BAB II PENGATURAN PEMBERIAN FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK DALAM SISTIM PERBANKAN DI INDONESIA
A. Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek dalam Sistim Perbankan di Indonesia 4. Pengertian dan Dasar Hukum Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bank Indonesia dapat memberikan dana kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek melalui pemberian FPJP dalam bentuk kredit untuk mengatasi masalah keuangan jangka pendek bank tersebut agar dapat diselesaikan. 60 Pengertian FPJP adalah fasilitas pendanaan dari BI kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami oleh bank 61. Kesulitan pendanaan jangka pendek adalah keadaan yang dialami bank disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) dalam rupiah sehingga bank tidak dapat memenuhi GWM rupiah. 62 Bank yang menghadapi permasalahan likuiditas berarti kesulitan pendanaan jangka pendek. Dasar hukum FPJP berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas UU No.23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang 60
Herdi Sahrasad, Century Gate, Refleksi Ekonomi-Politik Skandal Bank Century, (Jakarta: Tim Penyusun Kerja Sama Antara Freedom Foundation, Yayasan Indonesia Baru, dan Lingkar Studi Islam dan Kebudayaan, 2009), hal. 151. 61 Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor:10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. 62 Ibid., Pasal 1 angka 5.
Universitas Sumatera Utara
BI Menjadi Undang-Undang, BI dapat memberikan kredit kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset kredit kolektibilitas lancar. Selain itu, dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), dasar hukum diberikannya FPJP terdapat dalam PBI No.515/PBI/2003 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum; PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum; dan PBI No.10/30/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum. 5. Tujuan Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek oleh Bank Indonesia Berhubung dilema krisis keuangan secara global yang mempengaruhi perekonomian nasional, diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Oleh karenanya untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, bank wajib menerapkan manajemen risiko melalui FPJP. Tujuannya adalah untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sehingga diberikan akses bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas untuk memperoleh FPJP. BI menyediakan FPJP dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada bank dengan tujuan agar kelangsungan kegiatan usaha bank dapat terpelihara. FPJP diberikan oleh BI sebagai upaya untuk mengurangi dampak bahaya krisis global khususnya yang mengancam stabilitas sistem keuangan dalam industri perbankan. FPJP sebagai bagian terintegral dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang diperlukan untuk memelihara stabilitas keuangan. Pemberian FPJP
Universitas Sumatera Utara
kepada bank sebagai tindakan antisipatif melalui kewenangan Menteri Keuangan dan Gubernur BI yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mengatasi kesulitan keuangan atau kesulitan likuiditas (mismatch) agar dapat memenuhi kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) yang diatur dalam PBI No.10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada BI dalam Rupiah dan Valuta Asing, yang menentukan bahwa GWM harus dipenuhi setiap bank sebesar 7,5% dari dana pihak ketiga. 63 Pasal 3 PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum, dinyatakan, “FPJP wajib dijamin oleh bank dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini”. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PBI No.10/26/PBI/2008 tersebut dapat dipahami bahwa FPJP yang diberikan kepada bank untuk mengatasi permasalahan likuiditas dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi. Agunan yang berkualitas tinggi ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) PBI No.10/26/PBI/2008 dapat berupa: surat berharga dan aset kredit. Manajemen risiko likuiditas untuk perbankan di indonesia, pengelolaan aset likuid yang berkualitas tinggi, bank wajib melakukan pengelolaan secara aktif terhadap aset likuid yang berkualitas tinggi yang dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh pendanaan. Bank wajib memantau lokasi maupun status legal agunan dan bagaimana agunan tersebut dapat dengan cepat dimobilisasi pada saat dibutuhkan. Bank wajib memiliki kemampuan untuk menghitung seluruh posisi 63
HLB Hadori, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Op. cit., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
agunan yang dimiliki, termasuk aset yang saat ini telah diikat menjadi agunan dan aset yang tersedia untuk dijadikan agunan. Besarnya agunan yang tersedia harus senantiasa dipantau dan bank harus memahami prosedur dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh agunan tersebut. Bank wajib menilai kelayakan setiap agunan untuk diikat sebagai agunan dengan Bank Indonesia FPJP dan kelayakan aset untuk diterima oleh penyedia (counterparty) dana di pasar pendanaan. Bank wajib menerapkan manajemen agunan yang efektif sehingga dapat memenuhi kebutuhan agunan dalam rangka permasalahan likuiditas jangka panjang, jangka pendek dan intrahari. 64 Bank wajib memiliki agunan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan likuiditas baik yang terduga maupun tidak terduga, termasuk potensi peningkatan kebutuhan margin pada berbagai jangka waktu yang berbeda sesuai profil pendanaan bank. Dalam menentukan besarnya agunan yang akan diikat atau diberikan, bank wajib mempertimbangkan potensi ketidakpastian seputar waktu aliran kas intrahari. Bank wajib mempertimbangkan potensi gangguan pada operasional dan likuiditas yang dapat meningkatkan kebutuhan untuk pengikatan atau penyerahan tambahan agunan
intrahari.
Bank
yang
menggunakan
instrumen
derivatif
wajib
mempertimbangkan potensi kebutuhan agunan tambahan sebagai dampak perubahan posisi pasar atau perubahan pada credit rating atau posisi keuangan bank. Sistem
64
Bank Indonesia, Manajemen Risiko Likuiditas Untuk Perbankan di Indonesia, Consultative Paper, Direktorat Penelitian Dan Pengaturan Perbankan 2009, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
informasi bank harus dapat memberikan informasi mengenai kepemilikan bank termasuk jenis dan kualitas aset. 65 Risiko keuangan berupa kesulitan pendanaan jangka pendek bisa berpeluang terjadinya permasalahan likuiditas oleh bank dalam menjalankan usahanya yang apabila tidak segera diatasi dapat menimbulkan masalah yang lebih besar dan bersifat struktural. 66 Permasalahan likuiditas yang dialami bank disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro bank di BI menjadi negatif. 67 Sebelum disalurkannya FPJP dalam mengatasi permasalahan likuiditas pada dasarnya bank terlebih dahulu harus mengupayakan dana di pasar uang dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia, jika bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka BI sebagai lender of the last resort dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas tersebut melalui FPJP. 68
65
Ibid. Apabila permasalahan likuiditas yang dihadapi bank tidak segera ditangani, dikhawatirkan kepercayaan nasabah terhadap bank tersebut merosot dan nasabah berbondong-bondong menarik uangnya (bank runs) sehingga bank dimaksud tidak dapat berfungsi secara normal. Bank runs sangat rentan terhadap rumor yang dengan mudah menyebar dan dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Suatu bank dapat kolaps apabila semua nasabah percaya terhadap rumor yang berkembang ditengah masyarakat dan kemudian semua bertindak menarik simpanannya. Bank tersebut tidak akan mampu melikuidasi asetnya dalam waktu singkat untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap nasabah. Hal tersebut dapat menimbulkan efek domino terhadap bank lain sehingga bank-bank lain kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran kepada nasabahnya (dampak sistemik). 67 Saldo giro negatif adalah saldo rekening giro rupiah bank pada BI yang menunjukkan angka negatif pada saat BI menutup sistem akuntingnya. 68 Dahlan Siamat, Op. cit, hal. 207. 66
Universitas Sumatera Utara
6. Syarat-Syarat Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Sehubungan dengan ditetapkannya PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan PBI No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008 dan selengkapnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/39/DPM, diatur mengenai syarat-syarat FPJP untuk pendanaan jangka pendek bagi Bank umum sebagai berikut: 69 a. Bank mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek dan memiliki agunan yang berkualitas tinggi yang dengan nilai agunan yang memadai; b. Memiliki rasio kewajiban penyertaan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) positif berdasarkan perhitungan BI; c. Paling banyak sebesar plafon FPJP yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah likuiditas sampai dengan bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan hasil analisis BI atas proyeksi arus kas 14 (empat belas) hari ke depan yang disampaikan oleh bank; d. Pencairan FPJP dilakukan oleh BI secara harian sebesar kebutuhan bank untuk memenuhi kewajiban GWM selama memebuhi plafon dan jangka waktu yang disetujui; e. Jangka waktu FPJP ditetapkan sebagai berikut:
69
Dikutip dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/39/DPM Tanggal 14 November 2008 Perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, hal. 3-7.
