BAB II KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara 1. Keuangan Negara Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mencerminkan kedaulatan rakyat, yang tergambar dari adanya hak begrooting (hak budget) yang dimiliki oleh DPR, dimana dinyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Hal ini menunjukkan kedaulatan rakyat, dan pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk undang-undang. Istilah keuangan publik dimaksudkan selain meliputi keuangan negara dan keuangan daerah juga meliputi keuangan badan hukum lain yang modalnya/kekayaannya berasal dari kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. Arti keuangan negara yang tercantum dalam Pasal 23 UUD 1945. 98 Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi, hukum harus dapat menciptakan tiga kualitas: “predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi. Sehubungan dengan itu, Erman Rajagukguk berpendapat bahwa, paling 98
Arifin P. Soeria Atmadja (III)., ”Keuangan Publik Dalam Perspektif Teori, Praktik, dan Kritik”, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), dalam Jurnal Hukum Perbankan dan Kebangsentralan, 42 Vol. 3 No. 3, Desember 2005, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
sedikit ada enam masalah mengenai kerancuan “keuangan negara” dan “kerugian negara” dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dewasa ini, yaitu: 99 1. Apakah aset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara? 2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi kerugian negara? 3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham? 4. Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN (Persero) dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT. BUMN (Persero) bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai Pemegang Saham? 5. Apakah yang dimaksud dengan kerugian negara? 6. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk terciptanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya? Kekayaan negara yang dipisahkan dalam menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Erman Rajagukguk, berpendapat bahwa, “Kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut. Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam undang-undang ini tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan: 100 “Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan 99
Erman Rajagukguk., Loc. cit, hal. 1. Ibid., hal. 4.
100
Universitas Sumatera Utara
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.” Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara), yakni, “Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. 101 Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang tersebut, selanjutnya dipertegas di dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara ditentukan sebagai berikut: 102 “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 101
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). 102 Ibid., Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
c. d. e. f. g.
Penerimaan Negara; Pengeluaran Negara; Penerimaan Daerah; Pengeluaran Daerah; Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan
negara dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK) yang menyatakan yakni: 103 “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.” Berdasarkan pengertian keuangan negara dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara, maka dapat dipahami bahwa, pengertian keuangan negara dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sejalan. Keuangan negara tidak semata-mata yang berbentuk uang,
103
Eddy Mulyadi Soepardi., Op. cit, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
termasuk segala hak dan kewajiban dalam bentuk apapun yang dapat diukur dengan nilai uang. Pengertian keuangan negara juga mempunyai arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakekatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara. Jika menggunakan pendekatan proses, keuangan negara dapat diartikan sebagai salah satu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Dalam Pasal 1 ayat (2) UU BUMN menyatakan bahwa, “Perusahaan Persero (selanjutnya disebut Persero), adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” 104 Dalam kasus tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana korupsi pada khususnya, di samping yang menjadi subyek hukum orang-orang (manusia) telah nampak pula sebagai subyek hukum berupa badan-badan atau perkumpulanperkumpulan yang disebut dengan badan hukum yang dapat pula memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia sebagaimana yang dikatakan Subekti mengenai badan hukum sebagai berikut: 105 “Badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalulintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat pula menggugat di muka hukum. Pendek kata diperlakukan 104
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). 105 Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op. cit., hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
sepenuhnya sebagai seorang manusia. Badan atau perkumpulan yang demikian itu, dinamakan badan hukum atau recht persoon, artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum misalnya suatu wakaf, suatu stichting, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan dan lain-lain.” Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi. 106 Terhadap pemisahan harta kekayaan negara atau suatu badan yang telah disalurkan kepada suatu badan hukum atau terhadap suatu yayasan, berdasarkan pendapat Efi Laila Kholis menyatakan bahwa, terhadap harta kekayaan negara yang dipisahkan itu yang dijadikan sebagai modal usaha suatu lembaga atau suatu yayasan, tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti rugi untuk jumlah yang lebih besar dari pada kerugian sesungguhnya. Jadi, yang diperkenankan hanya jumlah uang yang dipisahkan itu. Terhadap hasil harta kekayaan negara yang digunakan sebagai modal tersebut, bukan merupakan kekayaan atau tidak termasuk hak negara. Alasannya karena yayasan bukan untuk mencari laba. 107
