BAB II PENGAJARAN DRAMA DAN MODEL PENGAJARAN PENGALAMAN-LANGSUNG
Pengajaran bahasa memiliki empat keterampilan yakni keterampilan mendengarkan atau menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Sebagai perbandingan, Tim Penulis Universitas Terbuka (lihat, 2008: 3.7-3.8), menyebutkan enam aspek, dalam komponenkomponen kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, kebahasaan, apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Pada aspek berbicara dijelaskan oleh Tim Penulis tersebut, bahwa kompetensi berbicara adalah kemampuan mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan pesan, bertukar pengalaman, menjelaskan, mendeskripsikan dan bermain peran. Dilihat dari aspek-aspek di atas, dapat dikemukakan di sini, bahwa keterampilan berbicara sangat bertalian secara praktis dengan pengajaran drama, dimana pada drama terjalin aktivitas berbicara antar pemain (siswa) dalam suatu dialog praktis verbal. Dengan demikian, maka pengajaran drama sangat dibutuhkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, terutama demi kepentingan pengembangan keterampilan berbicara. Pengajaran drama dalam penelitian ini bersumber dari pelajaran Bahasa Indonesia, pada aspek keterampilan berbicara dengan standar kompetensi (6) yang ingin dicapai yaitu mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama, sedangkan kompetensi dasarnya (6.2), yaitu 27
28
memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Hal ini sesuai kurikulum tahun 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, nomor 22 tahun 2006, tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (BSNP, 2006:92). Pengajaran drama yang dimaksudkan tersebut, lebih mengarah pada materi pengajaran yang menitik beratkan pencapaian kemampuan atau keterampilan berbicara pada teknik-teknik lafal, intonasi dan ekspresi yang dilakukan atau dilakonkan dalam suatu dialog. Mengingat dialog adalah aktivitas berbicara, maka dialog dapat merupakan sarana aktivitas bagi latihan keterampilan berbicara siswa dalam mata pelajaran pelajaran Bahasa Indonesia. Pengajaran drama dari mata pelajaran Bahasa Indonesia itu akan menyentuh aspek seni peran juga seni sastra di samping aspek sosial dimana terjadi interaksi bicara antara seorang siswa (pemain) dengan pemain lainnya. Hal ini menunjukkan suatu wujud fungsi sosial yang terjadi dalam dialog pada pengajaran mata pelajaran ini. Dalam skala pertunjukan drama yang lebih luas terkait fungsi sosial itu,
Putu Wijaya (2002:172) mengungkapkan, bahwa suatu
pertunjukan itu menyesuaikan dengan lingkungan atau konteksnya; hubungan peran (perilaku) seniman di panggung dan di dalam keseharian. Dalam konteks siswa, hubungan sosial yang terbangun adalah komunikasi dan interaksi antar siswa dan interaksi dengan gurunya. Komunikasi dalam interkasi itu, menggunakan kemampuan-kemampuan berbahasa, dalam hal ini keterampilan berbicara, yang dapat dilatih melalui pengajaran drama. Dengan demikian drama tidak hanya dipandang sebagai suatu
29
pertunjukan akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk lingkungan pengajaran Bahasa Indonesia, maupun pengajaran mata pelajaran lain, tentunya. Kreativitas guru memanfaatkan drama untuk pengajaran IPS misalnya, akan sangat menarik. Konsep-konsep dasar mengajarkan bahasa dalam model keterampilan berbicara, diketengahkan Iskandarwassid dan Sunendar (2008:286), sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g)
berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal; berbicara adalah proses berkomunikasi individu; berbicara adalah ekspresi kreatif; berbicara adalah tingkah laku; berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman; berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala; berbicara adalah pancaran pribadi.
Hal yang sangat ditekankan dalam komunikasi verbal adalah keterampilan berbicara dalam interaksi antar siswa yang kelak dimanfaatkan dalam pergaulannya. Karena itu siswa membutuhkan keterampilan berbicara sejak awal. Seseorang
dikatakan
memiliki
keterampilan
berbicara
bila
yang
bersangkutan terampil memilih bunyi-bunyi bahasa (berupa kata, kalimat, tekanan dan nada) secara tepat serta memformulasikannya secara tepat pula guna menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, fakta, perbuatan dalam konteks komunikasi
(Cahyani,2007:5).
Berbicara
sebagai
ekspresi
kreatif
dan
keterampilan memilih bunyi-bunyi bahasa yang disebutkan pada kedua pendapat di atas lebih tertuju pada lafal dan intonasi bicara dalam suatu dialog yang dapat diwujudkan dalam pengajaran drama. Selanjutnya efektifitas pengajaran drama demi tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia akan ditentukan pada kemampuan menggarapnya melalui
30
latihan-latihan dengan mertode drill yang diupayakan ke arah latihan-latihan berbicara yang secara teknik dilakukan pada lafal, intonasi dan ekspresi. Drama yang dipilih adalah drama anak, sesuai konteks sastra anak, yang disesuaikan dengan perkembangan intelektual dan emosional anak (lihat, Kurniawan, 2009:5). A. Pengajaran Drama Pembahasan tentang pengajaran drama akan berkaitan dengan ihwal drama, drama anak dan pembelajaran drama di SD. Ihwal drama mengemukakan pengertian drama, drama sebagai karya seni dan tujuan apresiatif sastra melalui drama. Drama anak akan menguraikan tentang sastra anak dan batasan tentang drama anak. Naskah yang dipilih adalah nasakah drama anak yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan pemahaman anak, memiliki hubungan dengan dunia anak (dunia bermain dan aktivitas fisik) dan disesuaikan tingkat kematangan pasikologis anak. Sedangkan pembelajaran drama di SD mengemukakan kurikulum yang terkait dengan pembelajaran drama, kompetensi dasar dan standar kompetensi pengajaran drama dan bentuk pembelajaran drama. Dalam aktivitas pengajaran drama, sekurang-kurangnya terkait tiga kecakapan yang dibutuhkan siswa yakni kecakapan verbal (bahasa), kecakapan estetik (seni), kecakapan sosial (terjadi dalam proses interaksi dramatik dalam melakon). Kecakapan verbal sangat penting bagi kemampuan atau keterampilan bahasa anak. Melalui dialog-dialog yang terdapat dalam naskah drama, anak belajar mengenal kata dan kalimat percakapan, yang harus diucapkannya dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Dalam kecakapan estetis, siswa mengenal
31
sentuhan-sentuhan kehalusan, keseimbangan, kesantunan maupun “rasa” yang melatar belakangi kecakapan berkeindahan baik dalam dialog-dialog maupun dalam akting yang diperagakannya. Kecakapan sosial; dalam drama terdapat demikian banyak interaksi, baik interaksi melalui dialog antar pemain maupun respon fisik dalam bentuk akting. Interaksi antar personal maunpun intern personal yang terjadi dalam diri pemain, melahirkan bentuk-bentuk kecakapan sosial dalam situasi sosial yang disengaja sebagai suatu kegiatan pengajaran. 1 Ihwal Drama. Dari rumpun karya seni, diketahui lima kelompok karya seni dengan berbagai bentuk wujud karyanya, yakni seni musik, seni tari, seni rupa, seni peran dan sastra. Seni peran dapat meliputi film, pantomim dan teater. Teater dapat menggunakan naskah drama yang dipentaskan. Dalam pengertian pada uaraian ini, drama yang dimaksud adalah drama yang dimainkan atau dilakonkan. Drama merupakan lakon (tulisan sastra) yang diperagakan atau dimainkan dengan cara-cara tertentu agar lakon dapat mewujud dalam perbuatan. Atau sastra hasil karya sastrawan dalam konteks seni pertunjukan lebih popular disebut lakon (Sekarningsih, dkk, 2006:153). a. Pengertian Drama Orang Yunani menyebut kata drama dengan draomai berarti perbuatan meniru. Nicoll (Robinson,1972) menjelaskan, “ drama, terms derived from Greek verbs, meaning “act” or “do”. Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia (2007:228229), dikemukakan: Dalam bahasa Inggris disebut drama, dan dalam bahasa Prancis piece de theatre. Kata drama berasal dari bahasa Yunani dram yang maknanya
32
adalah berbuat. Pengertian drama adalah: (1) karya tulis untuk teater; (2) setiap situasi yang mempunyai konflik dan penyelesaian cerita (resolution) (3) jenis sastra berbentuk dialog, yang biasa dipertunjukkan di pentas.
