42
BAB II PENGATURAN TENTANG PERUMUSAN UNSUR “DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ATAU PEREKONOMIAN NEGARA” DALAM DINAMIKA HUKUM PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A. Gagasan Awal Perumusan Unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negaraatau Perekonomian Negara” Dalam Delik Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Apalagi mengingat masa orde baru, korupsi hampir terjadi di semua lini pemerintahan. Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi mulai dari zaman hindia Belanda hingga saat ini masih terus-menerus mengalami perubahan dari masa ke masa. 1. Selayang Pandang Sejarah Perundang-Undangan Pidana Korupsi di Indonesia Dalam dinamika perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia, unsur keuangan negara dan perekonomian negara demikian berkembang untuk dijadikan patokan dalam perumusan tindak pidana korupsi. Jika ditinjau dari sejarah perundang-undangan pidana korupsi, bagaimanapun juga kita perlu melihat jauh ke belakang sejarah perundang-udangan pidana korupsi di Indonesia. a. Delik-delik Korupsi dalam KUHP KUHP (W.v.S) itu sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi (diselaraskan dengan W.v.S tahun 1881 di Belanda), diundangkan dalam Stbl 1915 Nomor 752,
Universitas Sumatera Utara
43
Berdasarkan KB 15 Oktober 1915. 43 Meskipun telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia, antara lain dengan jalan menyisipkan pasal-pasal tertentu yang dipandang sesuai dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia sendiri, kodifikasi ini ditentang oleh banyak sarjana hukum Belanda sendiri. Sarjana yang menentang kodifikasi pada umumnya dari kalangan sarjana hukum adat seperti Ter Haar yang mengkehendaki agar kepada orang bukan eropa (orang Indonesia) diberi suatu kodifikasi tersendiri.44 Adapun sisipan yang benar-benar bersifat Indonesia misalnya Pasal 423, 425 KUHP yang 56 tahun kemudian ditarik ke dalam UU PTPK (UU NO. 3 Tahun 71, kemudian UU No. 31 Tahun 1999) sehingga digolongkan menjadi delik korupsi. Delik korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti pasal 209 dan 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut active ompkoping), berada dalam bab yang lain, tetapi juga dalam Buku II KUHP (tentang kejahatan).45
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 Dalam konsiderans Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 disebutkan: “bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian
43
Andi Hamzah, Pemberantsan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 33. 44 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas, Jakarta, 1958, hlm.53 sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, Pemberantsan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 34. 45 Ibid, hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
44
negara, yang oleh khayalak ramai dinyatakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan seterusnya”. Menilik kata-kata konsiderans tersebut tujuan pembentukannya adalah untuk memperbaiki peraturan perundangundangan tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintahan. Hal yang penting untuk diketahui dari peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 adalah adanya usaha untuk pertama kali memakai istilah-istilah korupsi sebagai istilah hukum dan memberi batasan pengertian korupsi adalah “perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara”. Rumusan atau batasan korupsi menurut Peraturan Perguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara. 2) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan menggunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan atau material baginya.
