BAB II TINJAUAN UMUM MAKNA SIMBOLIK PADA TATO (HORIMONO/IREZUMI) DALAM MASYARAKAT JEPANG 2.1. Pengertian Tato Mengekspresikan pemikiran suatu emosi dapat dilakukan dengan berbagai cara oleh manusia dan salah satu caranya adalah dengan pembuatan tato. Oleh sebab itu, tato merupakan sebuah pernyataan untuk menyampaikan ungkapan dengan melalui gambar-gambar tato yang memiliki fungsi dan makna bagi pemakainya. Tato dianggap sebagai kegiatan seni karena di dalamnya terdapat kegiatan menggambar pola atau desain tato. Seni adalah “karya”, “praktik”, alih-ubah tertentu atas kenyataan, versi lain dari kenyataan, suatu catatan atas kenyataan”. Nilai seni muncul sebagai sebuah entitas yang emosional, individualistik, dan ekspresif. Seni menjadi entitas yang maknawi. Berkaitan dengan tato, ia memang dapat dikategorikan sebagai entitas seni karena selain merupakan wujud kasat mata berupa artefak yang dapat dilihat, dirasakan, ia juga menyangkut nilai-nilai estetis, sederhana, bahagia, emosional, hingga individual dan subjektif (Sumardjo, 2000: 15-18). Dalam “General Anthropology” milik Melville Jacobs dan Bernhard J. Stern, tato merupakan salah satu bentuk dari seni grafis (1952:260). Untuk lebih memahaminya perlu dikemukakan tentang beberapa pengertian tato. Secara bahasa, tato berasal dari kata “tatau” dalam bahasa Tahiti
Universitas Sumatera Utara
yang konon artinya tanda atau menandakan sesuatu. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1984:241) dijelaskan :” Tato lukisan berwarna yang permanen pada kulit tubuh. Caranya ialah dengan melubangi kulit dengan ujung jarum yang halus untuk kemudian memasukan zat warna ke dalam luka-luka itu. Biasanya suatu pola tidak diselesaikan sekaligus. Tato disukai para pelaut, prajurit,dan petualang.
Tato merupakan adaptasi dari bahasa Inggris, yaitu tattoo yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “rajah”. Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi Edisi ke-4 (2008) tato adalah gambar (lukisan) pada kulit tubuh. Tato merupakan salah satu seni body decorating dengan menggambar kulit tubuh dengan alat tajam (berupa jarum, tulang, dan sebagainya), kemudian bagian tubuh yang digambar tersebut diberi zat pewarna atau pigmen berwarna-warni. Dalam bahasa Jepang, tato dikenal dengan istilah horimono ( 彫り物 ) “hor i ( 彫り)” yang berarti ukiran atau pahatan. Sedangkan “mono (物)” adalah barang atau benda. Jadi horimono adalah benda yang berukir atau berpahat. Atau “irezumi ( 入 れ 墨 atau 入 墨 ,)” secara harfiah berarti "memasukkan tinta". Menurut Richie dan Buruma (1982:12) dijelaskan : “Pada awalnya kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda walaupun lama-kelamaan keduanya mempunyai arti yang sama. Tetapi apabila dilihat dari karakter huruf kanjinya, kedua kata ini memang memiliki karakter yang berbeda walaupun pengertiannya tidaklah terlampau berbeda seperti keterangan berikut : (1) Irezumi : ire is renyokei of the verb Iru(-/2),’to put in, bringin, stow in, adm it, in sert; zumi comes from sumi, ‘India(Chinese) ink’. The Literal meaning of the compound is
Universitas Sumatera Utara
‘inking’. ;(2) Horimono : hori is renyokei of the verb horu, to engrave, picture, in cise, followed by mono object, thing here used as nomilizer.
