BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA MENYURUH MENEMPATKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTE OTENTIK A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar Undang-Undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib dicantumkan dalam UndangUndang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 54 Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam UndangUndang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. 55 Tindak pidana adalah
54
P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7. 55 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 56 Pengertian tindak pidana belum ada kesatuan pendapat diantara para sarjana, dalam garis besarnya perbedaan pendapat tersebut terbagi dalam dua aliran atau dua pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut Moeljatno, pandangan monistis adalah bahwa para sarjana melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya
pidana itu kesemuanya itu merupakan sifat dari perbuatan, sedangkan
pandangan dualistis adalah membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan dan dipidana orangnya, dan sejalan ini dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana. 57 Berdasarkan pengertian dan pemisahan pandangan tersebut berikut ini akan disebutkan pendapat para sarjana berdasarkan pandangan mereka masing-masing sehingga jelas letak perbedaannya. . 1. Aliran Monistis Menurut Simon, Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel mengatakan
56
P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996 hlm. 16 57 Sudarto, Hukum Pidana, Jilid. I A-B, (Purwokerto : Fakultas Hukum Unsoed. Tahun. 1991, Hal. 25
bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan yang dirumuskan dalam Undang-undang, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Tindak pidana menurut E. Mezger adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Menurut Karni, delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. Dan menurut definisi pendek Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jadi jelas sekali dari definisi-definisi tersebut diatas tidak adanya “pemisahan antara Criminal Act dan Criminal Responsibility”. 58 2. Aliran Dualistis Pompe berpendapat bahwa menurut hukum positif, Strafbaarfeit adalah tidak lain dari pada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, selanjutnya menurut beliau bahwa menurut teori Strafbaarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. “Pandangan golongan dualistis ini mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat”. 59
58 59
Ibid, hal 26 Ibid, hal 27-28
Penggolongan pandangan para sarjana tersebut diatas juga merupakan penggolongan terhadap unsur-unsur tindak pidana yang terbagi menjadi dua yaitu: 1. Aliran Monistis Menurut pendapat D. Simons, unsur-unsur Strafbaarfeit adalah: a. Perbuatan manusia b. Diancam dengan pidana c. Melawan hukum d. Dilakukan dengan kesalahan e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab Selanjutnya Simon menyebutkan adalah unsur objektif dan unsur subjektif. Yang disebut sebagai unsur objektif adalah : a. Perbuatan orang b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu “ seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “Openbaar” atau “dimuka umum”. Segi subjektif dari Strafbaarfeit adalah : a. Orangnya mampu bertanggung jawab b. Adalah kesalahan (dolus atau culpa) perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.” Menurut Van Hamel, “unsur-unsur Strafbaarfeit adalah :
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang b. Bersifat melawan hukum c. Dilakukan dengan kesalahan d. Patut dipidana.” 60 Menurut E. Mezger, “unsur-unsur tindak pidana adalah : a. Perbuatan dalam arti yang luar dari manusia b. Sifat melawan hukum c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang d. Diancam dengan pidana.” 61 2. Aliran Dualistis Menurut H.B. Vos, Strafbaarfeit hanya dirumuskan : 1. Kelakuan manusia 2. Diancam pidana dalam undang-undang Kemudian menurut Moeljatno, perbuatan pidana memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Perbuatan manusia 2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil) 3. Bersifat melawan hukum (syarat materil) Syarat formil tersebut harus ada, hal ini disebabkan karena :
60 61
Ibid, hal 26 Ibid
Adanya asas legalitas yang tersimpul dalam pasal 1 KUHP, syarat materil itu harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan , oleh karena bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicitacitakan oleh masyarakat itu. Memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka atau disamping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan bertanggung jawab. Jika seseorang melakukan tindak pidana kejahatan dan harus masuk ke dalam persidangan untuk di adili dalam rangka mempertanggungjawabkan tindak pidana apa yang telah diperbuatnya. Hukum Acara Pidana akan memberi keterangan seperti: rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan dan bagimana cara menjatuhkan hukuman oleh Hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi, dengan lain perkataan: Hukum Acara Pidana ialah hukum yang mengatur tata cara bagaimana alat-alat negara (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan menurut aturan-aturan hukum yang berlaku, dan si tersangka dalam sidang itu diberikan segala jaminan hukum yang telah ditentukan dan yang telah diperlukan untuk pembelaan.