c. Peraturan
Penguasa
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor
Prt/Peperpu/013/1958, tanggal 16 April 1958, tentang Pengusutan,
Universitas Sumatera Utara
45
Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana, dan Pemilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958) Mungkin orang menyadari bahwa merajalelanya korupsi di Indonesia sekitar tahun 1957-1958 disebabkan antara lain oleh kurang lengkap dan efektifnya ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUHP. Pada tahun 1958 ditengah merajalelanya praktik korupsi saat itu pemerintah RIS membuat aturan khusus di luar KUHP yaitu Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat dengan tujuan utamanya untuk lebih berfungsinya aturan hukum untuk pemberantasan korupsi. Peraturan ini disertai dengan kaidah atau norma yang tujuannya untuk menjaring koruptor dari jalur pemidanaan dan dari jalur keperdataan, serta dilengkapi dengan upaya disediakannya daftar harta kekayaan pejabat sebagai instrumen preventifnya. Dengan strategi yang bersifat sporadik tersebut maka diharapkan hukum akan lebih efektif dalam pencegahan dan penaggulangan korupsi.46 Materi ataupun isi dari Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat tersebut tidak menjelaskan mengenai pengertian istilah korupsi, tetapi yang ada adalah dibedakan menjadi dua yaitu perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi lainnya. 1) Perbuatan korupsi pidana, yang dimaksud dengan korupsi pidana adalah: a. Perbuatan seseorang yang dengan atau kerena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri tau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu 46
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Penelitian Hukum Tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
46
badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b. Perbuatan seseorang yang dengan atau kerena melakukan suatu kejahatan atu pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan; c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 2009, 210, 418, 419, dan 420 KUHP. 2. Perbuatan korupsi lainnya, yang disebut perbutan korupsi lainnya adalah: a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan
modal
atau
kelonggaran-kelonggaran
dari
masyarakat. b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Universitas Sumatera Utara
47
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN Nomor 72 Tahun 1960) Peraturan yang pertama kali
menggunakan istilah korupsi adalah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. 47
Dalam
konsiderans peraturan ini pada butir a disebutkan: “Bahwa untuk perkara-perkara yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat, misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”.48
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jika ditinju dari yurisprudensi selama kurun waktu antara tahun 19601970, sangat sedikit delik korupsi dapat ditemukan. Berbeda dengan kurun waktu 1971-1981, dimana banyak ditemukan perkara korupsi dari yang kecil maupun yang besar. Kita dapat menemukan dalam yurisprudensi perkara-perkara besar seperti Robby Tahjadi, Abu Kiswo, Letjen Siswandji, Budiadji, Liem Keng Eng, dan Endang Widjaja, kemudian dua orang hakim senior, masing-masing JZL, yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya, dan HG di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
47
Ermasjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 12. 48 Konsiderans Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
48
Apakah korupsi dalam yurisprudensi dalam kurun waktu 1971-1981 lebih besar jumlahnya baik kuantitas maupun kualitas dibanding dengan kurun waktu 1960-1970 itu disebabkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 1971 lebih efektif dari Perpu 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi. Jika ini memang benar, maka dapat dikatakan bahwa tercapailah cita-cita pencipta Undang-Undang anti korupsi yang efektif. Namun demikian tuntutan masyarakat agar korupsi diberantas tidak mengendor sehingga pada akhirnya presiden pada tanggal 31 Januari 1970 mengeluarkan dua buah keputusan, yaitu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970 tentang pembentukan komisi (4) empat yang tujuannya agar usaha memberantas korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien, dan keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1970 tentang pengangkatan Dr. Mohammad Hatta sebagai penasehat presiden yang tugasnya adalah memberikan pertimbanganpertimbangan kepada presiden dengan hal yang berhubungan dengan usaha usaha pemberantasan korupsi.49
f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan terbentuknya kabinet Habibie yang Menteri Kehakiman pada saat itu adalah Muladi yaitu pada tahun 1998, dicanangkanlah untuk mempercepat penciptaan undang-undang. Dalam waktu singkat, pemerintahan ini menciptakan undang-undang sama banyaknya dengan sepuluh tahun masa pemerintahan Soeharto. Penciptaan undang-undang yang diutamakan antara lain perubahan atau penggantian Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
49
Andi Hamzah, Op Cit. hlm. 64-65.
