BAB II FENOMENA BUNUH DIRI DI JEPANG 2.1
Pandangan Hidup dan Mati Bagi Masyarakat Jepang A. Pandangan Hidup Bagi Masyarakat Jepang Menurut Ruth Benedict (1989 : 232), di dalam studi-studi antropologis
mengenai berbagai kehidupan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang nyata dan mengembangkannya dalam nurani oleh para pengikutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Budaya rasa bersalah inilah yang menjadi pandangan hidup bagi masyarakat Jepang. Di dalam masyarakat Jepang dimana rasa malu merupakan sanksi utama. Budaya rasa malu yang merupakan pandangan hidup orang Jepang adalah budaya yang ditanamkan sedari kecil. Rasa malu bagi masyarakat Jepang adalah mengutamakan penilaian dari masyarakat. Budaya malu ini sangat berperan besar dalam mengontrol dan mengendalikan pola hidup masyarakat Jepang. Budaya malu yang khas ini telah membentuk suatu pola tingkah laku yang memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pola dalam masyarakat lainnya. Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu ia akan menghukum dirinya sendiri melalui melakukan meditasi dan kemudian melakukan perbaikan diri atau mengundurkan diri dari jabatan bahkan ada yang sampai melakukan bunuh diri karena rasa malu.
Ruth Benedict (1989:223) juga menambahkan bahwa rasa malu adalah suatu reaksi terhadap kritk orang lain. Dalam kasus manapun, malu merupakan sanksi yang berat. Namun malu mengharuskan adanya kehadiran orang lain dan penilaian dari orang lain. Bagi masyarakat Jepang rasa malu tertinggi adalah ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain yang telah diterima. Bagi seorang Jepang jasa baik orang lain merupakan hutang yang harus wajib dibayar. Ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain merupakan pandangan negative yang akan diterima dari lingkungan masyarakatnya. Banyak ekspresi yang dilakukan seorang Jepang dalam mengungkapkan rasa ketidakmampuan tersebut salah satunya adalah melakukan tindakan bunuh diri. Ruth Benedict juga menambahkan bahwa konsep dosa tidak dikenal di dalam masyarakat Jepang. Berbeda dengan masyarakat Amerika, bahwa melanggar akan 10 firman Tuhan merupakan dosa akan mendapat hukuman suatu hari nanti. Dalam Nagano (2009:87) menguraikan bahwa budi yang harus dibalas tersebut adalah On. On merupakan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan secara pasif artinya adalah kewajiban yang harus dipenuhi sipenerima yang pasif. On diuraikan sebagai berikut : Kou on(厚恩 )
: on yang diterima dari Tenno atau dari Negara
Oya on(親恩)
: on yang diterima dari orang tua.
Nushi no on(主の恩) : on yang diterima dari tuan atau majikan.
Shi no on(市の恩 )
: on yang diterima dari guru.
Kemudian kewajiban membalaskan budi baik yang diterima (on) disebut gimu. Gimu diuraikan sebagai berikut : Chu(忠)
: kewajiban balas budi terhadap kaisar dan Negara
Ko(考)
:kewajiban balas budi terhadap orang tua dan leluhur.
Ninmu(任務)
: kewajiban bertanggung jawab terhadap pekerjaan.
