ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
BAB II PEROLEHAN HAK ATAS TANAH OLEH DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS
2.1. Pembebasan Hak Atas Tanah Sebagai Cara Perolehan Tanah Untuk Pembangunan Oleh Instansi Pemerintah Ketentuan – ketentuan yang mengatur tentang cara pembelian tanah untuk keperluan negara, maupun susunan dan keanggotaan panitia yang bertugas dahulu diatur pada Bijblad No. 11372 jo. 12476, yang kemudian sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan keadaan dewasa ini sehingga perlu diganti dengan peraturan yang baru, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang ketentuan – ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah. Masalah pembebasan tanah dahulu diatur dalam Gouvernemen Besluit No. 7 tanggal 1 Juli 1927 yang termuat dalam Bijblad No. 11372, yaitu tentang voorschriften omtrent het verkrijgen van de vrij beschikking over ten behoeve van den landen benodigde gronden dan diubah dengan Gouvernement Besluit tanggal 8 Januari 1932 yang termuat dalam Bijblad 12476. Semua peraturan yang berasal dari jaman belanda tersebut sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tanggal 3 Desember 1975 dan berbagai peraturan lainnya, surat edaran, dan instruksi dari Departemen Dalam Negeri, antara lain11 :
11
Abrurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 10-12
14 Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
15
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tanggal 5 April 1976
tentang
Penggunaan
Acara
Pembebasan
Tanah
untuk
Kepentingan Pemerintah bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta. 2. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 2a 12/08/12/75 tanggal 3 Desember 1975. 3. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal 28 Februari 1976 BTU 2/ 568/2-76. 4. Surat – surat keputusan gubernur. Untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dalam pembangunan, pada UUPA hanya mengatur mengenai pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum (Pasal 18). Pada pasal – pasal berikutnya tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai “Pembebasan Tanah”. Maka, untuk memenuhi pengadaan tanah untuk pembangunan pada saat itu hanya dapat ditempuh melalui prosedur “Pencabutan Hak Atas Tanah” yang kemudian diatur secara lebih rinci dalam Undang – Undang No. 20 Tahun 1961. Prosedur yang diatur dalam Undang – Undang No. 20 Tahun 1961 tersebut dapat ditempuh apabila segala upaya lain tidak berhasil dijalankan. Namun dalam UUPA tidak mengatur secara rinci mengenai upaya apa yang harus dilakukan untuk mendahului pencabutan hak atas tanah. Peluang
tersebut
lah
yang
dimanfaatkan
lebih
jauh
dengan
melembagakannya dalam hukum pertanahan yang disebut dengan “Pembebasan Tanah”, dimana melalui lembaga ini pengadaan tanah untuk pembangunan tidak lagi melalui prosedur panjang dan rumit, melainkan cukup melalui musyawarah
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16
yang dilakukan oleh suatu panitia yang dibentuk dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah dengan penggantian kerugian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk keperluan itulah maka, ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dimana peraturan ini merupakan salah satu sarana yang terpenting untuk keperluan pembangunan oleh Instansi Pemerintah. Adanya peraturan yang mengatur tentang pembebasan tanah tersebut dapat dilihat dari dua segi. Pertama, peraturan tersebut merupakan suatu landasan hukum bagi pihak pemerintah untuk memperloleh tanah masyarakat yang diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, kepentingan pembangunan atau kepentingan yang dapat menunjang pembangunan nasional. Kedua, peraturan tersebut merupakan suatu jaminan bagi masyarakat tentang hak atas tanah dari tindakan sewenang – wenang oleh pihak penguasa.12 Selanjutnya yang dimaksud dengan pembebasan hak atas tanah menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 adalah setiap perbuatan langsung atau tidak langsung untuk melepaskan hubungan hukum yang ada, antara pemegang hak / penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak / penguasa suatu hak atas tanah. Tanah – tanah yang akan dibebaskan dapat berupa tanah milik rakyat, yaitu, tanah – tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang –
12
Skripsi
Ibid, hlm. 8
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17
Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 atau tanah- tanah dari masyarakat hukum adat. Pembebasan hak atas tanah tidak terlepas dari masalah ganti rugi. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, secara tegas disebutkan bahwa pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak ( penguasa tanah ) dengan cara memberikan ganti rugi. Di dalam Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya berupa, yang paling utama adalah hak milik kemudian hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Pembebasan tanah oleh masyarakat yang memiliki tanah yang telah mempunyai suatu hak berdasarkan UUPA 1960, dilakukan dengan bantuan Panitia Pembebasan Tanah atas permintaan instansi yang memerlukan tanah. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PMDN No. 15 Tahun 1975, panitia pembebasan tanah bertugas melakukan pemeriksaan / penelitian dan penetapan ganti rugi yang pembentukannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing – masing Kabupaten / Kotamadya dalam suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan. Menurut PMDN No. 15 Tahun 1975, pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan itu
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
18
menyangkut hal teknis dan pelaksanaannya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi. Kesepakatan itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Musyawarah untuk mencapai mufakat dalam penentuan ganti rugi dilakukan oleh panitia pembebasan tanah dengan pihak pemilik hak atas tanah. Hasil dari musyawarah tersebut berupa keputusan Panitia Pembebasan Tanah yang nantinya diserahkan. Mengenai acara pembebasan tanah untuk kepentingan instansi pemerintah diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10 PMDN No. 15 tahun 1975. Dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa, permohonan pembebasan tanah oleh Instansi disampaikan pada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk yang nantinya akan diteruskan kepada Panitia Pembebasan Tanah untuk kemudian dilakukan penelitian terhadap data dan keterangan – keterangan mengenai tanah seperti yang dimaksud dalam Pasal 4. Pelaksanaan pembebasan tanah ini harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (4). Berdasarkan perkembangan peraturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang telah disebutkan dalam latar belakang, segala ketentuan mengenai pembebasan tanah sudah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan pengadaan tanah yang sekarang diatur dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian diikuti beberapa peraturan lainnya yaitu, Peraturan Presiden RI No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