Ruang lingkup kepidanaan meliputi hal pengusutan, penuntutan, penyelidikan, penahanan, pemasyarakatan dan lain-lain. Perkara pidana ialah perkara tentang pelanggaran atau kejahatan terhadap suatu kepentingan, umum, perbuatan mana di ancam dengan hukuman yang bersifat suatu penderitaan. Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut: a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan. b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP. d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP. 62 62
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak Pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak Pidana formil dan tindak Pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak Pidana aktif dan tindak Pidana pasif. Unsur-unsur tindak Pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan); b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; d. Unsur melawan hukum yang objektif ; e. Unsur melawan hukum yang subyektif; 63 Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban Pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan. 64 Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi 63
Ibid. hlm. 30 Nawawi Arief,Barda . Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23 64
pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). Istilah kesengajaan atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai opzet, adalah dari bahasa Indonesia yang berasal dari kata "sengaja", yang berarti secara umum sebagai sesuatu yang memang disengaja atau benar-benar ditujukan untuk itu. Pengertian kesengajaan ini tidak ditemukan rumusan-rumusan oleh Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk itu hendaknya dikaji dari penjelasan sejarah perundang- undangan (Memorie van Toe!killing), yang ternyata menerangkan bahwa maksud daripada kesengajaan adalah "willens en weten", yang artinya seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus menginsyafi (weten) akan akibat dari perbuatannya itu". 65 Pengertian kesengajaan yang dirumuskan oleh Satochid Kartanegara, ialah "Melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. 66 Oleh Bambang Poernomo, dikemukakannya bahwa kesengajaan itu secara alternatif dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga
65
Sutochid Kurtunepra, Hukum Pidana, Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, Tanpa Tahun. 66 Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Cetakan III, Jakarta, 1978
terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana. 67 Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut: a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Opzet als Oogmerk) Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet hij Zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya. 68 Unsur kesengajaan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan jalan melawan hukum. Syarat dari melawan hukum harus selalu dihubungkan dengan alat-alat penggerak atau pembujuk yang dipergunakan. Sebagaimana diketahui arti melawan hukum menurut Sudarto ada tiga pendapat yakni: a) Bertentangan dengan hukum (Simons)
67
Satochid Kartanegara, Op.Cit. hal. 292. Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46 68
b) Bertentangan dengan hak (subjektif recht) dan orang lain (noyon) c) Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (hoge road). 69 Pengertian melawan hukum menurut sifatnya, juga dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Melawan hukum yang bersifat formil yaitu suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik dalam suatu undang-undang, sedangkan sifat hukumnya perbuatan itu harus hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Hukum pidana formil hukum yang berisi aturan yang berkaitan dengan tata cara melaksanakan hukum pidana itu sendiri dalam tatarann prakteknya. 70Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan hukum atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). 2. Melawan hukum yang bersifat materil yaitu suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya terdapat dalam undangundang yang tertulis saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asasasas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan dalik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturanaturan yang tidak tertulis. 71
Perbuatan melawan hukum juga diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUUU-IV/2006 , tanggal 25 juli 2006 sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa inti pemikiran dari sociological jurisprudence, yang oleh Paton digunakan terminologi functional (sociological) jurisprudence, adalah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam 69
Sudarto. Op-cit, hal. 51 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, (Balai Lektur Mahasiswa: Bagian satu, tanpa tahun), hal. 1 71 Ibid, hal. 47-48 70
masyarakat. “Sesuai” dalam pengertian ini ialah bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law). Terlihat betapa sociological jurisprudence mengetengahkan pentingnya living law ini. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat. Hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’
mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat
dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 72 Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu: 1. Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya. 2. Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 73 Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan 72
Ibid. hlm. 48 Ibid. hlm. 49
73
adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. 74 Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu: 1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat. 2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai 3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat. 75
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, Hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan Hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada 74
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49 75 Ibid. hlm.50
dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. B. Tindak Pidana Pemalsuan Surat 1. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pemalsuan berasal dari suku kata “palsu” yang berarti tidak tulen, tidak sah, tiruan, curang dan tidak jujur. Pemalsuan dapat diartikan sebagai perbuatan meniru sesuatu atau membuat sesuatu secara tidak sah sehingga tampak seperti yang asli. 76 Pemalsuan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 77 1. Pemalsuan secara materiil yaitu merubah suatu benda, tanda, merek, mata uang atau tulisan yang semula asli, dirubah sedemikian rupa sehingga mempunyai sifat yang lain. Dengan kata lain, surat atau tulisan tersebut di dalam wujudnya sama sekali palsu sejak dari awalnya. 2. Pemalsuan secara intelektual yaitu pemalsuan yang dilakukan dengan cara merubah keterangan atau pernyataan yang terdapat dalam suatu surat atau tulisan sehingga tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Dengan kata lain, pada pemalsuan secara intelektual, bentuk surat atau tulisan ini sejak awal adalah asli, namun isinya atau yang diterangkan atau yang dinyatakan di dalam surat atau tulisan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Pemalsuan intelektual ini hanya dapat terjadi pada tulisan atau surat-surat.
