.
Pengadilan pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai
Pengadilan pajak yang diatur dalam Undang-Undang
kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, masih dimungkinkan
Nomor
untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yaitu :
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya
1. Penyelesaian
hukum
luar
biasa,
disamping
akan
mengurangi
jenjang
14
tahun
2002
sengketa
bersifat
khusus
perpajakan
meyangkut
memerlukan
acara
tenaga-
tenaga hakim khusus yang mempunyai keahlian dibidang
pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek
perpajakan dan berijazah sarjana Hukum atau sarjana lain.
fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan
2. Sengketa yang diproses dalam pengadilan pajak khusus
dilakukan sekaligus oleh Mahkamah Agung. Proses
penyelesaian
sengketa
menyangkut sengketa perpajakan. perpajakan
melalui
3. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya pajak
Pengadilan Pajak perlu dilakukan secara cepat, oleh karena itu
tertuang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh
Pajak diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik ditingkat
kepastian hukum tentang besarnya pajak tertuang yang
Pengadilan Pajak maupun ditingkat Mahkamah Agung. Selain itu,
dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan
proses penyelesaian sengketa pajak melalui pengadilan pajak
Pengadilan Pajak, disamping jenis-jenis putusan yang umum
hanya mewajibkan kehadiran terbanding atau tergugat, sedangkan
diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan
pemohon banding atau penggugat dapat menghadiri persidangan
sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah
atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh hakim
pajak yang masih harus dibayar.
atas dasar alasan yang cukup jelas. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang tertuang, penyelesaian
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas,
1999, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 diatur hukum acara
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak merubah
tersendiri untuk menyelenggarakan pengadilan pajak.
ketentuan mengenai empat lingkup peradilan tersebut. Jadi hanya
Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus dalam era berlakunya era Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
dapat dibentukan pengadilan khusus didalam empat peradilan yang sudah ada tersebut.
tentang kekuasaan kehakiman (sebagaimana telah diubah dengan
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009), sama halnya dengan
2002 tentang Pengadilan Pajak, maka pengadilan pajak sesuai
pengadilan khususnya yang sebelumnya yaitu Pengadilan anak
sebagai pengkhususan terhadap keempat lingkup peradilan
yang diikuti kemudian dengan pengadilan Niaga, dan pengadilan
tersebut diatas maka masalah ketika berlakunya Undang-Undang
HAM.
Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pengkhususan pengadilan ini terlihat dari penjelasan Pasal
Pajak (BPSP) yang kedudukannya berada diluar sistem peradilan
10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan : “
nasional
Perbedaan dalam lingkungan empat peradilan ini, tidak menutup
eksekutif telah berubah menjadi pengadilan pajak yang berada
kemungkinan
(difrensiasi/spesialisasi)
dibawah kekuasaan yudikatif. Namun demikian juga harus tegas
dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam peradilan
tentang pengkhususan pengadilan pajak tersebut masuk lingkup
umum dapat diadakan pengkhususan berupa pengadilan lalu
salah satu dari empat peradilan sesuai dengan undang-undang
lintas,
kekuasaan kehakiman nasional yang berlaku. Dimana dilihat dari
adanya
pengadilan
pengkhususan
anak-anak,
pengadilan
ekonomi,
dan
sebagainya dengan Undang-Undang.”
(kekuasaan
kehakiman)yaitu
dibawah
kekuasaan
karakteristik pengadilan pajak adalah menyelesaikan sengketa
Sebagaimana diketahui dalam sistem hukum Indonesia
warga negara yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 hanya ada
oleh negara khususnya kantor perpajakan baik itu daerah dan/atau
empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata
di pusat. Dengan kata lain yang digugat dalam sengketa pajak
Usaha Negara, Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Demikian
adalah putusan dari pejabat negara.
juga setelah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
Menurut
Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1986
sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
undangan yang berlaku yang bersifat kongkrit, individual dan final
2009, tidak semua tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
negara atau Badan tata Usaha Negara menjadi obyek sengketa di
hukum perdata”. Kemudian lebih lanjut dijelaskan bahwa yang
Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi hanya tindakan hukum tata
dikategorikan sebagai pejabat birokrasi atau pejabat tata usaha
usaha negara yang bersifat ekster, publik, sepihak, individual dan
negara berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5
kongrit saja yang menjadi obyek sengketa. Sedangkan tindakan-
Tahun 1986 (sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang
tindakan
apabila
Nomor 51 Tahun 2009) adalah apa saja dan siapa saja
disengketakan akan termasuk dalam kewenangan badan Peradilan
berdasarkan peratiran perundang-undangan melaksanakan suatu
Umum.
urusan bidang pemerintahan. Dengan demikian yang menjadi
material
dan
tindakan
hukum
lainnya,
Lebih lanjut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memberikan suatu pengertian secara formil yang
patokan bukanlah kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran pemerintah.
dimaksud dengan sengketa tata usaha negara.Sengketa Tata
Apabila fungsi yang dijalankan adalah urusan pemerintah,
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
maka oleh undang-undang tentang peradilan tata usaha negara
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
dianggap sebagai badan atau pejabat tata usaha negara/pejabat
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun
birokrasi. Oleh karena itu, suatu badan hukum perdata misalnya,
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya putusan tata usaha negara
perseroan terbatas atau yayasan dapat dianggap sebagai badan
,
atau pejabat birokrasi, jika kepada badan hukum tersebut diserahi
termasuk
sengketa
kepegawaian
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang menjadi keputusan tata usaha negara
tugas menjalankan urusan pemerintahan. Akibatnya, apabila keputusan-keputusan maka
pejabat sengketa
birokrasi
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
keabsahanya,
tersebut
Tahun 1986 (sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.
disengketakan termasuk
dalam
Nomor 51 Tahun 2009, yaitu: “ penetapan tertulis yang dikeluarkan
Kesulitan dalam menentukan apakah suatu keputusan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
pejabat negara itu diterbitkan dalam rangka menjalankan fungsi
hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-
pemerintahan atau dalam rangka melakukan perbuatan hukum
perdata. Sama halnya dengan bentuk pengadilan pada umumnya,
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,
Pengadilan pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya
kemudian kasasi kepada mahkamah Agung, dan apabila dipenuhi
peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea masuk dan
berbagai persyaratan maka dapat pula mengajukan peninjauan
cukai dan pajak daerah, dalam prakteknya terkadang tanpa
Kembali kepada Mahkamah Agung.
adanya peningkatan keadilan terhadap para wajib pajak itu sendiri,
Sengketa Tata Usaha Negara tidak semua diselesaikan di
karena para wajib pajak merasakan bahwa peningkatan kewajiban
pengadilan tata usaha negara karena dapat ditempuh jalur lain
pajak tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan
yaitu upaya administrasi. Pengertian dari upaya administrasi
berbagai sengketa antara instansi perpajakan dan pihak wajib
adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan
pajak. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa perpajakan
masalah sengketa tata usaha negara oleh seorang atau badan
dibutuhkan suatu peradilan khusus untuk menanganinya, yang
hukum perdata apabila seseorang atau badan hukum tidak puas
sebelumnya diatur dalam undang-undang nomor 17 Tahun 1997
terhadap suatu keputusan badan tata usaha negara, dalam
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) kemudian
lingkungan administrasi atau pemerintah tersendiri. Namun upaya
diubah dengan undang-undang nomor 14 Tahun 2002 tentang
administrasi ini diragukan ketidak berpihaknya karena yang
Pengadilan Pajak, yang dalam konsiderannya dinyatakan: badan
menjadi subyek gugatan adalah orang pribadi atau badan hukum
penyelesaian sengketa pajak (BPSP) belum merupakan badan
perdata melawan Pejabat Tata Usaha Negara dalam keadaan
peradilan yang belum berpuncak di Mahkamah Agung, karena itu
yang tidak seimbang. Disinilah peradilan Tata Usaha Negara
diperlukan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem
dengan hakim yang independen mempunyai peranan penting
kekuasaan kahakiman
sebagai upaya alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa tata
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
usaha negara. Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara
pajak.
berasal dari sistem pembinaan karir dibawah Mahkamah Agung dengan diberlakukannya sistem satu atap.
di Indonesia dan mampu menciptakan
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan “ sengketa pajak adalah
Pemahaman tentang hal tersebut diatas penting terkait
sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antar wajib pajak
dengan penyelesaian sengketa pajak yang diatur dalam Undang-
atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding
satu upaya hukum terhadap putusan pengadilan pajak yaitu
atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan
Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung.
perundang-undangan
atas
Mahkamah Konstitusi dalam putusan atas judicial review yang
pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan
diajukan oleh Cornelius Moningka vega atas Pasal 33 ayat 1 jo.
pajak dengan surat paksa”.
Pasal 77 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang
perpajakan,
termasuk
gugatan
Selanjutnya dalam pasal 1 angka 4 Undang-Undang
mengeliminasi upaya hukum banding maupun kasasi, lebih lanjut
Nomor 14 Tahun 2002 dinyatakan “keputusan adalah suatu
mengatakan
penetapan tertulis dibidang perpajakan yang dikeluarkan. Oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 sama dengan proses
pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-
pemeriksaan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara karena
undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-
tersedianya upaya banding administratif bagi pencari keadilan.
Undang Penagihan Pajak dengan surat paksa”.
bahwa
proses
Pengadilan
Pajak
berdasarkan
Pada pengadilan pajak sama halnya dengan subyek
Dengan demikian dalam undang-undang pengadilan pajak
peradilan Tata Usaha Negara, di mana subyek pengadilan pajak
terdapat 2 jenis upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu
dalam keadaan yang tidak seimbang antara wajib pajak atau
pengajuan banding dan gugatan. Banding adalah upaya hukum
penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang. Hakim yang
yang dilakukan wajib pajak apabila tidak puas dengan keputusan
independen akan berwenang mengambil peranan untuk membuat
atas keberatan yang diajukan. Gugatan adalah upaya hukum yang
keadaan ini menjadi lebih seimbang. Oleh karena itu, Hakim pada
dapat diajukan wajib pajak apabila tidak puas dengan prosedur
Pengadilan pajak harus tenaga-tenaga hakim khusus yang
penagihan pajak atau keputusan lain dibidang perpajakan. Upaya
mempunyai keahlian khusus dibidang perpajakan. Namun, pada
hukum banding dapat mengakomodasi ketidak puasan terhadap
prakteknya hakim pada pengadilan pajak sebagaimana besar
penyelesaian
dengan
adalah mantan pejabat pada departemen keuangan khususnya
mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan
Direktorat Jenderal Pajak dan bukan hakim karir yang berasal dari
Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Namun tidak seperti
pembinaan karir pada umumnya. Selain itu pembinaan terhadap
halnya pengadilan lain, Pengadilan Pajak tidak mengenal upaya
pengadilan pajak bukan dibawah Mahkamah Agung namun
hukum banding ke pengadilan tinggi maupun kasasi. Hanya ada
dibawah Kementerian Keuangan. Walaupun terlihat pengadilan
sengketa
pajak
yang
diselesaikan
pajak dibawah lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, tetapi
BAB III
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
TINJAUAN LPSP DARI BERBAGAI ASPEK
tidak sepenuhnya berlandaskan pada prinsip satu atap dibawah mahkamah agung karena adanya dualisme pembinaan yang berada di dua lembaga peradilan tersebut sesuai dengan Pasal 5
A.
Pajak dan Keadilan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan Pajak bahwa
pembinaan
dilakukan
oleh
teknis
Mahkamah
peradilan Agung,
bagi
pengadilan
sedangkan
pajak
Oleh
Departemen
Keuangan.
pemerintahan civil, dan dapat dikatakan bahwa pajak merupakan
pembinaan
organisasi, administrsi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
Keberadaan pajak terutama berlangsung sejak lahirnya
Ketentuan
ini
mengakibatkan hakim pada pengadilan pajak banyak direkrut dari
harga yang harus dibayar oleh kehidupan masyarakat civil yang demokratis,
bebas
dan
terorganisir.
Pajak
tidak
hanya
mengandung arti berpindahnya dana masyarakat ke pemerintah
para mantan pegawai kementerian keuangan dengan kedudukan sebagai Hakim ad Hoc. Keadaan ini mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa pajak tersebut.
untuk menyediakan barang publik dan melaksanakan pelayanan publik
yang
dimaksudkan
diinginkan sebagai
masyarakat, refleksi
nilai
namun
pajak
juga
sosial-budaya
dan
merealisasikan prioritas permintaan masyarakat dalam pelayanan publik dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat (social and economic welfare). Sistem perpajakan harus dimaknai sebagai bagian dari model sosial ekonomi, yang merepresentasikan masyarakat sosial, politik dan kebutuhan ekonomi masyarakat pada periode tertentu, yang berarti bahwa perubahan cita-cita bernegara suatu masyarakat bangsa akan memberikan implikasi
terhadap perubahan sistem perpajakan. Karakteristik sistem
Warganegara, apalagi, amat peka terhadap argumen tentang
perpajakan yang harus mengikuti sistem pemerintahan dan tujuan
keadilan di hampir setiap debat kebijakan perpajakan. Namun,
bernegara tersebut, menjelaskan bahwa kenapa pada dasarnya
semua kontroversi yang bersifat populis tersebut, keadilan pajak
sistem perpajakan antar negara berbeda, dan kenapa sistem
kurang dipahami dan sering kali penerapannya tidak sejalan
perpajakan selalu berubah dari waktu ke waktu. Salah satu aspek
dengan sistem perpajakan yang baik. Konsep keadilan di bidang
dari
bidang
perpajakan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dimensi yang
perpajakan. Tidak ada sistem perpajakan yang sempurna di
berbeda yaitu: keadilan horizontal, vertikal, dan keadilan individu.
berbagai Negara termasuk Negara-negara OECD ( Organization of
Penerapan di antara komponen-komponen ini mempersulit upaya
Economic Cooperation and Development), tetapi idealnya sistem
untuk mencari kebijakan pajak yang baik, mendorong debat politik
perpajakan yang modern seharusnya memenuhi prinsip-prinsip
yang lebih banyak menyita retorika keadilan di bidang perpajakan
sistem
perpajakan
tanpa menyentuh substansinya. Argumen yang paling gencar
seharusnya meminimalkan dampai negatif terhadap kehidupan
tentang keadilan di bidang perpajakan adalah pada hubungan
masyarakat dalam berbagai aspek sosial ekonomi,
yang tidak simetris antara keadilan vertikal yang paling sering
suatu
sistem
perpajakan
perpajakan
yang
baik
adalah
terutama
keadilan
sistem
di
politik dan
keadilan.
diwujudkan
pada
penerapan
pajak
progresif
dan
struktur
Konsep kesetaraan dan keadilan di bidang perpajakan
pengeluaran dan tuntutan keadilan individu, di mana individu
merupakan urat nadi sistem perpajakan yang baik. Pemimpin
bebas melakukan transaksi yang mereka pilih sendiri. Sementara
politik memberi penghargaan kepada cita-cita di hampir setiap
dukungan untuk beberapa aplikasi keadilan vertikal tampak jelas,
bidang pembuatan undang-undang dan peraturan perpajakan.
dalam penentuan tingkat progesivitas`yang tepat, dalam hal ini
aspek progresif dalam perpajakan telah terbukti sulit untuk
bidang perpajakan ini, memunculkan
diterapkan.
memperkuat
argumentasi
banyak teori
masing-masing.