Dari pemikiran budaya tersebut orang Jepang memiliki dua sifat yang kontradiksi atau yang berlainan. Menurut Ruth Benendict, orang Jepang adalah orang yang sangat sopan sekaligus orang yang sangat kasar, orang yang sangat pemberani tetapi sekalian orang yang sangat penakut. Bagi masyarakat Jepang juga sangat penting untuk menjaga nama baik. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin perlu seseorang menjaga nama baik dan akan berusaha untuk membersihkan nama baik yang tercela. Masyarakat Jepang juga menganut pandangan hidup yaitu ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam keseharian bersosialisasi dengan masyarakat. Ajaran ini dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan berperilaku bermasyrakat dalam memahami konsep respect dan rasa malu. Respect berarti tahu
diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal atau kualitas yang tidak layak di dalam masyarakat. Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal dalam menjalankan
peranannya
sebagaimana
yang
dituntut
oleh
masyarakatnya
(Situmorang, 2013:80). Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat disekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan mewujudkannya kedalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk menghindari kritikan dan penolakan seperti yang menjdi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
sesuai perannnya dalam menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya. B. Pandangan Mati Bagi Masyarakat Jepang Makna mati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sudah hilang nyawa; tidak hidup lagi. Mati berarti berpisahnya roh dengan raga. Di Jepang dimana budaya bunuh diri / jisatsu ( 自 殺 ) sudah menjadi fenomena sosial di dalam masyarakat. Orang Jepang tidak takut mati sehingga berani untuk melakukan tindakan bunuh diri / jisatsu (自殺) hal ini dapat dimengerti dengan melihat makna kematian bagi orang Jepang itu sendiri.makna kematian pada umumnya tentu saja dikaitkan dengan sudut pandang agama. Meskipun Jepang tidak mengenal berbagai macam agama tidak seperti di Indonesia, akan tetapi di Jepang, jumlah penduduk beragama lebih besar daripada jumlah penduduk Jepangnya sendiri. Departemen Pendidikan Jepang pada tahun 2007 menyebutkan dari sekitar 127 juta penduduk Jepang yang ada, pengikut agama Shinto adalah 50,3% atau sekitar 63,8 juta orang, agama Buddha 44% atau sekitar 5,5 juta, agama Kristen 1% atau sekitar 1,2 juta, dan agama-agama
yang
tersebar
lainnya
4,7%
atau
sekitar
5,9juta
(http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/jpn/agama.html).
Data
tersebut menggambarkan keadaan kehidupan beragama di Jepang yang sekuler (tidak bersifat religious). Dilihat dari persentase di atas agama Shinto dan agama Budha merupakan agama yang besar di Jepang. Agama di Jepang tidak dipandang sebagai landasan hidup, Negara juga memisahkan urusan agama dengan urusan kenegaraan.
Maksudnya adalah
Negara tidak mencantumkan agama dalam tanda pengenal
penduduk atau surat resmi lainnya bahkan dalam dunia pendidikanpun agama tidak dicantumkan dalam kurikulum pembelajaran. Agama bagi orang Jepang adalah sebagai kebudayan orang Jepang. Orang Jepang tidak mempercayai adanya Tuhan, melainkan kepada dewadewa. Orang Jepang juga memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa yang menghuni alam ini dan leluhur akan menjadi kamisama serta mengunjungi kuil-kuil untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu fungsi agama bagi orang Jepang berbeda maka makna kematian bagi orang Jepangpun berbeda. Makna kematian bagi orang Jepang dilihat berdasarkan 2 agama terbesar di Jepang yaitu Shinto (神道) dan Buddha . a. Makna Mati Menurut Agama Shinto (神道)
Shintou ( 神 道 )
memiliki arti “jalan dewa” dan merupakan hasil
perkembangan dari kepercayaan kuno masyarakat Jepang yang memuja alam semesta, karena itu Shinto (神道) disebut sebagai agama asli di Jepang. Kami(紙) adalah jiwa atau roh yang disucikan, dihormati, dan dimuliakan. Bahkan orang yang sudah meninggal juga disebut Kami ( 紙 ). Mereka dihormati karena menurut kepercayaan orang Jepang bahwa orang yang sudah meninggal akan menjadi roh dan pada saat-saat tertentu akan kembali ke dunia bersama dengan Kami (紙) untuk menerima pemujaan dari orang yang masih hidup dan sebagai balasannya mereka
