ï'
'i
i
BAB II PENGEMBANGAN 1} KURIKULUM PRODI PADA PERGURUAN TIN^
A.
KONSEP KURIKULUM
1. Pengertian Kurikulum Dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 19 Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain,
kurikulum
dapat
diartikan
sebagai
program
pengajaran
suatu jenjang
pendidikan. Zais (1976: 7) mendefinisikan bahwa "curriculum is a racecourse of subject matters to be mastered".
Pengertian kurikulum yang
serupa dengan
pengertian kurikulum tersebut dikemukakan pula oleh Beauchamp (1972), Seiler dan Miller (1985), dan Oliva (1992), yang semuanya menyebutkan cakupan kurikulum dalam lingkup yang luas. Kurikulum juga dapat diberi pengertian secara sempit, seperti silabus, program pengajaran suatu mata pelajaran, atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Colombo
Plan
Staff College for
Technician
Education
(1982:
9),
misalnya,
mengemukakan bahwa "curriculum is the product of curriculum planning- It is a written document intended to be used by teachers for developing teaching strategies for specific groups of student". Berdasarkan hal tersebut, yang dimaksud dengan kurikulum
adalah
produk
dari
perencanaan
kurikulum.
Kurikulum
tersebut
merupakan suatu dokumen tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan oleh para guru dalam rangka mengembangkan strategi-strategi pengajaran yang ditujukan untuk kelompok siswa tertentu.
Yang dimaksud dengan kelompok siswa tertentu
adalah pada siswa-siswa yang ada pada sekolah dan tingkatan tertentu. Kedua cakupan pengertian kurikulum di atas, baik yang luas maupun yang sempit, pada dasarnya menyiratkan hal yang sama, yaitu bahwa setiap kurikulum membentuk suatu desain yang menggambarkan pola organisasi dari komponenkomponen kurikulum yang terdiri dari: 1) tujuan, 2) isi atau materi, 3) proses atau sistem penyampaian materi, dan 4) evaluasi. Keempat komponen kurikulum tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Keberadaan empat komponen ini, secara operasional, ditegaskan oleh Tyler (1949: 1) ke dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: a. What educational purposes should the school seek to attain? b. What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes? c. How can these educational experiences be effectively organized? d. How can we determine whether theses purposes are being attained? Sependapat dengan Colombo Plan mengenai pentingnya bukti tertulis, dokumen, atau aspek fisik dari kurikulum, Hasan (2004: 1) menyatakan bahwa kurikulum dapat diartikan sebagai suatu jawaban para perencana pendidikan dalam menjawab tantangan yang diberikan masyarakat mengenai kualitas manusia terdidik yang akan dihasilkan suatu lembaga pendidikan. Jawaban tersebut dituangkan dalam bentuk suatu dokumen atau rencana tertulis, dan dengan demikian kurikulum haruslah berupa satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Isi dari dokumen atau rencana tertulis tersebut (kurikulum) adalah pernyataan mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh mahasiswa melalui suatu keterlibatan dan 34
pengalaman belajar dalam pengimplementasian kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini, menurut Hasan (2004: 2) adalah bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil dari proses pengimplementasian kurikulum, kualitas output peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus diikuti atau dipelajari oleh mahasiswa, kualitas proses pendidikan yang harus dialami oleh mahasiswa. Kurikulum dalam bentuk dokumen ini merupakan fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide (pemikiran) para
pengambil
keputusan
dan dasar bagi
pengembangan
dan
penyempurnaan kurikulum selanjutnya. Realisasi
dari
kurikulum
berbentuk
dokumen
tertulis
ini
adalah
pengimplementasiannya pada suatu lembaga pendidikan berupa pengalaman belajar yang dialami mahasiswa seperti yang direncanakan secara tertulis oleh dosen/guru baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pengalaman belajar siswa/mahasiswa tersebut adalah konsekuensi langsung dari dokumen tertulis yang dikembangkan oleh dosen/guru dalam bentuk silabus dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Menurut Hasan (2004: 2), pengalaman belajar ini harus memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Jika pengalaman belajar ini menyimpang dari rencana tertulis, maka hasil belajar yang diperoleh mahasiswa tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum. Kurikulum harus dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran mendalam serta melalui kajian dan penelitian yang maksimal tentang kualitas pendidikan yang ideal. Proses pengembangan kurikulum haruslah didasarkan atas suatu ide atau pemikiran tertentu mengenai pendidikan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen maupun sebagai 35
pengalaman
belajar.
Oleh
karena
itu,
Oliva
(1992:12)
mengatakan
bahwa
"curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex ide or set of ideas". Permasalahan yang sering terjadi adalah 1) ide atau pokok pikiran itu tidak dirumuskan secara jelas; 2) para pengembang dokumen adalah orang yang berbeda dari penemu ide tersebut, maka apa yang diinginkan tidak dapat dipahami dengan baik oleh para pengembang dokumen; 3) konsekuensinya, pengembangan pengalaman belajar dapat berbeda dari apa yang dikehendaki rencana tertulis (Hasan, 2004: 2).
2. Model Kurikulum Sukmadinata (2002: 81-101) menyebutkan bahwa terdapat banyak konsep kurikulum di dalam khasanah ilmu kurikulum. Namun demikian, secara konseptual, model kurikulum dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu 1) model kurikulum subyek akademik (KSA), sebagai pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh filsafat pendidikan Perenialisme dan Esensialisme; 2) model kurikulum humanistik, yang banyak dipengaruhi oleh filsafat pendidikan Progresivisme dan Romantisisme; 3) model kurikulum rekonstruksi sosial, yang banyak dipengaruhi oleh filsafat pendidikan Interaksionalisme; dan 4) model kurikulum teknologis atau berbasis kompetensi (KBK). Tabel di bawah ini menunjukkan politomi dari sebagian teori pendidikan dan model kurikulum yang berkembang dalam khazanah ilmu kurikulum.
36
Tabel 2.1 Teori Pendidikan dan Model-Model Kurikulum No 1
Model Kurikulum
Teori Pendidikan Pendidikan Klasik a. Perenial isme b. Esensial isme Pendidikan Pribadi a. Pendidikan Progresif b. Pendidikan Romantik Pendidikan Interaksional Teknologi Pendidikan
2
3 4
Kurikulum Subyek akademis
Kurikulum Human i stik Kurikulum Rekonstruksi sosial Kurikulum Teknologis (Kurikulum Berbasis Kompetensi
(Sumber: Sukmadinata, 2003)
a. Kurikulum Subjek Akademis (KSA) Model kurikulum subyek akademis (KSA) disebut juga kurikulum berbasis ilmu (KBI). Model kurikulum ini menekankan isi kurikulum berupa materi ilmu dan pengetahuan yang berasal atau diambil dari disiplin-disiplin ilmu. Kurikulum ini diperkirakan paling tua yang perintisnya dimulai sejak zaman Yunani kuno. Kurikulum ini dipakai secara luas di berbagai negara. Model konsep kurikulum ini dilandasi oleh paham filsafat pendidikan Perenialisme (philosopia perenis; Latin) dan Esensialisme. Perenialisme, yang digagas oleh Aristoteles (384-322 SM) dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas (abad ke-13), merupakan gerakan pendidikan yang
memprotes
gerakan
Progresivisme
yang
mengingkari
supernatural.
Esensialisme, yang juga bertolakbelakang dengan paham Progresivisme, berakar dari aliran Idealisme dan Realisme dan muncul pada zaman Renaissance (sekitar 14501600). Kedua paham filsafat pendidikan tersebut dengan kuat mendukung eksistensi kurikulum subjek akademis. Perenialisme berpendapat bahwa nilai-nilai universal itu ada dan pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai
tersebut.
Tujuan
pendidikan 37
Perenialisme
adalah
mewujudkan
siswa/mahasiswa agar dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Dengan pikiran yang dikembangkannya, peserta didik dapat mempertinggi kemampuan akal pikirannya. Prinsip ini telah berpengaruh pada pendidikan modern seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi, dan pendidikan orang dewasa. Esensialisme memiliki pandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang memiliki tata atur yang jelas. Bagi kaum Esensialis, pendidikan adalah termasuk mempelajari keterampilan-keterampilan dasar, seni, dan sains yang telah dikembangkan pada masa lalu. Peserta didik dipersiapkan untuk menghadapi masyarakat yang beradab dengan menguasai keterampilan-keterampilan dan juga materi-materi mata pelajaran. Di dalam pendidikannya peserta didik harus belajar untuk memiliki tingkah laku disiplin dan kerja keras. Hanya setelah menguasai disiplin-disiplin dasar, peserta didik diharapkan dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah pribadi, sosial, dan warga negara. Sedangkan pendidik dituntut memiliki keterampilan professional dalam materi mata pelajaran dan mengajar yang harus dipersiapkan sebaik mungkin sebelum mengajar. Esensialisme, yang didasari oleh idealisme, berpandangan bahwa kurikulum hendaknya berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat, sedangkan realisme, yang juga mendasari esensialisme, berpendapat bahwa kurikulum ibarat balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain, yaitu disusun dari yang sederhana sampai dengan yang paling rumit (kompleks). Susunan tersebut bagaikan susunan alam, yang sederhana merupakan dasar dari susunan yang kompleks.
38
Sehingga jika kurikulum disusun atas dasar yang demikian, maka akan memunculkan sifat keharmonisan. Kurikulum ini seringkali diimplementasikan dengan memisah-misahkan mala peiajaran-mata pelajaran. Oleh karena itu, kurikulum ini seringkali disebut sebagai separated subject curriculum, dan sering pula disebut pula sebagai subject-centered curriculum, karena menjadikan mata pelajaran sebagai porosnya (Nasution, 1988: 143). Sesuai dengan sumbernya, nama-nama mata pelajaran atau mata kuliah dalam model kurikulum ini adalah nama-nama disiplin ilmu, seperti Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dan Bahasa Indonesia (Sukmadinata, 2004: 2). Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik kurikulum subyek akademis (KSA) tergambar dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Model Kurikulum Subyek Akademis No 1 2
3
Karakter Pendidikan (Pendidikan Klasik)
Karakteristik Kurikulum Kurikulum menekankan isi/materi ajaran
Berorientasi ke masa lalu Ilmu-teknologi, nilai-nilai dan budaya telah ditemukan pada ahli tempo dulu telah tersusun sistematis dan solid Fungsi pendidikan: Memelihara dan mewariskan ilmu-teknologi, nilai, dan budaya pada generasi muda
Isi kurikulum bersumber dari disiplin ilmu (terstruktur dan sistematis Guru harus menguasai materi ajaran dengan baik Fungsi guru sebagai penyampai ilmuteknologi, nilai, dan budaya pada generasi muda. Fungsi siswa sebagai penerima ilmuteknologi, nilai bekerja keras, menguasai bahan Proses pengajaran: ekspositori
4 Isi pendidikan lebih menekankan segi inetelektual • Pereniaiisme: Teoritis • Esensialisme: praktis 5
Guru adalah ekspert dan model
(Sumber : Sukmadinata, 2003)
39
b. Kurikulum Humanistik Model kurikulum ini dikembangkan berpijak pada filsafat Humanisme yang muncul sekitar abad ke-14 dan ke-16 dan menjadi salah satu aliran filsafat dominan pada masa Renaissance. Secara spesifik, kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik, terutama didasarkan pada konsep aliran pendidikan pribadi (personalized éducation) dari John Dewey (Progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education) (Sukmadinata, 2002: 86). Aliran filsafat Humanistik muncul sebagai arus utama filsafat di Itali, kemudian menyebar ke segenap penjuru Eropa, dengan tujuan untuk membangun manusia Barat abad pertengahan (the dark middle age), dari kungkungan dogmadogma Gereja yang tidak memberikan otonomi, kreativitas,
dan kemerdekaan
berpikir individual. Humanisme
yang
merupakan
derivasi
dari
humanitas
(Latin)
berarti
pendidikan manusia yang berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk menentukan dirinya sendiri meskipun bukan kebebasan absolut. Kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang humanis, natural, historis, dan civilized. Sistem pendidikan humanis menjungjung tinggi tata nilai, martabat, dan kebebasan manusia disertai dengan kesadaran bahwa mereka tidak mungkin untuk menolak dan menyangkal keluhuran dan kekuasaan Tuhan.
Namun,
keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan ini disertai keyakinan bahwa manusia mempunyai free will and free act, peluang untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya.
40
Humanisme juga berkehendak untuk menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, event, dan fenomena di dunia ini. Manusia dijadikan sebagai pusat atau titik sentral dari realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan semangat filsafat Humanisme itulah pendidikan humanistik lahir sebagai "anak kandungnya". Model kurikulum humanistik menekankan pengembangan kepribadian siswa secara utuh dan seimbang, antara perkembangan segi intelektual, afektif, dan psikomotor. Pembelajaran humanistik berpusat pada peserta didik {student centered atau student based teaching) dengan penekanan terhadap pengembangan potensi dan kemampuan siswa serta memperhatikan minat dan kebutuhan siswa/mahasiswa (Sukmadinata, 2004: 2). Di dalam perkembangannya, sekitar tahun 1970 kurikulum humanistik memiliki dua bentuk, yaitu confluent dan conciousness. Hakikat confluent adalah pengintegrasian ranah afektif (emosi, sikap, nilai) dengan ranah kognitif (intelektual dan kemampuan). Dimensi-dimensi emosi ditambahkan ke dalam mata pelajaran konvensional sehingga terdapat arti dan tujuan subjektif dalam mempelajari mata pelajaran tesebut.
Kurikulum ini tidak mengajarkan tentang perasaan atau sikap
yang dimiliki peserta didik, melainkan memberikan pilihan-pilihan bersikap dan berperasaan kepada peserta didik serta memberikan pertimbangan yang dapat dipilih dalam hidupnya sendiri. Ciri-ciri kurikulum
confluent adalah Î) partisipasi, yakni kurikulum ini
menekankan partisipasi peserta didik untuk menggali, mengembangkan, dan mematangkan potensi peserta didik dalam proses belajar. Bentuk kegiatan belajarnya 41
berupa belajar bersama (kelompok), yang memberikan ruang yang luas bagi peserta didik dalam melaksanakan perundingan, persetujuan, pertukaran kemampuan, serta bertanggung jawab bersama; 2) integrasi, hal ini karena di dalam belajar kelompok terjadi interaksi, interpretasi, dan intergrasi pemikiran, perasaan, dan tindakan; 3) relevansi, artinya isi mata pelajaran bertalian dengan kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik karena diambil dari dunia mereka oleh mereka sendiri. Hal ini lebih berarti bagi peserta didik, secara intelektual dan emosional; 4) holistik, pribadi peserta didik diberi tempat utama dalam pendidikan yang dikembangkan dengan potensinya secara utuh (holistik); 5) tujuan, yakni mengembangkan pribadi yang utuh dan serasi, baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungan secara menyeluruh (Sukmadinata, 2002:88). Kurikulum
consciousness
atau
transcendency,
yakni
kurikulum
yang
menekankan aspek consciousness (kesadaran). Oleh karena itu, kurikulum ini tidak hanya memfokuskan pada ragam kognitif dari kesadaran, tetapi juga ragam intuitive receptive (pembimbingan fantasi dan aneka ragam bentuk meditasi), misalnya transcendental meditation (TM) yang berurusan dengan keadaaan, kontrol sukarela dari keadaan inner, dan pertumbuhan di luar ego. Konsep religius transcendental meditation (TM) ini memiliki implikasi di dalam kurikulum karena menyarankan kepada peserta didik bagaimana suatu ragam khusus lainnya. Suatu kesadaran transenden juga membantu mereka menerima ketidaklengkapan semua materi mata pelajaran. Belajar bahwa tidak ada ilmu yang memberikan pernyataan penuh dan akhir dari alam dan benda-benda membantu peserta didik mengenali kemungkinankemungkinan
baru,
arah
baru,
dan pertanyaan-pertanyaan
42
baru.
Kurikulum
transenden memelihara suatu semangat bahasan terhadap praktek-pr dan mendorong potensi yang belum berkembang dan berharap m e m p e r t t n g ^ a ^ ^ ^ Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik Model Kurikulum Humanistik tergambar dalam tabel berikut ini: Tabel 2.3 Model Kurikulum Humanistik K a r a k t e r Pendidikan (Pendidikan Pribadi)
No i 2
3
4
5
Karakteristik K u r i k u l u m Berpusat pada siswa. Siswa sebagai subjek pelaku belajar
Berorientasi ke masa sekarang Siswa punya potensi: intelektual, sosial, efektif, fisik-motorik, dan berkembang sendiri Pendidikan ibarat bertani: Menyediakan fasilitas, menumbuhkan potensi, dan menghindari gangguan Pendidikan menekankan keutuhan perkembangan pribadi siswa • Pendidikan progresif: belajar sambil berbuat • Pendidikan Romantik: belajar alamiindividual Pendidik adalah psikolog, bidan, motivator, dan fasilitator
Isi/bahan ajaran sesuai kebutuhan, bakat, dan minat siswa Siswa turut "menyusun" kurikulum
Tidak ada kurkulum standar, hanya ada kurikulum minimal
Proses belajar-mengajar inkuiri-diskoverypemecahan masalah
(Sumber : Sukmadinata, 2003)
c. Kurikulum Rekonstruksi Sosial Model
kurikulum
rekonstruksi
sosial
menganut
paham
pendidikan
interaksional yang menekankan pemecahan masalah-masalah sosial kemasyarakatan dengan pembelajaran yang bersifat kooperatif. Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an. Harold Rug, seperti dikutip Sukmadinata (2002: 91) melihat dan menyadari adanya kesenjangan antara kurikulum dengan kebutuhan masyarakat. Ia menginginkan agar para siswa, dengan pengetahuan dan konsep baru yang dipelajarinya, mampu mengidentifikasi dan
43
memecahkan masalah-masalah sosial, bahkan diharapkan mampu menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil (Sukmadinata, 2002:91). Adapun ciri-ciri kurikulum ini adalah 1) peserta didik dihadapkan pada masalah-masalah masyarakat yang bersifat universal; 2) kegiatan belajar dipusatkan kepada masalah-masalah urgen,
3) kurikulum disusun seperti roda, dengan
menempatkan tema utama masalah yang dikaji secara pleno. Kemudian tema utama tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah topik yang dikaji di dalam diskusi kelompok. Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik model kurikulum rekonstruksi sosial tergambar dalam tabel berikut ini: Tabel 2.4 Model Kurikulum Rekonstruksi Sosial No 1 2 3 4
5
K a r a k t e r Pendidikan (Pendidikan Interaksional) Berorientasi ke masa lalu dan yang akan datang Manusia sebagai makhluk sosial, selalu hidup bersama dan bekerja sama Pendidikan memperbaiki yang lebih baik Pendidikan adalah kehidupan masyarakat, sekolah sebagai pintu masuk ke masyarakat Pendidikan adalah kerjasama menyiapkan siswa sebagai masyarakat yang aktif
Karakteristik K u r i k u l u m Menekankan pemecahan masalah sosial yang dihadapi saat ini Kurikulum menekankan isi dan proses, disusun melibatkan siswa Isi kurikulum adalah masalah yang hangat dan penting bagi yang akan datang Proses pengajaran adalah kooperatif dalam kelompok Siswa dan guru belajar bersama, siswa belajar dari berbagai sumber Penilaian proses, hasil belajar, dan hasil karya kelompok
(Sumber : Sukmadinata, 2003)
d. Kurikulum Teknologis atau Berbasis Kompetensi Kurikulum ini dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan yang memiliki kesamaan dengan pendidikan klasik yang menekankan pada isi kurikulum, tetapi diarahkan pada penguasaan kompetensi (Sukmadinata, 2002: 96). Model
44
kurikulum teknologis atau kurikulum berbasis kompetensi juga menekankan isi kurikulum tetapi berupa kompetensi atau kecakapan dan keterampilan kerja, oleh karena itu disebut berbasis kompetensi. Jika disimak lebih lanjut, ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi ini adalah: 1) tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku; 2) metode merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi tanggapan yang diharapkan maka tanggapan tersebut diperkuat. Pengajaran bersifat perorangan, dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing hingga menguasai secara tuntas; 3) bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan suatu kompetensi; 4) evaluasi dilakukan setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit atau semester yang terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif yang umumnya berbetuk tes objektif (Sukmadinata, 2002: 97-98). Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik model kurikulum teknologis tergambar dalam tabel berikut ini: Tabel 2.5 Model Kurikulum Teknologi No 1 2 3
4
5
Karakter Pendidikan (Teknologi Pendidikan) Berorientasi ke masa sekarang dan yang akan datang Pendidikan adalah ilmu, bukan seni; pendidikan bersifat ilmiah. Manusia tidak berbeda hakiki dengan binatang, hanya lebih kompleks dan kemampuan lebih tinggi
Karakteristik Kurikulum Menekankan isi berupa kompetensi, kecakapan hidup Kompetensi dirinsi menjadi performasi, sasaran belajar yang dapat diukur Desain kurikulum-pembelajaran disusun secara sistemik (sistem instruksional) Bahan ajar dan pelejarannya disusun dalam media cetak & elektronik, belajar secara individual
Pendidikan adalah transmisi ilmuteknologi dalam bentuk kompetensi Peranan guru tidak dominant dibantu/diganti alat teknologi, guru sebagai pengelola pembelajaran
Desain pembelajaran berbentuk SAP/satpel oleh guru, letapi program media oleh tim ahli
(Sumber : Sukmadinata, 2003)
45
B.
KEBIJAKAN PENERAPAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) DI P E R G U R U A N TINGGI (PT)
1. Kebijakan Penerapan KBK di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAl) Pemberlakuan KBK di PTAI, termasuk UIN Sunan Gunung Djati Bandung, didasarkan kepada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia (Kepmenag RI) nomor 353 tanggai 6 Juli 2004. Dasar pemikirannya adalah 1) beragamnya potensi peserta didik yang harus di-manage secara beragam, tepat, dan komprehensif; 2) kondisi pendidikan di Indonesia menghasilkan mutu pendidikan rendah serta mengabaikan aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni dan olah raga, serta life skill; 3) output PTAI harus kompeten dalam keilmuan agama Islam serta bidang keahliannya, terutama dalam menghadapi pasar bebas ASEAN (AFTA), Asia Fasifik (APEC), dan dunia/global (GAT); 4) kompetensi sumber daya manusia (SDM), dan 5) Persaingan lembaga pendidikan (Depdiknas, 2003:1). KBK yang dimaksud oleh SK Menag RI tersebut mengadopsi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 45/U/2002, yakni adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab, yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Kepmendiknas No. 45/U/2002). Dalam konteks pendidikan, Depdiknas
(2003:2)
menyebutkan
bahwa
Pendidikan
Berbasis
Kompetensi
dimaksudkan sebagai "bentuk pendidikan yang diselenggarakan untuk menyiapkan lulusannya menguasai seperangkat kompetensi yang bermanfaat bagi kehidupan kelak". Penerapan KBK pada dasarnya merupakan efek dari reformasi pendidikan yang digulirkan secara meluas di seluruh Indonesia sejak tahun 1994. Reformasi
46
pendidikan ini merupakan perubahan besar dalam paradigma pendidikan dari pandangan
supply-driven
menunju
pandangan
demand driven
(Sidi,
2000:7).
Perubahan pandangan dan orientasi kurikulum ini semula diujicobakan pada sekolah menengah
kejuruan
(SMK)
dan
pendidikan
tinggi
vokasional,
kemudian
diujicobakan secara luas di sekolah-sekolah menengah umum (SMU), dan kemudian menyusul di lembaga-lembaga pendidikan tinggi non-vokasional. Dengan demikian, dari segi waktu, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dianggap sebagai kurikulum yang baru dikembangkan dan diterapkan di Perguruan Tinggi, termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) atau Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Namun demikian, pada dasarnya, KBK merupakan perkembangan dari kurikulum sebelumnya yang dalam kurun waktu hampir tiga puluh enam tahun telah mengalami beberapa pembaharuaan dan pernyempurnaan. Tentunya, penyempurnaan dan perubahan kuantitatif dan kualitatif dari kurikulum tersebut disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan disesuaikan dengan tuntutan, aspirasi, serta kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan dunia kerja. Berdasarkan hasil studi Bank Dunia {World Bank) pada tahun 1999, salah satu komponen pendidikan yang turut menentukan baik buruknya sistem pendidikan adalah kualitas kurikulum yang diberlakukan. Sedangkan Menurut Badan Moneter dunia {International Monetary Fund), sistem pendidikan sebuah negara dapat baik jika 1) kurikulum nasional memenuhi sejumlah kompetensi untuk menjawab tuntutan dan tantangan arus globalisasi, 2) kurikulum yang dibuat bersifat lentur dan adaptif terhadap perubahan, dan 3) kurikulum yang disusun harus berkorelasi dengan pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat. 47
Akan tetapi perubahan dan perbaikan kurikulum yang dilakukan harus memiliki landasan dan pijakan yang jelas dan kokoh. Perubahan dan perbaikan kurikulum yang tidak berpijak pada landasan yang kokoh akan menjadi kurikulum yang bias, tidak terarah, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Landasan pengembangan kurikulum di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah bersama-sama para pembuat kebijakan di tingkat pusat. Sepanjang kurun waktu tiga puluh empat tahun, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Kurikulum 1975 dikembangkan untuk memperbaharui kurikulum 1968, kurikulum 1984
dikembangkan
dikembangkan
untuk
untuk
memperbaiki
memperbaiki
kurikulum
kurikulum
1984,
1975,
kurikulum
1994
dan
kurikulum
2004
dikembangkan untuk memperbaiki dan memperbaharui kurikulum 1994. Kurikulum 2004 inilah yang kemudian banyak disebut-sebut sebagai KBK. Jika dikaji dari segi waktu, perubahan dan perbaikan kurikulum sepanjang waktu tersebut (rata-rata satu dasawarsa), dapat dianggap wajar. Namun demikian, perubahan dan perbaikan kurikulum tersebut tidak berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan.
Oleh
karena itu perancangan atau pengembangan kurikulum harus melihat dinamika perubahan yang terjadi dalam bidang sains, teknologi, budaya, dan seni dengan melihat juga kebutuhan pembelajar berkenaan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kurikulum dikembangkan atau direvisi atau bahkan diganti harus melibatkan berbagai unsur/khalayak yang berkepentingan (stakeholder), para alumni, para dosen, pengelola prodi, para ahli dan tentu saja mereka yang mempunyai kebijakan. Mereka idealnya harus terlibat dam pendisainan atau pengembangan kurikulum agar nantinya kurikulum yang digunakan
48
betul-betul dinamis karena mempertimbangkan dinamika perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu dan teknologi.
