33
BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEWENANGAN DENSUS 88 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORIMSE Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Dalam Negara yang berdasarkan hukum mewajibkan semua tindakan Negara dan pemerintah senantiasa didasarkan pada asas-asas dan aturan hukum tertentu baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu, makna inti dari prinsip ini adalah bahwa semua tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk seluruh tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Publik. 43 Pasca kasus peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 dan melihat Semakin
merajalelanya
aksi-aksi
terorisme
melalui
serentetan
aksi-aksi
pembomannya yang meresahkan banga Indonesia, pemerintah segera melakukan langkah-langkah darurat serta reaksi cepat untuk merespon aksi terorisme. Pada tanggal 18 Oktober 2002, Pemerintah Indonesia segera memasukkan agenda pemberantasan tindak pidana terorisme ke dalam kebijakan politik dan keamanan nasional dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
2002
tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, dan instruksi Presiden 43
Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011 Halaman 204.
Universitas Sumatera Utara
34
Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, diikuti dengan Penetapan Surat Keputusan Menko Polkam Nomor Kep 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang bekerja di level nasional sebagai satuan Pelaksana Tugas di bawah Presiden. Pada Tahun 2003 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tertanggal 4 April 2003, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang. Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut, Presiden Republik Indonesia segera meminta Kapolri untuk membentuk satuan khusus guna menanggulangi aksi terorisme di Indonesia yaitu dengan dibentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri atau yang biasa disebut dengan Densus 88 AT dengan Skep Kapolri No. Pol: Kep/30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang. Pembentukan Densus 88 Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004. Adapun secara struktural, Densus 88 Anti Teror tingkat pusat berada dibawah Badan Reserse Kriminal (BARESKRIM) Mabes Polri dipimpin oleh Komandan Detasemen berpangkat Brigjen Polisi dan dibantu wakil detasemen (waden). Sedangkan pada tingkat Polda, Densus 88 berada dibawah Direktorat
Universitas Sumatera Utara
35
Serse (Dit Serse) dipimpin oleh komandan berpangkat Perwira menengah Polisi (Pamen Pol). Dalam menjalankan operasinya, komandan densus 88 memiliki empat pilar pendukung setingkat Sub-Detasemen, yakni Subden bantuan yang bekerja dibawah naungan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berbicara tentang tindakan Densus 88 dalam pemberantasan serta penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia telah diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berisikan wewenang-wewenang Densus 88. Selain itu dalam hal proses beracara dalam kasus pidana dipakai juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Secara struktural Densus 88 Anti Teror adalah bagian integral dari Kepolisian
RI
yang
mempunyai
fungsi
dan
tugas
pokok
di
bidang
penanggulangan kejahatan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 yang berbunyi: 44 a. Detasemen Khusus 88 AT adalah unsur pelaksana tugas pokok di bidang penanggulangan kejahatan terorisme yang berada dibawah Kapolri. b. Densus 88 AT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme.
44
PP Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 23 ayat (1) dan (2).
Universitas Sumatera Utara
36
Berdasarkan fungsi dan tugas pokok tersebut maka Densus 88 AT memiliki kewenangan melakukan penangkapan sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”. Hal tersebut disebabkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme tidak mengatur kewenangan penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror sehingga landasan yuridis penangkapan tersangka Tindak Pidana Terorisme didasarkan pada KUHAP sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) UndangUndang Tindak Pidana Terorisme yang berbunyi : Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Dengan demikian penangkapan tersangka tindak pidana terorisme oleh Densus 88 Anti teror pada prinsipnya telah memiliki landasan hukum (legalitas) , walaupun secara empiris (praktek) terdapat fakta berupa meninggalnya ataupun menyebabkan luka-luka pada tersangka tindak pidana terorisme yang kini dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM)..
Bila merujuk lagi pada Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka kita dapat melihat kembali bahwa tugas dan fungsi dari Densus 88 AT Polri secara spesifik adalah untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi teror dengan modus peledakan bom.