akan memberkati orang hidup. Dengan adanya keyakinan bahwa Kami (紙) dan roh orang yang telah meninggal akan melindungi dan memberkati kehidupan orang yang masih hidup atau keturunan dari roh orang meninggal tersebut selama keturunan mereka tersebut secara terus menerus melakukan ritual penyembahan terhadap roh orang meninggal tersebut. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa agama Shintou (神道) semua hal yang ada di dunia ini memiliki Kami (紙)-nya dan leluhur serta keluarga yang telah meninggal, bagaimanapun cara ia meninggal akan menjadi roh dan bersamasama dengan Kami (紙) akan melanjutkan kehidupannya dan akan kembali ke dunia untuk menerima pemujaan dan memberikan perlindungan dan pemberkatan kepada keturunan dari roh orang yang telah meninggal. Karena kematian bukanlah sekedar hal berhenti hidup dan terpisahnya jiwa dari raga, tetapi kematian merupakan perubahan wujud dan hubungan antar orang yang hidup dan mati terus berlanjut. Dengan adanya pemahaman yang demikian maka orang Jepang tidak takut mati dan tidak takut melakukan jisatsu (自殺)karena roh mereka yang telah mati akan tetap bersama keluarga yang masih hidup dan memberikan pemberkatan agar keluarga yang masih hidup sejahtera. b. Makna Mati Menurut Agama Buddha Buddha merupakan agama yang beraasal dari India dan masuk ke Jepang pada abad ke 6 masehi. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama asli India tersebut
diinterpretasikan dengan cara pola piker masyarakat Jepang. Tidak berbeda dengan agama Shintou (神道), agama Buddha juga memiliki keyakinan bahwa yang telah mati akan tetap dapat berhubungan dengan yang masih hidup. Dalam ajaran agama Buddha, orang yang telah mati tidak berarti hilang. Kematian tidak diartikan sebagai putusnya hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Kematian dalam ajaran agama ini hanya dianggap sebagai perpindahan tempat saja. Arwah orang mati tidak akan jauh pergi dari dunianya dan akan dapat melakukan komunikasi dengan orangorang yang masih hidup. Komunikasi antara roh yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup tersebut dimaksudkan ialah komunikasi yang dilakukan pada saat tertentu seperti dalam upacara pemujaan arwah orang meninggal. Dalam agama Buddha juga mempercayai adanya reinkarnasi atau kembalinya roh orang mati. Dengan adanya penjelasan akan makna kematian dari agama Shintou (神 道) dan agama Buddha dapat disimpulkan bahwa orang Jepang tidak takut akan kematian. Kematian bagi orang Jepang bukanlah menghilangnya seseorang dari kehidupan ini melainkan suatu fase hidup merubah wujud dan memindahkan tempat lalu kemudian melanjutkan hidup dengan tetap dapat berhubungan dengan orang yang masi hidup. Oleh karena itu, kegiatan atau tindakan jisatsu ( 自 殺 ) bagi masyarakat Jepang yang melakukannya bukanlah dianggap sebagai sebuah dosa yang menakutkan akan tetapi jisatsu (自殺) dapat mudah dilakukan karena masyarakat Jepang tidak takut akan kematian.
2.2
Sejarah Bunuh Diri Di Jepang Bunuh diri merupakan salah satu cara mengakhiri hidup yang dilakukan
manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapinya. Menurut Hidayat dalam Kiblat (1996:43-45), “Individu yang melakukan tindakan bunuh diri berarti kehilangan jiwa dan pikiran.” Hal ini berarti individu yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut tidak dapat berfikir secara wajar dan dengan akal sehat, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya agar lepas dari permasalahan yang dihadapinya. Seorang sosiologi Perancis yang mula-mula melakukan studi sosial mengenai bunuh diri, Emile Durkheim dalam buku “Realitas Sosial” karangan K.J. Veeger (1985 : 150 – 157) , berpendapat bahwa bunuh diri merupakan salah satu gejala sosial. Perbuatan bunuh diri ada kaitannya dengan 3 faktor, yaitu : posisi psikologi tertentu, factor keturunan, dan kecenderungan manusia meniru orang lain. Dalam buku ini dijelaskan juga ada 3 tipe bunuh diri yaitu : bunuh diri egoistic, bunuh diri altruistis, dan bunuh diri anomis. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai bunuh diri tersebut : 1.
Bunuh Diri Egoistik Bunuh diri ini bersifat egois. Egoism berarti sikap seseorang tidak
berintegrasi dengan kelompoknya, seperti kepada keluarga, kelompok rekan-rekan, kumpulan agama dan sebagainya. Hidupnya tidak terbuka kepada orang lain. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan orang lain. 2.
Bunuh Diri Alturistis
Bunuh diri bersifat alturistis merupakan kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistis ini lebih kepada seseorang sangat menyatu kepada suatu golongan. Sangat berpegang teguh kepada kelompoknya, dengan mengikuti segenap nilai-nilai kelompoknya, berintegrasi kepada kelompoknya, hingga di luar itu ia tidak memiliki identitas diri sendiri. Tanpa kelompok seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri alturistik ini tidak dapat melanjutkan kehidupan. Seseorang mengintegritaskan seluruh hidupnya demi kelompoknya, memandang bahwa hidup di luar grup atau ada pertentangan dengan grup merupakan suatu hal yang tidak berharga. Maka jikalau etika grup menuntut agar merelakan nyawa demi keyakinan dan kepentingan kelompok, seseorang tersebut cenderung melakukan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut. 3.