Kedua istilah tersebut memerlukan waktu yang cukup lama sebelum kedua kata tersebut memiliki satu pengertian. Pada pertengahan abad ke-17, kata Irezumi lebih mengarah kepada pengertian tato yang diberikan pada para kriminal sebagai hukuman sehingga orang memang dipaksa untuk ditato. Sedangkan Horimono adalah orang yang ditato secara sukarela sehingga orang yang bertato dapat menentukan model, gambar atau tulisan yang dikehendaki. Namun setelah hukuman dengan tanda kenal tato dihapuskan sekitar tahun 1720, maka tato dikenal dengan istilah Irezumi yang tidak lagi punya hubungan dengan kriminal. Tetapi ada pula yang ditulis dengan huruf bunshin dengan karakter 纹身 yang secara harfiah berarti menghias tubuh (bun = menghiasi, shin = tubuh). Namun demikian ucapannya tetap irezumi walaupun huruf (irezumi) masih tetap digunakan. Selain ditulis dengan (bunshin), tato juga ditulis dengan huruf horiire mon, mon yang berarti membuat pola dan dibeberapa wilayah seperti di Saka dan Kyoto, tato disebut irebokuro. Tato semacam ini terkenal dikalangan wanita penghibur yang umumnya dipakai sebagai pernyataan setia terhadap kekasihnya atau pria pelanggannya. Pada awal pemerintahan Meiji (1868-1912) terjadi beberapa perubahan dalam penggunaan pengertian tato, (1) digunakan istilah irezumi, yang mempunyai kaitan dengan hukum; (2) bunshin; (3) tetap diucapkan sebagai irezumi atau shisei.
Universitas Sumatera Utara
Karakter yang menggabungkan 刺 青 makna "menembus", "menusuk", atau "tusuk", dan "biru" atau "hijau", merujuk pada tradisional Jepang tato metode dengan tangan . Pengertian pada huruf pertama berarti tato adalah menusuk atau melubangi, sedangkan huruf yang kedua berarti hijau atau biru. Walaupun tato pada umumnya dibuat dengan menggunakan tinta hitam, tetapi apabila sudah masuk kedalam kulit warnanya akan tampak membiru. Hal inilah yang menyebabkan huruf terakhir itu disebut biru. Berdasarkan kedua istilah tersebut maka pengertian tato di Jepang, terdapat dua pengertian : (1) istilah irezumi lebih umum digunakan bagi para kriminal, bersifat khusus; (2) istilah horimono lebih kepada keinginan pribadi, bersifat umum.
2.2. Sejarah Tato Tato berasal dari bahasa Tahiti “tatu” yang konon artinya tanda. Walaupun bukti-bukti sejarah tato ini tidak begitu banyak, tetapi para ahli mengambil kesimpulan bahwa seni tato ini sudah ada sejak 12.000 tahun SM. Zaman dahulu tato semacam ritual bagi suku-suku kuno, seperti Maori, Inca, Ainu, Polynesians, dll. Menurut sejarah bangsa Mesir-lah yang menjadi biang perkembangan tato di dunia. Bangsa Mesir dikenal sebagai bangsa yang terkenal kuat, jadi karena ekspansi mereka terhadap bangsa-bangsa lain, seni tato juga ikut-ikutan menyebar luas, seperti ke daerah Yunani, Persia dan Arab. Alasan bagi suku-suku kuno di dunia membuat tato diantaranya, yaitu bagi bangsa Yunani kuno memakai tato sebagai tanda pengenal para anggota dari badan intelijen mereka, alias mata-mata perang pada saat itu. Di sini tato menunjukan pangkat dari si mata-mata tersebut. Berbeda dengan bangsa Romawi, mereka memakai tato sebagai tanda bahwa seseorang itu berasal dari golongan
Universitas Sumatera Utara
budak, dan tato juga dirajahi ke setiap tubuh para tahanannya. Suku Maori di New Zealand membuat tato berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Di Kepulauan Solomon, tato ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka. Hampir sama seperti di atas, orang-orang Suku Nuer di Sudan memakai tato untuk menandai ritus inisiasi pada anak lakilaki. Orang-orang Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukkan status sosial tertentu. Bukti awal tato di Jepang ditemukan dalam bentuk patung-patung tanah liat yang memiliki wajah yang dicat atau diukir untuk mewakili tanda tato. Angka-angka tertua dari jenis ini telah pulih dari makam tanggal ke 5000 SM atau lebih tua. Catatan tertulis pertama dari tato Jepang ditemukan dalam kompilasi sejarah dinasti Cina. Menurut teks Jepang, “wajah laki-laki tua dan muda ditato semua dan menghias tubuh mereka dengan desain.” Tato Jepang