Universitas Sumatera Utara
1. Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 (empat belas) hari, yang dinyatakan dalam hari kalender, jika FPJP memiliki tanggal jatuh tempo yang bertepatan dengan hari Sabtu, Minggu atau hari libur nasional maka penyelesaian FPJP jatuh tempo adalah pada hari kerja berikutnya; 2. Jangka waktu FPJP dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender yang dihitung sejak pertama kali bank memanfaatkan FPJP; f. Bank menjamin FPJP dengan agunan milik bank berupa: SBI, SUN, SBSN, Obligasi Korporasi dan/atau Aset Kredit dengan ketentuan: 1. Dalam hal agunan berupa SBI, SUN dan/atau SBSN: a) Nilai jual SBI, nilai pasar SUN dan/atau nilai pasar SBSN yang diagunkan ditetapkan berdasarkan perhitungan yang ditetapkan BI; b) Pada tanggal FPJP jatuh tempo, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diagunkan memiliki sisa jangka waktu: paling singkat 2 (dua) hari kerja untuk SBI; paling singkat sepuluh hari kerja untuk SBSN dan SUN. 2. Dalam hal agunan berupa Obligasi Korporasi: a) Pada saat permohonan atau perpanajangan FPJP memiliki sisa jangka waktu paling kurang 90 (sembilan puluh) hari; b) Aktif perdagangkan yaitu pernah diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dalam 30 (tiga puluh) hari kalender trakhir; dan
Universitas Sumatera Utara
c) Memiliki peringkat paling kurang 3 (tiga) peringkat (notch) teratas pada 1 (satu) tahun trakhir berdasarkan hasil penilaian lembaga pemringkat yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. 3. Dalam hal agunan berupa Aset Kredit: a) Memiliki kolektibilitas lancar selama 3 (tiga) bulan terakhir. Kolektibilitas adalah kualitas kredit yang dilaporkan Bank ke dalam Sistem Informasi Debitur (SID). Penetapan kualitas Aset kredit harus dilakukan bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terakhir yang dilakukan Bank Indonesia terdapat perbedaan dengan kualitas Aset Kredit yang telah dilaporkan Bank maka kualitas Aset Kredit yang digunakan adalah yang berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia; b) Bukan
merupakan
kredit
yang
sedang
dalam
restrukturisasi
Restrukturisasi dimaksud dilakukan terhadap debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; c) Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali Kredit Pemilikan Rumah (KPR);
Universitas Sumatera Utara
d) Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait bank sesuai dengan kriteria sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bank umum pada saat diberikan; e) Sisa jangka waktu jatuh tempo kredit paling cepat 3 (tiga) bulan dari saat persetujuan FPJP; f) Baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan BMPK pada saat diberikan; g) Memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum sesuai ketentuan yang berlaku. g. Obligasi Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1. Bank tidak memiliki SBI, SUN, SBSN; atau 2. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada butir 1 namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP. h. Aset Kredit hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1. Bank tidak memiliki SBI, SUN, SBSN dan Obligasi Korporasi; atau 2. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada butir 1 namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP. i. Jangka waktu pengikatan agunan FPJP ditetapkan sebagai berikut: 1. Jatuh tempo pengikatan agunan FPJP untuk agunan berupa SBI, SUN, SBSN dan Obligasi Korporasi adalah 10 (sepuluh) hari kerja setelah FPJP jatuh tempo;
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam hal terjadi pelunasan FPJP pada saat jatuh tempo, maka pengikatan agunan FPJP berupa SBI, SUN, SBSN dan Obligasi Korporasi dapat dilepas (release) pada 1 (satu) hari kerja setelah FPJP dilunasi. j. Dalam rangka penggunaan FPJP, bank dapat melakukan perpanjangan FPJP yang jatuh tempo dengan ketentuan: 1. Bank melunasi biaya bunga FPJP jatuh tempo terlebih dahulu; 2. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan; 3. Bank memiliki agunan yang masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan surat edaran ini; 4. Bank memiliki Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (Capital Adequacy Ratio/ CAR) positif berdasarkan perhitungan Bank Indonesia; dan 5. Penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut. k. Dalam rangka perpanjangan penggunaan FPJP sebagaimana dimaksud dalam butir j, nominal FPJP jatuh tempo diperhitungkan dengan plafon FPJP baru dengan memperhatikan ketentuan penggunaan FPJP sebagaimana dimaksud pada butir c, e, i. l. Bank tidak dapat memperpanjang FPJP dalam hal atas perpanjangan FPJP dimaksud mengakibatkan terlampauinya jangka waktu maksimum FPJP selama 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud pada butir e.2.
Universitas Sumatera Utara
m. Bank Indonesia mengenakan biaya bunga atas FPJP yang digunakan bank dengan tingkat bunga ditetapkan sebesar BI-Rate ditambah dengan 100 (seratus) basis poin. n. Jumlah FPJP yang dikenakan biaya bunga sebagaimana dimaksud pada butir m adalah sebesar pencairan FPJP harian.
B. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan Pendanaan Lainnya 5. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan Fasilitas Likuiditas Intrahari Tingginya intensitas rumor negatif yang beredar di masyarakat, diperparah dengan kondisi perbankan yang sedang mengalami kesulitan likuiditas antar bank hingga menyebabkan gagal kliring, maka bank yang mengalami gagal kliring dapat diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan dimusyawarahkan terlebih dahulu melalui rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), apabila hasil rapat komite mengatakan bahwa bank tersebut mengalami kesulitan pendanaan, maka langkah BI adalah memberikan pinjaman intrahari atau disebut dengan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) namun apabila bank tidak dapat melunasi FLI sampai dengan batas waktu pelunasan yang ditetapkan, maka terhadap nilai FLI yang tidak dilunasi tersebut oleh BI dapat mengeluarkan FPJP, jika tidak dapat melunasi FPJP dalam jangka waktu yang ditetapkan, bank bersangkutan dinyatakan sebagai bank gagal. 70 FLI adalah: “Penyediaan pendanaan oleh BI kepada bank dalam kedudukan
70
Dahlan Siamat, Op. cit., hal. 206.