Bunuh Diri Anomis Anomi adalah tanpa norma. Bunuh diri anomis ini menyangkut dengan
keadaan moral seseorang. Dimana keadaannya adalah orang tersebut kehilangan citacita, tujuan, dan norma-norma dalam hidupnya. Nilai-nilai moral yang semula member motivasi dan arahan kepada sipelaku bunuh diri ini tidak berpengaruh lagi. Berbagai kejadian dapat menyebabkan keadaan itu. Seperti musibah yang menimpa seseorang hingga kehilangan kesadaran dan semua yang menyemangati dan menghibur dia, musnah dan dapat mengakibatkan suatu perubahan yang radikal yang menjurus pada tindakan mengakhiri hidup.
Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan di Jepang. Di Jepang bunuh diri lebih dikenal dengan jisatsu (自殺). Kata jisatsu (自殺) terdiri dari dua kata yaitu ”ji” berasal dari kata jibun (自分) yang berarti diri sendiri, dan “satsu (殺) yang merupakan on-yomi dari kata korosu (殺す) yang berarti membunuh. Maka dapat diartikan secara sederhana jisatsu (自殺) adalah kegiatan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh dirinya sendiri. Fenomena jisatsu (自殺) di Jepang sudah ada pada masa Perang Dunia Kedua. Pada masa sebelum Perang Dunia Kedua jisatsu (自殺) dilakukan oleh kaum samurai ( 侍 ) dan para kaum bangsawan, pada masa dimana tampuk kekuasaan dipegang oleh kaum militer atau kaum bushi ( 武 士 ), sistem pemerintahan pemerintahan pada masa itu disebut dengan bakufu (幕府). Pada zaman ini jisatsu (自 殺) dilakukan dengan satu cara yaitu seppuku (切腹). Seppuku(切腹) ini sudah menjadi salah satu kebudayaan Jepang yang terkenal hingga sampai saat ini. Seppuku (切腹) berarti memiliki arti memotong perut. Alasan mengapa sebutannya diberi tekanan “memotong perut”, hal ini ada kaitan kepercayaan lama bahwa di dalam perut itulah bersemayam “jiwa”, memotong perut itu dimaksudkan untuk “menenangkan jiwa yang telah melayang”. Menurut Schwan (2003), seppuku (切腹) merupakan bentuk upacara bunuh diri dalam masyarakat Jepang, dan sebagai konsep berpikir orang Jepang yang menunjukkan kebiadaban dan merupakan suatu hal yang
mengerikan, bahwa lebih baik mati dengan terhormat daripada hidup dengan menanggung malu. Istilah seppuku (切腹) biasanya diperuntukkan untuk kalangan samurai. Pada dasarnya tindakan seppuku ialah karena adanya semangat kesatriaan yakni bushido dalam masyarakat Jepang. Bushido bermakna sebagai jalan hidup Samurai, artinya jalan yang harus dipatuhi oleh para samurai dalam kesehariannya maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Bushido sangat menekankan kesetiaan mutlak kepada tuan. Demi tuannya, samurai memang dituntut untuk mati jika perlu, untuk menunjukkan kesetiaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Negara Jepang merupakan masyarakat yang menganut budaya malu, dengan kata lain nilai yang paling tinggi bagi masyarakat Jepang. Rasa malu yang paling tinggi adalah tidak dapat membalas budi baik orang lain atau tuannya, oleh karena itu seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha untuk menjaga rasa malu tersebut. Apabila melakukan kesalahan atau tidak dapat membalas budi baik orang lain, mereka akan merasa malu. Rasa malu tersebut akan dapat tertebus apabila melakukan bunuh diri atau seppuku (切腹). Berikut ini adalah kisah bunuh diri samurai di Jepang, yaitu Akouroshi Chushingura. Kisah cerita Akouroshi Chushingura menceritakan tentang kepatuhan daimyo terhadap perintah shogun untuk melakukan seppuku, adanya kepatuhan anak buah pengikut daimyo tersebut terhadap shogun sehingga tidak melanggar aturanaturan keshogunan, dan adanya keinginan untuk membalaskan dendam tuannya