Sebagai sebuah karya seni, drama adalah karya yang memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi sebagai teks sastra, dan dimensi kedua sebagai seni pertunjukan. “Drama is doing. Drama is being. Drama is such a normal thing. It is something that we all engage in daily when faced with difficult situations” (Wessels,2000:7). Drama adalah berbuat, menunjukkan suatu keberadaan, di mana kita berada dalam suatu situasi yang tidak mudah. Waluyo (2001:2) menguraikan: Drama berarti perbuatan, tindakan atau action. Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti music, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan sebagainya. Jika kita membiacarakan drama pentas sebagai kesenian mandiri, maka ingatan kita dapat kita layangkan pada wayang, ketoprak, ludruk, lenong dan film. Dalam kesenian tersebut, naskah drama diramu dengan berbagai unsur untuk membentuk kelengkapan. Berdasarkan batasan-batasan yang disampaikan dalam redaksi yang berbeda di atas, dapat dilihat adanya perbuatan dan dialog dalam suatu situasi tertentu. Dengan demikian dapatlah ditegaskan, bahwa drama merupakan karya tulis sastra (lakon) yang dapat dipentaskan, berisi dialog dan perbuatan dalam suatu situasi tertentu.
Karena drama yang dimaksudkan dalam penelitian ini
mewujud pada dialog dan perbuatan, maka sudah barang tentu drama itu dapat dilihat, disaksikan, diamati, dan dipertunjukkan dalam situasi tertentu.
33
Wujud drama yang dipertunjukkan itu diejawantahkan dalam perbuatan dan dialog-dialog, memberi kemungkinan dilakukannya penelitian melalui pengamatan-pengamatan, pencatatan, pemotretan, maupun perekaman audio visual. Selain itu drama harus tampak, mewujud dalam dialog, perbuatan (act) dan situasi tertentu, agar memberi peluang bagi siswa aktif dan mengalami suatu pengalaman.
Drama secara praktis memberi pengalaman langsung dalam
memperbaiki kemampuan berBahasa Indonesia yakni membaca, menulis, berbicara/pengucapan dan mendengarkan (lihat Wessels,2000: 9). Bila ditelaah lebih jauh lagi, drama atau seni drama, adalah karya seni bermotivasi, menampilkan lakon hidup keseharian tentang anak manusia dengan identitas perwatakannya, dimainkan di pentas dimana pementasan tersebut lahir dari olahan naskah dramatikal, disajikan kepada publik drama dalam interaksi komunikatif dengan berbagai situasi dan perannya. b. Drama Sebagai Karya Seni Seni, dengan sederhana difahami sebagai sesuatu yang bagus atau indah, seperti karangan, lukisan, ukiran, dan sebagainya (ESI, 2007:728). Seni selalu dikaitkan dengan keindahan. Keindahan menimbulkan rasa senang bagi orang yang melihat atau mendengarnya. Karya seni sejatinya merupakan karya manusia yang menunjukkan wujud yang indah, mengandung kategori nilai yang indah, memiliki makna kebaikan dan kebenaran, di dalamnya tercermin keluhuran, dapat dirasakan sebagai wujud karunia Tuhan yang dititipkan pada manusia dan alam. Secara fisik, lebih nyata keindahan itu menampak pada suatu objek tertentu, sebagai ciri ataupun sifat objek itu yang mesti ada padanya. Chernyshevsky
34
(2005:5) mengemukakan pandangannya tentang keindahan yang terkait seni, sebagai berikut, sesuatu tampak indah ketika menjadi realisasi sempurna ide dari jenisnya. Juga berarti: sesuatu yang indah mesti memiliki segala yang baik dalam sejenisnya; mesti tidak mungkin merupakan sesuatu yang baik dalam sejenisnya yang lain yang tidak dimiliki oleh objek indah itu.
Dengan demikian maka
keindahan drama sebagai karya seni haruslah menampak pada sifat drama yang dapat diwujudkan dalam bentuk lakon. Drama panggung atau drama yang dimainkan haruslah menunjukkan sifatnya yang tidak hanya dapat didengar tetapi dapat pula dinikmati secara visual. Kenyataan akan wujud drama secara visual ini dapat ditampilkan oleh siswa dalam berbagai akting yang merupakan bagian dari peragaan drama. Secara teknis, akting dijelaskan El Saptaria (2006:113), berkaitan dengan sikap tubuh, gestur (gerak tubuh), ekspresi, aksi-reaksi dan imajinasi. Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan
35
tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta). Drama sebagai karya seni diwujudkan dari berbagai karya seni, seperti seni sastra, seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni peran. Wiyanto (200:4) menegaskan keberadaan drama sebagai karya seni sebagai berikut: 1. Drama termasuk salah satu jenis seni atau lengkapnya seni drama karena di dalamnya terdapat berbagai keindahan yang dapat dinikmati penonton. 2. Drama adalah satu-satunya jenis seni yang paling kompleks karena untuk mewujudkannya perlu melibatkan berbagai seniman, seperti sastrawan, pemain, komponis, dan pelukis. 3. Drama merupakan perpaduan berbagai jenis seni yang membentuk satu kesatuan yang utuh.
Dengan demikian, maka drama sebagai hasil cipta seni; aplikasinya terwujud dalam pementasan dengan menggunakan orang-orang (pelakon), media gerak, bunyi dan vokal, ruang dan tempo. Drama dapat dikatakan sebagai miniatur perilaku manusia dalam kehidupan keseharian, kehidupan mana diusung ke pentas dengan olahan naskah yang di dalamnya ditemui gejolak emosi, kesedihan, kegembiraan, ketegangan, kelucuan, kesenangan, kebencian dan lainnya. c. Tujuan Apresiasi Drama Drama merupakan bagian dari sastra. Dalam kaitannya dengan pembelajaran Bahasa Indonesia, pembelajaran sastra di SD adalah pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan
36
berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam hidup yang secara dini perlu diberikan kepada anak. Salah satu cara yang mungkin pada pelajaran bahasa adalah melalui drama. Sebagai sebuah karya intelektual bidang seni, drama perlu diapresiasi sebagai mana bidang-bidang seni lainnya, khususnya bidang seni sastra, seperti puisi, prosa dan drama.