106
Erman Rajagukguk., Op. cit., hal. 2. Efi Laila Kholis., Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010), hal. 69. 107
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan sutau perseroan atau suatu BUMN. Terhadap keuangan negara yang dipisahkan dalam konteks perseroan atau kepada suatu BUMN, maka negara berhak atas keuntungan yang diperoleh selama perusahaan tersebut memperoleh untuk dari hasil usahanya. 2. Kerugian Keuangan Negara UUPTPK tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas apa yang disebut dengan kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Menurut pendapat penulis, yang dimaksud kerugian keuangan negara adalah semua atau sebahagian dana (uang) negara yang diperuntukkan tidak sesuai pada maksud dan tujuannya baik dalam jumlah kecil maupun dalam jumlah besar. Misalnya dalam pembangunan sekolah negeri. Jika ditentukan bahwa sejumlah uang diperuntukan untuk dana pembangunan sebuah sekolah, maka terhadap pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya tidak diperkenankan untuk mengalihkan peruntukan uang pembangunan sekolah tersebut. Jika ada pihak yang mengambil atau mengalihkan dana pembangunan itu baik dalam skala kecil maupun besar, maka hal ini negara juga sudah dirugikan. Namun jika merujuk kepada pasal 32 UUPTPK hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah ”Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.” Mengenai ”siapa instansi berwenang” yang dimaksud, juga tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UUPTPK. Namun demikian dapat mengacu kepada beberapa
Universitas Sumatera Utara
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka sekurang-kurangnya 3 (tiga) instansi mempunyai kewenangan yang dimaksud, yaitu, BPK, BPKP, dan Inspektorat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dengan memperhatikan rumusan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUPTPK, maka kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi, tersebut dapat berbentuk: 108 1) Pengeluaran atau sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) dapat berupa uang, barang yang seharusnya tidak dikeluarkan; 2) Pengeluaran sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) labih besar dari yang seharusnya tidak dikelaurkan; 3) Hilangnya sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) yang seharusnya diterima (termasuk di antaranya penerimaan dengan uang palsu atau barang fiktif); 4) Penerimaan sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, dan kualitas tidak sesuai); 5) Timbulnya suatu kewajiban negara (pusat dan daerah) yang seharusnya tidak ada; 6) Timbulnya suatu kewajiban negara (pusat dan daerah) yang lebih besar dari yang seharusnya; 7) Hilangnya suatu hak negara (pusat dan daerah) yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku; dan 8) Hak negara (pusat dan daerah) yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima. Dalam perpektif UUPTPK tersebut, maka yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang atau badan hukum karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut
108
Eddy Mulyadi Soepardi., Op. cit, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. 109 3. Beberapa Hal yang Dapat Merugikan Keuangan Negara Hal-hal yang dapat merugikan keuangan negara dapat ditinjau dari sisi pelaku, sebab, waktu, dan cara penyelesaiannya. (1) Ditinjau dari pelaku Dari sisi pelaku tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara, disebutkan Eddy Mulyadi Soepardi, bahwa ada tiga hal yang harus ditinjau sebagai penyebab kerugian keuangan negara tersebut yaitu: 110 a. Perbuatan bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan perbendaharaan, hal ini disebabkan antara lain karena adanya pembayaran, pemberian atau pengeluaran, pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak, pertanggungjawaban dalam laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak pidana korupsi, dan kecurian karena kelalaian; b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan negara dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi, dan menaikkan harga atau mengubah mutu suatu barang tertentu; dan c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi). (2) Ditinjau dari sebabnya Jika ditinjau dari faktor penyebabnya, maka perbuatan yang bisa menyebabkan kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut: 111
109
Ibid. Ibid., hal. 4. 111 Ibid., hal. 5. 110
Universitas Sumatera Utara
a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang disengaja, perbuatan yang tidak disengaja karena kelalaian, kealpaan, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang tidak memadai; b. Kejadian alam, seperti bencana alam, (antara lain gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan kebakaran) dan proses alamiah (antara lain membusuk, menguap, mencair, menyusut, dan mengurai); dan c. Peraturan perundang-undangan dan atau situasi moneter/perekonomian, yakni kerugian keuangan negara karena adanya pengguntingan uang (sanering), gejolak moneter yang menyebabkan turunnya nilai mata uang sehingga menaikkan jumlah kewajiban negara dan sebagainya. (3) Ditinjau dari segi waktu Dijinjau dari segi waktu dimaksudkan untuk memastikan apakah suatu kerugian keuangan negara masih dapat dilakukan penuntutannya atau tidak, baik terhadap bendaharawan, pegawai negeri non bendaharawan, atau kepada pihak ketiga. a. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) disebutkan: 1) Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat yang lain yang dikenakan tuntutan ganti kerugian negara/daerah dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan. 2) Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara/daerah.