dengan membunuh musuh tuannya demi pengabdian diri terhadap tuannya. Para anak buah tersebut harus melaksanakan giri kepada tuannya. Setelah membalaskan dendam tuannya terhadap musuh mereka melakukan junshi (mati mengikuti kematian tuannya). Akouroshi Chushingura terjadi di Nabeshima Hiroshima. Akouroshi merupakan bushi yang tidak bertuan di daerah Akou (Hiroshima). Kisah ini adalah kisah bunuh diri yang dilakukan oleh 47 orang bushi yang tidak bertuan di wilayah Akou tersebut. Ke-47 orang bushi tersebut melakukan bunuh diri setelah berhasil membunuh pangeran Kira dan mempersembahkan kepala Pangeran Kira ke makam tuannya, setelah tuannya melakukan bunuh diri (seppuku) karena perintah dari shogun sebagai hukuman karena tuan mereka dianggap telah membuat keonaran di dalam istana keshogunan Tokugawa. Masalah ini erat kaitannya dengan masalah moral pengabdian diri samurai Jepang, yaitu maslah kesetiaan yang bertingkat. Anak buah setia kepada Tuannya dan Tuannya setia kepada shogun dan shogun setia kepada Kaisar. Oleh karena itu pusat loyalitas kesetiaan seluruh Jepang adalah ditangan Kaisar. Dalam kisah ini digambarkan kesetiaan shogun memberikan upeti setiap tahunnya kepada Kaisar. Kemudian kesetian tuan dalam hal ini adalah Asano kepada Shogun Tokugawa dan kemudian kesetiaan 47 orang anak buah terhadap Asano.
Dari kisah bunuh diri para kaum samurai di atas dapat disimpulkan bahwa seppuku yang dilakukan oleh para kaum samurai sebagai bentuk loyalitas, penghormatan dan pengabdian diri kepada tuannya serta bentuk dari membalas budi baik tuannya. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya bunuh diri bergeser menjadi salah satu fenomena yang sangat menarik dari Negara Jepang. Pada masa zaman feodal, bunuh diri di Jepang yang semula sebagai bentuk pengabdian diri, loyalitas, penghormatan dan sebagai bentuk membalas budi baik tuannya kini bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi akibat beban hidup yang semakin kompleks. Dewasa ini kehidupan masyarakat Jepang cenderung bersifat “sendiri” dengan kata lain masyarakat Jepang seakan tidak peduli dengan keadaan lingkungannya (tidak bersosialisasi dengan orang lain), memiliki gejala hubungan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan maksudnya ialah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pada saat memerlukan bantuan. Hal inilah yang mengakibatkan tekanan isolasi/kesendirian dan keterasingan dari lingkungan. Semakin kompleksnya kehidupan semakin besar pula masalah dan tingkat depresi yang dihadapi. Kegagalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab terhadap pekerjaan, tidak dapat memberi kebahagiaan kepada keluarga, dan ketidakmampuan bersosialisasi dengan baik dengan lingkungan merupakan beberapa faktor dari sekian banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Jepang melakukan tindakan bunuh diri atau jisatsu
( 自 殺 ). Dari paparan di atas terlihat adanya
pergeseran makna jisatsu (自殺) dari zaman feodal ke zaman sekarang. Zaman
feodal jisatsu (自殺) dilakukan dikalangan samurai sebagai bentuk pengabdian terhadap tuannya, loyaliatas terhadap tuannya dan penghormatan terhadap tuannya namun zaman sekarang jisatsu (自殺) menjadi sebagai bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi. 2.3
Angka Statistik Bunuh Diri Di Jepang Bunuh diri atau di Jepang lebih dikenal dengan sebutan jisatsu (自殺)
merupakan salah satu cara untuk mengakhiri hidup yang dilakukan oleh manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapi. Bunuh diri merupakan kasus kematian terbesar yang terjadi di Jepang. Angka kematian di Jepang dari tahun ketahun mengalami peningkatan, semakin lama cara-cara dan alasan bunuh diripun semakin beragam. Dari tahun 2010 sampai 2011 angka kematian diakibatkan karena bunuh diri di Jepang sedeikit menurun, rata-rata angka kematiannya di Jepang pada tahun 2010 sampai 2011 mencapai selisih lebih dari 1.000 orang (hal. 4). Menurut seorang pakar psikologi Supraktiknya, dalam bukunya “Mengenal Perilaku Abnormal” (1995 : 103 – 104), kebanyakan percobaan bunuh diri dikalangan perempuan dan laki-laki dilakukan ditengah tekanan hidup yang berat lainnya seperti tekanan sosial dalam masyarakat dan tekanan usia.