Apresiasi biasanya dikaitkan dengan kegiatan seni
(Waluyo,2002:44). Apresiasi drama, berkaitan dengan berbagai kegiatan yang disangkut pautkan dengan drama, yaitu membaca drama, mendengarkan atau menyaksikan drama, menulis (naskah) drama, memainkan atau melakon drama, dengan pengahayatan yang sungguh-sungguh, sehingga dapat menyebabkan seseorang memahami drama secara mendalam (dengan segala kemampuan penghayatannya), merasakan apa yang dikandung dalam suatu pertunjukan drama atau dalam sebuah karya drama yang ditulis oleh pengarangnya, mampu menyerap nilai-nilai dalam karya drama dan kemudian memberikan penghargaan terhadap drama sebagai karya seni. Apesiasi terhadap drama sama sebagaimana apresiasi terhadap puisi atau pun prosa, dalam hal ini apresiasi reseptif maupun apresiasi produktif. Apresiasi reseptif ditunjukkan dengan membaca, mendengarkan, dan menyaksikan pementasan drama. Sedangkan apresiasi produktif ditekankan pada proses kreatif dan penciptaan. Dalam hal ini, apresiasi produktif
ditunjukkan dengan
37
menghasilkan karya, (seperti puisi, prosa dan drama), menulis dan membacakan puisi, pementasan drama, maupun esai (lihat Cahyani dan Hodijah, 2007:176185). Apresiasi reseptif terhadap karya sastra (drama) yagng dibaca (masih) dalam bentuk naskah atau mengikuti/menyaksikan pementasan drama diharapkan akan melahirkan pemahaman teoretis terhadap drama. Pemahaman dimaksud terkait dengan pemahaman tentang pengertian drama, lafal, intonasi dan ekspresi dalam dialog drama. Dari sisi ini diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan pemahamannya tentang drama yang akan menjadi bekal dalam memeragakan atau memainkan drama. Sedangkan dalam apresisi produktif, melalui keterlibatan siswa dalam sebuah pertunjukan drama, diharapkan akan meningkatkan kemampuan memeragakan (memainkan) drama. Bagi siswa yang memiliki minat dan tentu saja pengajaran langsung ini akan menjadi pengalaman berharga bagi pengembangan diri yang apresiatif, yakni tidak hanya sebagai bagian pembelajaran akan tetapi diharapkan menjadi suatu profesi. Disick (1975, dalam Waluyo, 2002:45) menyebutkan 4 tingkatan apresiasi, sebagai berikut. 1. Tingkat menggemari, 2. Tingkat menikmati, 3. Tingkat mereaksi, 4. Tingkat produktif. Dapat dijelaskan disini, bahwa jika seseorang baru sampai ke tingkat menggemari, berarti keterlibatan batinnya belum kuat. Dia baru sering terlibat
38
dalam kegiatan yang berkaitan dengan drama. Dia akan membaca drama bila ada naskahnya, menonton jika ada pertunjukan secara langsung atau melalui media tertentu, seperti televisi. Keterlibatan batin yang sudah mendalam terlihat pada pada tingkat menikmati. Pada tingkat ini, seseorang akan ikut merasakan kenyataan yang disaksikannya pada pertunjukan drama. Dia akan marah, jengkel, sedih, terharu, bahagia, puas menyaksikan kenyataan yang disajikan dari suatu pementasan drama. Sikap kritis seseorang akan terlihat lebih menonjol, pada tingkat mereaksi karena ia mampu menafsirkan dengan saksama dan mampu menilai sebuah drama. Ia dapat menafsirkan atau memahami sebuah pertunjukan dan menunjukkan di mana letak keindahan drama itu, membandingkannya dengan drama lain serta dapat menyatakan kekurangannya dan dapat menunjukkan di mana letak kekurangan itu. Perilaku sedih, terharu, memuji atau marah akan merupakan contoh-contoh apresiasi anak yang lahir dari apresiasi afektif. Pada tingkat produktif, seseorang telah mampu menghasilkan sebuah karya drama, mampu memberikan kritik terhadap drama, memainkannya. Pokoknya apresistor telah mampu menghasilkan sesuatu yang berkaitan dengan drama. Tujuan apresiasi yang dikemukakan terdahulu merupakan bagian dari belajar apresiasi. Belajar apresiasi yang dimaksudkan, sebagaimana dikemukakan Syah (2010:122) sebagai berikut: Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya, agar siswa memeroleh dan
39
mengembangkan ranah rasa (affective skill) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik dan sebagainya. Dengan demikian, maka apresiasi terhadap drama sangat dibutuhkan dalam mencapai pengajaran yang menyentuh aspek afektif siswa. Bidang-bidang studi yang dapat menunjuang tercapainya tujuan kemampuan aspek afektif, antara lain bahasa dan sastra yang di dalamnya terdapat bidang drama, kerajinan tangan, serta berbagai bidang kesenian pada umumnya. Dalam bidang pendidikan agama pun dapat ditekankan guna mencapai kemampuan aspek afektif ini. d. Dampak Bermain Drama Bermain drama, yang di dalamnya pemain berakting, berdialog dan bergerak
merupakan aktivitas produktif yang menggunakan sejumlah
kemampuan diri dalam memeragakan drama oleh seorang pemain, baik kemampuan fisik maupun mental, juga kemampuan sosial. Kemampuan diri itu dibutuhkan karena seorang pemain akan melakukan beberapa tindakan antara lain, berpikir, berbicara dan menanggapi, melakukan gerak tertentu, merasa dan menghayati cerita dan peran yang diembaninya agar keutuhan pemeranan dapat berlangsung. Dari gambaran tersebut, secara praktis, bermain drama - dalam situasi pengajaran drama - memberikan dampak pada : a.
Berpikir (intelektual dan kognitif). Dalam dialog antar pemain, seorang pemain harus dapat mendengarkan dan menanggapi lawan mainnya. Rendra (2007:14) menjelaskan, mendengar saja gampang dilakukan di dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi mendengar dengan wajar tidak gampang
40
dilakukan di atas pentas. Hal ini memerlukan latihan dan pemahaman. Seorang pemain (siswa) harus berpikir agar dapat memahami tugas peran yang harus dimainkannya. Pemain harus memikirkan cara-cara bicara, bergerak maupun kesesuaian respon terhadap lawan mainnya. Untuk itu pemain harus menggunakan kemampuan intelektual dan mengalami pendewasaan aspek kognitifnya secara lebih nyata. Dampak yang timbul bagi diri siswa dalam pembelajaran bermain drama ini adalah keterampilan mendengarkan dan memahami melalui suatu proses berfikir secara wajar. Keterampilan mendengarkan dengan memikirkan isi pesan yang disampaikan juga melatih kemampuan intelektual siswa, sehingga dapat memberikan dampak pada perkembangan kognitif siswa. b.
Berbicara dan merespon dialog. Drama dibangun dengan dialog-dialog antar pemain. Dialog-dialog itu diwujudkan dalam bentuk berbicara. Berbicara dalam wujud permainan drama dapat dilakukan oleh seorang pemain tanpa lawan main atau pemain lain menanggapinya (monolog) dan berbicara yang dilakukan terhadap lawan main yang kemudian melahirkan interaksi antar pemain yang saling menanggapi (dialog). Dalam dialog antar pemain, ucapan harus disampaikan dengan jelas. Rendra (2007:19) mengingatkan, apabila para pemain tidak jelas mengucapkan dialognya, maka penonton tak akan bisa menangkap jalan cerita yang dipertunjukkan. Yang mereka lihat hanyalah gerakan dan lalu lalang pemain yang tidak jelas maknanya. Dampak yang dapat timbul dalam aktivitas berbicara ini adalah seoarang siswa akan melatih kemampuan berbicaranya, dalam hal ini kemampuan
41
melafalkan kata-kata dengan huruf-huruf benar dan jelas terdengar, mengucapkan setiap suka kata dengan jelas, melagukan gaya bicara dengan intonasi yang sesuai. Ketepatan lafal, kejelasan kata dan ketepatan irama (intonasi) menimbulkan gaya bicara yang menarik. Berbicara sebagai salah satu keterampilan berhasa merupakan hal penting bagi siswa bagi keperluan hidupnya. Dapat dikatakan, bahwa seorang anak yang memiliki kemampuan berbicara akan lebih mudah menguasai keadaan, baik di dalam kelas, dalam pergaulan antar teman, maupun kelak di tengah masyarakat di masa akan datang. c. Melakukan gerak (psikomotorik). Dalam bermain drama seorang pemain akan melakukan gerakan tertentu. Baik gerakan anggota tubuh di tempat ia berada, atau melakukan gerak berpindah tempat untuk keperluan dialog dalam alasan tertentu. Gerakan-gerakan yang dilakukan pemain harus memiliki alasan. (lihat Rendra,2007:37). Sedapat mungkin gerakan tanpa alasan yang timbul akibat gugup atau hilang kendali harus dihilangkan agar tidak menimbulkan kesan kurang menarik di pentas. Dampak yang dialami siswa dalam hal ini, siswa melatih kemampuan motoriknya yang sejalan dengan latihan kemampuan bicara (dialog dan monolog), interaksi sosial serta mempertegas pengungkapan (ekspresi) dalam hubungannya dengan keberadaannya sebagai individu. Sudah barang tentu keterampilan ini akan berdampak positif pula dalam interaksi di kelas. d. Merasa dan menghayati (afektif). Berbicara dalam drama merupakan aktivitas ekspresif dalam pengungkapan perasaan, kemauan maupun isi pikiran seorang
42
pemain. Siswa yang bericara berarti melakukan pengungkapan-pengungkapan akan isi pikiran, perasaan maupun kemauannya. Isi pikiran, perasaan dan kemauannya tak akan terwujud dengan baik tanpa perasaan atau penghayatan di dalamnya. Berbicara (dalam monolog maupun dialog)
yang dilakukan