Universitas Sumatera Utara
37
Dengan penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana tugas penanggulangan teror dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
2.1 Kewenangan densus 88 dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Diterbitkannya undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang, menjadikan upaya pemberantasan terorisme di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat serta memiliki kepastian hukum, tentunya tanpa mengabaikan prinsip supremasi hukum, non-diskirminasi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. 45 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur terorisme dalam Pasal 1 ayat (1) Undangundang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di atas adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
45
Mardenis, Op.cit halaman 421
Universitas Sumatera Utara
38
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban secara masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. 46 Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat di dalam rumusan Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikualifikasikan sebagai delik materil. Disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 bahwa tindakan tersebut diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 memberikan penekanan pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan kehancuran. Adapun yang dimaksudkan dengan kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
membagi
perbuatan-perbuatan
yang
melanggar
dan
berhubungan dengan tindak pidana terorisme dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : a. Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam Bab III, dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 19.
46
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6 dan Pasal 7
Universitas Sumatera Utara
39
b. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam Bab III, dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 24.
Mengenai delik formil Tindak Pidana Terorisme terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bunyi rumusan Pasal 7 adalah: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancama kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Dalam hal ini perbuatan yang dilarang yang dikategorikan sebagai kegiatan terorisme adalah bermaksud melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan di mana perbuatan itu dapat menimbulkan suasana teror di tengah-tengah masyarakat. Undang-undang No. 15 Tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membatasi atau mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik. Pengaturannya dirumuskan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa: tindak pidana terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik yang menghambat proses Ekstradiksi. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjelaskan bahwa Ketentuan ini
Universitas Sumatera Utara
40
dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan penghukuman terhadap pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain. 47 Mengenai subyek hukum pelaku tindak pidana terorisme dari perumusan Pasal 17 dan Pasal 18 dapat diketahui bahwa undang-undang terorisme: a. Mengakui subyek hukum korporasi (legal person), disamping pribadi alamiah (natural person). b. Terorisme yang dilakukan oleh korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dijatuhkan kepada: 1) Korporasi saja; 2) Korporasi dan pengurusnya; 3) Pengurusnya saja. c. Korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh orang / atau orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersamasama tidak hanya berdasarkan hubungan kerja, tetapi juga atas dasar hubungan lain. Korporasi sudah dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh orang/atau orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama apabila dapat dibuktikan adanya hubungan kerja atau hubungan lain. 47
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme bagian Penjelasan pasal 5
Universitas Sumatera Utara
41
d. Jenis pidana yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda yaitu paling banyak satu triliun rupiah. Namun demikian korporasi juga dapat dibekukan atau dicabut atas izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. 48 Pasal 17 dan 18 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjelaskan bahwa disamping orang secara pribadi, kejahatan terorisme dapat juga dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Akan tetapi dalam Undangundang pemberantasan tindak pidana terorisme ini tidak mengatur tentang pertanggungjawaban pengurus dan pimpinan korporasi. Meskipun pasal 17 sudah menentukan pertanggungjawaban pengurus namun tidak disebutkan sanksinya. Seharusnya pengurus korporasi sebagai pengambil keputusan juga dikenai pidana badan karena mengetahui dan memutuskan hal yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. 49 Densus 88 dalam hal penangkapan memiliki kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun selama 7 kali 24 jam. Hal ini sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 28. 50 Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:
48
