BAB II PENGABDIAN DIRI MASYARAKAT JEPANG DAN KAMIKAZE
2.1 Masyarakat Berkebudayaan Rasa Malu Ruth Benedict dalam Situmorang mengatakan (1995 : 64) bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth Benedict membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Berbeda dengan masyarakt Jepang yang memiliki kebudayaan rasa malu (haji). Kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu ini mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau ia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang. Rasa bersalah tidak memerlukan hal tersebut (Benedict, 1982 : 233). Jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi malu dari dalam dirinya. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi adalah bukan rasa takut kepada dewa atau Tuhan, tetapi rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan masyarakat Jepang rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain atau prinsip keterutangan terutama pada utang budi. Oleh karena itu seluruh aktifitas mereka difokuskan pada penghindaran rasa malu (Situmorang, 2008 : 8). Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menerima dan memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral seperti tahu malu dan menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat menuntut kepada setiap orang warganya untuk membalas kembali segala kebaikan yang diterimanya. Kesaling berhutangan yang lebih dikenal dengan sebutan on merupakan pencurahan murni dari rasa pengabdian yang timbal balik antara si pemberi dan si penerima on (Benedict, 1982 : 5). On merupakan salah satu penggambaran moral bangsa Jepang yang begitu dalam. Yaitu rasa berhutang adalah suatu beban yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin, sehingga dapat dikatakan orang yang menerima on akan terbebani oleh on yang diterimanya. Seseorang dikatakan menerima on berarti telah menerima anugerah, pemberian atau kemurahan hati dari si pemberi on. Contoh kasus yang paling umum untuk menggambarkan adanya on adalah hubungan antara orang tua dengan anak. Di satu pihak orang tua memberikan seluruh kebutuhan si anak baik yang bersifat materi maupun non materi. Di lain pihak si anak menerima seluruh pemberian orang tua yang merupakan budi atau on. Oleh karena itu si anak mempunyai kewajiban membalas budi atas on yang telah diterimanya selama hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya pemikiran rasa malu tersebut, mengakibatkan orang Jepang lebih susah menerima dari pada memberi. Orang yang menerima akan mengatakan ‘arigatai’ yang kemudian disebut dengan ‘arigato’ yang secara harfiahnya adalah sesuatu yang sulit. Artinya seseorang yang telah menerima sesuatu dari orang lain harus memikirkan balasnya dan inilah yang sulit tersebut (Situmorang, 2008 : 9). Dalam pemikiran orang Jepang, konsep on diartikan sebagai beban atau suatu hutang yang harus dipikul oleh seseorang sebaik mungkin. Oleh karena itu diantara nilai-nilai yang mengatur tatanan sosial orang Jepang, on menduduki tempat yang utama dan secara moral hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Guna memahami konsep budaya malu dalam masyarakat Jepang, maka selanjutnya akan dibahas pemenuhan balas budi atau on, meliputi gimu sebagai hutang yang tidak mempunyai tenggang waktu dan giri sebagai hutang yang mempunyai limit waktu pembayaran serta kecenderungan penilaian untung rugi.
2.1.1 Gimu Menurut Benedict (1982 : 125) gimu adalah pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup dan tidak ada batas waktu pembayarannya. Dengan kata lain pelunasan kewajiban ini tidak akan pernah dapat dilakukan sepenuhnya dan tidak pernah berakhir selama masa hidupnya. Gimu ini harus dibayar seseorang karena adanya ikatan-ikatan yang kuat dan ketat pada saat ia dilahirkan. Sehingga pembayaran gimu ini sering disebut “orang tidak pernah dapat membayar kembali sepersepuluh ribu dari on ini” Mattulada dalam Afni (2005 : 28) mengatakan gimu merupakan suatu bentuk kewajiban atau tugas kepada lingkungan keluarga dekat, kepada penguasa yang
Universitas Sumatera Utara
menjadi simbol negerinya yang telah mengikat kesetiaannya semenjak seseorang itu lahir di dalam lingkungan keluarga dan bangsanya. On yang diterima dengan pembayaran secara gimu ini tidak dapat dihindari oleh setiap orang Jepang.