Universitas Sumatera Utara
bank sebagai peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan peserta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), yang dilakukan dengan cara repurchase agreement (repo) surat berharga yang harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan. 71 Ketentuan FLI disempurnakan melalui PBI No.10/29/PBI/2008 yang mengatur pemberian fasilitas untuk mengatasi kekurangan likuiditas akibat kesenjangan antara arus dana masuk dan arus dana keluar. Pemberian fasilitas ini kepada bank ditujukan untuk memperlancar operasi sistem pembayaran dengan didukung agunan likuid dan bernilai tinggi. SKNBI adalah sistem kliring yang diselenggarakan oleh BI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan BI yang mengatur mengenai sistem kliring nasional BI. 72 FLI merupakan fasilitas pertama diberikan sebelum penanganan terhadap bank yang bermasalah melalui FPJP. Berlakunya penyelesaian transaksi melalui sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), bank sangat mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek. Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi yang diterima (incoming transaction), apabila kesulitan yang dialami oleh bank atau beberapa bank tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat menyebabkan kemacetan 71
Pasal 1 angka 6 PBI No.10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank
72
Ibid., Pasal 1 angka 6.
Umum.
Universitas Sumatera Utara
pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran diatas maka Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek selama waktu operasional sistem BI-RTGS dalam bentuk FLI bagi bank umum yang wajib diselesaikan oleh bank pada akhir hari yang sama. Selain penyediaan FLI untuk mengatasi gridlock dalam Sistem BI-RTGS, penyediaan FLI juga diperlukan untuk mengatasi timbulnya kewajiban penyelesaian akhir kliring debet yang ditanggung oleh BI sebagai penyelenggara sistem kliring. Berkenaan dengan hal tersebut maka BI menerapkan suatu kebijakan yang mewajibkan peserta dalam Kliring Debet untuk menyediakan pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana (cash) dan atau surat berharga (collateral) pada setiap awal hari sebelum kliring debet dimulai. Berkenaan dengan penyediaan setoran awal dalam bentuk surat berharga tersebut maka mekanisme penyediaan, penggunaan dan penyelesaiannya akan diberikan dalam bentuk FLI khusus kliring sebagaimana FLI yang sebelumnya telah disediakan oleh Bank Indonesia untuk transaksi Sistem BIRTGS. 73 Pemberian FLI sejalan dengan pelaksanaan tugas BI untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 UU No.23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
73
Bank Indonesia, “Real Time Gross Settlement”, Briefing Paper, Jakarta, Tanggal 30 Oktober 2000, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008. Pengajuan FLI dan penatausahaan surat berharga dalam rangka pengajuan FLI telah menggunakan sarana Bank IndonesiaScripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. Melalui sarana BI-SSSS dapat mempercepat proses pengajuan FLI dan meminimalkan risiko setelmen. FLI merupakan fasilitas pertama diberikan sebelum penanganan terhadap bank yang bermasalah melalui FPJP. Pada batas tertentu di akhir hari fasilitas FLI harus sudah dikembalikan ke BI, apabila bank tidak mampu mengembalikan tepat pada waktunya maka fasilitas FLI tersebut akan berubah menjadi FPJP. 74 Ketentuan FPJP disempurnakan melalui PBI No.10/26/PBI/2008 dan PBI No.10/30/PBI/2008 disebutkan akan memberikan akses yang lebih luas kepada perbankan untuk memperoleh pendanaan dengan jangka waktu yang lebih panjang dari FLI. Sementara itu Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) yang disempurnakan melalui PBI No.10/31/PBI/2008 diberikan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia, serta berdampak sistemik. Berbeda dengan FLI dan FPJP, pemberian FPD harus didasarkan pada keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota. Penyempurnaan ini merupakan bagian dari fungsi BI sebagai lender of the last resort.
74
Ibid., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan FLI disempurnakan melalui PBI No.10/29/PBI/2008 yang mengatur pemberian fasilitas untuk mengatasi kekurangan likuiditas akibat kesenjangan antara arus dana masuk dan arus dana keluar. Pemberian fasilitas ini kepada bank ditujukan untuk memperlancar operasi sistem pembayaran dengan didukung agunan likuid dan bernilai tinggi. PBI No.10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum dikeluarkan sebagai dasar untuk menjalankan usahanya Bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko likuiditas. Risiko likuiditas merupakan kesulitan pendanaan jangka pendek yang timbul akibat ketidaksesuaian (mismatch) antara arus dana masuk (cash inflow) dengan arus dana keluar (cash outflow). Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif Bank pada BI. Apabila tidak segera diatasi, kesulitan likuiditas tersebut dapat menimbulkan masalah yang lebih besar bahkan dapat menimbulkan kesulitan likuiditas bagi bank-bank lainnya. Bank pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia untuk menutup kesulitan likuiditasnya. Apabila Bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of last resort dapat membantu Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut. Kebijakan lender of last resort tersebut merupakan bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety net) yang diperlukan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Kerangka jaring pengaman keuangan yang komprehensif memuat secara jelas mengenai peran masing-masing lembaga terkait dan mekanisme koordinasi baik dalam pencegahan
Universitas Sumatera Utara
maupun penyelesaian krisis. Stabilitas sistem keuangan tersebut mutlak dipelihara untuk stabilitas moneter dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fasilitas lender of last resort yang diberikan bank sentral kepada bank, baik untuk situasi normal maupun untuk penanganan krisis, secara umum dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis yakni: 75 a. Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) untuk mengatasi kekurangan likuiditas (liquidity mismatch) akibat kesenjangan antara arus dana masuk dan arus dana keluar. Pemberian fasilitas ini kepada Bank ditujukan untuk memperlancar operasi sistem pembayaran dengan didukung agunan likuid dan bernilai tinggi kepada Bank Indonesia; b. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) diberikan kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek. Pemberian FPJP harus didukung dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai; c. Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan Bank Indonesia, serta berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). FLI dan FPJP merupakan fasilitas yang diberikan BI untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam kondisi normal, sedangkan FPD merupakan fasilitas untuk mengatasi dampak atau risiko sistemik dalam kondisi darurat untuk mencegah dan mengatasi krisis. FPD yang diberikan dalam rangka pencegahan krisis diberikan oleh BI dan dijamin oleh Pemerintah. Sedangkan FPD dalam rangka penanganan krisis pendanaannya berasal dari Pemerintah yang diberikan melalui BI. 76 Oleh karena itu, 75
Penjelasan PBI No.10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank
Umum. 76
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter, dan Perbankan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hal. 206. FLI disempurnakan melalui PBI No.10/29/PBI/2008. FLI adalah fasilitas pendanaan dari BI kepada bank umum untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Bank Indonesia Real