76 77
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta) hal. 719 R. Tresna ). Asas-Asas Hukum Pidana.( Jakarta: PT. Tiara Ltd 1959). hal. 271-272
Pemalsuan secara materiil ini sering dilakukan orang dengan maksud mempergunakan atau untuk membuat orang lain mempergunakan benda yang dipalsukan itu sebagai benda yang asli. Pemalsuan secara intelektual sering disertai dengan maksud-maksud yang tidak dapat dibenarkan. Sifatnya yang sangat mencolok adalah adanya suatu kebohongan yang diterangkan atau dinyatakan orang di dalam surat-surat atau tulisan-tulisan. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut: 78 1) Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Perbuatan ini disebut dengan pemalsuan secara intelektual (intelectuele valschheid). 2) Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain dari si pembuat surat. Palsunya surat ini terletak pada asal atau si pembuat surat. Perbuatan ini disebut pemalsuan secara materiil (materiele valschheid). Di samping isi dan asalnya sebuah surat yang disebut surat palsu, juga apabila tanda tangannya tidak benar. Hal ini bisa terjadi dalam hal: 79 1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada, misalnya seseorang yang telah meninggal dunia atau yang sama sekali tidak pernah ada (fiktif);
100.
78
Adami Chazawi . Kejahatan Mengenai Pemalsuan. (Jakarta: PT. RajaGrafindo 2000), hal.
79
Ibid.
2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya ataupun tidak; 3. Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk tanda tangan dengan menggunakan cap atau stempel tanda tangan (Arrest HR, 12-12-1920) yang menyatakan bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat adalah membubuhkan stempel tanda tangannya); Wirjono Prodjodikoro memberikan ilustrasi bahwa dikatakan membuat surat palsu adalah: 80 a. Seorang A membuat surat seolah-olah berasal dari seorang B dan menandatangani dengan meniru tanda tangan si B; b. Seorang A membuat surat dan menandatangani sendiri tetapi isinya tidak benar; c. Seorang A mengisi kertas kosong yang sudah ada tanda tangan si B dengan tulisan yang tidak benar. Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda tangan maupun mengenai isi dari tulisan atau surat, dimana perbuatan itu menggambarkan secara palsu bahwa surat itu, baik secara keseluruhan maupun dari hanya tanda tangannya atau isinya berasal dari seseorang yang namanya tercantum dalam tulisan tersebut. Pemalsuan tandatangan dapat terjadi dengan kondisi sebagai berikut: 81
80
Wirjono Prodjodikoro . Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. (Bandung: PT. Eresco 1986) hal. 188. 81 HAK. Moch. Anwar . Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I.( Bandung: Alumni 1982), hal. 189.
a. Meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada, misalnya seseorang yang telah meninggal dunia atau yang sama sekali tidak pernah ada (fiktif); b. Pembubuhan tanda tangan orang lain dengan menirunya atas persetujuannya; c. Mengisi sutau blanko-kertas segel yang telah lebih dulu dibubuhi tanda tangan orang lain, pengisian mana pada dasarnya bertentangan atau menyimpang dari kehendak penanda tangan; Menanda tangani dengan nama sendiri, apabila isi dan penggunaan surat tersebut menimbulkan gambaran seakan-akan tanda tangan itu berasal dari seseorang yang sama namanya. Dasar hukum tindak pidana pemalsuan surat atau akta terdapat dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): 1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. 2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur-unsur pemalsuan surat berdasarkan pasal 263 ayat (1) diatas adalah :
1. Membuat surat palsu atau memalsukan surat, artinya membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau memalsukan surat dengan cara mengubahnya sehingga isinya menjadi lain seperti aslinya yaitu dengan cara: a. Mengurangkan atau menambah isi akta. b. Mengubah isi akta.
c. Mengubah tandatangan pada isi akta. Unsur pertama ini adalah unsur obyektif yang artinya perbuatan dalam membuat surat palsu dan memalsukan surat. 2. Dalam penjelasan pada pasal tersebut disebutkan, yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yakni : a. Yang dapat menerbitkan sesuatu hak. b. Yang dapat menerbitkan sesuatu perutangan. c. Yang dapat membebaskan daripada hutang. d. Yang dapat menjadi bukti dalam sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian. Unsur kedua ini tergolong kepada unsur objektf. 3. Dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan. Artinya perbuatan memalsukan surat seolah-olah surat asli harus dengan niat menggunakannya atau menyuruh orang lain, menggunakannya. Unsur ketiga ini tergolongkan pada unsur subjektif. 4. Merugikan orang lain yang mempergunakan surat tersebut. Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah : 1) Unsur obyektif yaitu : a. Perbuatan yaitu memakai.
b. Obyeknya yaitu surat palsu dan surat yang dipalsukan c. Pemakaian surat tersebut dapat merugikan 2) Unsur subyektif dengan sengaja Ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkan: 1) Yang bersalah karena memalsukan surat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 8 (delapan ) tahun, kalau perbuatan itu dilakukan terhadap: a. Surat pembuktian resmi (akta otentik) b. Surat utang atau tanda utang dari suatu negara atau sebagiannya atau dari lembaga hukum. c. Sero atau surat utang atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari suatu perhimpunan yayasan, perseroan atau maskapai. d. Talon atau surat untung sero (deviden) atau surat bunga uang dari salah satu surat yang diterangkan pada huruf b dan c atau tentang surat bukti yang dikeluarkan sebagai surat pengganti surat itu. e. Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan. 2) Di pidana dengan pidana itu juga barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan tersebut dalam ayat (1), seolah –olah surat itu asli dan tidak dipalsukan. Jika hal memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian.
Unsur-unsur kejahatan pada ayat (1) adalah: 82 1. Unsur-unsur obyektif yaitu: a. Perbuatan itu membuat surat palsu dan memalsukan b. Obyeknya yaitu surat sebagaimana tercantum dalam ayat (1) huruf “a” sampai dengan “ e”. c. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut. 2. Unsur subyektif yaitu: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Unsur-unsur kejahatan pada ayat (2) diatas adalah : 1) Unsur-unsur obyektif yaitu : a. Perbuatan yaitu memakai b. Obyeknya adalah surat-surat sebagaimana tersebut dalam ayat (1). c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. 2) Unsur subyektif yaitu dengan sengaja. 2. Tindak Pidana Pemalsuan dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sanksi menurut ketentuan pasal ini adalah mereka yang menyuruh menggunakan sarana tersebut untuk melakukan kejahatan, atau mereka dengan sengaja menggunakan sertifikat palsu sebagai sarana melakukan kejahatan pertanahan. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal diatas adalah sebagai berikut. 83 82
Ibid. Hlm. 281 P.A.F. Lamintang. Op. Cit. Hal. 86-92
83
Ayat Ke- 1 mempunyai unsur-unsur: 1. Unsur Objektif. a. Perbuatan : menyuruh memasukkan. Kata “menyuruh melakukan” seperti dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP , orang yang disuruh melakukan itu haruslah merupakan orang yang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Sedangkan perbuatannya “menyuruh mencantumkan” seperti yang dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) KUHP itu. Orang yang disuruh mencantumkan keterangan palsu di dalam suatu akta otentik itu tidaklah perlu
harus
merupakan
orang
yang
tidak
dapat
diminta
pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Undang-undang menyatakan bahwa harus menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut. b. Obyeknya: keterangan palsu c. Kedalam akta otentik Akta otentik yang di buat oleh Notaris mempunyai fungsi untuk membuktikan kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan mencantumkan nama masing-masing para pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum.