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam hal tuntutan ganti rugi perlu diperhatikan ketentuan kadaluarsa, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU Perbendaharaan Negara, yang ditentukan bahwa, ”kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang membayar ganti rugi, menjadi kadaluarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan0 tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. (4) Ditinjau dari cara penyelesaiannya a. Tuntutan pidana atau pidana khusus (tindak pidana korupsi); b. Tuntutan perdata; c. Tuntutan perbendaharaan; dan d. Tuntutan ganti rugi.
B. Tindak Pidana Korupsi Dapat Merugikan Keuangan Negara Tindak pidana korupsi sangat bersinggungan dengan masalah-masalah ekonomi (basic economic and economic life of the nation) dan trans nasional crime, 112 di samping itu korupsi bisa juga terjadi dalam lapangan jabatan, kekuasaan politik, korupsi moral dan korupsi demokrasi. Stephen D. Plats dalam Ethic Secience
112
Barda Nawawi Arief, Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah seminar di Unsoed, Poerwokerto, 1999. Lihat juga Edi Setiadi, Op. Cit, hal. 50. The Asean Street Journal pada Tahun 1997 sudah menuliskan corruption ranking in 1996, based on the level of corruption in a country.
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan bahwa korupsi dapat terjadi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang sosial. 113 Secara umum pengertian korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism). 114 Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut: 115 1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent); 2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim); 3. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation); Karakteristik tindak pidana korupsi dan pencucian uang sangat berbeda dengan karakteristik tindak pidana secara umum yang dianut di dalam sistem hukum maupun kaedah KUH Pidana dan Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama yang menyangkut pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang. 116
113
Stephen D. Plats, dalam Triaji, Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan Keuangan Negara, Sebagai Upaya Preventif terjadinya KKN, Seminar di Unsoed, 1999, hal. 3. 114 Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 12. 115 Barda Nawawi Arief., dan Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni 1992), hal. 56. 116 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni, 1982, hal. 67. Pembicaraan mengenai tata kaedah hukum telah disinggung mengenai tujuan kaedah tersebut, yakni kedamaian hidup antar pribadi. Kedamaian tersebut meliputi dua hal yaitu ketertiban
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengetahui karakteristik tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilihat di dalam UUTPK dalam arti materil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK diuraikan berikut ini; Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”. Bunyi pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yaitu: 1. Melawan hukum; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Dapat merugikan keuangan negara. Ad. 1. Unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat diartikan bahwa tersangka/terdakwa tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menguasai suatu benda, dalam hal ini berupa uang. Dalam buku-buku hukum pidana yang dimaksud dengan melawan hukum itu terdapat perbedaan pendapat antara para pakar misalnya ada yang memakai istilah bertentangan dengan hak orang lain, ada yang memakai istilah tanpa hak, dan lainekstern antar pribadi, ketenangan intern dalam pribadi. Kedua hal tersebut ada hubungannya dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi tunggal merupakan sepasang nilai yang sering bersitegang, yaitu memberikan kepastian dalam dalam hukum (“certainly”, “zekerheid”) dan memberikan kesebandingan dalam hukum, kecuali yang telah disinggung di atas, masih ada dua pasang lagi, yakni; Pertama, nilai kepentingan rohaniah/keakhlakan (spritualisme) dan nilai kepentingan jasmaniah/kebendaan (materialisme), Kedua, nilai kebaruan (inovatisme) dan nilai kelanggengan (konservatisme).
