BAB II PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSITUSI REPUBLIK INDONESIA.
A. Sejarah Kehidupan Beragama Pada Masa Beberapa Kerajaan di Nusantara Pra Kemerdekaan RI. Sejarah mencatat bahwasanya kehidupan antar umat beragama prakteknya berjalan pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara ini. Sebelum merdeka, agama-agama yang ada pada saat ini khususnya agama-agama yang berasal dari luar Indonesia juga keberadaannya mengalami banyak kemajuan karena raja-raja pada masa sebelum kemerdekaan juga banyak menganut agama dan ajaran tersebut. Didalam berhubungan dengan kerajaan lain juga, sering terlihat bagaimana masalah agama tidak menjadi penghalang untuk mengadakan hubungan satu sama lain. Tidak heran menemukan bahwa raja menikahi putri dari kerajaan yang berbeda dengan perbedaan agama pula. Bahkan melalui perkawainan campuran tersebutlah terjadi harmoni kehidupan beragama didalam kerajaannya. Belum lagi adanya kebebasan bagi warga di kerajaannya untuk memeluk agama sesuai dengan pilihannya sendiri. Kerajaan yang akan disinggung mengenai pelaksanaan kehidupan beragama, yakni: Kerjaan Mataram Kuno, Kerjaan Majapahit, Kerjaan Demak,
dan Kerajaan
Sriwijaya. Kerajaan Mataram kuno di perkirakan berdiri pada abad ke-8 dan berpusat di Jawa tengah. Pada awal mula berdirinya, Mataram kuno adalah sebuah kerajaan
Universitas Sumatera Utara
hindu. Agama Hindu merupakan agama yang pertama kali tersebar di pulau Jawa. Agama ini di bawa oleh para pedangang dan petualang-petualang dari India yang melalang buana hingga terdampar di Pulau Jawa. Sebelum menganut agama Hindu, nenek moyang yang di tinggal di pulau jawa adalah penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Tidak berapa lama berselang, tersebar pula agama Budha yang di bawa oleh para pedangang dari Cina. Maka secara garis besar ada dua agama utama yang berkembang di tanah Jawa saat itu. Agama Hindu dan Budha. 60 Kebebasan memeluk agama sudah ada sejak zaman dahulu kala. Hal ini terbukti dari betapa taatnya sang Raja Sanjaya pada agama yang di anutnya, beliau tetap memberikan kebebasan kepada sanak keluarga dan rakyatnya untuk memeluk agama Budha. Hal inilah yang menyebakan kerajaan Mataram kuno terpecah menjadi dua keluarga atau yang di sebut dengan wangsa. Yaitu wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu dan wangsa Sailendra yang menganut agama Budha. 61 Hubungan antarumat dan kebebasan beragama di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan dapat ditelusuri sejak zaman purbakala atau sejak zaman kerajaan Hindu- Budha di Jawa Tengah. Seiring dengan perjalanan sejarah, suksesi para rajaraja, pergeseran pusat kekuasaan, perubahan politik serta gelombang kedatangan agama dan berbagai aliran/faham keagamaan baru. Hubungan antarumat beragama mengalami pasang surut dari hubungan yang harmoni, sinkritis, hingga disharmoni dan konflik. Peninggalan purbakala kompleks candi Plaosan yang terletak di sebelah 60
Babad Tanah Leluhur, http://diajengsurendeng.blogspot.com/2011, diakses tanggal 30 Juni
61
Ibid.
2012
Universitas Sumatera Utara
timur candi Prambanan menunjukkan adanya bukti-bukti hubungan antarumat yang menarik untuk diungkap kembali. Komplek candi yang dibangun pada abad X zaman kerajaan Mataram kuno itu, selain sebagai tempat pemujaan juga merupakan kompleks vihara dan boarding school. Kiranya tidak berlebihan jika candi Plaosan dijadikan sebagai lambing “cinta-kasih” karena Rakai Pikatan membangun candi tersebut sebagai hadiah untuk isterinya, Sri Pramoda Wardhani. 62 Lebih dari itu, dibalik perkawinan Rakai Pikatan dengan Sri Pramoda Wardhani, sebenarnya telah terjadi perkawinan yang lebih besar, yaitu perkawinan antara dua dinasti penguasa wilayah Jawa Tengah, dinasti Sanjaya dan Syailendra. Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, sedangkan Pramoda Wardhani berasal dari dinasti Syailendra. Kedua dinasti ini menganut agama yang berbeda. Dinasti Sanjaya menganut agama Hindu, sedangkan dinasti Syailendra menganut agama Buddha. Perkawinan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang harmoni antara dua dinasti yang menganut agama yang berbeda. Keharmonisan hubungan antarumat terabadikan dalam candi induk, dua panel relief menggambarkan kedatangan tamu kerajaan yang mengenakan kufiyah (penutup kepala khas Persia). Hal ini menunjukkan bahwa, kerajaan Mataram Kuno (Hindu-Buddha) meski berada di pedalaman merupakan kerajaan yang terbuka. Pada masa kekuasaan Rakai Pikatan telah terjalin hubungan dengan dunia Islam dari Timur Tengah. 63 62
Haidlor Ali Ahmad, Hubungan Antarumat dan Kebebasan BeragamaJurnal Multikultural & Multireligius Harmoni: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RIVolume IX, Nomor 36, Oktober - Desember 2010, hal. 5 63 Ibid. hal. 7
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dalam kerajaan Mataram kuno juga ditemukan suatu pura dengan nama Pura Lingsar yang merupakan pura terbesar dan tertua yang dibangun sekitar tahun 1714 M pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem oleh Raja Anak Agung Ngurah. Pura ini terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sekitar 15km dari ibukota Mataram. 64 Pura ini merupakan simbol kerukunan antar umat beragama. Hal ini dikarenakan selain menjadi tempat ibadah umat Hindu, pura ini juga digunakan oleh umat Islam suku Sasak yang beraliran Wetu Telu (Waktu Tiga), mereka hidup berdampingan dan mengelola pura bersama-sama. Untuk menjaga kedamaian, di larang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh masing-masing agama di dalam dan di daerah sekitar pura. Bahkan sapi yang dianggap suci oleh umat Hindu dilarang berkeliaran sampai dengan radius 2 kilometer dari Pura Lingsar. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura ini, pengunjung disarankan untuk menggunakan selendang yang diikatkan ke pinggang. pemakaian selendang ini untuk menghormati Pura ini yang dianggap suci oleh umat Hindu dan Islam. 65 Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit 64
Wenny Cristina, Melihat Kerukunan Antar Umat Beragama di Pura Lingsar Lombok. http://wesajelajahindonesia.blogspot.com, diakses tanggal 30 Juni 2012. 65 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha. 66 Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut: 67 Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”. Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “negara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah nusantara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan iman yang berbeda-beda. 68
66
Sena Adiningrat,http://www.anbti.org/content/eksistensi-%E2%80%9Cagama-asli indonesia%E2%80%9D-dan-perkembangannya-dari-masa-ke-masa, diakses tanggal 29 Juni 2012. 67 Ibid. 68 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kaitannya dengan paham kebangsaan, Presiden Soekarno, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama Ageming Aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan sejak Demak nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan nusantara, sesama Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak. 69 Meninjau sejenak Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Ada pihak yang mempersoalkannya dengan dalih pengekangan kebebasan beragama, ternyata pada zaman Majapahit, Prabu Rajasanagara telah membuat rambu-rambu yang mengatur lalulintas penyiaran agama. Prof. Dr. Slamet Mulyono (1965) dalam bukunya Menuju Puncak Kejayaan mengupas kitab Negara Kertagama peninggalan Mpu Prapanca, antara lain mengatakan bahwa pada zaman pemerintahan Rajasanagara di Majapahit