d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta itu. e. Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian Menurut Hoge Raad kerugian itu tidak perlu benar-benar telah timbul melainkan cukup jika terdapat memungkinkan timbul kerugian seperti itu. Yang dimaksud dengan kerugian dalam pasal 266 ayat (1) KUHP. Hoge Raad dalam Arresnya tanggal 14 Okteber 1940. NJ 1941 No. 42 antara lain telah memutuskan bahwa: yang dimaksud dengan kerugian itu bukan hanya kerugian materil saja. Jika pengguna surat yang berisi keterangan palsu itu dapat menyulitkan pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian. Maka kepentingan umum telah dirugikan. 2. Unsur subyektif. Ayat ke- 2 mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur-unsur objektif: a. Perbuatan memakai b. Objeknya akta otentik seperti tersebut pada ayat 1 c. Seolah-olah isinya benar. 2. Unsur subyektifnya dengan sengaja: Perbuatan menyuruh mengandung unsur-unsur: a. Inisiatif atau kehendak untuk membuat tentang apa (objek yakni mengenai sesuatu hal atau kejadian) yang disuruh kedalamnya adalah berasal dari orang yang menyuruh bukan dari pejabat pembuat akta otentik.
b. Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta dibuat akta otentik, maka dalam perkataan unsur menyuruh berarti orang itu dalam kenyataannya memberikan keterangan tentang suatu hal. Hal mana adalah bertentangan dengan kebenaran palsu. c. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang disampaikan oleh orang yang menyuruh memaksukkan keterangan kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar. d. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak
mengetahui
perihal tidak benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuatannya yang melahirkan akta otentik yang isinya palsu itu dan karenanya tidak dapat dipidana. Menurut R. Soesilo, tentang Pasal 266 KUHP ini diterangkannya secara panjang lebar sebagai berikut : 1. Yang dinamakan akta otentik yaitu suatu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, oleh pegawai umum. 2. Yang dapat dihukum menurut Pasal ini misalnya orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijke Stand untuk dimasukkan ke dalam akta kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersebut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan akte itu seolah-olah keterangan yang termuat di dalamnya itu benar.
3. Yang diancam hukuman itu tidak hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar dun sebagainya, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan tidak benar itu. Dalam kedua hal ini senantiasa harus dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seakanakan surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian. 4. Orang yang memberikan keterangan palsu (tidak benar) kepada pegawai polisi untuk dimasukkan ke dalam proses verbal itu tidak dapat dikenakan Pasal ini, karena proses verbal itu gunanya bukan untuk membuktikan kebenaran dari keterangan orang itu, tetapi hanya untuk membuktikan bahwa keterangan yang diberikan orang itu demikianlah adanya. Ini beda sekali halnya dengan surat (akte) kelahiran yang gunanya benar-benar untuk membuktikan kebenaran kelahiran itu. 5. Dapat dihukum menurut pasal ini misalnya pedagang yang menyuruh membuat persetujuan dagang kepada seorang Notaris mengenai sebidang tanah, jika terlebih dahulu ia telah menjual tanah itu kepada orang lain. Dalam hal ini maka Akte Notaris merupakan suatu surat yang digunakan sebagai bukti terhadap suatu pemindahan hak milik. Kerugian akan diderita oleh pembeli sudah terang, ialah jumlah uang yang telah dibayar untuk pembelian itu yang bukan semestinya, biaya Notaris dan sebagainya. 84 Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru ada arti apabila orang itu melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan 84
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, 1983.