Kepentingan Umum, Peraturan Kepala BPN RI No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, dan Perpres No. 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pengertian pengadaan tanah berdasarkan Pasal angka 2 Undang – Undang No. 2 Tahun 2012 juncto Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden RI No. 71 Tahun 2012 yaitu, kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Salah satu unsur yang terdapat dalam kegiatan pengadaan tanah berdasarkan Undang – Undang No. 2 Tahun 2012 ini adalah unsur kepentingan umum yang dilakukan dengan cara pelepasan hak atas tanah oleh pemegang haknya dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil. Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9 Undang – Undang No. 2 Tahun 2012. Kepentingan umum berdasarkan Pasal 1 angka 6 adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa, tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan : a) pertahanan dan keamanan nasional; b) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan c) fasilitas operasi kereta api;
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
d) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; e) pelabuhan, bandar udara, dan terminal; f) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; g) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; h) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; i) tempat pembuangan dan pengolahan sampah; j) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; k) fasilitas keselamatan umum; l) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; m) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; n) cagar alam dan cagar budaya; o) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; p) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; q) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; r) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan s) pasar umum dan lapangan parkir umum. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum terdapat beberapa lembaga yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya yaitu tim persiapan pengadaan tanah, tim kajian keberatan, lembaga pertanahan, satuan tugas, dan penilai pertanahan.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
Instansi yang memerlukan tanah untuk pengadaan tanah harus melalui beberapa proses atau tahapan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 13, yaitu : 1. Perencanaan; 2. Persiapan; 3. Pelaksanaan; dan 4. Penyerahan hasil Pada proses yang pertama, instansi yang memerlukan tanah harus membuat perencanaan pengadaan tanah yang didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah
dan
prioritas
pembangunan
yang
tercantum
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerinrtah Instansi yang bersangkutan seperti yang diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Kedua, instansi yang memerlukan tanah melakukan persiapan pengadaan tanah bersama pemerintah provinsi yang diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 26 UU No. 2 Tahun 2012 dengan melakukan pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi rencana pembangunan, dan konsultasi publik rencana pembangunan. Setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah dari instansi yang memerlukan tanah, Gubernur membentuk Tim Persiapan Pengadaan Tanah yang meliputi Bupati/ Walikota, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi terkait, instansi yang memerlukan tanah, dan instansi terkait lainnya. Ketiga, berdasarkan Pasal 27 sampai dengan Pasal 47 UU No. 2 Tahun 2012 pelaksanaan pengadaan tanah harus diajukan oleh instansi kepada Lembaga
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
Pertanahan Setelah dilakukannya penetapan lokasi. Proses pelaksanaan pengadaan tanah berdasarkan Pasal 27 ayat (2) meliputi : a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; b. penilaian Ganti Kerugian; c. musyawarah penetapan Ganti Kerugian; d. pemberian Ganti Kerugian; dan e. pelepasan tanah Instansi. Setelah pelaksanaan pengadaan tanah, proses yang terakhir adalah penyerahan hasil yang diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 UU No. 2 Tahun 2012. Hasil pengadaan tanah yang sudah dilaksanakan diserahkan oleh Lembaga Pertanahan kepada instansi yang memerlukan tanah setelah segala proses pemberian ganti rugi sudah selesai. Pengertian ganti kerugian dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2012 jo. Pasal 1 angka 10 Perpres. No. 71 Tahun 2012, bahwa ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Sifat dari ganti kerugian yang pertama, ganti kerugian bersifat fisik yang merupakan ganti kerugian atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda- benda lain yang berkaitan dengan tanah. Kedua, sifat ganti kerugian non fisik yaitu kerugian lain yang dapat dinilai yaitu kerugian non fisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang atau pekerjaan, biaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
Mengenai bentuk ganti kerugian diatur pada Pasal 36 UU No. 2 Tahun 2012 jo. Pasal 74 Perpres No. 71 Tahun 2012 bahwa, macam – macam bentuk ganti kerugian yang dapat diberikan oleh instansi yang membutuhkan tanah kepada pihak yang berhak atas tanah yang akan dilepaskan yaitu : a. uang; b. tanah pengganti; c. permukiman kembali; d. kepemilikan saham; e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Setelah proses terakhir dalam pengadaan tanah sudah dilaksanakan yaitu segala pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan penyerahan hasil atau berita acara oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, maka instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan pembangunan. Instansi yang memperoleh tanah juga wajib mendaftarkan tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
2.2. Perolehan Hak Pakai dan Pendaftaran Tanah Menurut Hukum Agraria di Indonesia 2.2.1. Hak Pakai menurut Undang – Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Pengertian Hak Pakai berdasarkan Pasal 41 UUPA adalah suatu hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. Dalam pengertian Hak Pakai ini kita mengenal ada 3 jenis Hak Pakai, yaitu13 : a. Hak Pakai Privat yang tersebut dalam pasal 41 – 43 UUPA maupun Hak Pakai yang berasal dari Ketentuan PMDN No. 1 Tahun 1977. b. Hak Pakai Publikrechtelijk, yang hanya dapat dipunyai oleh lembaga pemerintah, usaha – usaha sosial dan keagamaan, dan perwakilan – perwakilan negara asing. ( Pasal 49 UUPA dan Ketentuan Konversi Pasal 1 ayat (4) dan PMDN No. 6 Tahun 1972 ) c. Hak Pakai yang terjadi karena suatu perjanjian dengan seorang pemegang Hak Milik, ( Pasal 41 UUPA ) kesemuanya harus didaftarkan, sehingga mutasi, hapusnya atau berakhirnya hak atas tanah, dan demikianpula pengikatan fidusia atas bagian – bagian rumah susun di atas tanah Hak Pakai yang berasal dari tanah yang dikuasai oleh negara. Berdasarkan Pasal 42 UUPA, yang dapat mempunyai Hak Pakai antara lain adalah : Warga Negara Indonesia; orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