Banyak
yang ekonom,
Berbagai upaya secara teknis untuk mengimplementasikan
khususnya, sering beranggapan bahwa keadilan lebih merupakan
ketiga komponen keadilan di bidang perpajakan tersebut, sulit
masalah estetika dari pada analisis. Salah satu argumen tentang
untuk
keadilan di bidang perpajakan adalah sudut pandang efisiensi
dilaksanakan
secara
simultan.
Progresivitas
dalam
pengenaan pajak tetap menjadi batu ujian dalam perdebatan
ekonomi.
kebijakan perpajakan. Untuk itu, banyak ahli menyarankan bahwa
1. Kriteria Pajak Yang Baik
ketika keadilan di bidang perpajakan tidak dapat diterapkan, maka
Para peneliti di bidang perpajakan telah menaruh
melalui kebijakan fiskal secara utuh koreksi atas kelemahan sistem
perhatian besar pada pemikiran klasik tentang keadilan di
perpajakan sebaiknya dapat dilakukan terutama melalui kebijakan
bidang perpajakan antara lain dipengaruhi oleh pemikiran
belanja Negara dan daerah. Selain itu, kebijakan pajak yang adil
Adam Smith di abad ke-18 dan Richard Musgrave di abad 20.
semakin dirancukan dengan pemikiran konvensional tentang pajak yang sesuai dengan dasar
pengenaan
pajak
berdasarkan
Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations (1776) antara
penghasilan, konsumsi, kekayaan atau dasar pengenaan pajak
lain menyatakan suatu sistem
yang lain. Suatu basis pajak tertentu sering kali memiliki prinsip-
memenuhi kriteria yang dikenal sebagai Canons of Taxation,
prinsip dan ukuran keadilan dan kesetaraan yang unik, berbeda
yang terdiri dari empat kriteria yang dikenal sebagai Four
dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan sistem perpajakan
Criteria for a "good tax" yaitu :
secara umum. Kontroversi dan kompleksitas masalah keadilan di
perpajakan yang baik harus
a. Equality – equal treatment of similarly situated taxpayers.
amount by way of taxes to the government. By equality is
Horizontal equity: all purchasers of the same equity pay
meant equality of sacrifice, that is people should pay taxes
the same tax vertical equity: unequally situated taxpayers
in proportion to their incomes. This principle points to
being taxed on their ability to pay as per progressive
progressive taxation. It states that the rate or percentage
taxation philosophies. For mining industry – natural
of taxation should increase with the increase in income and
conflicts. Mining goal is the maximization of resource
decrease with the decrease in income. In the words of
utilization; Taxing authority goal is the maximization of
"The subject of every state ought to contribute towards the
social economic benefits to the individual state of taxing
support of the government as early as possible in
power. It is most important canon of taxation which
proportion to their respective abilities that is in proportion to
embodies the principle of equity or justice. It provides the
the revenue which they respectively enjoy under the
concept of the equality of sacrifice. The amount of the tax
protection of the State".
paid is to be in portion to the respective abilities of the tax
b. Convenient – a tax that can be readily and easily
payers. It is not very unreasonable that the rich should
assessed,
collected,
and
administered.
Canon
of
contribute to the public expense not only in proportion to
convenience: By this canon, means that the tax should be
their revenue but some thing more than that proportion.
levied at the time and the manner which is most
Canon of equality or ability: Canon of equality, or ability
convenient for the contributor to pay it. For instance, if the
is considered to be a very important canon of taxation. By
tax on agricultural land is collected in installments after the
equality we do not mean that people should pay equal
crop is harvested, it will be very convenient for the
c.
agriculturists to pay it. Similarly, property tax, house tax,
time of payment, he can adjust his income to his
income tax, etc., etc., should be realized at a time when
expenditure. The state also benefits from this principle,
the taxpayer is expected to receive income. The manner of
because it will be able to know roughly in advance the total
payment of tax should also be .convenient. If the tax is
amount which it is going to obtain and the time when it will
payable by cheques, the contributor will be saved from
be at its disposal. If there is an element of arbitrariness in a
much inconvenience. In the Words of "Every tax ought to
tax, it will then encourage misuse of power and corruption
be levied at the time or in the manner in which it is most
in this connection remarks: "The tax which each individual
likely to be convenient for the contributor to pay it".
is bound to pay ought to be certain and not arbitrary. The
Certainty – the consistency & stability in the prediction of
time of payment, the manner of payment, the quantity to be
taxpayers' bills and the amount of revenue collected over
paid all ought to be clear and plain to the contributor and to
time.Canon of Certainly: The tax paid by each individual
every other person".
should be certain but not arbitrary. The time of payment,
d. Economy – compliance and administration of a tax should
the manner of payment, the quantity to pay, should all to
be minimal in terms of cost. Canon of Economy: The
be clear and plain to the contributor. Canon of certainty:
canon of economy implies that the expenses of collection
The Canon of certainty implies that there should be
of taxes should not be excessive. They should be kept as
certainty with regard to the amount which taxpayer is
little as possible, consistent with administration efficiency.
called upon to pay during the financial year. If the taxpayer
If the government appoints highly salaried, staff and
is definite and certain about the amount of the tax and its
absorbs major portion of the yield, the tax will be
considered uneconomical. Tax will also to regarded as
b. Canon of elasticity: Canon of elasticity states that the tax
uneconomical if it checks the growth of capital or causes it
system should be fairly elastic so that if at any time the
to emigrate to other countries, In the words of "Every tax is
government is in need of more funds, it should increase its
to be so contrived as both to take out and keep out of the
financial resources without incurring any additional cost of
pockets of the people as little as possible over and above
collection. Income tax, railway fares, postal rates, etc., are
what it brings into the public treasury of the state".
very good examples of elastic tax. The government by
Beberapa prinsip sistem perpajakan yang baik yang
raising these rates a little, can easily meet its rising
dikemukakan para ahli yang lain selain Canons of Taxation Adam Smith, antara lain Musgrave (1959), Samuelson and
demand for revenue. c.
Canon of simplicity: Canon of simplicity implies that the
Nordhaus (2005), Stiglitz (2000) secara garis besarnya dapat
tax system should be fairly simple, plain and intelligible to
dikemukakan berikut ini :
the tax payer. If it is complicated and difficult to
a. Canon of productivity: The canon of productivity
understand, then it wilt lead to oppression and corruption.
indicates that a tax when levied should produce sufficient
d. Canon of diversity: Canon of diversity says that the
revenue to the government. If a few taxes imposed yield a
system of taxation should include a large number of taxes
sufficient fund for the state, then they should be preferred
whish are economical. The government should collect
over a large number of small taxes which produce less
revenue from its citizens by levying direct and indirect
revenue and are expensive in collection.
taxes. Variety in taxation in desirable from the point of view of equity, yield and stability.
Dari kutipan tersebut di atas, menurut Adam Smith
d.
Prinsip efisiensi (efficiency), pajak hendaknya menimbulkan
pengenaan pajak harus memenuhi prinsip-prinsip yang baik yang
kerugian yang minimal dalam arti jangan sampai biaya
disebut dengan the four canons of taxation, yaitu, (James dan Nobes,
pemungutannya lebih besar dari jumlah penerimaan pajaknya
1992: 13) sebagai berikut.
dan pajak hendaknya mampu menghilangkan distorsi terhadap
a.
tingkah laku wajib pajak (prinsip netralitas).
Prinsip keadilan (equality), artinya bahwa beban pajak harus sesuai dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak. Perbedaan dalam tingkat penghasilan harus digunakan sebagai dasar dalam distribusi beban pajak itu sehingga bukan beban
Berbeda dengan Smith, Stiglitz (2000) berpendapat bahwa sistem perpajakan yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a.
pajak dalam arti uang, tetapi beban riil dalam arti kepuasan yang
sedapat mungkin tidak mempengaruhi alokasi sumber daya
hilang. b.
Prinsip kepastian (certainty), pajak hendaknya tegas, jelas, dan
Efisiensi ekonomi (economic efficiency) : sistem perpajakan
ekonomi yang efisien b.
menjamin kepastian bagi setiap wajib pajak sehingga mudah
Kesederhanaan
dalam
pengadministrasian
(administrative
simplicity) : sistem perpajakan harus mudah, sederhana dan
dimengerti oleh wajib pajak dan juga akan memudahkan
relatif murah dalam pengadministrasiannya
administrasi pemerintah sendiri. c. c.
Prinsip kecocokan (convenience), pajak jangan sampai terlalu menekan wajib pajak sehingga wajib pajak akan dengan senang hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
Fleksibilitas (flexibility) : sistem perpajakan harus sedemikian fleksibel untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi suatu negara
d.
Diterima secara politis (political responsibility) : sistem perpajakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga terdapat
2) Kesederhanaan (simplicity) 3) Kepastian (certainty)
kepastian tentang seberapa besar masing-masing jenis pajak yang 4) Likuiditas (liquidity) harus ditanggung oleh seseorang yang merefleksikan keinginan masing-masing individu dalam masyarakat
Prinsip keadilan sebagaimana dikemukakan baik oleh Smith, Stiglitz, maupun Break, tersebut di atas, pada dasarnya dapat
e.
Kejujuran (Fairness):sistem perpajakan harus mencerminkan dilihat dari empat aspek. Pertama, kejujuran (fairness) yang dikenal keadilan terhadap masing-masing individu dalam masyarakat sebagai prinsip kemampuan membayar (ability to pay) yang pertama Prinsip perpajakan yang baik menurut Break (1957) harus
memenuhi uji standar sebagai berikut. a.
Aspek Teori 1) Keadilan (equality), mencakup keadilan horizontal dan keadilan vertikal.
kali diperkenalkan oleh Adam Smith lebih dari 200 tahun yang lalu. Dalam hal ini
Smith berpendapat
bahwa pada dasarnya pajak
dikenakan tidak atas dasar kriteria penerimaan maslahat (the benefit received criterion), tetapi lebih kepada kemampuan membayar (ability to pay). Secara sederhana suatu sistem perpajakan yang adil dalam pelaksanaannya seharusnya tidak memerlukan biaya dan waktu
2) Efisiensi (efficiency), meliputi efisiensi fiskal dan efisiensi yang berlebihan dan tidak mengganggu tujuan masyarakat untuk ekonomi. mencapai penggunaan sumber ekonomi yang optimal. Ada 3 ukuran b.
Praktikal 1) Netralitas (neutrality)
yang biasanya dipergunakan untuk mengukur kemampuan seseorang membayar pajak, yaitu: penghasilan konsumsi dan kekayaan. Ketigatiganya merupakan ukuran kemakmuran seseorang, tetapi pada
umumnya ukuran yang dipakai adalah penghasilan sehingga prinsip
Apakah adil bila Sugianto dikenakan pajak penghasilan yang lebih
kemampuan membayar pajak pada akhirnya diukur dengan suatu
tinggi daripada
konsep pengorbanan sebagai fungsi dari penghasilan seseorang yang
membayar, masih perlu dipertanyakan apakah ukuran penghasilan riil
dipergunakan untuk membayar pajak. Ilustrasi di bawah ini
atau potensi penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak. Dalam
memberikan gambaran tentang tidak adanya kesepakatan secara utuh
praktek tentunya tidak mungkin mengenakan pajak penghasilan atas
tentang basis pengenaan pajak yang paling baik yang dikaitkan
dasar potensi penghasilan seseorang. Persoalan lain yang muncul
dengan prinsip kemampuan membayar. Dalam prinsip kemampuan
mengenai prinsip kejujuran, apakah penghasilan atau konsumsi
membayar, seseorang yang mempunyai kemampuan lebih harus
sebagai pilihan yang paling baik sebagai dasar pengenaan pajak?
membayar pajak lebih besar dari yang lainnya. Misalnya dua orang
Penghasilan yang diterima seseorang secara luas menjadi ukuran
masing-masing bernama Sugianto dan Sugiarto, keduanya memiliki
untuk menentukan dasar pengenaan pajak,
kemampuan yang identik, latar belakang pendidikan yang sama dan
pajak penghasilan. Banyak ahli ekonomi juga berpendapat bahwa
potensi penghasilan yang sama. Sugianto memilih untuk menjadi
konsumsi merupakan pilihan yang lebih baik sebagai dasar
konsultan ekonomi dan setiap minggunya bekerja selama 42 jam,
pengenaan pajak, yang dikenal dengan cukai, pajak penjualan, atau
sedangkan Sugiarto memilih menjadi dosen yang dalam satu
Pajak Pertambahan Nilai. Dilihat dari segi keadilan horizontal, jenis
minggunya bekerja selama 30 jam dan sisa waktunya dipergunakan
pajak atas konsumsi dianggap cukup adil jika indeks keadilan
untuk olahraga dan menyalurkan hobi lainnya, keduanya menyenangi
tersebut dinyatakan dari segi konsumsi. Demikian pula dilihat dari
masing-masing pekerjaannya. Sudah barang tentu Sugianto akan
segi keadilan vertikal, pajak atas konsumsi
memperoleh penghasilan yang lebih besar daripada Sugiarto.
proporsional terhadap konsumsi. Akan terlihat tidak adil jika
Sugiarto?