Universitas Sumatera Utara
49
Pidana Korupsi. Rupanya anggapan bahwa yang kurang sempurna sehingga terjadi banyak korupsi adalah undang-undangnya padahal “orangnya” dan “sistemnya”. 50 Tim yang pertama diketuai oleh Barda Nawawi Arif dan mengambil tempat di puncak yang anggotanya Loebby Loqman dan Prof. Andi Hamzah bersama dengan orang-orang dari Departemen Kehakiman yaitu Haryono dan Wahid. Dalam pembahasan di Pansus DPR ditambahkan pidana mati khusus untuk delik yang tercantum dalam pasal 2 dalam keadaan “tertentu”. Selain itu, ditambahkan pula tentang akan dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan. Usul ini berasal dari Fraksi PPP (Zain Badjeber). Sementara itu rumusan tentang pembalikan beban pembuktian yang disusun oleh prof. Andi Hamzah ditolak, baik oleh sebagian anggota DPR maupun oleh menteri sendiri karena dipandang tidak jelas dan melanggar asas legalitas. Namun demikian diterapkannya pidana mati dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah UndangUndang yang paling keras dan berat di ASEAN. Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.51
g. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 50 51
Ibid, hlm. 74. Ibid, hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
50
Setelah Burhanuddin Lopa menjabat Menteri Kehakiman sekitar bulan maret 2001, cita-citanya adalah untuk menciptakan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian dalam undang-undang pemberantasan korupsi. Maksud semula untuk mengubah Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 hanyalah untuk menambahkan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian. Perubahan lain yang dicantumkan dalam UU No. 20 Tahun 2001 ialah tentang minimum khusus yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima juta atau lebih. Sebenarnya, Prof. Andi Hamzah mengusulkan dalam rancangan agar minimum khusus itu hanya untuk delik yang berasal dari KUHP dihapus saja, namun karena kurang dimengerti maksudnya, DPR menolaknya sehingga dicapai kompromi seperti tersebut. Penjelasan tentang pidana mati dalam keadaan tertentu diubah sesuai dengan rancangan bahwa bukan waktu yang menentukan tetapi peruntukan uang untuk keadaan tertentu itu yang dikorupsi.
2. Gagasan Awal Perumusan Unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negaraatau Perekonomian Negara” Dalam hukum positif di Indonesia tentang rumusan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sudah dikenal sejak lama. Korupsi menjadi istilah hukum (legal term) untuk pertama kalinya sejak dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/ PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam peraturan ini, korupsi diartikan bahwa suatu perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Rumusan atau batasan perbuatan korupsi dalam peraturan ini adalah tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan
Universitas Sumatera Utara
51
suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Sementara pada delik jabatan tidak dicantumkan adanya unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, namun hanya dirumusakan bahwa tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan menggunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau meterial baginya.52 Pada saat Undang-Undang Keadaan Bahaya Nomor 74 tahun 1957 berlaku sebagai pengganti Regeling op den Staat van Oorlog en van Beleg, maka berbagai peraturan tersebut ikut pula diganti. Peraturan pengganti tersebut berasal dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor PRT/PEPERPU/013/1958 tentang “pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan perbuatan korupsi pidana dan pemilikan harta benda”. Dalam peraturan tersebut, korupsi dibedakan menjadi 2 yaitu : Perbuatan Korupsi Pidana dan Perbuatan Korupsi lainnya. Ukuran untuk menentukan Perbuatan korupsi pidana adalah “dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran” sedangkan perbuatan korupsi lainnya ditentukan “dengan atau karena perbuatan melawan hukum” . Rumusan unsur kerugian keungan negara atau perekonomian negara dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor PRT/PEPERPU/013/1958 tersebut adalah bahwa perbuatan
52
Ermansjah Djaja, Op. Cit, hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
52
seseorang yang dengan atau kerena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri tau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. Perumusan ini semakin berkembang, ruang lingkup yang diderita negara tidak saja hanya pada keuangan negara tetapi juga daerah. Selain itu, untuk memperjelas bagaimana kerugian yang dialami oleh korporasi yang sebagian sahamnya berasal dari negara jelas dapat dikenakan oleh pasal ini. Peraturan ini jelas dapat menjawab kerancuan yang dikemukakan oleh Erman Rajagukguk yaitu tentang kerugian dari suatu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti menurut peraturan ini kerugian PT. BUMN (Persero) otomatis menjadi kerugian negara.53 Dua tahun setelah berlakunya Peraturan Penguasa Militer tersebut, Pemerintah, pada tanggal 9 Juni 1960 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Satu tahun kemudian, PERPU Nomor
53
Disampaikan pada Diskusi Publik, Pengertian Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006. Beliau menyampaikan dalam makalahnya paling sedikit ada enam masalah mengenai kerancuan “keungan negara” dan “kerugian Negara” (dalam UU. No. 31 Tahun 1999) dalam usaha pemberantasan korupsi dewasa ini, yaitu : 1. Apakah aset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keunagan negara? 2. Apakah kerugian dari suatu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti kerugian PT. BUMN (Persero) dan otomatis menjadi kerugian negara? 3. Apakah ada upaya hukum bagi pemerintah sebagai pemegang saham menuntut Direksi atau atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap mergikan Pemerintah sebagai pemegang saham? 4. Apakah pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN (Persero) dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT. BUMN (Persero) bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham? 5. Apakah yang dimaksud dengan kerugian negara? 6. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk terciptanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaannya?