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 178 Ali Masyhar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik Atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009, Hal 120. 50 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 26 dan Pasal 28 49
Universitas Sumatera Utara
42
a. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen. b. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. c. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. d. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan. Menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme. Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (1) diatas menyebutkan bahwa: yang dimaksud dengan laporan intelejen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelejen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertanahan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelejen Negara, atau instansi lainya yang terkait. Jadi pasal ini memberikan kewenangan khusus kepada penyidik dalam hal ini Densus 88 untuk menggunakan setiap laporan intelejen sebagai bukti permulaan yang cukup. Terkait batas waktu penangkapan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan penyimpangan dari ketentuan KUHAP Pasal 19 ayat (1) yang
Universitas Sumatera Utara
43
menetapkan batas waktu penangkapan paling lama 1 x 24 jam. 51 Sementara itu, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme dalam Pasal 28 menetapkan batas waktu penangkapan 7 x 24 jam. Jangka Waktu Penangkapan yang diatur dalam Pasal 28, menyebutkan: 52 “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.” Pasal ini memberikan wewenang kepada penyidik (Densus 88) dalam hal jangka waktu penangkapan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 19 Ayat (1) paling lama satu hari (1 x 24 jam) di perpanjang menjadi satu minggu atau (7 x 24 jam). Tujuan dilakukannya penangkapan tentu saja adalah demi kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Mengenai kewenangan untuk melakukan Penahanan diatur dalam Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang nomor 15 Tahun 2003, yang menyebutkan“Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.” 53 Jangka waktu penahanan dalam proses penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum sampai 40 (empat puluh) hari, maka jangka waktu penahanan selama proses penyidikan adalah 60 hari dan 51
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 19
ayat 1 52
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 28 53 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme Pasal 25
Universitas Sumatera Utara
44
penahanan selama proses penuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh ketua Pengadilan Negeri hingga 30 (tiga puluh) hari, jadi jumlah penahanan selama proses penuntutan adalah 50 hari sehinggah total jangka waktu penahanan selama proses penyidikan dan penuntutan adalah 110 (seratus sepuluh) hari. Sedangkan Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jangka waktu penahanan adalah 6 (enam) bulan yang artinya 180 (seratus delapan puluh) hari.
Perluasan Alat Bukti diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang berbunyi,Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : 1) tulisan, suara, atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Ketentuan ini memberikan wewenang yang lebih luas kepada penyidik yang adalah Densus 88 dalam hal alat bukti. Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dimaksud dengan alat bukti hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
Universitas Sumatera Utara
45
keterangan terdakwa, namun dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 alat bukti diperluas dengan bukti elektronik bahkan gambar, peta, suara, foto atau sejenisnya.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang berbeda dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Karena sifatnya sebagai
Undang-Undang yang khusus, maka hal tersebut bukanlah
merupakan penyimpangan asas, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuanketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Ditinjau dari optik yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki kekhususan lain meliputi: 54
54
Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Penerbit Djmabatan, Jakarta, 2007, Halaman 14-15
Universitas Sumatera Utara
46
1. Sebagai ketentuan payung hukum terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. Juga bersifat ketentuan khusus yang di perkuat sanksi pidana dan sekaligus koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan perundang-undangan lainnya. 2. Adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut “safe guarding rules”. Kemudian, adanya lembaga hukum baru yang berfungsi sebagai lembaga pelaku “legal audit” terhadap seluruh dokumen atau laporan intelijen dari penyelidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme. 3. Adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakakn secara lebih efektif. 4. Ketentuan undang-undang memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas antiteror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan/ atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle). Kemudian adanya yurisdiksi kepada asas terirorial, ekstraterirorial, dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak pidana terorisme.
