BAB II PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN SERTA PEMBIAYAAN KONSUMEN
A. Tinjauan Umum Perjanjian 1.
Pengertian Perjanjian Defenisi perikatan tidak ada dirumuskan sedemikian rupa dalam undang-
undang, tapi dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum yakni terletak dalam buku III KUH Perdata. Suatu perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi itu”. 24 Dengan demikian dalam suatu perikatan terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Pihak yang wajib berprestasi disebut debitur dan pihak yang berhak atas prestasi disebut kreditur. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari perjanjian ini, ditimbulkan suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan tersebutlah yang dinamakan perikatan. 25
24
Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 203 25 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menimbulkan perikatan. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka, sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian, dan undang-undang hanya hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat tanpa ketentuan para pihak yang bersangkutan. 26 Pada Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Maksudnya bahwa suatu perjanjian adalah suatu recht handeling artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tujuan agar timbul akibat hukum. Dengan demikian suatu perjanjian adalah hubungan timbak balik atau bilateral. Maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban yang merupakan konsekuensi dari hak-hak yang diperolehnya. 27 Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak lengkap dan
26
J.Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 5 27 R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung : PT Intermasa, 1987), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
terlalu luas. 28
Tidak lengkap karena rumusan itu hanya mengenai perjanjian
sepihak saja. Defenisi itu juga dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang juga merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa : “yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekeyaan antara dua pihak, dalam mana salah satu pihak berjanji, dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut perlaksanaan janji tersebut”. 29 Menurut M.Yahya Harahap, “perjanjian mengandung suatu pengertian tentang hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan sesuatu hal pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”. 30 Subekti mengatakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal”. 31 Dengan demikian perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih dalam melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Pasal 28
Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001),hal.65 29 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung : sumur, 1981), hal. 11 30 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 20 31 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Pembimbing Masa, 1980), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
1338 KUH Perdata menegaskan bahwa : “semua perjanjian itu yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Akan tetapi hal tersebut harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan 4 (empat ) syarat yaitu : “a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri ; b. Kecakapan untuk membuat ssuatu perjanjian ; c. Suatu hal tertentu ; d. Sesuatu sebab yang halal”. Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhinya semua ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Persyaratan sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif (syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian). Apabila salah satu syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan tentang suatu hal tertentu dan sebab halal digolongkan kedalam syarat objektif (benda yang dijadikan objek perjanjian). Jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya perjanjian batal demi hukum. Artinya perjanjian dengan sendirinya menjadi batal denegan kata lain perjanjian telah batal sejak dibuatnya perjanjian tersebut. Hal-hal inilah yang merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian. 32
32
Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD Dan KUHPerdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal. 191
Universitas Sumatera Utara
2.
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang
terdapat dalam KUH Perdata (civil law) yakni diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu : “a. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian ; b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian atau perikatan; c. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek yang tertentu ; d. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal”. 33
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian saling menghendaki sesuatu yang secara timbal balik, adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Kesesuaian disini adalah pernyataannya, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya kesepakatan karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak. Kesepakatan itu artinya tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun. Perjanjian itu benar-benar atas kemauan sukarela pihak-pihak. Hal ini berpedoman dengan ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena:
33
Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat,(Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
“ 1) Kekhilafan / kekeliruan (dwaling) ; 2) Pemerasan / paksaan (dwang) ; 3) Penipuan (bedrug)”. Unsur kekhilafan / kekeliruan dibagi dalam dua bagian yakni, kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona. Dan kekhilafan mengenai barangnya dinamakan error in substantia. Mengenai kekhilafan / kekeliruan yang dapat dibatalkan harus mengenai inti sari pokok perjanjian. Jadi harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan kekhilafan / kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal (Pasal 1322 KUH Perdata). Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan, misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian (Pasal 1324 KUH Perdata). Mengenai pengertian penipuan (bedrug) ini terjadi apabila menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal. Untuk mengatakan bahwa telah terjadi suatu penipuan maka harus ada kompleks dari muslihat-muslihat itu. R.Subekti mengatakan bahwa “penipuan (bedrug) terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, disertai dengan
Universitas Sumatera Utara
kelicikan-kelicikan sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan”. 34 Suatu penipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang tidak benar (palsu) disertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat dan harus ada rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan orang menjadi percaya, dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan seseorang. Misalnya perbuatan memperjualbelikan sebuah rumah yang bukan merupakan hak miliknya dengan memalsukan surat-suratnya. b. Kecakapan para pihak membuat perjanjian Subjek yang melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundangundangan untuk melakukan perbuatan tertentu. Orang yang cakap dan berwewenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau sudah kawin. Adapun orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum : 1) Anak dibawah umur ; 2) Orang yang di taruh di bawah pengampunan ;
34
Ibid, hal. 135
Universitas Sumatera Utara
3) Istri (Pasal 1330 KUH Perdata), yang dalam perkembangannya sudah diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1963. 35 Subjek hukum terbagi dua, yaitu manusia dan badan hukum. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Jadi menurut ketentuan pasal ini, semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dinyatakan oleh undang-undang. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya itu harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menjalankan segala tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu. 36 Apabila dilihat dari sudut ketertiban umum, maka oleh karena orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang itu sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya. 37 Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat perjanjian mengandung kesadaran untuk melindungi hak bagi dirinya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.