Universitas Sumatera Utara
53
24 tahun 1960 tersebut ditingkatkan menjadi Undang-Undang yaitu UndangUndang Nomor 1 tahun 1961. Walaupun PERPU nomor 24 Tahun 1960 telah menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961, namun dalam penyebutannya menjadi Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960. Dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 ini, tidak dijumpai lagi istilah perbuatan korupsi bukan pidana. Undang-undang ini (UU No. 24/Prp/1960), fokus mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Sedangkan ukuran tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 ini masih tetap mengacu terhadap Peraturan Penguasa Militer, yaitu “dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap orang yang diajukan ke persidangan karena melakukan tindak pidana korupsi harus dibuktikan pula kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan, mengingat “dengan atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran” tercantum dalam rumusan delik, maka harus dibuktikan. Dalam Pasal 1 sub (b) poin ke (5) penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dijelasakan bahwa dengan dicantumkannya secara tidak langsung merugikan keuangan negara bermaksud untuk menghukum juga seorang yang memperkaya diri sendiri sedang merugikan keuangan negara tidak langsung disebabkan oleh sipembuat pidana itu. Misalnya, dengan jalan menyogok seorang pegawai, seorang partikelir dapat suatu lisensi dari suatu instansi, dan menjualnya lisensi itu kepada orang ketiga dengan harga yang lumayan juga. Ia telah
Universitas Sumatera Utara
54
memperkaya diri dengan mempunyai lisensi itu dan apabila ia mempergunakan lisensi itu sebagaimana lisensi itu harus dipergunakan menurut aturan-aturan yang berlaku maka ia dapat dihukum karena melakukan penyogokan, akan tetapi bukan karena melanggar pasal ini, sebab negara, dengan adanya lisensi ditangan sipenyogok, belum menderita kerugian. Hanya setelah lisensi diperlakukan selanjutnya oleh sipenyogok bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku atau oleh sipembeli ketiga, sehingga keuangan negara menderita kerugian, maka sipenyogok itu dapat dipersalahkan, sebab ia merugikan keuangan negara walaupun tidak langsung. 54 Beratnya saksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dipandang hanya sekedar pelengkap dan “macan kertas” yang tidak dapat berdaya apa-apa. Para pelaku tindak pidana korupsi kian waktu makin tambah banyak dan melibatkan “aktor-aktor” bangsa Indonesia yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Modus operandi tindak pidana korupsi saat itu dilakukan dalam suatu kemasan yang cukup rapih dan sangat tersembunyi yang dampaknya seluruh masyarakat ikut merasakan akibatnya. Sehingga pada periode tahun 60 sampai dengan tahun 70-an ini masayarakat bangsa Indonesia senantiasa menyaksikan reality show para koruptor yang tidak dapat dijerat oleh ancaman Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960.Desakan pemberantasan tindak pidana korupsi ini tidak hanya terlontar dari gedung parlemen yang ketika itu namamnya MPR-DPRGR, namun dari sejumlah tokoh-tokoh masyarakat dan berbagai lapisan masyarakat khususnya mahasiswa menjadikan energi bagi Pemerintah Orde Baru untuk 54
Pasal 1 sub (b) poin ke (5) penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 24 tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
55
mengusut tuntas para pelaku tindak pidana korupsi. Keseriusan pemerintah ini nampak dengan munculnya wacana untuk mengganti Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960. Pada tanggal 29 Maret 1971, dengan mantap pimpinan sidang mengetukkan palu sebagai tanda disahkannya Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan tindak pidana korupsi menurut UU No. 3 Tahun 1971 dapat dilihat di dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), sebagai berikut: Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; b. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;55 Dari pasal tersebut di atas jelas bahwa dalam delik jabatan juga sudah mengandung unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomin negara seperti yang tercantum dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Rumusan tersebut mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan di sini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat pelaku. Rumusan seperti ini lebih mudah dalam pembuktian. 55
Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
56
