BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KEKERASAN YANG DILAKUKAN PADA ANAK MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Panti Asuhan 1. Tujuan Panti Asuhan Tujuan panti asuhan menurut Departemen Sosial Republik Indonesia yaitu : 36 1) Panti asuhan memberikan pelayanan yang berdasarkan pada profesi pekerja sosial kepada anak terlantar dengan cara membantu dan membimbing mereka ke arah perkembangan pribadi yang wajar serta mempunyai keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat. 2) Tujuan penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial anak di panti asuhan adalah terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian matang dan berdedikasi, mempunyai keterampilan kerja yang mampu menopang hidupnya dan hidup keluarganya. Sistem panti asuhan bertujuan memberikan santunan, bantuan dan pertolongan kepada anak yatim dilakukan dengan melayani kesejahteraan dan kebutuhan fisik, mental dan sosial. 37 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa panti asuhan memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan, membimbing dan membina anak asuh 36
Departemen Sosial Republik Indonesia. 2007. Panduan Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui Panti Asuhan Anak. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Anak. hlm.6. 37 Muhsin. Mari Mencintai Anak Yatim. Jakarta: Gema Insani. 2003, hlm. 31
24
agar menjadi manusia yang mandiri sehingga dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. 2. Fungsi Panti Asuhan Sistem panti asuhan masih tetap diperlukan dalam masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa organisasi dan yayasan dalam menyantuni, membantu dan menolong anak-anak yang hidup terlantar dimana faktor-faktor yang menyebabkannya adalah: 38 1) Panti asuhan dapat menampung anak-anak yatim jauh lebih banyak daripada di rumah-rumah. 2) Kenyataan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang masih lemah, sehingga tidak banyak diantara mereka yang mampu memelihara anakanak yatim di rumah mereka sendiri. 3) Pendidikan dan pembinaan anak-anak yang lebih mudah dilaksanakan dalam panti asuhan karena setiap hari berkumpul bersama. 4) Para donatur lebih mudah melihat secara langsung anak-anak yatim yang disantuni dan biayanya dalam panti. 5) Daya tampung anak-anak dalam panti asuhan bisa diperluas sehingga dapat menampung anak-anak yang lebih banyak lagi. Panti asuhan berfungsi sebagai sarana pembinaan dan pengentasan anak terlantar. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia, panti asuhan mempunyai fungsi sebagai berikut : 39 1) Sebagai pusat pelayanan kesejahteraan sosial anak. Panti asuhan berfungsi sebagai pemulihan, perlindungan, pengembangan dan pencegahan. 2) Sebagai pusat data dan informasi serta konsultasi kesejahteraan sosial anak. 3) Panti asuhan sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi keluarga dan masyarakat dalam perkembangan dan kepribadian anak-anak remaja, berfungsi sebagai pusat pengembangan keterampilan. 38
Ibid,. hal.33-34. Departemen Sosial Republik Indonesia.Op.Cit,.hlm.7
39
25
Dapat disimpulkan bahwa fungsi panti asuhan adalah memberikan pelayanan, informasi, konsultasi bagi pengembangan serta keterampilan untuk menciptakan kesejahteraan pada anak yang mana dapat berguna sebagai tempat untuk menampung anak-anak yatim. 3. Pelaksanaan Pengasuhan Panti Asuhan Negara memikul tanggung jawab utama untuk memastikan bahwa semua anak tanpa rumah dan kluarga dapat menerima perawatan alternatif seperti halnya mendirikan lembaga-lembaga atau panti-panti untuk mengasuh anak-anak yang kurang mendapat perlindungan dari keluarganya. Untuk itu, dalam lembaga atau panti tersebut seharusnya ada pola pelaksanaan pengasuhan yang menjadi suatu standarisasi pelaksanaan pengasuhan di dalam lembaga atau panti asuhan tersebut. a. Syarat Berdirinya Panti Asuhan Pada dasarnya pendirian Panti Asuhan harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan terbaik anak sehingga memberikan perlindungan dan pelayanan
bagi
anak.