35
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 34 36 Achmad Ikhsan, Hukum Perdata I B, (Jakarta : Pembimbing masa, 1969), hal 20 37 R.Subekti, Op.Cit, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata “barang yang menjadi objek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan” Dalam Pasal 1332 KUH Perdata dikatakan bahwa “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi objek perjanjian”. Dengan demikian barang-barang yang diluar diperdagangkan tidak dapat menjadi objek perjanjian. Misalnya barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan bandara udara. 38 Dengan demikian perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenis tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian. d. Suatu sebab yang halal Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebab yang halal inilah yang menjadi tujuan
38
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 219
Universitas Sumatera Utara
para pihak yang membuat perjanjian. 39 Perjanjian tanpa sebab yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. 40 Yang di maksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undangundang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”. Akibat hukum terhadap perjanjian berkausa tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian itu dimuka hakim. Dari keempat syarat sahnya perjanjiian di atas tidak ada diberikan suatu formalitas yang tertentu di samping kata sepakat para pihak mengenai hal-hal 39
40
Salim, Op.Cit, hal. 25. http://www.inapane-hukum.com/2009/11/ringkasan-2-kuliah-hukum-perjanjian..html
Universitas Sumatera Utara
pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap undang-undang yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat berlaku dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya perjanjian perdamaian yang dilakukan secara formal. 3.
Asas-asas Hukum Perjanjian Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa latin principium, bahasa
Inggris principle dan bahasa Belanda beginsel, yang artinya yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas yakni, pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the broad reason). Kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum (the based of rule of law). Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya. Ada beberapa asas umum Hukum Perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni :
Universitas Sumatera Utara
a. Asas personalia Asas personalia dijumpai pada Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi : “pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya dan akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. 41 Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada asas personalia, namun ketentuan pasal tersebut juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan atas : 1) Untuk dan atas namanya serta kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini, maka ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berlaku baginya secara pribadi ; 2) Sebagai wakil dari pihak tertentu ; 3) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
41
Salim, Op.Cit, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
b. Asas konsensualitas Menurut asas ini, perjanjian sudah timbul dan mengikat sejak tercapainya konsensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai objek perjanjian meskipun kesepakatan itu telah dicapai secara lisan semata-mata. Asal dari kesepakatan mengenai objek perjanjian ini dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Misalnya dalam perjanjian jual beli, 42 perjanjian dianggap sudah lahir sejak adanya penawaran atas barang dari penjual, dan oleh pembeli penawaran tesebut disetujui saat itulah dianggap perjanjian telah dilahirkan. Asas konsensualitas memperlihatkan, bahwa adanya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. Segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah tercapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas / dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. Ketentuan yang mengatur asas ini dapat terlihat pada pasal mengenai sahnya suatu perjanjian yakni Pasal 1320 KUH Perdata.
42
Kansil, Hukum Dagang Indonesia Buku Ke satu Hukum Dagang Menurut KUHD dan KUH Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal. 195.
Universitas Sumatera Utara
c. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : “1) Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian ; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun ; 3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya ; 4) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan”. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir pada zaman yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobes, John Locke dan Rosseau. 43 Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika asas konsensualitas dasar keberadaan pada poin pertama pasal tersebut yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, maka asas kebebasan berkontrak dasarnya dalam rumusan poin keempat Pasal 1320 KUH Perdata yaitu suatu sebab yang tidak terlarang.
43
Salim,Op.Cit.hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah suatu perbuatan yang terlarang, seperti yang termuat dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu : “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum ”. Asas kebebasan berkontrak ini memungkinkan para pihak untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. 44 d. Asas pacta sunt servanda (perjanjian berlaku sebagai undang-undang) Asas pacta sunt servanda (perjanjian berlaku sebagai undang-undang) diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan : “suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal tersebut merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian”. Jadi perjanjian adalah sumber perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat secara sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal ini salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya,
44
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan(Aanvulend Recht) Dalam Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 275
Universitas Sumatera Utara
maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. 45 Suatu prestasi untuk melaksanakan suatu kewajiban selalu memiliki dua unsur penting. Pertama, berhubungan dengan
tanggung jawab hukum atas
pelaksanaan prestasi tersebut oleh debitur (schuld). Dalam hal ini ditentukan siapa debitur yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh kreditur yang berhak atas
pelaksanaan
kewajiban
tersebut.
Kedua,
berkaitan
pertanggungjawaban
pemenuhan
kewajiban,
tanpa
memperhatikan
dengan siapa
debiturnya (haftung). Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut terletak pada debitur, berarti debitur yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan adalah juga yang seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya didasarkan yang lahir dari hubungan hukum diantara pihak dalam perikatan tersebut. Dalam kontrak demikian, berarti suatu perjanjian tanpa haftung adalah perjanjian yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh kreditur. Perjanjian yang dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang pelaksanaannya ditentukan oleh undang-undang suatu negara. Setiap kreditur yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitur dapat (berhak memaksakan pelaksanaannya) dengan meminta bantuan
45
Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 282
Universitas Sumatera Utara
pada pejabat negara yang berwewenang, yang akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan jaminan harta kekayaan debitur. 4.