Universitas Sumatera Utara
47
5. Adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana terorisme, kemudian ketidakberlakuan tindak pidana terorisme bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, baik melalui unjuk ras, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut terjadi tindakan yang mengandung unsur pidana maka diberlakukan kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundangundangan diluar kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 6. Dikenal, diakui, dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme. Dikaji dari perspektif jenis sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort), maka Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ada secara alternatif menganut eksistensi pidana mati dalam ketentuan pasal 6, pasal 9, dan pasal 14. 55 Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana terorisme dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengalami beberapa perubahan-perubahan. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli ada beberapa usulan yang masuk ke dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Seperti usulan pencabutan paspor bagi WNI yang berpergian ke Suriah atau Negara Konflik. Selanjutnya, penetapan 55
Ibid, Halaman 42
Universitas Sumatera Utara
48
barang bukti untuk menindak terduga teroris tidak harus mendapatkan izin dari hakim ketua pengadilan, tetapi cukup hakim saja. Selanjutnya, point usulan draf revisi Undang-Undang No 15 Tahun 2003 juga menampung untuk melibatkan peran serta kepala daerah dan masyarakat mencegah aksi terorisme. Kemudian, penahanan masa tahanan bagi terduga terorisme. 56
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan juga mengatakan, ada beberapa isi pasal yang menjadi bahan revisi dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme. Adapun draf revisi UU Terorisme itu terdiri atas tujuh poin penting. Berikut penjelasan Luhut di setiap poin tersebut: 1. soal perluasan definsi dari terorisme dan kekerasan. Dalam revisi UndangUndang Terorisme, di sana diperjelas apa itu terorisme dan bentuk kekerasan, seperti ancaman dan perbuatan yang merugikan Negara. 2. pada revisi Undang-Undang Terorisme tersebut juga dijelaskan bahwa polisi sudah bisa menangkap orang yang terlibat dalam jaringan terorisme. Indikator orang tersebut bisa ditangkap apabila ia berkumpul dan melakukan pertemuan dengan membahas aksi-aksi teror dan menyerempet pada aksi radikalisme. 3. dari perkumpulan tersebut, polisi bisa menahan mereka dengan maksimal masa tahanan 30 hari. Selain itu, pada saat penuntutan, akan ditambah 120 hari masa penahanan sebelum perkaranya diputuskan. 4. polisi juga bisa menahan mereka dengan berbekal minimal dua alat bukti. Jika sebelumnya alat bukti harus berupa aksi dan bentuk ancaman, saat ini jika para pelaku terduga teror melakukan komunikasi via surat elektronik dan alat elektronik lainnya bisa dijadikan alat bukti. Selain itu, analisis transaksi keuangan juga menjadi salah satu alat bukti. 5. poin kelima adalah soal deradikalisasi. Jika selama ini aksi pencegahan dan deradikalisasi tidak masuk dalam Undang-Undang Terorisme, dalam revisi ini dimasukkan. Di sana, disebutkan deradikalisasi bersifat holistis dan melibatkan tujuh kementerian terkait. Pendekatan dilakukan secara soft approach dengan pendekatan agama, psikologi, pendidikan dan vocational. 56
http://www.Merdeka.com/peristiwa/ini-poin-poin-dalam-draf-revisi-uu-terorisme.html diakses pada hari rabu tanggal 22 Juni pukul 21.14
Universitas Sumatera Utara
49
6. Para narapidana terorisme nantinya akan dibedakan selnya. tidak ada lagi pencampuran tahanan. Semuanya dikelompokan menjadi kelompok berbeda. Mana yang otak pelaku, mana yang jadi aktor lapangan, dan mana yang hanya ikut-ikutan. 7. tidak ada poin penambahan kewenangan pada Badan Intelijen Negara (BIN) atau TNI. Nantinya, dua lembaga yang sebelumnya digembargemborkan akan ditambah kewenangannya ini tetap bekerja sesuai tupoksinya. Luhut menegaskan, Undang-Undang ini tidak hanya berlaku pada gerakan radikal yang kerap menyasar para umat Muslim. Bagi siapa saja yang masuk dalam kategori membahayakan Negara, bisa dikenakan pasal ini.
2.2
57
Kewenangan densus 88 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan lex specialis yang menangani atau mengatur perkara-perkara tindak pidana terorisme, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan lex generalis. Akan tetapi, bukan berarti bahwa segala sesuatu atau yang bersifat khusus harus meniadakan atau menghapus yang sifatnya umum, sebab ada kalanya bahwa yang bersifat khusus itu masih membutuhkan hal-hal yang bersifat umum untuk memperoleh suatu kejelasan tertentu. 58 Oleh sebab itu, ketentuan pada pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa: 59
57
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/02/02/olvrxi361-ini-7-poin-drafrevisi-uu-terorisme-part3 diakses pada hari rabu tanggal 25 Mei 2016 Pukul 14.36 58 Muzakkir Samidan prang, op.cit, halaman 138 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 103
Universitas Sumatera Utara
50
“ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai BAB VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain.