13
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet. I, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 32.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
berkedudukan di Indonesia; Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pada dasarnya Hak Pakai dapat dialihkan. Dalam hal terdapat tanah yang merupakan tanah yang dikuasai oleh negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Namun, apabila terdapat tanah yang merupakan tanah hak milik, maka pengalihan Hak Pakai kepada pihak lain hanya dimungkinkan apabila dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Jadi, apabila dalam suatu kejadian pemegang Hak Pakai kehilangan persyaratannya atas hak tersebut, maka pihak tersebut akan kehilangan haknya dan wajib mengalihkannya kepada pihak lain atau Hak Pakai tersebut dihapuskan. Pembatasan Hak Pakai adalah menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak atau berdasarkan perjanjian pemilik Hak Milik dengan seseorang, tetapi bukan sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, meskipun ada pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun yang tidak ada unsur paksaan (Pasal 41 UUPA) Dari penjelasan pasal 41 dan 42 UUPA dapat diketahui bahwa Hak Pakai adalah suatu kumpulan pengertian dari hak – hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama. Sehingga untuk kesederhanaan dari beragamnya hak – hak adat yang sejenis maka diberi nama yang baru yaitu Hak Pakai. Hak Pakai ini juga digunakan untuk hak – hak sejenis yang pernah terdapat dalam KUH Perdata yaitu Hak Vruchtgebruik, gebruik, Grant Controleur ( Sumatera Timur ), bruikleen yang disebutkan dalam pasal VI Ketentuan Konversi.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Selain itu, UUPA telah secara tegas memberikan batasan bahwa Hak Pakai bukan merupakan perjanjian sewa menyewa tanah ataupun suatu perjanjian pengolahan tanah, meskipun ada uang wajib atau pembayaran atau pemberian jasa ataupun dengan cuma – cuma. Terjadinya Hak Pakai berdasarkan asal tanahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Hak Pakai atas Tanah Negara Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Badan
Pertanahan Nasional ( BPN ). Hak Pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Pasal 5 Permen Agraria / Kepala BPN No. 3 Tahun 1999 menetapkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota berwenang menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai, sedangkan Pasal 10 nya memberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi untuk menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 56 Permen Agraria / Kepala BPN No. 9 Tahun 1999. 2.
Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh BPN
berdasarkan usul pemegang Hak pengelolaan (HPL). Hak Pakai ini terhadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada kepala Kantor Pertanahan
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. 3.
Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian Hak Atas Tanah oleh pemilik tanah
dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam lampiran Permen Agraria / Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Pengaturan mengenai Hak Pakai untuk pertama kalinya dibuat oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah dimulai dari Pasal 39 hingga Pasal 58. Munculnya Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dilandasi pemahaman peran sentral akan tanah dalam kehidupan dan pembangunan nasional yang mengharuskan adanya peraturan mengenai penguasaan, penggunaan, dan pemilikan. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 merupakan peraturan pelaksana dari UUPA yang memberikan ketentuan tentang Hak Pakai secara rinci, yaitu tentang : a. Subyek Hak ( Pasal 39 ) b. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai ( Pasal 41 ) c. Terjadinya Hak Pakai ( Pasal 42 ) d. Pemberian perpanjangan waktu da pembaharuannya ( Pasal 45 ) e. Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak dan kewajibannya ( Pasal 50 )
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
f. Pembebanan Hak ( Pasal 53 ) g. Peralihan Hak ( Pasal 54 ) h. Hapusnya Hak Pakai ( Pasal 55 ) Berdasarkan Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yang dapat mempunyai Hak Pakai antara lain adalah : Warga Negara Indonesia; Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; Departemen; Lembaga Pemerintah non Departemen, dan Pemerintah Daerah; Badan – Badan Keagamaan dan Sosial; Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia; Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional. Dalam Pasal 41 PP No. 40 Tahun 1996 dipertegas, bahwa yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah berasal dari : a. Tanah negara, b. Tanah Hak Pengelolaan, c. Tanah Hak Milik ( perjanjian pendirian Hak Pakai di atas tanah Hak Milik dengan suatu perjanjian / akta PPAT ). Alas hak pemberian Hak Pakai berdasarkan Pasal 42 PP. No. 40 Tahun 1996 yaitu yang berasal dari tanah negara dengan Keputusan Pemberian Hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya. Hak Pakai yang berasal dari Hak Milik yang dilakukan dengan suatu akta PPAT. Dalam UUPA hanya menyebutkan bahwa jangka waktu berlakunya Hak Pakai dalam jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
keperluan tertentu dimana selama ini pengaturan lebih lanjut pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Hak Atas Tanah Negara yang paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 10 tahun. Pada PP No. 40 Tahun 1996, jangka waktu Hak Pakai diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49. Jangka waktu ini berbeda – beda sesuai dengan asal tanahnya yaitu :14 1.
Hak Pakai Atas Tanah Negara Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun,
dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Pakai atas tanah negara juga diberikan dengan jangka waktu tidak ditentukan selama diperhunakan untuk keperluan tertentu, yakni diberikan kepada: a. Departemen, lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah; b. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional; c. Badan Keagamaan dan Badan Sosial. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai diajukan selambat – lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai dicatat dalam buku Tanah pada kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat.
14
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak – Hak Atas Tanah, Cet. 3, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 116.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
Di dalam Pasal 46 PP No. 40 Tahun 1996 dijelaskan bahwa Hak Pakai atas tanah dapat diperpanjang atau diperbaharui dengan syarat yaitu : a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut; b. Syarat – syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39. 2.
Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun,
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 Tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai ini dapat dilakukan atas usul pemegang Hak Pengelolaan. 3.
Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan dengan jangka waktu paling lama
25 tahun dan tidak dapat diperpanjang, tapi dapat diperbaharui. Untuk dapat memperbaharui Hak Pakai di atas tanah Hak Milik yang baru dengan cara membuat perjanjian baru antara pemegang Hak Milik dengan pemohon Hak Pakai.15 Pemberian Hak Pakai baru tersebut dapat dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) dan wajib didaftarkan kepada
15
Soegiharto, Penggunaan Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal Untuk Keperluan Pembangunan Perumahan Umum, Makalah Seminar, 7 Agustus 1996, hlm. 17.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31
Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah seperti yang telah diatur dalam Pasal 49 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996. Berdasarkan jangka waktu Hak Pakai yang telah dijabarkan di atas, terdapat Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi Pemerintah untuk digunakan sebagai tempat peribadatan dan sosial, kepada negara – negara asing untuk kantor kedutaan yang berlaku selama tanah itu dipergunakan untuk itu dalam jangka waktu tak terbatas yang tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain ataupun dijaminkan (tanpa Right of Dispossal). Jika tanah itu sudah tidak digunakan lagi, maka akan kembali menjadi tanah milik negara / dikuasai langsung oleh negara. Lain halnya dengan Hak Pakai yang diberikan kepada badan hukum dan perseorangan untuk berbagai keperluan, dengan jangka waktu tertentu, tanah tersebut dapat dipindahtangankan. Hapusnya Hak Pakai atas tanah negara mengakibatkan tanahnya kembali menjadi tanah negara. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemilik tanah. (Pasal 56 PP no. 40 Tahun 1996) Pasal 57 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya Hak Pakai bagi bekas pemegang Hak Pakai, yaitu : 1.
Apabila Hak Pakai atas tanah negara hapus dan tidak dapat diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Pakai wajib membongkar bangunan – bangunan dan benda – benda yang ada di atasnya dan
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat – lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Pakai, 2.
Dalam hal bengunan dan benda – benda tersebut masih diperlukan, maka kepada pemegang Hak Pakai diberikan ganti rugi.
3.
Pembongkaran bangunan dan benda – benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Pakai.
4.
Jika pemegang Hak Pakai lalai dalam memenuhi kewajiban membongkar bangunan dan benda – benda yang ada di atas tanah Hak Pakai, maka bangunan dan benda – benda yang ada di atasnya dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Pakai. Apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan atau Hak Pakai atas tanah
Hak Milik hapus, maka bekas pemegang Hak Pakai tersebut wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah dan memenuhi ketentuan – ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik seperti yang telah diatur dalam Pasal 58 PP No. 40 Tahun 1996. Substansi penting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 adalah : 1. Hak Pakai atas tanah negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui sebagaimana tercantum dalam Pasal 46;
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
2. Dalam Pasal 49, Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbaharui atas kesepakatan antara pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik; 3. Adanya kewajiban bagi para pemegang Hak Pakai ( Pasal 50 jo. Pasal 51 ), serta sanksi bagi para pemegang Hak pakai ( Pasal 59 ayat 3 ); 4. Adanya perlindungan hukum bagi masyarakat, dimana pemegang Hak pakai harus memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain apabila tanah Hak pakai itu menutup jalan umum itu; 5. Pengaturan tentang jangka waktu Hak Pakai yaitu adanya kemudahan lain dibidang pertanahan terkait dengan penanaman modal, dimana adanya kepastian jangka waktu pemberian Hak Pakai atas tanah; 6. Adanya pengaturan mengenai hapusnya Hak Pakai seperti dijelaskan dalam Pasal 55; 7. Adanya pengaturan mengenai peralihan Hak Pakai (Pasal 54), dimana Hak Pakai yang diberikan atas tanah negara dengan jangka waktu tertentu dapat beralih dan dialihkan, namun Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak dapat dialihkan tetapi dapat diperbaharui dengan perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. Setelah pengaturan mengenai jangka waktu berlakunya Hak Pakai, hal lain yang diatur dalam PP No. 40 Tahun 1996 adalah mengenai kewajiban bagi pemegang Hak Pakai yang dituangkan dalam Pasal 50, yaitu :
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditentukan dalam keputusan pemberian hak nya atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; 2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukan dan persyaratannya, memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; 3. Menyerahakan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus; 4. Menyerahkan kembali sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. Mengenai hapusnya Hak Pakai berdasarkan Pasal 55 dapat terjadi apabila : a.
Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
b.
Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya habis, karena : 1.
Tidak dipenuhinya pemegang hak dan / atau dilanggarnya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 (mempergunakan untuk keperluan tertentu sesuai Hak Pakai yang diperoleh); atau
2.
Tidak dipenuhinya syarat – syarat atau kewajiban – kewajiban yang tertuang dalam perjanjian antara pemegang Hak Pakai dengan
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau 3.
Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
c.
Dilepaskannya secara sukarela oleh pemegang haknya;
d.
Dicabut berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
e.
Diterlantarkan;
f.
Tanahnya musnah;
g.
Pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang (subyek) Hak Pakai.
2.2.2. Perolehan Hak Pakai menurut Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 (PMNA/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999) Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 (PMNA/Kepala BPN No 9 Tahun 1999) mengatur mengenai Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, dimana dalam PP No. 40 Tahun 1996 tidak mengatur secara rinci cara pemberian Hak Pakai dan hal – hal apa yang membatalkan Hak Pakai tersebut. Disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1) PMNA/Kelapa BPN No. 9 Tahun 1999, bahwa sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik tanah. Data yuridis adalah keterangan tentang status hukum tanah dan satuan rumah susun yang terdaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
yang membebaninya. Sedangkan data fisik adalah keterangan mengenai hak, letak, batas, dan luas bidang tanah serta satuan rumah susun yang didaftar termasuk keterangan ada tidaknya bangunan di atasnya. Untuk memperoleh pemberian tanah dengan status Hak Pakai harus dipenuhi prosedur sebagi berikut : a. Berdasarkan Pasal 50 Ayat (1) dan Ayat (2), permohonan Hak Pakai harus diajukan secara tertulis dan harus dilengkapi dengan keterangan – keterangan sebagai berikut : 1.