Berakhirnya Perjanjian Hapusnya perjanjian berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak
yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur. Dari segi teoritis, hapusnya persetujuan sebagai hubungan hukum antara kreditur dan debitur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh isi perjanjian. Akan tetapi sebaliknya, dengan hapusnya perjanjian belum tentu dengan sendirinya mengakibatkan hapusnya persetujuan. Hanya saja dengan hapusnya perjanjian, persetujuan yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan pelaksanaan. Sebab dengan hapusnya perjanjian berarti pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur. Misalnya perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga barang perjanjian telah dihapus. Akan tetapi persetujuan jual belinya masih tetap ada diantara para pihak. Umpamanya para pihak menyatakan persetujuan jual beli tadi dengan sendirinya perjanjian jual beli hapus. Dan pihak-pihak kembali pada keadaan semula. Jadi pada umumnya jika persetujuannya yang dihapuskan mengakibatkan para pihak harus kembali pada keadaan semula. Seolah-olah diantara para pihak tidak pernah terjadi apa-apa. Akan tetapi kalau perjanjiannya yang hapus, tidak mempunyai akibat dan kembali pada keadaan semula. malah
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi para pihak berada dalam keadaan baru. Pihak pembeli mendapatkan barang dan pihak penjual mendapat harga barang jual barang yang dijual. 46 Sesuai dengan asas bahwa para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan isi perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, maka tentang berakhirnya suatu perjanjian dapat ditentukan juga oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Namun demikian undang-undang ada mengatur cara-cara penghapusan perjanjian yakni di dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Menurut isi pasal tersebut disebutkan beberapa cara-cara penghapusan perjanjian tersebut terdiri atas : a. Pembayaran (betaaling) Yang dimaksud dengan pembayaran oleh hukum perikatan bukanlah sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi pembayaran yang dimaksud dalam Pasal 1381 KUH Perdata adalah setiap tindakan dalam pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun sifat dari prestasi itu. 47 Pada umumnya tindakan pembayaran merupakan tindakan nyata yang mempunyai arti bisa dilakukan tanpa ikatan formalitas dan bebas. Kadang-kadang pembayaran untuk memenuhi prestasi tersebut dapat dilakukan sepihak dan pada hal yang lain dilakukan dengan kerjasama antara debitur dan kreditur. Pihak yang wajib memenuhi prestasi adalah debitur. Namun menurut Pasal 1382 KUH Perdata selain debitur sendiri, orang-orang lain dapat juga memenuhi 46 47
M. Yahya Harahap,Op.Cit,hal. 106. Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Op.Cit, hal. 116.
Universitas Sumatera Utara
prestasi yaitu penjamin atau oleh pihak ketiga yang sama sekali tidak berkepentingan dalam perjanjian. 48 Pihak ketiga ini diperbolehkan melakukan pembayaran prestasi, baik sebagai wakil debitur maupun bersifat sukarela atau membantu debitur . Berbeda halnya dengan Pasal 1400 KUH Perdata yang mengatur tentang penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam perjanjian sebagai akibat pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atas hutang debitur kepada pihak kreditur tetapi untuk perjanjian dan dan isinya tidak berubah. Hal inilah yang disebut dengan subrogasi. Sebagai akibat dari subrogasi ini adalah segala tuntutan yang dimiliki oleh kreditur yang lama beralih kepada pihak ketiga. Maksud dari subrogasi ini tidak lain dari pada untuk memberi kedududukan yang lebih kuat dan terjamin pada pihak yang yang telah bersedia membayar hutangnya. Seolaholah subrogasi tidak lain dari pada pinjaman uang oleh debitur kepada pihak ketiga untuk membayarkan hutangnya kepada kreditur. Dan akibat dari subrogasi ini adalah tuntutan apa saja yang dipunyai kreditur semula terhadap debitur semua beralih secara keseluruhan kepada pihak ketiga, dan dengan terjadinya subrogasi pembayaran kepada kreditur semula benar-benar sudah terlaksana. 49 Namun sekalipun pembayaran sudah terlaksana, perjanjiannya sendiri masih tetap ada, dan tetap bisa ditagih oleh pihak ketiga tadi. Jadi seolah-olah terjadi pembaharuan hutang atau pembaharuan perjanjian dengan pihak ketiga.
48
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal 109 Ibid
49
Universitas Sumatera Utara
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan (konsignasi) atau penitipan Hapusnya perikatan dengan cara seperti ini disebabkan oleh karena kreditur lalai atau enggan menerima pembayaran atau penyerahan benda prestasi. Tindak lanjut yang harus dilakukan setelah kreditur tidak bersedia menerima pembayaran adalah dengan jalan penyimpanan atau penitipan. Hal ini diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata. 50 Menurut Pasal 1405 KUH Perdata ada beberapa syarat sahnya penawaran pembayaran dan konsignasi yaitu : “1) Harus langsung dilakukan oleh debitur kepada kreditur atau wakil atau kuasa yang berhak menerima pembayaran atau penyerahan. Debitur diutamakan dalam hal ini, akan tetapi pihak ketiga dapat bertindak atas nama dan untuk debitur ; 2) Penawaran pembayaran yang diajukan kepada kreditur harus meliputi seluruh hutang yang sudah waktunya dapat ditagih, bunga uang yang sudah dapat ditagih dan ongkos yang telah dikeluarkan serta biaya yang belum dikeluarkan yang diperhitungkan belakangan ; 3) Pembayaran harus berbentuk mata uang resmi yang sah; 4) Penawaran baru diajukan kepada kreditur pada saat pemabayaran yang sudah diperjanjikan telah sampai ; 5) Penawaran ini dilakukan ditempat yang sudah diperjanjikan”. 51 Penawaran ini dilaksanakan didepan Notaris atau juru sita yang didampingi oleh dua orang saksi. Adapun terhadap penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan (konsignasi) atau penitipan ini hanya berlaku pada perikatan-perikatan yang prestasinya berupa memberi barang-barang bergerak.