Berdasarkan prinsip kemampuan
yang dikenal sebagai
akan bersifat
indeksnya dinyatakan dari segi penghasilan. Pengenaan pajak
sehingga keadilan dalam pengenaan pajak menurut kaidah ini juga
tersebut akan bersifat regresif terhadap penghasilan karena konsumsi
mengandung beberapa kelemahan.
sebagai persentase penghasilan akan menurun jika skala penghasilan mengalami kenaikan.
Ketiga, beban pajak (tax incidence), ialah keadilan yang dikaitkan dengan bukan hanya pada titik-titik mana pajak tersebut
Kedua, prinsip keadilan di bidang perpajakan dikenal
harus dibebankan, tetapi siapa sebenarnya yang pada akhirnya
dengan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal
menanggung beban pajak tersebut. Keempat, keadilan atas dasar
mengandung arti bahwa mereka yang mempunyai kemampuan yang
manfaat yang diterima oleh wajib pajak (the benefit-received
sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama (equals
criterion) adalah prinsip pengenaan pajak berdasarkan atas manfaat
treated equals), sedangkan keadilan vertikal mengandung arti bahwa
yang diterima oleh wajib pajak atas pelayanan barang publik yang
mereka yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar
disediakan oleh pemerintah.
pajak yang lebih besar pula. Penerapan kedua kaidah tersebut
pilihan utama atau preferensi terhadap barang publik yang berbeda-
memerlukan ukuran kuantitatif mengenai kemampuan membayar.
beda sehingga formula pengenaan pajak berdasarkan prinsip ini akan
Idealnya, ukuran ini disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan secara
tergantung pada elastisitas pendapatan dan harga terhadap permintaan
menyeluruh
meliputi
barang publik. Menurut prinsip ini, beban akhir suatu pajak dapat
penghasilan, konsumsi, tabungan, pemilikan kekayaan, waktu yang
dilihat dari keseimbangan anggaran pemerintah untuk menyediakan
luang untuk rekreasi, dan kenikmatan lainnya. Sayangnya, ukuran
barang-barang publik. Karena setiap orang mempunyai preferensi
yang bersifat komprehensif ini tidak mudah untuk diperoleh,
yang berbeda-beda, maka orang yang berkepentingan dengan
yang
dapat
diperoleh
seseorang
yang
Namun, setiap orang mempunyai
penyediaan suatu barang publik akan bersedia membayar sejumlah
tertentu sesuai dengan skala permintaannya, sehingga tercapai suatu
dan kesederhanaan seringkali mengabaikan prinsip keadilan dan
efisiensi dalam penyediaan barang publik dan belanja pemerintah.
efisiensi. Dengan kata lain, suatu peraturan perundangan perpajakan
Keseimbangan anggaran dan preferensi masyarakat terhadap barang
kadang-kadang lebih mengutamakan kepastian dan kesederhanaan
publik ini dikenal dengan model pertukaran suka-rela (voluntary
untuk menghindari kecanggihan dan kompleksitas perhitungan yang
exchange model). Namun, banyak pula penyediaan pelayanan
pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian. Pertimbangan likuiditas
pemerintah seperti pertahanan, keamanan, dan pelestarian lingkungan
muncul pada saat kewajiban perpajakan harus dipenuhi dengan
hidup, serta model pertukaran suka-rela tidak dapat digunakan untuk
pembayaran pajak yang terutang dalam bentuk uang daripada dalam
menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak
bentuk natura.
karena tidak ada seorangpun yang secara suka-rela bersedia untuk menanggung penyediaan barang publik jenis ini.
Prinsip
kecocokan
mengandung
arti
bahwa
dalam
pengenaan pajak harus memperhatikan saat yang tepat kapan
Selanjutnya, prinsip kepastian dan likuiditas mengandung
kewajiban perpajakan tersebut harus ditunaikan oleh wajib pajak
arti bahwa pengenaan pajak harus tegas, jelas, dan memiliki unsur
sedemikian rupa sehingga wajib pajak dengan sukarela akan
kepastian khususnya
atas objek, subjek, dan jumlah pajak yang
memenuhi kewajiban perpajakannya kepada pemerintah. Untuk itu,
terutang yang harus ditanggung oleh wajib pajak sehingga mudah
setiap pajak harus dipungut pada waktu dan dengan cara yang paling
dimengerti oleh wajib pajak dan juga
akan memudahkan
menyenangkan bagi wajib pajak. Misalnya pemungutan PBB di
administrasi pemerintah sendiri. Prinsip kepastian dalam pelaksanaan
daerah pertanian, seyogyanya dilaksanakan setelah para wajib pajak
pengenaan pajak secara implisit harus melindungi wajib pajak untuk
menjual hasil pertaniannya.
dibebani pajak melebihi yang seharusnya dibayar. Prinsip kepastian
Prinsip efisiensi mengandung arti bahwa pengenaan pajak
Pengenaan suatu pajak yang bersifat
lump-sum terhadap
harus benar-benar memperhatikan biaya pemungutan yang sekecil-
setiap orang yang dikenal sebagai
kecilnya jika dibandingkan dengan penerimaan yang berasal dari
memberikan distorsi yang berarti karena pajak ini tidak membedakan
pemungutan pajak tersebut, dampak distorsi terhadap keputusan
tingkah laku ekonomi dari wajib pajak sehingga tidak menimbulkan
wajib pajak dalam produksi, konsumsi serta mekanisme harga harus
ketidakefisienan atau excess burden yang berarti.
dapat diminimalkan. Menurut James dan Nobes (1992: 33-34), dan Ontario Fair Tax Commission (1993), biaya pemungutan yang relatif kecil,
pada
umumnya
berkaitan
dengan
biaya
administrasi
pemungutan pajak dan biaya wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya harus murah dan sesederhana mungkin (on the grounds of efficiency on administrative costs and compliance cost). Prinsip efisiensi yang dikaitkan dengan dampak distorsi yang minimal, atau pengenaan pajak sedapat mungkin netral terhadap mekanisme harga, keputusan wajib pajak dalam memproduksi dan konsumsi. Hampir semua ahli berpendapat bahwa sangat sulit untuk mendapatkan jenis pajak yang sama sekali tidak memberikan dampak negatif terhadap alokasi sumber daya ekonomi.
Kenetralan pengenaan
poll-tax, barangkali tidak
poll-tax terhadap alokasi sumber
daya ekonomi dapat berlangsung sepanjang wajib pajak tidak mengubah keputusannya untuk memperkecil jumlah keluarganya misalnya melalui keluarga berencana sehingga pengenaan poll-tax pun masih mungkin memberikan dampak distorsi. kerajaan Inggeris pada tahun 1990
Pemerintah
memberlakukan poll-tax ini,
tetapi negara tersebut kurang memperhatikan aspek lainnya dari prinsip perpajakan yang baik, yaitu keadilan. Poll-tax dikenal sebagai suatu jenis pajak yang tidak adil dan memberatkan keluarga berpenghasilan rendah.Kisah poll-tax di Inggeris ini menggambarkan secara jelas suatu dilema penting di masyarakat modern mengenai pilihan antara efisiensi dan keadilan dalam menentukan kebijakan ekonomi khususnya di bidang perpajakan (Stiglitz, 2000).
3. Teori Ekonomi Perpajakan Ekonom
menempatkan teori
Secondly, most of the expenditure incurred by the slate is perpajakan
sebagai
for the general benefit of its citizens, It is not possible to
bagian dari teori Public Finance, antara lain menyatakan
estimate the benefit enjoyed by a particular individual
bahwa sistem perpajakan yang baik terutama harus memenuhi
every year. Thirdly, if we apply this principle in practice,
keadilan di bidang perpajakan yang pada dasarnya dapat
then the poor will have to pay the heaviest taxes, because
dikutip berikut ini.
they benefit more from the services of the state. If we get
a. Benefit Theory, According to this theory, the state should
more from the poor by way of taxes, it is against the
levy taxes on individuals according to the benefit conferred
principle of justice?
on them. The more benefits a person derives from the
b. The Cost of Service Theory; Some economists were of the
activities of the state, the more he should pay to the
opinion that if the state charges actual cost of the service
government. This principle has been subjected to severe
rendered from the people, it will satisfy the idea of equity or
criticism on the following grounds: Firstly, If the state
justice in taxation. The cost of service principle can no
maintains a certain connection between the benefits
doubt be applied to some extent in those cases where the
conferred and the benefits derived. It will be against the
services are rendered out of prices and are a bit easy to
basic principle of the tax. A tax, as we know, is compulsory
determine, e.g., postal, railway services, supply of
contribution made to the public authorities to meet the
electricity, etc., etc. But most of the expenditure incurred
expenses of the government and the provisions of general
by the state cannot be fixed for each individual because it
benefit. There is no direct quid pro quo in the case of a tax.
cannot be exactly determined. For instance, how can we
c.
measure the cost of service of the police, armed forces,
exact measure of a person's ability or faculty to pay. The
judiciary, etc., to different individuals? Dalton has also
main view points advanced in this connection are as
rejected this theory on the ground that there s no quid pro
follows: (a) Ownership of Property: Some economists are
qua in a tax.
of the opinion that ownership of the property is a very good
Ability to Pay Theory; The most popular and commonly
basis of measuring one's ability to pay. This idea is out
accepted principle of equity or justice in taxation is that
rightly rejected on the ground that if a persons earns a
citizens of a country should pay taxes to the government in
large income but does not spend on buying any property,
accordance with their ability to pay. It appears very
he will then escape taxation. On the other hand, another
reasonable and just that taxes should be levied on the
person earning income buys property, he will be subjected
basis of the taxable capacity of an individual. For instance,
to taxation. Is this not absurd and unjustifiable that a
if the taxable capacity of a person A is greater than the
person, earning large income is exempted from taxes and
person B, the former should be asked to pay more taxes
another person with small income is taxed? (b) Tax on the
than the latter.It seems that if the taxes are levied on this
Basis of Expenditure: It is also asserted by some
principle as stated above, then justice can be achieved.
economists that the ability or faculty to pay tax should be
But our difficulties do not end here. The fact is that when
judged by the expenditure which a person incurs. The
we put this theory in practice, our difficulties actually begin.
greater the expenditure, the higher should be the tax and
The trouble arises with the definition of ability to pay. The
vice versa. The viewpoint is unsound and unfair in every
economists are not unanimous as to what should be the
respect. A person having a large family to support has to
spend more than a person having a small family. If we
Pendapat
make expenditure. as the test of one's ability to pay, the
menyatakan bahwa pengorbanan yang adil hanya dapat
former person who is already burdened with many
dicapai melalui pengenaan pajak yang bersifat progresif, yaitu
dependents will have to' pay more taxes than the latter
makin tinggi tingkat penghasilan akan dibebani tarif pajak yang
who has a small family. So this is unjustifiable. (c) Income
lebih tinggi. Esensi sistem perpajakan yang baik ditengarai
as the Basics: Most of the economists are of the opinion
oleh prinsip-prinsip berikut ini (Nightingle, 2000) :
that income should be the basis of measuring a man's
a. First, a good tax system should lead to fair and equal
ability to pay. It appears very just and fair that if the income of a person is greater than that of another, the former
system of the countries of the world, income has been accepted as the best test for measuring the ability to pay of a person.
berbeda
dengan
ekonom
modern
yang
distribution of wealth in the community. b. Second, it should be composed in such a way that it yields
should be asked to pay more towards the support of the government than the latter. That is why in the modern tax
ini
sufficient revenue to the government. c.
Third, the cost on collection of taxes should not be excessive.
d. Fourth, the burden of taxes should be distributed in proportion to the ability of the tax-payer, i.e., it should be
Selanjutnya menurut ekonom klasik, pengenaan pajak
progressive in character.
harus proporsional terhadap penghasilan individu wajib pajak,
e. Fifth, taxes should he levied at such a time or in the
hal ini berarti bahwa pengenaan pajak sejalan dengan
manner which is most likely to be convenient for the tax-
pengorbanan
payer to pay it.
yang proporsional bagi individu wajib pajak.
f.