69
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
terdapat tiga macam aliran/agama, Siwa, Brahma dan Buddha (yang disebut tripaksa). Rajasanagara mempunyai niat besar bagi tegaknya tripaksa, agar ketigatiganya hidup rukun (pupuh 81:1). Untuk menghindari persengketaan, Rajasanagara mengadakan pembagian daerah (pupuh 16: 1-3). Aliran Siwa dianjurkan di manamana, sementara agama Buddha hanya boleh disiarkan di kerajaan bagian timur. 70 Prapanca menyatakan bahwa gerak para pendeta Buddha agak dikekang oleh undang-undang (pupuh 16: 2). Menyiarkan agama Buddha secara leluasa tidak diizinkan. Jawa sebelah barat adalah daerah larangan, dengan alasan di daerah tersebut tidak ada penganut agama Buddha. Peraturan yang dibuat Rajasanagara ini memberikan kesan agar tidak terjadi Buddhanisasi di wilayah yang penduduknya sudah menganut agama Siwa. Pada era orde baru peraturan perundang-undangan serupa sering dinyatakan dalam bentuk adagium “jangan menanam sayur di kebun orang!”. 71 Setelah agama Islam datang, bentuk-bentuk sinkritisme baru pun muncul. Pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia tidak menekankan masalah teologi maupun syariah (fiqh). Agama Islam disebarkan melalui penetrasi kebudayaan, ditengarai antara lain dengan munculnya masjid-masjid yang menggunakan arsitektur rumah adat setempat atau pengaruh arsitektur pra-Islam. Dalam konteks ini Dr. G. F. Pijper mengatakan, menara masjid Kudus lebih menyerupai menara Kulkul di Bali. Selain itu, cerita wayang, perayaan sekaten, selametan, kenduri, dan nyadran yang 70 71
Haidlor Ali Ahmad, Op.cit. hal 8. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sarat dengan unsur-unsur sinkretisme antara Islam dengan Hindu/Buddha serta agama lokal yang sudah ada sebelumnya. 72 Setelah kedatangan bangsa Eropa terutama Portugis yang berhasil menaklukkan Malaka pada tahun 1511, dan Belanda dengan kongsi dagangnya (VOC), agama Kristen mulai dikenalkan kepada bangsa Indonesia. Misi Kristen dipandang berhasil pada abad XIX, sebagaimana dikutip A. Syafi’i Mufid dari Ricklefs (2005: 275), di Jawa Timur muncul komunitas Kristen yang dipimpin oleh Kyai Tunggul Wulung. Di Jawa Tengah agama Kristen, berkembang dengan pesat di bawah pimpinan Sadrach Surapranata (1835-1924), melampaui keberhasilan yang dicapai oleh penginjil Eropa. Apalagi setelah diterapkannya “politik etis”, anak-anak pribumi diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sebagai bagian dari strategi asosiatif, wajah kebudayaan nusantara benar-benar semakin beragam (multicultural). 73 Berkaitan dengan hubungan antar umat agama, menarik untuk dicermati di sini bahwa penyebaran agama Kristen ke wilayah Papua dilakukan oleh para misionaris Kristen. Para misionaris ini menginjakkan kakinya di Pulau Cenderawasih (termasuk ke Manokwari) atas izin Sultan Tidore. Bahkan mereka diantar oleh tentara (punggawa) kesultanan Islam itu. Yang perlu digarisbawahi dari catatan sejarah hubungan antarumat beragama baik yang harmoni maupun disharmoni, semuanya adalah pelajaran yang sangat berharga. Meski kondisi hubungan antarumat beragama 72 73
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang harmoni yang dikehendaki oleh pemerintah dan para tokoh/pemuka agama bukanlah hubungan antarumat beragama yang harmonis dan sinkritis, melainkan hubungan antarumat yang masing-masing umat memiliki kualitas pengetahuan dan pengamalan agama yang baik. Akan tetapi, mereka bisa hidup berdampingan penuh toleran. 74 Uraian tersebut cukup membuktikan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan di nusantara juga mengalami pasang surut didalam pelaksanaan kerukunan atau kebebasan menganut agama. Banyak hal yang membuktikan kerukunan dapat dicapai dengan beberapa aksi nyata, namun ada juga, hal-hal yang terjadi yang juga memasung kebebasan beragama itu sendiri. Hal ini membuktikan, masalah pelaksanaan kebebasan beragama dan muncul keyakinan-keyakinan di kerajaankerajaan nusantara ini suatu hal yang berulang dari masa ke masa. Namun, tetap pemimpin baik Raja maupun Pemerintah dalam konteks sekarang, memegang andil yang besar didalam menjamin pelaksanaannya B. Urgensi Materi HAM dalam Konstitusi Secara teoritis, salah satu syarat bagi suatu negara hukum adalah adanya jaminan
atas hak-hak asasi manusia (HAM).
75
HAM lazimnya diartikan sebagai
hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah
74
Ibid. Negara hukum ialah Negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Secara lengkap unsur-unsur yang harus ada dalam suatu Negara hukum adalah: 1)Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, 2) Pemisahan Kekuasaan, 3) setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan 4) Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri (lihat : Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia ,:Jakarta: (Pusat Studi HTN FH-UI), 1981, hal. 156. 75
Universitas Sumatera Utara
atau karunia dari Allah Yang Maha Kuasa, seperti hak hidup, hak selamat, hak kebebasan dan kesamaan sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun. 76 Dalam perpektif yuridis formal, jaminan atas perlindungan HAM dalam suatu negara hukum harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku di negara itu, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktik hukum dan ketatanegaraan seharihari. 77 Penegasan atas jaminan perlindungan HAM dalam konstitusi, erat kaitannya dengan kedudukan dan fungsi konsititusi itu sendiri, yang dapat dirinci sebagai berikut: 78 1. Konsitusi berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara; 2. Konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran negara baru. Merupakan bukti adanya pengakuan dari masyarakat internasional; 3. Konstitusi berfungsi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Konsitusi mengatur maksud dan tujuan terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya kepastian hukum yang terkandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, kontrol sosial, dan memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antar organ eksekutif, legislatif, dan yudikatif; 4. Konstitusi berfungsi sebagai indentitas nasional dan lambing persatuan. Konsitusi menyatakan persepsi masyarakat dan pemerintah. Sehingga memperlihatkan adanya nilai indentitas kebangsaan, persatuan dan kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan bangsa. Konsitusi dapat memberikan pemenuhan atas harapan sosial, ekonomi, dan kepentingan politik. Konstitusi tidak saja mengatur pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam lembagalembaga politik, akan tetapi juga mengatur tentang penciptaan checks and balances antara aparat pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 76
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. (Surabaya: PT. Bina Ilmu), 1987, hal 39. 77 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung : Mandar Maju), 2001, hal. 83 78 Tim, Naskah Akademik Kajian Komprehensif Tentang Perubahan UUD 1945, (Jakarta : SekJen MPR-RI), 2004 hal 25-28
Universitas Sumatera Utara
5. Konsitusi berfungsi sebagai alat pembatas kekuasaan, mengendalikan perkembagan dan situasi politik yang selalu berubah; dan 6. Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak-hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan-kebebasan warga negara.