juga disebutkan dalam sejarah Cina lainnya, tetapi hampir selalu dalam konteks negatif. Orangorang Cina menganggap tato sebagai tanda dan digunakan hanya sebagai hukuman. Pada saat awal abad ke-7 penguasa Jepang telah mengadopsi banyak gaya, budaya yang sama dan sikap Cina, dan sebagai hasilnya tato dekoratif jatuh ke ketidakkasihan resmi. Pada awal abad ke-17, ada kodifikasi yang berlaku umum. Tanda tato digunakan untuk mengidentifikasi penjahat dan orang-orang di Jepang. Orang buangan adalah tato di lengan: salib mungkin tato di lengan bagian dalam, atau garis lurus di bagian luar lengan bawah atau di lengan atas. Penjahat ditandai
Universitas Sumatera Utara
dengan berbagai simbol yang ditunjuk tempat dimana kejahatan itu dilakukan. Dalam satu daerah, yang pictograph untuk "anjing" adalah tato di dahi penjahat. Tanda lainnya termasuk pola yang termasuk bar, salib, garis ganda, dan lingkaran pada wajah dan tangan. Tato itu diperuntukkan bagi mereka yang melakukan kejahatan serius, dan perseorangan tanda tato yang dikucilkan oleh keluarga dan membantah semua partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Untuk hukuman pidana, tato adalah bentuk yang sangat parah dan mengerikan dari hukuman. Pada akhir abad ke-17, tato sebagian besar telah digantikan oleh bentuk-bentuk lain dari hukuman. Salah satu alasan adalah bahwa tato dekoratif menjadi populer, dan penjahat menutupi tato pidana mereka dengan tato dekoratif yang lebih besar. Hal ini juga dianggap asal historis dari asosiasi kejahatan tato dan terorganisir di Jepang. Laporan awal dari tato dekoratif yang ditemukan dalam fiksi dipublikasikan menjelang akhir abad ketujuh belas. Gambar tato berkembang selama abad 17 sehubungan dengan budaya populer Edo, seperti Tokyo kemudian disebut. Pada awal abad ke-18, penerbit diperlukan ilustrasi untuk novel, teater diperlukan iklan untuk memainkan mereka dan cetak blok kayu Jepang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan paralel blok kayu cetak, dan memiliki pengaruh besar pada, perkembangan seni tato. " Karena hubungan antara pidana dan aktivitas tato, tato itu dilarang dengan alasan bahwa itu "merusak dengan moral publik." Tato terus berkembang di antara petugas pemadam kebakaran, buruh dan lain-lain dianggap berada di ujung bawah skala sosial. Tato sangat disukai oleh kelompok-kelompok yang disebut Yakuza, penjahat, petani miskin, buruh dan orang aneh yang bermigrasi ke Edo dengan harapan memperbaiki kehidupan
Universitas Sumatera Utara
mereka. Yakuza merasa bahwa karena tato itu menyakitkan, itu adalah bukti keberanian, karena permanen, itu bukti loyalitas seumur hidup untuk kelompok; dan karena itu ilegal, itu membuat mereka penjahat selamanya. Sekitar pertengahan abad ke-18, popularitas tato distimulasi oleh sebuah novel Cina terkenal, Suikoden. Tato versi Jepang Suikoden digambarkan oleh berbagai artis, masing-masing dibuat cetakan dengan interpretasi baru dari tato yang dijelaskan dalam novel. Novel ini dan ilustrasi baru mempengaruhi semua seni dan budaya Jepang. Pada abad ke-19 ( tahun 1867), yang terakhir dari shogun Tokugawa dijatuhkan dan kaisar itu dikembalikan ke kekuasaan. Undang-undang terhadap tato yang ketat karena penguasa baru takut bahwa adat Jepang akan tampak konyol, barbar dan Barat. Ironisnya, di bawah undang-undang baru seniman tato Jepang diizinkan untuk tato asing tetapi tidak Jepang. Para master studio tato terbaik didirikan di Yokohama dan melakukan banyak usaha tato pelaut asing. Keterampilan mereka begitu besar sehingga mereka menarik sejumlah klien yang sangat terkenal termasuk Duke of York (Raja George V), Czarevich Rusia (Czar Nicholas II), dan pejabat Eropa lainnya. Para empu tato Jepang juga terus tato klien Jepang secara ilegal, tetapi setelah pertengahan abad ke-19, tema dan teknik tetap tidak berubah. Tato klasik Jepang terbatas pada desain tertentu yang merupakan pahlawan legendaris dan motif agama yang dikombinasikan dengan hewan simbolik tertentu dan bunga dan berangkat dengan latar belakang gelombang, awan dan baut petir.