Sixth, tax system should be fairly elastic.
perpajakan yang seharusnya konsisten dengan prinsip-prinsip
g. Seventh, there should be certainty with regard to the time and the amount to be paid to the government.
sistem perpajakan yang baik (canon of equality). Mereka mungkin tidak selalu dapat menentukan jawaban yang "benar"
h. Eighth, the system of taxation should be fairly simple, It should also be easy to administer.
dalam hal keadilan, tetapi mereka sering mengidentifikasi pendekatan keadilan di bidang perpajakan yang sulit untuk
4. Pragmatisme Implementasi Keadilan Pajak
diimplementasikan
khususnya
atas
dasar
argumen
Dalam kurun waktu akhir abad 20 dan menginjak abad
kesederhanaan administrasi perpajakan. Solusi ketidak adilan
ke 21, konsepsi keadilan di bidang perpajakan secara gradual
ini, diharapkan dapat dikoreksi melalui kebijakan belanja
mulai ditinggalkan, kecenderungan pergeseran ini jelas salah
Negara dan daerah yang lebih konsisten dan efisien dalam
arah, yang berasal dari kesalah pahaman dari kontribusi
penyelengaraan pelayanan publik. Namun, ironisnya justru
pemikiran yang dimunculkan oleh para ekonom dan otoritas
kebijakan belanja Negara dan daerah dalam banyak hal
pajak di berbagai Negara yang berpandangan pragmatis.
ternyata kurang mencerminkan keadilan. Hal ini dapat dilihat
Mereka berpendapat bahwa dengan asumsi bahwa jawaban
dari masih besarnya kontribusi belanja Negara dan daerah
untuk pertanyaan keadilan lebih bernuansa politik dan populis
yang dialokasikan hanya untuk memenuhi kebutuhan aparat
daripada aspek ekonomi perpajakan dan prinsip-prinsip
dan berbagai belanja yang non-produktif lainnya. Tidak ada
perpajakan sebagai sumber keuangan Negara dan daerah.
yang lebih mendasar dengan karakter demokrasi yang sukses
Para ekonom dan otoritas pajak memiliki peran penting dalam
daripada
mengembangkan
peradilan dan legislatif yang melindungi hak asasi manusia dan
pemikiran
tentang
keadilan
di
bidang
kepercayaan
warga
negaranya
dalam
proses
memberikan keadilan yang sama terutama dalam kaitannya
keadilan di bidang perpajakan dalam beberapa hal sering
dengan beban akhir pajak (tax incidence) berdasarkan hukum
dikalahkan oleh tujuan lain seperti efisiensi, pertumbuhan
yang berlaku. Hak-hak asasi manusia untuk memperoleh
ekonomi, kesederhanaan dalam administrasi perpajakan serta
perlakuan yang adil dari Negara termasuk perlakuan yang adil
karakter institusi Pemerintah di berbagai sektor yang masih
di bidang perpajakan harus mendapat perhatian secara inklusif
berkecenderungan
dengan mempertimbangkan berbagai aspek lainnya termasuk
fungsinya.
abuse the power dalam menjalankan
kebutuhan keuangan Negara dan daerah. Berbagai deklarasi
Keadilan di bidang perpajakan dan kebijakan anggaran
dan konvensi, seperti Deklarasi Universal PBB tahun 1948
negara dan daerah merupakan satu mata rantai yang saling
tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa hak-hak
terkait sebagai bagian dari kebijakan fiskal. Standar keadilan di
tertentu
termasuk
bidang perpajakan dalam banyak hal tidak dapat dipenuhi
preferensi budaya harus dilindungi terutama di negara yang
tanpa mengaitkannya dengan kebijakan anggaran negara dan
demokratis dan menghargai kebebasan individu. Memang, sulit
daerah. Sebagai contoh pengenaan jenis-jenis pajak yang
untuk mengidentifikasi tindakan
bersifat
yang
berasal
dari
kondisi
manusia,
pemerintah yang kurang
regresif,
berdampak
pada
beban
pajak
yang
memberikan perlakuan kesetaraan dan keadilan termasuk di
berlebihan terhadap kelompok masyarakat berpendapatan
bidang perpajakan. Status keadilan sebagai prinsip politik
rendah, hal ini bertentangan dengan prinsip canon of equality
adalah unik, tetapi tidak selalu kekuatan pendorong dan check
dari Adam Smith. Ketidak adilan dalam pengenaan pajak yang
and balance mampu mengontrol tindakan tertentu pemerintah
regresif ini seyogyanya dikoreksi melalui kebijakan belanja
yang
negara dan daerah yang berpihak pada kepentingan rakyat
menyimpang
dari
prinsip-prinsip
tersebut.
Prinsip
kecil, misalnya melalui penggunaan dana yang berasal dari
wajib pajak yang memiliki kondisi basis pajak yang berbeda.
pajak khususnya pajak regresif untuk memberikan manfaat
Jika
dan pelayanan yang lebih besar pada kelompok masyarakat
pengenaan pajak seseorang,
berpendapatan rendah antara lain melalui pembangunan
horizontal menuntut
lingkungan
Puskesmas,
yang sama, harus dibebani pajak penghasilan yang sama.
Sekolah Dasar, perbaikan saluran irgasi tersier, dan program-
Atau, keadilan vertikal didasarkan pada premis bahwa
program pengentasan kemiskinan lainnya. Dengan kata lain,
seseorang dengan penghasilan yang lebih tinggi, maka yang
kebijakan perpajakan dan belanja negara dan daerah juga
bersangkutan harus dibebani pajak yang lebih tinggi. Tetapi
harus selalu muncul untuk memenuhi standar keadilan yang
keadilan di bidang perpajakan khususnya yang diukur dari
holistik.
penghasilan, ternyata dalam kenyataannya tidak mudah untuk
pemukiman
kumuh,
rehabilitasi
Literatur keuangan publik, khususnya seperti yang dijelaskan oleh Richard Musgrave dan Peggy Musgrave
penghasilan
sebagai
satu-satunya
ukuran
dasar
maka penerapan keadilan
bahwa dua orang dengan penghasilan
diimplementasikan (lihat kasus pengenaan PPH pada Sugianto dan Sugiarto di atas).
(1959;1989), luar biasa berguna dalam cara membedakan
Keadilan horizontal mensyaratkan bahwa mereka
antara keadilan horizontal dan vertikal. Keadilan horizontal
dengan status sama diukur berdasarkan kemampuan ekonomi
mengacu pada perlakuan yang sama dalam pembebanan
atau skala
pajak terhadap wajib pajak yang memiliki kondisi basis pajak
pemenuhan kewajiban perpajakan. Mereka harus membayar
yang sama. Sedangkan keadilan vertikal mengacu pada
besaran pajak yang sama dan menerima kuantitas dan kualitas
perlakuan yang berbeda dalam pembebanan pajak terhadap
manfaat pelayanan publik yang sama. Keadilan vertikal, dalam
yang lain harus diperlakukan sama dalam
kajian ini, mensyaratkan bahwa mereka yang kurang mampu
perpajakan. Mereka harus membayar jumlah pajak yang
dibebani pajak yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan
berbeda dan menerima kuantitas dan kualitas manfaat
mereka
pelayanan
yang
memiliki
kemampuan
yang
lebih
besar.
publik
yang
berbeda
pula
sesuai
dengan
Progresivitas sering dianggap identik dengan keadilan vertikal,
kemampuan menbayar mereka (the principle of ability to pay).
tetapi bahkan berbagai literatur ekonomi dan keuangan publik
Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar fraksi
secara konsisten menyatakan bahwa tarif progresif atas pajak
penghasilan tersebut yang berasal dari rente ekonomi atas
penghasilan
penerapan
tingkat investasinya. Dengan definisi ini, rente ekonomi adalah
kebijakan perpajakan yang mencerminkan keadilan. Beberapa
pembayaran faktor produksi melebihi yang dibutuhkan untuk
ahli teori berpendapat bahwa keadilan horizontal dan vertikal
menempatkan satu faktor dalam penggunaan yang paling
merupakan
produktif sehingga dapat dikenakan pajak sama sekali tanpa
secara
umum
diterima
sebagai
sisi yang berbeda dari mata uang yang sama.
Dengan kata lain, kedua prinsip tersebut memegang premis
mengganggu produksi dari
investasi
yang bersangkutan.
yang sama, yaitu bahwa mereka yang kurang mampu harus
Akibatnya, dengan tidak adanya pajak khusus yang dikenakan
membayar kewajiban perpajakan lebih rendah dan menikmati
pada rente ekonomi berupa pajak progresif justru menciptakan
lebih banyak penyediaan barang dan pelayanan publik.
ketidak adilan. Untuk itu, penerapan pajak progresif
yang
Keadilan vertikal sebagaimana diuraikan di atas,
disesuaikan dengan tingkat penghasilan tertinggi dianggap
mensyaratkan bahwa mereka dengan status yang berbeda
sebagai kompensasi rente ekonomi yang dinikmati individu
diukur berdasarkan kemampuan ekonomi atau skala lain yang
tersebut.
lain harus diperlakukan berbeda dalam pemenuhan kewajiban
Dalam ekonomi pasar, investasi yang lebih besar akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi pula. Hal ini disebabkan oleh skala ekonomi dan jangkauan peningkatan
kelompok masyarakat berpendapatan marginal, rendah dan miskin. Kritik terhadap keadilan vertikal sering bernuansa
peluang investasi tersebut. Di samping kekuatan-kekuatan
terlalu jauh. Dalam perdebatan historis mengenai
ekonomi, para investor dalam banyak hal memiliki peluang
vertikal, hampir tidak ada yang berbeda pendapat bahwa
yang lebih besar untuk mengontrol jumlah modal yang lebih
masyarakat yang tergolong miskin harus membayar pajak lebih
besar dalam masyarakat, sering kali para investor berpeluang
rendah dari kelompok masyarakat yang tergolong kaya.
yang lebih besar dalam cara yang lebih memaksimalkan
Konsistensi ini menyiratkan bahwa bahkan mereka yang
kekayaannya. Jadi, karena kedua realitas ekonomi dan politik
berpendapat progresif yang standar dan bersifat subjektif tetap
dalam ekonomi pasar tersebut, hal tersebut merupakan proses
memiliki pemikiran yang relatif sama, yaitu makin tinggi
alami bagi individu dan perusahaan terkaya dalam masyarakat
kemampuan membayar seseorang, maka makin besar fraksi
untuk menjadi lebih kaya secara tidak proporsional dari waktu
penghasilan atau kekayaan mereka yang harus dibebani pajak.
ke waktu. Untuk mencegah ketidakstabilan politik akibat
Dalam prakteknya, upaya pemerintah untuk mempromosikan
stratifikasi alami tersebut, semua negara demokrasi dan
keadilan vertikal biasanya melalui pengenan pajak dari orang
penganut
sistem ekonomi pasar bebas menerapkan pajak
pribadi berdasarkan transaksi, seperti penjualan barang dan
progresif dan program untuk meningkatkan kesempatan
jasa, modal kerja, atau transaksi bisnis lainnya. Akibatnya,
ekonomi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah
pajak adalah salah satu sumber yang paling mungkin bagi
melalui kebijakan belanja Negara dan daerah yang pro
keadilan
pemerintah untuk memindahkan dana masyarakat terutama
dikesankan bahwa dengan adanya konsep kemampuan
yang berpenghasilan tinggi ke kas Negara dan daerah.
membayar ini, kelompak masyarakat yang lebih mampu harus
Literatur keuangan publik membedakan antara pajak dengan basis pengenaan berdasarkan manfaat (benefit principle)
dan
jenis
pajak
dengan
basis
pengenaan
memberikan kontribusi yang lebih besar melalui pembayara pajak atas penyediaan barang publik oleh Pemerintah. Sebuah
perdebatan
yang
sengit
tentang
pajak
berdasarkan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
dihidupkan kembali dalam beberapa tahun terakhir telah
Jenis pajak yang berbasis benefit principle, pajak tersebut
berpusat pada gagasan bahwa konsumsi, bukan penghasilan,
dibayar kepada pemerintah kira-kira setara dengan harga yang
harus mewakili basis utama sistem perpajakan di masa
dibayar di pasar dalam kasus ini penyediaan barang publik
mendatang. Di sebagian besar negara-negara di seluruh
dan pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah.
dunia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu
Pajak Bumi dan Bangunan dan Toll-Road Surcharge (Charges
sumber utama pendapatan negara dan dirancang sebagai
Jalan Tol) adalah contoh umum dari pungutan ini. Sebaliknya,
money machine dewasa ini dan di masa mendatang sebagai
menerapkan standar "kemampuan untuk membayar" berarti
jenis pajak konsumsi. Sementara PPN sering bersaing dengan
orang pribadi membayar pajak tanpa mempersoalkan apakah
pajak penghasilan sebagai sumber utama penerimaan negara,
yang bersangkutan menerima manfaat atas tersedianya
jarang terjadi kedua jenis pajak ini menggantikan satu dengan
barang publik seperti menggunakan jalan raya, lingkungan
lainnya, dengan kata lain kedua jenis pajak ini selalu menjadi
pemukiman
dan
andalan penerimaan Negara. Para pendukung pajak konsumsi
prasarana umum lainnya. Adam Smith, bapak ekonomi, sering
yang menganggap lebih superior dari pada semua basis pajak
yang
sehat,
puskesmas
atau
sarana
lainnya termasuk terhadap pajak penghasilan memahami bahwa PPN adalah termasuk jenis pajak yang tidak memenuhi
5. Peraturan Perundangan Bidang Perpajakan dan Keadilan Perpajakan
syarat Canon of Equality. Dari sudut pandang tersebut, sekali
Bahwa prinsip-prinsip keadilan memiliki pengaruh kuat
lagi satu-satunya cara untuk mengoreksi ketidak adilan dalam
pada kebijakan seharusnya tidak mengejutkan. Keadilan terkait
pengenaan PPN, adalah melalui kebijakan belanja Negara dan
erat dengan keadilan di bidang perpajakan, dan keadilan
daerah, yaitu memberikan prioritas pada penyediaan barang
berkaitan erat dengan pembuatan undang-undang yang harus
publik dan pelayanan masyarakat yang memberikan manfaat
memenuhi hakekat keadilan. Masih banyak, hukum publik
paling besar bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah
merupakan upaya untuk meningkatkan keadilan. Bahkan
dan miskin serta meminimalisir belanja Negara dan daerah
undang-undang yang menekankan masalah lain, seperti
yang tidak perlu (un-necessary spendings). Berdasarkan fakta
efisiensi, harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan
empiris tersebut,
sebagian besar pemerintah di berbagai
tersebut. Dari pemikiran ideal ini, kita kemudian beralih ke
negara cenderung menggunakan basis pajak penghasilan,
pelaksanaannya di lapangan. Pengertian yang berbeda dari
konsumsi, kekayaan, dan properti sebagai pilar sumber
keadilan, keadilan vertikal dan redistribusi kekayaan dari
penerimaan Negara dan daerah meskipun disadari bahwa
kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi kepada
jenis-jenis pajak tersebut tidak sepenuhnya memenuhi syarat
kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah dalam
Canon of Equality.