50 51
Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Op.Cit, hal 128 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 136
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang tidak ada mengatur bagaimana kalau yang harus diberikan itu berupa barang-barang tidak bergerak. 52 c. Pembaharuan hutang (novasi) Pembaharuan hutang (novasi) adalah suatu perjanjian yang menghapuskan perikatan lama akan tetapi pada saat yang sama menimbulkan perikatan baru yang menggantikan perikatan lama. 53 Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam novasi yaitu : “1)
Novasi objektif dapat terjadi dengan mengganti atau mengubah isi perikatan. Penggantian isi perikatan terjadi jika kewajiban debitur untuk memenuhi suatu prestasi tertentu diganti dengan prestasi yang lain. 2) Novasi subjektif pasif dapat terjadi dengan cara expromissie dimana debitur semula diganti oleh dibitur yang baru tanpa bantuan debitur yang lama. 3) Novasi subjektif aktif selalu merupakan perjanjian bersegi tiga, karena debitur perlu mengikatkan dirinya dengan kreditur yang baru”.
Novasi ini hanya dapat terjadi antara orang-orang yang cakap untuk membuat perikatan dan kehendak untuk melakukan novasi harus tegas ternyata dari perbuatannya. Oleh karena pembaharuan hutang (novasi) pada hakikatnya merupakan perikatan baru yang menggantikan perikatan lama, maka segala sesuatu yang mengikuti perikatan lama (seperti hak-hak istimewa dan gadai) tidak ikut berpindah / beralih kepada keperikatan yang baru, kecuali jika diperjanjikan bahwa hak-hak istimewa dan gadai yang menjadi jaminan perikatan lama tidak hapus, tetapi ikut berpindah pada perikatan yang baru. 54
52
Subekti, Op.Cit,hal. 131 Riduan Syahrani, Op.Cit,hal. 290 54 Ibid 53
Universitas Sumatera Utara
d. Pencampuran Hutang Pencampuran utang terjadi karena kedudukan debitur dan kreditur bersatu pada satu orang. Misalnya kreditur meninggal dunia sedangkan debitur merupakan satu-satunya ahli waris. Debitur kawin dengan kreditur dalam persatuan harta perkawinan. Hapusnya perikatan karena pencampuran hutang ini adalah secara otomatis (Pasal 1436 KUH Perdata), artinya demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah pihak tersebut. 55 e. Pembebasan hutang Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya kepada debitur. 56 Undang-undang tidak ada mengatur bagaimana terjadinya pembebasan hutang ini, sehingga menimbulkan persoalan apakah pembebasan hutang ini terjadi dengan perbuatan hukum sepihak atau timbal balik. A. Pitlo berpendapat bahwa “kreditur hanya berhak membebaskan debitur secara sepihak jika ini tidak merugikan debitur”. Jika debitur mempunyai kepentingan terhadap adanya perikatan itu, maka pembebasan sepihak tidak dapat dilakukan. 57 Pembebasan hutang ini tidak bisa dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1438 KUH Perdata yang berbunyi “pembebasan sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”
55
Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Op.Cit, hal 142 Ahmadi Meru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 107 57 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Jakarta : Bina Cipta, 1977), hal. 120 56
Universitas Sumatera Utara
f. Lenyapnya barang yang menjadi hutang. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata manyatakan agar perjanjian dapat berakhir karena lenyapnya barang yang menjadi hutang harus memenuhi beberapa syarat, yakni : “1) Musnahnya barang diluar perbuatan dan kesalahan debitur (overmacht); 2) Musnahnya barang terjadi saat sebelum jatuh tempo penyerahan barang kepada kreditur ; 3) Apabila terjadi sesudah jatuh tempo, debitur terbebas dari kewajiban asal saja seandainya juga telah terjadi penyerahan, barang tersebut tetap musnah oleh sebab peristiwa yang sama”. Dengan
terjadinya
peristiwa-peristiwa
tersebut
di
atas,
yang
mengakibatkan musnahnya barang debitur, maka debitur dibebaskan dari kewajiban-kewajiban memenuhi prestasi terhadap krediturnya. Tetapi apabila pihak debitur mempunyai hak-hak atau tuntutan ganti rugi mengenai musnahnya barang tersebut maka debitur diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutantuntutan tersebut kepada kreditur. 58 g. Pembatalan perjanjian Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada perikatan hukum yang lahir karenanya, karena itu tidak ada perikatan hukum yang hapus. Karena alasan-alasan yang dapat menimbulkan batalnya suatu perikatan adalah kalau suatu perikatan itu cacat pada syarat-syarat objektif saja. Oleh karena itu, katakata batal demi hukum pada Pasal 1446 KUH Perdata itu harus dibaca dengan dapat dibatalkan. 59
58 59
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 296-297 Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Op.Cit, hal 147
Universitas Sumatera Utara
Apabila suatu perikatan cacat pada syarat-syarat subjektif, yaitu salah satu pihak belum dewasa atau kalau perikatan terjadi karena paksaan, penipuan dan kekhilafan maka perikatan itu dapat dibatalkan (Pasal 1446 dan Pasal 1449 KUH Perdata). Dalam keadaan demikian maka akibat-akibat yang timbul dari perikatan itu dikembalikan pada keadaan semula (Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata). Bahwa pihak yang menuntut pembatalan tersebut dapat menuntut penggantian biaya kerugian dan bunga apabila ada alasan untuk itu. 60 h. Lewat waktu. Lewat waktu (daluwarsa) menurut Pasal 1946 KUH Perdata “adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang”. Dalam Pasal 1967 KUH Perdata ditentukan bahwa “segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah menunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan itikadnya yang buruk”. Dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun tersebut maka hapuslah perikatan hukum dan tinggallah perikatan bebas, yaitu suatu perikatan yang boleh
60
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 298
Universitas Sumatera Utara
dipenuhi oleh dibitur, tetapi tidak dapat dituntut oleh kreditur melalui pengadilan. 61
B. Pengaturan Pembiayaan Konsumen Dalam Mendukung Transaksi Konsumen 1. Pengertian Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) Pembiayaan konsumen dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah consumer finance. Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja dengan kredit konsumen (consumer credit). Bedanya hanya terletak pada lembaga yang membiayainya. Pembiayaan konsumen biaya diberikan oleh perusahaan pembiayaan (financing company). Sedangkan kredit konsumen (consumer credit) biayanya diberikan oleh bank. 62 Secara substansial, pengertian pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak berbeda dengan kredit konsumen. Menurut A. Abdurrahman sebagaimana disisir oleh Munir Fuady bahwa “kredit konsumen adalah kredit yang diberikan kepada konsumen guna pembelian barang konsumsi dan jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman yang digunakan untuk tujuan produktif atau dagang”. 63 Kredit yang demikian itu dapat mengandung resiko yang lebih besar dari kredit dagang biasa, maka dari itu, biasanya kredit ini diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi.