Standar
Nasional
Pengasuhan
Untuk
Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak menyatakan bahwa syarat pendirian panti/lembaga asuhan diantaranya adalah: 40 1) Pendirian panti/lembaga asuhan harus secara formal memberitahukan kepada dan meminta kewenangan dari Dinas Sosial untuk memperoleh persetujuan dari komunitas lokal dimana panti akan dibangun. 2) Dinas Sosial Kabupaten/Kota harus mereview usulan pendirian panti/lembaga asuhan berdasarkan asesmen kebutuhan dengan tetap mengedepankan upaya untuk mencegah pemisahan anak dari keluarganya. 3) Review harus mencakup asesmen apakah organisasi sosial/Lembaga Kesejahteraan Sosial yang mengusulkan pendirian panti/lembaga asuhan memiliki kapasitas baik kelengkapan teknis, finansial, maupun sumber daya manusia untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar nasional, sebelum izin pendirian panti diberikan. 40
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 30/HUK/2011 Tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. hlm. 92.
26
4) Keberlanjutan kebutuhan dan ketepatan pelayanan yang disediakan oleh panti/lembaga asuhan harus direview secara reguler oleh Dinas Sosial sebagai bagian dari monitoring dan tanggung jawabnya untuk memberikan dan memperbarui ijin pemberian pelayanan Mengenai perijinan untuk menyelenggarakan pelayanan sosial melalui panti/ lembaga asuhan juga diatur di dalam Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, diantaranya: 41 1) Setiap organisasi sosial/lembaga kesejahteraan sosial yang akan menyelenggarakan pelayanan sosial untuk anak-anak secara langsung atau melalui panti/lembaga asuhan harus: a) Terdaftar di Dinas Sosial sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial sesuai dengan UU 11 dan Peraturan Menteri Sosial No. 107/Huk/2009tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial serta Surat Edaran Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial, Kementerian Sosial bulan Agustus 2008 terkait sistem penomoran panti asuhan anak. b) Mendapat izin operasional berdasarkan hasil asesmen oleh Dinas Sosial yang menunjukkan bahwa lembaga tersebut mampu menyelenggarakan pelayanan sosial kepada anak dan memenuhi standar sesuai dengan standar nasional Pengasuhan untuk Panti/Lembaga Asuhan dan Permensos No.107/Huk/2009 tentang Akreditasi lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial. c) Menyediakan data tentang pelayanan dan penerima manfaat yang diperbarui setiap tahun untuk diinput kedalam database nasional tentang situasi anak dalam pengasuhan alternatif. d) Terlibat dalam monitoring secara reguler yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Kementerian Sosial untuk menjamin bahwa pelayanan yang disediakan benar-benar merespon kebutuhan yang aktual serta sesuai dengan standar nasional, berbagai hukum, dan aturan yang berlaku. 2) Panti/lembaga asuhan hanya bisa beroperasi jika telah memiliki ijin operasional secara tertulis dari Dinas Sosial Kabupaten/Kota yang harus diperbarui setiap lima tahun sekali berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh Dinas Sosial. b. Struktur Organisasi Panti Asuhan Panti Asuhan dalam perannya membina dan membimbing anak-anak penghuni panti, sudah seharusnya memiliki beberapa orang pelaksana yang berkompeten dalam kepengurusan panti asuhan tersebut. Pelaksana dalam suatu 41
Ibid,. hlm. 93
27
panti asuhan diharapkan dapat membawa anak-anak untuk mencapai hak-hak mereka sebagai anak, sehingga terpenuhi kebutuhan si anak. Selain itu pelaksana/pengelola pengasuhan anak juga diharapkan dapat berperan sebagai orang tua bagi anak asuhnya selama anak tinggal di panti asuhan. Pelaksana panti/lembaga asuhan memiliki kompetensi yang memadai untuk memberikan pelayanan profesional kepada anak. Kompetensi yang harus dimiliki untuk masing-masing staf adalah sebagai berikut : 42 1. Pengasuh Panti asuhan harus menyediakan pengasuh yang bertanggung jawab terhadap setiap anak asuh dan melaksanakan tugas sebagai pengasuh serta tidak merangkap tugas lain untuk mengoptimalkan pengasuhan. Berdasarkan Standar Nasional Pengasuhan Untuk Panti Asuhan dan Lembaga Asuhan, pengasuh perlu memiliki beberapa hal, diantaranya: 43 a) Pengetahuan tentang perkembangan anak, mengenali dan memahami tanda-tanda kekerasan dan solusinya, mendukung dan mendorong perilaku positif, berkomunikasi dan bekerja bersama anak baik secara individual maupun kelompok, mempromosikan dan memungkinkan anak untuk melakukan pilihan dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupannya, melakukan pengawasan dalam bentuk positif terhadap perilaku anak, menghargai setiap martabat anak serta menyediakan kebutuhan fisik anak. b) Pengalaman bekerja di bidang pelayanan anak, sehat jasmani (tidak memiliki penyakit menular) dan rohani (mental) serta mampu bekerja mendukung panti/lembaga asuhan. c) Komitmen dan kemauan untuk mengasuh anak yang dinyatakan secara tertulis. Peranan panti asuhan dalam menciptakan lingkungan yang menyerupai tempat tinggal bagi anak asuh , seharusnya dapat 42
Ibid,. hlm.104 Ibid, .hlm.81.