pemain akan lebih terasa bila dilakukan dengan penuh perasaan dan pengahayatan. Dampak terhadap siswa dalam pembelajaran drama dalam hal ini adalah latihan mengahayati dan mengekspresikan pikiran, perasaan dan kemauan dalam konteks sosial anak. e. Melakon drama berarti mengekspresikan maksud, isi hati, pikiran maupun perasaan. Hal-hal tersebut dikomunikasikan melalui lakon drama yang ditampilkan siswa. Ekspresi pikiran maupun perasaan ini disebut telah dikomunikasikan, karena perilaku dalam lakon akan diberi makna oleh orang lain (penonton, juga guru), hal ini dimungkinkan karena setiap perilaku memiliki potensi komunikasi (lihat Mulyana dan Rakhmat,2000:13). Sehubungan dengan ekspresi tersebut, Thomas M. Scheidel (dalam Mulyana, 2007:4)
mengemukakan,
bahwa
kita
berkomunikasi
terutama
untuk
menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Dari ekspresi komunikatif
yang dilakukan siswa dalam melakon drama
tersebut tercermin diri dan kemampuan siswa yang perlu diketahui oleh guru, dimana cerminan tersebut mungkin tak tampak dalam interaksi sehari-hari yang terkesan formal dan verbal. Cerminan diri dan kemampuan siswa akan
43
sangat penting bagi penilaian dan interaksi guru di kelas. Makna teknis yang mungkin dapat ditangkap oleh guru antara lain,
siswa telah memiliki
kemampuan meragakan drama, siswa telah memiliki kemampuan interaksi sosial, siswa telah mengekspresikan diri, dan yang lebih praktis, siswa telah mampu melakukan dialog dengan gerak dan ucapan sesuai naskah. f. Pada saat terjadi kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia yang dipusatkan pada melakon drama, guru menyajikan mata pelajaran, menciptakan situasi belajar, menyampaikan materi pelajaran, memberikan tugas-tugas dan arahanarahan pelaksanaan kepada siswa. Dalam situasi ini sebenarnya telah terjalin komunikasi (pembelajaran) antara guru dengan siswa. Kemudian, siswa menerima penyajian itu dan bereaksi dengan berbagai sikap tanggap terhadap penyampaian guru. Reaksi ini dapat disebut umpan balik yang sangat penting bagi kelangsungan proses komunikasi pengajaran, karena menurut Komala (2009:117) umpan balik memberikan kontribusi pada fungsi komunikasi dengan jalan membuat komunikasi menjadi interaktif. Tanpa umpan balik, informasi yang mengalir dalam satu arah, tanpa ada jaminan untuk mengetahui apakah komunikasi telah terjadi. Umpan balik dapat digunakan
untuk
perencanaan, implementasi dan evaluasi. Aplikasi
dalam
umpan
balik
kepentingan pengajaran pengalaman-langsung antara lain, guru dapat menilai tingkat kemampuan memahami dan memeragakan drama siswa, mengukur sejauh mana hasil yang dicapai dalam pengajaran ini, sehingga dapat melakukan berbagai upaya memotivasi, atau pun memperbaiki pola pengajaran yang lebih kontekstual. Dengan umpan balik pemahaman dan peragaan drama,
44
guru dapat membuat perencanaan yang lebih baik didasarkan oleh kenyataan akan
kemampuan-kemampuan
yang
dapat
dihasilkan
oleh
kegiatan
pengajaran.Dalam proses pembelajaran, umpan balik ini tidak hanya diperoleh pada hasil tes akan tetapi dapat pula diperoleh melalui pengamatan proses. g. Drama disebut juga teater, dalam arti naskah drama yang dimainkan atau dihidupkan di pentas. Dampak bermain drama tidak hanya melahirkan seseorang menjadi seniman, baik sebagai pemain, sutradara maupun awak pentas, tapi memberikan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan latihan-latihan
kepemimpinan dan kerjasama. Wijaya (2007:6) menjelaskan,
bila seseorang ingin menjadi anggota masyarakat atau menjadi pemimpin, maka tak pelak lagi ia membutuhkan pelatihan “teater”. Dengan teater seseorang belajar untuk bekerja dalam satu tim, karena teater adalah latihan bergaul di tengah orang banyak. Lebih jauh, drama berdampak secara afektif, karena
drama
melatih
kepekaan
dan
kemampuan
seseorang
dalam
mengekspresikan diri dengan suara dan tubuhnya. Selain itu pembelajaran melalui drama menjadi suatu upaya pembelajaran untuk mengenal diri sendiri, demi kemantapan jatidiri, dalam kesalingterkaitan dengan orang lain sebagai makhluk sosial (lihat Wijaya,2007:6). Penjelasan-penjelasan ini menunjukkan, bahwa drama merupakan latihan-latihan sikap dan perilaku berdampak pada penyiapan diri siswa dalam bergaul menjadi anggota masyarakat, menjalin kerjasama, membentuk sikap kepemimpinan, yang kesemuanya sangat berguna bagi interaksi sosial secara eksternal. Sedangkan terhadap diri sendiri, ialah mengolah kepekaan rasa, mengenal diri sendiri, yang menyentuh aspek afeksi
45
pada eksistensi siswa dan kemampuan mengekspresikan diri sebagai anggota masyarakat kelak. Dalam meragakan drama, Philips (2004:6) mengemukakan, bahwa drama melibatkan seluruh tubuh siswa, pikiran dan perasaan, bahasa dan interaksi sosial. Drama sangatlah tepat digunakan dalam pengajaran bahasa. Pengajaran drama bagi siswa tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasarnya, akan tetapi lebih jauh dari kepentingan formal kurikulum ialah, dampak mental psikologis, interaksi sosial dan peningkatan ketrampilan berbahasa secara nyata. Melalui pengajaran pengalaman-langsung mata pelajaran Bahasa Indonesia pada materi melakon drama, belajar tidak hanya berlansung sepihak atau satu arah dari guru ke murid, akan tetapi keterlibatan siswa yang mengalami secara langsung memberikan peluang terjadinya perubahan perilaku secara konstruktif sebagai tujuan belajar (lihat Hanafiah dan Suhana,2010:20), perubahan mana terlihat pada keterlibatan siswa mengembangkan potensi dirinya secara nyata (bukan sekedar teoretis belaka), memeiliki kekuatan keyakinan akan pengetahuan yang diperoleh secara nyata melalui pengalaman langsung. Hal mana sangat sejalan dengan perubahan pandangan pendidikan, dari proses pengalihan isi pengetahuan ke arah proses pengaplikasian teori ke dalam realita pengalaman kehidupan. 2. Drama Anak-Anak Drama disejajarkan dengan puisi dan prosa dalam karya sastra. Drama merupakan karya sastra, sehingga sastra anak dapat diidentifikasi dengan drama
46
anak, atau sebaliknya drama anak termasuk dalam konteks sastra anak, sehingga pemahaman tentang drama anak dapat dikaitkan
atau dapat dilihat dari sisi
eksistensi sastra anak. Pengertian drama anak tak terlepas dari pengertian sastra anak. Agar dapat memahami drama anak dapat dimulai dari pemahaman umum tentang sastra anak. Sastra adalah karya imajinatif manusia yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan (Warren & Wellek, 1956, dalam Kurniawan, 2009:4). Teeuw (1988, dalam Ratna,2007:4-5) menguraikan batasan sastra sebagai berikut : Sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan berikut, kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan’su’, sehingga menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang selanjutnya merupakan satusatunya ciri khas kesusastraan.
Bila dipertajam ke dalam lingkup sastra anak, yang dikaitkan dengan kondisi mental, intelegensi dan dunia anak, Kurniawan, (2009:4-5) menguraikan tentang sastra anak, sebagai berikut: Pengertian mengenai sastra anak, dengan mengacu pada sudut karya itu, mencakup aspek; 1. Bahasa yang digunakan dalam sastra anak adalah bahasa yang mudah difahami oleh anak, yaitu bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman anak. 2. Pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai, moral, dan pendidikan yang disesuaikan pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak.
47
Dengan mempertimbangkan aspek bahasa serta nilai, moral, dan pendidikan yang harus
disetarakan dengan tingkat perkembangan psikologis,
kognitif, afektif dan psikomotorik, Kurniawan (2009:5) berpendapat, sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasa sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan emosional anak. Hal ini perlu diperhatikan, mengingat dari segi bahasa, seperti dikemukakan Rifatere (1978) dikutip Sugihastuti (2002:70), bahwa bahasa
dalam
sastra
terlihat
menyimpang.
Bahkan
Teeuw
(2002:71)
mengemukakan: pandangan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang khas sudah luas tersebar; khususnya puisi dianggap umum menunjukkan pemakaian bahasa yang spesial yang hanya dimanfaatkan oleh penyair; pemakaian bahasa itu dianggap menyimpang dari bahasa sehari-hari dan bahasa normal. Bahasa yang menyimpang itu tampil dalam kalimat yang gelap, aneh atau istimewa, menyimpang dari segi pilihan kata, sintaksis dan gramatikanya serta maksudnya yang tidak langsung dapat dimengerti. Dengan demikian, maka sastra anak dilihat dari segi bahasa dan isi haruslah sesuai dengan tingkat pemahaman anak terhadap kehidupan yang digambarkan dalam karya sastra anak itu juga seirama dengan dunia anak agar sastra anak akan dapat lebih akrab dengan kehidupan anak. Sastra anak tidak hanya dibaca oleh anak-anak saja, akan tetapi boleh, bahkan perlu, dibaca oleh orang dewasa, agar memberikan sejumlah pemahaman akan dunia anak bagi orang dewasa, terutama bagi orang tua, guru juga pemerhati anak. Dengan memperhatikan berbagai aspek dan eksistensi sastra anak, maka suatu gambaran mengenai drama anak dapat difahami sebagai berikut:
48
1. Drama anak sebagai karya sastra anak haruslah sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektual
dan
psikologi
anak.