Mengenai diri pemohon (perorangan atau badan hukum);
2.
Data yuridis dan data fisik tanah tersebut yang meliputi : alas haknya (sertifikat, girik, surat kapling, surat – surat bukti pelepasan hak, pelunasan tanah dan rumah, akta PPAT, akta pelepasan hak, serta surat surat bukti perolehan tanah lainnya); letak batas dan luasnya (harus ada surat ukur dan gambar situasinya); jenis tanah; rencana penggunaan tanah, status tanahnya; tentang jumlah bidang tanah yang dimohon dan keterangan lain yang dianggap perlu.
b. Berdasarkan Pasal 51 Ayat (1), permohonan hak atas tanah jika Hak Pakai selama dipergunakan untuk keperluan tertentu tersebut harus dilampiri dengan : 1. Mengenai diri pemohon (instansi pemerintah atau badan hukum Indonesia); 2. Mengenai tanahnya, baik data yuridis dan data fisik, serta surat – surat lain yang dianggap perlu;
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
3. Dalam hal pemohon instansi pemerintah, harus ada surat pernyataan yang menyebabkan secara fisik tanah sudah dikuasai, serta tercatat dalam daftar inventaris dan tidak ada sengketa dengan pihak lain. c. Berdasarkan Pasal 52, permohonan Hak Pakai yang sudah dilengkapi tersebut, diajukan kepada menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan; d. Berdasarkan Pasal 53, selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, mencatat dalam formulir isian serta memberikan tanda terima berkas permohonan dan memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku; e. Selanjutnya berdasarkan Pasal 54, Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapannya dan kebenaran data yuridis dan data fisik serta memeriksa kelayakan permohonan tersebut tentang dapat tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut, yang selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada : 1. Kepala seksi pengukuran dan pendaftaran tanah untuk melakukan pengukuran; 2. Kepala seksi Hak Atas Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah didaftar, serta data yuridis dan data fisiknya apakah sudah cukup untuk dapat mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (RPT);
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
3. Tim penelitian tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam berita acara; 4. Panitia pemeriksa tanah A untuk memeriksa permohonan terhadap tanah selain yang diperiksa pada point 2 dan point 3, dan dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (RPT); 5. Selanjutnya
Kepala
Kantor
Pertanahan
menyampaikan
berkas
permohonan tersebut kepada kepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya. f. Berdasarkan Pasal 55, setelah menerima berkas permohonan tersebut, Kepala Kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala bidang hak atas tanah untuk : 1. Mencatat dalam formulir isian serta memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik; 2. Selanjutnya
Kepala
Kantor
Wilayah
memeriksa
kelayakan
permohonan Hak Pakai tersebut akan dapat tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut setelah meneliti kelengkapan serta kebenaran data yuridis dan data fisik berikut pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan; 3. Dalam hal keputusan pemberian Hak Pakai telah dilimpahkan dari Menteri kepada Kepala Kantor Wilayah setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai alasan penolaknya.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
Mengenai pelimpahan kewenangan tentang pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dari Menteri kepada Kepala Kantor Wilayah atau kepada Kepala Kantor Pertanahan dijelaskan dalam Pasal 3 Ayat (2) PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 dan ditegaskan pula dalam Pasal 14 Ayat (2) PMNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah dimana peraturan ini menggantikan PMDN No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Kewenangan Hak Atas tanah.
2.2.3. Pendaftaran Hak Atas Tanah menurut Undang – Uudang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Pendaftaran hak atas tanah bertujuan untuk memberi kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah, sekaligus untuk perlindungan hukum terhadap sengketa yang mungkin dihadapi yang salah satunya adalah sengketa mengenai perbatasan. Dalam hukum agraria yang berlaku di bawah pemerintahan Hindia Belanda ( kolonialisme ), baik menggunakan hukum adat maupun hukum barat tidak ada kepastian hukum bagi rakyat melalui kegiatan pendaftaran tanah, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 Ayat (1) UUPA, bahwa “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan – ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah”.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
Dalam Pasal 19 Ayat (2) tersebut ditentukan, bahwa pendaftaran tanah itu meliputi dua hal, yaitu : a. Pengukuran dan pemetaan tanah serta menyelenggarakan tata usahanya; b. Pendaftaran hak – hak atas tanah serta hak peralihannya dan pemberian surat – surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk mengetahui wewenang dan kewajiban bagi pemegang hak atas tanah (kepastian hukum) mengenai obyek dan subyek hak atas tanah tersebut, bahkan dapat menjamin adanya kepastian hukum dan kepastian hak mengenai status dan kedudukan hukum atas tanah, letak, luas, batas, beban, serta siapa si empunya.16 Dari apa yang diperintahkan pada Pasal 19 Ayat (1) tersebut, maka pemerintah menerbitkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Namun masih ada beberapa kekurangan yakni dalam PP ini tidak membahas mengenai tujuan pendaftaran tanah dan juga mengenai prosedur pendaftaran tanah tersebut.