43
28
mewujudkan suasana nyaman dan aman bagi anak. Panti asuhan diharapkan mampu menetapkan proporsi pengasuh yang seimbang layaknya orang tua bagi anak-anak asuh tersebut. Berdasarkan asesmen terhadap kebutuhan anak akan pengasuhan dan perkembangan anak, panti asuhan perlu menyediakan minimal satu orang pengasuh untuk lima anak yang ditempatkan dalam sistem keluarga
maupun
wisma.
Hal
pertimbangan
ini
sebaiknya
diperhitungkan melihat jumlah dari anak asuh yang ada dalam suatu panti asuhan. 2. Pekerja sosial Pekerja Sosial Profesional merupakan lulusan dari sekolah pekerjaan sosial dan memiliki pengalaman bekerja pada setting pelayanan anak. Permensos No. 108/Huk/2009 menyebutkan bahwa : Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. 44 Pekerja sosial sebaiknya memiliki kompetensi dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan bahkan pengalaman dalam melaksanakkan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
44
Permensos No. 108/Huk/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial.
29
Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut: 45 a) Berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial; b) Berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; c) Mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing dan membantu anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial dan perlindungan terhadap anak; dan d) Lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi di bidang kesejahteraan sosial. Pekerja Sosial memiliki kewajiban diantaranya yaitu: 46 a) Bekerja sama dengan kepolisian dalam memberikan perlindungan sementara dalam bentuk mendampingi korban (Pasal 17 UU PKDRT). b) Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan ( Pasal 22 huruf b UU PKDRT). c) Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tingal alternatif (Pasal 22 Huruf c UU PKDRT). Yang dimaksud dengan “rumah aman” adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standart yang ditentukan. Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif” adalah tempat tinggal korban yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan dan/atau dijatuhkan dari pelaku. 3. Petugas keamanan Petugas kemanan diharapkan memiliki komitmen dan kemampuan untuk melakukan pengamanan di lingkungan panti dan memahami tentang perlindungan anak. Pemahaman petugas keamanan terhadap 45
Lihat Pasal 66 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. 46
Prayudi Guse, Berbagai Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pangkajene: Merkid Press.2011. hal. 124
30
perlindungan anak kiranya dapat menciptakan rasa aman pada setiap anak asuh dalam suatu panti asuhan. 4. Petugas kebersihan Petugas kebersihan memiliki komitmen untuk membantu panti membersihkan lingkungan panti, sehingga tercipta panti asuhan yang layak untuk dihuni oleh anak-anak asuh yang mendiami panti asuhan tersebut. 5. Petugas masak Petugas masak sebaiknya ada dalam jumlah yang memadai, yang memiliki pengalaman dan kompetensi dalam hal memasak, juga memahami standar dasar pemenuhan nutrisi dan prinsip higienis dalam menyiapkan makanan. Terpenuhinya hal-hal yang disebutkan diatas, maka diharapkan dapat menciptakan keadaan yang sehat baik fisik dan mental pada setiap anak yang diasuh. c. Fasilitas Panti Asuhan Lembaga
panti
asuhan
merupakan
lembaga
pengasuhan
yang
diproyeksikan untuk anak terlantar. Anak terlantar yang dimaksud dalam hal ini adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. 47 Berdasarkan uraian diatas ketika seorang anak mendapatkan
tempat
pengasuhan
untuk
memenuhi
kebutuhannya
maka
seharusnya pemerintah dalam hal ini membuat suatu standart pelaksanaan 47
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah, hal 7.