2. Kebijakan Penerapan KBK di Perguruan Tinggi Umum (PTU) Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi diatur dalam kepmendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
dan Penilaian Hasil
Belajar,
dan Kepmendiknas Nomor
045/U/2002 tentang kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Kedua Kepmendiknas tersebut diarahkan sebagai upaya penjabaran terhadap isi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional digariskan antara lain. Pertama, perlunya ditetapkan standar nasional pendidikan (termasuk standar isi, proses, dan kompetensi lulusan) dalam kerangka penjaminan mutu pendidikan (Pasal 35 ayat 1); dan kedua, kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi (pasal 38 ayat 3). Menurut Ibrahim (2005: 1), kedua butir pokok yang terkandung dalam UU Sisdiknas tersebut mengisyaratkan perlunya dilakukan upaya pengembangan standar kompetensi lulusan dan kurikulum bagi setiap jenis dan jenjang pendidikan, termasuk Perguruan Tinggi.
Selain
itu,
dari
Kepmendiknas
32/U/2000
dan
045/U/2002 dapat diangkat tiga karakteristik pokok kurikulum Pendidikan Tinggi, yaitu: a. Berbasis kompetensi b. Mengandung kurikulum inti yang diberlakukan nasional, dan 49
c.
Dikembangkan bersama-sama dengan pihak-pihak yang berkepentingan {stakehorlders)
Berkenaan dengan upaya pengembangan pendidikan tinggi ini pula, dalam Higher Education Long Terms strategi-
(HELTS
2003-2010)
digariskan tiga
kebijakan dasar yang mencerminkan paradigma baru dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu peningkatan a) daya kompetetif bangsa, yang menekankan perlunya penguasaan ilmu dan teknologi informasi mutakhir sebagai mesin
pertumbuhan
dan
perkembangan;
b)
otonomi,
yang
mengindikasikan
pluralisme dalam perencanaan dan pengelolaan pendidikan tinggi sesuai dengan kapasitas/ kemampuan yang dimiliki masing-masing lembaga; dan c) kesehatan organisasi,
sebagai kondisi paripurna yang memungkinkan sebuah organisasi
berfungsi mengejawantahkan visi dan misinya. Dari beberapa arahan dan kebijakan Undang-Undang Sisdiknas maupun HELTS
tersebut
menempatkan KBK sebagai
salah
satu pendekatan
dalam
pengembangam kurikulum Pendidikan Tinggi di Indonesia (Ibrahim, 2005:2). Penerapan KBK juga sejalan dengan diberlakukannya sistem desentralisasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom yang membawa implikasi terhadap pelaksanaan otonomi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. UU RI Nomor 22 tahun 1999 dan PP 25 tahun 2000 tersebut menuntut perubahan dalam
pengelolaan pendidikan
dari
yang bersifat
sentralistik ke
desentralistik, yang ditujukan sebagai upaya pemberdayaan daerah dan sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh
50
(Puskurnas, 2002:2). Dalam konteks Perguruan Tinggi, setiap program studi yang ada di pendidikan tinggi diberikan keleluasaan untuk dapat mengembangkan dan memutuskan kurikulum yang akan digunakannya secara bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan GBHN 1999-2003 (TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, Bab [V E), "melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik, yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan professional." Pengejewantahan GBHN tersebut terdapat dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 2, yang menyatakan bahwa "kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik." Kewenangan Pemerintah dalam bidang pendidikan adalah sebagai berikut: 1) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar; 2) pengaturan kurikulum nasional; 3) penilaian hasil belajar secara nasional; 4) penyusunan pedoman pelaksanaan; dan 5) penetapan standar materi pelajaran pokok, penetapan kalender pendidikan, dan jumlah belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah.
1
51
Konteks Pendidikan • Otonomi daerah, Pembangunan Daerah, Pembangunan Berkelanjutan, kompetensi standar, kehidupan demokratis • Globalisasi, perkembangan ilmu & teknologi informasi, ekonomi Berbasis Pengetahuan, HAU.
Landasan Filosofis
<
Kompetensi Hasil Belajar
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Rekonseptualisa si Kurikulum
Kegiatan Belajar Mengajar
Penilaian Berbasi Keias
Q-
LU
Pengemban gan Silabus
Seleksi Materi (diversifikasi)
Implementasi Kurikulum
Pemantauan Kurikulum
Gambar 2.1 Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Pendidikan (Sumber: Puskurnas, 2002:2)
Salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan tersebut adalah melalui penyempurnaan kurikulum yang ditunjukkan dengan adanya perubahan pada pola kegiatan belajar-mengajar, memilih media pendidikan, menentukan pola penilaian, dan pengelolaan kurikulum yang menentukan hasil pendidikan. Pembaharuan kurikulum akan bermakna bila diikuti oleh perubahan pengelolaan kurikulum yang dengan sendirinya akan mengubah praktek-praktek pembelajaran di kelas. Selama ini sumber daya manusia yang ada di daerah dan sekolah kurang diberdayakan dalam pengelolaan kurikulum. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diarahkan untuk memberdayakan sumber daya yang ada di daerah dan sekolah dalam mengelola KBK. 52
t per.-*.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dari segi penyajianff ^ ^ r u ^ S ^ f i h j j ^ ; pengembangan dan perbaikan dari kurikulum 1994. KBK berisi Vn.
—
kemampuan dasar yang harus dicapai peserta didik melalui materi Rojd^^|ant>^j indikator
pencapaian
dikembangkan
hasil
belajar
berdasarkan
yang
pemikiran
telah selektif
ditetapkan. yang
Kurikulum
mengadopsi
ini dan
mengkompromikan unsur-unsur, nilai-nilai, dan praktek-praktek dari berbagai pendekatan. KBK berorientasikan pada perluasan wawasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, sebagai salah satu usaha untuk mempertahankan integritas bangsa melalui pembentukan-pembentukan individu yang cerdas, religius, toleran, mandiri, dan berdisiplin serta menjungjung tinggi moral dalam pergaulan antar sesama. KBK difokuskan pada peningkatan mutu hasil belajar dan peningkatan mutu lulusan. Puskurnas (2002: 1) mendefiniskan KBK sebagai seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. KBK berorientasi pada 1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan 2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam rumusan yang lain, KBK diasumsikan sebagai suatu model
kurikulum yang
memfokuskan tujuannya pada penguasaan
kompetensi-kompetensi
khusus.
KBK
pada
dasarnya
kemampuan atau
diperuntukkan
untuk
menginventarisir kompetensi esensial untuk suatu pekerjaan, jabatan, atau karir tertentu.
Secara
spesifik
KBK
dapat
diartikan
sebagai
kurikulum
yang
menitikberatkan pada penguasaan suatu pengetahuan, sikap, dan keterampilan 53
tertentu, serta penerapannya di lapangan kerja. Pengetahuan, sikap, dan keterampilan tersebut harus dapat didemontsrasikan dengan standar industri yang ada, bukan standard relatif yang ditentukan oleh keberhasilan sesorang di dalam suatu kelompok. Secara konseptual, Oliva (1992: 512) mengemukakan bahwa kurikulum berdasarkan kompetensi masuk dalam kelompok yang dinamakan "outcomes-based curriculum". Dalam bentuknya yang masih awal, Oliva (1992: 512) mengemukakan bahwa perkembangan ide kurikulum berbasis
"outcomes-based" dapat ditelusuri
hingga pertengahan abad ke-19 oleh pendidik terkenal Herbert Spencer. Di Amerika Serikat, perkembangan ide kurkulum berbasis "outcomes" dapat dikatakan pada awal abad ke-19 yaitu tahun 1918 atau Menurut Tuxworth (dalam Burke, 1995: 10) pada tahun 1920-an. Pemikiran itu kemudian diikuti oleh Tyler tahun 1950 ketika yang bersangkutan mengembangkan proyek kurikulum yang bertarap nasional kemudian menjadi lebih terkenal dengan nama Mastery Learning and Competency-Based oleh Benjamin Bloom. Pada tahun 1970-an, tokoh Elam (1971) memperkenalkan Performance-Based untuk pendidikan guru sehingga dinamakan Performance-Based Teacher Education (PBTE) berdasarkan pandangan behaviorisme. Gerakan dalam pendidikan guru ini kemudian diperbaiki dengan nama Competency-Based Teacher Education (Hasan, 2004: 4). Konsep-konsep dalam pendekatan competence-based ini didasarkan pada dua filosofi, yakni; 1) gagasan bahwa human competence merupakan kemampunan yang benar-benar terlihat dan terukur; pengetahuan, tingkah laku, dan usaha dianggap sebagai sesuatu yang tidak berharga, apabila tidak ada hasil ril; 2) mastery learning menyebutkan bahwa hampir semua dapat mempelajari semua pengetahuan dengan 54
baik, apabila mendapatkan pengajaran yang berkualitas serta waktu mencukupi. Pemyatan ini berkesuaian dengan pendapat Blank (1982: vi): Two basic philosophies underlie the concepts presented here. First is the notion that "human competence ", is the ability to actually perform. Knowledge, attitude, and effort are of little value without results. The second philosophy "mastering learning" holds that most anyone can learn most anything well if given quality instruction and sufficient time.
Pendekatan dengan competency-based merupakan pendekatan pendidikan yang sistematis, yakni setiap komponen dalam program pengajaran dirancang, diawasi, dan disesuaikan antara ide dan hasil. Dalam pembelajaran konvensional pengajaran seringkah dimulai dan diakhiri hanya berdasarkan pada waktu dan kalender pendidikan dengan sedikit perhatian terhadap seberapa banyak pengajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik. "Conventional training programs, instruction is often turned on and turned off based solely on the clock or the calendar with little regard for how much instruction each student really needs" (Blank,
1982: 6).
Pengajaran mungkin disampaikan dalam waktu lima puluh menit, tiga jam pelajaran, atau enam belas minggu dalam satu semester tanpa memperhatikan seberapa banyak pembelajaran yang dibutuhkan oleh setiap siswa untuk dapat menguasai sepenuhnya setiap program pengajaran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
McAshan (1981:
94) yakni, "the instructional delivery system refers to all of the human, material, and other resources, activities, and strategies designed to help students acquire mastery of the competencies to wich they are designed. " FCBK diterapkan untuk mencetak lulusan yang kompeten dan cerdas dalam membangun integritas nasional, identitas budaya dan bangsa Indonesia. Penerapan KBK dimaksudkan agar pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif
55
berbagai
perkembangan
ilmu
pengetahuan,
teknologi,
seni,
dan
tuntutan
desentralisasi. Dalam hal ini, KBK memiliki kefleksibelan sesuai dengan UndangUndang nomor 22 tahun
1999 tentang kewenangan untuk mengatur sendiri
pengelolaan pendidikan sesuai dengan aspirasi masyarakat, sekalipun hal tersebut memberikan ruang bagi keragaman pemahaman dan interpretasi terhadap standar nasional, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pencapaian standar nasional kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Dalam konteks desentralisasi pendidikan ini, menurut
Ariantoni (2002),
KBK 1) dapat dijadikan acuan secara nasional dalam mengembangkan mata pelajaran yang dibutuhkan masing-masing daerah; 2) memudahkan daerah untuk mengembangkan mata pelajaran sesuai dengan lingkungannya; 3) memberi peluang kepada lembaga pendidikan (sekolah) untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan
potensinya;
4)
memudahkan
pendidik
dalam
menentukan
materi
pembelajaran, 5) meningkatkan kreativitas pendidik dalam proses belajar; dan 6) memudahkan sistem evaluasi. Melalui pendekatan ini setiap lembaga pendidikan tidak akan kekurangan relevansi program pembelajarannya untuk memenuhi kepentingan daerah tersebut. KBK memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman belajar sesuai dengan minat dan bakat peserta didik; hal ini karena KBK diharapkan dapat mengakomodasi berbagai perbedaan, kesiapan, potensi akademik, minat siswa, lokalitas, lingkungan, dan budaya Indonesia. Keragaman tersebut digunakan untuk memaksimalkan pencapaian hasil belajar, guna mencapai keunggulan di berbagai bidang dalam menghadapi persaingan global. Selain itu, KBK diterapkan untuk
56
memudahkan para pengelola pendidikan dalam menciptakan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat (Jong life education). Dalam beberapa hal, beberapa langkah (usaha) competency-based merupakan suatu
cara
kembali
pada
pendekatan
personalized,
individualized
untuk
menyampaikan keterampilan dari seorang ahli pada seseorang yang sedang belajar. Terdapat dua perkembangan terbaru yang telah membuat metode pengajaran ini tidak efektif bagi sebagian besar peserta didik. Dua perkembangan itu adalah 1) jumlah peserta diklat secara signifikan dan 2) semakin kompleksnya materi/keahlian yang harus dikuasai. Tidaklah heran jika metode pengajaran yang sempurna untuk menghadapi beberapa siswa, tidak berhasil baik untuk jumlah siswa yang besar dan bermacam-macam program keterampilan seperti saat ini. Pengajaran klasikal yang tidak dapat dihindarkan saat ini, bagaimana pun tingkat efektifitasnya akan lebih rendah ketimbang pengajaran individual. Tingkat kesulitan dari substansi yang harus dipelajari oleh peserta didik saat ini, juga menyebabkan masalah dalam pembelajaran. Perkembangan teknologi saat ini mengharuskan seorang peserta didik tidak hanya menguasai satu keterampilan saja, tetapi keterampilan yang kompleks yang melibatkan peralatan, instrument, perlengkapan, proses yang sangat mahal, dan rumit. Selain itu pula sebagian besar pekerjaan menuntut kemampuan yang terus meningkat, dalam hal ini ilmu pengetahuan, teknologi, seni, serta kemampuan yang telah dikembangkan pada masa lalu, tidak lagi dapat diharapkan untuk memenuhi kebutuhan proses belajar saat ini dan masa yang akan datang.
57
3.
KBK pada Program Pendidikan Akademis dan Vokasional Menurut Mulyasa (2003: 5) KBK lebih tepat dan lebih cocok diterapkan di
perguruan tinggi,
karena perguruan
tinggi
merupakan
suatu
lembaga yang
mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja, menciptakan lapangan kerja, hidup bermasyarakat, dan mengembangkan diri sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup (H/e long education). Dengan demikian, menurut Mulyasa (2003:
5),
kompetensi yang harus ditanamkan kepada mahasiswa selama mereka berada dalam proses pendidikan di kampus menjadi jelas. Program
pendidikan
di
Perguruan
Tinggi
dibedakan
Pendidikan Akademik (PPA) dan Program Pendidikan Profesi
antara
Program
(P3) atau Program
Pendidikan vokasi (PPV). Dalam kenyataannya di Indonesia, program pendidikan yang murni akademis atau murni program pendidikan profesi hanya terdapat sedikit jumlahnya. Mayoritas program-program studi tersebut merupakan campuran dari PPA dan PPV. Jika suatu institusi pendidikan lebih dominan muatan akademisnya, maka diklasifikasikan sebagai Program Pendidikan Akademik (PPA), sedangkan kalau muatan profesinya lebih dominan, maka institusi pendidikan tersebut diklasifikasikan sebagai Program Pendidikan Vokasi (PPV). PPA mempersiapkan lulusannya dalam penguasaan ilmu dan atau dalam tugastugas penelitian dan pengembangan ilmu, sedangkan PPV lebih diarahkan pada penyiapan
tenaga
profesional
pada
berbagai
bidang
pekerjaan.
PPA
lebih
menekankan segi ilmu, teori, konsep-konsep, sedang PPV lebih menekankan segi aplikasi dan praktek kerja. PPV lebih banyak memberikan segi praktis, sekalipun tetap memberikan segi teoretis tetapi porsinya kecil. Berdasarkan pada orientasi dan dominasi muatan tersebut, model kurikulum yang paling banyak dan cocok 58
diterapkan dalam program-program pendidikan profesi (PPV) di perguruan tinggi adalah
kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum; atau KBK).
Apabila masih diperlukan pemberian materi yang bersifat teoretis terpisah dari kompetensi maka dapat digunakan model Kurikulum Berbasis Ilmu (KBI; science based curriculum) atau disebut pula Kurikulum Subyek Akademis (KSA; subject academic
curriculum).
Proposi
penggunaan
model
KBI/KSA
dalam
program
pendidikan profesi lebih sedikit dibandingkan dengan model KBK. Dalam perkembangan pemikiran mengenai kompetensi, pendekatan ini lebih banyak digunakan untuk Kurikulum vokasional. Perkembangan dunia industri telah menyebabkan adanya tuntutan akan tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan ketika yang bersangkutan diterima di tempat kerja (Tuxworth, 1995:11; Loon, 2001:2; Cinterfor, 2001:1). Menurut Sukmadinata (2004:3), terdapat beberapa pertimbangan yang mendasari mengapa KBK lebih tepat digunakan untuk program pendidikan profesi, yaitu: a. Pendidikan profesi diarahkan pada penguasaan kemampuan, kecakapan, atau keterampilan kerja dalam bidang profesinya, b. suatu bidang profesi memiliki beberapa job atau fungsi pekerjaan, dan dalam suatu job ada beberapa tugas atau peran. Keberhasilan pelaksanaan sesuatu tugas atau peran didukung oleh penguasaan kompetensi yang terkait dengan tugas tersebut, c. KBK lebih menjamin penyiapan tenaga yang sesuai dengan tuntutan bidang pekerjaan. Pada saat sekarang, pendidikan profesi (PPV) yang berkaitan dengan dunia teknologi dan kedokteran
sangat menonjol
dalam memanfaatkan pendekatan
kompetensi ini. Profesi lain seperti penerjemahan, sejarah, hukum, dan lainnya mulai pula memanfaatkan pendekatan ini. Hal ini wajar, karena pengertian kompetensi sangat luas mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu, perlu
59
diingat bahwa dalam banyak bidang selalu terdapat unsur kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik. Kompetensi yang dikembangkan dalam PPV dapat berupa kompetensi teknis, vokasional, atau kompetensi professional. Kompetensi teknis-vokasional disediakan bagi penyiapan tenaga staf, teknis-operasinal, sedangkan kompetenesi professional disediakan bagi tenaga professional. Kompetensi teknis-vokasional dan kompetensi professional memiliki aspek-aspek yang sama, yaitu: perilaku atau performansi, pengetahuan, keterampilan, proses, penyesuaian diri, sikap, dan nilai. Perbedaannya terletak pada kompleksitas dan tingkat kesukarannya. Kompetensi teknis terkait dengan tugas atau pekerjaan yang lebih sederhana, bersifat mekanistis, relatif lebih mudah, sedangkan kompetensi professional berhubungan dengan tugas yang lebih kompleks, lebih problematis dan sukar, melibatkan kemampuan berpikir taraf tinggi dalam proses menganalisis, menilai, menarik keputusan, memecahkan masalah, dan menciptakan hal baru. Jika KBK lebih memungkinkan diterapkan pada pendidikan vokasional, maka bagaimanakah kemungkinan penerapan KBK pada pendidikan akademik? Menurut Syaodih (2004:9), penerapan KBK pada pendidikan akademik sangat dimungkinkan, namun konsep dan rumusannya berbeda dengan KBK pada program pendidikan profesi.
Program
pendidikan
profesi
diarahkan pada penguasaan
kecakapan,
keterampilan kerja, atau performansi kerja. Performansi ini memiliki standar dan kriteria penguasaan sesuai dengan tuntutan dalam bidang pekerjaan atau profesi tertentu. Program Pendidikan Akademik diarahkan pada penguasaan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi konsep-konsep dan teori berkenaan dengan bidang akademik yang dipelajarinya. Pengaplikasian konsep dan teori tersebut masih 60
bersifat terbuka, dapat dalam bidang-bidang pekerjaan, profesi atau vokasi, dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu dan kehidupan masyarakat.
4. Standar Kompetensi Inti
dari
KBK
adalah
"kompetensi"
yang
merefleksikan
kemampuan
mengerjakan sesuatu. Istilah kompetensi diungkapkan dalam Kepmendiknas Nomor 045/U/2002 pasal 1, adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas
di
bidang pekerjaan tertentu.
Puskurnas
(2002:1)
mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Kompetensi itu sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan dasar keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, pengertian
ketidakpastian,
konseptual
yang
dan
hampir
kerumitan sama,
dalam
McAsham
kehidupan. (1981)
Dalam
merumuskan
"Competency is knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which become parts of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive,
affective,
and psychomotor behavior".
61
Pengertian di atas dapat dikatakan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Woif (1995), Debling (1995), Kupper dan Palthe. Wolf (1995:40) mengatakan bahwa esensi dari pengertian kompetensi "is the ablity to perform". Dalam buku yang sama, Debling (1995:80), mengatakan "competence pertains to the ability to perform the activities within a function or an occupational area to the level of performance expected in employment". Kupper dan Palthe mengatakan "competencies as the ability of a student/worker enabling him to accomplish tasks adequately,
to find
solutions and to realize them in work situation. Lebih lanjut Kupper dan Palthe mengatakan "these qualifications should be expressed in terms of knowledge, skills, and attitude ". Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum, Menurut Puskumas (2002:1) adalah sebagai berikut: a) kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; b) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten; c) kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran; d) kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefiniskan secara jelas dan luas dalam suatu stsndar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur. Standar kompetensi merupakan core dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya ketika mendesain kurikulum program studi. Struktur kurikulum dan sebaran
mata kuliah
merupakan penjabaran dan
dibuat berdasarkan standar
kompetensi ini. Dengan kata lain, standar kompetensi merupana bench mark (acuan utama) untuk mengembangkan struktur kurikulum. Standar kompetensi dibuat berdasarkan analisis kebutuhan.
62
Menurut Sukmadinata (2002), kompetensi memiliki cakupan lebiti IsJIa pada keterampilan, karena meliputi a) performansi/kebiasaan, yaitu mempraKK&ggi sesuatu atau melakukan tugas/pekerjaan, b) mengelola berbagai hal dalam suatu kegiatan,
atau berbagai
tugas dalam suatu pekerjaan,
c) menganalisis
dan
memecahkan masalah yang dihadapi, dan c) melaksanakan tanggung jawab dan tuntutan kerja. Lebih jauh dia mengatakan bahwa kompetensi dapat dimaknai sebagai performansi (kecakapan dan kebiasaan) yang mengarah pada penguasaan tuntas a) pengetahuan dasar dan aplikasinya (kompetensi dasar & umum), b) konsep, prinsip dan teori, serta aplikasi dan pengembangannya (kompetensi akademis); c) standar kerja seperti dituntut oleh pekerjaan/profesi (kompetensi vokasional/professional). Performansi sendiri dimaknai sebagai perilaku yang terarah dan bertujuan, yang mencakup proses berpikir, menganalisis, menilai, dan membuat keputusan, sehingga lebih dari apa yang dapat diamati. Dengan demikian, kompetensi, menurut Nana Syaodih, memiliki enam komponen, yakni 1) performansi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) proses, 5) penyesuaian diri, 6) sikap, dan 7) nilai. Ketujuh aspek kompetensi tersebut dapat digambarkan dalam sebuah piramida
Perilaku (Performansi)
g O,
nilai
Sikap
Gambar 2.2 Piramida Aspek-aspek Kompetensi (Sumber: Sukmadinata, 2004:4) 63
Menurut Sukmadinata (2004:4), perilaku atau performansi menempati puncak piramida, karena menunjukkan aspek yang paling nampak (overt) dan dapat diamati atau diukur. Aspek pengetahuan, keterampilan, proses, dan penyesuaian diri berada di bawah perilaku (performansi). Pengetahuan merupakan aspek yang tidak nampak (covert), tetapi aktualiasinya terwujud pada perilaku. Keterampilan memiliki dua sisi, yaitu yang nampak (overt) dan
tidak yang
nampak (covert); keterampilan yang nampak berupa keterampilan motorik dan keterampilan sosial tertentu, sedangkan keterampilan yang tidak nampak terutama berupa keterampilan intelektual dan keterampilan sosial lainnya. Perwujudan dari keterampilan-keterampilan tersebut dalam perilaku umumnya dapat diamati atau diukur. Sebagaimana keterampilan, penyesuaian diri juga memiliki yang tersembunyi dan juga sisi yang nampak. Sikap dan nilai merupakan aspek kompetensi yang hampir seluruhnya tidak nampak,
keduanya
mendasari
aspek-aspek
lainnya,
berintegrasi dengan aspek-aspek tersebut bisa nampak dalam perilaku. Kompetensi dan performansi bidang akademik merupakan aplikasi
dari
konsep dan teori. Penguasaan konsep dan teori lebih banyak menyangkut bidang kognitif, bidang intelektual atau kemampuan berpikir. Oleh karena itu, standar dan kriteria kompetensi dan performansinya juga lebih mengarah kepada aspek-aspek bidang kognitif, intelektual atau berpikir. Bidang afektif dan psikomotor juga termasuk di dalamnya, tetapi porsinya relative lebih kecil. Aplikasi suatu konsep atau teori dalam kenyataan (pekerjaan atau kehidupan) akan terlihat dalam bentuk performansi berupa rangkaian keterampilan sosial dan atau
motorik
melakukan
sesuatu.
Dengan 64
demikian
akan
nampak
aspek
psikomotornya. Performansi (sebagai aplikasi dari konsep atau teori) yang berbentuk rangkaian katerampilan sosial dan motorik apakah dikerjakan dengan penuh kesungguhan, ketekunan dan ketelitian atau tidak, hal ini terkait dengan bidang afektif, terutama sikap, minat, dan nilai. Dengan demikian, bidang afektif juga terkait di dalam aplikasi konsep dan teori. Aplikasi konsep dan teori dalam pelaksanaan kurikulum di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Sejak digunakannya kurikulum 1975, kurikulum tersebut sebenarnya sudah diarahkan pada pemaduan teori dan konsep. Dalam penerapannya tidak maksimal karena menghadapi banyak kendala. Dalam kurikulum tersebut, rumusan tujuan, yang seharusnya juga diikuti dengan model pembelajarannya, telah menggunakan tahapan-tahapan berpikir yang mengacu pada taksonomi Bloom dkk, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tahap-tahap berpikir Bloom ini telah disempurnakan oleh Anderson dan Krathwohl (2001), menjadi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis (sintesis),
evaluasi, dan
kreativitas. Penerapan KBK dalam program pendidikan akademik, lebih diarahkan kepada menegaskan kembali hal-hal yang diabaikan dalam penerapan kurikulum 1975 tersebut, yaitu aplikasi, analisis, sistensis, evaluasi, dan kreativitas. Kurikulum dan pembelajaran diarahkan kepada penguasaan kompetensi atau kemampuan berpikir tahap tinggi. Proses pembelajaran tidak berhenti pada penguasaan pengetahuan (ingatan) dan pengertian (pemahaman), tetapi dilanjutkan kepada tahapan yang lebih tinggi, yaitu aplikasi, analisis, sistensis, evaluasi, dan kreativitas.