Kedudukan dan fungsi konstitusi sebagaimana tersebut diatas, juga dapat merupakan tuntutan bahwa konsitusi harus dapat menjawab persoalan-persoalan pokok dalam sebuah negara, antara lain: 79 1. Konsitusi merupakan hukum dasar suatu negara; 2. Konsitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembagalembaga penting dalam negara; 3. Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya; 4. Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga negara dan pemerintah; 5. Konstitusi harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya; 6. Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa; dan 7. Konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dengan masyarakat. HAM sebagai salah satu materi muatan konsitusi menunjukkan dua makna perlindungan yang dijamin oleh konstitusi itu sendiri, pertama, makna bagi penguasa negara adalah agar dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh adanya hak-hak warga negaranya; kedua, makna bagi warga negara, adalah agar ada jaminan perlindungan yang kuat dalam hukum dasar negara (konstitusi), sehingga warga negara dapat menjadikan konsitusi sebagai instrument untuk mengingatkan penguasa supaya tidak melanggar HAM yang telah tercantum dalam konstitusi dalam 79
Ibid, Hal 33-34
Universitas Sumatera Utara
menjalankan kekuasaannya. 80 Dengan demikian, urgensi pengaturan HAM dalam pasal-pasal konsitusi suatu negara dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan yang sangat kuat, karena perubahan dan/atau penghapusan satu pasal saja dalam konsitusi seperti yang dialami dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, mengalami proses yang sangat berat dan panjang antara lain melalui amandemen yang dilakukan berkali-kali sampai empat kali. 81 Pengaturan HAM didalam UUD 1945 memang membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh penguasa jika dikaitkan dengan konsitusi yang ditinjau dari sosio-legal dan sosio kultural. Sebab, rumusan yang terdapat didalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai residu kekuasaaan negara dan bukan kekuasaaan sebagai residu HAM. Keharusan perumusan HAM yang bukan menjadi
80
Sri Hastuti PS, “Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi di Indonesia” dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 1 No. 1 Januari 2005, (Yogyakarta: Magister Ilmu Hukum FH-UII), 2005, hal 11-12 81 Perubahan pertama, dilakukan melalui sidang MPR pada tanggal 14-21 oktober 1969 terhadap beberapa pasal UUD 1945 sehingga menjadi bentuk Perubahan Pertama UUD 1945, dan ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua UUD 1945 dihasilakan dari Sidang Umum MPR pada tanggal 17-18 Agustus 2000 sehingga menjadi bentuk Perubahan Kedua UUD 1945, dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan ketiga UUD 1945 dihasilkan melalui putusan Rapat Paripurna MPR RI ke-7 (lanjutan 2) tanggal 9 November 2001 sidang tahunan MPR-RI atas amanat Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000 Jo, ketetapan MPR No. XI/MPR/2001 yang mengamanatkan agar pada Sidang Tahunan MPR, Majelis harus menyelesaikan tugasnya untuk membahas dan mensahkan perubahan ketiga UUD 1945 yang rancangan perubahannya telah disiapkam oleh BP-MPR dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu tanggal 9 November 2011. Kemudian pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung mulai tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR berhasil menyelesaikan tugasnya untuk membahas dan mensahkan perubahan keempat UUD 1945. Pada perubahan keeempat ini segala hal yang masih belum terselesaikan melalui perubahan pertama, kedua dan ketiga dituntaskan pada perubahan keempat ini. Dengan demikian, setelah dilakukan empat kali perubahan (amandemen). Lihat selengkapnya dalam, Morissan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, (Jakarta: Ramdina Prakarsa), 2005, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
residu kekuasaan didalam konstitusi itu dapat dilacak dari sejarah HAM dan konstitusi itu sendiri. 82 Formulasi konsitusi yang partikularistik dan secara eksplisit menyerahkan halhal penting dalam bidang HAM (HAW) untuk diatur dengan Undang-Undang dalam kenyataannya telah menimbulkan masalah besar bagi bangsa Indonesia. Melalui system politik yang executive heavy, yang dianut oleh UUD 1945, pemerintah telah melakukan pembatasan secara ketat atas penggunaan HAM di Indonesia dengan atribusi dan delegasi kewenangan yang dimilikinya. Ketika membuat UU untuk merealisasikan pesan-pesan tentang HAM atau HAW itu, ternyata pemerintah telah membuka pintu bagi terjadinya pelanggaran HAM itu sendiri 83. Dengan demikian jika formulasi UUD 1945 tentang HAM dan HAW dikaitkan dengan terjadinya pelanggaran HAM, selain dilakukan dengan terang-terangan secara melanggar hukum, juga dilakukan dengan terang-terangan secara melanggar hukum, juga
82
Penelusuran sosio-legal dan sosio cultural dari sejarah HAM member penegasan bahwa konsitusi bukan merupakan fungsi residual HAM dari kekuasaan Negara dan pemerintah melainkan, sebaliknya merupakan fungsi residual kekuasaan dari kebebasan dan HAM. Artinya, konsitusi itu sebenarnya tidak boleh member pembatasan atas HAM atau menjadikannya sebagai sisa dari kekuasaan pemerintah semata. Sebaliknya kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi agar HAM warganya tidak dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sesame warganya. Selengkapnya lihat,Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, (Jakarta: Rajawali Pers), 2011, Hal 150-153. 83 Hal itu tampak misalnya,dari UU tentang Pokok-Pokok Pers yang membelenggu kebebasan pers melalui ancaman pemberagusan; UU Kepartian (parpol dan Golkar) yang hanya membatasi orsospol tertentu yang bisa mengikuti kontestasi politik serta tidak membuka pintu bagi gumpalan aspirasi baru; UU tentang pemilu yang sangat konservatif dan membuka peluang terjadinya kecurangan oleh pemerintah dalam rantai-rantai proses pelaksanaannya. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3S), 1998, hal 177
Universitas Sumatera Utara
dilakukan melalui prosesdur secara “formalitas” benar karena untuk berbagai pelanggaran HAM itu telah dibuatkan UU lebih dahulu untuk membenarkannya. 84 Melalui uraian mengenai urgensi keberadaan HAM dalam konstitusi dapat dipahami bahwa pengaturan HAM tersebut merupakan bagian dari substansi yang harus ada didalam konsitusi. Substansi mengenai perlindungan hak asasi manusia, aspek-aspek ketatanegaraan yang mendasar dan lebih utamanya lagi adanya pembagian dan pembatasan sekaligus sebagai sarana control terhadap kekuasaan negara. Sehingga pemerintah memiliki acuan didalam melaksanakan kekuasaannya. Menyoal masalah adanya penjabaran dari isi konstitusi yang membuka peluang untuk pelanggaran
HAM
yang
sudah
diformulasikan
dalam
undang-undang
itu
permasalahan yang timbul karena ketika pembuatannya itu bertentangan dengan isi konstitusi sendiri. Dalam hal inilah dibutuhkan kerjasama baik pemerintah dan pihak legislator untuk bersama-sama merumuskan aturan-aturan yang tetap menjungjung tinggi HAM dalam konteks ke Indonesiaaan. Jaminan konstitusi HAM tidak bisa diabaikan. Pengabaian perihal HAM adalah juga pengabaian perihal penegakkan hukum. Atas dasar itu, maka sebagai “otobiografi bangsa”, maka pengaturan dan bentuk jaminan HAM UUD 1945 harus menjadi perhatian serius seluruh komponen bangsa. Pentingnya jaminan konstitusi atas HAM membuktikan komitmen atas sebuah kehidupan demokratis yang berada dalam payung Negara hukum. Memang, Indonesia, menurut Todung Mulya Lubis,
84
Ibid, hal. 158
Universitas Sumatera Utara
belum sampai kearah itu, meskipun persoalan dan perlindungan HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti UU Lingkungan Hidup, UU HAM, UU Pengadilan HAM, UU Pers, UU Konsumen dan sebagainya. 85 Rakyat Indonesia membutuhkan tidak hanya sekedar legal rights, melainkan dapat menjadi guaranteed constitutional rights yang tertuang secara sistematis dan komprehensif dalam “otobiografi Indonesia”, yakni UUD negara Republik Indonesia. Yang lebih penting bagi lagi adalah bahwa perjalanan proses dialektika demokrasi yang terjadi di Indonesia harus menjadi pelajaran berharga dalam mereformulasikan jamianan konstitusi atas HAM dengan berdasarkan kepada paradigma ke Indonesiaan. Urgensi memuat masalah penjaminan atas HAM membuktikan bahwa konsitusi tersebut secara substansi dinyatakan memenuhi unsur yang harus diatur didalam konsitusi. Jika tidak sesungguhnya konsitusi tersebut rapuh dan dapat dikatakan bukan konsitusi yang layak dikatakan sebagai konsitusi. Karena konsitusi menjadi acuan bagi pemerintah sebagai pemegang mandat didalam menjalankan pemerintahannya. C. Perlindungan HAM Dalam Konsitusi Republik Indonesia Konteks UUD yang pernah berlaku di Indonesia, pencantuman secara eksplisit seputar HAM muncul atas kesadaran dan beragam konsensus. Dalam urutan berlakunya UUD di Indonesia, yakni UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950, 85
Todung Mulya Lubis, Jaminan Konsitusi Atas Hak Asasi Manusia dan Kebebasan, dalam Internasional IDEA, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Indonesia;Laporan Hasil Konfrensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, pada bulan Oktober 2001 (Jakarta: Internasional IDEA), 2002, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
UUD 1945, dan Amanannden Keempat UUD 1945 Tahun 2002, pencantuman HAM mengalami pasang surut. Tendensi politis ditambah dengan “keringnya” jaminan atas HAM menambah sederatan sikap penguasa yang terkesan ambigue. Multi penafsiran atas teks-teks konsitusi tidak dapat terbaikan sehingga tidak jarang interpretasi penguasa lebih terkesan subyektif dan hagemonik. 86 Istilah HAM tidak ditemukan dalam UUD 1945. HAM dalam UUD 1945 diatur secara singkat dan sederhana. HAM diatur dalam UUD 1945 lebih berorientasi kepada hak sebagai warga Negara (HAW) yang hanya ditegaskan dalam 5 pasal, yakni pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 31, dan pasal 34. Dalam konsitusi RIS 1949, pengaturan HAM terdapat dalam bagian V yang berjudul “Hak-hak dan Kebebasankebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal dari mulai pasal 7 sampai dengan pasal 33. 87 UUDS 1950 memuat pasal-pasal tentang HAM yang relatif lebih lengkap. Ketentuan yang diatur pada bagian V (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan dasar Manusia) dari mulai pasal 7 sampai pasal 33. Menariknya, pemerintah juga memiliki kewajiban dasar konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagaimana diatur pada bagian VI (Azas-azas Dasar) sebanyak 8 pasal, dari pasal 35 sampai dengan pasal 43. 88
86
Majda El Mustaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Predana Media),
87
Ibid. Ibid.