61
Ibid Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta : sinar garafika. 2009), hal. 95 63 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktik (Leasing, Factoring, Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), (Bandung : Citra Adtya Bakti, 1995), hal.205 62
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen menurut Pasal 1 angka 6 Keppres No.61 Tahun 1988 jo. Pasal 1 huruf (p) Keputusan Menteri Keuangan No.125/KMK.013/1988 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84 /PMK.012/ 2006 Tentang Perusahaan pembiayaan Pasal 1 huruf (g) serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan maka “Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran”. Berdasarkan defenisi tersebut, Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati telah merinci unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pembiayaan konsumen yaitu sebagai berikut : 64 a. Subjek adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum pembiayaan konsumen, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen (kreditur), konsumen (debitur) dan penyedia barang (pemasok/supplier) ; b. Objek adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi, kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga dan kendaraan ; c. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual beli antara pemasok dan konsumen, perjanjian ini didukung oleh dokumendokumen;
64
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 246
Universitas Sumatera Utara
d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen wajib membiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen dan membayarnya secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib membayar secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen, dan pemasok wajib menyerahkan barang kepada konsumen ; e. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen (debitur)
bahwa
konsumen
dapat
dipercaya
untuk
membayar
angsurannya sampai selesai. Jaminan pokok secara fidusia berupa barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen di mana semua dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan konsumen (fiduciary transfer of ownership) sampai angsuran terakhir dilunasi.
Adapun
jaminan
tambahan
berupa
pengakuan
utang
(promissory notes) dari konsumen. Selanjutnya berdasarkan defenisi beserta unsur-unsur sebagaimana diuraikan di atas, dapat diidentifikasikan karakteristik dari pembiayaan konsumen serta perbedaannya dengan kegiatan sewa guna usaha khususnya dalam bentuk financial lease. Karakteristik dari pembiayaan konsumen yaitu sebagai berikut : 65 a. Sasaran pembiayaan jelas, yaitu konsumen yang membutuhkan barangbarang konsumsi ; b. Objek pembiayaan barang berupa barang-barang untuk kebutuhan atau konsumsi konsumen ;
65
Sunaryo,Op.Cit,hal. 97
Universitas Sumatera Utara
c. Besarnya pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan konsumen kepada masing-masing konsumen relatif kecil sehingga resiko pembiayaan relatif lebih aman karena pembiayaan tersebar pada banyak konsumen ; d. Pembayaran kembali oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan konsumen dilakukan secara berkala atau angsuran. Adapun perbedaan pembiayaan konsumen dengan sewa guna usaha, khususnya yang dengan hak opsi (finance lease) menurut Budi Rachmad adalah sebagai berikut : 66 a. Pada pembiayaan konsumen, pemilikan barang / objek pembiayaan berada pada konsumen yang kemudian diserahkan secara fidusia kepada perusahaan pembiayaan konsumen. Adapun pada sewa guna usaha, pemilikan barang / objek pembiayaan berada pada lessor ; b. Pada pembiayaan konsumen, tidak ada batasan waktu pembiayaan dalam arti disesuaikan dengan unsur ekonomis barang / objek pembiayaan. Adapun pada sewa guna usaha jangka waktu diatur sesuai dengan umur ekonomis objek / barang modal yang dibiayai oleh lessor; c. Pada pembiayaan konsumen tidak membatasi pembiayaan kepada calon konsumen yang telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas. Adapun pada sewa guna usaha calon lessee diharuskan ada atau memiliki syarat-syarat di atas; 66
Budi Rachmad, Multi Finance Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, (Jakarta : Navindo Pustaka Mandiri, 2002 ), hal. 137.
Universitas Sumatera Utara
2. Dasar Hukum Perjanjian Pembiayaan Konsumen a. Segi Hukum Perdata Ada 2 (dua) sumber hukum perdata untuk kegiatan perjanjian pembiayaan konsumen, yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang-undangan di bidang hukum perdata. Dalam asas kebebasan berkontrak hubungan hukum yang terjadi dalam kegiatan pembiayaan konsumen selalu dibuat secara tertulis (kontrak) sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty). Perjanjian pembiayaan konsumen ini dibuat berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak para pihak yang memuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban dari perusahaan pembiayaan konsumen sebagai pihak penyedia dana (fund lender), dan konsumen sebagai pihak pengguna dana (fund user). Perjanjian
pembiayaan
konsumen
(consumer
finance
agreement)
merupakan dokumen hukum utama (main legal document) yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Akibat hukum perjanjian yang dibuat secara sah, maka akan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yaitu perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Konsekuensi yuridis selanjutnya, perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik (in good faith) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak (unilateral
unvoidable).