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Adapun pidana pokok meliputi: a. pidana mati b.
pidana penjara
c. pidana kurungan d. pidana denda sedangkan pidana tambahan meliputi: a. pidana pencabutan hak-hak tertentu b.
pidana perampasan barang-barang tertentu
c.
pidana pengumuman putusan hakim
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa jenis alasan penghapus pidana yakni: 60 a. Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan. b. Pasal 48: daya paksa.
60
Serjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, 2008, Jakarta Halaman 124
Universitas Sumatera Utara
51
c. Pasal 49: Ayat (1) pembelaan terpaksa. d. Pasal 49: Ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas. e. Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah. f. Pasal 51: Ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang. g. Pasal 51: Ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika bawahan itu dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini dibeda-bedakan menjadi alasan, pembenar, alasan pemaaf, alasan penghapus tuntutan. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Alasan penghapus penuntutan disini persoalannya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan, yang menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Jika perkaranya tidak dituntut tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Alasan-alasan peniadaan pidana (Straf Uitsluitings Gronden) adalah alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang
Universitas Sumatera Utara
52
memenuhi rumusan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipidana. 61 Pertama dilihat dari segi sumbernya, maka dasar peniadaan pidana dibagi atas dua kelompok, yaitu yang tercantum di dalam undang-undang dan yang lain terdapat di luar undang-undang diperkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin. Tercantum di dalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum (terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas semua rumusan delik. Yang khusus, tercantum di dalam Pasal tertentu yang berlaku untuk rumusan-rumusan delik itu saja. 62 Kedua istilah “dasar pembenar (rechtvaardigingsgronden), dan dasar pemaaf” (schulduitsluitingsgronden) sangat penting bagi acara pidana, sebab apabila dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum, sedangkan “melawan hukum” itu merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya ialah bebas sedangkan kalau kesalahan tidak ada atau dasar pemaaf ada, maka putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum. Pembedaan antara dasar pembenar dan dasar pemaaf ini berasal dari sarjana Jerman Von Liszt dan sarjana Perancis Mariauel. 63 Mengenai Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam Pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Menurut penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak
61
Prodjodikoro, Wiryoono; Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2003 Halaman 67 62 Ibid 68 63 Bambang Abimanyu, Teror Bom Di Indonesia, Grafindo, Jakarta, 2005, halaman 69.
Universitas Sumatera Utara
53
dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan. Berdasarkan literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutak, bisa disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adalah berlebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal yang seseorang karena ancaman terpaksa melakukan delik. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul siva. 64 Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah yang disebabkan oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di muka) sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan atau keharusan. Asas ini disebut asas subsidiaritas (subsidiariteit). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan Perlindungan hukum kepada Densus 88 AT dalam pelaksanaan tugasnya, tidak hanya terbatas
64
Prodjodikoro Wiryono, op.cit, Halaman 75
Universitas Sumatera Utara
54