2.3.1
Menurut Usia
Di Jepang golongan usia dibagi diantaranya ialah orang yang berusia 14 tahun disebut dengan usia muda atau shounen jinkou, yang berusia 15 – 64 tahun disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou, berusia 65 tahun disebut dengan usia lanjut atau korei jinkou, yang berusia lebih dari 65 tahun disebut lansia atau koureisha, orang yang berusia 65-74 tahun disebut lansia periode awal atau zenki koureisha, yang berusia lebih dari 75 tahun disebut lansia periode tengah dan di atas 85 tahun disebut lansia periode akhir atau makki koureisha. Persentase penduduk lansia di Jepang semakin meningkat. Tingginya persentase penduduk lansia di Jepang, menyebabkan munculnya masalah-masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat. Salah satu masalah yang muncul adalah beban yang berat akan menimpa keluarga yang merawat sendiri anggota keluarga lainnya yang berusia lanjut sampai-sampai mungkin harus melepaskan pekerjaannya sendiri. Tahun 2011 tercatat lebih dari 30% jumlah kematian akibat bunuh diri dialami oleh masyarakat Jepang yang berusia lanjut. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jepang yang berusia lanjut tergantung kepada keluarganya sehingga menjadi beban bagi keluarganya dan mengalami pengucilan sosial sehingga mengalami ganguan mental dan melakukan tindakan bunuh diri dengan cara yang beragam.
a. Table Angka Kematian di Jepang Tahun 2010 - 2011 死亡数 年齢階級 平成 23 年
平成 22 年 対前年増減
総数
1.253.463
1.197.012
56 .451
0~4 歳
3.624
3.382
242
5~9
750
480
270
10~14
725
553
172
15~19
1.738
1.422
316
20~24
2.965
2.753
212
25~29
3.682
3.437
245
30~34
4.921
4.837
84
35~39
7.963
7.555
408
40~44
11.186
10.162
1.024
45~49
14.983
14.532
451
50~54
22.443
22.014
429
死亡数 年齢階級 平成 23 年
平成 22 年 対前年増減
55~59
37.455
39.326
60~64
72.100
66.096
65~69
82.032
83.087
70~74
113.113
110.248
75~79
167.686
163.088
4.598
80~84
220.103
211.257
8.846
85~89
222.785
207.287
15.498
90~94
162.027
151.959
10.068
95~99
79.764
75.386
4.378
100 歳以上 19.573
17.513
2.060
△ 1.871 6.004
△ 1.055 2.865
Angka Kematian
Angka Kematian
(2011)
(2010)
0–4
3.624
3.382
242
5–9
750
480
270
USIA
Selisih
10 – 14
725
553
172
15 – 19
1.738
1.422
316
20 – 24
2.965
2.753
212
25 – 29
3.682
3.437
245
30 – 34
4.921
4.837
84
35 – 39
7.963
7.555
408
40 – 44
11.186
10.162
1.024
45 – 49
14.983
14.532
451
50 – 54
22.443
22.014
429
55 – 59
37.455
39.326
60 – 64
72.100
66.096
△ 1.871
65 – 69
82.032
83.087
70 – 74
113.113
110.248
△ 1.055
75 – 79
167.686
163.088
4.598
80 – 84
220.103
211.275
8.846
85 – 89
222.785
207.287
15.498
90 – 94
162.027
151.959
10.068
95 – 99
79.764
75.386
4378
6.004
2.865
( 〒 100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 : 03-5253-1111 ( 代 表 ) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)
Keterangan tabel di atas adalah : •
∆ = menaik
•
Dari tabel di atas, sejak dari tahun 2010 hingga 2011, angka kematian di Jepang menurut usia tidak stabil dan cenderung mengalami peningkatan.