beberapa hal bertentangan dengan keadilan individu. Keadilan bahkan tidak didefinisikan secara konsisten antara pajak dan sistem pengeluaran Negara dan daerah, sehingga apa yang
kadang-kadang disebut kebijakan pajak regresif terpaksa tetap
dijadikan sebagai sumber penerimaan negara yang utama,
dilaksanakan
mobilisasi
tetapi dalam a d m i n i s t r a s i pemungutannya tidak boleh
penerimaan Negara dan daerah. Di tengah kompleksitas ini,
sewenang-wenang dan mengorbankan p r i n s i p k e a d i l a n
sangat menggoda untuk menyimpulkan bahwa keadilan
t e r m a s u k k e a d i l a n i n d i v i d u w a j i b p a j a k . Pengenaan
menjadi suatu barang mewah yang sulit untuk dipenuhi paling
sanksi administrasi yang tinggi dalam keberatan dan banding
tidak dalam jangka pendek dan menengah. Meskipun banyak
pada dasarnya dimaksudkan agar lembaga keberatan dan
sumber kompleksitas, prinsip keadilan adalah standar pertama
banding tidak
yang harus dipenuhi dalam menerapkan sistem perpajakan
pajak, tetapi disisi lain bagi wajib pajak, penerapan sanksi
yang baik. Sederhananya, negara yang demokratis tidak bisa
administrasi
mengabaikan prinsip
suatu ancaman dan hambatan dalam proses
untuk
memenuhi
tersebut
kebutuhan
dengan
berbagai
alasan.
dijadikan alasan penundaan pembayaran
yang
berlebihan
dianggap sebagai pencarian
Prinsip-prinsip keadilan mungkin diabaikan pada waktu tertentu
keadilan. Teori ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan
dan
untuk
dalam
undang-undang
tertentu,
tetapi
peraturan
membuat
suatu
ketentuan
yang
mengatur
perudangan yang distortif terhadap prinsip-prinsip keadilan
penyelesaian sengketa pajak yang tetap
tersebut harus dihilangkan secara gradual dan berkelanjutan.
kepentingan wajib pajak dengan kepentingan Pemerintah
Pemikiran
untuk
dalam rangka memobilisasi sumber-sumber penerimaan APBN
menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan materi
dan APBD. Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
perundang-undangan perpajakan khususnya yang berkaitan
ikut berpartisipasi dalam penyusunan peraturan merupakan
dengan
ini
juga
penyelesaian
harus
sengketa
diimplementasikan
pajak.
Pajak
meskipun
menyeimbangkan
salah
satu
ciri
dari
teori
ini
sehingga
tercipta suatu
peraturan yang sesuai dengan aspirasi rakyat.
mempengaruhi
kepatuhan sukarela (voluntary compliance)
dan ketaatan wajib pajak. Kepatuhan Wajib Pajak
secara
Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan
suka rela akan datang dengan sendirinya jika hukum dirasa
yang baik adalah adil, berkaitan dengan hal ini peraturan
adil dan sesuai hak asasi manusia. Di samping itu perlu diingat
yang mendasari pemungutan pajak hendaknya harus sesuai
bahwa dalam sistem perpajakan yang menganut sistem “self-
dengan syarat-syarat keadilan. Keadilan dalam kebijakan
assessment”, peranan penerimaan pajak yang berasal dari
perpajakan dapat dilihat dari : pertama, keadilan dalam
enforcement terutama berasal dari penerbitan Surat Ketetapan
hubungan
kedua,
Pajak (skp) hanya sekitar 8% dari total penerimaan pajak,
keadilan dari alokasi beban pajak pada berbagai golongan
sehingga kekuatiran penerapan sanksi administrasi berupa
masyarakat. Sanksi
untuk
denda yang tidak berat (50% untuk keberatan yang ditolak
suatu peraturan dapat ditaati, tetapi
dan 100% untuk permohonan banding yang ditolak) akan
bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum merupakan hal
menggangu kinerja penerimaan perpajakan adalah sangat
yang sangat penting. Penerapan sanksi yang tinggi dalam
berlebihan.
antara
menciptakan
pemerintah
agar
bukanlah
pengajuan keberatan dan sejalan dan
dengan
teori
kepatuhan
wajib
ini,
dan
satu-satunya
banding upaya
pajak
cara
tentunya
peningkatan kesadaran
dalam
pembayaran
Utang pajak
tidak timbul
manakala
menurut telah
sistem
terpenuhi
self
assessment
syarat subyektif dan
pajak
obyektif menurut ketentuan undang-undang, tanpa menunggu
ditempuh melalui penciptaan suatu peraturan yang
adanya campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak.
adil. Undang-undang yang adil secara tidak langsung dapat
Pemberian kepercayaan yang sangat besar kepada wajib
dapat
pajak
wajib pajak,
pajak dalam sistem self assessment ini sudah sewajarnya
dalam skp. Perbedaan perhitungan antara fiskus dan wajib
diimbangi dengan instrument pengawasan agar kepercayaan
pajak inilah merupakan salah satu sebab timbulnya suatu
itu tidak disalah gunakan wajib pajak. Untuk keperluan itu
sengketa pajak. Definisi sengketa pajak itu sendiri menurut
diciptakan wewenang
melakukan
Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002
pemeriksaan menunjukkan
tentang Pengadilan Pajak adalah, sengketa yang timbul dalam
adanya perbedaan atau selisih hasil pemeriksaan dengan
bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang
jumlah yang dilaporkan
pajak dalam Surat
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
Pemberitahuannya dan menimbulkan koreksi, maka fiskus
dapat diajukan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak
berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (s k p )
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
pemeriksaan.
bagi
Apabila
hasil
oleh
fiskus
untuk
wajib
yang mempunyai kedudukan sama dengan Surat Tagihan Pajak.
Surat
Ketetapan
tersebut
dapat
berupa
Surat
Dalam hal terjadi suatu sengketa pajak, dalam kerangka negara hukum wajib pajak
berhak
diberi
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ( SKPKB ), Surat Ketetapan
perlindungan hukum yang salah satu bentuknya adalah
Pajak Kurang Bayar Tambahan ( SKPKBT ), Surat Ketetapan
perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan
Pajak Lebih Bayar ( SKPLB ), Surat Ketetapan Pajak Nihil (
suatu sengketa. Sesuai dengan karakteristik pajak sebagai
SKPN ).
sumber Dalam praktek seringkali terjadi wajib pajak tidak
menyetujui
besarnya jumlah pajak
utama
pendapatan
negara, pajak
mempunyai
peraturan-peraturan yang berbeda yang tersebar dalam
yang dipergunakan
berbagai ketentuan baik dilihat dari prosedur, mekanisme
sebagai dasar pengenaan pajak sebagaimana yang tertuang
penyelesaian sengketa pajak. Sesuai dengan sifat pajak
sebagai
sumber
mempunyai tersebar terlihat
utama
pendapatan
peraturan-peraturan dalam
dalam
yang
negara,
pajak
dengan jumlah yang tertuang dalam skp. Apabila dilihat dari
spesifik
yang
kepentingan wajib pajak, penafsiran tersebut
berbagai ketentuan. Spesifikasi ini juga prosedur
dan
mekanisme
penyelesaian
dianggap
kurang memberi rasa keadilan bagi wajib pajak, karena jumlah
hutang
pajak
yang
tertuang dalam skp justru
sengketa pajak. Penyelesaian sengketa pajak mempunyai
merupakan obyek yang disengketakan. Hal ini juga tidak
karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
penyelesaian
konsisten dengan asas self assessment yang dianut. Syarat
sengketa dalam sistem peradilan pada umumnya. Hal
ini dirasa sangat memberatkan wajib pajak dan tidak sesuai
yang membedakan
dengan
penyelesaian
penyelesaian sengketa pajak dengan
sengketa
pada umumnya adalah pertama:
mengenai prosedur, dalam penyelesaian sengketa pajak ada
syarat
yang
harus
dipenuhi
peradilan
pada
umumnya, bahwa peradilan harus dilakukan dengan biaya murah.
ketentuan yang menyatakan bahwa, pengajuan keberatan,
Penafsiran
ketentuan
keberatan,
banding
banding dan gugatan tidak menunda kewajiban pembayaran
menunda pembayaran pajak dan
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Undang- undang
utang
tidak memberi penjelasan secara jelas, dasar jumlah pajak
sejumlah yang tertuang dalam skp menimbulkan masalah
yang harus dibayar apakah sesuai dengan SPT atau skp.
manakala dikaitkan dengan syarat pengajuan
Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai ketentuan
dan
tersebut, oleh fiskus ditafsirkan sebagai keharusan wajib
banding adalah adanya
pajak
membayar sebesar 50% dari jumlah pajak yang terutang.
untuk melunasi seluruh hutang pajaknya sesuai
pajak
banding
dengan
itu
keharusan
sendiri.
Salah
pelaksanaan
tidak
melunasi
satu
kewajiban
penagihan
utang
pajak
keberatan
syarat pengajuan
wajib pajak untuk
Berkaitan dengan syarat ini ketentuan “ Tidak menunda pembayaran
pajak
“
dalam
banding
keharusan membayar pajak
hanya
jumlah yang terutang
skp.
diartikan
ditafsirkan melunasi semua jumlah pajak sebagaimana yang
demikian berbeda
tertuang dalam skp dalam UU KUP yang baru ( UU No 28
dalam pengajuan keberatan. Dalam pengajuan keberatan
Tahun 2007 ) sudah dihapus dan diganti dengan kewajiban
memang tidak ada syarat yang mengharuskan wajib pajak
membayar pajak minimal sesuai yang disepakati wajib pajak.
untuk
pajaknya sejumlah yang
Tetapi ada ketentuan lain bahwa ketika wajib pajak kalah
tertuang dalam skp, tetapi dengan adanya ketentuan “ tidak
dalam keberatan maka wajib pajak dikenai sanksi 50% dan
menunda pembayaran pajak dan pelaksanaan penagihan
apabila wajib pajak ingin melanjutkan mencari upaya hukum
pajak “ diartikan oleh fiskus sebagai keharusan
untuk
lanjutan yaitu banding dan dalam putusan banding wajib pajak
melunasi utang pajaknya sebesar yang tertuang dalam skp,
diputus kalah maka wajib pajak dikenai sanksi sebesar 100%.
dan apabila tidak dilunasi fiskus berwenang melakukan
Disisi lain ketika fiskus yang dinyatakan kalah dalam keberatan
tindakan penagihan, maka secara tidak langsung “ keharusan
maupun banding, fiskus hanya dikenai sanksi pembayaran
melunasi utang pajak sejumlah yang tertera dalam skp “
bunga 2 % sebulan. Berdasarkan hal tersebut terlihat ada
menjadi
ketidakseimbangan aturan antara wajib pajak dengan fiskus.
syarat
melunasi
seluruh
syarat
pengajuan
antara
keberatan
utang
Hal
keberatan. dan
50%
banding tidak menunda pembayaran pajak “ yang oleh fiskus
dari
dalam
sebesar
sebagai
adanya pengajuan keberatan. Syarat “Pengajuan keberatan,
Ketidak
banding
sesuaian
inilah
yang
Disamping itu adanya sanksi denda pembayaran 50% dan
banding
100% jika wajib pajak kalah dalam keberatan dan banding
dalam penyelesaian sengketa pajak selalu diawali dengan
lebih dirasa sebagai suatu ancaman bagi wajib pajak dalam
menimbulkan persoalan, sedangkan pengajuan
mencari upaya hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
memuat dasar-dasar pengajuan gugatan. Sedangkan syarat
Adanya sanksi yang tinggi tentunya akan menambah
rasa
pengajuan gugatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41
pesimistis wajib pajak apabila dikaitkan dengan kurang
ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 ditentukan bahwa gugatan
percaya dirinya
harus
menghitung
wajib
kewajiban
pajak
dengan
kemampuan
perpajakannya mengingat
cara
disertai
dengan
alasan-alasan
Sehubungan tidak adanya
yang
jelas.
dasar-dasar gugatan dalam
perhitungan pajak yang cenderung rumit. Padahal pada
peraturan perundang-undangan pajak, maka dalam praktek
dasarnya dalam suatu sengketa tidak selamanya perhitungan
digunakanlah
wajib pajaklah yang salah.
tercantum dalam Undang-undang No 5 Tahun 1986 Jo. UU
dasar-dasar
gugatan
sebagaimana
yang
Berkaitan dengan adanya perubahan pengaturan
No 9 Tahun 2004 tentang PTUN sebagai aturan umum ( lex
mengenai prosedur penyelesaian sengketa pajak di atas,
generali ), sedangkan pada dasarnya obyek gugatan dalam
maka dalam penyelesaian sengketa saat ini, berlakulah
pajak tentulah berbeda dengan gugatan dalam PTUN, dalam
aturan peralihan, bahwa sengketa yang masuk sebelum 1
sengketa pajak yang disengkatan pada dasarnya tidak hanya
Januari 2008 masih menggunakan prosedur yang sesuai
suatu keputusan, tetapi berkaitan juga dengan nominal
dengan aturan yang lama dan yang masuk 1 Januari 2008
tertentu berkaitan dengan pembayaran pajak.
atau sesudahnya memakai aturan yang baru. Hal lain yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian sengketa pajak yang dirasa
kurang
memberi
perlindungan
hukum
terhadap wajib pajak adalah tidak adanya ketentuan yang
Kedua, mekanisme penyelesaian sengketa pajak. Sebagaimana
diuraikan
di atas
bahwa
penyelesaian
sengketa pajak mengenal dua model penyelesaian yaitu;
penyelesaian
melalui
upaya
administratif
yaitu
penyelesaian
sengketa
dimana penyelesainnya masih
banding administratif. Keberatan yaitu penyelesaian sengketa dimana
penyelesai
sengketanya
adalah
orang
yang
termasuk pihak berperkara yaitu fisus dan penyelesaian
mengeluarkan keputusan, sedangkan banding administratif
sengketa melalui lembaga peradilan murni yaitu Pengadilan
adalah penyelesaian sengketa dimana yang menyelesaikan
Pajak. Penyelesaian sengketa melalui upaya administratif.