Universitas Sumatera Utara
sumber pendanaan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis terkait dengan pemberian FPD menjadi beban APBN melalui penerbitan SBN atau tunai oleh Pemerintah. 6. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan Blancket Guaranty Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 4 PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, FPJP adalah fasilitas pendanaan dari BI kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami oleh bank. Kesulitan tersebut ditunjukkan oleh keadaan yang dialami bank disebabkan arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) dalam rupiah sehingga bank tidak dapat memenuhi GWM rupiah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 PBI No.10/26/PBI/2008 tersebut, dapat dipahami bahwa FPJP diberikan kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek. Sedangkan penjaminan penuh atau blancket guaraty adalah penjaminan terhadap simpanan nasabah secara penuh oleh bank yang bersangkutan terhadap simpanan nasabah penyimpan. Penjaminan penuh dimaksudkan untuk menjaga
Time Gross Settlement (BI-RTGS) karena nilai transaksi keluar (outgoing transaction) melalui sistem BI-RTGS lebih besar dibandingkan dengan saldo rekening giro rupiah bank di BI. Sistem BI-RTGS adalah sistem transfer dana elektronik antar peserta dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi individual. Penggunaan FLI dilakukan secara otomatis melalui BI-RTGS pada saat saldo rekening giro rupiah bank di BI tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar berdasarkan kecukupan nilai agunan FLI yang tersedia di rekening penggunaan surat berharga dalam sarana Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System (BI-SSSS). Selanjutnya pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk yang mengkredit rekening giro rupiah bank bersangkutan di BI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI. Bank wajib melunasi FLI sampai batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan BI. Jika bank tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan, maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi diberlakukan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan para pemilik modal agar mau menyimpan dananya di dalam negeri. 77 Berdasarkan hal tersebut, bahwa blancket guaraty merupakan suatu penjaminan bank terhadap nasabahnya sedangkan FPJP merupakan suatu fasilitas pendanaan yang diberikan BI kepada bank. Suatu bank dikatakan sebagai bank gagal menurut UU LPS: Apabila bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank dimaksud tidak dapat dilanjutkan, bank dimaksud menjadi Bank Gagal yang berakibat dicabut izin usahanya. Oleh sebab itu, baik pemilik dan pengelola bank maupun berbagai otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan/atau pengawasan bank, hurus bekerja sama mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Penjaminan seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) berdasarkan Keputusan Presiden di masa lalu, berhasil mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan pada masa krisis moneter dan perbankan. Namun, penjaminan yang sangat luas ini juga membebani anggaran negara dan menimbulkan moral hazard pada pihak pengelola bank dan nasabah bank. Pengelola bank tidak terdorong untuk melakukan usaha bank secara prudent, sementara nasabah tidak memperhatikan atau mementingkan kondisi kesehatan bank dalam bertransaksi dengan bank. Selain itu, penerapan penjaminan secara luas ini yang berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat memberikan kekuatan hukum sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan. Oleh karena itu, diperlukan dasar hukum yang lebih kuat dalam bentuk Undang-Undang. 78 Penjaminan penuh (blanket garantee) dinilai sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak dilakukan agar nasabah bank merasa aman, 79 namun berdasarkan Penjelasan Umum UU LPS di atas, blancket guaranty membebani anggaran negara dan menimbulkan moral hazard pada pihak pengelola bank dan nasabah bank. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan pemerintah menurut Zulkarnain Sitompul 77
Harian Kompas, Tanggal 24 November 2008, hal. 1. Penjelasan Umum UU LPS. 79 http://economy.okezone.com/read/2008/11/13/277/163815/blanket-guarantee-belum-cocokditerapkan-di-indonesia, diakses tanggal 22 Juli 2011. 78
Universitas Sumatera Utara
adalah mengurangi cakupan jenis transaksi yang dijamin dalam blanket guarantee secara bertahap. Pasal 100 UU LPS menetapkan tahapan peralihan dari jaminan secara penuh menjadi jaminan terbatas adalah 18 bulan sejak berlakunya UU LPS dengan tahapan sebagai berikut: Selama 6 bulan sejak berlaku UU LPS seluruh nilai simpanan dijamin; Enam bulan berikutnya jumlah yang dijamin paling tinggi Rp. 5 milyar; Enam bulan berikutnya jumlah maksimal yang dijamin Rp. 1 milyar; dan setelah 18 bulan berlakunya UULPS maksimal yang dijamin adalah Rp.100 juta. 80 7. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan Bailout Bailout adalah serangkaian tindakan penyelematan terhadap bisnis yang telah gagal untuk mencegah konsekuensi yang muncul dari kegagalan tersebut bentuk bailout dapat berupa tawaran dalam bentuk dana talangan atau kredit, obligasi, saham atau uang tunai yang mungkin tidak memerlukan penggantian. 81 Bailout terhadap bank yang bermasalah dalam hal likuiditas, bertujuan untuk mengeluarkan bank tersebut dari keterpurukan ekonominya dalam menghadapi likuiditas bank. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan bank dari masalah. Menurut teori bailout, bahwa inti dari bailout sebenarnya adalah “mengeluarkan”. Dapat dirujuk kepada istilah bailout dalam konteks pilot yang mengalami bahawa dalam pesawat terbang. Istilah bailout
80
Zulkarnain Sitompul, “Penjaminan Dana Nasabah Bank: Dari Blanket Guarantee Ke Limited Guarantee (Menyambut Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan)”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23-No.3, Tahun 2004, hal. 8. 81 Investopedia, “Bail Out”, http://www.investopedia.com/terms/b/bailout.asp, diakses tanggal 10 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan dalam pesawat terbang adalah untuk mengeluarkan pilot dari bahaya yang terjadi ketika sedang terbang. 82 Bailout sebagaimana dimaksud di atas, sama halnya dengan suatu keadaan dimana sebuah entitas bisnis misalnya suatu bank yang dalam keadaan bermasalah dan masalah yang dihadapi bank tersebut sudah tidak dapat dilakukan lagi bantuanbantuan melalui fasilitas BI sehingga jalan terakhir yang harus ditempuh oleh BI adalah melakukan bailout terhadap bank tersebut dimaksud untuk mengeluarkan bank dari masalah likuiditas dengan memberikan dana talangan yang tidak memerlukan uang penggantian. 83 Bailout terhadap bank yang dilakukan oleh pemerintah masih kontroversial karena suatu kebangkrutan adalah fenomena yang notabene disebabkan oleh kegagalan bisnis akibat tidak terpenuhi keinginan konsumen dalam mekanisme pasar, karenanya bail out adalah suatu campur tangan pemerintah ke dalam mekanisme pasar yang melampaui keinginan konsumen di pasar. Bailout dari pihak pemerintah untuk sebuah entitas sektor usaha biasanya dilakukan ketika entitas sektor usaha tersebut dipertimbangkan sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak (too big to fail) dijustifikasi oleh argumen bahwa kegagalan pada beberapa 82