pada sanksi pidana bagi setiap orang yang berupaya menghalang-halangi tugas polisi, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 212 KUHP dan Peraturan Perundangundangan lainnya, tetapi juga meluas sampai dengan diberikannya jaminan untuk tidak dipidana atas apa yang telah diperbuatnya, sepanjang perbuatannya dalam rangka melaksanakan perintah jabatan (Negara). 65 Dikaitkan dengan tugas seorang anggota Densus 88, umumnya anggota Densus 88 tidak berkuasa untuk mengunakan kekuatan senjata api atau melakukan tembak ditempat begitu saja pada seorang. Namun dalam keadaan tertentu dan sangat memaksa dapat dilakukan sebagaimana tercantum dalam pasal 48 KUHP. Misalnya, apabila Densus 88 tidak menembak sasaran penjahat kelas kakap seperti teroris yang sangat meresahkan masyarakat, tentu akan mengakibatkan pelaku lolos dari kejaran. Jika penjahat atau teroris yang sangat berbahaya lolos, akan menimbulkan keresahan pada masyarakat, sehingga aparat kepolisian dianggap gagal dalam memberikan keamanan pada masyarakat. Dengan kondisi demikian, aparat kepolisian diperkenankan menggunakan kekuatan senjata, dan apabila akibat penggunaan senjata tersebut menimbulkan kerugian, baik jiwa maupun harta benda, maka berdasarkan pasal 48 KUHP, aparat kepolisian harus dibebaskan dari melakukan tindak pidana. Pasal 48 KUHP selengkapnya berbunyi: barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. 66
65
Dikdik M. Arief Mansur,op.cit Halaman 38
66
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 48
Universitas Sumatera Utara
55
Dasar pemberian hak kekebalan kepada anggota Densus 88 dapat juga diberikan berdasarkan pada pasal 49 KUHP jika kedudukan atau situasi anggota Densus 88 sudah sangat terjepit oleh suatu keadaan yang diciptakan oleh orang yang hendak ditangkap misalnya adanya suatu keadaan dimana anggota Densus 88 harus melakukan pembelaan diri karena si pelaku tindak Pidana Terorisme telah mengancam jiwa dan raganya atau orang lain. Pasal 49 KUHP ini dikenal dengan “pembelaan diri dengan terpaksa, yang menentukan sebagai berikut: 67 a. barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum b. Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. Pasal lain dalam KUHP yang memberikan kewenangan bebas kepada anggota Densus 88 untuk melaksanakan tugasnya tanpa dapat dipidana adalah Pasal 50 KUHP yang menyatakan: “Barang siapa yang malakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Terhadap pasal 50 KUHP ini, R. Soesilo memberikan pendapat bahwa dalam pasal 50 KUHP diletakkan suatu prinsip bahwa apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh suatu undang-undang tidak mungkin untuk diancam hukuman dengan undangundang yang lain. 68
67
Kitab Undang-Undang hukum Pidana Pasal 49 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politea, Bogor 1997, Halaman 25 68
Universitas Sumatera Utara
56
Selanjutnya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 51 menyatakan: a. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. b. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenag dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.
Perintah jabatan itu dikatakan sah, apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberi perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinasi. Hubungan itu harus bersifat hukum publik. b. Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan jabatannya yang bersifat publik tersebut. c. Perintah jabatan yang diberikan itu harus termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.
Menurut Vos, mengenai ketentuan Ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
a. Syarat subjektif: pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang. b. Syarat objektif: pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Universitas Sumatera Utara
57
2.3
Kewenangan densus 88 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Status atau eksistensi kepolisian dalam perspektif Sistem Peradilan pidana (SPP) yaitu sebagai bagian integral dari Sistem Peradilan Pidana. Status Polri sebagai komponen/unsur/subsistem dari SPP sudah jelas terlihat dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu sebagai “Penyelidik dan Penyidik”. 69 Susunan dan kedudukan kepolisian negara republik Indonesia juga dapat kita ketahui dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang tercantum pada BAB II Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.2 Tahun 2002. Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap Polisi memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada bagian menimbang menyebutkan bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang 69
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Halaman 48
Universitas Sumatera Utara
58
meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam hal ini Densus 88 yang juga merupakan satuan tugas dari markas besar Polri berada pada naungan setiap peraturan Polri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 70
Pencegahan terjadinya kejahatan sebenarnya merupakan salah satu tugas yang diamanatkan kepada Polri dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menyatakan tugas pokok kepolisian Republik Indonesia adalah: 71 a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan masyarakat.