sengketa
Sebagaimana di uraikan di atas
mengeluarkan keputusan tetapi masih dalam lingkup Direktorat
salah
satu
jalur
adalah
atasan
atau
penyelesaian sengketa pajak yang dapat ditempuh untuk
Jenderal Pajak (eksekutif). Dalam
menyelesaikan
yang
sengketa
pajak
adalah
melalui
upaya
pihak
lain
yang tidak
penyelesaian
sengketa
mengenal upaya administratif, apabila seluruh upaya
administratif yaitu keberatan. Untuk menyelesaikan sengketa
administratif yang ditawarkan sudah ditempuh tetapi masih
administratif,
melalui upaya
belum puas dengan putusan tersebut, maka dapat mencari
administratif, memang dimungkinkan menurut hukum positif,
upaya hukum lanjutan ke Pengadilan Tingi Tata Usaha
termasuk sengketa
Negara ( Pasal 48 ayat ( 2 ) Jo. Pasal 53 ayat ( 3 ) UU No. 5
Penyelesaian dimaksudkan
jalur
penyelesaian
administrasi
sengketa untuk
melalui
sengketa
dalam
hukum
pajak.
upaya administratif
memudahkan
pencari
ini
keadilan
Tahun 1986 Jo. UU No 9 Tahun 2004 tentang PTUN). Demikian juga apabila kita terapkan pada
memperoleh keadilan dan memperoleh perlindungan hukum,
sengketa
baik bagi administrasi sendiri maupun bagi warga. Demikian
putusan keberatan, maka dapat mengajukan upaya hukum
juga dalam penyelesaian sengketa pajak.
lanjutan
Bentuk upaya administratif adalah keberatan dan
pajak,
ke
apabila
Pengadilan
wajib
pajak
tidak
penyelesaian puas
atas
Tinggi Pajak. Tetapi berhubung
Pengadilan Pajak tidak ada Pengadilan Tingginya, maka
upaya hukum lanjutan dari upaya administratif pajak adalah
SKPLB dan Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak
banding ke Pengadilan Pajak. Apabila kita lihat bahwa
ketiga
adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat spesifik dalam
perpajakan
peraturan
Jenderal
sengketa
perpajakan pajak
khususnya
dimaksudkan
dalam
untuk
penyelesaian
mengoptimalkan
berdasarkan
Pengadilan
ketentuan
perundang-undangan
yang hanya dapat diajukan kepada Direktur Pajak,
seharusnya
Pajak.
Sudah
diubah barang
menjadi tentu
kepada
pergeseran
penerimaan negara dari sektor pajak, tetapi apabila dilihat
kewenangan penanganan Keberatan Pajak dari Direktorat
dari kepentingan wajib pajak ketentuan tersebut kurang
Jenderal Pajak ke Pengadilan Pajak memerlukan persyaratan
memberi keadilan bagi wajib pajak. Ketentuan pasal 25, pasal
perkuatan
26, pasal 26A, pasal 27 dan pasal 27 A yang mengatur
(capacity building) pada Pengadilan Pajak, termasuk perkuatan
Keberatan dan Banding dalam Undang-undang No 28 Tahun
independensi lembaga tersebut terlepas dari hubungan historis
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No. 6
dan organisatoris dengan Kementerian Keuangan. Beberapa
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang No 14 Tahun
Perpajakan masih dirasakan kurang mencerminkan rasa
2002
keadilan bagi Wajib Pajak, meskipun ketentuan ini merupakan
seperlunya antara lain Pasal 5 yang mengatur pembinaan
koreksi yang signifikan dari Undang-undang No. 16 Tahun
organisasi, administrasi, dan keuangan harus bersifat mandiri
2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 6
tidak terikat dengan Kementerian Keuangan. Demikian pula
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Pasal 8 dan Pasal 17 yang mengatur masing-masing tentang
Perpajakan. Keberatan atas suatu SKPKB, SKPKBT, SKPN,
pengusulan calon hakim dan usul pemberhentian tidak dengan
dan
tentang
pembangunan
Pangadilan
Pajak
kapasitas
harus
kelembagaan
diadakan
revisi
hormat
harus
dilakukan
oleh
Mahkamah
Agung.
Argumentasinya sederhana saja, bagaimana Wajib Pajak dapat memperoleh keadilan dalam suatu Keputusan Keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang justru institusi tersebut yang menerbitkan skp sebagaimana dikemukakan di atas. Demikian pula ketentuan mengenai Pajak Penghasilan, dalam beberapa hal masih, bernuansa ketidak adilan dan berpotensi mendorong
abuse the power bagi otoritas pajak misalnya
ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa : “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura: d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
dan e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) tersebut dinyatakan bahwa : “Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1) (maksudnya, obyek pajak PPH), penghasilanpenghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan antara lain : perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; kesederhanaan dalam pemungutan pajak; berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak mapun Direktorat Jenderal Pajak; pemerataan dalam pengenaan pajak; dan memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter; atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (duabelas) bulan; seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.” Pengaturan pajak ini diasumsinya bahwa Pemerintah (baca Direktorat Jenderal Pajak) selalu menjalankan tugas dan fungsinya secara obyektif, berorientasi pada kepentingan rakyat, transparan, akuntabel dan independen. Sehingga
kekuasaan yang besar dapat menentukan tarif efektif yang
diatur dengan undang-undang, bukan berdasarkan undang-
menyimpang dari tarif umum sebagaimana diatur dalam pasal
undang atau diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah.
17 UU PPH Tahun 2008 (baca, tariff final) tidak pernah disalah
Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 36 Tahun 2008
gunakan, meskipun sudah diberikan rambu-rambu tertentu
tersebut menurut penulis bertentangan dengan Pasal 23A
dapat penjelasan ayat ini. Ketentuan yang memberikan
Undang-undang Dasar 1945. Pajak agar dapat menjalankan
kewenangan yang besar ini bertentangan dengan prinsip
fungsinya
check and balance dan bertentangan dengan Pasal 23A
undang-undang yang baik pula. Undang-undang yang baik
Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan : “Pajak dan
menurut Hofstra, adalah undang-undang yang tidak hanya
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
berorientasi pada aspek makro yaitu aspek yang hanya
diatur dengan undang-undang”.
berorientasi pada tuntutan
Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 ini
dengan
baik,
maka
perlu
didukung dengan
ekonomi, tetapi juga harus
memenuhi syarat yang paling esensial yaitu syarat mikro
sebaiknya direvisi, karena bertentangan dengan prinsip
bahwa
undang-undang
pajak
hendaknya memenuhi rasa
keadilan dan bunyi Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945.
keadilan baik bagi kepentingan
Hakekat pengenaan pajak adalah yang terkait dengan dasar
Keadilan, selama ini masih setia berjalan di atas jalan
pengenaan pajak dan tarif pajak, yang dalam Pasal 23A
penderitaan. Keadilan masih bergerak hilir mudik merana
Undang-undang Dasar 1945 jelas harus diatur dengan
dalam ketidak berdayaannya menghadapi masalah-masalah
undang-undang. Secara eksplisit undang-undang pajak yang
dan sentuhan aparat yang berkarakter mempertahankan
baik berdasarkan konstitusi Republik Indonesia tersebut harus
kekuasaan yang kian hari tampak kian terorganisir dan
publik maupun individu.
superior, sementara di sisi lain keadilan bagi wajib pajak
pemerintahan civil, dan dapat dikatakan bahwa pajak
menunjukkan kecenderungan inferioritas yang kian parah.
merupakan harga yang harus dibayar oleh kehidupan
Keadilan, dengan suara yang lirih masih setia memanggil
masyarakat civil yang demokratis, bebas dan terorganisir.
hukum untuk memperhatikan jalannya, mengeluarkannya dari
Pajak tidak hanya mengandung arti berpindahnya dana
penderitaan yang selama ini telah cukup untuk membuatnya
masyarakat ke pemerintah untuk menyediakan barang
hanya sanggup berjalan merangkak. Kenyataan-kenyataan
publik
saat ini menunjukkan betapa keadilan t e r m a s u k k e a d i l a n
diinginkan masyarakat, namun pajak juga dimaksudkan
d i b i d a n g p e r p a j a k a n masih
sebagai refleksi nilai sosial-budaya dan merealisasikan
pelayanan
publik
yang
prioritas permintaan masyarakat dalam pelayanan publik
yang
dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat (social
menggerakkan seluruh energi kehidupan untuk melakukan
and economic welfare). Sistem perpajakan harus dimaknai
revolusi, khususnya di bidang hukum untuk mewujudkan
sebagai
keadilan
merepresentasikan
supremasinya.
sesungguhnya
merupakan
masyarakat
melaksanakan
tersebut
mencapai
Kekuatan
harus bersabar untuk
dan
kekuatan
tertinggi (the ultimate justice)
moral
di masyarakat.
bagian
dari
model
sosial
masyarakat
ekonomi,
sosial,
politik
yang dan
Karenanya, sudah tidak terbantahkan lagi bahwa hukum dan
kebutuhan ekonomi masyarakat pada periode tertentu,
moral harus berjalan seiring dan tidak boleh dipisahkan
yang berarti bahwa perubahan cita-cita bernegara suatu
sama sekali (Sa’adah, 2009).
masyarakat bangsa akan memberikan implikasi terhadap
6. Kesimpulan dan Saran a. Keberadaan pajak terutama berlangsung sejak lahirnya
perubahan
sistem
perpajakan.
Karakteristik
sistem
perpajakan yang harus mengikuti sistem pemerintahan
dan tujuan bernegara tersebut, menjelaskan bahwa
pajak yang baik, mendorong debat politik yang lebih
kenapa pada dasarnya sistem perpajakan antar negara
banyak menyita retorika keadilan di bidang perpajakan
berbeda, dan kenapa sistem perpajakan selalu berubah
tanpa menyentuh substansinya. c.
dari waktu ke waktu.
Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into The Nature
b. Konsep kesetaraan dan keadilan di bidang perpajakan
and Causes of The Wealth of Nations (1776) antara lain
merupakan urat nadi sistem perpajakan yang baik.
menyatakan suatu sistem perpajakan yang baik harus
Pemimpin politik memberi penghargaan kepada cita-cita di
memenuhi kriteria yang dikenal sebagai Canons of
hampir setiap bidang pembuatan undang-undang dan
Taxation, yang terdiri dari empat kriteria yang dikenal
peraturan perpajakan. Warganegara, apalagi, amat peka
sebagai Four Criteria for a "good tax" yaitu : (a) Prinsip
terhadap argumen tentang keadilan di hampir setiap debat
keadilan (equity), artinya bahwa beban pajak harus sesuai
kebijakan perpajakan. Namun, semua kontroversi yang
dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak.
bersifat populis tersebut, keadilan pajak kurang dipahami
Perbedaan dalam tingkat penghasilan harus digunakan
dan sering kali penerapannya tidak sejalan dengan sistem
sebagai dasar dalam distribusi beban pajak itu sehingga
perpajakan
bukan
yang
baik.
Konsep
keadilan
di
bidang
beban
pajak dalam arti uang, tetapi beban riil
perpajakan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dimensi
dalam arti kepuasan yang hilang.
yang berbeda yaitu: keadilan horizontal, vertikal, dan
(certainty), pajak hendaknya tegas, jelas, dan menjamin
keadilan
kepastian bagi setiap wajib pajak
individu.
Penerapan
di
antara
komponen-
komponen ini mempersulit upaya untuk mencari kebijakan
(b) Prinsip kepastian
sehingga mudah
dimengerti oleh wajib pajak dan juga akan memudahkan
administrasi pemerintah sendiri. (c) Prinsip kecocokan
pelaksanaannya di lapangan. Pengertian yang berbeda
(convenience), pajak jangan sampai terlalu menekan wajib
dari keadilan, keadilan vertikal dan redistribusi terhadap
pajak sehingga wajib pajak akan dengan senang hati
orang
melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah. (d)
bertentangan dengan keadilan individu. Keadilan bahkan
Prinsip
hendaknya
tidak didefinisikan secara konsisten antara pajak dan
menimbulkan kerugian yang minimal dalam arti jangan
sistem pengeluaran, sehingga apa yang kadang-kadang
sampai biaya pemungutannya lebih besar dari jumlah
disebut
penerimaan pajaknya
dilaksanakan
efisiensi
(efficiency),
pajak
dan pajak hendaknya mampu
menghilangkan distorsi terhadap tingkah laku wajib pajak (prinsip netralitas).
yang
berkekurangan
kebijakan untuk
pajak
dalam
regresif
memenuhi
beberapa
terpaksa
kebutuhan
hal
tetap
mobilisasi
penerimaan Negara dan daerah. e. Ketentuan pasal 25, pasal 26, pasal 26A, pasal 27 dan
d. Bahwa prinsip-prinsip keadilan memiliki pengaruh kuat
pasal 27 A yang mengatur Keberatan dan Banding dalam
pada kebijakan seharusnya tidak mengejutkan. Keadilan
Undang-undang No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
terkait erat dengan keadilan, dan keadilan berkaitan erat
Ketiga Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang
dengan pembuatan undang-undang. Masih banyak, hukum
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan masih
publik merupakan upaya untuk meningkatkan keadilan.
dirasakan kurang mencerminkan rasa keadilan bagi Wajib
Bahkan undang-undang yang menekankan masalah lain,
Pajak, meskipun ketentuan ini merupakan koreksi dari
seperti efisiensi, harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan
keadilan. Dari pemikiran ideal ini, kita kemudian beralih ke
Kedua Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang
f.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Keberatan
bertentangan dengan Pasal 23A Undang-undang Dasar
atas
dan
1945, yang menyatakan : “Pajak dan pungutan lain yang
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan
undang-undang”. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 36
yang hanya dapat diajukan kepada Direktur Jenderal
Tahun 2008 ini sebaiknya direvisi, karena bertentangan
Pajak, seharusnya diubah menjadi kepada Pengadilan
dengan prinsip keadilan dan bunyi Pasal 23A Undang-
Pajak. Argumentasinya sederhana saja, bagaimana Wajib
undang Dasar 1945. Hakekat pengenaan pajak adalah
Pajak dapat memperoleh keadilan dalam suatu Keputusan
yang terkait dengan dasar pengenaan pajak dan tarif
Keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang justru
pajak, yang dalam Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945
institusi tersebut yang menerbitkan skp sebagaimana
jelas harus diatur dengan undang-undang. Secara eksplisit
dikemukakan di atas. Pajak agar dapat menjalankan
undang-undang pajak yang baik berdasarkan kosntitusi
fungsinya dengan baik, maka perlu didukung dengan
Republik Indonesia tersebut harus diatur dengan undang-
undang-undang yang baik pula.
undang,
Ketentuan yang memberikan kewenangan yang besar
diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah. Ketentuan
kepada Pemerintah yang berkaitan dengan pemberian
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 36 Tahun 2008
kewenangan untuk menetapkan PPH Final sebagaimana
tersebut menurut penulis bertentangan dengan Pasal 23A
diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No 36 2008 bertentangan
Undang-undang Dasar 1945.
suatu
dengan
SKPKB,
prinsip
SKPKBT,
check
and
SKPN,
balance
SKPLB
khususnya
bukan
berdasarkan
undang-undang
atau
g. Pajak agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik,
maka perlu didukung dengan undang-undang yang baik pula. Undang-undang yang baik menurut Hofstra, adalah
B.