2005. 88
Universitas Sumatera Utara
Merujuk kepada ketiga jenis konsitusi yang berlaku di Indonesia terkait dengan masalah jaminan atas perlindungan HAM, terlihat bahwa konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 memuat pasal-pasal HAM secara lengkap, yang oleh UUDS 1950 dimasukkan kedalam suatu bagian tersendiri, yaitu bagian V. Sehingga menurut Mr. Moh. Yamin Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 adalah satu-satunya daripada segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan HAM seperti putusan UNO kedalam piagam Konsitusi. 89 Artinya, baik Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 dalam masalah penuangan pasal-pasal HAM memiliki kesamaan dengan apa yang tercantum didalam dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Agenda perubahan UUD 1945 merupakan sejarah baru bagi masa depan konstitusi Indonesia. Pengaturan HAM ditegaskan pada perubahan UUD 1945 Tahun 2000. Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. HAM diatur dalam sebuah bab, BAB XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 pasal, dari mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J. Meskipun banyak kritikan terhadap hasil amandemen UUD 1945 karena belum dapat menghasilkan konstitusi yang ideal, tetapi paling tidak amandemen 1945 ini mulai mengarah kepada tuntutan doktrin konstitusionalisme. 90 Apalagi dalam
89
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju) 2001, hal. 83 90 Doktrin konsitusionalisme mengajarkan bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya itu harus diperinci secara tegas dan juga merupakan suatu kerangka dari masyarakat politik yang pada dasarnya terdapat pengertian tentang “lembaga-lembaga negara, hak-hak serta kewajiban hak asasi manusia dan warga negara. Lihat selengkapnya Sri Soemantri dan Suharizal, Reformasi Konstitusi 1998-2002; pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Sinar Grafika), 2002, hal.28
Universitas Sumatera Utara
konteks HAM, UUD 1945 hasil amandemen ini secara materiil memuat pasal-pasal yang substansinya HAM nya jauh lebih lengkap. Melalui penjelasan ini dapat dikatakan bahwa seluruh konsitusi yang pernah berlaku di Indonesia mengakui kedudukan HAM sangat penting. Hanya saja seluruh konstitusi itu berbeda dalam menerjemahkan materi muatan HAM kedalam UUD. UUD 1945 I (1945-1949) hanya menegaskan kedudukan hak asasi warga (HAW). Akibatnya pasal-pasal HAW tersebut sarat dengan multi-interpretrasi dalam penegakan hukum dan HAM. Konstitusi RIS (1949-1950) memberikan suasana baru bagi penegakan hukum dan HAM. Karena pemberlakuannya yang relatif singkat, akibatnya upaya penegakkan hukum dan HAM dari konstitusi ini relatif sulit ditemukan. UUD 1950 (1950-1959) memberikan kepastian hukum yang tegas tentang HAM. Materi muatan HAM dalam UUDS 1950 mengadopsi muatan HAM PBB tahun 1948. 91 Sama halnya dengan konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 nyaris tidak efektif karena negara pada waktu itu disibukkan dengan kondisi perpolitikan tanah air. Namun satu hal yang pasti kedua UUD ini, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 sama-sama memiliki materi muatan HAM yang lebih komprehensif. Berlakunya kembali UUD 1945 semakin menjadi bukti adanya “kemunduran” normatifitas HAM dalam UUD. Sebab pemberlakuan UUD 1945 pada peride II (1959-1998) tidak jauh berbeda dengan materi muatan HAM dalam UUD 1945 periode I. Dalam
91
Majda El Muhtaj, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif, (Yogyakarta: PUSHAM-UII), 2007, Hal. 282
Universitas Sumatera Utara
perkembangan kebijakan pemerintahan Orde Baru sampai Orde Reformasi (sebelum dan sesudah Amandemen II UUD 1945 Tahun 2000), beberapa perangkat kebijakan peraturan perundang-udangan dapat dikatakan melengkapi pengaturan HAM di Indonesia dalam bentuk Peraturan perundang-undangan, seperti TAP MPR, UndangUndang, Keppres dan sebagainya. 92 Berdasarkan uraian tersebut dalam perjalanan konstitusi RI sejak awal kemerdekaan hingga konsitusi pasca amandemen saat ini dapat dilihat bagaimana pasang surut pengaturan HAM didalam setiap konstitusi yang pernah berlaku tersebut. Tetapi yang pasti, pengaturan HAM tidak pernah terlepas dari konsitusi RI membuktikan bahwa Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah menangkap pesan pentingnya penjaminan HAM terhadap warga negaranya. Tentunya juga memenuhi dari unsur yang harus termaktub didalam konsitusi. Bahkan sebelum Declaration Of Human Rights (DUHAM) berlangsung, Indonesia pada awal kemerdekaan sudah memuat masalah kebebasan beragama. Penegakkan hukum atas HAM tergantung bagaimana masalah HAM tersebut diatur didalam konsitusi suatu negara. Semakin lengkap atau komprehensif, sebenarnya penegakkannya juga berpeluang akan lebih baik, namun demikian juga sebaliknya. D. Pengaturan Kebebasan Beragama dalam Konsitusi RI Perlindungan kebebasan beragama dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah ada diatur secara khusus. Meskipun dalam sejarahnya ketika sidang BPUPKI terdapat 92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perbedaan pandangan yang cukup tajam antara Soekarno, Soepomo, Moh. Yamin dan Hatta tentang perlu tidaknya HAM masuk dalam UUD Indonesia nantinya, namun ketika rancangan UUD resmi setelah Indonesia merdeka, telah terdapat pasal-pasal yang memuat perlindungan HAM. 93 Hal itu tampak bahwa para founding fathers menyadari perlunya HAM masuk menjadi substansi konsitusi Indonesia dan rumusan pasal-pasal HAM dalam UUD 1945. Salah satu dari substansi HAM yang diatur dalam konstitusi ini adalah masalah jaminan terhadap kebebasan beragama. Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. UUD 1945 berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949. Karena setelahnya konstitusi yang berlaku adalah Konsitusi RIS 1949. Konstitusi RIS 1949 merupakan konsitusi yang sangat panjang karena terdiri dari VI BAB dan 197 Pasal. Pasal-pasal tentang HAM terdapat pada BAB I Bagian 5 tentang Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia, semuanya 26 Pasal dengan
93
Soekarno menentang dimasukkannya perlindungan hak warga Negara dalam UUD karena menurutnya berasal dari faham individualism yang harus dibuang dari UUD Indonesia. Soepomo mendukung pendapat Soekarno sebab menurutnya UUD Indonesia seharusnya mengandung sistem kekeluargaaan dan jika pasal-pasal tentang HAM masuk dalam UUD Indonesia hal itu berarti UUD itu bersifat perseorangan dan itu bertentangan dengan konstruksinya yang berdasar sistem kekeluargaan. Sementara itu Hatta menganjurkan perlu UUD Indonesia mempunyai pasal-pasal tentang HAM dan pendapat Hatta ini didukung oleh M. Yamin yang menentang tegas usulan tidak dimasukkannya pasalpasal HAM dalam UUD Indonesia. Menurutnya, segala konstitusi baik yang lama maupun yang baru didunia berisi perlindungan aturan dasar itu (HAM) yang sebenarnya tidak berhubungan dengan liberalism melainkan karena suatu keharusan perlindungan kemerdekan yang harus diakui dalam UUD. Lihat, R. G Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Bina Aksara), 1987, hal 260 sebagaimana dikutip dari tulisan Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Prapanca), 1959.
Universitas Sumatera Utara
rumusan yang cukup mendetail. Pasal-pasal yang secara khusus mengatur masalah kebebasan beragama adalah: 94 Pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsjafan batin dan agama; hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau kejakinan, begitu pula kebebasan menganut agamanja atau kejakinannja, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannja sendiri dengan djalan mengadjarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan djalan mendidik anak-anak dalam iman dan kejakinan orang tua mereka.