2.1.1.1 Chu Sebagai Pemenuhan On Terhadap Kaisar Dalam zaman Edo konsep chu adalah balas budi bushi terhadap tuan, balas budi tuan terhadap shogun, sehingga konsep chu bertumpu di tangan shogun (Situmorang, 1995 : 67). Konsep chu adalah kewajiban kepada pemimpin sekuler yaitu shogun. Kesetiaan kepada shogun sering bertentangan dengan kesetiaan bushi kepada tuan. Kesetiaan kepada shogun dirasakan sesuatu yang terpaksa sehingga dikatakan terasa dingin, tidak sehangat kesetiaan terhadap tuan (Benedict, 1982 : 133). Pemenuhan on adalah fakta konkrit dari budaya malu masyarakat Jepang dan pembayaran on yang paling utama adalah on kepada Kaisar. Kesetiaan seorang hamba kepadanya, yaitu chu merupakan kebajikan tertinggi. Kaisar dijadikan sebuah lambang yang berada di luar jangkauan segala macam pertentangan dalam negeri dan tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian mereka beranggapan bahwa Kaisar tidak ternilai maknanya, menyebabkan setiap orang berhutang budi padanya. Chu kepada Kaisar adalah yang utama. Seperti yang dinyatakan oleh Benedcit (1982 : 135-136) : Tetapi rakyat Jepang sepenuhnya menekankan kemanusiawian lambang tertinggi mereka. Mereka bisa mencintainya dan ia dapat membalas cinta itu. Kegembiraan mereka meluap-luap karena ia mengarahkan pikira-pikirannya kepada mereka. Mereka memusatkan hidup mereka untuk menentramkan hatinya.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, untuk menentramkan hatinya, setiap jiwa patuh dan tunduk kepada Kaisar. Pernyataan yang berbicara atas nama Kaisar adalah pernyataan yang menuntut chu dan merupakan sanksi yang lebih berat dari sanksi manapun yang dikeluarkan oleh sebuah negara modern. Contoh yang konkrit sebagai bakti terhadap Kaisar adalah pada saat penyerahan prajurit Jepang pada Perang Dunia II di tahun 1945. Berupa keputusan Kaisar atas pemberhentian perang yang dianggap sebagai pembayaran termahal dan bernilai tinggi. Dengan hak berkata bahwa Kaisar telah memberi perintah, meskipun perintah itu adalah perintah untuk menyerah.
2.1.1.2 Ko Sebagai Pemenuhan On Terhadap Orang Tua Selain pembayaran on kepada Kaisar atau disebut dengan chu, jenis pembayaran kembali on yang termasuk ke dalam gimu adalah ko. Ko adalah kewajiban membayar on terhadap orang tua dan nenek moyang. Setiap orang Jepang menyadari bahwa semenjak lahir mereka menerima on dari orang tua masing-masing. On tersebut adalah hutang terhadap segala sesuatu yang telah dilakukan orang tuanya yang diterima mereka selama hidupnya. Pernyataan bahwa ko adalah sebagai bagian dari gimu terhadap orang tua tidak bertentangan dengan pernyataan Tachibana dalam Bellah (1992 : 96) mengenai pemenuhan bakti anak kepada orang tua, sebagai bagian dari budaya malu. ; Kita mungkin bisa menggendong ibu kita di satu pundak, dan ayah kita di pundak yang lain, dan mengurus mereka selama seratus tahun, melayani mereka secara fisik dengan segala cara, dan menempatkan mereka di posisi yang mulia, tetap saja kasih sayang yang telah kita terima dari orang tua kita masih jauh dari terbalas.
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam masyarakat Jepang, pemenuhan ko kepada orang tua dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Pemenuhan ko tidak akan pernah dapat terbalas sepenuhnya sepanjang masa hidup si anak. Oleh karena itu perwujudan balas budi ko ini tidak hanya dilakukan sewaktu orang tua masih hidup, akan tetapi masih berlanjut sampai penyembahan kepada leluhur nenek moyang. Contoh balas budi ko juga dapat dilakukan dengan cara menerima pilihan orang tua dalam memilih pasangan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Benedict (1982 : 128) bahwa untuk membayar kembali on kepada orang tua, seorang putra yang baik tidak dapat mempermasalahkan pilihan orang tua dalam memilih istri.
2.1.2 Giri Mattulada dalam Afni (2005 : 30) mengatakan giri merupakan hutang yang harus dilunasi dengan perhitungan yang pasti atas suatu kebajikan yang telah diterima yang mempunyai batas waktu. “Giri,” begitu kata pepatah Jepang, “adalah paling berat untuk ditanggung”. Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah serentetan kewajiban yang berlainan warnanya (Benedict, 1982 : 140). Berbeda dengan gimu, giri merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar oleh seseorang yang atas segala kebaikan yang diterimanya dari orang lain dengan jumlah yang tepat sama dan memiliki limit waktu pembayaran. Sehingga pemenuhan kewajiban giri yang kurang dari nilai yang diterima menyebabkan seseorang dicap sebagai orang yang tidak tahu giri, sedangkan pengembalian yang melebihi dari apa yang diterima sama dengan memaksa orang lain memikul on. Dengan adanya ketentuan-ketentuan pembayaran tersebut, berarti giri mengikat orang Jepang. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu orang Jepang sedapat mungkin berusaha menghindar dari resiko giri ini dan sebaliknya, mereka pun berhati-hati agar orang lain jangan sampai terlibat dalam kewajiban pembayaran on ini. Ruth Benedict (1982 : 141) membagi giri ke dalam dua bagian yang jelas, yaitu : 1. Giri kepada dunia, arti harfiahnya “membayar kembai giri”- adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya. 2. Giri kepada nama, adalah kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah.