Universitas Sumatera Utara
lain. Yurisprudensi Indonesia menafsirkan unsur melawan hukum secara sosiologis yang meliputi baik melawan hukum formil maupun hukum materil. Penjelasan umum UUPTPK dapat dikontruksikan bahwa melawan hukum diartikan seperti dalam hukum perdata yang pengertiannya meliputi perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya. Ini dimaksudkan agar mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Penjelasan dari UUPTPK Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dihukum. Unsur melawan hukum itu tidak hanya menjadikan perbuatan melawan hukum dengan cara memperkaya diri sendiri, orang lain, badan atau korporasi secara tertulis saja sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum melainkan melawan hukum dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana dalam arti tidak tertulis seperti kebiasaan atau adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di dalam tatanan masyarakat atau hukum formil. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh penjelasan
Universitas Sumatera Utara
umum UUPTPK menyatakan bahwa agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang lebih luas menurut hukum tertulis dan menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Pengertian tentang perbuatan melawan hukum ini dalam praktek terjadi permasalahan untuk diterapkan hal ini dapat dilihat dalam perkara dugaan korupsi yang dilakukan oleh Mantan Direktur Bank Mandiri atas nama Edward Cornelis William Neloe, begitu juga saat ini masih hangat-hangatnya berita tentang kasus penyuapan (bribery) yang melibatkan Jaksa Urip atas Artalyta Suryani alias Ayin yang menyuap Jaksa Urip dalam Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dimana para terdakwa dituntut oleh penuntut umum telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan meksud memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit. Perbuatan para tersangka dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana. 117 Perkembangan selanjutnya melalui Putusan Mahkamah
117
Nota Pembelaan Terhadap Requisitoir/Surat Tuntutan Jaksa Nomor Reg. Perkara: PDS08/JKT.SL/Ft.1/09/2005. Praktek peradilan pidana telah meninggalkan asas melawan hukum materil
Universitas Sumatera Utara
Agung Nomor 003/PUU-IV/2006, di dalam putusannya menyatakan bahwa oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil seperti termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan demikian penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK sepanjang mengenai yang dimaksud melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan
(materielle wederrechtelijkheid) yang berarti asas nullum delictum tidak absolut lagi berlaku namun tetap memegang teguh asas “geen straf zonder schuld”. Oleh sebab itu dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, harus dapat dibuktikan secara profesional dan proporsional, baik berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999, pada pokoknya adalah upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dimana hakim tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus mampu membuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bahwa secara yuridis, substansi norma hukum yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah merupakan delik materil yang ditandai dengan dicantumkannya akibat konkrit dari perbuatan yang dilarang berupa memperkaya diri sendiri atau oarang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikan akibat dari terjadinya perbuatan tersebut sebgaimana perintah undang-undang. Hal tersebut telah diatur secara khusus di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang intinya Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Artinya beban pembuktian tidak semata-mata berada di tangan terdakwa, tetapi Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan ini mengandung asas lex specialis derogat lex generalis dari KUH Pidana. Bahwa berdasarkan ilmu hukum pidana, penerapan asas melawan hukum materil dalam suatu tindak pidana, mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya terbatas pada hukum tertulis, tetapi juga meliputi hukum tidak tertulis serta asas hukum yang berlaku di dalam masyarakat (algemene beginselen van recht). Terhadap asas melawan hukum materil, banyak keberatan dikemukakan oleh para sarjana dengan alasan; Pertama, kepastian hukum akan terabaikan (rechtzekerheid), Kedua, terdapat kecenderungan bagi hakim untuk melakukan tindakan sewenang-wenang, Ketiga, kemungkinan akan lebih dominan terjadinya “main hakim sendiri” (eigenrichting). Namun demikian dalam perkembangan hukum pidana dewasa ini, keberadaan asas melawan hukum materil perlu dianut khususnya dalam delik-delik kolektif, tetapi penerapannya harus benar-benar didukung oleh profesionalisme dan pengetahuan yang mendalam tentang disiplin ilmu hukum pidana. Demi hukum terdakwa harus dibebaskan dengan asas “geen straft zonder schuld”, yaitu terdakwa hanya bisa dihukum apabila dapat dibuktikan adanya kesalahan yang sekecil-kecilnya. Bahwa Jaksa Penuntut Umum menguraikan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah delik formil sedangkan melalui adanya perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positif. Menurut teori dan asas hukum pidana yang diterima secara universal, argumantasi yang dikeluarkan oleh Jaksa Penuntut Umum di atas adalah sangat keliru, karena asas hukum materil adalah berkualitas abstrak yang tidak mungkin dikaitkan dengan fungsi positif. Seharusnya jika Jaksa Penuntut Umum menggunakan asas melawan hukum materil harus memahami keberadaan hukum yang tidak tertulis atau norma-norma serta kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktek perbankan yang menentukan dapat tidaknya sebagai perbuatan melawan hukum.