Konsitusi yang pernah berlaku di Indonesia yakni UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, Undang Undang Dasar Sementara 1950, UUD 1945 Pasca Amandemen tetap mengatur secara khusus masalah jaminan terhadap kebebasan beragama. Namun, setiap konstitusi memiliki keunikan masing-masing didalam merumuskan masalah jaminan kebebasan beragama. Ada yang detail dan jelas, namun ada juga yang sangat umum dan memiliki multitafsir. Berikut perbandingan, UUD 1945 Pasca Amandemen memuat pengaturan kebebasan beragama dengan bagaimana Kontitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 Pasca Amandemen dan Konstitusi Malaysia. Tabel 1: Perbandingan Konsitusi Menjamin Kebasan Beragama UUD 1945 PASCA AMANDEMEN • Pasal 28E ayat (1): Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, 94
UUD 1945, KONSTITUSI RIS 1949, UUDS 1950, KONSTITUSI MALAYSIA • Pasal 18 Konsitusi RIS 1949: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsjafan batin dan agama; hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau kejakinan, begitu pula kebebasan
Konstitusi Republik Indonesia 1949
Universitas Sumatera Utara
memilih tempat tinggal di wilayah menganut agamanja atau kejakinannja, negara dan meninggalkannya, serta baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum berhak kembali. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan maupun dalam lingkungannja sendiri meyakini kepercayaan, menyatakan dengan djalan mengadjarkan, pikiran dan sikap, sesuai dengan hati mengamalkan, beribadat, mentaati nuraninya. perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan djalan mendidik anak-anak • Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup, dalam iman dan kejakinan orang tua hak untuk tidak disiksa, hak untuk mereka. kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak • Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949: Peraturan-peraturan undang-undang diperbudak, hak untuk diakui sebagai tentang melakukan hak-hak dan pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum kebebasan-kebenaran jang diterangkan yang berlaku surut adalah hak asasi dalam bagian ini, djika perlu, akan manusia yang tidak dapat dikurangi menetapkan batas-batas hak-hak dan dalam keadaan apapun. Ayat (2): kebebasan-kebesan itu, akan tetapi Setiap orang bebas dari perlakuan hanjalah semata-mata untuk mendjamin yang bersifat diskriminatif atas dasar pengakuan dan pernghormatan jang tak apapun dan berhak mendapatkan boleh tiada terhadap hak-hak serta perlindungan terhadap perlakuan yang kebebasan-kebebasan orang lain, dan bersifat diskriminatif itu. Ayat (4): untuk memenuhi sjarat-sjarat jang adil Perlindungan, pemajuan, penegakan, untuk ketenteraman kesusilaan dan dan pemenuhan hak asasi manusia kesedjahteraan umum dalam suatu adalah tanggung jawab negara, persekutuan jang demokrasi. Ayat (2): terutama pemerintah. Ayat (5): Untuk Djika perlu, undang-undang federal menegakkan dan melindungi hak menentukan pedoman dalam hal itu bagi asasi manusia sesuai dengan prinsip undang-undang daerah-daerah bagian. negara hukum yang demokratis, maka • Pasal 33 Kontitusi RIS 1949: Tiada pelaksanaan hak asasi manusia suatu ketentuanpun dalam bagian ini dijamin, diatur, dan dituangkan dalam boleh ditafsirkan dengan pengertian, peraturan perundang-undangan. sehingga sesuatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak dari • Pasal 28J ayat (1): Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia padanja untuk mengusahakan sesuatu orang lain dalam tertib kehidupan apa atau melakukan perbuatan berupa bermasyarakat, berbangsa, dan apapun jang bermaksud menghapuskan bernegara. Ayat (2): Dalam sesuatu hak atau kebebasan jang menjalankan hak dan kebebasannya, diterangkan dalamnja. setiap orang wajib tunduk kepada • Pasal 18 UUDS 1950 : Setiap orang pembatasan yang ditetapkan dengan berhak atas kebebasan agama, undang-undang dengan maksud keinsjafan batin dan pikiran semata-mata untuk menjamin • Pasal 3 ayat (1) Konstitusi Malaysia:
Universitas Sumatera Utara
pengakuan serta penghormatan atas Islam adalah agama Federasi, tetapi hak dan kebebasan orang lain dan agama-agama lain dapat dipraktekkan untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam damai dan harmoni dalam setiap sesuai dengan pertimbangan moral, bagian dari Federasi. nilai-nilai agama, keamanan, dan • Pasal 11 Kontitusi Malaysia: ketertiban umum dalam suatu 1. Setiap orang memiliki hak untuk masyarakat demokratis menganut dan menjalankan agamanya dan, menurut Ketentuan (4),untuk • BAB XI tentang Agama Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin menyebarkan itu. kemerdekaan tiap-tiap penduduk 2. Tidak seorangpun akan dipaksa untuk untuk memeluk agamanya masingmembayar pajak apapun hasil yang masing dan untuk beribadat menurut khusus dialokasikan dalam keseluruhan atau sebagian untuk agamanya dan kepercayaannya itu. tujuan agama selain karena kemauannya sendiri. 3.Setiap kelompok agama memiliki hak: (a) untuk mengelola urusannya sendiri agama; (b) untuk membangun dan mempertahankan lembaga untuk tujuan keagamaan atau amal, dan (c) untuk memperoleh dan memiliki harta benda terus dan administrasinya sesuai dengan hukum. 4.Hukum negara dan dalam hal Wilayah Federal Kuala Lumpur dan Labuan, hukum federal dapat mengontrol atau membatasi penyebaran doktrin agama atau keyakinan di kalangan orang yang beragama Islam. 5.Pasal ini tidak mengizinkan setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum umum yang berkaitan dengan publik, kesehatan ketertiban umum atau kesusilaan. • Pasal 12 Konsitusi Malaysia: 2. Setiap kelompok agama memiliki hak untuk membangun dan mempertahankan lembaga-lembaga untuk pendidikan anak-anak dalam agama sendiri, dan tidak akan ada
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi atas dasar hanya agama dalam hukum yang berkaitan dengan lembaga atau dalam administrasi hukum tersebut yang akan dijamin, tetapi itu akan menjadi halal bagi Federasi atau Negara untuk menetapkan atau mempertahankan atau membantu dalam membangun atau mempertahankan lembagalembaga Islam atau menyediakan atau membantu menyediakan instruksi dalam agama Islam dan menyediakan biaya yang mungkin diperlukan untuk tujuan tersebut. 3.Tidak ada orang yang wajib menerima pengajaran atau ambil bagian dalam upacara atau ibadah agama lain selain karena kemauannya sendiri. 4.Untuk tujuan Klausul (3) agama seseorang di bawah usia delapan belas tahun ditetapkan oleh orang tua atau walinya.
Sumber : Diinovasi berdasarkan isi Konsitusi RI.
Jika dibandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 Konsitusi RIS ini lebih detail mengatur masalah kebebasan beragama. Sebenarnya substansinya sama. Bahwa kontitusi dengan jelas menyatakan bahwa negara menjamin hak dari tiap-tiap warga negaranya dalam hal bebas memeluk agama dan beribadat menurut kepercayaan dan keyakinannya. Namun didalam konstitusi RIS 1949 diuraikan dengan lebih detail, bahwa hak tersebut meliputi pula kebebasan bertukar agama atau keyakinan, begitu pula kebebasan menganut agamannya atau keyakinannya, baik
Universitas Sumatera Utara
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka. Selain itu juga menetapkan batas-batas pelaksanaan hak tersebut, yakni penghormatan terhadap hak asasi orang lain, tidak melanggar norma kesusilaan dan syarat yang adil untuk ketertiban umum dalam kehidupan yang demokrasi. Pasal 32 dan 33 Konsitusi RIS nampaknya memberi penegasan bahwa hakhak dan dan kewajiban yang diberikan oleh warga negara melalui konstitusi tersebut harus diikuti oleh negara aturan organik yang mengatur lebih lanjut tentang pelaksaanaan hak dan kewajiban tersebut serta batas-batasnya sehingga baik warga negara maupun penguasa sama-sama memiliki satu pedoman dalam bertindak. 95 UUDS 1950 mengaturnya pada Pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan pikiran. Jika dibandingkan pada pengaturan perlindungan kebebasan beragama baik dalam UUD 1945 periode pertama dan konsitusi RIS 1949, UUDS 1950 malah jauh lebih umum dan menguraikan dengan singkat masalah pengaturan perlindungan kebebasan beragama ini. Hanya menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan agama dan keinsyafan batin dan pikiran. Tidak terlalu jelas maksud dari setiap kata perkata dalam pasal ini. Apalagi dengan keinsafan batin dan pikiran.