pelayanan
kepada
Polri dalam rangka menyelenggarakan tugasnya sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: 72 a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; 70
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 29 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009, Halaman 31 72 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) 71
Universitas Sumatera Utara
59
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Dalam Kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, pada diri setiap anggota Polri melekat beberapa kewenangan khusus kepolisian di bidang proses pidana, yang mana menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 meliputi kewenangan untuk: a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
Universitas Sumatera Utara
60
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada Pasal 16 Ayat 1 diatas kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledaan, dan penyitaan ataupun melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan seperti dalam Pasal 16 Ayat 1 huruf b, ataupun membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan, hal-hal lain yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 16 Ayat 1 huruf (l) memberikan wewenang kepada Densus 88 untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab menurut hukum. Lebih jelasnya Pasal 16 Ayat (1) huruf l berbunyi “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.” Ketentuan dalam pasal ini memberikan peluang kepada kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak atau melakukan sesuatu yang tidak tertulis dalam ketentuan hukum namun harus memperhatikan unsur “bertanggung jawab” dengan kata lain undang-undang memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan tindakan lain yang dianggap perlu.
Universitas Sumatera Utara
61
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur hal yang hampir sama dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf l adalah Pasal 18 Ayat (1), dimana pasal ini mengatur tentang “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Pasal 18 Ayat (1) undang-undang kepolisian juga memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk melakukan sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang seperti yang terdapat dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 18 Ayat (1) berbunyi: Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pasal 16 Ayat (1) huruf l mengatur tentang “tindakan lain” yang dapat dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam proses penyelidikan dan penyidikan, sedangkan dalam Pasal 18 Ayat (1) mengatur tentang “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri” dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk kepentingan umum. Dengan Pasal 18 Ayat (1) memberikan kekuasaan atau wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf l. Pasal 18 inilah yang menjadi dasar dari diskresi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian ini ditentukan bahwa yang dimaksud dengan” bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya
Universitas Sumatera Utara
62
dan betul-betul untuk kepentingan umum. Dari perkataan “umtuk kepentingan umum” ini, seorang anggota polri dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri serta dapat diketahui bahwa anggota tersebut memiliki kebebasan untuk menilai apakah dalam keadaan tertentu ia harus bertindak atau tidak. Kebebasan dalam pengertian ini tidak berarti bahwa seorang anggota kepolisian bebas sepenuhnya tanpa suatu batasan dalam bertindak, tetapi dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi kepolisian. Dalam pelaksanaan Tugas Densus 88 Misalnya, pertimbangan untuk menggunakan senjata api yang ada padanya harus didasarkan kepada suatu keadaan yang sangat perlu atau bersifat darurat. Keadaan yang sangat perlu dan darurat dapat diartikan, bahwa tidak ada lagi tindakan lain yang dapat dilakukan oleh anggota Densus 88 untuk menghadapi situasi atau keadaan yang sedang dialami atau yang harus diatasinya, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang untuk memberantas Tindak Pidana terorisme. 73
Kewenangan untuk menggunakan senjata api memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum (yustisia), tak terkecuali aparat Densus 88. Namun kewenangan tersebut hanya boleh dilakukan ketika polisi (termasuk aparat Densus 88) berada dalam kondisi genting dan terdesak sebagaimana yang disyaratkan dalam
aturan
kepala
kepolisian
dan
standard
operasional
prosedure
(SOP).Kemendesakan ini harus menjadi tolak ukur setiap aparat Densus 88. 73
Dikdik M. Arief Mansur, op.cit, Halaman 313-314
Universitas Sumatera Utara
63
Jangan sampai kewenangan khusus yang melekat pada institusi anti-teror ini digunakan secara semena-mena.