Ilmuterbang.com, “Bailout”, http://www.ilmuterbang.com/artikel-mainmenu-29/teoripenerbangan-mainmenu-68/41-pengetahuan-umum-penerbangan/535-bail-out, diakses tanggal 8 Juni 2011. Bail Out dalam konteks pesawat terbang diperlukan untuk mengeluarkan pilot dari cookpit pesawat ketika pesawat tersebut mengalami: kerusakan, hampir tertembak musuh, sudah ditembah musuh, pesawat dalam keadaan tidak baik, pesawat akan jatuh atau dengan ungkapan lain pesawat yang sedang dikendalikan pilot tersebut sudah dalam keadaan bahaya dan tidak dapat dikendalikan lagi dengan sempurna sehingga pilt tersebut harus melakukan bail out artinya keluar dari cookpit pesawat dengan menggunakan kursi lontar (ejection seat). 83 Investopedia, “Bailout”, http://www.investopedia.com/terms/b/bailout.asp, diakses tanggal 10 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
perusahaan akan menimbulkan sistemik (merembes) terhadap perekonomian negara oleh sebab itu harus dihindari dan diselesaikan melalui pemberian dana dalam bentuk kredit jangka pendek. 84 Sebagaimana diketahui bahwa bailout sebenarnya merupakan suatu istilah ekonomi dan keuangan yang khusus digunakan untuk menjelaskan situasi dimana sebuah entitas yang bangkrut atau hampir bangkrut, seperti perusahaan atau sebuah bank diberikan suatu injeksi dana segar yang likuid, dalam rangka untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. 85 Seringkali bailout dilakukan oleh pihak pemerintah atau konsorsium beberapa investor yang akan memintaperan kendali pada entitas tersebut sebagai timbal balik untuk dana yang disuntikkan. 86 Dasar hukum penanganan bank melalui proses bailout oleh BI didasarkan kepada UU No.23 Tahun 1999 tentang BI junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 1999 tentang BI junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang BI Menjadi Undang-Undang, dan Perppu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) melalui keputusan KSSK yang 84
Bambang Soesatyo., Loc. cit. Bambang Soesatyo., Op. cit., hal. 106. 86 Alfred dan Douglas, Teori Ekonomi (Permintaan dan Pengendalian), Edisi Kesatu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1979), hal. 30. Analisis pemerintah untuk melakukan bailout terhadap suatu bank karena munculnya potensi risiko sistemik yang dapat menghantam sektor perbankan. Salah satu pendekatan teori yang menarik untuk mengkaji bailout adalah dari perspektif teori ekonomi politik, khususnya dengan memakai pisau analisis teori pilihan publik (public choice). Teori ini memberikan pandangan bahwa semua kebijakan ekonomi yang diambil adalah hasil dari pertarungan kepentingan politik. Teori ini mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik, baik yang berada dalam partai politik, kelompok kepentingan, maupun birokrasi, dan sebagainya. Seperti diketahui, talangan (bailout) yang dilakukan pemerintah selalu bertujuan untuk menyelamatkan perekonomian melalui intervensi ke pasar. 85
Universitas Sumatera Utara
diselenggarakan untuk mendapatkan penjelasan, saran dan pendapat dari beberapa pejabat Departemen Keuangan, BI, LPS, dan Ketua UKP3R. Konteks dari teori bailout adalah karena suatu bank tersebut akan berdampak sistemik terhadap sistim keuangan lainnya. Oleh sebab itu, bailout diartikan ke dalam suatu keadaan yang berdampak sistemuk. 87 UU No.6 Tahun 2009 menegaskan mengenai berdampak sistemik yakni terdapat pada Pasal 11 ayat (4). Selengkapnya dalam ayat (4) ditegaskan: ”Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah”. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (4) UU No.6 Tahun 2009 tersebut, dari kalimat, ”.....memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah”, ketentuan inilah yang mendasari dilakukannya bailout dengan tidak adanya kemungkinan konsekuensi penggantian terhadap uang yang disalurkan dari BI kepada bank yang mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik tersebut, sehingga bailout dillakukan pemerintah kepada Bank Century karena mengalami kesulitan keuangan berdampak sistemik yang terlihat dari CAR-nya. Bank yang berdampak sistemik menurut Pasal 11 ayat (4) tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasannya mengenai kriteria sistemik tersebut. Hal ini dimaksudkan adalah untuk menghindari potensi menimbulkan moral hazard yakni adanya pihak yang memanfaatkan celah hukum dan keadaan demi keuntungan 87
Alfred dan Douglas, Op. cit., hal. 30-31.
Universitas Sumatera Utara
pribadi dan pihak lain merupakan perilaku yang sering di dunia bisnis apabila kriteria sistemik tersebut dijelaskan sejelas secara detail. Jika semua bank mengetahui tentang kriteria berdampak sistemik, dikhawatirkan bank-bank itu akan dengan sengaja mengkondisikan diri masuk ke kriteria “berdampak sistemik” agar bisa minta bantuan pemerintah. Dalam melakukan penilaian dampak sistemik, BI melakukan penilaian dari aspek sistim, aspek keuangan, pasar keuangan, sistim pembayaran dan sektor riil. BI juga melakukan penilaian dari aspek psikologi pasar misalnya berdampak pada psikologis negatif bagi pasar keuangan yang berujung pada penarikan besar-besaran dana nasabah di bank-bank lain sehingga mengakibatkan krisis perbankan dan merambah pada krisis keuangan dan sektor lainnya. Karakteristik kejadian, kondisi sistem keuangan, sektor riil, peran bank dalam perekonomian, dan sistim pembayaran menjadi faktor-faktor pengukuran berdampak sistemik yang harus dipertimbangkan oleh BI dalam melakukan bailout. 88 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa bailout dilakukan karena bank tersebut akan berdampak sistemik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (4) UU No.6 Tahun 2009 sedangkan FPJP merupakan fasilitas pendaaan yang diberikan oleh BI kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan dan tahapannya masih dikategorikan sebagai bank gagal yang memerlukan pengawasan khusus. Dasar hukum FPJP ini dalam UU No.6 Tahun 2009 terdapat pada Pasal 11 ayat (1), (2), dan
88
M.Yana Aditya, “Agenda yang Tertunda: Bail Out Bank Century”, http://aditartikel.blogspot.com/2009/10/agenda-yang-tertunda-bail-out-bank.html, diakses tanggal 8 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
ayat (3), sedangkan pada ayat (4) dan ayat (5) undang-undang tersebut merupakan dasar hukum dilakukannya bailout dalam bentuk dana talangan. 8. Perbedaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (selanjutnya ditulis BLBI) adalah dana yang disalurkan oleh BI ke bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam operasinya sehari-hari. Kesulitan likuiditas ini bisa terjadi antara lain karena penarikan dana secara tiba-tiba dan besar-besaran oleh nasabah, sementara bank terkait tidak siap melayani peristiwa tersebut. 89 BLBI diberikan kepada bank apabila bank menghadapi kesulitan likuiditas dalam mengalami saldo negatif pada rekening gironya di BI yang semakin meningkat. Diperparah lagi dengan adanya rush nasabah bank yang beramai-ramai menarik dananya dari bank karena ketidapastian kesehatan bank, dan pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap sistim perbankan. BLBI bukan merupakan subsidi kepada bank. 90 BLBI merupakan fasilitas dari BI untuk menjaga kestabilan sistim pembayaran dan sektor perbankan agar jangan terganggu karena ketidak seimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun panjang. Dalam operasinya ada bebagai jenis fasilitas likuiditas bank sentral kepada sektor perbankan dengan persyaratan yang berbeda, sesuai dengan sasaran maupun peruntukannya. Karena jenis failitas yang beragam ini secara umum
89
Chatamarrasjid Ais., Op. cit., hal. 49. Mudrajad Kuncoro., dan Suhardjono., Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: BPFE, 2002), hal. 513. 90
Universitas Sumatera Utara