31
1988
pelayanan dalam lembaga panti asuhan agar tidak terjadi ketimpangan dalam pengasuhan pada anak terlantar. Berdasarkan Standart Nasional Pengasuhan Untuk Panti Asuhan Dan Lembaga Asuhan yang dimuat dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 30 / HUK/ 2011, diwajibkan bagi panti asuhan untuk menyediakan tempat tinggal yang memenuhi kebutuhan dan privasi bagi anak. Dalam hal ini dapat dipraktekkan sebagai berikut: 1) Menyediakan fasilitas yang lengkap, memadai, sehat, dan aman bagi anak untuk mendukung pelaksanaan pengasuhan . 2) Menyediakan ruangan untuk memenuhi kebutuhan dan aktivitas anak yang dapat digunakan bersama oleh anak panti seperti sarana olahraga, sarana untuk ibadah, sarana bermain, ruang makan, ruang kesenian, dsb sesuai dengan standart keselamatan dan keamanan. 3) Dibangun di tengah-tengah masyarakat sehingga anak dapat mengakses berbagai fasilitas seperti sekolah, pusat pelayanan kesehatan,
tempat
rekreasi,
perpustakaan
umum
dan
tempat
penyaluran hobi. 4) Menyediakan tempat tinggal dan ruang tidur yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, yang dilengkapi meja dan kursi belajar. 5) Ruangan yang terkait dengan privasi anak, misalnya kamar tidur, kamar mandi, dan toilet harus dilengkapi pintu yang dapat dikunci agar keamanan anak terjaga. 6) Menyediakan tempat tinggal untuk pengasuh agar pengasuh bisa memantau aktivitas anak sepanjang hari termasuk di malam hari.
32
7) Menyediakan kamar tidur dengan ukuran 9 m2 untuk 2 anak, yang dilengkapi lemari untuk menyimpan barang pribadi anak. 8) Setiap anak memiliki tempat tidur sendiri yang dilengkapi dengan seprei, kasur, bantal dan selimut. 9) Kamar tidur memliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup baik di siang maupun malam hari, serta memiliki pintu dan jendela yang terkunci. 10) Di dalam kamar anak tidak terdapat barang yang membahayakan anak, misalnya kompor. 11) Menyediakan perlengkapan kebersihan seperti sapu, pembersih debu (lap, kemoceng) di setiap kamar. 12) Dekorasi kamar anak disesuaikan dengan selera dan perkembangan anak, termasuk ketersediaan cermin. 13) Kamar mandi dalam keadaan bersih, dan dilengkapi sarana kebersihan seperti sikat kamar mandi, sabun pembersih lantai, dan pewangi ruangan, memiliki pencahayaan yang cukup baik pada siang maupun malam hari, memiliki ventilasi untuk sirkulasi udara, dan lantainya tidak licin. Rasio penyediaan kamar mandi tidak lebih dari 1 kamar mandi : 5 anak dengan persediaan air bersih yang cukup untuk memenuhi mandi dan cuci. 14) Ruang makan memungkinkan anak untuk berkomunikasi selama makan, baik antar anak maupun dengan pengasuh.