•
Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa di Jepang tingkat kematian tertinggi terjadi di masyarakat yang berusia lanjut (lansia).
b. Tabel Angka Kematian Bunuh Diri di Lihat dari Golongan Usia dan Gender Tahun 2010 〜 19 20 〜 29 30 〜 39 40〜 49 50〜 59 60〜 69 70〜 79 80 歳 不 年齢
合計 歳
歳
歳
歳
歳
歳
歳
〜
3,366
4,940
5,713
6,573
6,227
3,651
2,314 7
33,334
329
2,356
3,377
4,279
5,024
4,377
2,251
1,171 7
23,171
214
1,010
1,563
1,434
1,549
1,850
1,400
1,143
10,163
合計 543
詳
男 性 合計
女 性 合計
( 〒 100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 : 03-5253-1111 ( 代 表 ) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)
•
Di Jepang bunuh diri dilakukan di segala umur tanpa memandang tua muda perempuan dan laki-laki
•
Pada usia 19 tahun disebut dengan usia muda atau shounen jinkou. Persentase bunuh diri dikalangan anak muda di Jepang cukup tinggi dibandingkan Negara maju di Barat. Kasus bunuh diri dikalangan anak muda banyak ditemui dikarenakan bullying/ijime dan bermaslah dengan orang tua serta alasan-alasan naïf seperti remaja melakukan bunuh diri karena artis idolanya meninggal sehingga remaja tersebut terlalu sedih dan tidak bisa menerima jika artis idolanya meninggal karena alasan tersebut seorang remaja melakukan tindakan bunuh diri. Bullying/Ijime merupakan kasus terbanyak yang terjadi dikalangan anak muda di Jepang. Ijime artinya mengganggu, mengusik, mengolok-olok, serta menganiyaya orang lain. Kecenderungan dilakukan kepada orang yang lebih lemah. Ijime biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat, teman sendiri, kakak kelas, atau bahkan guru pembimbing. Hal ini mengakibatkan adanya tekanan batin dikalangan orang muda di Jepang yang mengalami ijime, tatkala menghadapi tindakkan seperti itu dengan tekanan batin dan emosi yang tidak stabil segera saja menurutkan kata hati untuk melakukan bunuh diri.
•
Pada usia 20 – 69 tahun yang disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou melakukan tindakan bunuh diri dikarenakan tekanan pekerjaan yang semakin berat. Tak jarang persaingan di lingkungan pekerjaan menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang berat di perusahaan tersebut, perusahan tempat bekerja juga menuntut karyawannya untuk bekerja secara giat sehingga memberikan keuntungan yang besar untuk perusahaan tersebut. Beberapa faktor inilah yang mengakinbatkan usia yang masih produktif ini tidak mampu menghadapi beban pekerjaan yang berat. Ketidakmampuan tersebut memberikan padangan yang rendah dari rekan kerja serta lingkungan tempat tinggalnya sehingga memilih jalan untuk mengakhiri hidup sebagai jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah di dunia pekerjaan (www.halojepang.com).
•
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya bunuh diri menurut usia lanjut disebabkan adanya rasa ketergantungan terhadap orang lain dan antar orang Jepang dengan orang Jepang yang lainnya seperti anak-anak tergantung kepada keluarganya, pelajar terkait kepada sekolahnya, pekerja terkait dengan pekerjaannya. Di usia lanjut atau lansia yang sedari muda bekerja, muncullah ketergantungan kepada perusahaan tempat bekerja sehingga pada saat tidak bekerja mengalami depresi dan kesepian serta menjadi beban terhadap keluarga hal ini yang mengakibatkan gangguan mental dan melakukan tindakan bunuh diri di Jepang. Disisi lain alasan bunuh diri diusia lanjut atau lansia ini di pengaruhi oleh penyakit yang sudah lama diderita yang tak
kunjung sembuh. Ditengah frustasi akibat penyakit yang dialami, masyarakat Jepang yang berusia lanjut memilih jalan keluar untuk mengakhiri hidupnya. •
Dari tabel di atas juga dapat disimpulakn bahwa bunuh diri menurut gender banyak dilakukan di kalangan kaum laki-laki, hal ini disebabkan karena lakilaki cenderung lebih cepat mengalami stres atau depresi dibandingakan kaum permpuan. 2.3.2
Menurut Keadaan Pekerja Di Jepang
Kasus bunuh diri di Jepang dapat dikatakan sebagai masalah yang kompleks karena tindakan bunuh diri ini berhubungan dengan kebudayaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jepang pada zaman dulu hingga sekarang. Seseorang yang bunuh diri tentunya memiliki masalah pribadi namun jika sudah banyak orang yang bunuh diri, tentu saja ini ada kaitannya dengan masalah sosial, ekonomi dan politik setempat.