dapat dikatakan bahwa BLBI adalah fasilitas likuiditas BI yang diperikan kepada bank-bank diluar kredit likuiditas Bank Indonesia atau KLBI. 91 Istilah BLBI mulai dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 yaitu dalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani oleh BI dengan IMF. Dalam salah satu butir kesepakatan tersebut antara lain menyatakan mengenai pentingnya penyediaan bantuan likuiditas (liquidity support) dari BI dalam rangka membantu kesulitan likuiditas perbankan. Menurut Verry Iskandar, bantuan likuditas pada hakikatnya merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh setiap bank sentral di hampir banyak negara di dunia karena terkait dengan konsekuensi peranan BI sebagai lender of the last resort. 92 Secara yuridis formal dalam UU No.23/1999 maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya, tidak ditemukan redaksi “bantuan likuiditas”. Istilah tersebut diterjemahkan dari istilah yang dipergunakan IMF yaitu Bank Indonesia Liquidity Assistance. Walaupun secara formal tidak ditemukan landasan hukumnya, tetapi karena telah ada semacam konsensus atau kesepakatan antara pemerintah RI dengan IMF, maka istilah itulah yang digunakan. Terminologi BLBI pada awalnya banyak ditemukan kerancuan pengertian, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda. Tetapi karena BI dan pemerintah sudah sepakat secara terus-menerus menggunakan istilah tersebut, maka akhirnya 91
J. Soedradjad Djiwandono, “Permasalahan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia”, http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/ekonomi/Eko11.htm, diakses tanggal 28 Februari 2011. 92 Verry Iskandar., Peranan Bank Indonesia Sebagai Lender of the Last Resort Dalam Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2002), hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
secara bertahap istilah itu dapat diterima oleh masyarakat perbankan. Pada kalangan masyarakat umum, ada kalanya masih terdapat kesalahpahaman mengenai pengertian BLBI karena masyarakat memahami pengertian BLBI identik dengan pengertian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). 93 Pandangan tersebut jelas tidak benar. Dalam arti yang luas, BLBI adalah terminologi yang digunakan untuk mengelompokkan seluruh bantuan likuiditas kepada bank di luar KLBI. 94 Menurut Chatamarrasjid Ais, terdapat berbagai jenis fasilitas likuiditas, dalam arti luas, BLBI diartikan sebagai semua fasilitas BI yang disalurkan atau diberikan kepada bank-bank di luar KLBI. 95 Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh BI termuat dalam Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dikemukakan bahwa BLBI diberikan dalam berbagai bentuk, yaitu saldo debet, fasilitas diskonto (fasdis I), fasilitas diskonto I repo, fasilitas diskonto II, Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK), fasilitas dana talangan untuk pembayaran kewajiban luar negeri bank dalam rangka pembiayaan dagang da tunggakan antara bank, fasilitas dana talangan rupiah untuk bank-bank yang dilikuidasi, dan fasilitas saldo debet. 96 93
A. Tony Prasetiantono., Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Suatu Pelajaran Yang Sangat Mahal Bagi Otoritas Moneter dan Perbankan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hal. 12. 94 Ridwan Khairandy., “Penyelesaian Utang Bantuan Likuiditas Likuiditas Bank Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23, No.3, Tahun 2004, hal. 70. 95 Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: BPFE, 2002), hal. 516. 96 Organisasi.Org Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia, ”Definisi/Pengertian Kebijakan Moneter Dan Kebijakan Fiskal, Instrumen Serta Penjelasannya”, http://organisasi.org/definisi-pengertian-kebijakan-moneter-dan-kebijakan-fiskal-instrumen-sertapenjelasannya, diakses tanggal 28 Februari 2011. Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga BI pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke BI. Untuk membuat jumlah uang
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar, fasilitas likuiditas BI kepada perbankan dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) macam yaitu: 97 1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistim pembayaran nasional terhadap gangguan dari timbulnya kesenjangan (mismacht) antara penerimaan dan penarikan dana perbankan. Fasilitas ini dapat terjadi dari fasilitas diskonto I (fasdis I) yang berjangka pendek dan fasdis II yang berjangka panjang; 2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sesuai dengan program moneter, yakni dalam bentuk pembelian BI atas Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) atau surat utang dari bank-bank; 3. Fasilitas dalam rangka penyehatan perbankan dalam bentuk Kredit Likuiditas Darurat (KLD) dan Kredit Sub Ordinasi (SOL); 4. Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistim perbankan dan pembayaran guna menanggulangi dampak penarikan dana pada bank secara besar-besaran, dimana BI berfungsi sebagai Lender of the Last Resort. Fasilitas ini berupa pemberian izin penarikan dana giro cadangan wajib atau Giro Wajib Minimun (GWM), saldo negatif, atau saldo debet BI; dan 5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat kepada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kembali dana nasabah yang izin usaha bank dicabut atau bank dalam likuidasi untuk melaksanakan sistim penjaminan menyeluruh dan pembayaran kewajiban luar negeri bank nasional. Pemberian BLBI kepada bank-bank diawali dengan persetujuan saldo debet pada rekening bank di Bank Indonesia. Hal ini terjadi karena saldo yang sedikit jumlahnya tidak mampu menampung penarikan dana nasabah yang sangat besar. Rekening bank di BI pada dasarnya hanya menampung cadangan wajib yang dikenakan kepada bank sebesar 5% dari dana masyarakat yang dihimpun oleh bank. Pada umumnya bank menyediakan pula suatu margin tertentu (1-2%) untuk menampung penarikan nasabahnya, agar ketentuan cadangan wajib tidak dilanggar. Namun demikian, rush, penarikan dana berupa tunai (bank notes) dan trensfer melalui bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang. 97 Chatamarrasjid Ais., Op. cit., hal. 51-52.
Universitas Sumatera Utara
kliring oleh nasabah kepada bank lain, mengakibatkan saldo rekening menjadi di bawah ketentuan cadangan wajib, bahkan banyak bank
mengalami saldo debet
(negatif atau overdraft). 98 Dalam ketentuan kliring, bank yang saldonya tidak mencukupi diberi kesempatan untuk melunasinya sampai sebelum kliring berikutnya, dan apabila tetap tidak mampu menutup kekurangannya, dapat dikenakan penghentian sementara (skorsing) dari keikutsertaannya dalam kliring berikutnya dan transaksi yang terjadi, dibatalkan. 99 Hal ini mensyaratkan bank untuk mengatasi kewajiban masing-masing tanpa bantuan BI. Dalam melakukan skorsing, BI tidak mutlak harus melakukannya. Sepanjang terdapat alasan yang kuat untuk tidak melakukannya misalnya dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran dan kestabilan sistem perbankan. Pembatalan transaksi yang sudah terjadi dan skorsing dikenakan terhadap bank apabila dalam jumlah banyak atau bank yang mempunyai banyak jaringan kantor cabang, atau nasabah yang banyak, dengan transkasi antar bank yang besar maka akibatnya adalah ketidakstabilan sistim perbankan yang kemudian dapat mengganggu kestabilan ekonomi. 100 Ketentuan ini diperkuat melalui Keputusan Rapat Direksi BI tanggal 15 Agustus 1997, yang menjadi dasar bagi BI untuk memberikan fasilitas saldo giro negatif kepada bank-bank guna mengatasi kesulitan likuiditas yang disebabkan oleh
98
Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indoensia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 96. 99 Mudrajad Kuncoro, dan Suhardjono., Op. cit., hal. 513. 100 Kusumaningtuti SS., Op. cit., hal. 98-99.