Sementara tentang pengertian dan ruang lingkup kerugian keuangan negara atau perekonomian negara masih sangat minim dijelaskan. Dalam penjelasan Pasal 1(satu) hanya dijelaskan bahwa keuangan negara seperti yang dimaksud meliputi juga keuangandaerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggarandari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untukkepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Sedangkan yang tidak termasuk "keuangan negara" dalam undang-undang ini ialah keuangan dari badan/badanhukum yang seluruhnya modal diperoleh dari swasta misalnya PT, Firma, CV, dan lainlain.Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara ialahpelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahdalam bidang kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966. Selama lebih kurun waktu 28 tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, nampaknya usaha pemberantasan tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum (UU No. 3 tahun 1971) tidak memperoleh hasil yang signifikan, dan bahkan tidak dapat memuaskan banyak pihak, sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ini menemui hambatan. Kesulitan tersebut terletak dalam masalah pembuktian, karena ada yang beranggapan bahwa apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan uang hasil korupsinya, maka perbuatannya sudah dianggap tidak melawan hukum lagi. Di sini nampak kesulitan dalam membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara meskipun sebenarnya Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak
Universitas Sumatera Utara
57
berpendirian demikian seperti tercantum dalam Putusan MARI No. 1401 K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994. Adanya kesulitan dalam penerapan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ini, maka Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.56 Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001, terdapat dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 22, dan 23, selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai korupsi, undang-undang ini juga menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.57 Tentang unsur merugikan keuangan negara atau perekonomiaman negara mengalami perubahan, yaitu terlihat dari rumusan pasal 2 dan pasal 3 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 dimana tidak dicantumakan lagi kata “secara langsung atau secara tidak langsung” sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomo 3 Tahun 1971. Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
56 57
Ermasjah Djaja, Op. Cit, hlm. 1. Ibid, hlm. 18-19.
Universitas Sumatera Utara
58
sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”58 Delik jabatan yang pada peraturan perundang-undangan sebelumnya juga mengalami perubahan yakni perihal unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam pasal 3 UU PTPK disebutkan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.59 Sementara pengertian tentang keuangan negara atau perekonomian negara dijelaskan dalam penjelasan umum. Bahwa pengertian keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat Lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
58
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 59 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
59
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
B. Perbedaan Unsur Merugikan Keuangan Negara denganMerugikan Perekonomian Negara dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Merugikan keuangan negara merupakan salah satu unsur untuk dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa terbentuknya undangundang yang baru tentang pemberantasan korupsi diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
60
Dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) berbunyi : “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).60 Dari pasal tersebut dapat diambil 4 unsur untuk dapat menghukum seseorang atas tindak pidana korupsi, antara lain: a. Setiap orang Kata setiap orang menunjukkan kepada siapa orangnya harus bertanggung jawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan atau siapa orang yang harus dijadikan terdakwa. Kata setiap orang identik denga kata “barang siapa” atau Hij. Dalam UU PTPK yang dimaksut dengan “setiap orang” adalah perseorangan atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganiasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. b. Secara melawan hukum Dalam penjelasan pasal 2 UU PTPK dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
60
Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
61