sebagian besar dari perbuatan-perbuatan seperti itu merupakan suatu perbuatan yang didalam KUHPerdata, dinamakan dengan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad). “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut” Munir Fuady mengemukan, Perbuatan melawan hukum termasuk setiap berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain. Atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya dan bertentangan dengan tata susila, dengan kepatutan, kebiasaan dan undangp-undang, maka orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain sebagai akibat dari perbuatannya wajib membayar ganti rugi. 85 Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata berdasarkan tuntutan adanya perbuatan melawan hukum. Artinya walaupun Notaris hanya mengkonstatir keinginan dari para pihak penghadap bukan berarti Notaris tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Misalnya apabila Notaris mencantumkan sesuatu didalam akta tidak seperti yang dikehendaki oleh para pihak sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain atau kliennya. Maka berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata perbuatan Notaris tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Artinya adalah untuk mengembalikan
85
Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum pendekatan Kontemporer ( PT. Cintra Adytia Bakti. Bandung). Tahun 2002. Hlm. 4
kerugian sipenderita pada keadaan semula atau pengembalian secara nyata yang lebih sesuai dengan pembayaran ganti kerugian dalam bentuk uang. Di dalam hukum pidana terdapat berbagai pendapat mengenai arti dari unsur melawan hukum yang merupakan terjemahan dari istilah wedertrehtlijk. Mengetahui sifat melawan hukum terdapat 2 (dua) pendirian yang berbeda yaitu menurut ajaran formil dan ajaran hukum materiil. Menurut pendapat P.A.F. Lamintang mengemukan: “Menurut ajaran wedertrechtlijkheid dalam arti formil suatu perbuatan dapat dipandang sebagai bersifat wedertrechtlijkheid apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur yang terdapat didalam suatu rumusan suatu delik menurut Undang-undang. Sedangkan menurut ajaran wedertrechtlijkheid dalam arti materil. Apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai bersifat wedertrechtlijkheid atau tidak. Masalahnya bukan saja ditinjau dari sesuatu dengan ketentuan-ketentuan hukum tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut azas-azas hukum umum dan hukum yang tidak tertulis. 86 Di sebutkan dalam Pasal 274 KUHP yang mengatur masalah delik pemalsuan yang masuk dalam kejahatan terhadap tanah, yang berbunyi: 1. Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan pegawai Negeri yang menjalankan kekuasaan yang sah mengenai hak milik atau sesuatu hak lain atas suatu barang dengan maksud akan memindahkan penjualan atau penggadaian barang itu atau dengan maksud akan memperdaya pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang tersebut.
86
Nico. Op,Cit . hlm. 148
2. Dengan hukuman serupa itu dihukum juga barangsiapa dengan maksud dengan maksud yang serupa menggunakan surat keterangan palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. 87 C. Akta Notaris dan Kaitannya dengan Pemalsuan Akta Akta yang dibuat dihadapan Notaris tidak terlepas dari pasal-pasal yang mengatur tentang perjanjian itu sendiri yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undang Hukum Perdata. Prosedur pembuatan akta tidak sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris misalnya dalam akta tidak di cantumkan nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal, para pengahap atau orang yang mereka wakili. 88 Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan wewenang oleh perundangundangan membuat akta yang juga disebut sebagai Akta Notaris (akta otentik) ini, dalam menjalankan kewenangan yang diberikan itu, Notaris pun harus mengucapkan sumpah/janji. Notaris berjanji akan menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama dan tidak berpihak serta akan mentaati dengan seteliti-telitinya semua Peraturan Jabatan Notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapatrapatnya isi akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan itu. Bagian sumpah ini dinamakan "beroespeed" (sumpah jabatan). 89
87
Ibid, hlm. 58. Lihat Pasal 38 ayat (3) butir a UUJN 89 Komar Andasmita, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Cetakan ke-2, Bandung, 1983 88