Universitas Sumatera Utara
Desain asli yang digunakan dalam tato Jepang diciptakan oleh beberapa seniman ukiyoe terbaik. Para empu tato disesuaikan dan disederhanakan ini desain untuk membuat mereka cocok untuk tato, tapi tidak menciptakan desain sendiri. Tato Jepang tradisional berbeda dari tato Barat dalam yang terdiri dari desain utama tunggal yang mencakup belakang dan meluas ke, kaki tangan dan dada. Desain memerlukan komitmen besar waktu, uang dan energi emosional. Selama sebagian besar dari abad ke-19, seorang seniman dan tato yang bekerjasama. Artis gambar menggambar dengan kuas pada kulit pelanggan, dan penato hanya disalin. Pada abad ke-20 (tahun 1936), ketika pertempuran pecah di Cina, hampir semua orang-orang itu direkrut menjadi tentara. Orang dengan tato yang dianggap masalah disiplin, sehingga mereka tidak dirancang dan pemerintah mengeluarkan peraturan terhadap tato. Setelah itu tattooists harus bekerja secara rahasia. Setelah Perang Dunia II, Jenderal MacArthur liberalisasi hukum Jepang, dan tato menjadi hukum lagi. Tetapi seniman tato terus bekerja secara pribadi oleh pengangkatan, dan tradisi ini terus berlanjut hari ini.
2.3. Konsep Makna Simbolik Dalam skripsi ini penulis menggunakan teori interaksi simbolik yang bercikal bakal dari faham fenomenologi, berusaha memahami tentang suatu “gejala” yang erat hubungannya dengan situasi, kepercayaan, motif pemikiran yang melatarbelakanginya. Moeleong, (2000:9) mengatakan, ”Penekanan kaum Fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sehingga mereka
Universitas Sumatera Utara
mangerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.”
Interaksi simbolik menurut Effendy (1989: 352) adalah suatu faham yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat berlangsung internalisasi atau pembatinan.
Teori interaksi simbolik berpandangan bahwa seseorang berbuat dan bertindak bersama dengan orang lain, berdasarkan konsep makna yang berlaku pada masyarakatnya; makna itu adalah produk sosial yang terjadi pada saat interaksi; aktor sosial yang terkait dengan situasi orang lain melalui proses interpretasi atau tergantung kepada orang yang menafsirkannya (Jhonson Pardosi dalam Logat Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008).
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam WestTurner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Penulis mendefinisikan interaksi simbolik adalah segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau
Universitas Sumatera Utara
simbol, baik benda mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal, dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap.
Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. 2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
2.4. Pandangan Masyarakat Jepang Tentang Horimono/Irezumi
Seni tato bergerak dan berubah dalam berbagai bentuk dan pemaknaan. Mulai dari fungsi-fungsi tradisional yang religius sebagai simbol status, kemudian ada masa ketika orang bertato harus ditembak mati, sampai pada saat ini tato sebagai tren fashion. Pemaknaan itu merupakan hal yang menjadi sudut pandang atau pemaknaan dari masyarakat. Bagaimana kondisi sosial menentukan nilai bagi subjek-subjek material seperti tato yang akan memberi pengaruh secara langsung terhadap penggunanya. Perubahan sosial masyarakat dalam memaknai tato ini berkaitan dengan kepentingan yang ada saat ini. Kemudian, bila dilihat secara antropologis maka pemaknaan dan fungsi dari tato ini berkaitan dengan teori struktural fungsional. Secara struktural, penggunaan tato berpengaruh pada tingkat kelompok masyarakat tertentu. misalnya, penggunaan tato pada masyarakat Mentawai tentu memiliki makna tersendiri. Tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Tato juga
Universitas Sumatera Utara
dipakai oleh kepala suku (rimata) Selain itu, bagi masyarakat Mentawai, tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam masyarakat itu, benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh. Tato, juga dipakai pada seniman tato (sipatiti). Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh media akhirnya stigma mengenai tato (bahwa tato = penjahat, kriminalitas, dan lain-lain) mulai berkurang. Karena masyarakat sendiri yang menilai bahwa tato tidak selamanya seperti itu.