Sehingga
pemerintah
menyempurnakan
peraturan
itu
dengan
mengeluarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dimana pendaftaran tanah tersebut didasarkan pada tanah, bukan kepada pemiliknya saja, dan sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat
16
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Cet. VII, Rajawali Press, Jakarta, 1997, hlm. 91.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
pembuktian yang kuat seperti dinyatakan dalam UUPA Pasal 19 Ayat (2) huruf c, Pasal 23 Ayat (2), Pasal 32 Ayat (2), dan Pasal 38 Ayat (2). Tujuan Pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 3 menurut PP No. 24 tahun 1997 antara lain : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak – hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak – pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang – bidang tanah dan satuan – satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan. Dalam UUPA Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 yang menyatakan bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan harus didaftarkan. Baik setiap pendaftaran untuk pertama kali, peralihan maupun hapusnya hak atas tanah tersebut. Sebagai tindak lanjut atas perintah pendaftaran tanah tersebut maka diterbitkanlah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 bahwa pendaftaran tanah menurut PP tersebut adalah pendaftaran hukum ( Recht Cadaster ). Dalam pasal 41 – 43 UUPA mengenai Hak Pakai sama sekali tidak diatur tentang pendaftaran ini. Namun kemudian muncul Surat Keputusan Menteri Agraria No. Sk / VI 5 Ka tanggal 20 Januari 1962 tentang Pendaftaran Hak Penguasaan dan Hak Pakai jo. PMA No. 1 Tahun 1966 dan PMDN No. 1 tahun 1977 yang menyatakan bahwa
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
Hak Pakai harus juga didaftar menurut ketentuan PP. No. 10 Tahun 1961 dan kemudian diganti/diatur oleh Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tanggal 5 Januari 1966.17 Ketentuan PP No. 10 Tahun 1961 ini kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997, dimana pada produk hukum yang terakhir tersebut sama sekali tidak merubah prinsip – prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh Pasal 19 UUPA dan PP No. 10 tahun 1961.18 Pada Pasal 2 PP No. 24 tahun 1997 menerangkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan beberapa azas, yaitu : a. Azas sederhana, bahwa ketentuan pokok dan juga prosedur pendaftaran tanah mudah untuk dipahami; b. Azas aman, bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan secara teliti dan aman; c. Azas terjangkau, bahwa biaya pendaftaran tanah terjangkau; d. Azas mutakhir, bahwa pada setiap perubahan data fisik dan data yuridis harus dilakukan pendaftaran; e. Azas terbuka, bahwa data fisik dan data yuridis bersifat terbuka untuk umum. Dimana kesemua azas tersebut diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan yang dibantu oleh PPAT dan pejabat lain (Pasal 5 jo. Pasal 6).
17
A.P. Parlindungan, Komentar Atas UUPA, Cet. VIII, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 123. 18
Skripsi
Ibid., hlm. 124.
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
Selanjutnya pada Pasal 9 diatur secara tegas bahwa bidang tanah yang dimiliki dengan Hak Pakai menjadi salah satu obyek pendaftaran tanah. Mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah diatur di dalam PP No. 24 Tahun 1997 yang meliputi : 1.
Kegiatan pedaftaran tanah untuk pertama kali, yaitu : a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik; b. Pembuktian hak dan pembukuannya; c. Penerbitan sertifikat; d. Penyajian data fisik dan data yuridis; e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
2.
Kegiatan pemeliharaan dan pendaftaran tanah, yaitu : a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Terhadap Hak Pakai atas tanah negara dan Hak Pengelolaan, hak atas
tanah tersebut harus dibuktikan dengan menunjukkan surat penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak tersebut. Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dibuktikan dengan akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang Hak Milik kepada penerima Hak Milik seperti yang diperintahkan di dalam Pasal 23 PP No. 24 Tahun 1997. Untuk keperluan pendaftaran hak – hak atas tanah yang berasal dari konversi hak – hak lam, dibuktikan dengan alat – alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti – bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
bersangkutan yang kebenarannya oleh panitia Ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftarkan hak. Berdasarkan Pasal 13, pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Berdasarkan Pasal 1 angka 1, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, ber-kesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang – bidang tanah dan satuan – satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang tanah yang sudah ada hak nya dan Hak Milik atas satuan rumah susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya. Berdasarkan Pasal 1 angka 9, pendaftaran tanah untuk pertama kali merupakan kegiatan pendaftaran tanah yang dilaksanakan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum terdaftar dalam PP No. 10 Tahun 1961 atau PP ini. Berdasarkan Pasal 1 angka 10, pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilaksanakan secara serentak meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah suatu desa / kelurahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 11, pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali terhadap satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah suatu desa/ kelurahan secara individu atau
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
Berdasarkan Pasal 1 angka 12, pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan yang terjadi kemudian hari. Selanjutnya akan diuraikan mengenai pendaftaran tanah secara sporadik yang harus dilakukan oleh pihak yang menguasai dan akan menggunakan tanah tersebut dengan status Hak Pakai secara individu yang mendaftarkan hak atas tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Berdasarkan PMNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksana dari PP No. 24 tahun 1997, maka dilakukan permohonan pendaftaran tanah, secara sporadik yang disertai dengan dokumen asli untuk membuktikan hak atas bidang tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997, dan apabila bukti tersebut tidak ada, maka harus dilengkapi dengan keterangan minimal 2 orang saksi dari masyarakat sekitar bahwa memang benar yang bersangkutan adalah benar – benar pemilik tanah tersebut, dan apabila hal tersebut tidak ada, maka pemohon harus dilengkapi dengan : 1. Surat dari pemohon yang menyatakan bahwa : pemohon memang menguasai tanah tersebut selama 2 tahun atau lebih, pengusaan tanah tersebut dilakukan dengan itikad baik, penguasaan itu tidak pernah diganggu gugat karena mendapat pengesahan dari masyarakat hukum adat, tanah tersebut tidak dalam sengketa;