Kesesuaian
ini
dimaksudkan agar anak mampu mencerna, menerima dan menikmati drama anak sebagai kegiatan yang menyenangkan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap apresiasi anak terhadap drama. 2. Drama anak sebagai karya sastra yang dibangun dengan bahasa tulis berbentuk dialog hendaknya mencerminkan dunia anak, problema anak dan bentuk pesan dan pendidikan anak, sebagai bagian dari upaya pengarahan dan pengembangan imajinasi dan kreastifitas anak yang merupakan bagian dari pendewasaan anak. Drama anak dapat disimpulkan sebagai lakon yang ditulis dan dimainkan sesuai dunia anak, tingkat perkembangan intelektual dan psikologi yang mudah dimengerti, bermanfaat, menyenangkan dan dapat dinikmati oleh anak. 3. Pembelajaran Drama di SD Dari kurikulum tahun 2006, sesuai Permendiknas RI nomor 22 tahun 2006, tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas tinggi, ditetapkan empat keterampilan yang menjadi dasar aktivitas praktis pembelajaran Bahasa Indonesia, yaitu keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis, dengan kerangka standar kompetensi dan kompetensi dasarnya yang menjadi tujuan pencapaian pembelajaran. Materi pokok/pembelajaran drama pada Model Silabus kelas V, kurikulum tingkat satuan pendidikan sekolah dasar, dapat dilihat pada keterampilan
49
berbicara; materi pokok/pembelajaran drama adalah drama pendek. Dalam hal ini bermain drama dilaksanakan sebagai aktivitas berlajar dalam keterampilan berbicara, mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan,
sebagaimana
disebutkan dalam standar kompetensi. Sedangakan dalam kompetensi dasar keterampilan berbicara dilaksanakan dalam bermain drama dengan memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator Kelas V Semester 2 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator 6. Berbicara Mengungkapkan 6.2. Memerankan tokoh 6.2.1. Membaca dialog pikiran dan drama dengan lafal, drama pendek dengan lancar perasaan secara intonasi, dan ekspresi dan jelas. lisan dalam yang tepat 6.2.2. Memerankan drama diskusi dan anak anak dengan lafal, bermain drama intonasi, pengahayatan, dan ekspresi yang sesuai karakter tokoh Permendiknas No. 22 tahun 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, hal 92
B. Model Pengajaran Pengalaman-Langsung pada Pengajaran Drama Umumnya,
istilah
pengajaran
tidak
dapat
dipisahkan
daripada
pembelajaran karena pengajaran dalam arti kata sebenarnya adalah mengajar pelajar untuk belajar (Joice dkk,2009). Dalam usaha menyampaikan pengajaran, pendidik bersama-sama baik secara langsung atau tidak langsung melatih pelajar mendapatkan informasi, idea, kemahiran, nilai dan cara berfikir. Pendidik sebenarnya mengajar mereka untuk belajar. Umumnya, pembelajaran adalah satu proses yang kompleks yang melibatkan dua pihak yaitu pelajar juga lingkungan
50
belajar. Di pihak pelajar diperlukan kemampuan, motivasi dan upaya agar dapat belajar dalam situasi lingkungan sosial dan akademik yang sesuai serta pengarahan yang berkesan bagi siswa. Walaupun keadaan prasarana persekolahan yang serba lengkap pada hari ini, serta para pendidik yang terlatih masih belum menjamin pencapaian yang memuaskan di kalangan semua pelajar. Sebagai pendidik, persoalan yang sering timbul dalam menjalankan tugas adalah tentang perbedaan dalam pencapaian siswa. Sekelompok siswa yang belajar dengan menerapkan
strategi dan
lingkungan pembelajaran yang sama, belum tentu akan menghasilkan output pembelajaran yang sama. Karena faktor personal siswa yang berbeda, dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar. Namun demikian, untuk kepentingan pengajaran dibutuhkan suatu sistem tertentu yang dapat diterapkan bagi semua siswa yang memiliki perbedaan personalitas itu, maka pengajaran perlu menggunakan suatu model. Model ini memanfaatkan metode tertentu yang dapat menunjang terlaksananya kebutuhan model yang diterapkan. Untuk kepentingan pembelajaran dibutuhkan suatu model pengajaran dengan lingkungan belajar tertentu, yang telah dikenal dalam aktivitas pembelajaran yang memungkinkan pencapaian hasil belajar. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode atau prosedur (Kardi dan Nur, 2000 dalam Trianto,2010:23). Model pengajaran mengisyaratkan suatu sistem aktivitas pengajaran yang di dalamnya terkandung strategi, metode, teknik maupun prosedur tertentu yang
51
digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Sukamto, dkk. (dalam Trianto 2010:22) mengemukakan maksud istilah model sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Selanjutnya, model
yang telah dikemukakan di atas mempunyai
kandungan yang dapat diuraikan itu sebagai berikut: a.
Istilah model pembelajaran meliputi pendekatan suatu model pembelajaran yang luas dan menyeluruh. Di dalamnya guru memandu siswa, guru memberi contoh-contoh penggunaan strategi dan keterampilan yang dibutuhkan dalam penyelesaian tugas siswa, guru menciptakan suasana fleksibel dan berorientasi pada kegiatan siswa. b. Model pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya. Misalnya klasifikasi pembelajaran berdasarkan tujuan pada pembelajaran langsung, suatu model yang membantu siswa mempelajari keterampilan dasar. c. Sintak (pola urutan) dari suatu model pembelajaran adalah pola yang menggambarkan urutan alur tahap-tahap keseluruhan yang pada umumnya disertai dengan serangkaian kegiatan pembelajaran. Sintaks (pola urutan) dari suatu model menunjukkan dengan jelas kegiatankegiatan apa yang harus dilakukan oleh guru atau siswa. d. Tiap-tiap model pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda. Misalnya, pada pembelajaran langsung, siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru, dengan tenang memperhatikan guru (lihat Trianto, 2010:23-24) Dalam proses pengajaran yang telah berlangsung selama ini terdapat beberapa model pengajaran yang sering dan praktis digunakan guru, seperti yang diseleksi oleh Arends (2001, lihat Trianto,2010:25), yaitu presentasi, pengajaran langsung, pengajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah dan diskusi kelas. Model-model tersebut akan digunakan sesuai materi
52
dan tujuan-tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sehingga diperlukan pemahaman materi, tujuan dan model itu sendiri secara korelatif. Keunggulan satu model dapat didorong lebih berdayaguna bila disesuaikan dengan tujuan, materi, lingkungan maupun sarana yang tersedia, karena itulah penggunaan model perlu diujikan agar tak lepas dari tujuan, materi, lingkungan dan sarana dimaksud.
Joice, Weil dan Calhoun (2009) mengemukakan empat kelompok besar model pembelajaran, yaitu kelompok mengajar yang memproses informasi, kelompok pengajaran sosial, kelompok pengajaran personal, dan kelompok sistem perilaku. 1. Model Pemrosesan Informasi menjelaskan, bahwa individu memberi respon yang datang dari lingkungannya dengan mengorganisasikan data, mengidentifikasi dan merumuskan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah. 2. Model pengajaran sosial merupakan suatu model pembelajaran yang dititik beratkan pada usaha-usaha mengembangkan kemampuan pembelajar agar dapat bersosialisasi dengan orang lain. 3. Model personal dalam pembelajaran menekankan pada proses mengembangkan kepribdadian siswa dengan memperhatikan bakat, kemampuan dan karakteristik siswa sebagai individu. 4. Model Sistem Perilaku merupakan model pengajaran yang didasarkan pada perubahan perilaku individu sebagai respon terhadap stimuli yang berasal dari lingkungannya.
53
Dengan memperhatikan tekanan pembelajaran dari keempat kelompok model tersebut, model personal mempunyai kedekatan hubungan praktis dengan pengajaran
pengalaman-langsung
dan
pengajaran
drama.