Perubahan nilai terhadap tato ini sangat dipengaruhi juga karena konstruksi kebudayaan yang dianut oleh masyarakat. Kita harus memperhatikan konteks yang ada pada zaman ini. Tato tradisional mungkin menjadi sesuatu yang bersifat religius dan magis karena gambar yang digunakan berupa simbol-simbol yang terkait dengan alam dan kepercayaan masyarakat. Kemudian ada suatu masa ketika tato tersebut menyandang stigma yang negatif. Seperti pada kelompok Yakuza di Jepang, mereka menggunakan horimono (tato tradisional Jepang) pada tubuhnya. Karena organisasi Yakuza ini sering terlibat dengan hal-hal kriminal (seperti perjudian, narkoba), maka masyarakat terkonstruksi untuk melihat tato sebagai hal yang negatif. Lain halnya dengan perkembangan tato saat ini. Masyarakat mulai memahami tato sebagai simbol-simbol ekspresi seni dan sebagainya sehingga pemakaian tato lebih cenderung ke arah populer. Berawal dari pemberontakan terhadap stigma negatif, memang, namun hal ini dapat dipandang sebagai counter culture yang memberi perubahan dan variasi dalam kehidupan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat secara artistik, tato memang memiliki fungsi estetika. Tato dipandang sebagai wujud ekspresi seni. Seni tato sekarang ini menempati suatu kedudukan khusus dan menjadi pilihan di dunia fashion. Tato dapat disejajarkan sebagai sebuah aksesori pelengkap gaya berpakaian masyarakat sekarang ini, terutama di kalangan anak muda di kawasan urban. Sebagian masyarakat masih ada yang menganggap tabu, tapi memiliki tato adalah selayaknya memakai “pakaian lain” dalam pakaian menurut sebagian penikmat tato. Dalam citra tato, khususnya dalam kombinasi dengan air yang mengalir itu melambangkan : keberanian, kemampuan untuk mencapai tujuan yang tinggi, dan mengatasi kesulitan hidup.
Selain anak-anak muda, banyak orang yang lebih dewasa pun memilih untuk mempunyai tato di tubuhnya, sebagai pelengkap fashion dan mengikuti tren yang ada karena tren fashion dalam industri budaya pop berlaku bagi siapapun dan memasyarakat. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam bergaya, tergantung dari pilihan-pilihan individual masing-masing. Semua orang boleh menunjukka n gayanya yang khas sebagai sebuah self image yang akan dikenakannya untuk dijadikan performa dalam bermasyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Idy Subandi Ibrahim sebagai pengantar dari buku Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif (David Chaney, 2003) bahwa “kita bergaya, maka kita ada”.
Di Jepang, tubuh diperlakukan sebagai sebuah kanvas keseluruhan, tato adalah sebuah karya seni yang
dapat berlangsung
berjam-jam
untuk
menyelesaikan. Mungkin ini adalah keinginan untuk memperoleh lencana dari
Universitas Sumatera Utara
milik atau untuk menjalani ritual yang menandai transisi ke dewasa. Atau mungkin mereka melihat tato mereka sebagai talismen agar mereka tetap aman dari bahaya atau penyakit. Apapun motivasi mereka, sekali memakai tato, mereka tidak akan sepenuhnya telanjang lagi. Tetapi, biasanya para pengguna tato adalah orang yang sangat rahasia yang cenderung memilih untuk tidak menampilkan hiasan mereka di depan umum dan lebih memilih memakai mantel hapi tradisional tanpa takut eksposur.
Seperti pemaknaan tato yang sebenarnya juga tergantung pada interpretasi dari individu itu sendiri. Tato yang pada awalnya hanya digunakan sebagai simbol kekuasaan dan kedudukan sosial sampai akhirnya tato dijadikan sebagai trend fashion. Jadi, penilaian bahwa tato itu baik atau buruk tergantung dari kondisi sosial yang ada. Fungsi sosial tato pada masyarakat tradisional dengan masyarakat urban juga berbeda. Bila pada masyarakat tradisional, tato memiliki fungsi religius politis, tetapi pada masyarakat urban fungsi tato lebih cenderung ke art (seni).
Perubahan nilai terhadap tato ini sangat dipengaruhi juga karena konstruksi kebudayaan yang dianut oleh masyarakat. Kita harus memperhatikan konteks yang ada pada zaman ini. Tato tradisional mungkin menjadi sesuatu yang bersifat religius dan magis karena gambar yang digunakan berupa simbol-simbol yang terkait dengan alam dan kepercayaan masyarakat. Kemudian ada suatu masa ketika tato tersebut menyandang stigma yang negatif. Seperti pada kelompok Yakuza di Jepang, mereka menggunakan horimono (tato tradisional Jepang) pada tubuhnya. Karena organisasi Yakuza ini sering terlibat dengan hal-hal kriminal
Universitas Sumatera Utara
(seperti perjudian, narkoba), maka masyarakat terkonstruksi untuk melihat tato sebagai hal yang negatif. Lain halnya dengan perkembangan tato saat ini. Masyarakat mulai memahami tato sebagai simbol-simbol ekspresi seni dan sebagainya sehingga pemakaian tato lebih cenderung ke arah populer. Berawal dari pemberontakan terhadap stigma negatif tersebut, namun hal ini dapat dipandang sebagai counter culture yang memberi perubahan dan variasi dalam kehidupan masyarakat atas pemaknaan tato.
Universitas Sumatera Utara