33
15) Menyediakan ruang makan yang tidak terpisah dengan bangunan tempat tinggal anak, sehingga anak dapat mudah mengakses ruang tersebut dengan aman bahkan di malam hari dan saat hari hujan Setiap anak dapat menggunakan perlengkapan makan seperti piring, sendok, garpu dan gelas. 16) Menyediakan perlengkapan dapur/masak yang memadai dan bersih serta aman untuk digunakan kepentingan anak. 17) Menyediakan tempat beribadah yang dilengkapi dengan prasarana untuk kegiatan ibadah anak 18) Menyediakan ruang kesehatan yang memberikan pelayanan reguler yang dilengkapi petugas medis, perlengkapan medis dan obat-obatan yang sesuai dengan kebutuhan penyakit anak. 19) Menyediakan ruang belajar dan perpustakaan dengan pencahayaan yang cukup baik siang maupun malam hari serta memiliki ventilasi untuk sirkulasi udara, dilengkapi dengan meja dan kursi yang dapat digunakan (tidak rusak) yang bisa dijangkau oleh anak. 20) Menyediakan buku-buku di perpustakaan yang bisa mendukung pendidikan formal anak dan hobi anak membaca, juga menyediakan buku-buku pengetahuan termasuk bacaan populer (seperti buku ilmiah populer, kisah para tokoh besar, novel remaja religius, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang sesuai dengan usia anak, dan menyediakan koran yang setiap hari bisa dibaca anak.
34
21) Menyediakan ruang bermain, olah raga dan kesenian yang dilengkapi peralatan yang sesuai dengan minat dan bakat anak 22) Menyediakan ruangan yang dapat digunakan oleh anak maupun keluarganya untuk berkonsultasi secara pribadi dengan pekerja sosial atau pengurus panti atau digunakan sebagai ruang pribadi anak ketika anak ingin menyendiri 23) Menyediakan ruang tamu yang bersih, rapi, dan nyaman bagi teman atau keluarga anak yang akan berkunjung dengan mengakomodasikan kegiatan pengisian buku tamu bagi yang datang berkunjung. B. Pengaturan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak 1. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pada prinsipnya penyelanggaraan perlindungan anak harus mampu menjamin terwujudnya penyelengaraan hak-hak untuk mendapatkan perlindungannya. Dalam hal ini difokuskan pada kasus anak sebagai korban kekerasan untuk berhak mendapatkan perlindungan, yang mana Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam satu bab yang baru dibentuk yaitu mengenai larangan seperti diatur dalam Bab XI A Pasal 76 A s/d Pasal 76 J,yaitu sebagai berikut:
35
a) memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; 48 b) memperlakukan anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif; 49 c) menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran; 50 d) menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak; 51 e) melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; 52 f) melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul; 53 g) menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak; 54 h) menghalang-halangi
anak
untuk
menikmati
budayanya
sendiri,
mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/atau menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan Masyarakat dan budaya; 55
48
Pasal 76 A point (1) Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76 A point (2) Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 50 Pasal 76 B Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 51 Pasal 76 CUndang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 52 Pasal 76 D Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 53 Pasal 76 E Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 54 Pasal 76 FUndang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 55 Pasal 76 G Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 49
36
i) merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau yang lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa; 56 j) menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak; 57 k) dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan serta produksi dan distribusi narkotika dan/atau psikotropika 58; dan l) dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya. 59 Selain dari bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak seperti yang dijabarkan diatas, untuk mengefektifkan berlakunya Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pembentuk Undang-undang juga melengkapi dengan ketentuan pidana terhadap seseorang yang melakukan kekerasan pada anak. Ketentuan pidana dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014 dapat dikutipkan sebagai berikut: a) Pasal 77 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). b) Pasal 77 point A Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:
56
Pasal 76 H Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76 I Undang-ndang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 58 Pasal 76 J point (1) Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 59 Pasal 76 J point (2) Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 57
37
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan dengan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 A dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). c) Pasal 77 point B Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar ketentuan yangterdapat dalam Pasal 76 B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah). d) Pasal 80 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.- ( tujuh puluh dua juta rupiah). Dalam hal anak yang dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dalam hal anak yang dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 , ayat 2 dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. e) Pasal 81 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:
38
Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Ketentuan ini berlaku juga bila pelaku menggunakan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan
atau
membujuk
anak
melakukkan
persetubuhan dengannya atau orang lain. Tindak pidana yang dimaksud ayat 1 dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana yang terdapat dalam ayat 1. f) Pasal 82 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,-(lima miliar rupiah). Dalam hal yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). g) Pasal 83 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 F dipidana dengan pidana tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
39
A, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah) h) Pasal 84 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain,dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah). i) Pasal 85 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan melakukan pengambilan organ tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak atau penelitian kesehatan dengan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyk Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah). j) Pasal 86 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga anak tersebut belum bertanggungjawab sesuai dengan agama yang
40
dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). k) Pasal 86 point A Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar Pasal 76 G dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). l) Pasal 87 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar Pasal 76 H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). m) Pasal 88 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar Pasal 76 I dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). n) Pasal 89 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan: Setiap orang yang melanggar Pasal 76 J ayat (1)
dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76J ayat (2) dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah).