Penerimaan Negara 1. Pengertian
undang-undang yang tidak hanya berorientasi pada
Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang dipungut
aspek makro yaitu aspek yang hanya berorientasi pada
oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi
tuntutan ekonomi, tetapi juga harus memenuhi syarat
pengeluaran rutin Negara dan biaya pembangunan tanpa
yang paling esensial yaitu syarat mikro bahwa undang-
balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Namun
undang pajak hendaknya memenuhi rasa keadilan baik
secara logika pajak yang dibayar oleh masyarakat tersebut
bagi kepentingan publik maupun individu. Keadilan, selama
mempunyai dampak secara langsung terhadap kesejahteraan
ini
masyarakat
masih setia berjalan di
atas
jalan penderitaan.
Keadilan masih bergerak hilir mudik merana dalam ketidak berdayaannya menghadapi masalah-masalah dan sentuhan
aparat
yang
berkarakter
mempertahankan
kekuasaan yang kian hari tampak kian terorganisir dan
seperti
pembangunan
jalan,
jembatan,
dan
tempat-tempat umum lainnya. Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pajak, dianhtaranya adalah: a. Prof Dr. Adriani.
superior, sementara di sisi lain keadilan bagi wajib pajak
Pajak
adalah
iuran
kepada
menunjukkan kecenderungan inferioritas yang kian parah.
dipaksanakan,
yang
terutang
Negara
yang
dapat
oleh
wajib
pajak
membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung. b. Prof. DR. Rachmat Sumitro, SH.
Pajak adalah iuran rakyatmkepada kas Negara (peralihan kekayaan
dari
kas
pemerintah
Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus
berdasarkan Undang-undang dapat dipaksakan dengan
atau petugas pajak untuk memaksa wajib pajak untuk
tiada mendapat jasa timbale (tegen prstasi) yang langsung
mematuhi dan melaksanakan kewajiban pajaknya. Sebab
dapat
undang-undang
ditunjukkan
rakyat
dan
ke
sector
b. Pajak dipungutr berdasarkan Undang-Undang.
digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran umum. Dari
kedua
pengertian
menurut
sanksi-sanksi
pidana
fiscal
(pajak) sanksi administrative yang khususnya diatur oleh di
atas
dapat
diambil
Undang-Undang termasuk wewenang dari perpajakan
kesimpulan yaitu terdapat lima unsure pokok dalam definisi
untuk
pajak yaitu:
bergerak/tetap wajib pajak.
a. Iuran/pungutan.
c.
mengadakan
penyitaan
terhadap
harta
Pajak dapat dipaksanakan.
Pajak merupakan suatu kewajiban pembayaran dari warga
Dalam hokum pajak di Indonesia dikenal lembaga sandera
Negara kepada negaranya sendiri. Hal ini dianggap
atau girling yaitu wajib pajak yang pada dasarnya mampu
sebagai suatu rasa tanggung jawab sebagai rakyat.
membayar pajak namun selalu menghindai pembayaran
Awalnya memang pajak ini pada zaman kerajaan disebut
pajak
sebagai upeti yang harus dibayar oleh rakyat kepada raja.
menyandera wajib pajak dengan memasukjkannya ke
dengan
dalam penjara.
berbagai
dalih,
maka
fiskus
dapat
d. Tidak menerima kontra prestasi.
a. Teori Asuransi
Ciri khas pajak disbanding dengan jkenis pungutan lainnya
Negara berhak memungut pajak dari penduduk karena
adalah wajib pajak (tax payer) tidak menerima jasa timbal
menurut teori ini Negara melndungi semua rakyat dan
yang dapat ditunjuk secara langsung dari pemerintah
akyat membayar premi pada Negara.
namun perlu dipahami bahwa sebenarnya sibyek pajak
b. Teori Kepentingan.
menerima jasa timbale tetapi diterima secara kolektif
Bahwa Negara berhak memungut pajak karena penduduk
bersama dengan masyarakat lainnya.
Negara tersebut mempunyai kepentingan pada Negara,
e. Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah.
makin besar kepentinga penduduk kepada Negara maka
Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk khusus,
makin besar pula pajak yang harus dibayarnya kepada
artinya semua pengeluaran Negara ditujukan untuk
Negara.
kepentingan masyarakat banyak atau umum.
c.
2. Asas-asas Pemungutan Pajak
Teori Bakti Mengajarkan bahwa penduduk adalah bagian dari suatu
Asas-asas pemungutan pajak dan alas an yang
Negara oleh karena itu penduduk terikat pada Negara dan
menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak oleh fiskus
wajib membayar pajak pada Negara dalamj arti berbakti
Negara,
pada Negara.
sehingga
fiskus
Negara
merasa
mempuhyai
wewenang untuk memungutpajak dari penduduknya. Di dalam
d. Teori Gaya pikul
buku perpajakan (Mardiasmo, 1999), ada beberapa teori yang
Teori ini mengusulkan supaya di dalam hal pemungutan
mendasari pemungutan pajak:
pajak pemerintah memperhatikan gaya pikul wajib pajak.
e. Teori gaya beli
c.
Asas
menekankan
supaya
pengeluaran-
Menurut teori ini justifikasi pemungutan pajak terletak pada
pengeluaran untuk memungut pajak harus lebih rendah
akibat pemungutan pajak. Misalnya tersedianya dana yang
dari jumlah pajak yang dipungut.
cukup untuk membuiayai pengeluaran umum Negara,
3. Wajib Pajak
karena akibat baik untuk membiayai pengeluaran umum
f.
financial
Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 1983
Negara, karena akibat baik dari perhatian Negara pada
tentang
masyarakat maka pemungutan pajak adalah juga baik.
disebutkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan yang
Teori Pembangunan.
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Untuk Indonesia justifikasi pemungutan pajak yang paling
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Ada
tepat adalah pembangunan dalam arti masyarakat yahng
beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur dimana orang
adil dan makmur.
pribadi atau badan dianggap sebagai wajib pajak, dan
Disamping itu terdapat juga asas-asas yang mendasari
Ketentuan
tentuanhya
setelah,
Umum
dann
menjadi
pajak
maka
akan
a. Asas yuridis yang mengemukakan supaya pemungutan
membayar, sereta melaporkan pajak tersebut dalam bentuk
sampai
perekonomian rakyat.
menghalangi
memungut,
surat pemberitahuan baik secara masa atau bulanan maupun
b. Asas ekonomis yang menekankan supaya pemungutan jangan
memotong,
Perpajakan
mempunyai
pajak
untuk
wajib
Cara
pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai berikut:
pajak didasarkan pada undang-undang.
kewajiban
tata
produksi
dan
tahunan. Jika dipandang dari segi hokum, disebut wajib pajak harus memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat
subyektif terpenuhi jika orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang ebrada di Inonesia lebih dari 183
Fungsi pajak adalah sebagai berikut: a. Fungsi budgetair
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
Fungsi budgetair merupakan fungsi utama pajak dan
belas) bulan, atau orang p[ribadi yanhg dalam suatu tahun
fungsi
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana
bertempat tinggal di Indonesia yahjg disebut sebagai wajib
secara optimal ke kas Negara berdasarkan undang-
pajak orang pribadi, atau badan yanhg didirikan atau
undang perpajakan yang berlaku “segala pajak untuk
bertempat kedudukan di Indonesia yang disebut sebagai wajib
keperluan Negara berdasarkan undang-undang”.
pajak badan. Syarat obyektif terpenuhi jika yang berhubungan
fiscal
yaitu
suatu
fungsi
dimanha
pajak
b. Fungsi Regulerend
dengan obyek pajak misalnya adanya penghasilan atau
Fungsi regelerend atau fungsi mengatur dan sebagainya
penyerahan barang kena pajak tersebut maka syarat obyektif
juga fungsi pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai
ini telah dipenuhi dan dapat dianggap sebagai wajib pajak.
alat untuk mencapai tujuann tyertentu, dan sebagainaya
Syarat subyektif dan syarat obyektif ini harus terpenuhi
sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai
secara mutlak. Salah satu syarat tidak terpenuhi maka orang
pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan
pribadi/badan tersebut tidak mempunyai kewajiban menjadi
tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebi9jakan,
wajib pajak dan mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
missal: pajak atas miniman keras ditinggikan untuk
Pokok wajib Pajak (NPWP).
mengurangi
4. Fungsi Pajak
konsumsi
fasilitas
perpajakan
sehingga
perwujudan dari pajak regulerend yang terdapat dalam UU
No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing.
2) Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah,
Contoh: (1) Bea materai modal, (2) Bea masuk dan pajak
honorarium,
penjualan, (3) Bea balik nama, dan (40 Pajak perseroan
sehubungan dengan pekerjaan jasa, atau kegiatan.
pajak deviden).
tunjangan,
dan
pembayaran
lain
3) Dana pension atau badan lain yang membayarkan uang pension dan pembayaran lain dengan nama apa
5. Penerimaan Negara Dari Sektor Pajak a. Pajak Penghasilan (Pasal 21) Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa
pun dalam rangka pension; 4) Badan yang membayar honorarium atau pebayaran lain sehubungan imbalan sehubungan jasa termasuk jasa teaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas. 5) Penyelenggaraan
kegiatn
yang
melakukan
pun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi
pemkbayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu
dalam negeri wajib dilakukan oleh:
kegiatan.
1) Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan
b. Subyek Pajak Penghasilan Pasal 21 Subyek pajak penghasilan pasal 21 berdasarkan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh
UU No. 36 Tahun 2008 pasal 21 dibagi menjadi 2 yaitu:
pegawai atau bukan pegawai.
1) Pengertian Pegawai tetap. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara
teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan
1) Upah harian adalah upah atau imhalan yahng diterima
anggota dewan pengawasyang secara teratur terus
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan
menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara
secara harian.
langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan
2) Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang
kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang
diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time)
dibayarkan seara mingguan.
dalam pekerjaan tersebut.
3) Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima
2) Pengertian Pegawai Tidak tetap. Pegawai
tidak
tetap/tenaga
atau kerja
lepas
adalah
pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila
c.
diperoleh
pegawai
yanhg
terutang
atau
dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasiln pekerjaan yang dihasilkan.
pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan
4) Upah borongan adalah upah atau imbalan yang
jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang
diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan
dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis
yang diminta oleh pember kerja.
pekerjaan tertentu.
Obyek Pajak Penghasilan Pasal 21 Beberapa penghasilan yahng dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21. Jenis penghasilan pegawai tidak tetap dibagi menjadi:
Berikut ini adalah beberapa penghasilan yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yaNg dipotong PPH Pasal 21 adalah:
1) Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaam asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, dan asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asurani dwiguna, dan asuransi bea siswa;
orang pribadi yang berhak dari lem,batga keagamaan yang dibentuk atau disahkan olehPemerintah. 5) Bea siswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l undang-undang Pajak Penghasilan.
2) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib pajak atau
Barang Mewah (PPnBM).
pemerintah.
a. Pengertian PPn dan PPnBM
3) Iuran pension yang dibayarkan kepada dana pension yang
pendiriannya
telah
disahkan
oleh
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang
menteri
dipungut/dipotong oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan
yang berkaitan dengan transaksi penyerahan (penuualan
hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari
atau pembelian atau transaksi lainnya) barang/jasa kena
tua atau badan penyelenggara jaminan social tenaga
pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh wajib
kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
pajak badan maupun orang pribadi. Jadi setiap transaksi
4) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
yang berhubungan dengan penyerahan (penjualan atau
dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk
pembelian atau transaksi lainnya) barang/jasa kena pajak,
atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan
maka akan dikenakan PPn atas barang/jasa tersebut.
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeeluk agama
Pengenaan PPn aats transaksi tersebut biasanya diikuti
yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang-
dengan pembuatan Faktur Pajak.
Suatu
transaksi
dengan
Menurut bab 3 tentang Obyek Pajak pasal 4
penyerahan barang/jasa kena pajak selain diupungut pajak
menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan
pertambahan nilai, namun juga dipungut pajak penjualan
atas:
barang
1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah
mewah
penyerahan
yang
(PPnBM).