Universitas Sumatera Utara
melawan hukum dalam arti materil maupun dalam arti formil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana dan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundangundangan lainnya. Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK inilah yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan materil (materile wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara formil (formele wederrechtelijkheid). Dengan diperluasnya pengertian “melawan hukum” maka hal itu meliputi pula pengertian perbuatan melawan hukum yang dianut dalam KUH Perdata (onrechtmatig daad) dalam hukum perdata, dan dalam UUPTPK ditambah dengan unsur lain yaitu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ad. 2. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Secara harfiah “memperkaya” artinya bertambah kaya, sedangkan kata “kaya” artinya mempunyai banyak harta, uang dan sebagainya. Pembuat undang-undang tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan, akan tetapi hal ini dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dimana tersangka/terdakwa berkewajiban memberikan keterangan tentang sumber kekayaan demikian sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan dapat digunakan sebagai alat bukti.
Universitas Sumatera Utara
Ad. 3. Unsur Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara Unsur merugikan keuangan negara akan dipaparkan lebih lanjut pada sub C sebagai berikut.
C. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Dalam pasal-pasal UUPTPK, tidak ada ditemui satu pasal pun yang memberikan defenisi mengenai ”kerugian keuangan negara”, akan tetapi dapat dipahami daripada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, yang berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Keempat) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 118 Pasal 2 ayat (1) UUPTPK tersebut yang memuat kalimat “... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ...”, telah bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi yakni, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 118
Ann Sidman, Robert B. Seidman, Nalin Abeysekere., Penyusunan Rancangan UndangUndang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, (Terjemahan Johanes Usfunan cs). (Jakarta: ELIPS, 2001), hal. 319.
Universitas Sumatera Utara
Dikatakan bertentang dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, berdasarkan alasan-alasan berikut: 119 a. Pada kalimat, “... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ...”, yang dapat ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang membacanya tidak mendatangkan kepastian hukum kepada pencari keadilan dan penegak hukum, karena perbuatan atau peritiwa tersebut belum nyata atau belum tentu terjadi dan belum pasti jumlahnya; b. Telah ada definisi “Kerugian Negara” yang menciptakan kepastian hukum, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara), Pasal 1 ayat (22) berbunyi, “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Dan dari kalimat, “Kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya...”, memberi kepastian hukum; Jika diteliti berdasarkan pemahaman yang disandarkan kepada hirarki peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia, maka dapat dipahami di antaranya bahwa: 120 a. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut agar tidak diperlakukan karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, atau kata “dapat” dihilangkan sehingga, berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara...”. b. Hal tersebut di atas tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, dengan adanya pengertian yang mendatangkan kepastian hukum, sebagaimana tercantum dalam pengertian kerugian sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (22) (UU Perbendaharaan Negara). c. Alasan tidak berlakunya Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, sesuai pula dengan azas dalam hukum pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yaitu, “Jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
119
Ibid., hal 330. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hal. 29. 120
Universitas Sumatera Utara
Menurut hemat peneliti telah terjadi perubahan pengertian “Kerugian Negara” itu oleh pembuat undang-undang karena UU Perbendaharaan Negara tersebut juga memuat sanksi-sanksi pidana, seperti dimuat dalam ketentuan Pasal 64 UU Perbendaharaan Negara yang dinyatakan bahwa, “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi”. d. Terjadinya suatu perubahan undang-undang ditandai dengan perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang. Tiap-tiap perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat undang-undang, maupun dalam keadaan karena waktu, boleh diterima sebagai perubahan undang-undang dalam arti kata Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana walaupun perubahan tersebut tidak disebutkan dalam redaksi Pasal 2 ayat (1) UUPTPK. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”. 121 Kalimat “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak bertentangan dengan hak atau asas kepastian hukum yang adil sebagaimana yang dimaksud Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan ditafsirkan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: 122 1. Apakah pengertian kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK yang pengertiannya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa dengan penambahan kata “dapat” tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) a quo menjadi rumusan delik formil? dan 2. Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di atas, pada kalimat, “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian 121 122
Kompas, tanggal 26 Juli 2006. Erman Rajagukguk., Op. cit, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
negara”, yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan? Kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUPTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negera secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat’ menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potensial loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan persidangan di pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata “dapat” tersebut sebelum kalimat, “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah Konstitusi dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kerugian negara yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti adanya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atau akurasi kesempurnaan
Universitas Sumatera Utara
pembuktiaan, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan secara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum kalimat, “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului kalimat, “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUH Pidana. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah dipenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi. Hal
yang
demikian
tidaklah
menimbulkan
ketidakpastian
hukum
(onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena, keberatan kata “dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya kepastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak
Universitas Sumatera Utara
bersalah dijatuhi pidana orupsi atau sebaiknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana. Dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi seseorang, atau badan hukum, hubungan kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim yakni (1) Nyata-nyata merugikan negara; atau (2) Kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang “belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret disekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara yang terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yag terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang atau badan hukum terhadap kerugian negara. 123 Kata
“dapat”
sebelum
kalimat
“merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian negara”, kemudian mengkualifikasikanya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus terjadi, hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. 123
Ibid., hal 14.