Model
ini
memperhatikan bakat, kemampuan dan karakteristik siswa sebagai individu yang dapat dikembangkan melalui pengajaran pengalaman-langsung sebagaimana yang dapat dilakukan pada pengajaran drama. Lebih jauh Joice, Weil dan Calhoun (2009:365) menjelaskan tujuan pengajaran personal sebagai berikut: Model Pengajaran personal memiliki beberapa tujuan. Pertama, menuntun siswa untuk memiliki kekuatan mental yang lebih baik dan kesehatan emosi yang lebih memadai dengan cara mengembangkan kepercayaan diri dan perasaan realistis serta menumbuhkan empati pada orang lain. Kedua, meingkatkan proporasi pendidikan yang berasal dari kebutuhan dan aspirasi siswa sendiri, melibatkan semua dalam proses menentukan apa yang akan dikerjakannya atau bagaimana cara ia mempelajarinya. Ketiga mengembangkan jenis-jenis pemikiran kualitatif tertentu seperti kreativitas dan ekspresi pribadi. Berdasarkan beberapa tujuan ini, model pengajaran personal. Kekuatan mental, kesehatan emosi, pengembangan kepercayaan diri, empati, kreativitas, dan ekspresi pribadi merupakan hal-hal yang sangat berkaitan dengan wujud aplikasi permainan drama. Seorang yang memerankan tokoh dalam drama sebenarnya berusaha memiliki kekuatan mental, dan kreativitas agar dapat memeragakan tokoh yang sedang diperaninya. Selain itu, pemain perlu memiliki empati terhadap keadaan tokoh yang diperaninya, agar dapat mengekspresikan keadaan tokoh itu. Hal-hal tersebut tentu merupakan pengalaman internal siswa yang dirasakan secara langsung. Sementara pengajaran personal memberikan pengalaman langsung, sebagaimana pengalaman langsung dalam pengajaran drama, di mana siswa yang memainkan atau memeragakan suatu peran drama
54
merasakan langsung pengalaman dalam perannya. Hal ini merupakan pengalaman personal dalam pengajaran drama yang dapat dialami pemain secara langsung dalam dirinya, ataupun secara bersama-sama di antara pemain-pemain lain yang membangun adegan demi adegan secara kolektif. Pementasan drama dilaksanakan secara kolektif, saling mendukung dan menjalankan tugas-tugas peran masing-masing saling terhubung antar seorang pemeran dengan pemeran lainnya. Kerjasama yang baik menjadi salah satu prasyarat berlansungnya permainan drama yang kompak. Di dalamnya terbangun komunikasi antar pemain yang saling mengisi dan memberi dalam penyelesaian sebuah adegan dan totalitas pertunjukan sejak mula hingga akhir pertunjukan. Setiap pemain harus percaya kepada pemain lainnya, di samping setiap pemain harus dapat meningkatkan kemampuan dirinya untuk melaksanakan tugas peran dengan sebaiknya. Dalam permainan drama situasi, peristiwa, komunikasi dan relasi antar pemain berlangsung secara hidup dan nyata sebagai suatu pengalaman yang langsung dihadapi dan dirasakan. Dengan begitu pengajaran drama menggunakan model ini memberikan peluang bagi keberlangsungan proses permainan lakon serta memberikan dampak dan manfaat tertentu. Beberapa hal yang berkaitan dengan penciptaan lingkungan belajar yang tepat akan sangat membantu pembelajaran drama ini, seperti a). penciptaan suasana yang nyaman dan santai, b). penggunaan musik supaya terasa santai, terjaga, dan siap untuk berkonsentrasi, c). ciptakan situasi nyaman dan sesuaikan suasana hati dengan perbagai jenis music, d). Penggunaan pengingat-pengingat
55
visual untuk mempertahankan sikap positif, e). Berinteraksilah dengan lingkungan (lihat DePorter dan Hernacki,2007:65). Penciptaan kondisi lingkungan seperti itu dimaksudkan agar proses pembelajaran drama dapat berlangsung dengan menyenangkan, tanpa tekanan, siswa termotivasi dan berkesan. DePorter dan Hernacki (2007:66) lebih jauh menjelaskan, jika ditata dengan baik lingkungan Anda dapat menjadi sarana yang bernilai dalam membangun dan mempertahankan sikap yang positif. Demikianlah, dalam pengajaran drama melalui pengajaran pengalaman-langsung, berbagai persiapan menata lingkungan akan sangat mendukung, mengingat proses yang dilalui adalah proses aktivitas praktis siswa yang secara dinamis akan menggunakan berbagai potensi dirinya, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pengetahuan yang diperoleh siswa yang menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik akan lebih berkesan dan terasa lebih hidup.
1. Model Pengajaran Pengalaman-Langsung. Dilihat dari sisi praktisnya (penerapan) model pengajaran pengalamanlangsung memiliki keterkaitan dengan model pengajaran langsung. Menurut Kardi (1997, dalam Trianto, 2010:43), pengajaran langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktik, dan kerja kelompok. Sedangkan dalam pengajaran pengalaman-langsung pemerolehan pengetahuan didahului oleh pengalaman konkret dimana siswa berada dalam situasi sebenarnya, kemudian direfleksikan oleh siswa setelah memiliki pengalaman itu, diikuti dengan siklus ketiga yang mulai memperlihatkan hasil berupa suatu pembentukan konsep
56
abstrak dan akhirnya suatu percobaan aktif. Pengalaman konkret tak bisa lain kecuali pengalaman yang langsung diterima siswa yakni pengalaman dari suatu kenyataan yang sesungguhnya, bukan sekedar melalui informasi verbal. Pengalaman langsung dalam pengajaran drama juga terkait dengan demonstrasi, pelatihan atau praktik dan kerja kelompok pendukung lakon drama. Model
pembelajaran
pengalaman-langsung,
sebagaimana
yang
dikembangkan oleh Kolb, yang kemudian disebut model pembelajaran Kolb, adalah suatu model pembelajaran pengalaman yang telah mendapat perhatian dari berbagai bidang kajian khususnya bidang-bidang yang menekankan pada kajian latihan-latihan praktis. Experiential learning is the process of making meaning from direct experience
(http://www.kaniki.com/experiential.htm, 24 Desember 2010).
Pembelajaran pengalaman (langsung) adalah proses penciptaan makna dari suatu pengalaman langsung. Strategi belajar melalui pengalaman (experiental learning) menggunakan bentuk induktif, berpusat pada siswa, dan berorientasi pada aktivitas. Penekanan dalam strategi ini adalah proses belajar, bukan hasil belajar. Jadi yang paling diutamakan adalah keterlibatan siswa agar dapat mengalami situasi secara langsung. Selanjutnya, teori pembelajaran pengalaman Kolb (1984) menyatakan bahwa idea bukanlah satu unsur pemikiran yang tidak boleh diubah tetapi ia terbentuk dan dibentuk mula-mula melalui pengalaman. Oleh karena itu, pembelajaran
adalah satu proses di mana konsep senantiasa diubah dan
disesuaikan oleh pengalaman.
57
Kolb (1984) mengedepankan salah satu kegunaan utama dari model diskriptif yang menggambarkan empat tahap pembelajaran yang saling mengikuti tahap demi tahapnya, seperti berikut:
Gambar menunjukkan suatu siklus: Concrete Experience diikuti oleh Reflection pada pengalaman konkrrit itu atas suatu pengalaman dasar personal. Ini kemudian dapat diikuti dengan arahan dari gambaran umum tentang pengalaman. Atau suatu bentuk
penerapan
teori-teori
yang
telah
dikenal
untuk
itu
(Abstract
Conceptualisation), agar membentuk cara-cara modifikasi peristiwa pengalaman nanti (Active Experimentation), membawa pada pengalaman konkrit berikutnya. Model DEL atau dikenal sebagai model pengalaman (experiential) yang memiliki kekuatan pada pengalaman langsung akan memberikan manfaat dan peluang dalam pengajaran drama. Manfaat itu secara individual antara lain: a. meningkatkan kesadaran akan harga diri dan rasa percaya diri b. meningkatkan kemampuan berkomunikasi, perencanaan dan pemecahan masalah c. menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi situasi yang buruk.