Barang
kena
berkaitan
Berikut pajak
iji
adalah
yang
jenis
dikenakan
Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
PPnBMsebagai berikut:
2) Impor barang Kena Pajak.
1) Penyerahan Barang Kena Pajkak Yang tergolong
3) Penyerahan jasa kena pajak di dalam Daerah Pabean
Mewah
yang
dilakukan
oleh
pengusaha
yang
menghasilkabn barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. 2) Impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
yang dilakukan oleh Pengusaha. 4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5) Pemanfaatan Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean.
Berbeda dengan pajak Pertambahan Nilai, Pajak
6) Ekspor Barang kena Pajak oleh Pengusaha Kena pjak.
Penjualan Atas barang Mewah dikenakan hanya satu kali
Berdasarkan jenis obyek di atas, dapat mkita
pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang
simpulkan
Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan
penyerahan/pemanfaatan barang/jasa kena pajak di dalam
atau pada waktu impor.
daerah pabean. Jadi intinya adalah semua barang/jasa
b. Obyek Pajak
bahwa
obyek
pajak
aalah
dikenakan pajak, najun ada pula beberapa barang/jasa
Hal ini disebabkan karena kewajiban Pajak Pertambahan
yang tidak dikenakan pajak.
Nilai (PPn) dengan benar bagi pedagang kecil atau
c. Subyek Pajak
nistilahnya diekanl dengan pedagang ecferan merupakan
Yang menjadi subyek pajak pertambahan nilai
hal yang sulit dilakukan. Untuk mempermudah Pedagang
adalah pengusaha baik wajib pajak badan maupun orang
Eceran
[ribadi yang melakukan penyerahan barang/jasa kena
Pertambahan
Nilai
pajak. Halini sesuai dengan pasal 3A UU PPN yang
Menggunakan
Pedoman
menyebutkan
melakukan
Pajak Masukan di mana penghasilan Netonya untuk PPh
penyerahan sebagaimana dimaksudm dalam Pasal 4 huruf
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk
atau Menggunakan Mekanisme umum.
dikukuhkan sebagai Pengusaha kena Pajak, dan wajib
Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
memungut, menitor, dan melaporkan Pajak Pertambahan
Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
bahwa
pengusaha
yang
dalam
melaksanakan terdapat
Nilai dan Pajak penjualan Atas Barang Mewah yang
252/KMK.03/2002
terutang.
553/KMK.04/2000tentang
kewajiban dua
pilihan
Penghitungan
jo.
KMK Pedoman
Pajak yuaitu
Pengkreditan
Nomor Penghitungan
Meskipun semua pengusaha diwajibkan untuk
Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak
menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), naumn ada
Memilih dikenakan Pajak dengan Menggunakan Norma
beberapa pengusaha yang dapat memilih untuk tidak
Penghitungan Penghasilan Neto, serta peraturan Menteri
menjuadi PKP atau menjadi kelompok Pengusaha Kecil.
nKeuangan Nomor n02/PMK.03/2007 bahwa Pedagang
Eceran
yang
menggunakan
Norma
Penghitungan
bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya dating ke
Penghasilan Neto adalah Pengusaha Orang Pribadi
tempat penualan tersebut langsung membawa Barang
dengan jumlah peredaran brouto dan atau penerimaan
kena Pajak yang dibelinya.
bruto selama 1 (satu) tahun buku tidak lebih dari Rp.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika
1.800.000.000 (satu miliar delapan rat6us juta rupiah) yang
seorang pedagang eceran memilih menggunakan Norma
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya adalah
Penghitungan Penghasilan Neto diantaranya adalah:
melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai
1) Kewajiban membuat pencatatan untuk keperluan
berikut:
pelaksanaan
1) Menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu
sebagaimana dimaksud di atas, Pengusaha Kena
tempat
penjualan
eceran
seperti
took,
ketentuan
pengusaha
kecil
yang
kios,
Pajak wajib membuat catatan nilai peredaran bruto
ataudengan cara penjualan yang dilakukan langsung
dan ntau penerimaan bruto yang menjadi Dasar
kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjuualan
Pengenaan Pajak.
yang dilakukan dari rumah ke rumah. 2) Menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut. 3) Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesaanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya
2) Dalam hal Penagusaha kena Pajak di samping melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, wajib dipisah antara penyerahan yang terutang pajak dan pehnyerahan yang tidak terutang pajak.
3) Kewajiban memberitahukan ke Kantor Pajak sebelum
Pertambahan Nilaisebesar 10% (sepuluh persen) dari
menggunakan pedoman pengkreditan Pajak masukan.
harga jual. Lalun Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
Sebelum menggunakan pedoman pengkreditan Pajak
dengan Pajak Keluaran adalah Pajak Masukan atas
Masukan
perolehan Barang selain Barang dagangan dan Pajak
Pengusaha
Kena
Pajak
wajib
memberitahukan kepaa Kepala kantor Pelayanan
Masukan atas perolehan Jasa kena Pajak.
Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukiuhkan
Bagi pedagang eceran selain Yang Menggunakan
dengan cara membubuhkan catatan pada Surat
Norma Penaghitungan Penghasilan Neto yang melakukan
pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang
penyerahan Barang Kena Pajak, wajib membuat Faktur
bersangkutan
Pajak, memungut dan mentetor pajak yang terutang, serta
tentang
penggunaan
Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
melaporkannya pada Surat pemberitahuan Masa Pajak
Pedagang Eceran Menggunakan Mekanisme Umum. Berdasarkan Ketentuan
yangmengatur
adalah
Pertambahan Nilai. Bagi para pedagang kecil dapat memilih
sendiri
sebagai
pengusaha
kena
pajak.
Keputusan menteri Keuangan RI Nomor 402/KMK.03/2002
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Jo. Nomor 253/KMK.03/2002, Kepoutusan Dirjen Pajak
Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
Nomor
sebagaimana seorang pengusaha kena pajak.
KEP-102/Pj.
52/2003
jo
KEP-342/PJ/2002
menyebutkan bahwa atas penyerahan barang dagangan oleh pedagang eceran, selain yang menggunakan Norma penghitungan
Penghasilan
Neto,
terutang
Pajak
Faktur Pajak Dalam pembuatan faktur pajak PPn diperalukan pengetahuan dasar agar tidak terjadi kesalahan dalam
pembuatan faktur pajak standar tersebut. Berikut ini akan
c) Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau
disampaikan saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan,
penggantian, dan potongan harga;
tata cara penyampaian, dan tata cara pembentulan faktur
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
pajak standar berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor
e) Pajak
PER-159/Pj./2006 tanggal 31 Oktober 2006. Faktur pajak adalah Buku pungutan Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Ada 4 jenis Faktur Pajak, di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling
Penjualan
atas
Barang
Mewah
yang
dipungut; f)
Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan
g) Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. 2) Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar
sedikit memuat keterangan tentang:
untuk semua penyerahan Barang Kena pjak dan/atau
a) Nama. Alamat, Nomor Pokok Wajib pajak yang
penyerahan jasa kena pajak yang terjadi selama 1
menyerahkan Barang kena Pajak atau Jasa Kena
(satu) bulan takwim kewpada pembeli Barang Kena
Pajak;
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama.
b) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
3) Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak yang
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
dapat berbentuk:
Pajak;
a) Slip Cash Register atau Segi Cash Register yang dibuat
oleh
pedagang
eceran
selain
yang
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak sederhana. b) Apabila dalam harga jual barang kena pajak sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai, Slip Cash Register atau Segi Cash Register sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberi keterangan “untukBarang Kena Pajak Harga sudah termasuk PPN”. 4) Faktur Pajak Khusus adalah faktur pajak yang khusus C.
Wajib Pajak
D.
Tata Usaha Negara
E.
Judiciary/Peradilan
F.
Filosopi
BAB IV
sudah dihapus dalam UU Nomor 28 tahun 2007 yang diganti
KESIMPULAN DAN SARAN
dengan ancaman sanksi yang tinggi yaitu denda 50 % dalam keberatan dan100 % dalam banding jika wajib pajak kalah,
A.
Kesimpulan
sedangkan jika fiskus yang kalah fiskus hanya dibebani bunga
1. Penyelesaian sengketa perpajakan oleh lembaga keberatan
sebesar
2
%
sebulan.
Kedua,
dan banding masih sangat lambat dimana memakan waktu 2
penyelesaiansengketa,
(dua) tahun lebih, penyelesaian sengketa yang lambat dalam
mengenal
dunia bisnis akan mengakibatkan biaya tinggi, sedangkan
administratif.
dalam prinsip bisnis “waktu adalah uang” (Time is money).
administratif
mempunyai
Beranjak dari hal tersebut diatas perlu dicari penyelesaian
keobyektifan
pemutus
sengketa yang efektif dan efisien untuk menghadapi kegiatan
termasuk salah satu pihak yang berperkara. Selain upaya
bisnis yang free market dan free competition.Harus ada
administratif
lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki system
diselesaiakan
penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya murah.
Penyelesaiansengketapajak tidak mengenal upaya hukum
2. Penyelesaian sengketa pajak mempunyai karakteristik yang
jalur
penyelesaian
Mekanisme
penyelesaian
Penyelesaian
sengketa sengketa
kelemahan mengingat
penyelesaian melalui
sengketa melalui
upaya
melalui
upaya
berkaitan
dengan
penyelesainya
sengketa
pajak
pajak
Pengadilan
juga
masih
dapat Pajak.
kasasi. Jumlah Pengadilan Pajak hanya ada satu.
berbeda apabila dibandingkan dengan sistem peradilan yang
3. Penyelesaian sengketa pajak yang ada sekarang ini masih
berlaku pada umumnya. Hal yang membedakan adalah
kurang memberi perlindungan hukum terhadap wajib pajak dan
Pertama, Prosedur, dalam penyelesaian sengketa pajak ada
kurang mencerminkan prinsip equality (kesamaan) dan equity
ketentuan yang menyatakan bahwa pengajuan keberatan,
(keadilan). Hal demikian terlihat dalam pengaturan yang
banding dan gugatan tidak menunda kewajiban pembayaran
mengatur mengenai prosedur dan mekanisme penyelesaian
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sehingga ketentuan
sengketa.
ini di tafsirkan fiskus dengan keharusan bagi wajib pajak untuk melunasi seluruh hutang pajaknya sebagaimana yang tertuang dalam SKP atau minimal 50 %, syarat demikian memang
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Penyelesaian sengketa perpajakan melalui perdamaian secara mediasi nampaknya mempunyai prospek dan peluang untuk dikembangkan serta diberdayakan di pengadilan pajak. Namun tidak mengurangi peranan peradilan formal, keduanya tetap dibutuhkan dalam dunia praktek hukum. Untuk itu mediasi dan proses peradilan formal bisa saja dikolaborasikan agar terwujud asas peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. 2. Dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap wajib pajak ketentuan yang mengatur sengketa pajak hendaknya mencerminkan
prinsip
keadilanyang
Bagchi, Amaresh, eds, 2005. Reading in Public Finance, Oxford University Press, New Delhi, and publishing worldwide, in Oxford, New York etc. Break, George F, 1957. Income Taxes and Incentives to Work. American Economic Review 47, pp. 529-49. Brennan,Geoffrey dan James Buchanan, 1981, “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction, in “Democratic Choice and Taxation “ A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter and Winer,Stanley,L. Cambridge University Press, pp.20-22.
meletakkan
keseimbangan hak dan kewajiban antara fiskus dengan wajib pajak. Prinsip penyelesaian sengketa hendaknya jangan hanya
Hettich, Walter, and Stanley L. Winner 1999. Democratic Choice And Taxation : A Theoritical And Empirical Analysis, Cambridge University Press, New York.
berorientasi pada pemasukan pajak ke kas negara tetapi juga harus memberi perlindungan terhadap hak wajib pajak.
International Monetary Fund, 1995. Unproductive Public Expenditure, IMF, Washington D.C.
3. Perlindungan terhadap wajib pajak dapat diberikan antara lain berupa; diberikannya kesempatan untuk mencari keadilan
James, Simon, and Chirstopher Nobes, 1992. The Economics of Taxation, Fourth Edition, Prentice Hall, New York, London, etc.
sampai tingkat pengadilan tertinggi dan kemudahan prosedur penyelesaian sengketa.
Mueller, Dennis C., 2003. Public Choice III, Cambridge University Press, New York, USA. Musgrave, Richard A., 1959. The Theory of Public Finance, McGraw Hill, New York.
Musgrave, Richard A. and Musgrave, Peggy A. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition, McGraw-Hill Inc, New York etc. Nightingale, Kath, 2000. Taxation, Theory and Practice. Third Edition Pearson Education Limited. Ontario Fair Tax Commission, 1993. Fair Taxation in a Change World. University of Toronto Press, Toronto. Sa’adah, Nabitatus, 2009. Membentuk Model Upaya Hukum Pajak Yang Sesuai Dengan Prinsip Equality ( Kesamaan ) Dan Equity ( Keadilan ), Makalah tidak diterbitkan, Universitas Diponegoro, Semarang. Samuelson, Paul, A and William D. Nordhaus, 2005. Economics, Eighteenth Edition, Boston, Burr Ridge, USA, etc. Shome, Parthasarathi, eds, 1995. Tax Policy Handbook, Tax Policy Division Fiscal Affairs Department International Monetary Fund, Washington D.C. Smith, Adam, 1976 (1977). The Wealth of Nations. London : JM Dent and Sons. Stiglitz, Joseph, E., 2000, Economic of Public Sector, Third edition, W.W. Norton & Company, New York. Republik Indonesia, 2010. Berbagai Undang-undang Perpajakan di Indonesia. Jakarta. Tanzi, Vito, and Anthony J. Pellechio, 1997. Tax Reform of Tax Administration, in Institutions and Economic Development : Growth and Governance in Less Developed and Post- Socialist Countries, ed, by Christopher K. Clague, John Hopkins University Press, Baltimore.