2.1.2.1 Giri Terhadap Dunia Giri terhadap dunia adalah kewajiban membayar kembali on kepada sesamanya. Menurut Mattulada dalam Afni (2005 : 31) giri kepada dunia adalah kewajiban-kewajiban kepada pertuanan-kaum, kepada hubungan-hubungan keluarga, kepada orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan penerima, seperti pembagian uang guna kebajikan, pemberian bantuan pekerjaan dan pada teman sekerja. Giri kepada dunia adalah suatu penggambaran pemenuhan kewajiban berdasarkan hubungan yang bersifat kontrak, berbeda dengan gimu yang merupakan pemenuhan kewajiban atas dasar hubungan akrab sejak lahir. Dalam kasus hubungan suami istri di Jepang, Giri mencakup semua kewajiban seseorang atas keluarga mertuanya. Sehingga ada istilah “bapak giri” untuk bapak mertua dan “ibu giri” untuk ibu mertua.
Universitas Sumatera Utara
Selain giri terhadap mertua, terdapat giri yang lebih penting. Dalam sejarah Jepang, giri seseorang terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit melebihi giri terhadap mertua. Hal tersebut terjadi dalam golongan samurai dan dijadikan sebagai nilai kebajikan samurai. Bahkan giri terhadap tuan ini merupakan kewajiban yang paling tinggi melebihi chu terhadap shogun.
2.1.2.2 Giri Terhadap Nama Giri terhadap nama adalah kewajiban untuk menjaga agar reputasinya tidak buruk dan terhindar dari noda atau celaan. Noda tersebut dapat memaksa seseorang untuk membalas dendam kepada orang yang merugikan namanya atau memaksa seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Kewajiban-kewajiban itu adalah tindakan yang tetap menjaga nama baik seseorang tanpa mendasarkan pada suatu utang tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain. Pembalasan dendam hanyalah salah satu kebajikan yang mungkin diwajibkan pada suatu kesempatan. Giri ini juga mencakup tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari orang yang mempunyai harga diri adalah bagian dari giri terhadap nama. Giri terhadap nama juga berarti memenuhi banyak macam ikatan selain ikatan yang ada hubungannya dengan tempat yang sesuai. Seorang yang berhutang bisa mempertaruhkan giri terhadap namanya ketika meminta pinjaman dan jika sampai pada jatuh tempo pelunasan hutang ia tidak mampu membayarnya maka orang tersebut mungkin akan melakukan bunuh diri untuk membersihkan namanya (Benedict, 1982 : 158).
Universitas Sumatera Utara
Giri terhadap nama juga terdapat dalam kisah 47 ronin. Cerita ini menggambarkan bahwa untuk membersihkan nama baik tuannya, mereka rela berkorban melakukan adauchi yang berarti melakukan balas dendam atas tuan. Kisah ini dirasakan cukup tragis karena setelah melakukan adauchi ke 47 ronin tersebut melakukan bunuh diri mengikuti kematian tuan atau lebih dikenal dengan istilah junshi.
2.2 Pengabdian Diri dalam Bushido Jika dilihat dari huruf kanjinya bushido yang terdiri dari 武士 ‘ bushi’ yang berarti ksatria dan道‘dou’ yang berarti jalan. Maka bushido secara harfiah memiliki arti jalan ksatria. Bushido adalah jalan atau pedoman bagi kaum ksatria yang memiliki makna sebagai jalan yang harus dipatuhi oleh para ksatria atau samurai dalam akitifitas kesehariannya. Bushido juga merupakan kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha yaitu Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan harmoni yang dikatakan orang Jepang “kekuasaan yang absolute” kesemua ini dicapai melalui meditasi (Suryohadiprojo, 1982 : 48). Clearly dalam Wulandari (2006 : 22) mengatakan pada dasarnya ajaran Zen mengajarkan untuk memperoleh keselamatan melalui meditasi dan penghayatan kekosongan. Dalam meditasi ini, seorang samurai diharapkan untuk dapat berkonsentrasi dan mengenali diri sendiri serta tidak membatasi diri sendiri. Tujuan dari meditasi ini agar para samurai nantinya dapat mengendalikan rasa takut, rasa
Universitas Sumatera Utara
tidak tenang dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan para samurai tersebut terbunuh dalam pertempuran. Watsuji dalam Situmorang (1995 : 21) mengatakan bahwa ada perbedaan etos pengabdian bushi sebelum zaman Edo dengan etos pengabdian diri pada zaman Edo. Etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo adalah pengabdian kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Buddha Zen. Sedangkan pemerintah Tokugawa pada zaman Edo berusaha mengubahnya dengan dasar ajaran konfusius yang disebut dengan shido.