95
Sri Hastuti, Op.Cit, hal. 173
Universitas Sumatera Utara
UUD 1945 amandemen kedua, mengalami banyak perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan perlindungan HAM di Indonesia. Bahkan pasca amandemen ini ada pasal yang secara khusus memuat tentang HAM terletak pada bab tersendiri yaitu BAB XA. Terdapat pada pasal 28 yang terdiri dari 26 butir ketentuan. HAM yang dimuat didalam UUD 1945. Khusus pengaturan masalah kebebasan beragama, UUD 1945 pasca amandemen memuatnya dalam beberapa pasal. Pasal 28E ayat (1): Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28 I ayat (1). (2), (3). (4) dan (5) dan Pasal 28 J ayat (1), (2) menunjukkan betapa komprehensifnya konstitusi Pasca Amandemen ini mengatur masalah kebebasan beragama di Indonesia. Dibandingkan dengan Konstitusi RIS 1949, dari segi substansi keduanya mempunyai keunikan tersendiri. konstitusi RIS 1949 menyatakan bahwa hak tersebut meliputi pula kebebasan bertukar agama atau keyakinan, begitu pula kebebasan menganut agamannya atau keyakinannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka. Sedangkan dalam UUD 1945 pasca amandemen menyatakan pada pasal 28 ayat (2):
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu ditegaskan bahwa hak memeluk agama adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat (1)). Demikian juga masalah perlindungan terhadapa perlakuan yang diskriminatif terhadap pelaksanaan hak tersebut (Pasal 28I ayat (2)). Berdasarkan perbandingan dari setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, masalah perlindungan kebebasan beragama tetap diatur keberandaannya. Namun harus diakui bahwa setiap konstitusi tersebut ada keunikan masing-masing didalam pernyataan jaminan yang diberikan atas hak tersebut. Ada yang mengaturnya dengan jelas dan rinci, tetapi ada yang menguraikannya dengan sangat singkat dan butuh banyak penafsiran untuk memahaminya. Selain itu ada yang tegas mengatur masalah pembatasan pelaksanaan hak tersebut baik oleh undang-undang maupun ketentuan seperti tersebut diatas namun ada yang tidak mengatur pelaksanaan dari hak kebebasan beragama tersebut. Seperti halnya pada UUD 1945 periode I dan UUDS 1950 tidak terlalu detail mengatur perihal perlindungan kebebasan beragama ini. Untuk meninjau perihal pengaturan perlindungan kebebasan beragama dalam konstitusi Indonesia, adalah baik untuk membandingkannya dengan negara lain yang yang juga mengatur perihal kebebasan beragama. Dalam hal ini akan dibandingkan dengan Konsitusi Malaysia. Indonesia bukan negara agama. Kendatipun mayoritas penduduknya adalah muslim, konstitusi Indonesia tidak ada menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agama atau Islam adalah agama negara. Demikian juga tidak ada pernyataan bahwa
Universitas Sumatera Utara
agama Islam adalah agama negara. Berbeda dengan Malaysia 96 yang dalam konstitusinya menetapkan bahwa Islam adalah agama negara. Namun itupun keberadaaan agama lainnya tetap dijamin keberadaannya 97. Malaysia mengatur masalah kebebasan beragama dalam konstitusinya dengan sangat unik juga. Ada halhal yang diatur didalam kontitusinya perihal kebebasan beragama yang tidak ada pada konsitusi kita demikian juga sebaliknya. Berbeda dengan Belanda 98 yang memiliki sistim hukum yang sama dengan Indonesia. Belanda dalam konstitusinya hanya memuat satu pasal mengenai kebebasan beragama 99. Konsitusi RI akan dibandingkan dengan Konstitusi Malaysia karena antara Indonesia dan Malaysia ada persamaan budaya/ kultur. Selain itu memiliki persamaan dalam hal penduduknya mayoritas beragama Islam. Kendatipun memiliki perbedaan sistim hukum.
96
Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum kebiasaan Inggris (Common Law Sistem ) biasa disebut dengan system hukum Anglo-Saxon. Tradisi ini berdiri ditengah-tengah sistem hukum Islam (yang dilaksanakan oleh pengadilan Syari’ah) dan hukum adat berbagai kelompok penduduk asli. www.andrytama.blogspot.com, diakses tanggal 22 Mei 2012 97 Contitution Of Malaysia, Article 3 (1). Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation. en.wikipedia.org/.../Constitution_of_Malaysia, diakses tanggal 22 Mei 2012 98 Belanda menganut sistim hukum eropa continental. Berdasarkan data yang ada 30% penduduk Belanda Beragama Katholik Roma, 11% menganut Dutch Reformed, 6% menganut kristen Calvinist. kemudian 3% menganut protestan dan kristen lainnya. sedang yang beragama Muslim berjumlah 5,8% dan 2,2% menganut Buddha, Yahudi, Sikh dan kepercayaan lainnya dan yang mencengangkan 42% mengaku tidak beragama alias Atheis. kompetiblog2011.studidibelanda.com, diakses tanggal 22 Mei 2012 99 The Constitution of the Netherlands 1983, article 6 (1) Everyone shall have the right to manifest freely his religion or belief, either individually or in community with others, without prejudice to his responsibility under the law.(2) Rules concerning the exercise of this right other than in buildings and enclosed places may be laid down by Act of Parliament for the protection of health, in the interest of traffic and to combat or prevent disorders. http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_of_t he_Netherlands, diakses tanggl 22 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
Secara khusus Malaysia mengatur dengan tegas dalam konsitusinya bahwa Islam adalah Negara agama. Selain masalah pengaturan agama Islam sebagai agama negara. Konsitusi malaysia juga mengatur perihal kebebasan beragama pada pasal berikutnya. Pada konstitusi Malaysia ini ditemukan hal yang unik didalam pengaturan kebebasan beragama
di
Malaysia.
Didalam melaksanakan
hak
kebebasan
beragamanya setiap orang berhak menganut dan menjalankan agamanya bahkan menyebarkannya. Namun didalam proses penyebaran baik doktrin dan keyakinan, khusus untuk kalangan orang yang beragama Islam negara akan membatasi dan mengontrol penyebaran tersebut. Tetapi tidak ada pengaturan mengenai bagaimana kalau yang melakukan penyebaran doktrin dan keyakinan tersebut adalah kalangan muslim ke agama-agama yang lainnya. Selain itu, ada pengaturan khusus masalah pembayaran pajak hubungannya dengan agama. Pasal 11 ayat (2) Konsitusi Malaysia menyatakan bahwa tidak seorangpun akan dipaksa untuk membayar pajak apapun hasil yang khusus dialokasikan dalam keseluruhan atau sebagian untuk tujuan agama selain atas kemauannya sendiri. Hal ini merupakan penghormatan negara atas agama yang ada di Malaysia, melalui tidak adanya pemaksaan pembayaran pajak kalau hasil yang dimiliki penduduk akan dialokasikan keseluruhan atau sebagian untuk urusan keagamaan. Namun pembatasan terhadap hak kebebasan beragama juga diatur sama dengan hal diatur didalam konvensi internasional tentang pembatasan pelaksanaan hak asasi.
Universitas Sumatera Utara
Setelah menganalisa dari semua konsitusi yang mengatur masalah kebebasan beragama, baik dari UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 Pasca Amandemen, bahkan dibandingkan dengan Konstitusi Malaysia, ditemukan keunikan masing-masing konsitusi didalam menuangkan perlindungan HAM khusus kebebasan beragama didalam pasal demi pasal. UUD 1945 Pasca Amandemen jauh lebih lengkap dan komprehensif didalam mengatur masalah jaminanan atas kebebasan beragama. Memuat dengan jelas uraian terhadap pelaksanaan dan jaminanan kebebasan beragama tersebut. Bahkan dengan jelas diatur pembatasan hak tersebut, pengaturannya didalam undang-undang serta peran pemerintah didalam menjamin hak tersebut.
E.
Konsitusi RI Sudah Cukup Memadai Menjamin Kebebasan Beragama. Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia. 100 Dalam kedudukannya
sebagai dasar dan ideologi negara yang tidak dapat dipersoalkan lagi bahkan sangat kuat, maka pancasila harus dijadikan paradigma (kerangka berpikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum termasuk semua pembaruannya. Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai 100
Ada dua alasan pokok mengapa Pancasila yang dikemukakan dalam meletakkan Pancasila pada posisinya sebagai ideologi negara tidak dapat diganggu gugat. Pertama, Pancasila sangat cocok sebagai platform kehidupan bersama bagi bangsa dan Indonesia yang sangat majemuk agar tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu. Kedua, Pancasila termuat didalam pembukaan UUD 1945 yang didalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia, sehinga jika Pancasila diubah, berarti pembukaan UUD pun harus diubah. Dan jika Pembukaan UUD diubah maka kemerdekaan yang pernah dinyatakan didalam pembukaan itu, dianggap menjadi tidak ada lagi sehingga karenanya pula Negara Indonesia menjadi tidak ada atau bubar. Dalam kedudukannya sebagai perekat atau pemersatu, Pancasila telah mampu memposisikan dirinya sebagai tempat kembali jika bangsa Indonesia terancam perpecahan. Selengkapnya lihat, Mahfud MD, Loc. Cit Hal 50
Universitas Sumatera Utara
perauran perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya. 101 Cara pandang terhadap Pancasila juga mengalami perbedaan bahkan kesimpangsiuran. Ada yang beranggapan bahwa Pancasila merupakan yuridis kenegaraan. Pancasila dalam kedudukannya sebagai yuridis kenegaraan meliputi pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis dan ketatanegaraan, realisasi Pancasila dalam segala aspek penyelenggaraan negara secara resmi baik yang menyangkut norma hukum, maupun norma moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelengaraan negara. 102 Norma hukum yang baik yang akan diberlakukan harus berdasarkan pada empat pertimbangan yaitu pertimbangan yang bersifat filosofis, juridis, politis, dan sosiologis. 103 Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia, maka Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yaitu meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya 101
Mahfud MD, Loc. Cit, sebagaimana dikutip dari Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyrakat, Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: BP-7 Pusat), 1992, hal.62. 102 Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma), 2008, hal. 20. 103 Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 242-244.