65
C. KARAKTERISTIK DAN PRINSIP-PRINSIP KBK 1. Karakteristik KBK Puskurnas (2002:3) menyebutkan bahwa KBK merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu 1) kurikulum dan hasil belajar, yang memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan; 2) penilaian berbasis kelas, yang memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui idetifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai, penyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemampuan belajar siswa dan pelaporan; 3) kegiatan belajar mengajar, yang memuat gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik; dan 4) pengelolaan
kurikulum
berbasis sekolah, yang memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula
dengan
gagasan
pembentukan jaringan
kurikulum
(curriculum
council),
pengembangan perangkat kurikulum (a.l. silabus), pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum. Puskurnas
(2002:1) menyebutkan perihal ciri-ciri dari
KBK,
yaitu
1)
menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; 2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; 3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; 4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber lainnya yang
66
memenuhi unsur edukatif; dan 5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Gambar 2.3 Komponen Kurikulum Berbasis Kompetensi (Sumber: Puskurnas, 2004:3)
Susilana
(2004:11)
menyebutkan bahwa
secara
umum
KBK
memiliki
karakteristik sebagai berikut; 1) menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi (attainment targets) daripada penguasaan materi; 2) mengakomodasi keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidian yang tersedia; 3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengambangkan dan melaksanakan program-program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. Dari rumusan KBK dan karakteristik KBK di atas, maka dapat dikatakan bahwa KBK ini memiliki empat karakteristik, yakni:
67
a. KBK didasarkan hanya pada satu hasil pendidikan dan pelatihan yang spesifik, diungkapkan dengan jelas dalam bentuk kompetensi yang telah dimodifikasi
dari pekerjaan yang harus dikerjakan
oleh pekerja, dan
dilatihkan kepada peserta didik. Kompetensi ini dibuat dalam berbagai dalam bidang pekerjaan dan merupakan rumusan yang jelas berupa kemampuan apa yang akan dimiliki siswa setelah menyelesaikan program pendidikan dan pelatihan; b. KBK menyediakan kegiatan belajar, materi dan media pendidikan yang berkualitas tinggi, dirancang dengan cermat, pengajaran berpusat pada siswa yang dirancang untuk membantu para siswa untuk menguasai setiap unit pengajaran. Materinya disusun agar setiap siswa dapat menyelesaikan program pengajaran sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing dan dapat mengulang apabila dibutuhkan untuk belajar secara efektif. Bagian tak terpisahkan dari pengajaran ini adalah feedback program
pengajaran
dengan
memberi
secara periodik di seluruh
kesempatan
bagi
siswa
untuk
mengoreksi penampilan mereka ketika proses sedang berjalan. c. KBK menyediakan waktu yang cukup bagi siswa untuk sepenuhnya menguasai suatu unit pelajaran, sebelum diijinkan untuk melanjutkan pada unit pelajaran berikutnya. d. KBK menuntut setiap siswa untuk mempraktikan penguasaan materi atau kemampuannya untuk setiap unit pelajaran di dalam situasi lingkungan kerja, sebelum mendapatkan nilai atas pencapaian unit pelajaran itu dan penampilan kerjanya dibandingkan dengan standar tertentu yang telah ditetapkan. Menurut
pendapat McAshan (1981:30), "This, the minimum ingredients
which must be considered essensial in order for a program to be competencybased are (!) the selection of appropriate competencies,
2) the specification
of appropriate evaluation indicators to instructional delivery system ".
2. Prinsip-Prinsip KBK Blank (1982: 12-16) menjelaskan mengenai berbagai prinsip yang melekat dalam kurikulum dengan competency based, yaitu: Prinsip pertama, "any student in a training program can master the tasks at a high level of mastery (95
to
100% proficiency)
if provided with high quality
instruction and sufficient time" [setiap siswa dalam suatu program pelatihan dapat menguasai sebagian besar pelajaran pada penguasaan yang tinggi, apabila disediakan pengajaran yang berkualitas tinggi dan waktu yang mencukupi] (Blank, 1982:12). Prinsip ini merupakan dasar filosofi competency based dan berlaku umum untuk semua mata kuliah. Prinsip kedua, "A student's ability for learning a task need not predict how well the student learns (he task" suatu
pelajaran,
tidaklah
[kemampuan seorang siswa dalam mempelajari
merupakan
perkiraan
seberapa
baik
siswa
dapat
mempelajari pelajaran yang akan dihadapinya] (Blank, 1982:12). Dengan prinsip ini, variasi kemampuan siswa tidak akan menjadi faktor penghambat bagi penguasaan kompetensi tertentu secara merata. Siswa dengan kemampuan belajar yang rendah dapat mencapai tingkat penguasaan/hasil belajar yang sama dengan siswa yang berkemampuan tinggi. Faktor pembedanya adalah faktor waktu yang diperlukan dan intensitas bantuan untuk belajarnya. Kemampuan siswa hanya berpengaruh pada
69
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar, bukan seberapa banyak yang dapat dipelajari. Prinsip ketiga, "Individual student differences in levels of mastery of a task are caused primaly by errors in students" (Blank,
the training environment, not by characteristics of the
1982:14). Prinsip ini menyatakan bahwa perbedaan dalam
banyaknya materi yang dipelajari oleh siswa, tidak disebabkan oleh kualitas bawaan yang dimiliki oleh siswa, akan tetapi disebabkan dalam sistem pendidikan. Semakin "ideal" suatu sistem pendidikan, semakin sedikit perbedaan yang timbul dalam pengajaran, dan sebaliknya. Prinsip keempat, "Rather than being fast or slow learners, or good or poor learners, most students of learning,
become very similar to one another in learning ability, rate
and motivation for further
learning
when provided with favorable
learning conditions" (Blank, 1982:14). Prinsip ini lebih mengutamakan kesamaan siswa yang cepat dan siswa yang lambat atau siswa yang baik atau siswa yang buruk. Di dalam pendekatan competency based, sangat diharapkan agar setiap siswa tidak hanya dapat melakukan suatu pekerjaan akan tetapi juga dapat menjadi unggul. Prinsip kelima, "We should focus more on differences in learning and less on differences in learners" (Blank, 1982:15). Seringkah'
dalam pembelajaran, para
siswa dibedakan, dikelompokkan, atau dikategorikan berdasarkan karakteristik siswa, dan kurang perhatian pada seberapa baik mereka belajar. Pada saat seorang siswa berhasil dan lainnya gagal, pendidik secara tergesa dan simplistis melihat perbedaan siswa itu dilihat dari perbedaan umurnya, perbedaan motivasi, dan perbedaan status sosial. Sangat jarang, pengamatan kritis diarahkan pada proses pengajaran sebagai sebab dari perbedaan hasil belajar itu, dan mencoba untuk 70
mengoreksinya
secara
sistematis.
Pendekatan
competency-based
tidak
terlalu
memusatkan perhatiannya pada karakteristik siswa, dan lebih menyesuaikan proses belajar untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari setiap siswa. Prinsip keenam, "What is worth ieaching is worth learning" (Blank, 1982:15). Dengan prinsip ini, pemikiran competency based
menyatakan bahwa kegagalan
seorang siswa dalam mencapai penguasaan itu merupakan masalah bagi lembaga pendidikan (sekolah) dan guru. Pada saat siswa gagal dalam belajar, semua yang terlibat dalam
proses pembelajaran merasa prihatin,
dan
segera
melakukan
semaksimal mungkin memperbaiki kondisi tersebut. Prinsip ketujuh, "The most important élément in the teaching-learningprocess is the kind and quality of instruction experienced by student" (Blank, 1982:16). Dalam prinsip ini tersirat bahwa pengajaran yang diberikan pada siswa dalam pendekatan
competency-based,
dipandang
sebagai
sesuatu
yang
luar
biasa
pentingnya dalam proses belajar mengajar. Rancangan pengajaran dikembangkan dengan cermat, diujicoba, dan secara berkelanjutan direvisi berdasarkan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Unit pengajaran dirancang secara sistematis, dengan memperhatikan elemen-elemen penting meliputi, 1) siswa disajikan sejenis petunjuk, baik berupa audio dan atau visual; 2) siswa mempraktekan, menerapkan, merespon, atau melakukan sesuatu sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan; 3) pada saat siswa berpartisipasi, secara periodik siswa didorong untuk memastikan bahwa hal yang benar akan terus berlanjut dan hal yang tidak benar tidak akan dilanjutkan. Akhirnya feedback dan koreksi akan membantu siswa untuk mengetahui seberapa baik apa yang mereka lakukan dan apa yang perlu dikembangkan untuk mencapai tingkat penguasaan. 71
Puskurnas (2002:2) menyebutkan bahwa penerapan dan pengembangan KBK di Indonesia mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, keimanan, nilai, dan budi pekerti luhur. Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat berpengaruh pada sikap dan arti kehidupannya. Keimanan, nilai-nilai, dan budi pekerti luhur perlu digali, dipahami, dan diamalkan oleh siswa Kedua, penguatan integritas nasional. Penguatan integritas nasional dicapai melalui pendidikan yang memberikan pemahaman tentang masyarakat Indonesia yang majemuk dan kemajuan peradaban bangsa Indonesia dalam tatanan peradaban dunia yang multikuftur dan multibahasa. Ketiga, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Keseimbangan pengalaman belajar siswa yang meliputi etika, logika, estetika, dan kinestetika sangat diperhitungkan dalam penyusunan kurikulum dan hasil belajar. Keempat,
kesamaan
memperoleh kesempatan.
Penyediaan
tempat
yang
memberdayakan semua siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan. Seluaruh siswa dari berbagai kelompok seperti kelompok kurang beruntung secara ekonomi dan sosial yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya. Kelima, abad pengetahuan dan teknologi informasi. Kemampuan berpikir dan belajar dengan mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah dan penuh ketidakpastian merupakan kompetensi penting dalam menghadapi abad ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
72
A
Keenam, pengembangan keterampilan hidup. Kurikulum perlin n£ema^k$an y f . y
unsur keterampilan hidup agar siswa memiliki keterampilan, sikap,i\dan"p«ri^ii' ^/ /
adaptif, kooperatif, dan kompetitif dalam menghadapi tantangan dañ"^fiftitetan--' '' kehidupan sehari-hari secara efektif. Kurikulum juga perlu mengintegrasikan unsurunsur penting yang menunjang kemampuan untuk bertahan hidup. Ketujuh, manusia
untuk
belajar sepanjang hayat. mengembangkan,
Pemikiran berlanjut
menambah
kesadaran,
dan
sepanjang
hidup
selalu
belajar
memahami dunia yang selalu berubah dalam berbagai bidang. Kemampuan belajar sepanjang hayat hanya dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan non-formal serta pendidikan alternative yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Kedelapan, berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif. Upaya memandirikan siswa untuk belajar, bekerja sama, dan menilai diri sendiri sangat perlu diutamakan agar siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya. Penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam rangka pencapaian upaya tersebut. Kesembilan, pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Semua pengalaman
belajar dirancang secara berkesinambungan mulai dari TK sampai PT. pendekatan digunakan dalam mengorganisasikan pengalaman belajar berfokus pada kebutuhan siswa yang bervariasi dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Keberhasilan pencapaian pengalaman belajar menuntut kemitraan dan tanggung jawab bersama dari siswa, guru, sekolah, orang tua, perguruan tinggi, dunia usaha dan industri, dan masyarakat.
73
D. PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI 1. Dimensi Pengembangan Pengertian Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan, sebab di antara bidangbidang pendidikan (manajemen pendidikan, kurikulum, dan bimbingan siswa), kurikulum merupakan bidang yang paling langsung berpengaruh terhadap hasil pendidikan. Dalam rumusan lain, kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi peserta didik. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan atau ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsur masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman bagi para pelaku pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan peserta didik, mencapai tujuan yang dicitacitakan peserta didik, keluarga, maupun masyarakat (Sukmadinata, 2002:150). Dalam pengembangan kurikulum, minimal dapat dibedakan antara desain kurikulum atau kurikulum tertulis (design, written, ideal, official, formal curriculum) dan implementasi kurikulum atau kurikulum perbuatan (curriculum implementation, actual curriculum, real curriculum, curriculum in actiori). Desain kurikulum dapat bersifat menyeluruh, mencakup semua bentuk rancangan dan komponen kurikulum seperti kerangka dasar dan struktur kurikulum, sebaran mata pelajaran, silabus, satuan pelajaran (SAP), rancangan pengembangan media, sumber dan alat evaluasi, tetapi bisa juga hanya berkenaan dengan salah satu bentuk desain atau rancangan saja, umpamanya silabus atau SAP. Demikian juga dengan implementasi kurikulum, dapat meliputi seluruh kegiatan
penerapan
rancangan,
seperti 74
kegiatan
pengajaran/pembelajran,
pembimbingan, pelatihan, kegiatan ko
dan ekstra-kurikuler,
field
trips atau
widyawisata, penelitian, pengabdian masyarakat, pengerjaan tugas-tugas, ulangan, ujian sampai dengan wisuda, atau hanya berkenaan dengan salah satu kegiatan saja seperti pengajaran atau pembelajaran. Dengan demikian merupakan hal yag wajar apabila dalam masyarakat ada yang memandang kurikulum dalam arti luas (semua komponen rancangan dan implemetasi) atau secara sempit, rancangan saja, itupun dibatasi lagi pada silabus. Menurut Hasan (2004:3), terdapat enam dimensi pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi, yairu 1) pengembangan ide dasar untuk kurikulum, 2) pengembangan program, 3) silabus, 4) satuan acara perkuliahan, 5) pengalaman belajar, dan 6) hasil. Lebih lanjut, Hasan (2003:3) menyatakan bahwa kelima dimensi kurikulum pertama terkait satu sama lainnya dan dikembangkan berdasarkan suatu perencanaan tertentu. Sedangkan dimensi keenam yaitu hasil belajar adalah sepenuhnya suatu konsekuensi yang ditentukan oleh kurikulum setelah berhubungan dengan unsur pendidik, mahasiswa, dan lingkungan belajar tertentu. Dari dimensi kurikulum sebagai hasil ini, semua pemikiran kurikulum sebagai kesatuan konseptual harus dibuktikan secara empiris. Pembuktian tersebut ditekankan pada kajian apakah implementasi kurikulum tersebut menghasilkan seperti yang diinginkan atau tidak.
75
0©
Hasil
Proses Dokumen Kurikulum
!=>i
Sosialisasi
Silabus
EVALUASI
Implementasi Kurikulum
Konstruksi Kurikulum
Evaluasi Kurikulum
Gambar 2.4 Dimensi Kurikulum (Sumber: Hamid Hasan, 2004:3)
Setiap usaha pengembangan kurikulum tentunya tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
evaluasi.
Evaluasi
ini
merupakan
dimensi
keenam
dalam
proses
pengembangan kurikulum. Evaluasi, pertama-tama diarahkan untuk mengevaluasi pengembangan dimensi ide dan program kurikulum. Evaluasi tahap ini dilakukan oleh seseorang atau tim yang merupakan bagian dari tim pengembang kurikulum tetapi bukan orang yag mengembangkan dimensi-dimensi kurikulum itu. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan pokok pikiran/ide dibandingkan dengan beberapa kriteria, ketepatan dan keterkaitan internal dan eksternal berbagai komponen program yang dikembangkan, kejelasan pedoman serta keterbacaan
76
keseluruhan kurikulum. Tahap kemudian, evaluasi diarahkan untuk mengevaluasi silabus
dan
SAP.
Evaluasi
tahap
ini
dilakukan oleh
dosen/pengajar
yang
bertanggungjawab dalam pengembangan dimensi walaupun ia dapat saja meminta jasa orang lain untuk melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukannya. Menurut Hasan (2004:4), keenam dimensi itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu 1) perencanaan kurikulum, 2) implementasi kurikulum, dan 3) evaluasi kurikulum. Dimensi pertama, yaitu perencaanaan kurikulum, berkaitan dengan pengembangan pokok pikiran/ide kurikulum yang diambil oleh lembaga pendidikan. Sedangkan implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan (lembaga pendidikan/kelas), terutama yang dilakukan dosen. Terakhir adalah evaluasi kurikulum, yaitu untuk menilai apakah kurikulum tersebut memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada masalah
lain
baik
yang
berkenaan
dengan
salah
satu
dimensi
ataukah
keseluruhannya. Dalam konteks ini, evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk menunjukkan kinerja dan prestasinya. Keberhasilan pendidikan bukan saja ditentukan oleh ketepatan pemilihan model desain kurikulum (model kurikulum), dan implementasinya, tetapi juga oleh kelengkapan,
kualitas
dan
ketepatan
penggunaan faktor-faktor pendukungnya
(sumber daya pendidikan). Faktor-faktor pendukung implementasi kurikulum yng utama adalah 1) unsur personil seperti pimpinan, 2) dosen/instrruktur, 3) staf administrasi, 4) siswa/peserta pelatihan, 5) sarana-prasrana dan peralatan pendidikan, 6) media dan sumber belajar, 7) lingkungan dan iklim lembaga/diklat, serta 8) manajemen dari lembaga diklat sendiri. 77
2. Landasan-Landasan Pengembangan Kurikulum Pengembangan kurikulum pada dasarnya ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia (human resources development). Oleh karena itu, menurut Syaodih (2002:38-72), penyusunan dan
pengembangan kurikulum membutuhkan
landasan-landasan yang kuat dan mendasar, yang berkaitan dengan pandangan filosofis dan psikologis, disesuaikan dengan kondisi dan kemajuan sosial budaya, ilmu dan teknologi. a. Landasan Filosofis Pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran sebuah kurikulum, maka pengembangan Kurikulum harus mengenal benar landasan filosofis, kekuatan, dan kelemahan pendekatan kurikulum, termasuk pendekatan kompetensi, dalam menjawab tantangan jaman serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Quillen (2001) mengatakan, "the first part of the process of integration is to understand the
theoritiucal and practical basis of a competency-based educational
system." Pendapat Quillen tesebut sejalan dengan pendapat Zais (1976:105) yang menekankan filsafat dan kurikulum memiliki hubungan erat, yang tidak terpisahkan, "Philosophy and curriculum in a very real sense are variant approaches to the same problem. Both are concerned with the central question: What can man become? The only difference is
that philosophy asks the question "in macrocosm-Man", while
curriculum asks "in microcosm-men". Menurut Oliva (1992:193), terdapat empat aliran filsafat pendidikan dominan yang dianut dalam pengembangan desain Kurikulum, yaitu Reconstructionism, Progressivism, Essentialism, dan Perenialisme.
Edecficisrn
78
Progressivism
Essenlialism
Keterangan. Sebagian ahli kurikulum berupaya untuk mencampurkan keempat aliran filsafat tersebut. Usaha ini disebut eelectitism.
Gambar 2.5 Aliran Filsafat Kurikulum
Model Kurikulum Berbasis Ilmu (KBI) dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki landasan filosofis yang sama, yaitu berakar pada pemikiran filsafat Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Secara operasional pemikiran ketiga filosof tersebut dikembangkan oleh aliran pemikiran empirisme, yang dimotori oleh Francis Bacon (pada abad ke-16) dan John Locke (pada abad ke-19) (Miller dan Seiler, 1985:1718). Tranformasi empirisme Bacon dan Locke ini, muncul dalam aliran pemikiran filsafat analitik, atomisme logis, positivisme logis, atau empirisme ilmiah, yang salah satu tokohnya adalah Ludwig Wittgenstein (Miller dan Seiler, 1985:19). Positivisme atau empirisme ilmiah banyak mendasari disiplin ilmu, terutama natural science, dengan demikian pada gilirannya positivisme dan empirisme ilmiah banyak mempengaruhi KBI. Filsafat analitik dan atomisme logis banyak mendasari perkembangan
Teknologi
Pendidikan
(educational technology
atau
educational
system) sebagai salah satu bidang dan sekaligus aliran pendidikan yang berkembang pesat akhir-akhir ini. KBK merupakan model yang dikembangkan di atas konsepkonsep Teknologi Pendidikan, dan banyak terpengaruh oleh pemikiran filsafat analitik dan atomisme logis. 79
Konsep pendidikan yang berlandaskan pemikiran-pemikiran Positivisme atau empirisme logis, lebih menekankan pada penguasaan bahan ajaran. Bahan ajaran ini diambil dari disiplin-disiplin ilmu. Bahan ajaran yang akan menjadi isi kurikulum tidak perlu disusun atau dikembangkan oleh dosen atau pengembang kuirkulum, karena sudah dikembangkan oleh para ahli sebelumnya. Teknologi pendidikan yang merupakan induk dari pendekatan kompetensi (termasuk KBK), lebih mengacu pada filsafat analitis atau atomisme logis. Pemikiran dasar filsafat ini memiliki pandangan yang sama dengan positivisme atau empirisme, yakni memandang realitas absolut sebagai sesuatu yang inheren dalam kehidupan dunia ini, pengetahuan absolut ditemukan melalui penginderaan dan pemikiran. Menurut pemikiran analitis-atomistis ini, keseluruhan realita terbagi atau dapat dibagi atas bagian, dan bagian terbagi atas bagian-bagian yang lebih kecil, sampai pada atom-atom yang terbagi lagi atas elektron dan proton. Kehidupan ini, aktivitas, dan energi tidak lain terbentuk dari hubungan antara bagian-bagian kecil, antara atom-atom, antara proton dan electron. Bila seseorang menguasai bagian-bagian, atau hubungan antar bagian, maka dia akan menguasai keseluruhan. Dalam konsep teknologi pendidikan, tujuan pendidikan, bahan ajaran, kegiatan pengajaran dianalisis atau dirinci menjadi bagian-bagian yang sangat kecil, yang dapat diamati atau diukur. Oleh karena itu, dalam konsep ini dikenal tujuan pembelajaran khusus (instructional objectives) sebagai rumusan tujuan yang spesifik, rincian bahan yang juga sangat rinci (programmed instruction), bentuk soal-soal ujian yang sangat rinci (objective test). Model pengembangan pembelajaran seperti itu banyak dikembangkan oleh Skinner beserta para pengikutnya.
80
Dalam pengembangan KBK, pada prinsipnya sama. Suatu job, jabatan atau pekerjaan dan tugas penguasaan sejumlah kompetensi, kompetensi besar diurai menjadi kompetensi yang lebih kecil, sampai perilaku-perilaku. Pembelajaran diarahkan pada penguasaan perilaku tersebut. Apabila sejumlah perilaku yang merupakan
suatu
sub kompetensi dikuasai,
sejumlah
sub
kompetensi
yang
merupakan bagian dari suatu kompetensi dikuasai, dan sejumlah kompetensi yang menunjang suatu tugas dan job dikuasai makan dia akan menguasai job tersebut. Kalau dalam pengembangan programnya bersifat analitis, dalam implementasinya bersifat mekanistis-atomistis, maka dalam penyimpulan hasilnya bersifat sintetis.
b. Landasan Psikologis Kurikulum
dikembangkan
dengan
memperhatikan
segi-segi
dan
perkembangan psikologis manusia yang memiliki keunikan dan dinamika tersendiri. Para pendidik, instruktur, guru, dosen, dan pengembang kurikulum perlu memahami keunikan dan dinamika perkembangan psikologis peserta didik. Menurut Syaodih (2003),
terdapat
dua hal
yang perlu dipahami
tentang keunikan
dinamika
perkembangan peserta didik dalam pengembangan kurikulum, yaitu a) bagaimana karakteristik perkebangannya (landasan Psikologi Perkembangan), dan b) bagaimana peserta
didik
belajar
(landasan
Psikologi
Belajar).
Psikologi perkembangan
menjelaskan perkembangan karakteristik dan kemampuan-kemampuan individu mulai masa bayi sampai dewasa. Sedangkan psikologi belajar mengarahkan berbagai konsep-konsep belajar yang cocok untuk peserta didik yang umumnya termasuk kategori usia dewasa muda dan dewasa.