Dalam code of conduct for law enforcement officials 1979, hal melakukan perbuatan untuk mempertahankan dirinya, khususnya dengan penggunaan senjata api untuk alasan membela diri telah diatur. Bahkan, code of conduct menguraikan secara lengkap keadaan-keadaan yang mana penggunaan senjata api dibolehkan, yaitu: a. senjata api hanya boleh dipakai dalam keadaan keadaan khusus b. senjata api hanya boleh dipakai untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka-luka berat c.
untuk mencegah terjadinya kejahatan berat yang melibatkan ancaman terhadap nyawa; atau
d. untuk menahan atau mencegah larinya seseorang yang membawa, mengancam
dan
yang
sedang
berupaya
melawan
usaha
untuk
menghentikan ancaman tersebut; dan e. dalam setiap kasus, hanya jika tindakan-tindakan yang lebih lunak terbukti tidak memadai f. penggunaan kekerasan dan sejata api dengan sengaja, hanya dibolehkan bila benar-benar tidak dapat dihindari untuk melindungi nyawa manusia. 74
74
Ibid Halaman 315-316
Universitas Sumatera Utara
64
Selain itu dalam Pasal 1 Ayat 9 Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Negara Republik Indonesia menyatakan:
“Kekuatan adalah segala daya dan kemampuan kepolisian berupa kemampuan profesional perorangan/unit dan peralatan Polri yang dapat digunakan untuk melakukan tindakan yang bersifat pemaksaan dalam rangka pelaksanaan tugas kepolisian sesuai ketentuan yang berlaku” 75 Mengenai penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Perkap No. 1/2009). Pasal 5 ayat (1) Perkap No.1 Tahun 2009 menyebutkan ada enam (6) tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yang terdiri dari: a. tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; b. tahap 2: perintah lisan; c. tahap 3: kendali tangan kosong lunak d. tahap 4: kendali tangan kosong keras; e. tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar polri f. tahap 6: kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
75
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (9)
Universitas Sumatera Utara
65
Pengertian “Tahap” disini bukan berarti sesuatu yang harus berurutan, sebab Pasal 5 ayat (2) Perkap No.1 tahun 2009 berbunyi: “anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka” 76
Lebih jelasnya mengenai penggunaan kekuatan senjata api dapat kita lihat dalam Peraturan Kapolri No 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dalam Pasal 7 dan 8 yang menyatakan:
Pasal 7 a. Pada setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) dapat diikuti dengan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. b. Setiap tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut: 1) tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf c; 2) tindakan aktif dihadapi dengan kendali tangan kosong keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf d; 3) tindakan agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf e; 4) tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf f.
76
www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5305f2a8cc383/kapan-polisi-boleh-menggunakansenjata-api diakses pada hari minggu 12 Juni 2016 Pukul 19.17
Universitas Sumatera Utara
66
Pasal 8 a. Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf d dilakukan ketika: 1) tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat; 2) anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut; 3) anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. 4) Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. 5) Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.
Dengan melihat penjabaran di atas dapat kita ketahui bahwa mengenai aturan tembak mati di tempat oleh Densus 88 pada pelaku kejahatan terorisme diatur dalam KUHP dan KUHAP, dalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisan serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Mengenai pidana polisi, tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur sehingga ada alasan pembenar dan dapat diminta pertanggungjawabannya apabila dalam melakukan tugasnya tidak sesuai dengan prosedur. Anggota Densus 88 yang juga merupakan satuan tugas dari Polri dapat diproses secara pidana melalui Peradilan umum jika terdapat melakukan
Universitas Sumatera Utara
67
kewenangannya dengan menyalahi prosedur yang ada. Selain itu juga dianggap telah melanggar Kode Etik Profesi. Sanksi yang dijatuhkan kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesi, berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia yang terdapat pada pasal 11 ayat (2), meliputi: 77 a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela b. Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara terbatas ataupun secara langsung c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi/fungsi kepolisian. Sanksi sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat (2) huruf d, yaitu sanksi administratif berupa rekomendasi untuk: 78 a. b. c. d.
Dipindahkan tugas ke jabatan yang berbeda Dipindahkan tugas ke wilayah yang berbeda Pemberhentian dengan hormat Pemberhentian tidak dengan hormat
77 78
Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang kode etik kepolisian pasal 11 ayat (2) Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang kode etik kepolisian pasal 12 ayat (4)
Universitas Sumatera Utara