dipidana. Namun penjelasan ini sudah dinyatakan tidak berlaku dengan putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang pada pokoknya bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.61 c. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi Yang dimaksud “memperkaya” adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi) dan perbuatan ini sudah tentu dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya: menjual/membeli, menandatangani kontrak, memindahbukukan dalam bank, dengan syarat tentunya dilakukan secara melawan hukum, jika akan dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Senada dengan maksud unsur “memperkaya” tersebut pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Negari Tangerang tanggal 13 Mei 1992 Nomor 18/Pid/B/1992/PN/TNG62) yang menyebutkan bahwa yang dimaksut dengan “memperkaya” adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya. Memperkaya dapat juga dipahami sebagai perbuatan yang menjadikan setiap orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi lebih kaya. Memperkaya orang lain maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Sementara itu, memperkaya korporasi, yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, suatu korporasi 61
Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan adanya putusan MA RI Nomor 570 K/Pid/1993/ tanggal 4 september 1993, Varia Peradilan, Tahun IX Nomor 102, Maret 1994, hlm. 131 sebagaimana dikutip dari R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.31. 62
Universitas Sumatera Utara
62
menikmati bertambahnya harta benda. Unsur ini pada dasarnya adalah unsur/elemen yang bersifat alternatif, artinya jika salah satu point diantara ketiga point ini terbukti, maka unsur lainnya dianggap terpenuhi. d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Penjelasan pasal 2 ayat (1b) berbunyi : “Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.” Pemahaman tentang kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan bukan saja perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata” akan tetap “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential losss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi terpenuhuhi, sudah dapat diajukan ke pengadilan.63 Ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di pasal 2 ayat (1) memang merupakan delik formil, juga ditegasakan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menerangkan : “Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undangundang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana”. Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1)
63
Kutipan putusan MK No. 003/PUU-IV/2006.
Universitas Sumatera Utara
63
dan pasal 3 UU PTPK sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau perekonimian negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang.64 Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dibandingkan dengan ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) dengan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dapat diketahui ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) merupakan delik formil, sedangkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merupakan delik materiil,
yaitu delik yang dianggap telah terbukti dengan
ditimbulknnya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang.65 Tujuan diuraikannya perbedaan antara merugikan keungan negara dengan merugikan perekonomian negara adalah untuk mempertegas bahwa antara kedua unsur tersebut merupakan delik alternatif yang bersifat pilihan. Keungan negara dengan perekonomian negara jelas sangat jauh berbeda, namun dalam praktiknya tentang perbedaan kedua unsur ini sering tidak diterapkan, bahkan dalam uji materil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya
64
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sianar Baru, Bandung, 1984, hlm. 202 sebagaimana dikutip oleh R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.27. 65 Ibid, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
64
No.003/PUU-IV/2006 sama sekali belum menyentuh tentang unsur merugikan perekonomian negara.
1. Berpotensi Merugikan Keuangan Negara Kerugian keuangan negara terdiri dari dua rumpun kata, yaitu kerugian dan keuangan negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) rugi adalah sebagai berikut: 1. Terjual tapi kurang dari modal. 2. Tidak mendapat laba. 3. Kurang dari modal karena menjual sesuatu lebih rendah dari harga pokok. 4. Tidak mendapatkan sesuatu yang berguna. 5. Tidak menguntungkan. 6. Sesuatu yang kurang baik. Adapun (ke)-rugi (an) dirumuskan sebagai berikut: 1. Menanggung atau menderita rugi. 2. Sesuatu yang terikat dengan rugi, seperti ganti rugi. 3. Sesutu yang dianggap dapat mendatangkan rugi, seperti kerusakan. Dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa ganti rugi dapat bersifat material maupun nonmaterial. Kerugian material adalah kerugian yang dapat diukur dengan nilai uang berdasarkan parameter yang objektif. Selain itu, besarannya dapat diuji secara profesional. Adapun kerugian nonmaterial lebih bersifat subjektif, sulit diukur dengan uang, dan besarannya tidak dapat diuji secara profesional.