Universitas Sumatera Utara
penarikan dana pihak ketiga dalam jumlah yang sangat besar. Kemudian jajaran direksi BI pada waktu itu juga mengirim kepada mantan Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana BI untuk mengatasi masalah saldo debet dengan menggantikannya dengan SBPUK. Usulan itu disetujui Soeharto melalui Surat Menteri Sekretaris Negara Berkualifikasi (rahasia dan sangat rahasia) Nomor R183/M/Sesneg/12/1997 tanggal 27 Desember 1997. 101 Perbedaan mendasar FPJP dengan BLBI dapat dilihat sebagaimana dalam tabel berikut ini: 102 PERBEDAAN Pengertian
Dasar Hukum
Filosofi
BLBI Fasilitas pendanaan BI yang digunakan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dalam jumlah besar untuk menghindari efek negatif pada sistem perbankan karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pasal 29 angka 1, Pasal 32 angka 3 UU No.13 Tahun 1968. Pasal 37 angka 2 huruf b UU No.7 Tahun 1992, Pasal 11 angka 1 UU No.23 Tahun 1999. 1. Dalam keadaan darurat sistemik, BLBI diharapkan dapat melindungi kepentingan nasabah penyimpan dana agar tidak menarik dananya.
FPJP Fasilitas Pendanaan dari BI yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek.
Pasal 11 UU No.6 Tahun 2009 tentang Perubanahan Kedua UU BI.
1. Mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank. 2. Menutup saldo giro negatif yang dialami
101
Kompas., “Kasus BLBI Sampai Kapan Akan Berakhir?”, Rabu, Tanggal 13 Februari 2008. Surat ini memuat persetujuan Soeharto atas usulan BI untuk mengkonfersi saldo giro negatif bankbank yang berkemungkinan diharapkan sehat dengan SBPUK. Hal ini perlu dilakukan agar bank-bank pada waktu itu tidak dilikuidasi. 102 Nia Avenasari, Op. cit., hal. 147-151.
Universitas Sumatera Utara
2. Menjaga kepercayaan masyarakat karena bank sebagai lembaga kepercayaan, mengurangi efek domino yang dihadapi bank. 3. Mendorong terjaganya efisiensi dan kompetisi pemberian jasa perbankan pada perekonomian.
Bentuk Akta
Syarat Utama
Akta Pengakuan Hutang dan Akta Akta Perjanjian Kredit FPJP Pengakuan Hutang dengan Jaminan Bank yang kalah kliring kemudian 1. Mengalami kesulitan tidak dapat memenuhi rekening pendanaan jangka pendek giro di BI dan bersaldo yang menyebabkan bank debet/negatif, telah masuk sebagai tidak memenuhi kewajiban bank penerima BLBI yaitu dengan GWM Rupiah. tidak dikenakan sanksi skors 2. Memiliki rasio kewajiban kliring dan tetap beroperasi dan penyediaan modal minimum mengikuti kliring seperti biasa. positif. 3. Memiliki agunan yang berkualitas tinggi dan sesuai persyaratan yang ditetapkan BI dan Perpu No.2 Tahun 2008 yaitu SBI, SUN, SBSN dan Obligasi Korporasi.
Nilai Maksimum
BLBI diberikan selama bank mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas.
Bunga
Dikenakan suku bunga pinalti diatas suku bunga pasar (dari 150% - 500% dari Jakarta Inter Bank Offered Rate-JIBOR). Dijadwalkan selama 4 tahun
Jangka Waktu
bank akibat ketidakmampuan bank dalam penyelesaian kewajiban karena sistim kliring dan atau untuk menutup penggunaan FLI yang tidak dapat dilunasi bank sampai dengan waktu pre-cut off time sistim BI-RTGS
FPJP diberikan paling banyak sebesar plafon FPJP yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah likuiditas bank sampai dengan bank memenuhi GWM. Dikenakan biaya bunga oleh BI yaitu sebesar BI-Rate 100 basis poin. FPJP diberikan dengan jangka
Universitas Sumatera Utara
Tujuan
Jenis
Pelunasan
dengan perincian 27% (dari pokok waktu paling lama 14 hari dan bunga) dibayarkan dalam tahun dapat diperpanjang secara pertama dan sisanya dibagi rata berturut-turut dengan jangka selama 3 tahun berikutnya dengan waktu FPJP keseluruhan bunga 30% per tahun. paling lama 90 hari kalender Mengatasi kesulitan likuiditas Mengatasi kesulitan likuiditas (jangka pendek) dan kesulitan jangka pendek. solvabilitas (jangka menengah dan jangka panjang)-struktural. Fasilitas Diskonto, Fasilitas Tidak ada Diskonto II, Fasdis I Repo, Fasilitas Diskonto, SBPU Lelang, SBPU Bilateral, Saldo Giro Negatif/Debet, SBPU Khusus, Kredit Likuiditas Darurat, Kredit Subordinasi, Fasilitas Pemberian Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum, Fasilitas Pemberian Jaminan terhadap Kewajiban BPR, Fasilitas Dana Talangan Pembayaran Kewajiban LN dlm rangka Trade Finance dan Inter Bank Debt Arreas, Fasilitas Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional, Fasilitas Dana Talangan BDL dan BBO/BBKU. 1. Mendebet rekening giro bank di 1. Selama jangka waktu BI pada saat jatuh tempo. pemberian FPJP saldo Pendebetan dapat dilakukan rekening giro rupiah bank di BI melebihi kewajiban meskipun bersaldo debet (negatif/overdraft) hanya GWM, BI akan mendebet akibatnya saldo debet menjadi rekening giro rupiah bank semakin besar. sebesar kelebihan tersebut. 2. Penjualan aset bank dan aset 2. Pada saat jatuh tempo BI pemilik bank BBO dan BTO mendebet rekening giro rupiah bank di BI dengan mendahulukan pembayaran bunga FPJP kemudian pelunasan nominal FPJP.