81
Antara KBK dengan KBI tidak ada perbedaan konsep perkembangan yang mendasarinya. Konsep perkembangan yang sama berlaku bagi kedua model pengembangan kurikulum tersebut. Konsep perkembangan yang sama berlaku bagi model pengembangan KBI dan KBK. Peserta didik (mahasiswa) pada jenjang perguruan tinggi umumnya adalah orang dewasa, yang berada pada usia akhir masa adoselen (18-21 tahun), masa dewasa muda (22-35 tahun), sampai dewasa (35-55 tahun). Pada masa adoselen akhir dan dewasa muda, individu telah mencapai kematangan hampir pada seluruh aspek kepribadian (fisik, sosial, emosional, nilai, dan intelektual). Perkembangan kondisi dan kemampuan fisik dan gerak umumnya telah
mencapai
titik
optimal pada masa
ini,
bahkan beberapa
segi
telah
memperlihatkan penurunan. Perkembangan
sosial,
terutama
kemampuan
bekerjasama,
memimpin,
berkomunikasi, aspek emosional dan nilai umunya masih terus berkembang sampai akhir masa dewasa, segi-segi tertentu tidak berkembang lagi setelah usia 50 tahun. Kemampuan berpikir hampir sama dengan kemampuan sosial. Tingkat kecerdasan, misalnya,
disinyalir
oleh
beberapa ahli,
tidak
akan
berkembang
lagi
atau
pertambanhannya sangat kecil setelah masa adoselen. Di pihak lain kualitas dan ketajaman berpikir masih terus berkembang, sesuai dengan tingkat pendidikan yang diikuti serta bidang pekerjaan yang ditekuninya. Kemampuan mengaplikasikan kecakapan-kecakapan
berpikir tahap tinggi,
seperti
berpikir deduktif-induktif,
berpikir analitis-sistetis, berpikir evaluatif, divergen, pemecahan masalah, dan kreativitas bagi orang-orang yang bergerak di bidang ilmu dan atau birokrasi dan bisnis menengah ke atas berkembang sampai menjelang akhir masa dewasa. Masa dewasa muda merupakan masa membina keluarga dan membina karir. Kemampuan82
kemampuan yang berkaitan dengan dua hal itu masih terus berkembang, pemahaman tentang perkembangan karakteristi dan kemampuan peserta didik sangat diperlukan dalam pengembangan kurikulum, terutama dalam memilih isi kurikulum, proses pengajaran serta evaluasi hasil belajar. Pengembangan KBK dan KBI memiliki landasan psikologis yang berbeda. KBI atau KSA lebih banyak didasari oleh Psikologi Daya. Menurut Psikologi ini, individu (peserta didik atau mahasiswa) memiliki sejumlah daya, yaitu daya pikir, ingat, khayal, gerak, dan lain-lain. Proses belajar merupakan upaya melatih dayadaya tersebut agar berkembang setinggi-tingginya. Pendidikan atau pengajaran lebih menekankan segi intelektual. Dalam perkembangan selanjutnya model pengajaran tidak hanya berkenan dengan pengembangan daya-daya (pikir) yang sederhana atau bertahap rendah (lower level thinking) tetapi juga daya pikir yang lebih kompleks atau bertahap tinggi (higher level thinking) seperti aplikasi, analisis, sisntesis, generalisasi, evaluasi, pemecahan masalah, dan kretaivitas. KBK didasari oleh psikologi Behaviorisme, perilaku individu tidak lain dari hubungan antara stimulus (S) dengan respon (R):
guru bertanya (S)-* murid
menjawab (R). Konsep S-R ini disebut teori asosiasi atau koneksionisme (association atau Connectionism theory), dalam perkembangan selanjutnya berkembang teori pengkondisian (conditioning theory). Dalam konsep ini sebelum stimulus diberikan pengkondisian, kalau hal itu dilakukan secara berulang-ulang maka respon dapat terjadi walaupun stimulusnya tidak ada, hanya ada pengkondisian saja. Bel dibunyikan—waktu menunjukkan pukul tujuh —* siswa masuk kelas, walaupun waktu belum menunjukkan pukul tujuh bila bel dibunyikan maka siswa masuk kelas. Bunyi bel merupakan pengkondisian. 83
Selain
pengkondisian,
dalam
Behaviorisme
dikenal
juga
penguatan
(reinforcement). Penguatan tidak diberikan pada stimulus, tetapi kepada respon. Mahasiswa belajar sungguh-sungguh (S) —> dia dapat menjawab soal-soal dengan baik (R) karena dapat menjawab soal dengan baik maka dosen memberi nilai A atau memberi hadiah. Nilai A atau hadiah merupakan penguatan (reinforcement). Kalau hal ini terus berlangsung, maka terjadilah keadaan, mahasiswa tidak belajar untuk menjawab soal dengan baik tetapi untuk mendapat nilai atau hadiah. Dalam pengajaran yang mengacu pada konsep Behaviorisme, maka ganjaran, pujian, hadiah di satu sisi dan peringatan, teguran dan hukuman di sisi lain sangat mendapat perhatian, seringkah dijadikan alat pendidikan.
c. Landasan Sosial Budaya Hughes, ketika memberi pengantar buku Curriculum Development Design (1993 :v) karya Murray Print, menyatakan bahwa kurikulum merupakan konstruk dari sebuah masyarakat. Lebih jauh dia mengatakan: "At one level, curriculum is an idea, a construct of society. It is a statement of what a society values: what it want to continue, what it wants to change, what it wants to renew. Of course, even this conception of society as having an entity, a capacity to make choices, is continuous". Dari pernyataan Huges tersebut, maka program pendidikan atau kurikulum perlu
disusun
dan
diimplementasikan
dengan
memperhatikan
kondisi
dan
perkembangan sosial budaya peserta didik. Hal ini karena program pendidikan profesional tersebut ditujukan untuk mempersiapkan para mahasiswa yang berasal dari berbagai lingkungan sosial budaya, untuk menguasai ilmu, pengetahuan, dan kemampuan agar dapat hidup dan berkerja pada berbagai lingkungan sosial budaya
84
pula. Dalam konteks Indonesia, program pendidikan dan desain k u t o l « ^ ^ ^ ^ ^ ^ memperhatikan keragaman ras, etnik, agama, kondisi geografis, dan sosia Keragaman geografis memiliki pengaruh pada pertumbuh-kembangan pola hidup dan kehidupan, cara bekerja dan berinteraksi, nilai sosial dan budaya. Interaksi dan komunikasi antar etnik, wilayah, pulau, ras, agama, penyampaian berbagai informasi melalui media cetak, gambar dan elektronika, secara gradual seringkah' mengubah pola-pola kehidupan dan nilai-nilai sosial budaya. Perubahan tersebut ada kalanya sejalan dengan nilai-nilai dasar yang ada dan membawa dampak positif, tetapi ada kalanya tidak sejalan dan membawa dampak negatif. Kecepatan perkembangan tidak selalu merata, di kota-kota besar umumnya lebih cepat dibandingkan dengan di kota kecil dan pedesaan, sehingga yang terjadi adalah keragaman, tetapi juga dapat muncul dalam bentuk kesenjangan yang mencolok. Karena adanya komunikasi yang begitu intensif, variatif, dan dinamis, maka perbauran nilai dan perubahan pola kehidupan seringkah berjalan sangat cepat dan tidak jarang menimbulkan frustasi dan konflik. Perkembangan kondisi dan nilai-nilai sosial budaya, bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dan dipengaruhi oleh bidang-bidang lain, seperti ekonomi, politik, hukum, bahkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Kondisi hukum dan politik yang stabil menjadi pijakan bagi pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan ekonomi yang tumbuh pesat menjadi landasan bagi pertumbuhan dan pengalihan ilmu dan teknologi. Kondisi hukum dan politik yang stabil, pertumbuhan ekonomi yang pesat akan berpengaruh pada kemapanan kondisi sosial dan nilai-nilai masyarakat.
Sebaliknya
ketidakmapanan
85
hukum
dan
gejolak
politik,
yang
menimbulkan
berbagai
hambatan
pertumbuhan
ekonomi,
akan
menimbulkan
berbagai kerawanan sosial dan konflik nilai. Para pengembang
kurikulum perlu
memperhatikan
keragaman
kondisi,
kecendrungan dan kecepatan perubahan, dinamika masyarakat, serta gejolak-gejolak sosial budaya yang ada dan terjadi di masyarakat. Pembangunan selalu terkait dengan aspek-spek sosial budaya. Aspek-aspek sosial budaya ini dapat menjadi isi kurikulum, bahan kajian yang melatarbelakangi berbagai segi pembangunan, perencanaan serta pemecahan masalah-masalah pembangunan. Aspek-aspek sosial budaya juga dapat dijadikan pegangan dalam pengelompokan mata kuliah, pada tingkat program studi, konsentrasi, atau elektif. Pengelompokan mata kuliah selain didasarkan atas dukungan keilmuan, kompetensi juga penguasaan aspek-aspek sosial budaya yang dipersyaratkan/diperlukan dalam suatu profesi/keahlian.
d. Landasan Perkembangan Ilmu pengetahuan, Teknologi, dan Seni Sejak lama pendidikan berkaitan dengan pelestarian dan pewarisan ilmu dan pengetahuan. Sebenarnya juga dengan teknologi, tetapi hal sepertinya terabaikan, karena adanya persepesi yang kurang tepat tentang teknologi. Bahwa teknologi hanya berkenaaan dengan teknologi hardware dan tenologi tinggi. Teknologi juga mencakup
software
dan
teknologi
sistem
(system
technology)
dan
teknologi
sederhana. Teknologi pada dasarnya dapat dan telah diajarkan sejak dini. Pengembangan kemampuan professional membutuhkan dukungan ilmu dan teknologi. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi isi dari kurikulum, tetapi juga penunjang proses pengajaran. Isi KBI (atau KSA) adalah ilmu terutama ilmu yang berifat teoretis, sedangkan isi KBK adalah kompetensi berupa penguasaan
86
teknologi dan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan dan seni. Perencanaan program pendidikan dan penyusunan desain kurikulum yang baik harus didasarkan atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip ilmu atau menggunakan model teknologi (sistem) tertentu, sehingga program atau desain kurikulum tersebut tersusun secara sistematis, relevan dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Implementasi
program
pendidikan
atau
desain
kurikulum juga
harus
memperhatikan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan seni serta didukung oleh teknologi yang sesuai, sehingga dapat terlaksana secara efisien dan efektif Isi dari program pendidikan dan KSA diambil dari bidang atau disiplin ilmu yang sesuai, diseleksi, dan dikemas sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik yang akan mempelajarinya. Isi KBK disusun dari jabaran suatu job dan kompetensi yang merupakan penerapan dari ilmu dan atau teknologi. Pada KBI (KSA) dan KBK, ilmu dan teknologi memegang peranan penting. Pada KBI, isinya adalah ilmu-ilmu teoretis, sedang pada KBK isinya adalah penerapan ilmu dan teknologi. Dalam tahap implemetasi dan evaluasi dukungan ilmu dan teknologi, baik bagi program pendidikan atau desain KBI dan KBK, adalah sama. Program pendidikan atau desain kurikulum diimplementasikan dan dievaluasi dengan berpegang pada kaidah-kaidah dan menggunakan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta menggunakan bantuan alat-alat teknologi.
3. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pada dasarnya terdiri atas prinsipprinsip umum dan prinsip-prinsip khusus.
87
a. Prinsip-Prinsip Umum Dalam pengembangan kurikulum, seorang pengembang kurikulum biasanya menggunakan beberapa prinsip yang dipegangnya sebagai acuan agar kurikulum yang dihasilkannya itu memenuhi harapan peserta didik, lembaga pendidikan (sekolah), orang tua, masyarakat pengguna, dan tentunya pemegang kebjikan pendidikan (pemerintah). Sukmadinata (2000:150-152) menyebutkan dua prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu I) prinsip umum dan 2) prinsip khusus. Prinsip umum berkaitan dengan kebijakan dalam pengembangan kurikulum secara makro. Prinsip umum ini terdiri dari lima (5) prinsip yang harus dipegangi dalam pengembangan kurikulum, yaitu 1) relevansi, 2) fleksibilitas, 3) kontinuitas, 4) praktis, dan 5) efektifitas. Sementara itu, Hamalik (2004:14) menyebutkan beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu 1) objektivitas, 2) keterpaduan, 3) manfaat, 4) efisiensi dan efektifitas, 5) kesesuaian, 6) keseimbangan, 7) kemudahan, 8) berkesinambungan, dan 9) pembakuan. Pertama, prinsip relevansi. Menurut Sukmadinata (2000:150), terdapat dua macam relevansi yang harus dimiliki oleh kurikulum, yaitu 1) relevan di dalam kurikulum sendiri (atau meminjam istilah fisika, relevansi yang bersifat sentripetal), yakni ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum; 2) relevansi ke luar (meminjam istilah fisika, relevansi yang bersifat sentrifugal). Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Kurikulum menyiapkan siswa untuk dapat hidup dan bekerja dalam masyaakat. Isi kurikulum hendaknya 88
mempersiapkan siswa untuk tugas tersebut. Kurikulum bukan hanya menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang tetapi juga yang akan datang. Dengan demikian, relevansi sentrifugal ini berbentuk a) kesesuaian desain kurikulum dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan lapangan berdasarkan need anatysis, dan b) kesesuaian mutu lulusan dengan standar pengguna (standar kompetensi). Prinsip kedua adalah fleksibilitas, yakni desain kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel dalam mengorganisir dan melayani kebutuhan pengguna (melalui program efektif) dan keragaman kemampuan dan pengalaman peserta (melalui pembelajaran variasi). Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, di sini dan di tempat lain, bagi peserta didik yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun kemampuan, dan latar belakang anak. Prinsip ketiga adalah kontinuitas, yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara kesinambungan, tidak terputus-putus atau berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi dan kerjasama antara pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP, SMTA, dan Perguruan Tinggi. Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut efisien. Betapapun 89
bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatanperalatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis. Prinsip kelima adalah efektivitas dan efisiensi. Walaupun kurikulum tersebut harus murah dan sederhana sederhana tapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga merupakan bagian yang dijabarkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah di bidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Prinsip
efektifitas
berkaitan
dengan pengendalian
mutu
keberhasilan
proses
kurikulum (pembelajaran) dalam melejitkan dan mengoptimalkan perkembangan peserta, sedangkan prinisp efisiensi berkaitan dengan pengendalian mutu ketepatan pelaksanaan kurikulum dan pemanfaatan komponen pendukung.
b. Prinsip-Prinsip Khusus Prinsip-prinsip khusus dalam pengembangan kurikulum berkenaan dengan inti dari kurikulum. Seperti dirumuskan oleh beberapa ahli kurikulum bahwa inti dari kurikulum pada dasarnya terdiri dari empat aspek utama, yaitu tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian. Interelasi antara keempat aspek tersebut serta antara aspek-aspek tersebut dengan kebijaksanaan pendidikan perlu selalu mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum.
90
Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan. Tujuan menjadi pusat kegiatan dan arah semua kegiatan pendidikan. Perumusan komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus). Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada: 1) ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah, yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, dan strategi pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan; 2) survey mengenai persepsi orang tua/masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka; 3) survey tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu, dihimpun melalui angket, wawancara, observasi, dan dari berbagai media massa. 4) Survey mengenai manpower; 5) Survey mengenai pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama; 6) Penelitian.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan. Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah ditentukan para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal. 1) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar; 2) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan; 3) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan logis dan sistematis. Ketiga ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan diberikan secara simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan buku pedoman guru yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat pengajaran secara lebih mendetail. Prinsip
berkenaan
dengan pemilihan proses
belajar
mengajar.
Pemilihan
proses belajar mengajar yang digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Apakah metode/teknik belajar-mengajar mengajarkan bahan pelajaran?
91
yang
digunakan cocok
untuk
2) Apakah metode/teknik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa? 3) Apakah metode/teknik tersebut memberikan urutan kegiatan yang bertingkattingkat? 4) Apakah metode/teknik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor? 5) Apakah metode/teknik tersebut dapat lebih mengaktifkan siswa, atau mengaktifkan guru atau kedua-duanya? 6) Apakah metode/teknik tersebut dapat mendorong berkembangnya kemampuan baru? 7) Apakah metode/teknik tersebut dapat menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di masyarakat? 8) Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegitan belajar yang menekankan 'leraning by doing' di samping 'learning by seeing and knowing".
Prinsip
berkenaan
dengan pemilihan
media
dan
alat pengajaran.
Proses
belajar-mengajar yang baik perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-alat bantu pengajaran yang tepat. 1) Alat/media pengajaran apa yang diperlukan. Apakah semuanya sudah tersedia? Bila alat tersebut tidak ada apa penggantinya? 2) Kalau ada alat yang harus dibuat, hendaknya memperhatikan: bagaimana pembuatannya, siapa yang membuat, pembiayaannya, waktu pembuatan? 3) Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, apakah dalam bentuk modul, paket belajar, dan lain-lain? 4) Bagaimana pengintegrasiannya dalam keseluruhan kegiatan belajar? 5) Hasil yang terbaik akan diperoleh dengan menggunakan multimedia.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Penilaian merupakan
bagian integral dari pengajaran: 1) Dalam penyusunan alat penilaian (test) hendaknya diikuti langkah-langkah sebagai berikut: a) Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. b) Uraikan ke dalam bentuk tingkah laku murid yang dapat diamati. Hubungkan dengan bahan pelajaran. c) Tuliskan butir-butir test 2) Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa hal
92
a) Bagaimana kelas, usia, dan tingkat kemampuan kelompok yan akan ditest? b) Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan test? c) Apakah test tersebut berbentuk uraian pelaksanaan test? d) Berapa banyak butir test perlu disusun? e) Apakah test tersebut diadministrasikan oleh guru atau murid? 3) Dalam pengolahan suatu hasil penilaian hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Norma apa yang digunakan di dalam pengolahan hasil test? b) Apakah digunakan formula quessing? c) Bagaimana pengubahan skor ke dalam skor masak? d) Skor standar apa yang digunakan? e) Untuk apakah hasil-hasil test digunakan?
4. Model-Model Pengembangan Kurikulum Dalam
upaya
mengembangkan
kurikulum
dikenal
beberapa
model
pengembangan yang dikembangkan oleh para ahli kurikulum. Sukmadinata (2002) menyebutkan beberapa model pengembangan kurikulum yang dikenal luas di kalangan ahli kurikulum dan masyarakat, yaitu 1). The Administrative Model; 2) The Grass Roots Model; 3) Beauchamp's system, 4) The démonstration model, 5) Taba's Inverted model, 6) Roger's Interpersonal Relations Model, 7) The Systematic Action-Research Model, dan 8) Emerging Technical Models.
a. The Administrative Model Sukmadinata (1988) menyebutkan bahwa The Administratif Model atau model Top Down merupakan model yang paling lama dan banyak dikenal, juga disebut dengan line staff, karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datangnya dari administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan membentuk suatu komisi/tim pengarah pengembangan kurikulum yang beranggotakan para pejabat pendidikan, para ahli pendidikan kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja 93
atau perusahaan. Komisi pengembangan kurikulum bertugas merumuskan konsep dasar,
landasan-landasan,
kebijaksanaan
dan
strategi
utama
pengembangan
kurikulum. Setelah hal-hal yang mendasar itu dirumuskan, selanjutnya administrator membentuk tim kerja pengembangan kurikulum yang terdiri dari para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan guru bidang studi. Tim kerja pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang lebih operasional, dengan menjabarkan konsep-konsep dasar yang telah dirumuskan oleh komisi pengembangan kurikulum. Tim kerja pengembangan kurikulum merumuskan tujuan yang operasional, menyusun sekuens bahan ajar, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman pelaksanaan kurikulum. Hasil kerja dari tim kerja pengembangan kurikulum tersebut, dikaji ulang oleh tim pengarah, para ahli dan atau pejabat yang berwenang. Setelah mendapat penyempurnaan dan dinilai telah sesuai dengan konsep, landasan, kebijakan, serta strategi uatama yang telah ditetapkan, maka kurikulum tersebut diberlakukan.
b. The Grass Roots Model Model
pengembangan
kurikulum
The
Grass
Roots
Model
merupakan
kebalikan dari model pertama, yakni inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum datangnya dari guru-guru atau sekolah. Model grass roots ini berkembang dalam sistem pendidikan desentralisasi, ketika sekolah memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum. Dalam model ini, seorang guru, sekelompok guru, atau seluruh guru mengadakan upaya pengembangan kurikulum, baik berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi atau pun seluruh bidang studi atau seluruh komponen kurikulum. Pengembangan kurikulum model grass
94
roots akan lebih baik, bila kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya I n f e # ^ p ^ p m a ^ y' kepusiakaan telah memadai dimiliki oleh sekolah. Guru yang paling k^n%^SSim^k menyusun kurikulum, sebab guru lah yang paling mengetahui kebutuhan peserta didiknya, hal ini sesuai dengan prinsip pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh Smith, Stanley, dan Shore dalam Sukmadinata (2000;); 1. The curriculum will improve only as the professional competence of teachers improves. 2. The competence of teachers will be improved only as the teachers become involved personally in the problems of curriculum revision. 3. If (he teachers share in shaping the goals to be attained, in selecting, defining, and solving the problems to be encountered, and in judging and evaluating the result, their involvement will be most nearly assured. 4. As people meet in face groups, they will be able to understand one another and to reach a concensus on basic principles, goals, and plans. Pengembangan kurkulum yang bersifat desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dalam sistem pendidikan yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia lebih mandiri, kreatif, dan siap berkompetisi.
c. Beauchamp 's system Model
pengembangan
Beauchamp's
system
ini
memiliki
lima
langkah
pengembangan. 1) menetapkan lingkup wilayah pengembangan, apakah suatu sekolah, daerah kecamatan, kabupaten, propinsi, atau seluruh wilayah negara. Penetapan lingkup wilayah ini oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dan oleh tujuan pengembangan kurikulum. 2) menetapkan personalia, yang dilibatkan dalam pengembangan kurikulum yang diambil dari kelompok: a) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurkikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, b) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau guru-guru terpilih dari sekolah; c) para professional di bidang pendidikan, c) professional, dan d) tokoh masyarakat. Penetapan personalia disesuaikan dengan wilayah pengembangan kurikulum yang akan dikembangkan, peran yang akan dilakukan, alat, dan cara yang paling efektif untuk melaksanakan peran itu. 95
/•
3) Menetapkan organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum yakni berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum. Prosedur pengembangan kurikulum dalam model ini meliputi : 1) membentuk tim pengembang kurikulum, 2) mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang sedang digunakan, 3) studi penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum bara, 4) merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, dan 5) penysunan dan penulisan kurikulum baru. 4) Implementasi kurikulum yakni melaksanakan kurikulum yang membutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial. 5) Dalam langkah terakhir ini adalah evaluasi kurikulum, yang mencakup 4 (empat) aspek, yaiti a) evaluasi pelaksanaan kurikulum oleh guru, b) evaluasi desain kurikulum, c) evaluasi hasil belajar siswa, dan d) eavaluasi dari keseluruhan sistemkurikulum. Data yang diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi itu digunakan untuk menyempurnakan sistem dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip dasar untuk melaksanakannya.
d. The Demonstration Model Model pengembangan kurikulum The demonstration model ini merupakan pengembangan kurikulum yang diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan para ahli, dengan maksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini pada dasarnya bersifat grass roots, dating dari bawah. Model ini pada umunya berskala kecil, hanya mencakup satu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Menurut Smith, Stanley, dan shores ada dua variasi dari model demonstrasi ini. 1) sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Tujuan proyek ini adalah mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau beberapa aspek kurikulum, yang hasilnya dapat dipergunakan bagi lingkungan yang lebih luas, dan dilaksanakan oleh lembaga pendidikan yang berwenang. 2) kurang bersifat formal, dengan cara beberapa orang guru yang merasa kurang puas dengan 96
kurikulum yang ada, mencoba melakukan penelitian dan pengembangan senin, dengan maksud menemukan kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untuk kemudian digunakan dalam daerah yang lebih luas.
e. Taba 's Inverted model Model pengembangan kurikulum Taba 's inverted ini menitikberatkan inovasi dan kreatifitas guru-guru yang bersifat induktif dengan lima langkah pengembangan. 1) Mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru untuk melihat secara seksama tentang hubungan antara teori dan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan eksperimen did alam kelas menghasilkan data yang menguji landasan teori yang digunakan. Terdapat delapan langkah dalam kegiatan eksperimen, yaitu a) mendiagnosis kebutuhan, b) merumuskan tujuan-tujuan khusus, c) memilih isi, d) mengorganisasikan isi, e) memilih pengalaman belajar, f) mengorganisasikan pengalaman belajar, g) mengevaluasi, dan h) melihat sekuens dan keseimbangan. 2) Menguji unit eksperimen. Stelah unit eksperimen telah diuji dalam kelas eksperimen, diuji kebali di tempat lain untuk mengetahui validitas dan kepraktisan, dan menghimpun data bagi penyempurnaan. 3) Mengadakan revisi dan konsolidasi. Mengadakan perbaikan dan penyempurnaan berdasarkan data/temuan pada langkah kedua, juga dilakukan kegiatan konsolidasi yaitu menarik kesimpulan tentang hal-hal yang bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. 4) Pengembangan k erangkan keseluruhan kurikulum, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasanlandasan teoritis yang dipakai sudah masuk dan sesuai dengan kagiatan ini dilakukan dengan kajian oleh para ahli kurikulum dan para professional kurikulum yang lain. 5) Implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru pada sekolah-sekolah yang lebih luas.
/ Roger 's Interpersonal Relations Model Model pengembangan kurikulum dari Rogers, berbeda dengan model-model lainnya, tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Rogers sebagai seorang eksistensialis humanis, tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis dan data, tetapi lebih mementingkan 97
aktivitas dan interaksi. Melalui bentuk aktifitas dalam interaksi ini individu akan berubah. Metode pendidikan yang diutamakan adalah sensitivity training, encounter group training group. Model
pengembangan
kurikulum
Roger's
interpersonal
relations
ini
mempunyai empat langkah, yakni. 1) Pemilihan target dari sistem pendidikan. Di dalam penentuan target ini, kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kemlompok yang intensif. 2) Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Dalam langkah ini guru diikutsertakan dalam kegiatan kelompok selama satu minggu atau kurang, dan sebaiknya keikutsertaannya bersifat sukarela. 3) Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator dari luar. 4) Partisipasi orangtua dalam kegiatan kelompok yang dapat dikoordinasikan oleh organisasi orang tua siswa masingmasing sekolah dengan tujuan untuk memperkaya informasi para orang tua dalam hubungan dengan sesama orang tua, dengana nak dan dengan guru.
g.
The Systematic Action-Research Model The Systematic Action-Research Model
merupakan model pengembangan
kurikulum yang didasrkan pada asumsi bahwa perubahan kurikulum merupakan perubahan sosial, mencakup suatu proses yang melibatkan orangtua, siswa, dan guru, struktur sistem sekolah, pla hubungan pribadi dankelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut, model ini menekankan pada tiga hal, yaitu 1) hubungan insani, 2) sekolah dan organisasi masyarakat, dan 3) wibawa dari pengetahuan professional. Model ini didasarkan pada action research dengan langkah-langkah sebagai berikut:
98
1) Menguji masalah kurikulum secara seksama melalui kegiatan-kegiatan a) pengumnulan data yang cukup meluas dan lengkap, untuk memperjelas masalah dan b) pencarian yang luas untuk mengidentifikasi faktor, kekuatan, dan kondisi yang mempengaruhi atau turut terlibat dalam masalah tersebut. Berdasarkan kegiatan itu disusun rencana yang menyeluruh tentang cara mengatasi masalah, serta tindakan pertama yang harus diambil. 2) Implementasi dari keputusan yang diambil dalam kegitan pertama. Kegiatan ini segera diikuti oleh kegitan pengumpulan data dan fakta. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai fungsi; a) memberikan data bagi evaluasi kegiatan, b) sebagai bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi, c) sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi, dan d) seabgai bahan untuk menentukan tindakan lebih lanjut. Selain dari beberapa model pengembangan kurikulum di atas, terdapat beberapa model lainnya, yaitu 1) Emerging Technical Models, 2) The Behavioral Analysis Model, 3) The System Analysis Model, dan 4) The Computer Based Model.
E.