Perjanjian pembiayaan konsumen berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah bagi perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen. 67
67
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Op,Cit, hal 256
Universitas Sumatera Utara
Perundang-undangan di bidang hukum perdata, perjanjian pembiayaan konsumen merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada ketentuan Buku III KUH Perdata. Di Indonesia, lembaga pembiayaan ini merupakan salah satu lembaga formal yang masih relatif baru. Sumber hukum utama pembiayaan konsumen adalah ketentuan mengenai perjanjian pinjam pakai habis dan perjanjian jual beli bersyarat yang diatur dalam KUH Perdata. Kedua sumber hukum utama tersebut dibahas dalam konteksnya dengan pembiayaan konsumen. Perjanjian
pembiyaan
konsumen
yang
terjadi
antara
perusahaan
pembiayaan kosumen dan konsumen digolongkan dalam perjanjian pinjam pakai habis yang diatur dalam Pasal 1754-1773 KUH Perdata. Pasal 1754 KUH Perdata menyatakan bahwa “pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman menyerahkan sejumlah barang pakai habis kepada pihak peminjam dengan syarat bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama”. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen tergolong perjanjian khusus yang objeknya adalah barang habis pakai yang diatur dalam Pasal 1754-1773 KUH Perdata. Dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut berlaku terhadap perjanjian pembiayaan konsumen dan sudah relevan, kecuali apabila dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang. 68
68
Sunaryo,Op.Cit, hal. 99
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan perjanjian jual beli bersyarat adalah perjanjian yang terjadi antara konsumen sebagai pembeli, dan produsen sebagai penjual, dengan syarat bahwa bahwa yang melakukan pembayaran secara tunai kepada penjual adalah perusahaan pembiayaan konsumen. Perjanjian jual beli ini merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian pembiayaan konsumen sebagai perjanjian pokok. Perjanjian ini digolongkan ke dalam perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457-1518 KUH Perdata, tetapi pelaksanaan pembayaran digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok, yaitu perjanjian pembiayaan konsumen. menurut Pasal 1513 KUH Perdata bahwa pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan menurut perjanjian. Syarat waktu dan tempat pembayaran ditetapkan dalam perjanjian pokok, yaitu pembayaran secara tunai oleh perusahaan pembiayaan konsumen ketika penjual menyerahkan nota pembelian yang ditandatangani oleh pembeli. 69 b. Di luar KUH Perdata Selain dari ketentuan dalam Buku III KUH Perdata yang relevan dengan perjanjian pembiayaan konsumen, ada juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai undang-undang di luar KUH Perdata yang mengatur aspek perdata pembiayaan konsumen. Undang-undang dimaksud adalah sebagai berikut : 1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan pembiayaan konsumen itu mempunyai bentuk hukum berupa perseroan terbatas ;
69
Ibid
Universitas Sumatera Utara
2) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan
pembiayaan
konsumen
sebagai
produsen
melakukan
pelanggaran atas kewajiban dan larangan undang-undang yang secara perdata merugikan konsumen. 70 3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan
pembiayaan
konsumen
berurusan
dengan
pendaftaran
perusahaan pada waktu pendirian, pendaftaran ulang dan pendaftaran likuidasi perusahaan ; 4) Keputusan Presiden No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Di dalamnya memuat tentang pengakuan bahwa pembiayaan konsumen sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga pembiayaan. Bentuk hukum perusahaan pembiayaan konsumen adalah perseroan terbatas atau koperasi, dan dalam kegiatannya dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar (promissory note); 5) Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
1251/KMK.013/1988
tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 468 Tahun 1995. Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini mengatur tentang kegiatan perusahaan pembiayaan konsumen, izin usaha, 70
Herman-notary.blogspot.com/2009/06/dasar-hukum-perjanjian-pembiayaankosumen.html
Universitas Sumatera Utara
besaran modal, pembinaan dan pengawasan, serta sanksi apabila perusahaan pembiayaan konsumen melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dari Keputusan Menteri Keuangan tersebut ; 6) Peraturan Menteri Keuangan No. 84 /PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini mengatur tentang kegiatan
perusahaan
pembiayaan
konsumen,
izin
usaha,
modal,
kepemilikan dan kepengurusan, pembukaan kantor cabang, perubahan nama perusahaan pembiayaan konsumen dan pengawasan ; 7) Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia ini mengatur tentang jenis-jenis lembaga pembiayaan, kegiatan usaha dan pengawasannya. 71
3. Manfaat Perjanjian Pembiayaan Konsumen dalam Mendukung Transaksi Konsumen Kata konsumen dalam bahasa Indonesia merupakan adopsi dari bahasa asing yaitu Inggris consumer dan Belanda consument, secara harfiah diartikan “sebagai orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”. Atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Ada juga yang mengartikan setiap orang yang menggunakan barang atau jasa. Dari pengertian di atas terlihat ada pembedaaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting untuk 71
http://one.indoskripsi.com/node/9359/ 09/0209.htm
Universitas Sumatera Utara
membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi). 72 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 mendefenisikan bahwa “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Defenisi yang dituangkan dalam undang-undang perlindungan konsumen ini memberikan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna terakhir. Dengan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan variasi barang dan atau jasa untuk dikonsumsi, dan dengan didukung perkembangan telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan atau jasa dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi demikian dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Konsumen menjadi dirugikan karena adanya penerapan perjanjian baku atau perjanjian standar oleh pelaku usaha. Karenanya konsumen
72