41
o) Tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 77 s/d Pasal 89 apabila dilakukan oleh korporasi penjatuhan pidana dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya. Pidana korporasi hanya pidana denda dengan ditambah 1/3. Meskipun rumusan diatas tidak memberikan suatu perincian yang konkrit dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan dan pencabulan yang terjadi pada anak, namun pasal-pasal diatas sudah menjelaskan mengenai unsur-unsur tindak pidana tersebut dan tidak dapat memberikan secara pasti dan jelas mengenai hal apa saja yang dikategorikan dalam tindak pidana kekerasan dan pencabulan yang terjadi pada anak. Oleh karena itu definisi mengenai kekerasan dan pencabulan dapat dirujuk dengan mellihat Penjelasan Pasal 289 KUH Pidana dimana defenisi Perbuatan cabul adalah segala macam wujud perbuatan baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun yang dilakukan pada orang lain mengenai berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu. Misalnya, mengelus-elus, memegang buah dada, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan yang terjadi pada anak adalah perbuatan yang tidak layak, mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, maupun mental pada diri si anak. Pasal 13 Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 60 a) Diskriminasi
60
Darwan Prinst, Op.Cit, hlm.152-153
42
Misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik atau mental. b) Ekspliotasi baik ekonomi maupun seksual Misalnya, tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan. c) Penelantaran Misalnya, tindakan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya. d) Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan Misalnya tindakan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan misalnya perbuatan melukai tidak secara fisik saja tetapi juga mental. e) Ketidakadilan Misalnya tindakan keberpihakan antara anakyang satu terhadap anak yang lainnya. f) Perlakuan salah lainnya Misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh pada anak. KUH Pidana Indonesia mengenal istilah “kekerasan” yang merupakan salah satu kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan kekuatan jasmaninya. Kekerasan yang dimaksud penulis adalah kekerasan yang dilakukan seseorang dengan memaksa seorang anak asuhnya yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul dengannya. Kejahatan pencabulan dimasukkan dalam klasifikasi
43
kejahatan kesusilaan. Pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan dalam KUH Pidana diatur dalam Pasal 285 sampai Pasal 296. Semua aturan tersebut masingmasing memiliki aturan yang berbeda mengenai tindak pidana pencabulan dan juga memiliki sanksi yang berbeda pula satu sama lain. Tindak pidana pencabulan yang dimaksud diatas dirumuskan dalam Pasal 294 ayat (2b) KUH Pidana sebagai berikut: “Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun yaitu pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor, rumah tempat melakukan pekerjaan untuk negeri, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan, yang melakukan pencabulan dengan orang yang ditempatkan disitu.” 61 KUH Pidana mengatur tindak pidana kejahatan kesusilaan diatas dengan ancaman hukuman penjara paling lama sembilan tahun. Sejalan dengan perkembangannya di dalam masyarakat, pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana kejahatan kesusilaan tersebut memberikan suatu ancaman bagi para pelakunya, tetapi di pihak lain pasal-pasal diatas masih terdapat banyak kelemahan dalam hal melindungi para korban tindak pidana kejahatan kesusilaan. Sehingga dalam kenyataannya pasal-pasal tersebut perlu direvisi agar tidak banyak anak Indonesia yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan dengan pandangan bahwa tiap orang di pandang sehat jiwanya dan karenanya juga mampu bertanggung jawab sampai dibuktikan sebaliknya. Ini merupakan suatu asas dalam hukum pidana. Kemampuan bertanggung jawab juga tidak merupakan unsur tertulis pada suatu pasal tindak pidana sehingga tidak perlu dibuktikan, kecuali kesehatan jiwa 61
Pasal 294 ayat (2b) UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm.216.