Universitas Sumatera Utara
Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4 UUPTPK, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karena persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma; Kalimat, “dapat”, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional); Oleh karena kata, “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan pemohon tentang hak itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi hanya Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, SH., yang berbeda pendapat (dissenting opinion), antara lain mengatakan mencabut kata “dapat” pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU tersebut berserta penjelasan-penjelasannya justru meniadakan ketidakpastian hukum, sementara penegakkan hukum dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi tetap berjalan. Pendapatnya ini berdasarkan pertimbangan antara lain pengujian teks pasal batang tubuh harus dilakukan bersamaan dengan penjelasan, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan telah adanya
Universitas Sumatera Utara
rumusan baru kerugian negara dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. 124 Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menurut Tumpak Hatorangan Panggabean Wakil Ketua KPK, menyebabkan dimasa mendatang pemberantasan korupsi kembali kepada aturan Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Lama sebelum berlakunya UUPTPK yang baru) yaitu untuk membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. 125 Setidaknya ada tiga syarat, agar hukum dapat berperanan mendorong jalannya perekonomian bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan “predictability”, “stability” dan “fairness”. 126 1. Undang-undang dan pelaksanaannya harus bisa menciptakan “predictability” atau kepastian. Beberapa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya ditafsirkan menurut siapa yang membacanya telah mendatangkan ketidakpastian bahkan kekhawatiran bagi pelaku ekonomi; 2. Undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus bisa menciptakan “stability” (stabilitas), yaitu dapat mengakomodir kepentingankepentingan yang saling bersaing di masyarakat, antara lain, yaitu kepentingan untuk memberantas korupsi dan kepentingan untuk mendapat kepastian hukum; dan 3. Undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus bisa menciptakan “fairness” (keadilan). Beberapa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya serta penerapannya tidak mendatangkan keadilan.
124
Republika, tanggal 26 Juli 2006. Ibid. 126 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy. Vol. 9 Tahun 1980, hal. 232. 125
Universitas Sumatera Utara
Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, versi Pemerintah dan Bank Indonesia maksimal 5,7 persen diperkirakan sulit dicapai karena macetnya pembiayaan bank, ketidakmampuan pemerintah daerah menstimulus pertumbuhan sektor riil ditambah bencana yang tidak dapat terhindarkan serta diperparah pula dengan maraknya korupsi di Indonesia. Menurut sementara pengusaha perlu ada kepastian hukum sebagai salah satu faktor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut. 127 Sehubungan dengan hal tersebut, maka melanjutkan upaya pemberantasan korupsi mutlak harus dilaksanakan secara terus menerus, baik korupsi yang terjadi di pemerintahan maupun dikalangan swasta sebagaimana tercantum dalam “United Nations Convention Against Corruption” yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Namun, pemberantasan korupsi tersebut harus didasarkan kepada undang-undang nasional yang jelas yakni UUPTPK yang baru, pasti dan adil sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan pemaparan di atas, dalam unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, terdapat dua teori yang relevan dengan hal itu yakni: 128 a. Teori dari Von Buri, terkenal dengan nama “teori ekivalen” (equivalensi theori) atau teori conditio sine quanon yaitu; “semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor yang bersangkutan harus dianggap sebagai sebab akibat”. b. Teori Von Kries, terkenal dengan teori mengeneralisir mengatakan; “di antara faktor-faktor dalam rangkaian faktor-faktor yang dapat dihubungkan dengan 127 128
Ibid., tanggal 25 Juli 2006. Moeljatno, Loc. cit, hal. 91-95.