2.2.1 Kesetiaan terhadap Tuan Terdapat perbedaan etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo dengan etos pengabdian diri bushi pada zaman Edo. Hal tersebut karena adanya pengaruh ajaran Buddha Zen dan konfusionis. Pada era sebelum zaman Edo, pengaruh ajaran Buddha Zen terasa begitu kuat dalam jiwa para bushi. Pandangan dalam ajaran Buddha Zen pada waktu itu, bahwa perjalanan di dunia kematian adalah gelap, oleh karena itu para anak buah harus rela mati untuk menemani perjalanan kematian menuju raise (dunia setelah mati). Ini diperkuat lagi oleh pandangan reinkarnasi yang dipercaya oleh bushi (Situmorang, 1995 : 22). Oleh karena itu, pengabdian diri bushi terhadap tuan adalah sesuatu yang mutlak bagi hidup seorang bushi. Sebagai tanda pengabdian diri bushi terhadap tuannya, sering kali terlihat anak buah melakukan adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) dan junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan). Menurut Tsunetomo dalam Situmorang (1995 : 25), bushido adalah janji untuk mengabdikan diri bagi tuan. Dia berkata bahwa para anak buah hanya
Universitas Sumatera Utara
mempunyai satu tujuan hidup yaitu untuk mengabdi kepada tuan. Menurutnya hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu : 1. Secara absolute mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan. 2. Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan. Hal tersebut juga didukung oleh adanya konsep Ie dalam masyarakat Jepang. Karena di dalam Ie tuan dan pengikut mempunyai ikatan hubungan yang sangat erat dari generasi ke generasi. Segala sesuatu yang diberikan tuan selama hidupnya merupakan on (budi baik) dan seorang bushi anak buah wajib membalas on tersebut berupa giri (balas budi). Mengalami kematian ketika sedang mengabdi kepada pangeran dianggap sebagai akhir yang paling layak bagi seorang samurai (Bellah, 1985 : 125). Pengabdian diri seorang bushi anak buah tidak memperdulikan sesuatu apapun, tidak memperdulikan apakah itu benar atau salah, tetapi yang terpenting adalah setia terhadap tuan. Konsep kesetiaan bushi menurut Tsunetomo dalam Situmorang (1995 : 25-33) tercantum dalam berbagai pasal dalam bab pertama dan bab kedua dari sebelas bab Hagakure. Hagakure adalah sebuah tulisan yang berisikan pelajaran bushi yang lahir pada zaman Edo dari daerah Nabeshima. Tulisan tersebut berisikan pembicaraan Tsunetomo kepada Tashiro Tsuramoto tentang bagaimana seharusnya kehidupan bushi pada waktu itu. Berikut adalah kutipan dalam bab I pasal 31 hagakure : Pekerjaan sembah sujud setiap pagi, pertama-tama adalah sujud kepada tuan, kemudian sujud kepada ayah, sujud kepada dewa keluarga, baru sujud kepada Buddha. Jikalau mengutamakan tuan, ayah akan gembira, dewa keluarga dan Buddha pun menyetujuinya. Jangan memikirkan yang lain lebih penting dari
Universitas Sumatera Utara
pada tuan. Kalau ada sesuatu kesusahan, tidak boleh lupa kepada tuan. Wanita mengutamakan suami, suami mengutamakan tuan.
Bushido mengajarkan para bushi untuk mengabdi pada tuan, bahkan tuan lebih diutamakan dari pada pengabdian kepada ayah sendiri, dewa dan Buddha. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh rasa terima kasih yang besar dalam diri bushi kepada tuannya. Sehingga pengabdian kepada tuan bersifat mutlak.
2.2.2 Kesetiaan terhadap Shogun Pada zaman feodal Jepang, chu adalah kewjiban kepada pemimpin sekuler, yaitu shogun. Pada abad-abad itu, shogun adalah jenderalisimo dan pengelola utama. Meskipun chu harus ditujukan kepadanya, tetapi sering berbenturan dengan kesetiaan yang ditujukan kepada penguasa feodal setempat (Benedict, 1982 : 133). Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan ikatan yang kuat secara langsung antara bushi anak buah dengan tuannya, sehingga kesetiaan bushi kepada shogun tidak seperti kesetiaan bushi terhadap tuan. Pada masa pemerintahan militer sebelum berkuasanya keshogunan Tokugawa, banyak sekali terjadi perlawanan penguasa-penguasa feodal di daerah untuk menjatuhkan shogun yang berkuasa pada waktu itu dan juga peperangan antar daimyo. Varley (2008 : 19) menyatakan bahwa dalam masyarakat agraris pra modern, bentuk kekayaan utama adalah tanah, maka ganjaran yang paling penting adalah tanah atau klaim untuk mendapat penghasilan atasnya. Oleh karena itu pertempuranpertempuran yang terjadi pada abad-abad militer dalam sejarah Jepang dilakukan demi tanah. Tujuan utamanya dalam setiap konflik adalah hak untuk menyita kepemilikan musuh.