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
2. Keterangan dari kepala desa dan 2 (dua) orang saksi yang tidak mempunyai hubungan kerja maupun keluarga yang menerangkan bahwa memang benar bahwa pemohon menguasai tanah tersebut. Secara garis besar prosedur pendaftaran tanah secara sporadik dilakukan sebagai berikut : a. Pengukuran Pada dasarnya menjadi tanggungjawab Kepala Kantor Pertanahan dan permohonan diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat, dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi petugasnya dengan ketentuan : 1. Bila tanah luasnya antara 10 Ha sampai dengan 1000 Ha, maka dilaksanakan oleh Kantor Wilayah; 2. Bila tanah luasnya lebih dari 1000 Ha dilakukan oleh BPN dan hasilnya disampaikan Kepala Kantor Pertanahan. b. Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah Untuk keperluan ini dilakuan oleh seksi pengukuran dan pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan. Apabila bukti – bukti tertulis kepemilikan tanah tidak lengkap termasuk keterangan dari amsyarakat hukum adat, maka penelitian data yuridis bidang tanah tersebut dilanjutkan oleh panitia ajudikasi yang bertugas sebagai berikut : 1. Meneliti data yuridis yang tidak dilengkapi alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah secara lengkap; 2. Melakukan pemeriksaan lapangan untuk menguji kebenaran alat bukti yang diajukan pemohon;
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
3. Mencatat keberatan dan hasil penyelesaiannya; 4. Membuat
kesimpulan
mengenai
data
yuridis
tanah
yang
bersangkutan; 5. Mengisi daftar isian yang sudah ditetapkan; 6. Mencari keterangan tambahan dari masyarakat yang mengetahui riwayat kepemilikan tanah dengan melihat usia dan lamanya bertempat tinggal, sehingga dapat memperkuat pembuktian hak kepemilikan tanah tersebut; 7. Melihat secara langsung mengenai apakah secara fisik tanah tersebut dikuasai oleh pemohon dan menilai bangunan serta tanaman sekitar sebagai petunjuk bukti siapa yang menguasai tanah itu. c. Pengumuman data fisik dan data yuridis, serta pengesahannya. Setelah melakukan penelitian mengenai data yuridis, maka panitia ajudikasi menyerahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, untuk dibuatkan risalah penelitian data fisik dan data yuridis. Setelah itu dilakukan pengumuman di Kantor Pertanahan dan Kantor Kepala Desa selama 60 hari dalam rangka memberi kesempatan bagi para pihak yang akan mengajukan keberatan terhadap data yuridis dan data fisik mengenai tanah yang dimohon tersebut. Apabila jangka waktu pengumuman sudah berakhir, maka Kepala Kantor Pertanahan melakukan pengesahan dengan Berita Acara Pengesahan data fisik dan data yuridis.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
d. Penegasan konversi dan pengukuran hak. Berdasarkan berita acara pengesahan data fisik dan data yuridis tersebut, maka Kepala Kantor Pertanahan perlu memberikan catatan mengenai penegasan konversi bila tanah itu dikuasai oleh orang lain dengan persetujuan pemohon dan catatan bila pemohon secara fisik menguasai tanah itu selama 20 tahun, sehingga pengakuan hak ini tidak diperlukan penerbitan surat keputusan. e. Pembukuan hak Selanjutnya dilakukan pembukuan hak yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah kantor Pertanahan. Hal – hal yang perlu dicatat dalam pembukuan hak adalah mengenai : 1. Data fisik dan data yuridis yang tidak lengkap atau yang masih disengketakan; 2. Pembatasan – pembatasan yang berkaitan dengan hak tersebut; 3. Pembatasan dalam pemindahan hak; 4. Pembatasan dalam penggunaan tanah; f. Penerbitan sertifikat Isi dari sertifikat adalah mengenai data yuridis dan pembatasan – pembatasan hak yang ditandatangani oleh Kepala Kntor Pertanahan atau dapat dilimpahkan kepada kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, serta diserahkan kepada pemegang haknya atau kuasanya.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
2.3.
Praktek Perolehan Hak Pakai Oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Dalam rangka pembangunan rumah dinas / rumah negara bagi para
pegawai negeri yang bekerja pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I Surabaya yang berada di bawah Kementrian Keuangan, maka pembangunan tersebut digolongkan sebagai pembangunan untuk keperluan Instansi Pemerintah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara Pasal 1 angka 1 jo. Undang – Undang No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 1 angka 11 dijelaskan
bahwa rumah negara adalah suatu
bangunan
yang
dimiliki
negara
dan
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri. Dalam kepentingannya untuk membangun rumah dinas sebagai kebutuhan Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) akan tempat tinggal, penyelenggara pembangunan memerlukan tanah yang dilakukan dengan cara pengadaan tanah. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 tahun 1994 tentang Rumah Negara menentukan bahwa pengadaan rumah negara dapat dilakukan dengan cara: a. pembangunan; b. pembelian; c. tukar menukar atau tukar bangun; atau d. hibah. Perolehan hak atas tanah untuk pembangunan rumah dinas dalam kasus yang digunakan pada skripsi ini diperoleh pada tahun 1987 melalui pembebasan
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
hak atas tanah yang pada saat itu masih diatur pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 yang sekarang sudah dicabut dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan sekarang sudah tidak berlaku, dan diganti Undang – Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mengatur mengenai perolehan tanah untuk kepentingan umum melalui pelepasan hak atas tanah. Pembangunan rumah dinas / rumah negara oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Jawa Timur I Surabaya pada tahun 1987 ini diperoleh dari pembebasan tanah Hak Milik oleh Hj. Chodijah. Pembebasan tanah seluas 4.265 m² di Jalan Semolowaru Surabaya tersebut terjadi pada tanggal 05 Oktober 1987, dimana tanah tersebut terdiri dari : 1) Tanah Hak Milik Hj. Nafisah seluas 2.000 m² eks Petok D No. 1013 Persil No. 29sII, dengan alas peralihan : a) Surat
Pernyataan
untuk
Pelepasan
Hak
Atas
Tanah
No.