Universitas Sumatera Utara
terjadinya tindak pidana, ada satu yang dapat dianggap menjadi kausa faktor yang seimbang (adaequaat) dengan terjadinya perbuatan yang bersangkutan”. Indonesia menganut teori yang dikemukakan oleh Von Kries. Dengan demikian bahwa unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sangat luas jangkauannya dan mudah membuktikannya tentang adanya kerugian negara dan inilah yang dapat menjadi kausa faktor yang seimbang (adaequaat), sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK disebutkan bahwa dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; “Keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) ini kemudian mengalami perubahan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai berikut; “kedaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah ketentuan yang dapat dijadikan alasan pemberantasan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter serta penanggulangan tindak pidana korupsi.” Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan sebagai berikut;
Universitas Sumatera Utara
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupia) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar).” Bunyi Pasal 3 terdapat beberapa unsur yaitu: 1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi; 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada; 3. Dapat merugikam keuangan negara atau perekonomian negara. Apabila dicermati sekilas akan tergambar bahwa bunyi Pasal 3 ini hampir sama dengan bunyi Pasal 2 ayat (1), tetapi kalau dilihat lebih mendalam, maka akan terdapat perbedaannya. Adapun perbedaan perumusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pasal 3 tidak disebutkan “unsur melawan hukum” secara tegas tetapi unsur melawan hukumnya melekat (inherent) dalam keseluruhan perumusan, yaitu dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya. Dengan perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang telah melawan hukum. Oleh karena itu dengan disebutnya unsur itu, maka Penuntut Umum tidak perlu mencantumkannya dalam surat dakwaan begitu pula dalam requisitor (tuntutan); 2. Adapun tujuan dari menyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya adalah untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Oleh karena
Universitas Sumatera Utara
itu di dalam undang-undang ini bagi terdakwa diwajibkan membuktikan bahwa kekayaannya itu didapatkan bukan dari hasil korupsi, dengan kata lain sistem pembuktian terbalik; 3. Dengan adanya penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimaksud di atas, maka perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 4. Perumusan kata “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka dalam hal ini Penuntut Umum harus dapat membuktikan adanya kerugian negara atau perekonomian negara akibat telah dilakukan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada terdakwa karena jabatan atau kedudukannya sebagaimana dimaksudkan di atas. Pasal-pasal yang diuraikan di atas merupakan perumusan asli dari pembuat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sedangkan perumusan pasal-pasal selanjutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, unsur-unsurnya dari unsur-unsur pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang ditarik ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
D. Unsur Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Perbuatan melawan hukum dimaksud adalah fokus kepada perbuatan melawan hukum menurut hukum perdata. Ada diatur dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata Indonesia (hal demikian terjadi juga di negara-negara yang menganut
Universitas Sumatera Utara
sistem Eropa Kontinental seperti di Indonesia), tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa gugatan perdata yang ada di pengadilan di Indonesia didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum, di samping gugatan atau tuntutan tentang wanprestasi. Karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya untuk diketahui apa arti secara teori-teori yuridis tentang perbuatan melawan hukum tersebut dan praktek perbuatan melawan hukum itu yang terjadi di pengadilan khususnya. Perbuatan melawan hukum di sini, dimaksudkan adalah sebagai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan melawan hukum secara pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah “perbuatan pidana” mempunyai arti konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda sama sekali dengan perbuatan melawan hukum secara hukum perdata. Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan onrechmatige overheidsdaad oleh penguasa juga memiliki arti konotasi serta pengaturan hukum yang berbeda pula. Dalam bahasa Belanda, perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata disebut onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti “salah (wrong)”. Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi, serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata “tort” berasal dari kata latin
Universitas Sumatera Utara