Arrianto Mukti Wibowo, Kerangka Hukum Digital Signature Dalam ElectronicCommerce,(Depok, Jawa Barat : Fakultas Ilmu Komputer UI, 1999 ), hal. 102
Universitas Sumatera Utara
seharusnya memiliki kesadaran bahwa ia memiliki hak atas barang dan atau jasa yang akan dikonsumsinya. 73 Apabila kedudukan konsumen dihubungkan dengan kedudukan pelaku usaha dalam tataran peralihan barang dan atau pemanfaatan jasa dari pelaku usaha kepada konsumen maka pelaku usaha harus melakukan transaksi konsumen kepada konsumen. Dalam transaksi konsumen, maka setidaknya ada tiga tahapan transaksi yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 74 a. Tahap Pratransaksi Konsumen Pada tahap ini, transaksi atau penjualan / pembelian barang dan / atau jasa belum terjadi. Dalam tahap ini hal yang paling penting bagi konsumen adalah informasi atau keterangan yang benar, jujur, serta akses untuk mendapatkan suatu barang atau jasa yang diinginkannya dari pelaku usaha yang beritikad baik dan bertanggung jawab. Konsumen masih dalam proses pencarian informasi atas suatu barang, peminjaman, pembelian, penyewaan atau leasing.. Kejujuran atas keterangan informasi yang diperlukan konsumen dalam menentukan pilihannya atas barang dan / atau jasa kebutuhannya dan bukan sekedar informasi untuk menarik minat beli konsumen belaka. Dalam penyampaian informasi tersebut antara lain tidak boleh bertentangan dengan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 75
73
Adrian suteti, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor : Ghalia Indonesia Anggota Ikapi, 2008), hal.1 74 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2005), hal. 102-103 75 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999, bab IV, Pasal 8-17
Universitas Sumatera Utara
b. Tahap Transaksi Konsumen Pada tahap ini konsumen melakukan transaksi dengan pelaku usaha dalam suatu perjanjian (jual beli, sewa atau bentuk lainnya). Pada saat ini, telah ada kecocokan pilihan barang dan / jasa dengan persyaratan serta harga yang harus dibayar oleh konsumen. Dalam tahap transaksi ini yang menentukan adalah syarat-syarat perjanjian pengalihan pemilikan barang dan / atau pemanfaatan jasa tersebut. Dalam kaitan ini perilaku pelaku usaha sangat menentukan seperti keberadaan klausul baku yang mengikuti transaksi dan persyaratan-persyaratan penjaminan jika ada. Pelaku usaha dan konsumen yang terkait dalam taransaksi konsumen betul-betul harus beritkad baik sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. c. Tahap Purnatransaksi Konsumen
Tahap ini merupakan tahap pemakaian, yaitu penggunaan dan / atau pemanfaatan barang dan / atau jasa yang telah beralih kepada pemiliknya atau pemanfaatannya dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada tahap ini jika informasi barang dan / atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha sesuai dengan pengalaman konsumen dan pemakaian, yaitu penggunaan dan / atau pemanfaatan produk konsumen tersebut, maka konsumen akan puas. Bahkan, bukan tidak mungkin konsumen tersebut akan menjadi langganan tetap pelaku usaha tertentu itu. Akan tetapi, apabila sebaliknya yang terjadi, artinya informasi produk konsumen yang yang diperoleh tidak sesuai dalam kenyataan pemakaian, yaitu penggunaan atau pemanfaantannya oleh konsumen, maka tentulah akan timbul masalah
Universitas Sumatera Utara
antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan. Maka dengan adanya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadikan pelaku usaha harus jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. Berdasarkan ketiga tahapan yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa manfaaat yang dapat diperoleh para pihak yang melakukan perjanjian pembiayaan konsumen dalam mendukung transaksi konsumen yang dilakukan dalam kontrak baku antara lain yaitu : 76 1) Bagi Supplier Manfaat yang utama bagi supplier dangan adanya perusahaan pembiayaan konsumen adalah adanya peningkatan penjualan. Daya beli dan kemampuan arus kas dari calon konsumen akan membeli barang pada supplier sangat beragam. Konsumen tertentu mempunyai kemampuan untuk membayar secara tunai dan mempunyai niat untuk membeli barang pada supplier yang bersangkutan. Di samping itu, dalam kenyataannya terdapat juga konsumen yang mempunyai niat untuk membeli barang dari supplier tersebut, namun tidak cukup mempunyai uang tunai. Perusahaan pembiayaan konsumen menjembatani kepentingan konsumen semacam ini, sehingga penjualan barang oleh supplier tidak hanya dapat dilakukan pada konsumen yang mempunyai cukup dana tunai, melainkan juga pada konsumen yang memiliki keterbatasan dana tunai. Manfaaat di atas yang dapat ditinjau dengan pendekatan lain yaitu, apabila supplier melakukan 76
http://yahyazein.blogspot.com/2008/06/kontrak-standar-baku-pengembang.html
Universitas Sumatera Utara
penjualan dengan cara kredit maka dana tunai akan diterima secara bertahap dan setelah jangka waktu yang tertentu. Dengan adanya perusahaan pembiayaan konsumen, maka supplier dapat memperoleh pembayaran secara tunai dan angsuran konsumen dialihkan pada perusahaan pembiayaan konsumen. Resiko tidak terbayarnya kredit konsumen yang semula ditanggung oleh supplier juga dapat dialihkan kepada perusahaan pembiayaan konsumen. 2) Bagi konsumen Manfaat utama yang diperoleh konsumen adalah kesempatan untuk membeli atau memiliki barang meskipun dana yang tersedia saat ini belum cukup untuk menutup seluruh harga barang dan jasa. Singkatnya konsumen tidak harus membeli tunai atau dapat membeli secara kredit. Apabila pembiayaan konsumen ini dibandingkan dengan kredit bank, maka pembiayaan konsumen mempunyai manfaat atau keunggulan lain bagi konsumen. Di samping memperoleh pembiayaan dari perusahaan pembiayaan konsumen untuk pembelian barangbarang, konsumen sebenarnya juga bisa memperoleh pembiayaan dari kredit bank.Keunggulan pembiayaan konsumen dibandingkan dengan kredit bank antara lain: 77 a) Prosedur yang lebih sederhana ; b) Proses persetujuan yang biasanya cepat ; c) Perusahaan pembiayaan konsumen biasanya tidak mensyaratkan penyerahan agunan tambahan sepanjang konsumen atau debitur cukup layak untuk dipercaya kemampuan dan kemauannya untuk memenuhi kewajibannya. d) Konsumen tertentu (terutama di Indonesia) mengalami keengganan untuk berhubungan dengan bank dalam hal peminjaman dana 77
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global,(Bogor : Ghalia Indonesia, 2005) h. 102-103.