LANGKAH-LANGKAH KOMPETENSI
PENGEMBANGAN
KURIKULUM
BERBASIS
Menurut Sukmadinata (2004:5), langkah-langkah umum pengembangan KBK sebenarnya tidak berbeda dengan KSA atau KBI. Langkah-langkah pengembangan KBK tersebut meliputi a) identifikasi kebutuhan, b) Analisis dan pengukuran kebutuhan, c) penyusunan desain kurikulum, d) validasi kurikulum (ujicoba dan penyempurnaan), e) implementasi kurikulum, dan f) Evaluasi kurikulum. Sedangkan Ibrahim
(2005:8)
mengemukakan
langkah-langkah
pengembangan
kurikulum
sebagai berikut; a) analisis kebutuhan, b) penyusunan draft naskah kurikulum inti, c) reviu dan validasi, d) finalisasi, dan e) sosialisasi. Langkah-langkah pengembangan KBK yang dikemukakan dua ahli kurikulum di atas, pada dasarnya, memiliki kesamaan. Oleh karena itu, dalam paparan berikut ini,
penulis
berusaha mendeskripsikan
berdasar atas pendapat dari keduanya.
99
langkah-langkah
pengembangan
KBK
1. Identifikasi Kebutuhan Pengembangan
kurikulum diawali
dengan
identifikasi
kebutuhan,
yaitu
mengidentifikasi tenaga-tenaga terampil dan/atau kompeten yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugas dalam lembaga atau unit-unit pekerjaan yang ada (mencakup bidang keahlian, tingkat keahlian, jumlah personil). Kebutuhan yang semakin dinamis menuntut berbagai kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik. Dengan demikian kompetesi bersifat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau dunia profesi bahkan dunia ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Perkembangan prosedur kerja atau adanya kemampuan baru menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai mahasiswa.
2. Analisis dan Pengukuran Kebutuhan Menganalisis bidang pekerjaan (jabatan), tugas-tugas yang dibebankan serta kompetensi yang dituntut dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut. Tugas dan tuntutan
pekerjaan
tersebut
selalu
meningkat
sejalan
dengan
perkembangan
masyarakat dan dunia kerja. Oleh karena itu, analisis kebutuhan ini perlu dilakukan secara berkala minimal 5 tahun sekali sebelum perbaikan kurikulum. Analisis kebutuhan dapat dilakukan menlalui kajian literatur, dokumen-dokumen kebijakan, serta pertemuan dengan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemakai lulusan, pakar bidang yang bersangkutan dan wakil dari organisasi profesi. 3. Penyusunan Desain Kurikulum Program Studi Apabila proses
deliberasi
dalam pemantapan
analisis
dan pengukuran
kebutuhan sudah mencapai titik kesepakatan, maka proses berikutnya adalah
100
mengembangkan hasil analisis tersebut dalam bentuk program. Dikemukakan oleh Ferguson (2000:1): "when designing a course or a program using an outcomes-based curriculum framework, the educator/designer begins by envisioning what students need to be able to do on their lives and what part of that is the responsibility of the course or program." Tentu saja menentukan "what students need to be able to do" tidak hanya sekedar berdasarkan pandangan teoretik atau pengalaman sempit dari balik meja pengembangan Kurikulum. Quillen memberikan pandangannya tentang hal ini: Like any other curriculum design, the traditional way is a linear process starting with a needs assessment, then goal development, design of objectives, teaching strategies, and finally and evaluation. Unfortunately, many times this linear approach to curriculum development does not work. Wlien resources are limited, some proposed strategies that are resources dependent become difficult. Penyusunan desain kurikulum merupakan kegiatan merumuskan tujuan, isi atau bahan, proses atau metode, dan media serta evaluasi hasil pendidikan. Meskipun komponen-komponen desain kurikulum model KB1 dan KBK hampir sama tetapi isi dan cara pengembangannya berbeda. Menurut Syaodih (2004:7), terdapat beberapa langkah dalam penyusunan desain KBK, yaitu, meliputi; 1) Merumuskan tujuan Program
Pendidikan,
2)
Merumuskan Kompetensi,
3)
Merumuskan Metode
Pembelajaran dan bahan ajar, 4) Menghitung dan menentukan waktu, dan 5) menentukan struktur kurikulum dan sebaran mata kuliah. Sedangkan menurut Kepmendiknas Nomor 045/U/2002, kurikulum inti suatu program merupakan suatu rancangan program pendidikan yang berisi delapan butir pokok sebagai berikut: 1) Deskripsi Program Studi; berisi nama, visi, misi, tujuan, dan karakteristik program studi;
2)
ciri khas
Kompetensi utama;
Perangkat
kompetensi yang harus dicapai oleh semua lulusan program studi tersebut yang 101
diberlakukan secara nasional. Perangkat kompetensi utama dikelompokkan dalam beberapa rumpun dan dilengkapi matriks untuk memperlihatkan hubungan rumpunrumpun kompetensi
dengan elemen-elemen kompetensi
dalam Kepmendiknas
Nomor 045/U/2002; 3) Substansi kajian; perangkat bahan kajian (konsep/topik) yang esensial dan strategis untuk mendukung pencapaian kompetensi utama yang telah ditetapkan pada butir b. (disusun dalam bentuk matriks yang menghubungkan setiap bahan kajian dengan kompetensi-kompetensi utama yang didukungnya 4) Proses Pembelajaran; 5) Sistem evaluasi; 6) Persyaratan Akademik Dosen; 7) Fasilitas Utama; 8) Kelompok Pemrakarsa. Dari kedua pendapat mengenai langkah-langkah penyusunan desain kurikulum di atas, penelitian ini berusaha menggabungkan kedua pendapat itu. Sistematika yang diajukan adalah 1) merumuskan tujuan kurikulum, 2) merumuskan kompetensi, 3) menentukan struktur kurikulum dan sebaran mata kuliah, 4) menghitung dan menentukan waktu; 5) merumuskan metode pembelajaran dan bahan ajar, 6) merumuskan persyaratan akademik dosen, 7) merumuskan sistem evaluasi, dan 8) menentukan fasilitas utama. a. Tujuan Kurikulum Tujuan kurikulum diangkat dari
tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan
didasari oleh falsafah Negara Indonesia. Selain acuan Kepmendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Hasil Belajar dan Kepmendiknas Nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi, kurikulum PT AIN dikembangkan dengan mengacu pula pada dinamika kebutuhan masyarakat dan globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks).
102
Dinamika kebutuhan masyarakat.
Salah satu aspek relevansi yang perlu
diperhatikan dalam upaya pengembangan kurikulum adalah keselarasan dengan kebutuhan masyarakat yang tidak bersifat statis, melainkan terus berkembang (dinamis). Merumuskan visi dan misi program studi sebuah perguruan tinggi harus sesuai dengan dinamika kebutuhan masyarakat dan perkembangan jaman, seperti dari krisis ke pasca krisis, dari sentralisasi ke desentralisai, dari masyarakat lokal ke masyarakat dunia, dari kohesi sosial ke partisipasi demokratik, dan dari pertumbuhan ekonomi ke pembangunan manusia (Mulyasa, 2003:4). Kebutuhan masyarakat di sini lebih dikaitkan
dengan kebutuhan pemakai.
Hal
ini
pula yang mendorong
digariskannya kebijakan pengembangan kurikulum yang melibatkan kerjasama dengan stakeholders, termasuk pihak pemakaian lulusan (Ibrahim, 2005:3). Globalisasi ipteks. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menuntut dinamika pengembangan kurikulum. Dengan ditandainya abad ke-21 oleh fenomena globalisasi, perkembangan ipteks yang dijadikan acuan tidak hanya terbatas pada lingkup nasional melainkan sampai pada lingkup internasional. Tujuan pendidikan dapat dikategorikan berdasarkan cakupan dan waktu. Dari segi cakupan tujuan pendidikan dibagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, sedangkan dari segi waktu, tujuan pendidikan meliputi tiga tujuan, yaitu tujuan jangka panjang, menengah, dan jangka pendek. Tujuan pendidikan nasional Indonesia merupakan tujuan umum pendidikan. Tujuan institusional merupakan sasaran pendidikan suatu lembaga pendidikan, yang merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan institusional ini berbeda-beda tergantung pada jenis dan jenjang pendidikan. Tujuan kurikuler merupakan sasaran suatu bidang studi atau mata kuliah, dan tujuan instruksional merupakan target yang harus dicapai suatu 103
pokok bahasan. Tujuan instruksional ini berjangkan pendek, dan dirinci menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus atau obyektif.
b. Merumuskan Kompetensi Kompetensi secara singkat dapat diartikan sebagai "kemampuan yang harus dikuasai seorang mahasiswa." Kupper dan Palthe mengingatkan hal ini dengan mengatakan bahwa dalam penentuan kompetensi suatu lembaga pendidikan haruslah "has regular contacts with industry and business regarding the qualifications expected from our graduates". Kompetensi bersifat dinamis dan berkembang terus sesuai dengan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan yang berkaitan dengan kompetensi tertentu. Berdasarkan pada pasal 2 ayat 1, Kepmendiknas 045/U/2002, kompetensi terdiri atas a) kompetensi utama, b) kompetensi pendukung, dan c) kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama suatu program studi dan ditetapkan oleh institusi penyelenggara program studi.
Disebutkan pula dalam pasal
2 ayat 2 Kepmendiknas 045/U/2002 bahwa elemen-elemen kompetensi terdiri atas a) landas an kepribadian, b) penguasaan ilmu dan keterampilan, c) kemampuan berkarya, d) sikap dan perilaku berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan
keterampilan
yang
dikuasai,
dan
e)
pemahaman
kaidah berkehidupan
bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Sukmadinata (2002) menyebutkan bahwa secara umum kompetensi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu 1) kompetensi dasar, yang meliputi kecakapan memelihara diri, memenuhi kebutuhan hidup, dan mengembangkan diri;
2)
kompetensi umum, yang meliputi kecakapan menjalin kehidupan, kerjasama, dan
104
hidup bermasyarakat;
3) kompetensi
operasional
dan teknis,
yang meliputi
kecakapan mengaplikasikan teori-teori, dan melaksanakan tugas-tugas vokasional, dan 4) kompetensi professional, yang meliputi kecakapan melaksanakan tugas, memecahkan masalah, dan mengembangkan bidang professional. Susilana (2002:9) lebih detail memberikan gambaran mengenai kompetensi dasar, yakni terdiri dari: 1) kompetensi akademik, artinya peserta didik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup secara independen; 2) kompetensi okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesiapan dan mamapu beradaptasi terhadap dunia kerja; 3) kompetensi kultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat yang pluralistik; 4) kompetensi temporal, artinya peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya, serta mampu memanfaatkan ketiga kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai dengan perkembangan jaman. Kompetensi-kompetensi umum yang dituntut dikuasai dalam suatu job, diuraikan menjadi kompetensi khusus atau sub kompetensi dan bahkan menjadi subsub kompetensi atau performasi.
c. Menentukan Substansi Kajian, Nama, dan Sebaran mata kuliah Penentuan standar kompetensi merupakan dasar pijakan dalam merumuskan susbtansi kajian, nama dan sebaran mata kuliah, beserta bobot kredit yang diperlukan. Struktur kurikulum merupakan kesatuan pengetahuan yang terpilih dan bermakna, baik makna dalam pengetahuan itu sendiri maupun bagi siswa dan lingkungannya.
Sukmadinata (1988:141) mengemukakan "Isi kurikulum atau
pengajaran, bukan saja didasarkan atas perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga disesuaikan dengan kakateristik perkembangan anak dan konsep-konsep modem
105
tentang hakikat pengalaman belajar." Perkembangan peserta didik harus dijadikan dasar agar materi pelajaran sesuai dengan potensi, minat, bakat, dan perkembangan anak. Konsep hakikat pengalaman belajar memberi acuan agar isi kurikulum atau pengajaran, dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Selain hal tersebut, karakteristik dari jenis pendidikan juga mempengaruhi penetapan substansi kajian. Substansi kajian terdiri dari pokok-pokok kajian yang terkandung untuk pencapaian setiap sub kompetensi. Pokok-pokok kajian membangun mata kuliah, dalam artian bahwa satu atau beberapa pokok kajian yang memiliki foku yang sama dapat dihimpun dalam satu matakuliah.
Hasil keseluruhan penetapan nama
matakuliah merupakan struktur program studi pada suatu program studi, sedangkan pengelompokan matakuliah merupakan kesepakatan yang diambil di lingkungan perguruan tinggi yang bersangkutan. Berdasarkan kepada PP Nomor 232 tahun 2000 dan pasal 2 ayat (2) Kepmendiknas 045/U/2002 disebutkan bahwa pengelompokan mata kuliah di Perguruan Tinggi terdiri dari beberapa kelompok mata kuliah yang memiliki aspek kompetensi sebagai berikut:
106
Tabel 2.6 Pengelompokan Aspek-Aspek Kompetensi Kelompok Mata Kuliah
Aspek 1. Nilai
MPK: Penghayatan nilai dan kerpibadian (teaming to be morally)
2. Minat 3. Apresiasi
1. Pengetahuan MKK: Keilmuan Keterampilan (Learning to Know) 2. Pemahaman
MKB; Keahlian Berkarya (Learning to do)
MPB: Perilaku Berkarya (Learning to be)
1. Keterampiian umum
1. Penerapan
2. Keterampilan Berpikir MBB: Berkehidupan Bermasyarakat (Learning to live together)
1. Sikap 2. Penyesuaian diri
Sub Aspek 1 1 . Nilai Agama 1.2. Nilai Sosial 1.3. Nilai ilmu 2.1. Minat Pribadi 2.2. Minal pendidikan dan vokasional 3.1. Seni, Seni, Musik 3.2. Prestasi Sosial dan ilmiah 1.1.Fakta-Fakta 1.2. Istilah 1.3. Konsep dan prinsip 1.4. Metode dan prosedur 2.1. Konsep dan Prinsip 2.2. Metode dan Prosedur 2.3. Bahan tertulis, grafik, angka 2.4. Situasi bermasalah 1.1. Keterampilan labratoris 1.2. keterampilan berprilaku 1.3. keterampilan komunikasi 1.4. keterampilan menghitung 1.5. keterampilan sosial 1.1. Informasi factual 1.2. Konsep dan prinsip 1.3. Metode dan prosedur 1.4. Keterampilan memecahkan masalah 2.1. Berpikir kritis 2.2. Berpikir ilmiah 1.1. sikap sosial 1.2. sikap ilmiah 2.1. Penyesuaian sosial 2.2. Penyesuaian emosional
(Sumber, Sukmadinata, 2004:15)
Menurut Ibrahim (2005:4), setiap program studi mengandung dua komponen pokok. Pertama, komponen kurikulum inti yang diberlakukan secara nasional; dan kedua, komponen yang dikembangkan oleh masing-masing institusi (komponen isntitusional).
Kedua
komponen
tersebut
secara
kurikulum utuh program studi yang bersangkutan.
bersama-sama
membentuk
Sehubungan dengan itu,
pengembangan kurikulum setiap program studi mencakup dua tahapan pokok, yaitu 1) pengembangan kurikulum inti, dan 2) pengembangan kurikulum program studi
107
(kurikulum
utuh).
Kurikulum (utuh) program studi dapat dihasilkan setelah
dilakukan pengembangan komponen institusional untuk setiap program studi. Menurut Kepmendiknas Nomor 45/U/2002 pasal 3 ayat 1, kurikulum inti merupakan penciri dari kompetensi utama yang harus dicapai oleh setiap masingmasing program studi, yang membedakannya dari program studi yang lain. Dalam ayat 2 pasal 3 Kepmendiknas tersebut dinyatakan bahwa kurikulum inti suatu program studi bersifat; a) dasar untuk mencapai kompetensi lulusan, b) acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi, c) berlaku secara nasional dan internasional, d) lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa datang, dan e) kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan. Kompetensi utama merupakan perangkat kompetensi yang mutlak diperlukan untuk
melaksanakan
dengan
tepat tugas-tugas profesionalnya sebagai
tenaga
kependididikan yang bersangkutan. Kompetensi utama inilah yang mencerminkan tujuan pokok program studi yang harus dicapai oleh semua luluasan program studi tersebut. Kurikulum inti yang dirancang untuk mencapai kompetensi utama dalam setiap program studi dikembangkan melalui kerja sama antar program studi sejenis, untuk memungkinkan diberlakukannya kurikulum inti tersebut secara nasional. Proporsi kompetensi utama yang harus dicapai melalui kurikulum inti setiap program studi, termasuk BSI, ditetapkan 40-75 % dari keseluruhan kompetensi yang harus dicapai melalui kurikulum untuh program studi yang bersangkutan. Proporsi kompetensi utama dapat bervariasi di antara berbagai program studi yang ada, tergantung tujuan dan karakteristik masing-masing program studi.
108
Kurikulum utuh setiap program studi merupakan perpaduan antara kurikulum inti dan komponen institusional yang dikembangkan oleh masing-masing lembaga (institusi). Komponen institusional dikembangkan untuk mencapai 1) kompetensi pendukung, dan 2) kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. Kompetensi pendukung merupakan kompetensi yang berfungsi meningkatkaan
pelaksanaan
profesinya.
Kompetensi
tersebut
untuk
lebih
mengukuhkan kompetensi utama. Kompetensi lain merupakan kompetensi tambahan yang dapat melengkapi kompetensi utamanya. Proporsi kompetensi pendukung setiap program studi berkisar 20-40 % dari keseluruhan kompetensi, sedangkan kompetensi lain
antara 0-30%. Dengan kata lain, kurikulum utuh suatu program
studi mungkin saja mencakup kompetensi utama dan kompetensi pendukung saja, tanpa kompetensi lainnya. Kurikulum utuh sebuah prodi meliputi struktur kurikulum dan silabus mata kuliah. Dalam struktur kurikulum terkandung rumusan visi, misi, dan tujuan program studi, kompetensi yang ingin dicapai, daftar mata kuliah/sks beserta deskripsinya, sebaran matakuliah dari semester oertama sampai semester terakhir, serta sumber daya (dosen dan fasilitas) yang diperlukan. Silabus mata kuliah berisi paparan tentang tujuan dan kompetensi, prasyarat, deskripsi mata kuliah (diambil dari struktur kurikulum), cakupan materi yang dibahas, kegiatan pembelajaran, alat/media dan evaluasi, rujukan/referensi, serta hal-hal lain yang dianggap penting. Bertitik
tolak
dari
kurikulum
inti yang telah disusun, pengembangan
kurikulum utuh suatu program studi yang mencakup struktur kurikulum dan silabus matakuliah
dilakukan
melalui
langkah-langkah
1)
pengembanagn
komponen
institusional; dan 2) pengemasan substansi kajian ke dalam berbagai matakuliah. 109
Rambu-rambu tentang pengembangan komponen isntitusional serta pengemasan seluruh substansi kajian ke dalam berbagai matakuliah pada kurikulum program studi adalah sebagai berikut. Pengembangan Komponen Institusional. Komponen institusional satu program studi dikembangkan untuk mencapai kompetensi pendukung dan kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. Secara umum, kompetensi pendukung dimaksudkan untuk menunjang/memeprkuat pencapaian kompetensi utama
yang
telah
ditetapkan,
sedangkan
kompetensi
lain
berfungsi
untuk
memperkaya kompetensi utama, yang bersumber dari dalam dan atau dari luar bidang studi yang bersangkutan. Pengembangan komponen institusional mencakup perumusan kompetensi, substansi kajian, dosen dan fasilitas yang diperlukan, serta hal-hal lain yang dianggap penting. Materi yang dikembangkan dalam komponen kurikulum
inti
mamupun
kurikulum
institusional
berupa
substansi
kajian
(konsep/topik), belum benbentu mata-mata kuliah. Pengemasan Substansi Kajian ke dalam Mata Kuliah. Penempatan sejumlah substansi kajian ke dalam suatu mata kuliah dilakukan dengan mempertimbangkan faktor 1) homogenitas yang memungkinkan berbagai substansi tersebut dinilai sejenis dan saling berkaitan; dan 2) faktor kelaikan/keterlaksanaan, yang mencakup isi suatu matakuliah tidak terlalu banyak sehingga melampaui bobot maksimum SKS yang berlaku. Ibrahim (2005:11) menyebutkan bahwa terdapat beberapa alternatif yang dapat ditempuh dalam proses pengemasan substansi kajian dari kurikulum inti dan komponen institusional ke dalam mata kuliah. Pertama, setiap mata kuliah mengandung substansi kajian dari kurikulum inti maupun komponen institusional: 110
Mata Kuliah A
Mata Kuliah B
Substansi Kajian dari: • Kurikulum inti • Komponen institusional
Substansi Kajian dari: • Kurikulum inti • Komponen institusional
dst
Kedua, substansi kajian dari kuirkulum inti dan komponen institusional dikemas dalam mata-mata kuliah yang terpisah: Mata Kuliah A
Mata Kuliah B
Substansi Kajian dari: • Kurikulum inti
Substansi Kajian dari: • Komponen institusional
dst
Ketiga, kombinasi anlternatif pertama dan kedua, di mana sebagian mata kuliah berisi substansi kajian dari kurikulum inti dan komponen institusional sedangkan sebagian mata kuliah lagi berisi substansi kajian dari kurikulum inti atau komponen institusional:
Mata Kuliah A
Mata Kuliah A
Mata Kuliah B
Substansi Kajian dari: • Kurikulum inti • Komponen institusional
Substansi Kajian dari: • Kurikulum inti
Substansi Kajian dari: • Komponen institusional
dst
Langkah selanjurnya adalah upaya menyusun silabus mata kuliah. Brown (1995:5) mendefinisikan silabus sebagai
"Ways of organizing the course and
materials". Print (1993:7) mendefinisikan silabus sebagai "typically a list of content areas which are to be assessed. Sometimes the list is extended to include a number of objectives and learning activities". Berdasarkan kedua pendapat di atas,
111
silabus
dapat didefinisikan sebagai rancangan program pembelajaran yang menggambarkan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan mata kuliah. Menurut Brown (1995:7) terdapat beberapa cara menyusun silabus yang dapat dikembangkan dalam upaya mengorganisasi mata kuliah bahasa sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini: Tabel 2.7 Pengorganisasi Materi Bahasa dalam Silabus Syllabuses Structural Situational
Topical
Functional
Notional
Skills
Task
Ways o f Organizing C o u r s e s and Materials Grammatical and phonological structures are the organizing principles— sequenced from easy to difficult or frequent to less frequent Situations (such as at the bank, at the supermarket, at a restaurant, and so forth) form the organizing principle—sequenced by the likelihood student will encounter them (structural sequence may be in background) Topics or themes (such as health, food, clothing, and so forth) form the organizing principle—sequenced by the likelihood that student will encounter them (structural sequence may be in background) Functions (such as identifying, reporting, correcting, describing, and so forth) are the organizing principle—sequenced by some sense of chronology or usefulness of each function (structural and situational sequences may be in the background) Conceptual categories called notion (such as duration, quantity, location, and so forth) are the basis of organization—sequenced by some sense of chronology or usefulness of each notion (structural and situational sequences may be in the background) Skills (such as listening for gist listening for main ideas, listening for inferences, scanning a reading passage for specific information, and so forth) serve as the basis for organization sequenced by some sense of chronology or usefulness for each skill (structural and situational sequences may be in the background) Task or activity based categories (such as drawing maps, following direction, following instructions, and so forth) serve as the basis for organizing—sequenced by some sense sense of chronology or usefulness of notions (structural and situational sequences may be in the background}
Secara umum silabus terdiri dari dua bagian, yaitu 1) identitas mata kuliah dan 2) program mata kuliah. Identitas matakuliah merupakan karakteristik dari mata kuliah yang terdiri dari a) kode mata kuliah, b) nama mata kuliah, c) semester, dan d) dosen Pembina. Sedangkan program mata kuliah merupakan substansi yang terkandung dalam mata kuliah, yang terdiri dari a) kompetensi atau sub-kompetensi, b) tujuan mata kuliah, c) pertemuan ke berapa, d) pokok atau sub-pokok bahasan, e)
112
strategi pembelajaran, f) sarana belajar, g) penilaian, h) tagihan, dan i) rujukan atau buku sumber (Abdulhak, 2004:4).
d. Menghitung dan menentukan waktu Proses penetapan harga kredit dilakukan melalui analisis terhadap cakupan kajian dari setiap pokok kajian tersebut. Penentuan bobot sks untuk setiap matakuliah dilakukan dengan mempertimbangkan 1) cakupan kompetensi yang harus dicapai; 2) luas dan kedalaman materi yang akan dikaji; dan 3) proses pembelajaran yang diterapkan; dengan mengacu pada ketentuan tentang perhitungan SKS yang berlaku.
e. Metode pembelajaran dan bahan ajar Proses pembelajaran yang diperlukan dalam KBK adalah peristiwa belajar yang
dapat memberikan pengalaman
belajar
untuk membentuk kemampuan-
kemampuan sesuai dengan kandungan setiap kompetensi. Pembelajaran juga perlu mempertimbangkan kebutuhan peserta didik atau dengan kata lain setiap pendidik perlu mengetahui "apa" yang perlu dipelajari oleh siswa/mahasiswa. Berkaitan dengan hal ini, khususnya dalam pembelajaran bahasa, Brown (1995:5) menekankan perlunya pendekatan-pendekatan yang tepat {approaches). Approaches dimaknainya (1995:5) sebagai "ways of defining what the students need to learn". Secara singkat, Brown
menggambarkan
pergeseran
dalam
sebagaimana terlihat dalam tabel sebagai berikut:
113
pendekatan
pembelajaran
bahasa
Tabel 2.8 Pergeseran Pendekatan Pembelajaran Bahasa Approaches
Ways of Defining what the students need to learn
Classical approach
Humanism: Students need to read the classics
Grammar-translation
Students need to learn with economy of time and effort
approach Direct approach
Student need to learn communication so they should use only second language in class
Communicative
Student must be able to express their intention, that is, they must learn
approach
the meanings that are important to them
Menurut Abdulhak (2004:6), proses pembelajaran yang diselenggarakan perlu memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan komponen pembelajaran yang digunakan, terutama kondisi mahasiswa; 2) Mendorong mahasiswa untuk banyak mengaktualisasikan keterlibatan dan kreatifitas belajarnya; 3) Mempertimbangkan cakupan teori dan praktek sesuai dengan karakteristik matakuliah dan kelompok matakuliah; 4) Memanfaatkan lapangan sebagai bahan kajian secara empiris dan tempat untuk mengimplementasikan konsep teori; 5) Merupakan kesempatan intuk memperoleh pengalaman belajar secara utuh. Untuk menciptakan proses pembelajaran kondusif, dinamis, dan bermakna tersebut diperlukan metode dan strategi pembelajaran yang tepat pula. Metode dan strategi pembelajaran sangat terkait erat dengan penyusunan sekuens struktur kurikulum dan bahan ajar.