“torquere” atau “tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata “wrong” berasal dari kata Perancis yaitu “wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). 129 Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistein hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere, artinya semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya. Semula, banyak pihak meragukan, apakah perbuatan melawan hukum memang merupakan suatu bidang hukum tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah, yakni merupakan kumpulan pengertian-pengertian hukum yang berserakserakan dan tidak masuk ke salah satu bidang hukum yang sudah ada, yang berkenaan dengan kesalahan dalam bidang hukum perdata. Baru pada pertengahan abad XIX perbuatan melawan hukum mulai diperhitungkan sebagai suatu bidang hukum tersendiri, baik di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya di Belanda dengan istilah onrechmatige daad, ataupun di negara-negara Anglo Saxon, yang dikenal dengan istilah tort. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan
129
Kurntanto Purnama., “Teori Perbuatan Melawan Hukum Secara Perdata”. Artikel di Progresif Jaya Suara Kita Bersatu, Jakarta, tanggal 21 Mei 2006, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan melawan hukum karena kesengajaan, perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian) dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Bila dilihat dari model pengaturan dalam KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum, dan juga di negara-negara dalam system hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata; 2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam Pasal 1366 KUH Perdata; dan 3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai Berikut: 1. Ada suatu perbuatan; Yang dimaksud dengan ada suatu perbuatan di sini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat,
Universitas Sumatera Utara
kewajiban itu timbul dari hukum, dan ada pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak. Dalam perbuatan melawan hukum ini, harus tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperberbolehkan seperti yang terdapat dalarn suatu perjanjian kontrak. 2. Perbuatan itu melawan hukum; Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, sehingga meliputi hal-hal sebagai berikut: 130 a. b. c. d. e.
Perbuatan melanggar undang-undang; Perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum; Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; Perbuatan yang bertentangan kesusilaan (geode zeden); dan Perbuatan yang bertentangan sikap baik dalam masyarakat memperhatikan kepentingan orang lain.
untuk
3. Ada kesalahan dari pelaku; Undang-undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUH Perdata, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability), hal demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan untuk dikategorikan perbuatan melawan hukum harus ada kesalahan, maka perlu
130
Ibid., hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
mengetahui bagaimana cakupan unsur kesalahan itu. Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Ada unsur kesengajaan; b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa); c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond) seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain. Mengenai perlu atau tidak, perbuatan melawan hukum mesti ada unsur kesalahan, selain unsur melawan hukum, di sini terdapat 3 (tiga) aliran atau teori sebagai berikut: 131 a. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur melawan hukum. Aliran ini menyatakan, dengan unsur melawan hukum dalam arti luas, sudah mencakup unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi ada unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Oven; b. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur kesalahan. Aliran ini sebaliknya menyatakan, dalam unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Goudever; dan c. Aliran yang menyatakan, diperlukan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan. Aliran ini mengajarkan, suatu perbuatan melawan hukum mesti ada unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan, karena unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Meyers. Kesalahan yang diharuskan dalam perbuatan melawan hukum adalah kesalahan dalam arti “kesalahan hukum” dan “kesalahan sosial”. Dalam hal ini, hukum menafsirkan kesalahan itu sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup
131
Ibid., hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
dengan sikap yang ideal, yaitu sikap yang biasa dan normal dalam pergaulan masyarakat. Sikap demikian, kemudian mengkristal yang disebut manusia yang normal dan wajar (reasonable man). 4. Ada kerugian korban; dan Ada kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam gugatan atau tuntutan berdasarkan alasan hukum wanprestasi berbeda dengan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan berdasarkan wanprestasi hanya mengenal kerugian materil, sedangkan dalam gugatan perbuatan melawan hukum, selain mengandung kerugian materil juga mengandung kerugian immateril, yang dinilai dengan uang. 5. Ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi, merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual hanyalah merupakan masalah fakta karena setiap penyebab yang menimbulkan kerugian adalah penyebab faktual. Dalam perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Bun, seorang ahli hukum Eropa Kontinental adalah pendukung teori faktual ini. Agar lebih tercapai kepastian hukum dan hukum yang adil, maka lahirlah konsep “sebab kira-kira” (proximately cause). Teori ini, adalah bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan mengenai perbuatan melawan
Universitas Sumatera Utara
hukum ini. Kadang-kadang teori ini disebut juga teori legal cause, penulis berpendapat, semakin banyak orang mengtahui hukum, maka perbuatan melawan hukum akan semakin berkurang.
Universitas Sumatera Utara