Universitas Sumatera Utara
C. Jaminan Dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bank yang dapat mengajukan permohonan atau perpanjangan FPJP adalah bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek dan yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang memadai, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 PBI No.10/26/2008 tentang FPJP, ”FPJP wajib dijamin oleh bank dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini”. Ditegaskan dalam bab IV SE BI No.10/39/2008 tentang FPJP bagi Bank Umum, BI dapat meminta bank untuk menyampaikan dokumen pendukung antara lain fotokopi perjanjian kredit, fotokopi bukti pengikatan agunan aset kredit dan/atau fotokopi bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit bank. Bank harus memiliki penjaminan untuk keperluan pengikatan agunan FPJP kepada BI dalam bentuk dokumen-dokumen yaitu: 1. Dokumen asli perjanjian kredit antara bank dan debitur; 2. Dokumen asli pengikatan agunan atas perjanjian kredit antara bank dan debitur; 3. Bukti kepemilikan agunan yang menjadi jaminan kredit bank; 4. Dokumen asli hasil penilaian terakhir agunan; dan 5. Dokumen asli polis asuransi agunan. Bank harus menjaminkan dokumen-dokumen yang merupakan aset bank jika menurut BI kredit yang tercantum dalam daftar aset kredit yang diajukan oleh bank sebelumnya tidak mencukupi dan/atau tidak memenuhi kriteria agunan FPJP, bank
Universitas Sumatera Utara
harus mengajukan daftar aset kredit baru. Objek jaminan fidusia juga bisa dijaminkan bank kepada BI yang mencakup: 1. Hak tagih bank yang timbul dari perjanjian kredit antara bank dengan debitur; 2. Segala pendapatan yang diperoleh dari hak tagih bank antara lain namun tidak terbatas pada pendapatan bunga dan klaim asuransi kredit; dan 3. Rekening penampungan (escrow account), jika pendapatan bank tersebut dimasukkan dalam 1 (satu) rekening penampungan (escrow account). Pengikatan agunan dalam bentuk fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan bank pemberi fidusia dengan Akta Jaminan Fidusia yang telah diisi oleh bank dan dibubuhi materai cukup yang akan ditandatangani oleh Direksi bank yang berwenang sesuai dengan Anggaran Dasar bank bersangkutan bersama pejabat BI di hadapan Notaris yang diberikan berupa aset kredit.
D. Hubungan Fasilitas Pendanaan Penjaminan Simpanan
Jangka
Pendek
dengan
Lembaga
Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) ditentukan bahwa salah satu tugas LPS adalah ”Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik. Kemudian dalam huruf c dinyatakan tugas LPS yakni: ”Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik”. LPS adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU LPS sebagaimana telah diubah dengan UU No.7 Tahun 2009. Organ LPS terdiri
Universitas Sumatera Utara
dari Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner merupakan pimpinan LPS, yang dipimpin oleh seorang Ketua Dewan Komisioner. Kepala Eksekutif adalah salah satu Anggota Dewan Komisioner yang bertugas melaksanakan kegiatan operasional LPS. Sumber pendanaan LPS berasal dari: 103 a. Modal awal yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebesar Rp.4 triliun; b. Kontribusi kepesertaan yang dibayarkan pada saat bank pertama kali menjadi peserta; c. Premi penjaminan yang dibayarkan bank setiap semester; dan d. Hasil investasi cadangan penjaminan. Pasal 4 UU LPS, disebutkan LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. UU LPS diundangkan tanggal 22 September 2004 dan mulai berlaku efektif 12 bulan setelah diundangkan yaitu tanggal 22 September 2005. Dengan berlaku efektifnya UU LPS, maka LPS mulai beroperasi secara penuh sejak tanggal 22 September 2005. LPS merupakan penyempurnaan dari program penjaminan pemerintah terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) yang berlaku di masa lalu (tahun 1998 s/d 2005). 104
103
Dewan Komisioner LPS diangkat oleh Presiden, dengan susunan sebagai berikut: 1. Rudjito (Ketua), 2.Firdaus Djaelani (Kepala Eksekutif), 3. Heru Budiargo (Anggota), 4. Siswanto (Anggota), 5. Muliaman D Hadad (Anggota) dan 6. Darmin Nasution (Anggota). 104 Kebijakan blanket guarantee di satu sisi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, namun di sisi lain kebijakan tersebut telah membebani keuangan negara dan dapat menimbulkan moral hazard bagi pelaku perbankan dan nasabah. Dengan mempertimbangkan dampak negatif tersebut serta memperhatikan membaiknya kondisi perbankan, kebijakan blanket guarantee telah diputuskan untuk diakhiri (pada tahun 2005). Namun pemerintah menilai bahwa suatu bentuk penjaminan simpanan masih tetap diperlukan untuk memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard. Berdasarkan UU LPS, penjaminan simpanan nasabah tersebut dilaksanakan oleh LPS.
Universitas Sumatera Utara
LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. LPS juga menjamin simpanan nasabah bank syariah yang berbentuk giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah. Dalam penjaminan LPS, simpanan milik pihak terkait dengan bank termasuk dalam lingkup yang dijamin. Transfer masuk dan transfer keluar serta inkaso tidak termasuk dalam bentuk simpanan sehingga tidak termasuk lingkup yang dijamin. Namun demikian, transfer keluar yang berasal dari simpanan nasabah dan belum keluar dari bank masih diperlakukan sebagai simpanan. Demikian pula dengan transfer masuk yang telah diterima bank untuk kepentingan seorang nasabah diperlakukan sebagai simpanan nasabah dimaksud walaupun bank belum membukukan ke dalam rekening yang bersangkutan. 105 Nilai simpanan yang dijamin oleh LPS paling tinggi sebesar Rp. 2 milyar per nasabah per bank sejak tanggal 13 Oktober 2008. Apabila seorang nasabah mempunyai beberapa rekening simpanan pada satu bank, maka untuk menghitung simpanan yang dijamin, saldo seluruh rekening tersebut dijumlahkan. Nilai simpanan yang dijamin tersebut meliputi pokok ditambah bunga untuk bank konvensional, atau pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah untuk bank syariah. 106 Sesuai Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang 105
Lembaga Penjamin Simpanan, “Fungsi LPS dan Penjaminan Nasabah Bank”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=faq, diakses tanggal 11 Mei 2011. 106 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank tersebut dibentuk LPS. Dalam Pasal 12 UU LPS ketentuan tersebut dipertegas dengan menyebutkan bahwa setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS. Jenis bank tersebut meliputi bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran, dan bank asing, serta bank konvensional dan bank syariah. Sebagai peserta penjaminan, setiap bank wajib: 107 1. Menyerahkan dokumen sebagai berikut: a. Salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank; b. Salinan dokumen perizinan bank; c. Surat keterangan dari lpp mengenai tingkat kesehatan bank; d. Surat pernyataan dari pemegang saham, pengendali bagi yang berbadan hukum koperasi, kantor pusat dari cabang bank asing, direksi dan komisaris. 2. Membayar kontribusi kepesertaan; 3. Membayar premi penjaminan; 4. Menyampaikan laporan secara berkala. 5. Memberikan data, informasi dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan penjaminan; 6. Menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat; 7. Menempatkan pengumuman pada seluruh kantor bank yang dapat diketahui dengan mudah oleh nasabah mengenai maksimum tingkat bunga penjaminan yang berlaku yang ditetapkan LPS. Pemerintah
mempunyai
komitmen
yang
tinggi
untuk
menjaga
keberlangsungan LPS termasuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap LPS. UU LPS mengatur bahwa dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR akan menutup kekurangan tersebut. Sedangkan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas dalam pembayaran klaim penjaminan, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. 107
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 5 UU LPS ditentukan tugas-tugas Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut: 1. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, LPS mempunyai tugas: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan b. Melaksanakan penjaminan simpanan. 2. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; b. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU LPS di atas, tugas LPS adalah termasuk merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b ini mendasarkan pada penanganan bank yang belum berdampak sistemik sehingga diberikan FPJP. Kemudian dalam huruf c dinyatakan tugas LPS yakni: ”Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik”. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c inilah yang mendasarkan LPS untuk menangani bank-bank yang gagal dan berdampak sistemik artinya harus dilakukan bailout. Tahapan ini dilakukan oleh BI apabila FPJP tidak berhasil.
Universitas Sumatera Utara