Sebelum melaksanakan perencanaan kegitan belajar
mengajar, perlu dipahami terlebih dahulu prinsip-prinsip umum dalam teori belajar, sebagai berikut: 1) Prinsip kesiapan. Pembelajaran akan mudah, efektif, dan efisien bila peserta didik telah dipersiapkan sepenuhnya, baik menyangkut kesiapan usia, kematangan, minat, mental, maupun motivasinya. Selain itu, kesiapan juga menyangkut lingkungan pendidikan, fasilitas, bahan ajar, instrument, dan tentunya kesiapan pendidiknya. 114
2) Prinsip penguatan (reinforcement) dari apa yang telah d i p e l a j a r i . ^ sering peserta didik melakukan apa-apa yang telah dipelajarinya^ semakin terbentuk kompetensi dan performasinya. 3) Nilai manfaat dan kebermaknaan; semakin peserta didik merasakan manfaat dari apa yang dipelajarinya, semakin tinggi pula motivasi untuk mempelajari hal tersebut lebih lanjut. Mengenai nilai kebermaknaan ini, Nana Syaodih (1988:151), menyatakan tiga persyaratan dalam belajar lebih bermakna, yaitu l) materi yang diajarkan dapat dihubungkan dengan struktur kognitif dengan cara beraturan dan karena adanya kesamaan isi; 2) siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan dipelajari, dan 3) siswa harus mempunyai kemauan atau motif untuk menghubungkan konsep tersebut dengan struktur kognitifnya. 4) Belajar dengan mengerjakan (learning by doing). Pembelajaran tidak hanya bertumpu pada upaya transfer pengetahuan, tetapi juga mempersyaratkan keterlibatan peserta didik. Semakin banyak pembelejaran yang memberikan ruang bebas bagi siswa untuk terlibat dan berkerativitas, maka semakin besar tanggung jawab, kemandirian, dan kreativitas siswa dalam proses pemahaman dan penguasaan kompetensi pada pelajaran yang dihadapinya. 5) Urutan yang tepat. Urutan kegiatan belajar yang efektif dan efisien mempersyaratkan adanya pembelajaran gradual, ewolutif, sistemik, dan mendasarkan pada apa yang sudah dikuasai oleh siswa. Untuk melangkah pada pengetahuan baru dan kompleks, harus didasarkan pada pengetahuan sederhana yang telah dikuasasi peserta didik. 6) Keberhasilan. Keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh siswa akan mendorong sikap positif, menumbuhkan kepercayaan diri, dan meningkatkan motivasi dan kuriositas belajar peserta didik. 7) Keyakinan. Keyakinan dan rasa percaya diri tumbuh tatkala peserta didik mengalami banyak keberhasilan dalam belajar. Hal ini akan menumbuhkan akselerasi belajar, peningkatan mutu intelektual, dan menciptakan suasana psikologis yang rileks, tenang, optimis.dan selalu siap untuk mendapatkan persoalan-persoalan baru dalam belajar. 8) Tantangan. Minat belajar peserta didik akan tetap tinggi, sekalipun dalam belajar selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan baru dalam belajarnya. Tantangan akan diminati peserta didik manakala ia senantiasa dimotivasi, dibimbing, dan diberi keleluasaan berkreativitas, dan sering mengalami keberhasilan dalam memecahkan tantangan-tantangan dalam belajar. Dalam pembelajaran
pembelajaran yang
Bahasa
Inggris,
mengimplementasikan
misalnya,
metode
integrated skills
harus
dan
strategi
diutamakan.
Konsep integrated skills di sini didefinisikan oleh Read dalam Matthews etal., (1985:72), sebagai;
115
"The integration of skills in language classroom can be defined quite simply as a series of activities or task which use any combination of the four skills— Listening (L), Speaking (S), Reading (R), Writing (W)—in a coniinous and related sequence ".
f
Persyaratan Akademik Dosen Persoalan pengembangan KBK tidak menjadi lebih mudah ketika sampai pada
fase implementasi Kurikulum. Komplikasi pada perencanaan kurikulum akan bertambah jika ide kompetensi dan bagaimana merealisasikan ide tersebut dalam perencanaan dosen (silabus), proses belajar, dan evaluasi hasil belajar tidak sesuai dengan apa yang diinginkan kompetensi. KBK menuntut pimpinan lembaga pendidikan (kepala sekolah, ketua program studi, dekan, rektor) professional yang dapat
bertindak
sebagai
educator,
innovator, dan motivator. KBK juga
manajer,
administrator,
supervisor,
leader,
menuntut tenaga pendidik (guru/dosen) yang
berkualitas dan professional, serta mampu menjadi fasilitator untuk melakukan kerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Dosen harus profesional dan qualifikasinya paling tidak berpendidikan Strata 2 (S2) karena mereka yang akan diajar adalah mahasiswa level Strata 1 (SI). Selain itu jumlah dosen harus disesuaikan dengan jumlah mahasiswa dengan ketentuan 1:30 misalnya. Jumlah dosen yang diperlukan dirinci menurut bidang dan tingkat kualifikasi akademik dengan memperhatikan substansi kajian yang telah ditetapkan. Setiap dosen yang terlibat dalam implementasi KBK harus kompeten dalam mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk silabus, proses belajar, dan evaluasi.
116
g. Sistem Evaluasi Evaluasi pada tahap ini diarahkan pada tiga ranah, yaitu evaluasi program, evaluasi
hasil
belajar,
dan
evaluasi proses
belajar
dan
mengajar.
Syaodih
(1988:120) menyebutkan bahwa "Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan, serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan". Hasil dari evaluasi berupa 1) feedback (umpan balik) proses pembelajaran berupa gambaran dari efisisensi dan efektivitas proses pembelajaran^)' mengetahui bagaimana pendidikan;
3}
pengelolaan pendidikan yang dilaksanakan pada institusi
gambaran
tingkat pencapaian
tujuan pendidikan
yang
telah
ditentukan. Aspek tujuan pendidikan tersebut telah tercapai secara maksimal atau terdapat berbagai hambatan dalam proses implementasi tujuan pendidikan tersebut.; 4) gambaran mengenai hasil belajat dan tingkat kompetensi peserta didik. Berkaitan dengan feedback evaluasi ini, Nana Syaodih (1986:120) mengemukakan, "Umpan balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha penyempurnaan, baik penentuan dan perumusan tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi, serta media belajar. Untuk memaksimalkan upaya evaluasi ini tentunya perlu adanya sistem evaluasi yang komprehensif, kompetibel, fleksibel, efisien, dan efektif Kriteria efisiensi internal dalam pelaksaan PBM, kriteria efektivitas program studi, pelacakan output dari program studi ketika memasuki lapangan kerja atau melakukan studi lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi; kesemuanya akan sangat bermanfaat sebagai feed back untuk penyempurnaan kurikulum program studi. Dukungan ilmu dan teknologi juga diperlukan pada tahap evaluasi program pendidikan atau kurikulum. Agar diperoleh hasil evaluasi yang obyektif, valid, dan reliable, maka 117
diperlukan prosedur dan alat evaluasi yang tepat, yang dikembangkan dengan mengacu pada ilmu dan teknologi yang sesuai. Evaluasi program. Evaluasi program diarahkan untuk melihat efektivitas program dalam pembelajaran mahasiswa sehingga dapat memperoleh kompetensi yang telah ditetapkan. Evaluasi program ini termasuk evaluasi terhadap kurikulum yang digunakan. Pelaksanaannya perlu dilakukan secara kontinyu terhadap semua komponen pembelajaran yang digunakan dalam penyelenggaran perkuliahan, beserta permintaan umpan balik dari mahasiswa, lulusan, dan stakeholders. Evaluasi hasil
belajar.
Evaluasi hasil
belajar diarahkan untuk menilai
keberhasilan pencapaian atau penguasaan kompetensi dari peserta didik, sesuai dengan tujuan yang harus dicapai, baik menyangkut domain kompetensi kognitif, apektif, maupun psikomotor. Untuk menilai kompetensi pada tiga domain tersebut, tentunya, memerlukan alat evaluasi yang cocok. Untuk menilai kompetensi kognitif peserta didik digunakan alat evaluasi tes lisan atau tertulis. Untuk menilai kompetensi
domain
psikomotor,
digunakan
tes
tindakan
(performance
tels).
Sedangkan untuk menilai kompetensi domain psikomotor dipergunakan observasi, wawancara, atau angket. Evaluasi terhadap mata kuliah praktikum memiliki karakteristik yang khusus terutama kaitannya dengan tuntutan pengalaman belajar yang bersifat performansi untuk kerja sesuai dengan keahlian dari setiap program studi (Abdulhak, 2004:6). Evaluasi dapat dibedakan menurut lingkup luas bahan, jangka waktu belajar, dan perannya, yaitu menjadi bentuk evaluasi formatif'dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif, Menurut Gronlund (1976:17), adalah monitor learning progress during instruction. 118
"formative évaluation is used to
Ils purpose is to provide continuous
feed back to
both pupil and teacher concerning success
and failure"
Evaluasi
formatif diarahkan untuk menilai kompetensi peserta didik dalam penguasaan bahan pelajaran yang dipelajarinya dalam jangka waktu relatif pendek atau selesai mempelajari satu satuan bahasan (pokok bahasan). Tujuan evaluasi formatif adalah 1) untuk memperbaiki proses belajar mengajar,
2) membantu kesulitan-kesulitan
belajar siswa, dan 3) medapatkan gambaran efektivitas dan efisiensi pengelolaan proses belajar mengajar. Mengenai evaluasi sumatif, Gronlund (1976:499-500) mengemukakan: "A comprehensive evaluation of pupil achievement at the end of a course, or at some particular summing up point in the course (e.g., mid-semester), falls within the real up summative evaluation. The purpose here is to obtain a general measure of learning progress that can be used for 1) assigning grades, 2) reporting learning progress to parents, pupils, and school personel, and 3) improving learning and instruction. " Dari pernyataan Gronlund tersebut diketahui bahwa evaluasi sumatif diarahkan untuk 1) menilai penguasaan peserta didik terhadap tujuan-tujuan yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu program pendidikan, dalam program satu semester, atau tahun akademik, atau selama jenjang pendidikan; 2) menentujan kemajuan kompetensi peserta didik, kenaikan jenjang, kelualusan ujian; serta 3) menilai efektivitas program secara komprehensif. Implementasi dari evaluasi sumatif ini dapat ditempuh dua pendekatan, yaitu criterion referenced dan norm referenced. Dalam criterion referenced digunakan untuk mengukur keberhasilan dan kompetensi peserta didik melalui suatu tes. Hasil tes tersebut dibandingkan dengan criteria tertentu yang merupakan batas lulus atau batas kemampuan terendah yang harus dimiliki oleh peserta didik, misalnya 60% dari tujuan atau bahan yang diberikan. Kriteria tersebut harus terlebih dahulu ditetapkan sebelum evaluasi dilaksanakan,
119
bahkan
sejak
awal
materi
pelajaran
diberikan.
Sedangkan
norm
referenced
dipergunakan untuk mengukur keberhasilan dan kompetensi peserta didik dengan membadingkan hasil test di antara para peserta didik dalam satu kelompok kelas atau sekolah, daerah
ataupun nasional. Dalam norm referenced tidak ada standar
dankriteria yang ditetapkan terlebih dahulu. Evaluasi Proses Belajar Mengajar. Keseluruhan proses belajar mengajar harus dievaluasi sebagai suatu sistem yang meliputi komponen-komponen 1) tujuan pengajaran, 2) komponen bahan pelajaran yang menyangkut sekuens bahan ajaran, 3) strategi mengajar dan media mengajar, dan termasuk 4) sistem evaluasi yang diterapkan.
Menurt
Stuffle
Beam
et
al.
sebagaimana
dikutip
Sukmadinata
(1988:121) bahwa "Dalam program mengajar komponen-komponen yang dievaluasi adalah komponen tingkah laku (performansi) meliputi sub komponen kognitif dan psikomotor, komponen mengajar yang meliputi siswa, guru, administratr, spesialis pendidikan, keluarga, dan masyarakat". Alat yang dapat dipergunakan untuk mengevaluasi komponen-komponen dari proses pelaksanaan belajar mengajar adalah tes dan non tes. Tes digunakan untuk menilai hasil belajar siswa, sedangkan non tes (berupa observasi, angket, wawancara, dan studi dokumentasi) digunakan untuk menilai komponen belajar. Evaluasi dapat dilakukan oleh guru sendiri dan atau bersama pihak-pihak lain yang berwenang, seperti kepala sekolah dan pengawas. Evaluasi seperti ini seringkah identik dengan monitoring karena sifatnya yang kontinyu dan komprehensif. dilakukan
melalui
pengumpulan
informasi
mahasiswa dengan menggunakan portofolio.
120
dari
Dapat pula evaluasi
keseluruhan
aktifitas
belajar
k Fasilitas Utama Sebagaimana disebutkan Sukmadinata (2000:150) bahwa salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah praktis atau efisien, yakni mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahliankeahlian dan peralatan-peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis. Namun demikian, kurikulum tersebut harus murah sederhana, dan murah, tapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan, baik secara kuatitas dan kualitas. Keberhasilan kurikulum akan mempemgaruhi keberhasilan pendidikan. Prinsip efektifitas berkaitan dengan pengendalian mutu keberhasilan proses kurikulum (pembelajaran) dalam melejitkan dan mengoptimalkan perkembangan peserta, sedangkan
prinisp
efisiensi
berkaitan
dengan
pengendalian
mutu
ketepatan
pelaksanaan kurikulum dan pemanfaatan komponen pendukung. Jenis
dan
jumlah
fasilitas
yang
diperlukan
diidentifikasi
dengan
memperhatikan kompetensi utama, substansi kajian, dan proses pembelajaran (disusun dalam bentuk tabel).
A.
Review dan Validasi Kurikulum (Ujicoba dan Penyempurnaan) Secara ideal desain kurikulum yang telah disusun tidak langsung digunakan,
tetapi terlebih dahulu divalidasikan. Kegiatan validasi dilakukan melalui ujicoba minimal pada satu kelas tahun pertama atau beberapa kelas selama masa pendidikan.
121
Selama ujicoba diadakan evaluasi yang intensif dan kontinyu sebagai pijakan penyempurnaan. 5. Implementasi Kurikulum Kurikulum yang telah disempurnakan tersebut diimplementasikan pada seluruh kelas selama masa pendidikan.
Dalam mengimplementasikan
kurikulum
ini
semaksimal mungkin menyediakan faktor penunjang kurikulum yang mencakup personalia
(dosen/instruktur,
konselor,
staf
administrasi,
teknisi,
laboran,
pustakawan, dll), sarana, prasarana dan peralatan pendidikan, media dan sumber belajar, biaya, manajemen dan iklim pendidikan yang kondusif.
6. Evaluasi Kurikulum Evaluasi terhadap kurikulum yang telah dikembangkan perlu dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, mulai dari identifikasi dan analisis kebutuhan hingga implementasi kurikulum. Oliva (1992:180) memberikan anjuran mengenai batasan-batasan waktu mengevaluasi kurikulum.
122
Tabel 2.9 Batasan Waktu Pelaksanaan Evaluasi Kurikulum Suggested Schedule for Reassessing Curriculum Development Components In depth: Every 10 years Aims of education Limited: Every 5 years In depth: Every 3 years Assessment of needs Limited: Every year In depth: Every 2 year Curriculum goals Limited: Every year In depth: Every 2 years Curriculum Objectives Limited: Continuously In depth: Every year Instuctional goals Limited: Continously In depth: Every year Instructional objectives Limited: Continuously Every 10 years Organization and implementation of In depth: the curriculum Limited: Every year Other components Continously
Evaluasi
yang
komprehensif
dan
berkelanjutan
ini
dilakukan
untuk
memperoleh feed back untuk perbaikan kurikulum yang sedang dilaksanakan. Perbaikan yang dilakukan sebagai tindak lanjut kegiatan evaluasi terhadap bahan kurikulum terhadap pelaksanaan maupun perbaikan terhadap bahan kurikulum.itu sendiri dalam rangka pemutakhiran. Menurut Ibrahim (2005:12), evaluasi dalam rangka
pemutakhiran
kurikulum
erat kaitannya
dengan dinamika
kebutuhan
masyarakat maupun globalisasi ipteks dan dilakukan melalui kajian tentang kesenjangan kurikulum yang ada dengan perkembangan yang terjadi di lapangan. Menurut Hamalik (2004:34), evaluasi kurikulum memiliki empat fungsi utama, yaitu l) fungsi edukatif, 2) fungsi diagnostik, 4) fungsi kurikuler, dan 4) fungsi
administratif.
Fungsi
edukatif berarti
evaluasi
kurikulum
berfungsi
menyediakan informasi tentang proses pendidikan yang telah terlaksana melalui prosedur pelaksanaan kurikulum, dan memberikan informasi menyeluruh tentang 123
ketercapaian tujuan pendidikan baik tujuan institusional, tujuan kurikuler, maupun tujuan instruksional. Fungsi kurikuler, berarti evaluasi dapat memberikan gambaran yangtepat tentang pelaksanaan dan hasil kurikulum. Kebaikan dan kelemahan, kesulitan dan masalah yang ada; kesemuanya menjadi umpan balik bagi perbaikan kurikulum. Fungsi diagnostic, berarti evaluasi kurikulum berfungsi mnyediakan informasi akurat tentang kesulitan yang ditemuai pendidik dan masalah yang dirasakan oleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Follow wp-nya adalah merumuskan langkah-langkah yang dapat membantu pendidik dan cara-cara yang diperlukan dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada peserta didik. Sedangkan fungsi administrative-manajerial, berarti evaluasi berfungsi menyediakan informasi akurat yang dibutuhkan untuk menyusun kebijakan kurikulum. Evaluasi kurikulum dilakukan secara berjenjang dan diarahkan untuk menilai; 1) proses penjajakan kebutuhan dan kelayakan sebagai langkah awal untuk desain kurikulum; 2) proses perencanaan dan pengembangan suatu kurikulum sesuai dengan kebutuhan suatu satuan pendidikan;
3) proses pelaksanaan kurikulum yang
berlangsung dalam proses belajar mengajar; 4) proses penilain kurkulum untuk mengetahui tingkat produk dan keberhasilan kurikulum; 5) proses perbaikan kurikulum berdasarkan hasil evaluasi terhadap keterlaksanaan kurikulum; 6) proses penelitian evaluasi kurikulum.
7. Sosialisasi Termasuk dalam sosialisasi ini adalah pengembangan jaringan kerja dengan kelompok pemrakarsa, termasuk stakeholders, sangat diperlukan dalam keseluruhan upaya pengembangan kurikulum. Adanya jaringan kerja dengan kelompok ini
124
berkaitan erat dengan kegiatan evaluasi dan pemutakhiran kurikulum, selain juga berkaitan dalam rangka analisis kebutuhan yang perlu dilakukan pada awal upaya pengembangan kurikulum.
F. PENGEMBANGAN KURIKULUM DI PERGURUAN TINGGI
Pedoman formal yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum perguruan tinggi di Indonesia adalah Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) No. 232/U/2000 tentang Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Hasil Belajar, Kepmendiknas No. 045/U/ 2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi, dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 353 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Agama Islam. Dalam rangka
pengembangan kurikulum di suatu perguruan tinggi,
khususnya kurikulum yang sudah berjalan dan akan dilakukan penyempurnaan, kegiatan awal yang harus dilakukan adalah menelaah implementasi kurikulum tersebut
yang
berfokus
pada
tiga
aspek,
yaitu;
efektivitas,
efisiensi,
dan
keterlaksanaan. Ibrahim (2004:12) menjelaskan sebagai berikut: Aspek efektivitas diarahkan pada upaya peningkatan ketercapaian tujuan atau kompetensi-kompetensi yang diharapkan melalui upaya pengembangan tersebut. Aspek efisiensi diarahkan pada upaya peningkatan optimalisasi proses dan penggunaan sumberdaya (tenaga, fasilitas, lingkungan, biaya) untuk menghindari terjadinya pemborosan proses dan sumberdaya yang tersedia. Aspek kelaikan/ keterlaksanaan diarahkan pada upaya penyesuaian cara-cara yang ditempuh dalam melaksanakan pengembangan tersebut agar secara teknis maupun finansial dapat diterapkan oleh satuan-satuan pendidikan lain dalam skala yang lebih besar.
125
Adapun pengembangan kurikulum suatu program studi di perguruan tinggi dapat dilakukan melalui dua tahap utama, yaitu: pengembangan kurikulum inti dan pengembangan kurikulum utuh. Kedua tahap ini berurut, artinya
kurikulum utuh
suatu program studi baru dapat dihasilkan setelah dilakukan pengembangan kurikulum intinya. Program Studi
Menurut Ibrahim dalam Lokakarya Nasional Kurikulum Inti
Teknologi Pendidikan 15 - 17 Februari 2005
di UPI dijelaskan
bahwa: Kurikulum inti merupakan penciri dari kompetensi utama yang harus dicapai oleh masing-masing program studi, yang membedakannya dari program studi yang lain. Kompetensi utama merupakan perangkat kompetensi yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan dengan tepat tugas-tugas profesionalnya. Kompetensi utama ini lah yang mencerminkan tujuan pokok program studi yang harus dicapai oleh semua lulusan program studi tersebut.
Sedangkan kurikulum utuh setiap program studi
merupakan perpaduan antara kurikulum inti dan komponen institusional yang dikembangkan oleh
masing-masing lembaga (institusi). Komponen institusional
dikembangkan untuk mencapai (1) kompetensi pendukung; dan (2) kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. Kompetensi pendukung merupakan kompetensi yang berfungsi meningkatkan kemantapan pelaksanaan tugasnya sebagai tenaga kependidikan yang bersangkutan, untuk lebih mengukuhkan kompetensi utama. Kompetensi lain merupakan kompetensi tambahan yang dapat melengkapi kompetensi utamanya sebagai tenaga kependidikan yang bersangkutan. Proporsi kompetensi pendukung dalam setiap program studi berkisar antara 20 - 40 % dari keseluruhan kompetensi sedangkan proporsi kompetensi lain berkisar antara 0 - 3 0 %. Dengan kata lain, kurikulum utuh suatu program studi mungkin saja mencakup kompetensi utama dan kompetensi pendukung saja, tanpa kompetensi lain.
126
G. SUBSTANSI KAJIAN BAHASA DAN SASTRA INGGRIS Substansi kajian Bahasa dan Sastra Inggris kalau mengacu kepada konsep Kurnas Prodi Pendidikan Bahasa Inggris oleh Djiwandono, dkk., (2001) yang dikutip dari
Sundayana
dalam
buku
Revitalisasi
Pendidikan
Bahasa
(2003:
47)
tergambarkan pada bagan kurikulum inti pada gambar berukut ini:
KURIKULUM INTI
LANGUAGE COURSES
ELT COURSES
LINGUISTICS COURSES
TEACHING PRACTICE
LITERATURE COURSES
Gambar 2.6 Kurikulum Inti Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Sumber: Konsep Kurnas Prodi Pend. Bhs. Inggris oleh Djiwandono, dkk., (2001), dalam Alwasilah dan Abdullah (ed.), (2003).
Dari bagan tersebut tergambarkan bahwa kurikulum inti Prodi Pendidikan Bahasa Inggris terbagi dua secara makro, yakni 1) rumpun bahasa (language courses), (linguistics
konsep-konsep dasar yang melekat pada bidang courses),
dan
kesusastraan
(literature
courses);
keilmuan bahasa dan
2)
rumpun
pengajaran (ELT subjects) dan Teaching Practice. Kalau demikian adanya maka
127
bedanya antara kurikulum Inti Prodi Pendidikan Bahasa Inggris dengan Prodi Bahasa dan Sastra Inggris adalah bahwa pada Prodi Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) tidak membahas tentang pengajaran (ELT subjects) dan Teaching Practice,
sehingga
kurikulum inti program studi BSI hanya terdiri atas language courses, linguistics courses, dan literature courses. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini: KURIKULUM INTI
LANGUAGE COURSES
LINGUISTIC COURSES
LITERATURE COURSES
KOMPETENSI UTAMA
Gambar 2.7 Kurikulum Inti Bahasa dan Sastra Inggris
Artinya bahwa
kurikulum inti Prodi Bahasa dan Sastra Inggris, yang
kemudian menjadi kompetensi utama terdiri atas 1) bidang kajian bahasa (language courses),
2) ilmu bahasa (linguistics courses), dan 3) kesusastraan (literature
courses). Adapun paparannya adalah sebagai berikut:
1. Kajian Bahasa Inggris (Language Courses) Substansi bahasa Inggris terdiri atas keterampilan berbahasa Inggris (language skills) yang terdiri atas menyimak (listening), 128
berbicara (speaking),
membaca (reading), dan menulis (writing); dan aspek-aspek aspects) yang terdiri atas:
tata bahasa (grammar),
(vocabulary), pengucapan (pronunciation), dan penggunaan bahasa (language in use). a. Menyimak (Listening) Menyimak (listening) merupakan keterampilan utama dan pertama dilakukan oleh manusia. Menurut Morley (1984) yang dikutip Widayanto (2000: 9), listening is not a passive skill since it requires full participation and the undivided attention of the listener. Artinya, menyimak bukanlah keterampilan pasif, sebab menyimak membutuhkan partisipasi dan perhatian penuh dari sang penyimak. Ketika manusia lahir ke dunia, keterampilan yang pertama diajarkan bahkan tak terajarkan karena banyaknya suara yang berbunyi, adalah menyimak. Keterampilan menyimak yang harus
dikuasai siswa agar dapat melakukan kegiatan menyimak dengan efektif
menurut Richards yang dikutip oleh Brown (2001: 253) dalam Sukyadi (2003: 1) adalah: 1. Menyimpan informasi bahasa dengan panjang yang berbeda-beda pada ingatan jangka pendek. 2. Membedakan bunyi yang berbeda. 3. Mengenal pola bahasa Inggris bertekanan, kata dalam posisi bertekanan dan tak bertekanan, struktur ritme intonasi, kontur intonasi, dan peran mereka dalam menandai informasi. 4. Mengenal bentuk kata yang direduksi. 5. Membedakan batas kata inti kata dan menafsirkan pola urutan kata dan signifikansinya. 6. Memproses ujaran pada berbagai kecepatan. 7. Memproses ujaran yang berisi jeda, kesalahan, koreksi, dan variabel penampilan lainnya. 8. Mengenal kelas kata, kala, jamak, agreement, ellipsis, dan lain-lain. 9. Mendeteksi konstituen kalimat dan membedakan antara konstituen mayor dan minor. 10. Mengenal cohesive devices dalam bahasa lisan (after, before, dll.).