58
d. menumbuhkan dan meningkatkan rasa percaya antar sesama anggota tim, menumbuhkan dan meningkatkan semangat kerjasama dan kemampuan untuk berkompromi e. menumbuhkan dan meningkatkan komitmen dan tanggung jawab f. menumbuhkan dan meningkatkan kemauan untuk memberi dan menerima bantuan g. mengembangkan ketangkasan, kemampuan fisik dan koordinasi. (http://www.kaniki.com/experiential.html. 24 Desember 2010). Sedangkan
secara
kolektif
beberapa
manfaat
pola
pembelajaran
pengalaman (experiental learning) dalam membangun dan meningkatkan kerjasama tim antara lain adalah:
a. mengembangkan dan meningkatkan rasa saling ketergantungan antar sesama anggota tim. b. membuat peserta mengenal anggota tim lainnya lebih dekat lagi. c. meningkatkan keterlibatan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan d. mengidentifikasi dan memanfaatkan bakat tersembunyi dan kepemimpinan e. meningkatkan empati dan pemahaman antar sesama anggota tim. (http://www.kaniki.com/experiential.html. 24 Desember 2010).
2. Metode Drill dalam Model Pengajaran Pengalaman-langsung Penerapan model pengajaran pengalaman-langsung akan ditunjang dengan metode drill dalam aktivitas latihan-latihan yang berlangsung secara langsung. Metode drill disebut juga metode latihan. Metode latihan merupakan metode mengajar dimana siswa melaksanakan kegiatan latihan agar siswa memiliki ketangkasan atau ketrampilan yang lebih tinggi dari apa yang telah dipelajari. Roestiyah (2001) menguraikan: Kelebihan metode pelatihan • Ketegasan dan ketrampilan siswa meningkat atau lebih tinggi dari apa yang telah dipelajari • Seorang siswa benar-benar memehami apa yang disampaikan Kelemahan metode pelatihan a. Dalam latihan sering terjadi cara-cara atau gerak yang tidak berubah sehingga menghambat bakat dan inisiatif siswa
59
b. Sifat atau cara latihan kaku atau tidak fleksibel maka akan mengakibatkan penguasaan ketrampilan melalui inisiatif individu tidak akan dicapai. Metode latihan sebagaimana metode drill disangat erat kaitannya prinsip aktivitas dalam belajar siswa. Belajar bukanlah menghafal sejumlah fakta atau informasi. Belajar adalah berbuat; memperoleh pengalaman tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan, sebagaimana yang dikemukakan Sanjaya (2006:132). Berbuat mencerminkan prinsip belajar pada pengembangan aspek psikomotor. Lebih jauh lagi, dalam pengembangan kemampuan siswa, guru harus menyentuh aspek-aspek kepribadian siswa secara integratif, menyangkut aspekaspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Dalam pengajaran pengalaman-langsung aspek-aspek tersebut akan disentuh, melalui suatu proses pengajaran yang nyata dialami siswa. Proses itu melewati empat tahap, yaitu siswa berhadapan dengan pengalaman nyata, siswa memberikan refleksi pengamatan, siswa menyusun konsep abstrak tentang isi pengalamannya dan kemudian siswa memiliki pengalaman aktif. Dalam penerapan model pengalaman langsung ini, siswa berhadapan dengan pengalaman nyata dan langsung dalam pengalaman memeragakan drama, pengalaman ini tak luput dari pengamatannya dan siswa memberikan refleksi, kemudian pada tahap selanjutnya pengalaman dan pengamatannya dikonseptualisasi secara abstrak yang kemudian siswa memiliki pengalaman aktif sebagai suatu pengetahuan. Pada kenyataannya, pengalaman langsung ini memberikan pemahaman atau pengetahuan yang lebih lengkap dibandingkan dengan pembelajaran yang hanya teoretis saja.
60
3. Pengajaran Drama menggunakan model Pengajaran PengalamanLangsung. Tiga aspek kemampuan atau keterampilan (skill) yang sangat diperhatikan pada pelaksanaan pembelajaran dan dikembangkan pada diri seorang siswa oleh para guru dalam berbagai pelaksanaan pengajaran adalah kemampuan atau keterampilan pada aspek kognitif, kemampuan atau keterampilan afektif dan kemampuan atau keterampilan psikomotorik. Ketiga ranah kemampuan (skill) ini menjadi sangat penting karena merupakan tujuan-tujuan tertentu yang perlu dicapai dalam perubahan pada setiap kegiatan pembelajaran. Bloom dkk (lihat Hanafiah,2010:21-22) menguraikan indikator perubahan perilaku pada ketiga aspek tersebut yang dapat dikaitkan dengan aktivitas pengajaran drama, yakni: 1. Indikator aspek Kognitif, antara lain: ingatan atau pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan mengingat bahan yang dipelajari, pemahaman (comprehension), yaitu kemampuan menangkap pengertian, menterjemahkan, dan menafsirkan, penerapan (application) kemampuan menggunakan bahan yang telah dipelajari dalam situasi baru dan nyata, analisis (analisys), mampu menguraikan, mengidentifikasi dan mempersatukan atau menghubungkan bahan yang terpisah, sintesis (synthesis), mampu menyimpulkan dan mempersatukan bagian guna membangun suatu keseluruhan, penilaian (evaluation), yaitu kemampuan mengkaji nilai atau harga sesuatu berdasarkan criteria tertentu. 2. Indikator aspek Afektif, mencakup: penerimaan (receiving), mampu menerima atau memerhatikan suatu perangsang (stimulus), penanggapan (responding), keturutsertaan, memberi reaksi, senang memberI tanggapan suka rela, penghargaan (valuing) tanggap nilai, tanggung jawab, konsisten, dan komitmen, pengorganisasian (organization) mampu mengintegrasikan berbagai nilai yang berbeda, memecahkan konflik antarnilai, membangun sistem nilai dan pengkonseptualisasian suatu nilai. Pengakaraterisasian (characterization) yaitu proses afeksi di mana individu memiliki suatu sistem nilai sendiri yang mengendalikan perilakunya dalam waktu yang lama, penyesuaian diri secara personal, sosial dan emosional.
61
3. Indikator aspek Psikomotor, antara lain meliputi: persepsi, pemakaian alat-alat perasa untuk membimbing efektifitas gerak, kesiapan yakni kesediaan mengambil tindakan, respon terbimbing yang meliputi peniruan gerak, kemudian mencoba-coba. Mekanisme, yaitu adopsi gerak yang telah dipelajari dengan percaya diri. Respon nyata kompleks, penampilan gerakan secara mahir dan cermat, aktivitas motorik berkadar tinggi. Penyesuaian, yaitu dapat mengolah gerakan dan menyesuaikannya dengan tuntutan dan kondisi tertentu. Penciptaan (origination), penciptaan pola gerakan baru dengan situasi dan masalah tertentu sebagai kreativitas.
Pada keterampilan psikomotorik, siswa perlu memiliki keterampilan yang memanfaatkan aktivitas keterampilan fisiknya, misalnya keterampilan di bidang olah raga, keterampilan bidang teknik, keterampilan bidang seni atau keterampilan lainnya yang berkaitan dengan penggunaan anggota tubuh secara praktis. Agar siswa memiliki keterampilan seperti itu, dibutuhkan suatu metode pengajaran tertentu yang dapat mendorong dan meningkatkan kemampuan atau keterampilan (skill) psikomotorik dalam melakukan aktivitas secara praktis itu. Salah satu metode (atau teknik) yang dapat
dipilih adalah metode drill atau
metode latihan. Tentang metode atau teknik drill ini, Roestiyah mengatakan, bahwa: Teknik drill yang dapat diartikan sebagai suatu teknik yang dapat diartikan sebagai sutu cara mengajar dimana siswa melaksanakan kegiatan latihan, agar siswa memiliki ketangkasan atau ketrampilan yang lebih tinggi dari apa yang telah dipelajari. Latihan yang praktis, mudah dilakukan; serta teratur melaksanakannya membina anak dalam meningkatkan penguasaan ketrampilan itu; bahkan mungkin siswa dapat memiliki ketangkasan itu dengan sempurna. Pada aktivitas bermain drama yang menuntut ketrampilan memeragakan drama, siswa perlu memiliki sejumlah kemampuan atau keterampilan (skill) memeragakannya dengan menggunakan anggota tubuh, suara, maupun ekspresi
62
wajahnya, agar peragaan drama yang dilakukannya dapat ditunjukkan lebih baik. Tanpa keterampilan memeragakan, drama hanyalah aktivitas monoton belaka. Dalam pengajaran drama melalui latihan-latihan metode drill itu, kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan siswa dimulai dengan upaya memahami isi drama yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berperan dengan berbagai karakternya, latar yang mewadahi suasana atau situasi dan tempat kejadian cerita, tema yang menjiwai dan memperkuat esensi cerita dalam drama, amanat berupa pesan-pesan pengarang melalui lakon drama, alur yang membawa rangkaian sebab akibatnya cerita sejak dimulai, memasuki konflik hingga anti konflik dan berakhirnya cerita dalam drama. Kesemua unsur ini diperlukan agar dapat membangun suatu totalitas drama dan memperkuat kemampaun memerankannya. Dialog-dialog sebagai ciri bangun drama (yang tertulis) perlu dilatih oleh siswa agar dapat diucapkan atau disampaikan baik secara sendiri atau dengan lawan mainnya. Dalam latihan dengan metode drill, penyampaian pengucapanpengucapan itu perlu memperhatikan lafal, intonasi dan ekspresi agar pengucapan dan penyampaian wicara dapat berhasil baik. Sebagai contoh, dalam bermain drama pengucapan harus
dilakukan
dengan lafal yang baik. Lafal yang seperti dijelaskan Rendra (2010:19 – 20), berikut ini: ucapan yang jelas menurut ukuran sandiwara ialah, ucapan yang bisa terdengar setiap suku katanya. Di dalam sandiwara, percakapan para pemain di panggung harus bisa didengar oleh lebih banyak orang. Termasuk yang duduk di deret kursi paling belakang! Jadi, suara pemain harus menempuh jarak yang lebih panjang. Oleh karena itu, setiap suku kata harus dilepaskan secara lebih sabar, satu persatu saling menyusul dengan teratur sehingga yang belakang tidak menabrak yang depan.