Tugas dan kewenangan Notaris adalah suatu hal yang berat, oleh karena terkait dengan sumpah jabatannya. Notaris harus secara adil, jujur, teliti untuk melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban-kewajibannya. Untuk itulah sumpah jabatan Notaris merupakan faktor yang amat penting untuk mengikat dan menyadarkan Notaris pada kedudukan dan tanggungjawabnya yang cukup berat tersebut. Walaupun demikian, tidak jarang terjadi kasus di mana timbul pemalsuan terhadap akta otentik Notaris baik karena kesalahan Notaris yang kurang teliti menerima keterangan dari kliennya tentang sesuatu hal dan memuatnya pada akta tersebut, maupun pemalsuan akta oleh Notaris sendiri. Adapun tentang akta otentik itu sendiri di samping itu dikenal pula akta di bawah tangan. Tentu saja ada perbedaan yang mendasar dari kedua jenis akta ini. Perbedaannya terletak pada kekuatannya, yaitu bahwa akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dibuat di dalamnya, yang berarti mempunyai kekuatan bukti demikian rupa karena dianggap melekatnya akta itu sendiri, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi, dan bagi Hakim merupakan bukti wajib/keharusan (verplicht bewijs). 90 Komar Andasasmita, menjelaskan mengenai akta di bawah tangan; bahwa akta macam ini bagi Hakim merupakan bukti bebas (vrij bewijs), oleh karena akta di bawah tangan hanya mempunyai kekuatan bukti material setelah dibuktikan kekuatan
90
Ibid
formilnya dan yang disebut paling akhir ini barn terjadi bila pihak-pihak yang bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta itu. Pemalsuan akta otentik terkandung suatu kejahatan yang pantas untuk ditanggulangi mengingat dengan akta seperti itu, bukan hanya berkaitan dengan alat bukti tetapi juga dengan faktor kepercayaan terhadap pejabat yang berwenang yang oleh perundang-undangan diberikan kewenangan membuat akta tersebut. Pemalsuan akta otentik memang berkaitan erat dengan pemalsuan surat pada umumnya, yang dengan demikian bertalian pula dengan Pasal 263 KUHP. Tentang Pasal 263 KUHP ini, menurut Lamintang, dan C. Djisman Samosir, disebutkan bahwa Pasal ini melindungi "publica fides" atau kepercayaan umum yang diberikan kepada sesuatu surat.." Memang ada perbedaan di antara "membuat surat palsu" dan "memalsukan surat".Bahwa pada perbuatan membuat secara palsu itu, semula belum ada sesuatu surat apa pun, kemudian dibuatlah surat itu akan tetapi dengan isi yang bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan pada perbuatan memalsukan, semula memang ada sepucuk surat, yang kemudian isinya dirubah sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi bertentangan dengan kebenaran atau pun menjadi berbeda dari isinya semula. Pemalsuan akta yang menjadi materi pokok pada Pasal 266 KUHP, di mana yang terjadi ialah terkecohnya Notaris oleh pihak yang ingin memintakan bantuan Notaris untuk membuat sesuatu akta, misalnya akta jual-beli tanah, akta sewamenyewa, akta warisan (testamen), maupun akta pendirian Perusahaan Terbatas (PT).
Pada pihak yang memerlukan akta tersebut memberikan keterangan yang tidak benar kepada Notaris, yang berdasarkan keterangan (yang tidak benar) itu Notaris kemudian membuatkan surat akta, kemudian ternyata pihak yang bersangkutan mengambil manfaat dari keterangannya kepada Notaris itu yang merugikan pihak lain. Di sini Notaris adalah pihak yang membuat akta dan berbeda dengan pemalsuan dalam Pasal 263 KUHP yang mana pelakunya ialah pihak yang bersangkutan itu sendiri. Namun menyimak dari yurisprudensi klasik tentang pemalsuan surat ini pemalsuan surat ini pantas dikaji putusan Hoge Raad (HR) tanggal 18 Maret 1940 bahwa "suatu surat itu adalah palsu, apabila suatu bagian yang integral dari surat itu adalah palsu. 91 Dengan demikian tugas dan kewajiban Notaris yang diantaranya membuat Akta Notaris adalah riskan terhadap kejahatan pemalsuan. Belum lagi pemalsuan yang notabene adalah dilakukan oleh Notaris itu sendiri yang kemudian membawa akibat berupa kerugian bagi pihak yang lainnya. Pemalsuan oleh Notaris bukanlah suatu hal yang aneh, mengingat kedudukannya yang memang rawan dengan godaan untuk peluang dan penyalahgunaan jabatan yang tentu saja membawa kerugian bagi pihak lainnya.
BAB III 91
Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung, 1979.