129
11. Mengenal fungsi komunikatif ujaran menurut situasi, peserta yang terlibat, dan tujuan. 12. Menyimpulkan situasi, peserta, dan tujuan menggunakan pengetahuan mengenai dunia nyata. 13. Mengenal bahwa makna tertentu dapat diungkapkan dalam bentuk gramatika yang berbeda. 14. Dari peristiwa atau gagasan yang diberikan, menggambarkan menduga hasil, menyimpulkan hubungan antar peristiwa, mencari hubungan sebab akibat, menemukan gagasan utama, ide pendukung, informasi baru, generalisasi dan penjelasan. 15. Membedakan mana literal dan implied. 16. Menggunakan ekspresi muka, gerakan, bahasa tubuh, dan perilaku nonverbal lainnya untuk memaknai bahasa. 17. Menggunakan strategi menyimak seperti mencari kata kunci, menebak makna dari konteks, meminta pertolongan, menandai apakah memahami atau tidak atas bahasa yang didengar. b. Berbicara (Speaking) Keterampilan ke duayang dilakukan manusia
pasca menyimak adalah
berbicara. Berbicara merupakan respon dari menyimak, maka wajar sekali apabila menyimak dengan berbicara tak bias dipisahkan (close relationship). Mulgrave (1954: 3-4) yang dikutif olehTarigan (1996; 15) mengatakan bahwa: "Speaking is an instrument in expressing (messages) to the listener almost directly whether the listener understands or not, whether the speaker or listener understands the materials or not, and whether the speaker or the listener is in control and able to adjust the situation when he is communicating his idea or he is aware and enthusiastic or not. " Artinya bahwa berbicara itu merupakan suatu instrumen untuk mengekspresikan pesan-pesan kepada pendengar hampir secara langsung apakah yang menyimak itu memahami atau tidak, apakah orang yang bicara atau mendengar itu memahami materinya atau tidak, dan apakah pembicara atau penyimak itu mengontrol dan mampu memahami situasi ketika dia sedang mengkomunikasikan ide-idenya atau dia sadar dan antusias atau tidak. Yang jelas bahwa berbicara adalah termasuk productive skill dimana dia mampu mengekspresikan ide-idenya secara lisan.
130
Adapun elemen-elemen berbicara, menurut Harmer (2001: 269), adalah sebagai berikut: 1. Language features (fitur-fitur bahasa): a) connected speech: penutur bahasa Inggris yang efektif tidak hanya harus mampu melafalkan fonem-fonem individu seperti dalam ungkapan / would have gone, tetapi juga mesti fasih mengucapkan connected speech seperti dalam ungkapan I'd 've gone. b) expressive devices: penutur asli bahasa Inggris harus mampu mengatur tekanan pada setiap bagian ujaran, mengatur volume dan kecepatan, dan menunjukkan perasaan melalui tindakan non-verbal. c) lexis and grommar, ujaran spontan ditandai oleh penggunaan sejumlah frasa leksikal umum, terutama dalam menggunakan fungsi-fungsi bahasa tertentu. d) negotiation language: bahasa negosiasi digunakan untuk klarifikasi dan memperjelas struktur ucapan. 2.
Mentallsocialprocessing a) language processing: penutur yang efektif harus mampu memproses bahasa datam pikiran dan mengungkapkannya datam susunan yang teratur, sehingga maksud penutur bisa tersampaikan. b) interacting with others: pembicaraan yang efektif juga mesti membutuhkan kemampuan
menyimak
dan
memahami
perasaan
penyimak,
sebab
pembicaraan melibatkan interaksi antara dua partisipan atau lebih. c) (on-the-spot)
Information processing: terlepas dari respon kita terhadap
perasaan orang lain, kita juga harus mampu memproses informasi tepat pada saat kita mendapatkan informasi tersebut. 131
c. Membaca (Reading) Membaca adalah ketempilan memahami teks
atau apa yang dibaca. Dulu
orang mendefinisikan bahwa keterampilan membaca ini hanya disebut dengan keterampilan menerima atau pasif saja (passive skill) karena hanya melakukan kegiatan membaca saja. Padahal hal yang paling berarti dari kegiatan membaca ini adalah
bagaimana mampu
memahami
apa
yang
dibaca
dan juga mampu
mengkritisinya. Makanya kegiatan membaca ini bukan lagi hanya dikatagorikan sebagai kegiatan yang pasif atau menerima saja, tetapi sudah masuk dalam katagori aktif kalau tujuannya memahami dan mengkritisinya (active skill). Menurut Harmer (2001: 210), dalam proses pembelajaran membaca, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan, yakni sebagai berikut: 1.
Extensive reading a) extensive
reading
materials:
salah
satu
prasyarat
mendasar
dalam
menyukseskan program membaca ekstensif adalah bahwa siswa harus membaca materi yang bisa mereka pahami. b) setting up a library: untuk merancang sebuah program membaca ekstensif, perlu dikembangkan sebuah perpustakaan yang menyediakan buku-buku yang relevan. c) the rôle of the teacher in extensive reading programmes: sebagian besar siswa tidak akan mengikuti program membaca ekstensif sendiri jika tidak diwajibkan oleh para guru. d) extensive reading tasks: karena siswa diperbolehkan memilih teks bacaannya sendiri, mereka tidak akan membaca teks yang sama sekaligus, dan mereka akan mengikuti keinginan dan minat mereka. 132
2.
Intensive reading a) organiser: siswa harus diberitahu tentang tujuan bacaan mereka, dan berapa lama mereka harus membaca. b) observer. jika siswa diminta membaca sendiri, mereka harus diberi ruang untuk melakukan hal tersebut. c) feedback organiser. jika siswa telah menyelesaikan tugas, siswa diikutkan dalam sesi feedback untuk memastikan bahwa tugas itu terselesaikan dengan baik. d) prompter:
setelah
selesai
membaca
sebuah
teks,
siswa bisa
diminta
mencermati fitur-fitur bahasa dalam teks tersebut.
d. Menulis (Writing) Menurut Tarigan (1985: 3) menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Sementara itu menurut Alwasilah (1997: 169) bahwa menulis adalah suatu modus pengorganisasian makna-makna. Bagian-bagian teks dihubungkan satu sama lain. Di dalamnya terlibat kepaduan (kohesi), struktur proposisi dan urutan jalan pikiran. Dengan demikian menulis merupakan proses mengorganisasikan ide-ide, pesan, atau pengalaman secara runtun dan jelas kedalam bahasa tulisan denga tujuan agar mudah dipahami oleh si penerima pesan (pembaca). Menulis bahasa Inggris sebagai bahasa asing di negara kita
merupakan
keterampilan yang paling sulit dan kompleks dibandingkan dengan keterampilan yang lainnya seperti menyimak, membaca, dan berbicara. Ini dikarenakan menulis memerlukan bukan saja grammatika dan retorika , tetapi juga organisasi tulisan,
133
pemilihan kata, dan
aturan menulis lainnya, sehingga keterampilan ini dikatakan
lebih formal, artinya bahwa When we write, unlike when we talk, ...but it is public in that most writing
is intended for an audience (Broughten, 1978: 116).
Menulis
berbeda dengan berbicara karena menulis dimaksudkan untuk para pembaca sehingga gaya dan pola berfikir penulis akan terpahami. Tyner (1985: 5) mengatakan bahwa Writing is a difficult skill improved by practice,
it
that can be
needs many hours of writing practice. Artinya bahwa
menulis itu merupakan suatu keterampilan yang sulit dan hanya dapat ditingkatkan dengan banyaknya latihan bahkan bisa berjam-jam latihannya karena kesulitannya ada pada aspek-aspek spelling, punctuation and grammar, arranging and expressing their thoughts (Barras, 1984: 3). Selain itu menulis merupakan proses berfikir atau Writing is a thinking process (Wilkinson, 1986: 8). Banyak cara yang bisa ditempuh untuk memperoleh keterampilan menulis ini, menurut Hughey (1983: 6) they have to practice a lot (write and re-write), read much,
master grammatical, mechanical, rhetorical
device aspects, and of course,
writing principles, so that their writings can be understood by the readers. Kalau memahami ini, maka sangat beralasan sekali bagaimana orang harus menemui kesulitan dalam menulis karena harus banyak berlatih, menulis terus, membaca terus sebagai bahan pengetahuan, menguasai kaidah bahasa, mekanika, aspek-aspek retorika, dan tentu saja prinsip-prinsip menulis. Sulitnya keterampilan menulis ini
juga dirasakan oleh para mahasiswa
Indonesia di Amerika, hasil penelitian Alwasilah di Amerika yang dikutif
oleh
Mansyur (2002: 3) menunjukkan the most difficult activity for Indonesian students studying in USA is writing paper or other academic reports. Artinya bahwa 134
para
mahasiswa Indonesia di Amerika merasa sangat kesulitan dalam menulis makalah dan laporan ilmiah lainnya. Peneliti Iain, Fisher (1991: 1) mengatakan Indonesian students were hesitant about writing in English although they were competent in structure. Gosal (1995: 12) mengatakan bahwa: Research in writing also found that out of 73 students (in which eight of them were Indonesian students of the Applied English Center (An English program for International students at the University of Kansas, USA), only 12 students had progressed after a one- year writing course. Yet, the improvement was not significant enough to reach the minimum passing grade, out of the 12 students who had progressed; one of them was an Indonesian student.
Berdasarkan hasil penelitian itu, sangat jelas bahwa menulis pada prinasipnya adalah keterampiulan yang sangat kompleks dimana dari 73 pelajar dilatih dalam setahun dan yangmengalami kemajuan hanya 12 orang, dan salah satunya terdapat pelajar Indonesia. Mansyur (2002:
112) melakukan penelitian tentang menulis ini pada
mahasiswa program studi sastra Inggris IAIN Sunan Gunung Djati Bandung yang hasilnya menunjukan bahwa mereka mempunyai kesulitan dalam hampir semua hal: pengetahuan, organisasi tulisan, grammatika, penggunaan kosa kata, penggunaan mekanika (penggunaan: tanda baca, kapitalisasi, pemaragrafan dan ejaan). Bahkan kesulitan yang paling kentara adalah dalam hal pengetahuan, disusul dengan bagaimana
mengekspresikan
idenya
secara
runtut,
penggunaan
tatabahasa,
pembendaharaan dan penggunaan kosakata, serta penggunaan mekanika tulisan seperti penggunaan tanda baca, penggunaan hurup besar, dan ejaan. Dalam menulis, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan agar tidak tertinggal satupun karena semuanya itu terintegrasi. Artinya orang yang menulis dengan meninggalkan salah
135
satu dari aspek menulis ini bisa dikatakan belum bisa dianggap penulis yang baik. Jacobs et al. (1981:30) mengatakan bahwa terdapat 5 aspek dalam menulis, yaitu: 1. Content: knowledge, substantive, thorough development of thesis and relevant to topic. 2. Organization: fluent expression, well organized, logical sequencing and cohesive. 3. Vocabulary: effective word/idiom choice and usage, word form mastery. 4. Language use: effective complex constructions, understanding to tens agreement, prepositions, articles, pronouns and the like. 5. Mechanics: spelling, punctuation,
and capitalization.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, aspek-aspek menulis terbagi atas:
pengetahuan,
organisasi,
penggunaan
aturan
bahasa
atau
grammatika,
penggunaan kosa kata yang tepat makna, dan penggunaan mekanik yang tepat yakni tanda baca, ejaan, pemaragrapan, dan penggunaan hurup besar. Ke lima aspek tersebut tidak bisa terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan setiap tulisan harus menyangkut semua aspek tersebut. Dalam menulis tentu saja diperlukan suatu proses agar tulisan itu sesuai dengan apa yang dikehendaki. Proses menulis menurut Graves (1986) yang dikutif oleh
Carlo (1995:164) adalah
.... the process begins when the writer consciously
starts a topic and is finished when the written piece is published. Dari pernyataan di atas menggambarkan bahwa proses menulis
dimulai dari penentuan topik sampai
dengan tulisannya itu dipublikasikan. Menurut Daniels dan Zemelman yang dikutip oleh Carlo (1995:164) bahwa the writing process model centers on pre-writing, writing, and revising. Proett dan Gill yang dikutif De Carlo (1995:164) ... carry on the above notion a step further by identifying three productive stages where
the
teachers
should directly
involve
students in the writing process - before they write, when they are writing, and after
136
they write. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa ada 3 tahapan pros* yaitu: pre-writing, drafting, dan revising, Berdasarkan hal di atas, maka proses menulis itu pada umumnya terdiri atas pre-writing atau planning dimana si penulis harus menentukan topik apa yang akan ditulis, kemudian dilanjutkan kepada membuat draft tulisan berdasarkan outline yang dibuat pada tahapan pre-writing, kemudian merevisi tulisannya sampai kepada tingkatan yang lebih baik (improvement), bahkan sampai kepada tulisannya itu dipublikasikan. Cara mengevaluasi proses menulis dapat dilakukan dengan melihat kepada aspek-aspek menulis, yakni: isi (content), tatabahasa
(grammar),
pembendaharaan
(vocabulary), dan penggunaan
organisasi (organization), penggunaan kosakata
dan
penggunaannya
mekanika menulis (mechanics): penggunaan tanda
baca, ejaan, dan hurup besar.
e. Kosakata (Vocabulary) Dalam Richards dkk. (1992: 400), vocabulary adalah seperangkat lexeme, termasuk kata-kata tunggal, kata-kata gabungan, dan berbagai idiom. Kosa kata merupakan elemen yang sangat penting karena kosakatalah bahasa itu ada. Artinya bahwa kosakata merupakan inti dari bahasa karena sangat mustahil bahasa itu akan ada apabila tanpa kata. Itulah sebabnya kosakata ini menjadi modal utama untuk menguasai suatu bahasa sehingga da peribahasa yang mengatakan kalau orang sudah menguasai kosa katanya maka ia telah mengasai 75% bahasa itu. Dalam kaitannya dengan kosakata, bukan hanya keya akan jumlah kosakata (vocabulary enrichment),
akan tetapi pemahaman akan kosa kata itu yang tak kalah pentingnya
137
sebab hal ini berhubungan dengan penggunaan kosa kata itu secara tepat makna dalam suatu kalimat. Oleh karenanya, orang tidak cukup dengan kaya akan kosa kata saja, tetapi juga harus mampu menggunakannya secara tepat (diction). Menurut Brown (1994: 365), pembelajaran vocabulary harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Alokasikan waktu khusus dalam kelas untuk mempelajari vocabulary. 2. Bantulah siswa mempelajari vocabulary dalam konteks tertentu. 3. Manfaatkan peranan kamus dwi-bahasa. 4. Doronglah siswa untuk mengembangkan strategi dalam menentukan makna kata.
/ Aturan Berbahasa (Grammar) Menurut Richards dkk. (1992: 161), grammar adalah gambaran struktur sebuah bahasa, dan aturan tentang bagaimana unit-unit linguistik seperti kata dan f rasa digabungkan untuk membentuk kalimat dalam bahasa tersebut. Tatabahasa merupakan aturan berbahasa, artinya bagaimana mengungkapkan ide baik itu secara lisan atau tulisan dengan menggunakan aturan bahasa yang benar. Harmer (2002: 12) mengatakan bahwa "the grammar of a language is the description of the ways in which words can change their forms and can be combined into sentences in that language." Artinya bahwa gramatika suatu bahasa merupakan gambaran dari cara-cara dimana kata-kata itu bisa berubah bentuknya
dan
digabungkan ke dalam kalimat-kalimat dalam bahasa itu. Oleh karenanya, gramatika fungsinya adalah menyusun kata-kata menjadi kalimat-kalimat dengan menggunakan aturan bahasa yang benar. Bahkan lebih jauh beliau mengatakan "if grammar rules are too carelessly violated, communication may suffer, although,
138
...
creating a
"good" grammar rule is extremely difficult" (Harmer, 2002: 12). Artinya bahwa tanpa menggunakan aturan bahasa yang benar, maka komunikasi menjadi menderita meskipun
menciptakan
komunikasi
yang
beraturan
bahasa
yang
benar
itu
menyulitkan. Menurut Brown (1994:
350),
ada sejumlah hal penting yang harus
diperhatikan dalam pembelajaran grammar, yakni sebagai berikut: 1. Age (usia): fokus pembelajaran grammar mesti disesuaikan dengan tingkat usia siswa. 2. Proficiency level (tingkat profisiensi): fokus pembelajaran grammar tidak boleh dipaksakan terlalu banyak dan mesti dikonsentrasikan pada satu poin khusus yang dipahami semua siswa. 3. Educational
background
(latar
pendidikan):
pengajar
grammar
mesti
memperhatikan apakah siswanya berasal dari kalangan kurang berpendidikan, sebab siswa dari kalangan ini akan sangat sulit mencerna kompleksitas istilahistilah grammar. 4. Language skills (kecakapan berbahasa): karena pentingnya menulis dan tuntutan kesempurnaan gramatika dalam bentuk bahasa tertulis, fokus grammar mesti lebih dititikberatkan pada menulis daripada berbicara, membaca, atau menyimak. 5. Register (register): pengajar grammar mesti membedakan konteks formal dan informal sehingga bisa menyesuaikan isu apa yang akan dibahas. 6. Needs and goals (kebutuhan dan tujuan): jika siswa diorientasikan menjadi para profesional, maka perlu diperhatikan dimana titik berat pembelajaran. Pengajar grammar mesti mengetahui apa kebutuhan dan tujuan pembelajaran grammar yang diberikan kepada siswa. 139
2.
Kajian Linguistik (Linguistic Courses) Menurut Richards dkk. (1992: 215), linguistics is the study of language as a
system of human communication (linguistik adalah studi bahasa sebagai sebuah sistem komunikasi manusia). Kendati bermacam studi tentang fenomena bahasa telah dilakukan selama berabad-abad, baru akhir-akhir ini linguistik diterima sebagai sebuah disiplin yang independen. Linguistik memiliki dua peran penting, sebagaimana dikatakan Stork dan Widdowson(1983: 16), bahwa: Linguistics has two major roles: 1. to establish a workable theory of language at all levels from phonology to semantics, and 2. to apply theoretical considerations to a description or analysis of language or languages. Bicara substansi kajian bidang linguistik, secara garis besar ilmu bahasa terbagi menjadi dua cabang besar dilihat dari pendekatannya: linguistik deskriptif dan linguistik komparatif. Linguistik deskriptik adalah cabang ilmu bahasa yang meneliti bahasa sebagai entitas yang eksklusif sementara linguistik komparatif memandang bahasa memiliki berbagai hubungan dengan bahasa lainnya. a.
Linguistik Deskriptif Disiplin ini pada dasarnya meneliti bahasa-bahasa lisan. Dalam disiplin ini,
suatu bahasa diteliti lewat ekspresi lisannya dan dinentukan pola-pola atau struktur umum dan khusus yang mengatur bahasa tersebut. Dalam linguistik deskriptif terdapat lima komponen utama dalam bahasa yang dijadikan obyek penelitian. Kelima komponen ini disusun secara secara hirarkis dimulai dengan komponen unit terkecil yakni bunyi-bunyian, yang kemudian disebut ilmu bunyi atau fonologi
140
(phonology), sampai dengan ilmu makna yang ditelaah sesuai dengan konteksnya, yang disebut pragmatika (Pragmatics). 1) English Phonology Dalam komponen ini penelitian dikhususkan pada sistem bebunyian yang menyusun seluruh kata dalam bahasa Inggris. Kajian ini akan bermuara pada suatu ketetapan strukutur bunyi yang mengatur bentukan kata dalam bahasa Inggris sehingga setiap kata tersebut dapat terbedakan maknanya. 2) English
Morphology
Setelah dasar penelitian ujaran sebagai unit terkecil dalam bahasa telah dilewati, kajian dilanjutkan terhadap pola pembentukan gugus-gugus ujaran dalam bahasa Inggris. Kelompok bunyi-bunyian ini dikenal sebagai morfem. 3) English Syntcac Kajian ini menelaah pola hubungan bentukan-bentukan morfem dalam sebuah ungkapan utuh yang disebut dengan klausa. Setiap ungkapan gagasan dikaji menurut pola hubungan unit-unit morfem sehingga dapat diambil simpulan bahwa hubungan antar-morfem tertentu (yang disebut sebagai hubungan sintaksis) dapat mengandung suatu gagasan tertentu pula. 4) English
Semantics
Dalam kajian ini, tanda-tanda dalam bahasa baik dari komponen terkecil yang memiliki makna (kata) sampai dengan unit terbesar (kalimat, misalnya) ditelaah secara antar-komponen. Artinya, pertimbangan-pertimbangan dengan sintaksis dimasukkan hingga dapat disimpulkan
fonologis sampai
hal-hal
yang ingin
disampaikan oleh pembicara dan hal-hal yang ingin didapat oleh pendengar.
141
5) Pragmatics Pragmatika adalah sub-disiplin yang lebih luas dibanding dengan semantika. Dalam pragmatika konteks-konteks yang melingkupi setiap tindak berbahasa (atau yang
lazim
dikenal
sebagai
wacana)
turut
dipertimbangkan.
Dengan
dipertimbangkannya konteks-konteks ini maka makna, maksud atau kandungan komunikasi berbada dapat ditelaah dan ditentukan secara lebih luas. Dari kajian inilah, misalnya, makna atau maksud tersemunyi atau tersirat dapat ditentukan. b.
Linguistik Komparatif Pendekatan penelitian bahasa jenis kedua ini lebih melihat bahasa sebagai
sebuah entitas (kenyataan) yang tak bisa dilepaskan dengan entitas lainnya. Dalam pendekatan ini suatu struktur bahasa (Inggris dalam hal ini) dikaji lewat persamaan dan kemiripan dengan bahasa-bahasa lain. Setiap komponen (mulai dari pola bunyibunyian sampai dengan pola sintaksis) diperbandingkan dengan bahasa (-bahasa) lain sehingga didapat sebuah simpulan bahwa bahasa Inggris termasuk dalam suatu rumpun bahasa tertentu, atau didapat sebuah simpulan tentang derajat hubungan tertentu antara bahasa Inggris dengan bahasa yang dibandingkan. Sub-wilayah
kajian
lingusitik, jika linguistik deskriptif dan linguistik
komparatif merupakam dua cabang besar dalam hal pendekatan, maka ada beberapa sub-disiplin linguistik yang memiliki kaitan erat dengan disiplin-disiplin ilmu tertentu. Ada tujuh sub-wilayah linguistik inter-disipliner pada saat ini telah dikembangkan: 1.
sosiolinguistik;
2.
psikolinguistik;
3.
linguistik komputasi; 142
4.
linguistik terapan (yang umumnya dikenal sebagai ilmu pengajaran bahasa);
5.
neurolinguistik;
6.
linguistik antropologi dan;
7.
filsafat bahasa. Dari ketujuh kajian di atas hanya tiga di antaranya yang dijadikan bahan
kajian dalam program studi Sastra Inggris. Pembatasan ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis dan non-teknis. Linguistik komputasi adalah sebuah cabang yang menelaah bahasa dengan dibantu oleh sistem komputerisasi. Sekalipun kajian ini sangat berguna karena dapat mengembangkan Al {Artificial Intelligence)
misalnya,
namun
mengingat
kendala teknis
yang
sangat
besar
(mahalnya laboratorium komputer bahasa dan terbatasnya sumber daya manusia) sub-disiplin ini tidak dimasukkan dalam program studi Sastra Inggris, setidaknya untuk sementara. Di pihak lain, beberapa disiplin seperti neurolinguistik dan linguistik antropologi sudah dikembangkan secara khusus di ilmu psikologi dan antropologi, sehingga dipandang bukan menjadi prioritas kajian dalam program studi sastra Inggris. Dengan demikian program studi sastra Inggris akan memokuskan diri pada tiga sub-disiplin ilmu bahasa yang dilihat dari beberapa segi bisa dilakukan dan dapat memberikan sumbangsih pada masyarakat dan keilmuan secara luas. 1)
Sosiolinguistik Sosiolinguistik menelaah pola-pola hubungan sosial dalam tindakan bahasa
dalam suatu bangsa atau komunitas. Setiap individu atau kelompok individu mengekspresikan tatanan sosial dalam mengujarkan bahasanya. Bahasa dalam hal ini juga merupakan wahana bagi masyarakat dalam melanggengkan, mengelola atau berreaksi terhadap bentuk-bentuk hirarki sosial. 143
2)
Psikolinguistik Setiap individu berbahasa dalam keadaan mental atau jiwa tertentu. Faktor-
faktor psikis ini menentukan tingkat kemampuan setiap individu menguasai atau mengembangkan bahasa. Kondisi psikis seorang anak, misalnya, akan menentukan seberapa cepat atau lengkap dia mengakuisisi bahasa. Di samping itu, jika ada seorang individu yang memiliki kelemahan atau penyimpangan dalam berbahasa, maka tentu ada semacam derajat simpangan dalam pemerolehan atau penguasaan bahasa. Masalah-masalah inilah yang menjadi fokus kajian psikolinguistik. 3) Filsafat
Bahasa
Sub-wilayah ini mengkhususkan diri dalam pengkajian bahasa secara filosofis. Salah satu tujuannya adalah untuk melihat seberapa mungkin sebuah pola kata yang bisa dimungkinkan muncul dalam pola bahasa yang ada di dunia, atau yang sudah diteliti. Salah satu temuan filsafat bahasa adalah bahwa 95% bahasa dunia
memakai
pola
SPO
(subyek-predikat-obyek)
dan
hanya
5%
yang
menggunakan pola SOP atau PSO. Selain hal itu, Alwasilah (1993: 117) juga membagi linguistik ke dalam dua pendekatan, yakni mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik merupakan sentral studi linguistik, yaitu mencakup studi pada bidang fonologi, grammat, dan semantik. Sedangkan makrolinguistik meliputi studi bahasa secara umum, mencakup psikolinguistik, sosiolinguistik, linguistik historis, speech pathology, leksikografi, computational linguistics, dan teori komunikasi. Berikut ini adalah bagan yang memperlihatkan wawasan mikrolinguistik dan makrolinguistik:
144
LINGUISTIK
MAKROLINGUISTIK
MIKROLrNGUISTIK (linguistics proper, the study of language system as such)
belajar dan pengajaran bahasa peran bahasa dalam masyarakat psiko linguistik sosiolinguistik patologi ujaran leksikografi linguistik komputasi teori komunikasi, dsb.
morfologi - fonologi - grammar - semantik
sintaksis
Gambar 2.8 Linguistik: Mikrolinguistik dan Makrolinguistik
3.