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan zaman feodal sebelumnya yang ditandai dengan perang yang berkepanjangan di Jepang yang disebut dengan Sengoku Jidai (masa perang seluruh negeri). Tokugawa yang menjadi shogun pada zaman Edo melihat pengalaman para shogun pada masa sengoku. Hal yang paling fundamental yang dilakukan keshogunan Tokugawa adalah mengubah etos pengabdian bushi dari tuan kepada keshogunan. De bary dalam Situmorang (1995 : 70) menyatakan bahwa pada zaman Edo, konfusionis telah berperan membentuk sifat nasionalisme Jepang. Pada zaman Edo Ieyashu memerintahkan supaya para daimyo membuka sekolah-sekolah untuk mengajarkan konfusionis di daerah. Karena itu dikatakan bahwa pelajaran konfusionis mendominasi sistem pendidikan Jepang pada zaman Edo. Konfusionis yang ditanamkan dalam shido telah berfungsi sebagai sarana legitimasi regim Tokugawa. Sehingga seluruh kekuasaan di Jepang pada waktu itu tertumpu pada Tokugawa. Untuk memperkuat pemerintahan keshogunan, Tokugawa menunjuk Hayashi Razan sebagai seorang kangakusha untuk mengajarkan konfusionis di kalangan daimyo dan juga para bushi di keshogunan. Hayashi razan memunculkan lima pemikiran yang disebut dengan gorin. Gorin adalah lima macam etika kesadaran yaitu pengabdian pengikut terhadap tuan, pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan orang sederajat (Situmorang, 1982 : 44). Pemikiran kesadaran terhadap gorin tersebut dirumuskan dalam shido. Oleh karena itu, tugas kangakusha adalah membuat rumusan shido yaitu bagaimana seharusnya jalan hidup bushi dalam zaman Edo.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi kemudian para kangakusha ini tidak mampu merumuskan konsep shido. Oleh karena para kangakusha tidak memisahkan ajaran Buddha Zen dan konfusionisme, Yamaga Soko seorang
pemikir dari kalangan swasta mampu
merumuskan konsep shido yang berlandaskan ajaran konfusionisme. Di dalam konsep shido yang diajarkan oleh Soko titik beratnya ialah penjelasan akan gorin dengan perhatian utama adalah penjelasan jalan hidup tuan dan jalan hidup anak buah secara mendetail. Watsuji dalam Situmorang (1977 : 198) mengatakan dengan demikian jelas kelihatan bahwa shido muncul dari pemikiran kangakusha yang muncul dari pengalaman dari zaman Sengoku Jidai (masa perang seluruh negeri). Hal inilah yang mendorong Ieyashu untuk mengambil jugaku (konfusionis) sebagai pendidikan politik, dengan tujuan supaya negara aman. Soko dalam Situmorang (1995 : 57) mengajarkan juga sebagai pengganti junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) adalah jalan yang baik. Yaitu bushi sebagai anak buah harus melewatkan seumur hidup mengabdi di atas tatami. Maksudnya bushi harus menetapkan dalam hati keharusan mengabdikan jiwa raga membantu menyelesaikan masalah-masalah Ie jika Ie mati ditinggal tuan. Menurutnya pengabdian jiwa raga seperti ini yang cocok bagi bushi yang hidup damai pada zaman Edo. Jadi jika ada bushi anak buah yang tampil untuk menyelamatkan Ie dalam keadaan seperti ini maka pengabdian tersebut dapat dikatakan lebih baik seratus kali lipat dari pada junshi. Untuk memperkuat pemerintahan Tokugawa sebagai penguasa tertinggi di seluruh Jepang, Tokugawa mengubah makna moralitas yang berlaku di masyarakat dengan tujuan pemusatan rasa terima kasih kepada pemerintahan Tokugawa bagi
Universitas Sumatera Utara
seluruh negara Jepang, yaitu dengan cara menanamkan kesadaran akan peringkat atas dan bawah. Peringkat kekuasaan adalah keshogunan sehingga merupakan pemberi on tertinggi bagi masyarakat Jepang (Situmorang, 1995 : 66). Chu adalah konsep balas budi dari pengikut terhadap tuan, bukan balas budi dari anak terhadap ayah. Dalam zaman Edo konsep chu adalah balas budi bushi terhadap tuan, balas budi tuan terhadap shogun. Sehingga konsep chu ini bertumpu di tangan shogun (Benedict, 1982 : 133). Konsep giri dalam pelajaran shido, diubah menjadi giri yang berarti mengabdi memikirkan untung rugi. Pemikiran giri dalam ajaran shido ini membuat rasionalisasi hubungan tuan dengan anak buah, dan hal ini mengubah kesetiaan anak buah terhadap tuannya. Dalam konsep chu, atasan tertinggi dalam kelompok adalah seseorang kepada siapa orang paling banyak berhutang. Rasa berhutang seseorang bukanlah merupakan kebajikan. Hal ini dimulai pada saat seseorang ini memutuskan dirinya secara aktif menembus hutang tersebut (Benedict, 1982 : 121). Dalam masyarakat Edo, bushi sering dikatakan sebagai pemelihara moralitas, karena pekerjaan bushi bukan mengolah, bukan berdagang dan bukan berperang. Di dalam masyarakat yang damai karena tidak ada perang maka bushi menjadi penganggur. Oleh karena itu dalam ajaran shido dikatakan
bahwa bushi harus
menyadari eksistensinya sebagai hati di dalam badan. Bushi adalah sebagai guru masyarakat.