593.22/014/411.924/1987 tanggal 5 Oktober 1987 eks Petok D No. 1013 Persil No. 29.sII, yang ditandatangani oleh Hj. Nafisah binti Afan selaku Pihak yang Melepaskan Hak, Kepala Bagian Umum Kanwil VI DJBC Surabaya selaku Pihak Penerima Pelepasan Hak, dan disaksikan oleh Lurah Semolowaru dan Sekretaris Wilayah Kecamatan Sukolilo, serta diketahui dan dilaksanakan oleh Camat Kepala Wilayah Kecamatan Sukolilo;
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
b) Kwitansi tanggal 5 Oktober 1987 sebesar Rp.70.000.000,- sebagai tanda bukti telah dilakukan pembayaran dari Pimpinan Bagian Proyek Penyempurnaan Prasarana Kantor Pusat DJBC Jakarta kepada Pemilik Tanah Hj. Nafisah binti Afan; Kwitansi tanggal 5 Oktober 1987 sebesar Rp. 100.000,- sebagai biaya pembuatan Akta Jual Beli / Pelepasan Hak Atas Tanah seluas 4.265 m², yang sudah merupakan tanah perumahan dan ditandatangani Camat Sukolilo. c) Hasil Survey No. S-418/WBC.06/BG.1003/1987 tanggal 11 Mei 1987. 2) Tanah milik Hj. Chodijah seluas 2.265 m², dengan alas hak SHM No. 476 sisa/Kel. Semolowaru : a) Surat
Pernyataan
Untuk
Pelepasan
Hak
Atas
Tanah
No.
593.22/015/411.924/1987 tanggal 5 Oktober 1987 eks Petok D No. 1013 Persil No. 29.sII, yang ditandatangani oleh Hj. Chodijah selaku pihak yang melepaskan hak, Kepala Bagian Umum Kanwil. VI DJBC Surabaya selaku pihak penerima pelepasan hak, dan disaksikan oleh Lurah Semolowaru dan Sekretaris Wilayah Kecamatan Sukolilo, serta diketahui dan disahkan oleh Camat Kepala Wilayah Kecamatan Sukolilo; b) Copy Sertifikat Induk Tanah Hak Milik No. 476 seluas 2.265 m²; c) Kwitansi tanggal 5 oktober 1987 sebesar Rp. 79.275.000,- sebagai tanda bukti telah dilakukan pembayaran dari Pimpinan Bagian Proyek Penyempurnaan Prasarana Kantor Pusat DJBC Jakarta kepada pemilik tanah Hj. Chodijah ; d) Hasil Survey No. S-418/WBC.06/BG.1003/1987 tanggal 11 Mei 1987.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
Setelah pembebasan tanah tersebut selesai, Pemimpin Proyek prasarana Fisik DJBC Wilayah VI Jatim Surabaya telah melakukan Permohonan Hak Pakai atas tanah dimaksud melalui surat No. S-3033/WBC.06/BG.10/1988 tanggal 13 Mei 1988, kepada Menteri Dalam Negeri Up. Direktorat Jenderal Agraria dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Up. Kepala Direktorat Agraria Provinsi Jawa Timur, melalui Bupati / Walikota Kepala Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya Up. Kepala Kantor Agraria, yang akan dipergunakan untuk Perumahan Dinas Bea dan Cukai. Namun untuk mendukung kepentingan umum, maka keseluruhan dua bidang tanah tersebut terkena pelebaran jalan dan sepadan jalan umum, dari total keseluruhan 4.265 m² dipotong menjadi 3.065 m². Kepala Kantor Agraria mengatasnamakan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya telah mengeluarkan Gambar Situasi No. 203/1988-1989 tanggal 15 Juni 1988 atas tanah dimaksud sebagai bagian dari lampiran permohonan hak tersebut. Kanwil. DJBC Jawa Timur I Surabaya kepada Walikota Surabaya Up. Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kodya Dati II Surabaya juga telah mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan perumahan DJBC Surabaya pada tanggal 5 Januari 1989 dengan No. Surat : 022/WBC.06/EG.1003/1989. Selanjutnya pembangunan perumahan dinas bea dan cukai tersebut dilaksanakan pada tahun 1989. Kedua bidang tanah tersebut telah tercatat dalam Daftar Barang Milik Negara dengan Kartu Inventaris Barang No. KIB 2.01.01.0004.16 untuk tanah
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
milik Hj. Nafisah seluas 2000 m² eks Petok D No. 1013 Persil No. 29.sII, dan Kartu Inventaris Barang No. KIB 2.01.01.0004.17. Apabila diperhatikan dari runtutan proses hukum yang telah ditempuh oleh pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tersebut diatas, pihak DJBC sudah melakukan proses perolehan tanah dan pendaftaran tanah dengan benar. Proses terakhir yang telah ditempuh pihak DJBC yaitu mengajukan Surat Permohonan Hak namun belum ditindak lanjuti oleh Direktorat Jenderal Agraria pada saat itu dengan tidak segera mengeluarkan SKPH (Surat Keputusan Pemberian Hak). SKPH ini merupakan salah satu dasar yang penting dalam mengajukan permohonan hak atas tanah karena termasuk alat pembuktian hak baru yang diatur dalam Pasal 23 UU No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa, untuk kepentingan pendaftaran hak dibuktikan dengan surat penetapan pemberian hak yang diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II. Pihak DJBC juga tidak segera menindaklanjuti pembiaran yang dilakukan oleh Dirjen Agraria.
Skripsi
OKKY MAHARANI WIBISONO “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH DINAS OLEH INSTANSI PEMERINTAH” ( Studi Kasus Perolehan Tanah untuk Pembangunan Rumah Dinas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I )