44
seseorang diragukan maka perlu dilakukan pemeriksaan oleh ahli psikiatri, dengan kemungkinan bahwa yang bersangkutan mampu bertanggung jawab. 62 Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan atau aturan dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan”. Pasal 1 ayat 1 KUHPidana ini merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang menuntut bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah. Hal ini berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang, kecuali tercantum dalam Pasal 1 KUH Pidana dimaksud, selanjutnya menuntut pula bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan dipidana dalam undang-undang ini diadakan, berarti bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). Kasus-kasus tentang pencabulan pada perkembangannya di dalam masyarakat belum dapat dijangkau oleh pasal-pasal yang terdapat dalam KUH Pidana. Maka para hakim ada baiknya menimbang dan memutuskan suatu perkara berdasarkan undang-undang yang lebih khusus lagi mengatur tentang tindak pidana tersebut, sehingga penjatuhan sanksi pidana yang di dapat lebih tepat sasaran. Namun perlu diingat adanya asas: “Nullum delictum, nulla poena sine previa lege poenali” yaitu tiada delik, tidak seorang pun dapat dipidana tanpa undang-undang yang mengancam pidana terlebih dahulu. 63 Ketentuan ini menjelaskan bahwa dalam menghukum orang, hakim terikat oleh undang-undang 62
Maramis Frans, Hukum Pidana Umum Dan Tertulis Di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013, hlm.116. 63 Ibid, hlm. 90.
45
sehingga terjaminlah hak kemerdekaan diri pribadi orang. Contohnya, kasus pencabulan yang terjadi pada anak dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) Ketentuan ini berlaku juga bila pelaku menggunakan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukkan persetubuhan dengannya atau orang lain. (3) Tindak pidana yang dimaksud ayat 1 dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana yang terdapat dalam ayat 1. Berdasarkan perumusan dan uraian diatas baik dalam KUH Pidana maupun di dalam UU No.23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana tersebut pastilah anak-anak tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa anak juga bisa menjadi pelakunya. Maka, seseorang yang melakukan tindakan kekerasan pada anak dapat dijatuhi pidana berdasarkan Undang-undang No. 35 tahun 2014 Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82 yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan menjamin kesejahteraan anak. 2. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sanksi adalah alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang berlaku. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian dalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dengan ketentraman atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan. Itulah
46
yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain dari mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Sanksi dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar norma seperti yang disebutkan diatas, dimana pelanggaran yang dilakukan dapat berupa tindak pidana yang berupa kekerasan dan tindak pidana kesusilaan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang bertujuan untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga. Maka ketika terjadi suatu
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana sebagaimana ketentuan pidana tersebut diatur dalam Bab VIII Pasal 44 s/d Pasal 49 yaitu sebagai berikut: a) Melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.0000.000,- (lima belasjuta rupiah) ; b) Melakukan perbuatan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah); c) Perbuatan yang dimaksud point (b) mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah); d) Perbuatan yang terdapat dalam point (a) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
47
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.5.000.000,-
(lima juta
rupiah); e) Melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah); f)
Perbuatan yang terdapat dalam point (e) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah);
g) Melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp.36.000.000,- ( tiga puluh enam juta rupiah); h) Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- ( dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah);
48
i) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). j) Dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,-(lima belas juta rupiah) bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan undang-undang ini yang dikatakan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Dalam pasal 2 ayat 1 point a, lingkup rumah tangga dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 meliputi suami, istri dan anak. Dengan demikian, penerapan dalam undang-undang ini terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kekerasan dan tindak pidana kesusilaan terhadap anak dinilai sudah selayaknya. Karena Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini memberikan perlindungan yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban kekerasan khususnya kekerasan yang terjadi pada anak.
49
Namun sayangnya penerapan undang-undang ini dalam hal kualifikasi anak sebagai korban, masih hanya dilihat dari bentuk ikatan darah (anak kandung) dan ikatan yuridis yang mengikat seseorang menjadi orang tua dan anak, yaitu perkawinan ( anak tiri) dan pengangkatan anak (anak angkat). 64 Jadi, untuk anakanak yang berada di panti asuhan dalam undang-undang ini pengaturan mengenai hal tersebut belum diatur secara khusus.
64
Prayudi Guse.Berbagai Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Merkid Press. 2012. Hal. 16
50