Universitas Sumatera Utara
65
Kerugian negara berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebutkan salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi adalah “dapat merugikan keuangan negara”. Dalam UU PTPK tersebut tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas mengenai apa yang disebut dengan merugikan keuangan negara. Dalam penjelasan pasal 32 UU PTPK, hanya dinyatakan bahwa yang dimaksut dengan kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan intansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.66 Adapun siapa instansi yang berwenang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun demikian, mengacu pada beberapa ketentuan perundangundangan yang berlaku, maka sekurang-kurangnya ada tiga instansi yang berwenang, yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat baik di tingkat pusat dan daerah. Dalam prespektif UU PTPK, kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau tindakan yang menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dengan memperhatikan rumusan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU PTPK, maka kerugian keuangan negara tersebut dapat berbentuk: 67 a. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang maupun barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.
66
Penjelasan Pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. 67
Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Suatu Unsur Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hlm 3-4.
Universitas Sumatera Utara
66
b. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih besar yang yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku. c. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif). d. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai). e. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada. f. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya. g. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku. h. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima. Keuangan negara dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU PTPK adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan maupun tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
Universitas Sumatera Utara
67
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.68 “Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN itu. Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang apabila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpulkan karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.69 Namun dalam praktiknya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan kepada tindakan-tindakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara.
2. Berpotensi Merugikan Perekonomian Negara Dalam Penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
68
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 69 Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
68
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.70 Secara sederhana, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi perekonomian sebagai suatu aturan atau cara berekonomi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makna merugikan perekonomian negara adalah suatu perbuatan yang memungkinkan menjadi penyebab terjadinya kerugian langsung maupun tidak langsung dalam usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Berbagai kasus tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan perekonomian negara. Pertama, dari perkara korupsi yang melibatkan Direksi PT. Bank Mandiri, ECW Neloe dkk, majelis hakim PN Jakarta Selatan justru berbeda menafsirkan kata “dapat” sebagaimana tertuang dalam dalam putusan, bahwa hakim memutus untuk membebaskan tiga mantan direksi Bank Mandiri menyatakan bahwa unsur “dapat merugikan keuangan negara” tidak terbukti. Menurut majelis hakim pada tingkat pertama bahwa kredit yang disalurkan Bank Mandiri kepada PT. Cipta Graha Nusantara (CGN) dengan terdakwa ICW Neloe, I Wayan Pugeg dan M Sholeh Tasripan (jajaran direksi PT. Bank Mandiri) dan Edison, SE. Drs. Diman Ponijan, Saiful Anwar (Jajaran Direksi PT. Cipta Graha Nusantara) belum dapat dikatakan merugikan negara karena perjanjian kredit masih berlangsung hingga September 2007 dan CGN selalu membayar cicilan hutang. 70
Alinea ke-4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
69
Kasus kedua adalah kasus yang menyeret Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Lutfi Hasan Ishak (LHI) dalam perkara upaya pengajuan penambahan kuota impor daging sapi atas inisiatif dari Elda Devianne Adiningrat Dan Maria Elizabeth Liman (PT. Indoguna Utama) dan beberapa anak usahanya. 71 Lebih lanjut, pada kasus upaya penambahan kuota impor daging sapi tersebut, sebenarnya Kementerian Ekonomi, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian pada waktu itu telah menyepakati kebijakan pembatasan impor daging sapi, tujuannya adalah untuk mencanangkan swasembada daging dengan cara meningkatkan produksi daging dalam negeri dan mengurangi ketergantungan kepada impor daging. Tetapi, justru ada pihak-pihak yang ingin menganggu kebijakan ekonomi tersebut dengan mengajukan penambahan kuota impor daging sapi hingga 10.000 ton untuk kebutuhan tahun 2013. Padahal, pada waktu itu produksi dalam negeri serta kebijakan impor yang ditetapkan oleh pemerintah (Menteri Pertanian R.I) sudah memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga penambahan tersebut tidak diperlukan. Lagi pula menurut Kementrian Pertanian permohonan penambahan yang diajukan PT. Indoguna Utama tersebut juga
tidak
sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Pertanian
RI
Nomor:
50/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.72 Akan tetapi, upaya untuk memperoleh persetujuan penambahan impor daging sapi tersebut tidak berhenti begitu saja. Atas petunjuk Ahmad Fathona, 71
Baca Putusan Mahkamah Agung No. 1195 K/Pid.Sus/2014 atas nama terdakwa Lutfi Hasan Ishak. 72 Termuat dalam salinan putusan Nomor: 14/Pid/TPK/2014/PT.DKI, atas nama terdakwa Lutfi Hasan Ishak, hlm. 6, paragraf pertama.