Universitas Sumatera Utara
karena minimnya informasi tentang jasa-jasa bank dan cara berhubungan dengan bank. Mengingat keunggulan-keunggulan tersebut banyak konsumen yang lebih menyukai menggunakan jasa pembiayaan konsumen dalam pembelian barang secara kredit, meskipun besarnya bunga yang harus dibayar seringkali lebih besar dari pada bunga kredit bank. 3) Bagi perusahaan pembiayaan konsumen Manfaat utama yang dapat diperoleh perusahaan pembiayaan konsumen adalah penerimaan harga dan biaya administrasi yang dibayarkan oleh konsumen. Tingkat harga yang ditetapkan perusahaan pembiayaan konsumen biasanya lebih tinggi daripada tingkat harga kredit bank. Hal ini sebagai konsekuensi / kompensasi dari besarnya resiko yang relatif besar daripada penyaluran dana bank dalam bentuk kredit pada debiturnya. 78 Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pembiayaan konsumen atas barang yang mereka inginkan maka ini akan memberikan manfaat kepada perusahaan untuk mengembangkan dan meningkatkan pelayanan kepada debitur bahwa debitur percaya dengan perusahaan mereka.
4. Para Pihak Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen a. Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Kreditur) Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha berbentuk PT atau koperasi yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang
78
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak,( Universitas Indonesia : Fakultas Hukum, Pascasarjana 2004), hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. perusahaan tersebut menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga barang secara tunai kepada supplier. Antara perusahaan dan konsumen harus ada terlebih dahulu kontrak pembiayaan konsumen yang sifatnya pemberian kredit. Dalam kontrak tersebut, perusahaan wajib menyediakan kredit sejumlah uang kepada konsumen sebagai harga barang yang dibelinya dari supplier, sedangkan pihak konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada perusahaan tersebut. 79 Kewajiban pihak-pihak dilaksanakan berdasarkan kontrak pembiayaan konsumen. Sejumlah uang dibayarkan tunai kepada supplier untuk kepentingan konsumen. Pihak konsumen wajib membayar secara angsuran sampai lunas kepada perusahaan sesuai dengan kontrak selama angsuran belum dibayar lunas, maka barang milik konsumen tersebut menjadi jaminan hutang secara fidusia. 80 b. Konsumen (Debitur) Konsumen adalah pihak pembeli barang dari supplier atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. konsumen tersebut dapat berstatus perorangan dapat pula badan hukum. Dalam hal ini ada 2 (dua) hubungan kontraktual yaitu : 1) Perjanjian pembiayaan yang bersifat kredit antara perusahaan dan konsumen 2) Perjanjian jual beli antara supplier dan konsumen yang bersifat tunai. 79
Budi Rachmad,Op.Cit, hal.121 Ibid
80
Universitas Sumatera Utara
Pihak konsumen umumnya masyarakat karyawan, buruh tani, yang berpenghasilan menengah kebawah yang belum tentu mampu bila membeli barang kebutuhannya itu secara tunai. Dalam pemberian kredit ini, resiko menunggak angsuran merupakan hal yang biasa terjadi. Oleh karena itu, pihak perusahaan dalam pemberian kredit kepada konsumen masih memerlukan jaminan terutama jaminan fidusia atas barang yang dibeli itu, di samping pengakuan hutang dari pihak konsumen. Dalam perjanjian jual beli antara supplier dan konsumen, pihak supplier menetapkan syarat bahwa harga barang akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Apabila karena alasan apapun, perusahaan tersebut melakukan wanprestasi, yaitu tidak melakukan pembayaran sesuai dengan kontrak, maka jual beli antara supplier dan konsumen akan dibatalkan. Dalam perjanjian jual beli, pihak supplier (penjual) menjamin barang dalam keadaan baik, tidak ada cacat tersembunyi. 81 c. Supplier / Dealer Supplier /dealer adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas pembayaran oleh pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. hubungan kontraktual antara supplier dan konsumen adalah jual beli bersyarat. Syarat yang dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. antara perusahaan pembiayaan dan konsumen terdapat hubungan kontraktual, dimana konsumen wajib membayar harga barang secara
81
Sunaryo,Op.Cit,hal. 105
Universitas Sumatera Utara
angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen yang telah melunasi harga barang tersebut secara tunai kepada supplier / dealer. 82 Antara perusahaan pembiayaan dan supplier tidak ada hubungan kontraktual, kecuali sebagai pihak ketiga yang diisyaratkan. Oleh karena itu, apabila perusahaan pembiayaan melakukan wanprestasi, padahal kontrak jual beli dan kontrak pembiayaan telah selesai dilaksanakan, maka jual beli bersyarat tersebut dapat dibatalkan oleh supplier. 83
82 83
Ibid 104-105 Ibid
Universitas Sumatera Utara