63
Hal ini berarti dalam pembelajaran drama aspek-aspek lafal, intonasi dan ekspresi harus jelas dan memberikan afek dramatis.
C. Kemampuan Memahami dan Memeragakan Drama 1. Kemampuan Memahami Drama Memahami dapat diartikan sebagai gejala psikologis yang terjadi pada individu. Pemahaman adalah suatu proses mental yang merupakan perwujudan kegiatan kognitif. Kemampuan memamhami dapat dilihat, hanya dapat diuji. Uji pemahaman itu, bagi siswa, dapat dilakukan melalui tes, yang akan menghasilkan suatu produk pemahaman. Produk pemahaman adalah perilaku yang dihasilkan setelah proses pemahaman itu terjadi. Kegiatan pemahaman berkaitan dengan proses berpikir. Memahami drama
mempunyai arti sebagai keadaan siswa yang
mengetahui, mengerti, menyadari akan drama sebagai gejala yang merangsang kesadarn dan pemikiran siswa yang sedang mengalami proses pengajaran dengan indikator-indikator tertentu. Memahami drama merupakan suatu kemampuan memberi makna pada saat terjadi interaksi antara siswa yang terlibat dalam aktivitas pengajaran drama dengan materi pengajaran drama dan aktivitas memberikan respon terhadap bahan pengajaran yang dipelajari. 2. Kemampuan Memeragakan Drama Memeragakan, lebih mewujud pada bentuk-bentuk praktis dari suatu perbuatan melakukan suatu gerak, menunjukkan suatu bentuk perbuatan atau
64
perilaku yang disesuaikan dengan target-target perbuatan tertentu. Dalam hal ini bentuk-bentuk peragaan itu harus dapat diindikasikan pada suatu perbuatan yang tampak secara lahir dan dapat diamati demi kepentingan penelitian. Atau perbuatan memergakan drama itu mesti dapat diukur tingkat kemampuannya berdasarkan suatu parameter tertentu. Memeragakan dapat berarti menunjukkan dengan ekspresi dan anggota tubuh akan suatu bentuk perbuatan sehingga maksud perbuatan itu mewujud secara jelas,
dapat dilihat, diamati, dan dapat dimengerti. Bila siswa harus
memeragakan keadaan fisik seorang nenek tua yang sedang menyebrang jalan, maka siswa dimaksud harus terlihat berjalan lamban, perlahan, hati-hati dan agak takut, membungkukkan badan, tampak berusaha keras supaya dapat menyeberang dengan selamat. Suara siswa harus serak, agak lemah seperti suara seorang nenek, dengan nafas tersendat, tentunya. Jelasnya lafal, intonasi, ekspresi, lafal , intonasi, vokal dan bahasa tubuh siswa yang memeragakan keadaan seorang nenek harus jelas nampak, dapat diamati, dan dimengerti bahwa siswa tersebut sedang memeragakan seorang nenek sedang melangkah, menyeberangi jalan. Bila peraga berjalan tegap, cepat dengan kuat, tentu tidak memeragakan keadaan si nenek. 3. Persiapan Mementaskan Drama Drama sebagai pertunjukkan suatu lakon hanya mutlak disebut drama bila ia dipentaskan atau dipertunjukkan. Tanpa suatu pementasan, drama hanyalah merupakan unsur-unsur yang tidak hidup secara integratif sehingga naskah drama hanyalah berupa tulisan ceritera di kertas, aktor sebagai pemainnya atau sebagai
65
pemerannya tidak berbeda keberadaannya dengan manusia lainnya, pentas sebagai medan akting hanyalah suatu bangunan biasa saja. Menghidupkan drama, atau mementaskannya berarti berusaha mengangkat wujud pementasan tersebut secara integratif dari semua unsur dan fungsi dalam drama itu untuk dapat menyajikan suatu realitas pentas sesuai dengan motivasi pementasan yang dikehendaki. Menggarap cerita drama tidak bedanya dengan mewujudkan sesuatu yang belum nyata, menghidupkan naskah dengan dialog-dialog, pemeran-pemeran dan seluruh skenario pertunjukan sama dengan memberi jiwa, watak dan fungsi pada benda mati atau khayalan pribadi ke alam nyata dalam bentuk pertunjukan. Untuk membangun suatu cerita yang semula “hanyalah” tulisan di atas kertas, tentu bukan pekerjaan mudah. Sutradara bekerja mengolah naskah, memimpin latihan dalam berbagai tahap, para crew melakukan berbagai persiapan baik berkaitan dengan keperluan materi pendukung maupun upaya penciptaan suasana yang memungkinkan suatu adegan dapat dihadirkan dengan kuat dan berkesan, sementara para pemain harus semaksimal mungkin mengolah berbagai kemampuan dirinya agar dapat tampil, berakting dengan sebaik-baiknya. Untuk menghidupkan atau mementaskannya, dibutuhkan beberapa persiapan, yang harus dikerjakan para awak pementasan, antara lain sebagai berikut: 1.
Penata/Juru Rias; petugas yang menangani tata rias dalam pertunjukkan drama ialah seorang yang menangani rias baik muka serta tubuh secara keseluruhan untuk memberi kemantapan watak peranan yang akan ditampilkan dari itu bentuk rias yang diterapkan harus benar-benar sesuai
66
yang diminta sutradara, bukan sekedar mempercantik diri pemain tapi satu penampilan rias yang membedakan watak masing-masing pemain (tokoh) dalam pertunjukkan. Tata rias haruslah memenuhi ketentuan perwatakan naskah. 2.
Penata/Juru Busana; petugas yang menangani tata busana dalam pertunjukkan drama ialah “seorang yang mengatur dan menciptakan busana sesuai dengan kepentingan pertunjukkan, satu perlengkapan pakaian yang mendukung perwatakan pelakunya.
3.
Penata/Juru Panggung; petugas di bidang ini ialah pekerja-pekerja yang mengatur perlengkapan (property) dan hiasan ruang permainan membentuk dan menciptakan suasana tempat di mana para pelaku nantinya tampil membawakan lakon.
4.
Penata/Juru Musik; bagian ini merupakan pekerjaan yang halus dibanding petugas tata panggung, pekerjaan menyusun maupun menciptakan musik sebagai iringan atau melatar belakangi adegan drama.
5.
Penata/Juru Lampu; bagian ini merupakan pekerjaan kasar, artinya satu pekerjaan yang melibatkan petugasnya pada bahan atau peralatan nyata, yaitu penciptaan cahaya dan warna yang dapat memberi efek perwatakan dengan menggunakan lampu-lampu berwarna atau tidak. Selain persiapan tersebut di atas, suatu penggarapan pementasan juga ditekankan pada persiapan aktor dan pemilihan naskah. Seorang aktor hendaknya telah mengenal dasa-dasar berteater, telah mengikuti latihan dasar teater, yang meliputi latihan olah tubuh atau latihan fisik, latihan vokal juga memahami seluk beluk pementasan teater dan pementasannya. Dalam hal pemilihan naskah, biasanya telah dipilihkan oleh sutradara atau dipilihkan secara bersama oleh para pekerja teater. Dalam penelitian ini naskah dipilih dari naskah anak-anak tingkat sekolah dasar yang mengandung pesan moral keyakinan kepada Allah SWT dengan latar masa lalu.
67