Universitas Sumatera Utara
dikonkritisasikan atau dijabarkan dalam pasal UUD 1945, serta hukum positif lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 104 a) Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerohanian tertib hukum Indonesia yang dalam pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut kedalam empat pokok pikiran. b) Meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhinterground) dari Undang Undang Dasar 1945. c) Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis) d) Mengandung norma yang mengharuskan Undang Undang Dasar 1945 mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara ( termasuk para penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai berikut: “…negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. e) Merupakan sumber semangat bagi Undang Undang Dasar 1945 bagi penyelengara negara dan pelaksana pemerintah. Dengan semangat pada asas kerohanian negara sebagai padangan kehidupan bangsa, maka dinamika masyarakat dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan kepada asas kerohanian bangsa.
Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai norma serta kaidah, baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik tertulis atau Undang-Undang Dasar maupun tidak tertulis atau 104
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
konvensi. Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. 105 Pernyataan Kaelan yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan yuridis kenegaraan adalah keliru. Ada ketidak konsistenan didalam argumentasinya mengenai Pancasila. Benar bahwa Pancasila merupakan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara. Demikian juga sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Namun bukan berarti bahwa Pancasila adalah yuridis kenegaraan. Karena Pancasila merupakan dasar filosofis dari setiap aturan maupun segala norma yang ada. Norma hukum hanya salah satu bagian didalamnya. Maka untuk meninjau hal-hal yang diatur didalam konstitusi mengenai perlindungan kebebasan beragama secara nomatif memadai atau tidaknya maka akan menjadikan Pancasila sebagai parameternya. Karena seperti yang ditegaskan bahwa Pancasila adalah sumber nilai norma serta kaidah hukum negara. Pancasila sebagai ideologi bangsa, perlu ditambahkan bahwa secara istilah ideologi berarti ajaran tentang nilai-nilai yang dianut manusia atau sekelompok manusia atau nilai-nilai yang diyakini baik dan disepakati untuk dijadikan pedoman kehidupan bersama, namun dalam kenyataannya, terutamam dalam masyarakat Indonesia, ideologi itu memang telah mempunyain konotasi sebagai program social politik yang cenderung menempatkan lain-lainnya, termasuk hukum sebagai alatnya dan oleh karena itu berada dalam subordinasinya. Padahal, menurut UUD 1945 105
Kaelan, Loc. Cit, hal 110
Universitas Sumatera Utara
seharusnya hukumlah yang mengatasi semua program kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk program sosial politiknya. Namun dalam konteks ini, apakah determinan atas politik atau sebaliknya subordinate oleh politik, hal itu tidak akan mengubah keharusan bahwa hukum harus bersumberkan kepada Pancasila; dengan kata lain Pancasila harus menjadi paradigm dari setiap pembangunan hukum di Indonesia 106. Demikian juga didalam pengaturan terhadap jaminan kebebasan beragama didalam konstitusi. Beberapa alasan lain yang dikemukakan bahwa Pancasila harus menjadi paradigma dalam pembangunan hukum adalah: 107 a) Penjelasan UUD 1945; secara resmi sejak amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, penjelasan UUD 1945 tidak lagi menjadi bagian dari UUD Indonesia. Tetapi gagasan-gagasan yang terkandung didalamnya tetaplah relevan untuk dijadikan sumber hukum materiil, bukan sumber hukum dalam artinya yang formal. Menurut penjelasan UUD 1945, pembukaan menciptakan pokok-pokok yang terkandung didalam pasal-pasal UUD 1945 tersebut. Artinya pasal-pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 merupakan penjabaran normative tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945. Pokok-pokok pikiran itu meliputi suasana kebatinan UUD dan merupakan cita hukum yang menguasai konsitusi (baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis). Dengan demikian, semua produk hukum dalam penegakkannya di Indonesia haruslah didasarkan pada pokok pikiran yang ada didalam UUD 1945 termasuk bahkan pada pokok pikiran yang terutama Pancasila. b) TAP MPRS No. XX/MPRS/1966; Dalam tatanan hukum baru, TAP MPR/S kembali dikenal. Dalam ketetapan MPRS ini menjelaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berarti bahwa Pancasila merupakan semua sumber, produk, dan proses penegakkan hukum haruslah mengacu pada Pancasila sebagai sumber nilai utamanya. Secara teoritis dikatakan bahwa sumber hukum ada dua macam, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum materiil diartikan sebagai bahan yang menentukan isi suatu kaidah atau norma hukum yang diperlukan oleh para pembuat hukum. Sedangkan dalam arti sumber hukum formal adalah hukum 106 107
Ibid, hal 52 Mahfud MD, Loc. Cit. 52-54
Universitas Sumatera Utara
dalam arti produk yang telah memiliki bentuk terutama yang berlaku mengikat terhadap komunitas-komunitasnya seperti: UU, Perda, Permen, dan sebagainya. Pancasila merupakan sumber hukum materiil dalam arti sebagai asalnya hukum. Dalam kaitannya dengan sumber hukum formal, haruslah diartikan bahwa sumber hukum formal apapun harus tetap bersumber pada Pancasila dan tidak keluar dari kandang nilai-nilainya. c) Norma Fundamental Negara; dasar-dasar pemikiran ini diperkuat oleh pandangan pakar Filsafat Notonagoro yang pada pidato dies natalis UGM, 10 November 1955, menyebut Pancasila sebagai “norma fundamental Negara” (Staatsfundamentalnorm). Staatfundamentalnorm merupakan norma tertinggi yang kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang dasar dan berdasarkan norma tertinggi inilah konsitusi dan peraturan-perundang-undangan harus dibentuk. Satu hal segera yang dapat dijadikan kesimpulan dari hal ini bahwa sebagai dasar dan ideologi negara atau sebagai cita hukum dan staatsfundamentalnorm, Pancasila harus menjadi paradigma dalam setiap pembaruan hukum. Khusus TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 sudah diganti dengan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan. Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, dinyatakan bahwa pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Maksudnya bahwa Pancasila adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari Rakyat negara yang bersangkutan. Demikian juga TAP MPR No. III/MPR/2000 menyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yan adil dan beradap, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Dasar 1945. 108 Selain itu Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Kembali ditegaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dasar hukum nasional.Namun bukan merupakan bagian dari tata urutan perundangundangan di Indonesia. Karena Pancasila bersifat filosofis yang akan menurunkan norma-norma termasuk norma hukum. Sehubungan dengan Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan hukum, Pancasila sebagai suatu dasar filsafat Negara, maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sitem nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang sitematis. 109 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa Negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh Karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelengaraan Negara bahkan moral Negara, moral penyelenggara negara, politik Negara, pemerintahan Negara, hukum dan peraturan perundang-undangan Negara, kebebasan dan hak asasi warga Negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. 110 108
Ketetapan Majelis permusyawaratan rakyat sementara Republik Indonesia No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik indonesia dan tata urutan peraturan Perundangan Republik Indonesia & Ketetapann Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, http//diskominfo.kaltimprov.go.id, diakses tanggal 8 Juli 2012 109 Kaelan, Loc. Cit. Hal 79 110 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Khusus masalah jaminan kebebasan beragama pun tetap harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal khusus yang mengatur masalah ini dalam konstitusi RI adalah Pasal 29 ayat (1): Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sinkronisasi antara pasal ini dengan Pancasila sila Pertama sangat jelas. Salah satu contoh yang dapat dipertanyakan tentang penjaminan kebebasan beragama dalam konsitusi adalah mengenai keberadaan atheis. Mengacu kepada Pasal 28E ayat (1) yang manyatakan bahwa “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat (2) menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, maka dalam konteks hak ini, maka setiap orang juga sebenarnya berhak untuk tidak menggunakan atau menikmati haknya. Kalau bebas beragama atau berkeyakinan, jadi bebas juga untuk tidak beragama. Kontitusi sendiri sebagai aturan tertinggi atau sebagai puncak piramida hirarki perundang-undangan tidak ada kejelasan didalam mengatur ini. Namun sesuai dengan pandagan Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu susunan hierarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas
Universitas Sumatera Utara
dasar norma yang lebih tinggi, dan
norma yang lebih tinggi itu, berlaku dan
bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm (norma dasar). Norma dasar sebagai norma tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat dan menjadi sumber bagi normanorma yang lebih rendah, oleh karena itu norma dasar itu disebut sebagai presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu. 111 Perihal masalah bebas untuk tidak beragama ada dua pandangan mengenai masalah kebebasan untuk tidak beragama ini. pandangan pertama, Berdasarkan aturan-aturan dari kovenan dan deklrasi yang bersifat universal dalam konteks internasional, Al Khanif mendefenisikan kebebasan beragama adalah hak yang mencakup untuk mempunyai atau menetapkan suatu agama atau kepercayaan, dimana hak tersebut adalah hak untuk meyakini atau hak untuk tidak meyakini sama sekali suatu agama baik yang bersifat theistik maupun yang non theistik dan untuk memanifestasikan bentuk-bentuk ritual keagamaan itu baik sendiri-sendiri maupun dimasyarakat dan ditempat umum atau pribadi seperti yang diatur didalam hak asasi manusia internasional. Intinya bebas untuk tidak beragama. 112. Pandangan kedua, bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang tidak beragama. Indonesia adalah negara yang berkeTuhanan Yang Maha Esa jelas termaktub didalam Pancasila. Jadi, Indonesia tegas menyatakan 111 112
bahwa tidak beragama (atheis) tidak dijamin
Hans Kelsen, Loc. cit, hal 113 Al Khanif, Loc. Cit, hal. 89
Universitas Sumatera Utara
konsitusi. 113 Perbedaan pandangan tersebut diatas sangat mungkin terjadi. Setiap kelompok masing-masing mempunyai kebebasan untuk menafsirkan mengenai kebebasan untuk tidak beragama tersebut. Karena konsitusi tidak jelas dan tegas mengatur masalah tersebut. Secara yuridis normatif sepanjang tidak diatur konstitusi maka masih ada celah hukum yang memberi ruang untuk menimbulkan multitafsir atas keberadaan atheis di Indonesia. Akhirnya kedua pendapat tersebut dimaklumi muncul karena kelemahan konsitusi didalam pernyataan mengenai atheis. Berdasarkan hal tersebut, ketika konsitusi tidak mengatur dengan jelas perihal bebas juga untuk tidak beragama, maka dengan sendirinya dengan pandangan Hans Kelsen maka akan mengacu kepada norma yang lebih tinggi lagi yang tidak dapat ditelusuri yang bersifat hipotesi dan fiktif. Dalam hal ini maka Pancasila yang akan menjadi acuan karena merupakan landasan filisofis dari turunnya suatu norma hukum. Baik Pancasila maupun konsitusi RI menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian mengenai Pancasila yang merupakan sumber dari segala norma, menyatakan juga dengan tegas bahwa Indonesia adalah Negara yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Namun sangat disayangkan konsitusi tidak ada dengan tegas mencantumkan masalah ini. 113
Wawancara langsung dengan FKUB diwakili oleh Dr. Arifinsyah, M.Ag Tanggal 18 Juni 2012, dan Ahmadiyah diwakili oleh Sufi Murti, Mubaligh Wilayah Sumatera Utara dan Aceh Tanggal 14 Juni 2012 serta wawancara langsung dengan MUI diwakili oleh Drs. Hj. Arso, SH, M.Ag Tanggal 17 Juli 2012, PGI diwakili oleh Pdt. Hotman Hutasoit, MTh, Wakil Sekretaris Umum PGI Sumut.
Universitas Sumatera Utara
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Oleh karena itu dalam kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan perundang-undangan Negara harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat dan martabat manusia, terutama hak-hak kodrat manusia sebagai hak dasar (hak asasi) harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai mahluk yang berbudaya, bermoral dan beragama. 114 Bersarkan sila ini, Pasal yang menegaskan penghormatan terhadap hak-hak kodrat manusia. Jelas telihat pada Pasal 28 E ayat (1), (2) UUD 1945, Pasal 28I (1), (2), (4), (5) UUD 1945. Kesemua pasal ini menjiwai apa yang dijiwai oleh Pancasila khususnya sila kedua. Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keempat sila lainnya. Sila ini dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab serta menjiwai sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawatan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini menginkat keberagaman yang ada di Indonesia. Maka rasa nasionalisme anak bangsa terbangun, dengan nasionalisme yang religius. 115 Bersarkan sila ketiga ini, Persatuan Indonesia, Pasal khusus yang menjiwai hal ini adalah Pasal 28J (1) UUD 1945: Setiap orang wajib menghormati hak asasi 114 115
Ibid, hal. 80 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ayat (2): Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Didalam pelaksanan hak kebebasan beragama ini perlu mencermati apa yang dijiwai didalam sila ketiga Pancasila. Tetap terjalin persatuan di Indonesia yang religius. Kendatipun banyak agama dan keyakinan, tetapi perlu ada aturan yang sebagai pembatasan untuk penghormatan atas hak kebebasan orang lain. Sama halnya dengan sila-sila sebelumnya merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Nilai filosofis yang terkandung didalamnya adalah bahwa hakikat Negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara. Demikian juga sila kelima yang merupakan suatu kesatuan yang memiliki nilai keadilan yang didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Baik sila keempat dan sila kelima yang juga merupakan suatu kesatuan dari sila-sila lainnya juga dijiwai oleh kesemua pasal-pasal yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan penilaian terhadap Konsitusi RI sudah memadai secara normatif atau tidak, Forum Kerukunan Umat Beragama bentukan pemerintah menjaga kerukunan umat beragama dan pihak Ahmadiyah yang paling banyak mengalami kasus kebebasan beragama menilai bahwa Konsitusi RI sudah cukup memadai secara normatif didalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Demikian juga MUI dan PGI. Namun dalam tatanan pelaksanaannya masih memiliki banyak kendala. Pasti ada konflik yang terjadi ketika aturan atau regulasi yang mengatur kebebasan beragama pelaksanaannya bermasalah. Ketika apa yang diatur didalam konsitusi RI mengenai kebebasan beragama dilakasanakan maka kehidupan kebebasan beragama akan terjadi harmonisasi. Karena konsitusi RI tidak hanya menjamin agama saja tetapi kepercayaan juga. Menarik karena konsitusi membedakan antara agama dengan kepercayaan. Dalam hal ini aliran-aliran kepercayaan seperti Sapto Darmo, Parmalim, dan agama suku atau lokal lainnya tetap dijamin kebebasan keyakinan tersebut. Demikian juga MUI, berpendapat bahwa secara umum konsitusi sudah jelas cukup menjamin secara normatif melalui pasal 29 ayat (2) keberadaan agama dan kepercayaan, namun perlu ada undang-undang organik sebagai petunjuk untuk melaksanakan penjaminan hak tersebut. 116 Secara umum, sebenarnya semua pasal-pasal yang mengatur tentang jaminan kebebasan beragama didalam konstitusi RI sudah memadai secara normatif. Karena
116
Wawancara langsung dengan FKUB, Ahmadiyah , MUI dan PGI.
Universitas Sumatera Utara
dalam kerangka normatif kesemua pasal tersebut telah menjiwai hal-hal yang termaktub didalam Pancasila yang merupakan sebagai sumber dari segala norma atau kaidah hukum yang ada di republik ini. Khususnya didalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Tetapi perihal kebebasan untuk tidak beragama karena bertentangan dengan Pancasila, maka akan lebih baik konsitusi menuangkannya dengan tegas sehingga tidak ada celah hukum bagi mereka yang menuntut haknya untuk tidak bebas beragama. Karena Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Maksudnya bahwa kalau konsitusi tidak mengatur hal tersebut maka tidak mungkin akan diatur didalam aturan yang derajatnya lebih rendah. Selain itu kalau suatu hal penting tidak diatur dalam konsitusi misalnya masalah bebas tidak beragama, secara hukum, keberadaannya tidak bertentangan dengan hukum karena belum ada pengatuan secara khusus. Demikian juga berdasarkan perbandingan sudah dilakukan dari konsitusikonsitusi sebelumnya yang berlaku, bahkan dari konsitusi Malaysia bahwa perlindungan terhadap kebebasan beragama pengaturannya diuraikan lebih detail dan lebih tegas didalam konsitusi RI pasca Amandemen ini. Dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 Pasca Amandemen tepatnya ketika amandemen ke dua yang dilakukan tahun 2000 merupakan konstitusi yang paling lengkap yang mengatur perihal jaminan atas kebebasan beragama jika dibandingkan dengan konsitusi sebelumnya (UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950). Bahkan ketika mengacu kepada Pancasila
Universitas Sumatera Utara
sebagai dasar negara dan sebagai sumber hukum dasar cukup menguatkan bahwa Konsitusi RI sudah cukup memadai.
Universitas Sumatera Utara