Saat ini penyebab lain yang mengakibatkan masyarakat Jepang memilih melakukan bunuh diri yaitu tingginya kegelisahan masyarakat Jepang mengenai kehidupan mereka dimasa yang akan datang. Kegelisahan ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Jepang, terutama yang berjenis kelamin laki-laki, terus bekerja agar mendapatkan uang sebanyak mungkin tanpa mempedulikan kesehatan mereka. Orang-orang seperti ini sering disebut sebagai salary man. Kata salary man sendiri diambil dari bahasa Inggris, yaitu salary (gaji) dan man (orang), jadi salary man
artinya adalah orang yang hidupnya sangat bergantung dengan gaji. Akibat krisis ekonomi di Jepang, banyak perusahan Jepang terlilit hutang sehingga perusahaan menuntut para pekerjanya untuk bekerja lebih giat tanpa kenal lelah. Karena tuntutan dari perusahaan yang mengharuskan pekerja bekerja lebih giat, banyak para pekerja yang bekerja terlalu keras, pekerja ini sering disebut sebagai karoshi . Secara bahasa, karoshi dapat diartikan sebagai “mati di tempat kerja” atau kematian karena stres akan pekerjaan. Kematian bisa dikarenakan kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah diikuti dengan kesehatan menurun drastis, ataupun karena bunuh diri karena stres di tempat kerja.
Pada dasarnya banyak para pekerja di Jepang melakukan tindakan bunuh diri dikarenakan oleh tekanan pekerjaan yang sangat berat. Himpitan ekonomi dan tekanan pekerjaan yang menumpuk membuat tingkat stres semakin tinggi. Persaingan yang ketat di bidang pekerjaan, akademik dan gaya hidup membuat banyak dari mereka yang tidak kuat dan memilih mengasingkan diri, lalu bunuh diri. Tercatat rata-rata kematian pekerjaa akibat stres bekerja disuatu pekerjaan di sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2011 mencapai 17.352 kasus kematian atau sebesar 17 % sepanjang 1 tahun terakhir, angka ini cenderung menurun dibandingkan pada tahun 2008 hingga tahun 2009 yang mencapai rata-rata 20.000 angka kematian dikarenakan alasan tersebut (www.halojepang.com) . Namun kasus bunuh diri karena stress di dunia pekerjaan merupakan salah satu kasus bunuh diri yang besar di Jepang.
2.3.3
Menurut Gender
Dari data Kepolisian Jepang sedikitnya rata-rata 76 orang bunuh diri perhari di Jepang disepanjang tahun 2010 hingga 2011. Jepang merupakan salah satu Negara terbesar yang melakukan tindakan bunuh diri. Alasan dan motif yang beragampun telah dilakukan oleh masyarakat Jepang untuk mengakhiri hidup. Usia pun tidak menjadi halangan bagi masyarakat Jepang untuk melakukan tindakan bunuh diri, tidak hanya di golongan masyarakat yang lanjut usia tetapi juga dikalangan remajapun telah mengenal bnuh diri sebagai jalan keluar dalam penyelesaian masalah hidup yang dihadapi. Masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah di tempat kerja, depresi serta masalah kesehatan merupkan beberapa alasan dimana seseorang di Jepang melakukan tindakan bunuh diri. Gantung diri, meracuni diri dengan gas, melompat dari atap gedung, obat-obatan merupakan beberapa cara yang digunakan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Pada umumnya yang melakukan tindakan bunuh diri adalah kaum laki-laki, namun pada dasarnya tidak hanya laki-laki yang dapat melakukan tindakan bunuh diri tetapi juga kaum perempuan. Dari tabel data pada halaman 31, dapat dilihat bahwa tingkat kematian pada kaum laki-laki cenderung lebih tinggi. Berikut rata-rata persentase perbandingan kasus bunuh diri dan cara bunuh diri dikaum laki-laki dan kaum perempuan menurut jumlah angka kematian bunuh diri pada halaman 31 :
Cara Bunuh diri
Gender Laki-laki
Perempuan
Gantung diri
55,3% = 12 813orang
58,9% = 5 986orang
Menghirup gas
9,4% = 2 178orang
4,8% = 487orang
Melompat dari gedung
7,1% = 1 645orang
12,8% = 1 300orang
Obat-obatan
10,2% = 2 363orang
6,7% = 680orang
Lain-lain
18% = 4 170orang
16,8% = 1 707orang
JUMLAH
100% = 23 171orang
100% = 10 163orang
( 〒 100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 : 03-5253-1111 ( 代 表 ) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)