2.3 Militerisme di Jepang dan Kamikaze
Universitas Sumatera Utara
Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II bukanlah sesuatu yang tiba-tiba datangnya, namun merupakan puncak suatu proses. Serangan mendadak yang dilakukan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor, Hawai pada tanggal 7 Desember 1941 adalah puncak proses tersebut. Dalam perkembangan sejarah Jepang militerisme merupakan salah satu ciri khas dari negeri samurai ini. Militerisme di Jepang lahir sejak berlakunya feodalisme di Jepang. Yang ditandai dengan munculnya kaum samurai hingga terbentuknya pemerintahan keshogunan pertama di Kamakura yang dipimpin oleh shogun Minamoto Yoritomo sebagai shogun pertama. Pemerintahan keshogunan ini berdiri sendiri terlepas dari pemerintahan Kekaisaran pada waktu itu. Inilah awal pemerintahan bakufu (militer) di Jepang yang berlanjut hingga zaman Edo selama lebih kurang tujuh abad. Golongan militer di Jepang pada zaman pra modern disebut dengan istilah bushi atau samurai. Golongan bushi ini lahir pada zaman Heian sampai pada akhir zaman Edo karena pada zaman Meiji terjadi restorasi atau perubahan yang sangat fundamental yaitu salah satunya penghapusan golongan samurai dalam masyarakat Jepang dan digantikan dengan sistem wajib militer hingga terbentuk tentara keKaisaran Jepang.
2.3.1 Sejarah Militerisme di Jepang Sagara dalam Situmorang (1995 : 9) mengatakan bahwa dari awal masa feodal di Jepang yang ditandai dengan munculnya kekuasaan keshogunan pada zaman Kamakura (1185-1333) hingga zaman Edo (1603-1868) tidak lahir ideologi baru.
Universitas Sumatera Utara
Masalah feodalisme di Jepang erat kaitannya dengan perbushian (kemiliteran) karena lahirnya feodalisme tersebut berhubungan dengan menguatnya kekuatan bushi. Para kizoku melakukan penguasaan tanah secara pribadi yang disebut dengan shoen yang terpisah dari system yang ditetapkan oleh pemerintah keKaisaran. Bushi lahir dari konflik-konflik yang terjadi dari peperangan antara kizoku dalam hal penguasaan tanah di daerah. Bushi pada awalnya adalah kelompok petani yang dipersenjatai oleh para kizoku untuk melindungi shoen tersebut. Pada perkembangan selanjutnya bermunculan pemimpin-pemimpin yang memepersatukan kekuatan bushi. Salah satunya adalah klan Minamoto. Minamoto membangun kekuatan militer di daerah Kamakura dan bermaksud mendirikan pemerintahan bakufu (militer) yang berdiri sendiri yang terlepas dari pemerintahan keKaisaran dan Kaisar pada waktu itu pun menyetujuinya. Permulaan pemerintahan oleh shogun dapat dianggap sebagai permulaan sistem feodal. Pemerintahan shogun dibantu dengan adanya ikatan tuan dengan hamba antara Yoritomo dan para samurai di wilayah timur. Antara kedua pihak terjadi hubungan tanggung jawab paternalistis dan pengabdian setia, sementara tentara bayaran itu dengan setia mengabdi kepada bakufu, mengerjakan tugas militer dan memenuhi tanggung jawab keuangan (Sakamoto, 1982 : 22). Pemerintahan Kamakura berakhir pada tahun 1333 ketika terbunuhnya putra Yoritomo yang bernama Minamoto Sanetomo dan pemerintahan Kamakura di pegang oleh keluarga istrinya yaitu keluarga Hojo. Di daerah dan kalangan birokrat keshogunan terjadi keributan, sehingga pada waktu yang bersamaan keshogunan diserang oleh ashikaga takauji dari keluarga sekkan Fujiwara di Kyoto.