Universitas Sumatera Utara
70
Elda Devianne Adiningrat dan Maria Elizabeth Liman untuk mempersiapkan data (diduga rekayasa) yang dapat meyakinkan Menteri Pertanian bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) tidak benar, dan swasembada mengancam ketahapan pangan dalam negeri. Untungnya, skenario tersebut cepat terungkap dan digagalkan oleh KPK yang melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ahmad Fathona, selanjutnya menetapkan LHI sebagai tersangka. Seandainya upaya Elda Devianne Adiningrat dan Maria Elizabeth tersebut berhasil mempengaruhi kebijakan ekonomi Menteri Pertanian RI, dan kuota impor daging sapi Indonesia ditambah hingga 10.000 ton, tentunya kebijakan ekonomi Indonesia juga akan terganggu dan berpotensi merugikan perekonomian negara (sampai disini, tercatat keuangan negara belum dirugikan). Dikatakan demikian, usaha pembatasan impor adalah untuk tujuan penghematan cadangan devisa negara. Padahal, sebenarnya penambahan kuota impor daging sapi tidaklah diperlukan, bila dipaksakan dampaknya adalah berkurangkan cadangan devisa, yang pada gilirannya akan menghambat pembangunan nasional. Selain itu, Impor daging sapi secara berlebihan akan mempengaruhi stabilitas pasar (market), bahkan sering kali nilai jual daging impor lebih murah dari daging sapi dalam negeri. Bila hal itu terjadi, maka para pengusaha produksi daging dalam negeri Indonesia akan terancam bangkrut. Hasilnya, usaha pemerintah dalam untuk mencanangkan swasembada daging hanyalah diatas kertas. Pada contoh ini, penulis berpendapat bahwa perbuatan tersebut berpotensi merugikan perekonomian negara. Jelaslah
bahwa
unsur
“dapat
merugikan
keungan
negara
atau
perekonomian negara” merupakan dua unsur yang berbeda yang dincam secara
Universitas Sumatera Utara
71
alternatif sesuai dengan UU PTPK. Namun perlu diteliti apakah para hakim sudah menerapkan hal tersebut untuk menjerat pelaku korupsi yang perbutannya dapat dikategorikan berpotensi merugikan perekonomian negara.73 Perekonomin negara adalah sebuah sistem, jadi apabila seseorang dijerat dengan kasus merugikan perekonomian negara harus dianalisa terlebih dahulu oleh instansi maupun para ahli ekonomi apakah perbuatan seseorang tesebut telah mempengaruhi rusaknya sitem perekonomian negara. Meskipun sampai saat ini, kata “dapat”
masih
menjadi perdebatan, namun dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang tetap berpendapat bahwa kata “dapat” tesebut merupakan kebutuhan hukum dalam semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun ternyata banyak pihak yang takut dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan keuangan dan perekonomian negara.
73
Dalam hal Pejabat Negara atau Pemerintah mengambil kebijakan yang kebijakannya berkaitan dengan sistem perekonomian dan ternyata kebijakan tersebut mengakibatkan menurun atau rusaknya kualitas perekonomian negara, maka pejabat negara tersebut dapat dijerat dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU PTPK. Demikian juga Para pengurus BUMN menjadi khawatir dan takut dalam mengambil keputusan bisnis, karena dibayangi tuduhan korupsi apabila mengakibatkan kerugian negara.
Universitas Sumatera Utara