Kajian Sastra Inggris (Literature Courses) Dalam sejarahnya, program studi sastra Inggris diciptakan sedemikian rupa
oleh bangsa Inggris untuk memenuhi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak pada masanya (Eagleton, Terry 1983:12-42). Dari sudut pandang idealis, sastra adalah perangkat yang dimiliki suatu bangsa yang memiliki fungsi didaktis karena sastra adalah suatu produk yang mundan atau ilahiah (Plato dalam Hazard Adams, 1992: hal 45-52). Dari sudut pandang politis, sastra adalah sebuah kategori karya bahasa seorang individu/atau suatu masyarakat yang di dalamnya, sadar atau pun tidak diungkapkan oleh pembuatnya, terdapat tata-nilai, struktur gagasan dan pandangan hidup yang mencerminkan sebuah struktur kekuasaan. Bidang kajian Sastra Inggris apabila dilihat dari substansinya terdiri atas (survey), karya (work), dan kritik (critique). Secara umum kajian sastra Inggris memiliki tiga bidang: sejarah sastra, formalisme karya sastra dan teori kritik.
145
Masing-masing bidang mempertimbangkan beberapa hal khusus yang unik atau penting untuk dipilah-pilah. a. Sejarah Sastra (Hisiory of English Literature) Kajian ini mempelajari struktur dan gagasan-gagasan yang dikandung dalam sastra Inggris dengan melihat pranata masyarakat yang lebih besar dalam kurun waktu awal (Masa Inggris Kuna) sampai dengan terjadinya perubahan besar dalam imperium Britania di kurun waktu pertengahan abad ke-20. Aspek-aspek sejarah dan sosial yang dikaji misalnya: sistem politik dan ekonomi yang dipakai oleh bangsa Inggris di masa kuno sehingga membentuk sebuah karya epik Beowulf. Atau sebaliknya, sebuah karya semacam Mrs. Dalloway ditelaah (dengan mempertimbangkan intertekstual itas baik dengan teks yang mendahului maupun yang sezaman) untuk mendapatkan gambaran pola hubungan sosial Inggris di masa Viktoria. 1) Sejarah Sastra Inggris (History o/British Literature) Bidang ini mempelajari perkembangan sastra Inggris sesuai dengan dinamika bangsa Inggris dari suatu periode ke periode selanjurnya. Bidang ini menelaah pengaruh-pengaruh pranata sosial, ekonomi dan politik terhadap gagasangagasan dan bentuk-bentuk dalam kesastraan Inggris. Di samping itu, dikaji pula pengaruh-pengaruh budaya luar terhadap budaya Inggris hingga kemudian merasuk pula dalam kesastran Inggris.
2) Sejarah Sastra Amerika (History of American Literature) Sekalipun sastra Amerika secara historis adalah perpanjangan atau kelanjutan dan ri sastra Inggris, perkembangan sosio-historis Amerika yang khas dan
146
bisa
dibilang
perkembangan
dramatis
membuat
kesastraannya.
perlu
pengkajian
Komponen-komponen
secara
khusus
sosio-historis
yang
tentang patut
dipertimbangkan dalam perkembangan sejarah sastra Amerika adalah: demokratisasi dan globalisasi. Dua faktor ini, selain perbedaan geografis dengan wilayah Inggris, yang secara khas turut membentuk karakter kesastraan Amerika.
3) Sejarah Sastra Inggris di Wilayah Lain (Hisiory of Literature in Other Areas) Imperialisme Inggris turut menyebarkan budaya dan bahasa Inggris, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi koloni atau di bawah administrasi imperial Britania. Besar atau pun kecil, kolonialisme dan imperialisme Inggris ini turut membentuk perkembangan sastra Inggris di wilayah-wilayah lain di luar Inggris dan Amerika. Dalam kajian ini kesastraan-kesastraan Inggris di wilayah sepert India, Karibia, Australia, Nigeria dan Afrika Selatan, menjadi fokus utama. Perkawinan antara budaya Inggris dengan kesadaran lokal akan menjadi pertimbangan utama dalam pengakajian sastra di wilayah-wilayah ini. Pengakajian ini, misalnya, melihat karakter sastra Inggris yang dikembangkan oleh orang-orang Australia dan suku Maori di Selandia Baru sesuai dengan perkembangan imperialisme (atau kondisi sosio-hitoris) yang terjadi di Australia dan Selandia Baru. b. Karya Sastra Inggris (English Literary Works) Kajian ini lebih memokuskan diri pada berbagai genre yang terdapat dalam khasanah sastra Inggris, baik yang tradisional dan kontemporer. Dibandingkan dengan sosiologi sastra Inggris, kajian genre ini lebih memokuskan faktor-faktor
147
internal (gaya dan bentuk karya) dalam kesastraan Inggris. Genre sastra Inggris dewasa ini dibagi dalam tiga kategori: prosa, puisi dan drama. 1) Prosa Inggris (English Prose) Dalam kajian prosa, bentukan-bentukan prosa dikaji secara khusus. Dengan menelaah beberapa unsur prosais, misalnya alur dan retorika, penelitian karya sastra Inggris akan mengarah pada tetapan-tetapan (sekalipun hipotetikal) yang mengatur bentuk atau genre prosa sehingga didapat sifat yang bisa dibedakan dengan bentuk lain. Melalui faktor-faktor formal prosais inilah gagasan-gagasan tersurat dan tersirat pengarang juga dapat ditentukan. Secara formal bentukan fiksi Inggris terbagi atas, a) Fiksi, yang mencakup: (1)
novel, yang didalamnya terdapat: (a) novel (b) novela (beberapa ahli menyebutnya sebagi "roman") (c) novelet
(2) b)
cerita pendek (The Short Storyi).
Non-fiksi, yang memayungi: (1) esai; (2) catatan perjalanan (travel writing); (3)
surat;
(4) naskah pidato atau khutbah dan; (5) traktat sosial.
148
2) Puisi Inggris (English Poetry) Puisi Inggris secara formal mengandung beberapa unsur yang bisa terbedakan dari fiksi, seperti prosodi dan rima. Mengingat perkembangan bentuk dan stilistika sastra Inggris secara umum terbedakan antara yang tradisional (yang berpegang pada prinsip-prinsik oralitas) dan yang kontemporer (yang lebih mengandalkan prinsip tulisan), kajian puisi Inggris ini terbagi menjadi: (a)
Puisi Tradisional, yang membahas pelbagai bentuk puisi oral semacam ode, ballad, sonnet, pastoral poems dan syair lagu.
(b)
Puisi Kontemporer, seperti puisi bebas, puisi visual dan puisi pamflet.
3) Drama Inggris (English Drama) Drama lebih memokuskan diri pada naskah-naskah yang secara tradisi dibuat untuk kepentingan pementasan. Biasanya, kajian drama hanya membatasi diri pada naskah-naskah
teater.
Namun, perkembangan teknologi dalam
seratus tahun
belakangan, menciptakan beberapa pementasan lain selain teater, yakni drama radio dan film. Sesuai dengan perkembangan ini, kajian drama pun dibagi dalam dua kategori, yakni drama dan skrip. (a)
Drama Kajian ini fokus pada naskah-naskah untuk teater atau yang ditulis serupa dengan naskah untuk teater (seperti closet drama), dan;
(b)
Script Ini secara khusus menelaah naskah-naskah untuk pementasan-pementasan yang direkam (atau yang lazimnya direkam) seperti: - Drama radio dan;
149
- Skenario film.
c.
Teori Kritik Sastra (Literary Criticism) Kajian ini sebenarnya tidak secara langsung terkait dengan kesastra-
Inggrisan. Namun, mengingat disiplin kritik sama tuanya dengan sastra itu sendiri (sampai banyak pihak menganggap antara sastra dan kritik sebagai entitas diadik, dwi-tunggal), maka kritik sastra baik secara formal (dilihat dari substansi krtiknya) maupun sebagai obyek sejarah perlu mendapat kajian khusus.
4. Tantangan dan Peluang Kajian Sastra Inggris Lalu pertanyaannya: apakah ilmu sastra Inggris memiliki relevansi dengan kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia? Apakah gunanya bangsa Indonesia harus mempelajari secara 'serius' tata-nilai, pandangan dan gagasan bangsa Inggris? Ari J. Adipurwawidjana menyatakan bahwa sastra Inggris sebagai wacana pasti mengandung seperangkat keyakinan pembuat dan pengelolanya (Jogaiswara, 2002: h. 13) (misalnya penulis, editor, penerbit dan pembaca utamanya, yakni masyarakat Anglo-Amerika). Secara historis pembuat dan pengelola sastra ini terkait dengan serentetan usaha dan tindak penguasaan bangsa dan budaya lain baik dalam bentuk penguasaan, baik yang telah terjadi, seperti kolonialisme, maupun yang tengah berlangsung, seperti imperialisme. Suka atau tidak, Indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang terlahir dari struktur benak dan kekuasaan bangsa Eropa. Sekalipun penjajahan Belanda telah habis lebih dari enam dekade lewat, namun bentuk penguasaan lain masih kita alami, dan penguasaan ini tersebar dalam berbagai bentuk sendi
kehidupan:
hiburan,
pekerjaan,
ilmu,
sumber-sumber
informasi
dan
sebagainya. Begitu besarnya kita menyandarkan diri pada informasi yang bersumber
150
pada berita yang berasal atau dikemas dalam bahasa asing. Betapa bergantungnya dunia pendidikan kita pada sumber-sumber kebenaran 'ilmiah' dan 'imajiner' yang ditulis oleh orang asing dalam bahasa asing. Sejumlah besar bangsa kita bekerja untuk perusahaan-perusahaan multinasional yang tentu saja berasal dari negeri asing. Ini membuktikan bahwa dunia kita (masih) dikelola secara fundamental oleh benak dan kepentingan asing. Dan bukanlah suatu kebetulan jika yang dirujuk sebagai 'asing' di atas adalah utamanya Anglo-Amerika dengan bahasa Inggris-nya. Secara sosio-historis Inggris
adalah imperium terbesar dalam
imperialisme modern
(menguasai hampir 1/3 dunia) dan Amerika adalah pemimpin sekutu dalam Perang Dunia Kedua. Dua faktor ini yang menjadi penyebab utama sehingga tata-nilai dan gagasan Anglo-Amerika menjadi sangat penting dewasa ini. Dua hal di atas (sastra sebagai 'pengandung' tata-nilai dan pandangan, singkatnya adalah ideologi, dan Anglo-Amerika (yang berbahasa Inggris) yang menjadi bangsa pencipta, pengelola dan penyebar Standard kehidupan dewasa ini) adalah prinsip dasar perlunya sebuah disiplin ilmu sastra Inggris. Dalam wilayah kajian inilah akan lahir serentetan penelitian yang mengurai ideologi
yang
terkandung dalam wacana sastra Inggris. Dari hasil-hasil penelitian ini pula kita sebagai bangsa akan dapat menentukan perangkat ideologi (yang kelak akan tertuang dalam sikap, prilaku dan pola pikir) yang bisa menjadi penyaring atau menjadi alternatif atau penyeimbang (karena menjadi penentang nampaknya bukan hal yang masuk akal mengingat betapa besarnya dominasi ini) terhadap 'rezim' kebenaran yang diciptakan, dikelola dan disebarluaskan oleh (sekelompok) Anglo-Amerika lewat media massa, buku, kurikulum, perusahaan, model pemerintahan, model hukum dan sebagainya. Lewat penelitian Beowulf (karya sastra Inggris kuna) kita 151
bisa memahami proses 'dimulainya' sebuah bangsa beserta dengan ideologinya hinga kelak untuk lebih dari satu abad (abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20) menjadi imperium yang mendominasi percaturan politik-ekonomi dunia. Dengan membaca Lyrical Balads karya Wordsworth, betapa kita akan melihat bahwa proses industrialisasi di Inggris di abad ke-18 telah menyingkirkan hal-hal 'remeh' semacam sastra tapi juga sekaligus mengistimewakannya—ironisnya ini yang tengah terjadi di negara Indonesia dewasa ini. Lewat buku Midnighi Children karya Shalman Rushdie, sebaliknya, kita bisa mengerti bahwa betatapun pihak terdominasi dapat pula berpikir, bersuara dan 'bekerja' sendiri, walaupun tidak selengkapnya (karena 'harus' memakai bahasa Inggris agar bisa dibaca oleh dunia). Dengan demikian sastra Inggris (dan bukan sekadar keterampilan bahasa Inggris) adalah sebuah kajian yang memiliki relevansi besar untuk kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia. Di samping itu lewat kajian sastra Inggris masih terbuka
lebar
berbagai
kemungkinan
penyaringan,
alternatif
dan
usaha
penyeimbangan kekuasaan yang diciptakan, dikelola dan disebarluaskan oleh bahasa Inggris lewat sastra Inggris. Ironis jika kita membaca hasil survey seorang peneliti Universitas Indonesia, yang menyatakan bahwa penelitian humaniora (termasuk di dalamnya adalah sastra) masih sangat terbatas. Padahal kebutuhan ini, bahkan untuk kepentingan pragmatis yang eksploitatif (misalnya untuk kepentingan pemasaran suatu produk) sangatlah besar. Dunia industri masih sangat kekurangan para ahli peneliti di bidang ini. Bukanlah omong kosong bahwa seorang sarjana sastra (yang memiliki keahlian penilitian sastra, sekali lagi bukan sekedar orang yang memiliki keahlian
berbahasa
asing)
amat
sangat
perindustrian untuk kepentingan bisnis. 152
dibutuhkan
dalam
dunia
kongkrit
J)approaches, are ways of defining what and how the students need to learn,2) syllabuses, are ways of organizing the materials and teaching, 3) techniques, are ways of presenting the materials and teaching, dan 4) exercises, are ways of practicing has been presented. Penerapan dan pengembangan pembelajaran Bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi (PT) tentunya harus lebih professional, terutama dalam menggali daya dukung dari semua faktor dan komponen yang memungkinkan terciptanya proses
pembelajaran
bahasa
Inggris
yang
menghasilkan
output
berkualitas.
Pembelajaran bahasa Inggris yang selama ini terjadi tidak mampu menciptakan output yang siap pakai, siap guna, handal, dan sesuai standar kompetensi berbahasa Inggris.
Oleh karena itu, sistem pembelajaran Bahasa Inggris,
sebagaimana
pembelajaran bahasa asing lainnya di Indonesia, menuntut adanya upaya perbaikan dan
pembaharuan
strategis,
kontinyu,
sistematis,
dan
tepat
agar
mampu
menghasilkan output yang berkualitas tinggi.Pemberlakuan KBK di PT melalui SK Mendiknas No. 045/2002 dan
Kepmenag RI 353/2004 merupakan starting point
pembaharuan arah kebijakan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di PT, termasuk pembelajaran bahasa Inggris di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) baik Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ataupun Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Berdasarkan KBK inilah, kegiatan pembelajaran dan perkuliahan diarahkan pada
hasil
atau
kemampuan
apa
yang
harus
dimiliki
mahasiswa
setelah
menyelesaikan perkuliahannya. Mahasiswa yang mengambil Program Studi Bahasa Inggris, umpamanya, harus memiliki kemampuan bahasa Iggris yang baik, benar, dan integrated sebagai tuntutan yang harus dipenuhi dalam bidang keahliannya. Berbekal kemampuan dan kompetensi yang dimiliki, mahasiswa atau alumni (output)
155
diharapkan memiliki nilai komparatif dan kompetitif yang tinggi pada era globalisasi dewasa
ini.
Untuk
menghasilkan
lulusan
yang
memiliki
kompetensi
yang
dipersyaratkan, Program Studi Bahasa Inggris harus dapat mengimplementasikan KBK dalam bentuk kegiatan belajar atau kuliah yang efektif dan efisien yang berbasis kompetensi pada kompetensi yang diharapkan dikuasai mahasiswa. Salah satu model pembelajaran bahasa adalah menggunakan pendekatan komunikatif atau kebermaknaan {meaningfulness approach) yang mengedepankan aspek kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan belajar. Bahan pelajaran dipilih digradasi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa yang disampaikan melalui kegiatan belajar yang bermakna yang tidak hanya mengandalkan aspek hapalan saja, tetapi melibatkan proses kognitif yang menghubungkan pengetahuan dan keterampilan baru dengan segala feedback yang telah dikuasai pembelajaran sebelumnya. Selain itu, model pembelajaran berbasis kompetensi ini juga diilhami oleh tiga teori belajar bahasa, yakni kognitivisme, behaviorisme, dan humanisme. Untuk mencapai tujuan tersebut, Hamid (2000:34) mengemukakan beberapa strategi pengembangan pembelajaran, terkait pula dengan pembelajaran bahasa, yaitu pertama, perlunya dilakukan pengkajian yang cermat terhadap faktor sosial dalam pemerolehan bahasa dari sudut pandang usia, jenis kelamin, kelas sosial, dan identitas etnis beserta masing-masing variabelnya. Kedua, perlu dikembangkan perhatian atas faktor masukan bahasa sasaran
2. Kompetensi Dasar Mata Ajar Bahasa Inggris Kompetensi dasar merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan
156
berpikir dan bertindak setelah mahasiswa menyelesaikan suatu as mata kuliah tertentu. Kompetensi ini disusun secara teratur dan be mata kuliah dan harus dicapai mahasiswa pada jenjang tertentu. Untuk mencapai kompetensi dasar yang diharapkan, pendidik (dosen) perlu merencanakan dan menerapkan strategi pembelajaran terbaik, dan fokusnya adalah pada sumbangan dari lingkungan kelas dan sekolah atau kampus yang secara intelektual, sosial, dan fisik mendukung pembelajaran. Oleh karena itu, perlu
disusun tujuan mata pelajaran
(dalam hal ini berbahasa Inggris), ruang lingkup, dan penilaian yang sesuai dengan mata kuliah yang diampu dosen. Mata kuliah bahasa Inggris pada setiap tingkatan, baik menengah maupun perguruan tinggi memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Mengembangkan kemampuan berkomunikasi
dalam
bahasa tersebut,
baik
dalam bahasa
lisan
atau
tulis.
Kemampuan berkomunikasi meliputi mendengar (listening, berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing); 2) Menumbuhkan kesadaran tentang hakikat bahasa, baik bahasa Inggris sebagai bahasa asing dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu melalui perbandingan kedua bahasa tersebut; 3) Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antar bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian mahasiswa dapat melintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman. Dalam kompetensi dasar, mata ajara bahasa Inggris dapat menggunakan dan menerapkan pendekatan kebermaknaan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep yang mendasari pendekatan ini adalah sebagai berikut 1) bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan makna, 2) makna ditentukan oleh lingkungan kebahasaan maupun lingkungan situasi, 3) makna dapat diwujudkan melalui ungkapan yang berbeda, baik 157
lisan maupun tulisan, 4) belajar bahasa dalah belajar komunikasi, 5) motivasi belajar mahasiswa merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan belajarnya, 6) bahan
pelajaran
dan
kegiatan
pembelajaran
menjadi
lebih
bermakna
jika
berhubungan dengan kebutuhan, pengalaman, minat, tata nilai, dan masa depan siswa; dan 7) dalam proses belajar mengajar, siswa harus diperlakukan sebagai subjek utama, dan bukan sebagai objek belaka dan guru berperan sebagai fasilitator untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berbahasanya. Penerapan
konsep-konsep
di
atas
dalam
pendekatan
pembelajaran
kebermaknaan dalam pengajaran bahasa Inggris menyiratkan bahwa unsur-unsur bahasa hendaknya disajikan dalam lingkup situasi dan budaya, sehingga menjadi lebih bermakna. Pembelajaran unsur-unsur bahasa diarahkan untuk mendukung penguasaan dan pengembangan empat keterampilan berbahasa Inggris, dan bukan untuk kepentingan penguasaan unsur-unsur bahasa itu sendiri. Dalam proses belajar mengajar keempat keterampilan berbahasa tidak dapat dipisahkan dan dikembangkan secara terpadu. Peserta didik atau siswa harus dilibatkan dalam semua kegiatan belajar bermakna.
3. Kompetensi Berbahasa Secara umum, KBK berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan keragaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kurikulum itu menekankan hasil atau kompetensi apa yang harus dikuasai mahaiswa bila telah menyelesaikan studinya. Kompetensi dapat diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
158
yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan tersebut secara konsisten dan kontinyu dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Berkaitan dengan Program Studi Bahasa Inggris, kompetensi yang diharapkan adalah
bagaimana
menggunakan
bahasa
Inggris
sesuai
dengan
konteks
komunikasinya. Kemampuan tersebut disebut dengan kemampuan komunikatif. Kemampuan komunikatif merupakan kemampuan untuk menggunakan bahasa Inggris untuk komunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Mahasiswa dalam hal ini tidak dituntut untuk menghasilkan bentuk-bentuk bahasa yang benar secara grammatikal saja, tetapi justru diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa tersebut sesuai dengan tujuan komunikasi atau untuk mengungkapkan fungsi-fungsi bahasa yang ingin disampaikan. Penguasaan kemampuan komunikatif secara benar tidak hanya tertumpu pada kemampuan linguistik saja, tetapi mencakup kemampuan lain yang mengerahkan seseorang untuk memilih bentuk-bentuk bahasa mana yang sesuai dengan konteksnya. Untuk melihat standar kemampuan berbahasa secara umum bisa dilihat secara jelas pad table berikut ini:
Tabel 2.10 Standar Kemampuan Bahasa BUTIR KEMAMPUAN
SUB KECERDASAN BAHASA 1.
Mendengarkan dan merespon terhadap suara, ritme, nada, dan aneka kata-kata yang dilisankan
1. 2. 3.
159
Merespon terhadap suara, dan aneka katakata yang dilisankan Merespon terhadap ritme, dan nada suara mendengarkan suara, ritme, nada, dan aneka kata-kata yang dilisankan
BUTIR KEMAMPUAN
SUB KECERDASAN BAHASA 2.
Meniru bunyi, bahasa, membaca, tulisan
3.
Belajar melalui mendengarkan, menulis, dan diskusi
4.
Mendengarkan secara efektif, memahami, membuat paraphrase, menginterpretasi, dan mengingat apa yang diucapkan
5.
Membaca efektif, memahami, merangkumkan, menginterpretasikan atau menjelaskan dan mengingat apa yang telah dibaca
6.
Berbicara efektif terhadap berbagai audien untuk berbagai tujuan, dan mengetahui bagaimana bicara secara sederhana, fasih, menarik, dan menyenangkan.
7.
Menulis efektif: mengerti dan dapat menngunakan ketentuan-ketentuan gramatikal, ejaan, landa baca, dan menggunakan kosa kata dengan efektif
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5.
8.
Menunjukkan Kemampuan dalam belajar bahasa asing.
1. 2.
9.
Menggunakan kemampuan mendengar, berbicara, menulis, membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi, menjelaskan, mengajak, mengembangkan pengetahuan, membentuk makna dan merefleksikan dengan bahasa
1. 2. 'i. 4.
5.
10. Memiliki diringan untuk meningkatkan penggunaan bahasa.
1) 2)
160
Mampu meniru bunyi, Mampu meniru ucapan (bahasa lisan) Mampu membaca tulisan Mampu mendengarkan ceritera Mampu membaca kalimat lengkap Mampu menulis kalimat sederhana Mampu berdialog Mampu mendengarkan secara efektif. Memahami paraphrase. Mampu membuat paraphrase. Mampu mengartikan paraphrase Mampu mengingat apa yang diucapkan Mampu membaca secara efektif. Memahami apa yang dibaca. Mampu merangkum bacaan. Mampu menginterpretasikan bacaan. Mampu menjelaskan bacaan. Mengingat apa yang telah dibaca Mampu berbicara secara efektif terhadap berbagai pendengar (audien) Mampu berbicara efektif dengan berbagai tujuan. Mengetahui bagaimana bicara secara sederhana, menarik.. Fasih berbicara dan menarik Memahami ketentuan tatabahasa. Dapat menggunakan ketentuan tatabahasa. Mampu menulis efektif: Menggunakan katenruan-ketentuan gramatikal. Mampu menulis efektif; Menggunakan ejaan, tanda baca dengan tepat. Mampu menggunakan kosa kata dengan efektif Menunjukkan kemampuan dalam belajar bahasa asing yang dilisankan. Mampu belajar bahasa asing secara tertulis Mampu menyusun makalah/ artikel untuk diskusi/seminar sederhana. Mampu menyajikan makalah dalam diskusi/ seminar sederhana. Mampu mendengarkan, bertanya, memberi jawaban dalam diskusi. Mampu mempertahankan pendapat, menjelsakan konsep, prinsip, kaidah/ dalil sederhana. Mampu mengembangkan pengetahuan, membentuk makna dan merefleksikan dengan bahasa. Memiliki dorongan untuk belajar/ mengembangkan diri sebagai penulis. Memiliki dorongan untuk belajar/ mengembangkan diri sebagai pembicara
BUTIR KEMAMPUAN
SUB KECERDASAN BAHASA 11. Menunjukkan minat dalam jurnalisme, sastra, narrator, debat, berbicara, menulis, penerbitan
2. 3. 4. 5. 6.
12. Menciptakan bentuk bahasa baru, karya tulis, atau bentuk komunikasi lisan yang orisini!
1. 2. 3.
(Sumber: Sukmadinata, 2003)
161
Menunjukkan minat dalam jurnalisme, sebagai penulis. menunjukkan minat dalam bidang penerbitan. Menunjukkan minat dalam bidang sastra. Menunjukkan minat dalam bercerita, mendongeng. Menunjukkan minat dalam drama, sandiwara, sinetron Menciptakan bentuk bahasa baru yang orisini 1, Menciptakan karya tulis yang orisini]. Menciptakan bentuk komunikasi lisan yang orisinil.