Universitas Sumatera Utara
Setelah runtuhnya pemerintahan Kamakura, pemerintahan keshogunan beralih pada Ashikaga Takauji yang disebut dengan pemerintahan Muromachi. Pada zaman Muromachi ini, shugo di seluruh negeri terbagi menjadi dua dan saling berperang. Perang ini berlanjut hingga era Sengoku Jidai (perang seluruh negeri). Pada era Sengoku Jidai timbul semboyan gekokujo ikki yang berarti bawahan menjatuhkan atasan. Sepanjang zaman sengoku, daimyo di seluruh negara memperkuat posisinya di wilayah masing-masing. Dari tempat itu mereka berusaha memperluas kekuasaannya dan peperangan berlangsung tanpa henti. Oda Nobunaga seorang daimyo dari Owari adalah seorang daimyo pertama yang menjatuhkan keshogunan Muromachi. Masa feodalisme sejak zaman Kamakura, Muromachi, Azhuchi Momoyama adalah masa dimana Jepang mengalami berbagai perang dimana penguasa daerah saling berebut wilayah dan berusaha menjatuhkan keshogunan. Kondisi ini berbeda dengan zaman Edo, pada zaman ini keshogunan dipimpin oleh Tokugawa yang berhasil memenangkan pertempuran sekigahara. Tokugawa yang menjadi shogun pada waktu itu melihat pengalaman para shogun sebelumnya. Oleh karena itu Tokugawa merubah etos pengabdian diri pada tuannya dengan memasukkan pengaruh ajaran konfusionis dalam ajaran bushido yang sebelumnya dipengaruhi oleh ajaran Buddha Zen. Etos pengabdian diri ini berpusat pada shogun. Dengan demikian kaum samurai tidak lagi berperang, tetapi lebih banyak menjalankan tugas administrasi. Namun keshogunan tidak menghilangkan nilai kesetiaan dan keberanian samurai dalam ajaran bushido. Tokugawa mengisolasi Jepang dari dunia luar selama sekitar 250 tahun. Tetapi pada tahun 1854 pengaruh asing mulai masuk ke Jepang karena armada
Universitas Sumatera Utara
Amerika serikat yang dipimpin oleh Komodor Perry memaksa keshogunan Tokugawa untuk membuka wilayah Jepang. Hal tersebut berakibat pada munculnya pemberontakan dari kalangan samurai. Para samurai menuntut penyerahan kekuasaan pemerintahan dari keshogunan kepada keKaisaran. Akhirnya pada tahun 1868 keshogunan menyerahkan pemerintahan kepada keKaisaran. Inilah akhir dari feodalisme di Jepang. Setelah keshogunan mundur, maka Jepang melakukan pembaharuan yang disebut dengan resotorasi Meiji. Dalam proses pembaharuan ini Jepang juga mengadopsi beberapa institusi barat, termasuk pemerintahan modern, sistem hukum dan militter. Hasilnya Jepang mengalami kemajuan pesat dalam segala bidang. Dalam bidang militer sendiri, Jepang memiliki kekuatan militer berupa Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang hanya dalam tempo beberapa puluh tahun tumbuh kuat dan modern. Tumbuhnya Jepang sebagai kekuatan militer yang baru, diakui oleh negara-negara barat. Pertumbuhan militer ini selain didukung oleh kemajuan industri juga didukung oleh latar belakang kelas samurai. Kemajuan militer dan industri yang dialami Jepang membuat Jepang melakukan ekspansi keluar. Pada tahun 1904-1905 terjadi peristiwa penting yang disebut dengan perang Jepang-Rusia. Kemenangan Jepang atas Rusia membuat Jepang menguasai wilayah Manchuria (bagian dari wilayah Cina). Agresi militer Jepang ke wilayah Manchuria ini berlanjut pada keikutsertaan Jepang pada Perang Dunia II.
2.3.2 Kamikaze
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1281 armada Kubilai Khan mencoba memasuki laut Jepang. Usaha itu gagal karena angin topan tiba-tiba muncul dan menghancurkan armada Kubilai Khan tersebut. Oleh orang Jepang, angin topan itu dianggap sebagai angin penolong kiriman dewa, yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Kamikaze. Dalam bahasa Jepang, istilah yang digunakan untuk memanggil unit-unit pelaku serangan-serangan bunuh diri tersebut adalah tokubetsu kōgeki tai 「特別攻撃隊」, yang secara harfiah berarti "unit serangan khusus." Ini biasanya disingkat menjadi tokkōtai 「特攻隊」. Pada Perang Dunia II, skuadron-skuadron bunuh diri yang berasal dari Angkatan Laut KeKaisaran Jepang disebut shinpū tokubetsu kōgeki tai 「神風特別攻撃隊」, di mana shinpū adalah bacaan on-yomi untuk karakter kanji yang sama yang membentuk perkataan Kamikaze. Kamikaze adalah semacam aksi bunuh altruistik. Durkheim mengatakan Altruistic suicide, yaitu bila individu merasa terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, sehingga ia merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya, misalnya harakiri di Jepang. Kamikaze bukan hanya sebuah siasat untuk memenangi perang melainkan juga merupakan sebuah tradisi budaya Jepang. Masyarakat Jepang dibesarkan dan dididik dengan ajaran moral yang telah diwariskan oleh para leluhurnya sebagai suatu produk budaya Jepang. Salam (1997 : 3) mengatakan moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia manusia. Moralitas adalah tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dasn bagaimana menghindari
Universitas Sumatera Utara
perilaku-perilaku yang tidak baik. Masyarakat Jepang menurut Benedict adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Masyarakat Jepang akan merasa malu apabila tidak dapat membalas kebaikan yang telah diberikan oleh orang. Kebaikan yang diberikan orang disebut dengan on. Pemenuhan on adalah fakta konkrit dari budaya malu masyarakat Jepang dan pembayaran on yang paling utama adalah on kepada Kaisar. Pemimpin pasukan Kamikaze yaitu Laksamana Madya Onishi dalam setiap pemberangkatan pilot-pilot Kamikaze selalu berorasi : Kamu bakal menjadi dewa tanpa keinginan duniawi. Tidak jadi soal agi apakah pengorbananmu berhasil atau tidak? Kamu tidak akan bisa tahu hal ini karena kamu akan memasuki tidur abadi. Aku akan mengawasi usahamu hingga akhir dan melaporkan perjuanganmu pada Kaisar.
Kesetiaan seorang hamba kepada Kaisar, yaitu chu merupakan kebajikan tertinggi. Kaisar dijadikan sebuah lambang yang berada di luar jangkauan segala macam pertentangan dalam negeri dan tidak dapat diganggu gugat.. Pada perang pasifik yang merupakan bagian dari Perang Dunia II, Jepang yang sedang menghadapi Amerika serikat di Filipina membentuk sebuah Unit Serangan Khusus bunuh diri yang namanya diambil dari agama Shinto yaitu Kamikaze. Dalam agama Shinto orang-orang yang telah mati akan menjadi dewa atau kami. Suryohadiprodjo (1982 : 197) mengatakan bahwa Shinto adalah suatu kepercayaan yang merasakan bahwa di dunia ini didiamni oleh banyak “kami”, yaitu dewa-dewa, kekuatan-kekuatan gaib dan kekuatan lain yang berhubungan dengan alam atau orang-orang yang memiliki kekuatan khas (kharisma). Shinto mengandung kepercayaan, bahwa kepulauan dan bangsa Jepang bersumber pada dewi matahari Amaterasu Omikami yang merupakan leluhur Tenno Heika. Untuk menghadapi besarnya kekuatan militer Amerika, Unit Serangan Khusus Kamikaze ditugaskan
Universitas Sumatera Utara
untuk menghancurkan kapal-kapal perang musuh dengan menabrakkan pesawatpesawat yang dilengkapi bom seberat 250 kg. Misi serangan Kamikaze pada awalnya diorganisir oleh Laksamana Madya Takijiro Onishi yang menggantikan Laksamana Kimpei Teraoka sebagai Panglima Udara Pertama di Filipina. Laksamana Madya Takijiro Onishi mencetuskan strategi penyerangan bunuh diri Kamikaze pada tanggal 19 oktober 1944 di Mabalacat dengan menggunakan 26 pesawat yang terbagi menjadi 4 unit yaitu, shikishima, yamato, asahi dan yamazakura. Para pilot yang menerbangkan pesawat Kamikaze berusia sangat muda. Para pilot tersebut mempunyai pilihan untuk memutuskan jika mereka ingin menjadi sukarelawan Kamikaze. Rata-rata pelatih pilot-pilot Kamikaze mencari mahasiswa di suatu universitas di Jepang saat itu untuk dilatih menjadi sukarelawan dalam misimisi Kamikaze. Motivasi yang mendorong para sukarelawan itu bersedia untuk dilatih menjadi sukarelawan dalam misi-misi Kamikaze cukup berbeda-beda dari yang terdorong oleh rasa patriotisme, hasrat untuk membawa kehormatan keluarga dan ajang untuk membuktikan kemampuan diri dengan cara yang ekstrim. Upacara istimewa yang sering diadakan sebelum misi Kamikaze dilaksanakan yaitu pilot-pilot Kamikaze memohon doa dari keluarga mereka dan diberi tanda jasa oleh petinggi militer Jepang saat itu. Hal-hal seperti itu dilakukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme terhadap bangsa dan untuk menarik lebih banyak lagi sukarelawan untuk bergabung dalam misi itu. Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya. Sasaran utamanya adalah otonomi, kesatuan dan identitas nasional. Nasionalisme menuntut penemuan kembali
Universitas Sumatera Utara
dan pemulihan identitas budaya bangsa yang unik, ini berarti nasionalisme menuntut agar orang kembali pada akarnya yang otentik di dalam komunitas budaya historis yang menghuni tanah air leluhurnya (Smith, 2003 : 10-42). Pilot Kamikaze terbang menjalankan tugas suci setelah meneguk sake dan berseru “banzai”. Para sejarawan memperkirakan jumlah pilot Kamikaze itu mendekati empat ribu orang. Dengan berjibaku mereka menyebakan kerusakan dan jatuhnya korban di pihak Amerika serikat (Baskara, 2008 : 103). Serangan Kamikaze ini berlanjut sampai Jepang menyatakan menyerah pada kekuatan Amerika serikat karena dijatuhi bom atom di dua kota Nagasaki dan Hiroshima.
Universitas Sumatera Utara