BAB II PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN
A. Konsep Teoritis Penanaman Modal Asing 1. Pengertian penanaman modal asing Keikutsertaan suatu negara dalam berbagai kesepakatan bilateral, multilateral, maupun internasional hampir menjadi suatu keharusan saat ini. Hal tersebut penting dilakukan untuk menyesuaikan substansi hukum nasional yang ada terhadap dampak globalisasi ekonomi yang terjadi. 30 Salah satu contohnya adalah keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia. Pada awalnya, peraturan mengenai PMA berbeda dengan peraturan mengenai penanaman modal dalam negeri (PMDN). Dampak perbedaan dalam pengaturan tersebut adalah timbulnya perbedaan perlakuan terhadap masing-masing penanam modal. Akibat terjadinya perubahan kesepakatan di bidang perdagangan internasional termasuk peraturan perdagangan yang berkaitan dengan penanaman modal, maka peraturan mengenai penanaman modal yang ada juga ikut diubah dan disempurnakan. 31 Salah satu perubahan tersebut adalah memberikan perlakuan yang sama terhadap penanam modal, baik antara penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing maupun di antara dua atau lebih penanam modal asing di suatu negara penerima modal (host country). Perlakuan sama tersebut merupakan kebijakan internasional yang harus dilakukan oleh setiap host 30
Bismar Nasution, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi dan Hukum Investasi Indonesia dalam Sentosa Sembiring. Hukum Investasi (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2007), hlm. 80. 31 C.F.G. Sunaryati Hartono dalam Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 23.
21
Universitas Sumatera Utara
country sebagai wujud pelaksanaan dari ketentuan prinsip-prinsip TRIMs. Selaku negara yang memiliki kepentingan di bidang perdagangan dan penanaman modal internasional, perubahan kesepakatan tersebut telah disikapi pihak Indonesia dengan menyesuaikan substansi peraturan terkait penanaman modal dengan memasukkan prinsip-prinsip TRIMs ke dalam UUPM. Pengertian penanaman modal asing menurut UUPM adalah “Kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”. 32 Dengan demikian, secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penanaman modal asing di sini adalah penanaman modal dengan modal yang tidak terbatas pada modal yang bersumber dari luar negeri saja melainkan dapat bersumber pula dari modal patungan (join venture), yaitu modal yang berasal dari dalam negeri (foreign capital) dan luar negeri (domestic capital) serta pelaksanaan usahanya dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia dimana penanam modal turut hadir menjalankan usaha tersebut. Kegiatan penanaman modal asing dalam bentuk modal patungan tidak terlepas dari kebijakan host country dalam menentukan batasan maksimal penguasaan modal asing yang diperkenankan dalam suatu perusahaan. Peraturan di Indonesia misalnya yang melarang penanam modal asing untuk menguasai mayoritas saham perusahaan penanaman modal di bidang usaha tertentu. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, 32
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 1 angka 3.
22
Universitas Sumatera Utara
Pasal 33 ayat (2) dan (3) yang secara tegas mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta kekayaan alam yang ada di bumi, air, dan yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara. Artinya, pada bidang produksi tersebut hanya negara yang memiliki hak menguasai mayoritas saham pada perusahaan penanam modal. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang menerapkan praktik law of uneven development di Indonesia. 33 Munir Fuady menafsirkan penanaman modal asing (foreign investment) sebagai suatu tindakan dari orang asing atau badan hukum asing untuk melakukan investasi modal dengan motif untuk berbisnis dalam bentuk apapun ke wilayah suatu negara lain. 34 Motif tersebut dapat dipahami bahwa kedatangan penanam modal asing beserta modalnya ke suatu negara adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. 35 Keuntungan besar tersebut dapat diperoleh apabila terdapat faktor-faktor pendukung, seperti upah buruh yang murah, pasar yang luas, potensi penjualan teknologi, dekat dengan sumber bahan mentah, menjual bahan baku untuk dijadikan barang jadi, insentif untuk investor, serta adanya status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional. 36 Hulman Panjaitan dalam Dhaniswara K. Harjono juga memberikan pengertian Penanaman Modal Asing sebagai suatu kegiatan penanaman modal yang di dalamnya terdapat unsur asing (foreign element) yang dapat ditentukan
33
Hymer dalam Aminuddin Ilmar. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 41. 34 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 67. 35 Erman Radjagukguk, Op.Cit., hlm. 1. 36 Ibid.
23
Universitas Sumatera Utara
oleh adanya kewarganegaraan yang berbeda, asal modal, dan sebagainya. 37 Kehadiran warga negara dengan status kewarganegaraan yang berbeda, baik sebagai penanam modal maupun sebagai pekerja di perusahaan penanam modal asing merupakan unsur mutlak dalam kegiatan penanaman modal langsung asing di suatu negara, seperti di Indonesia. Kehadiran penanam modal asing (foreign investor presence) telah menjadi kewajiban hukum yang berlaku di Indonesia dimana penanam modal asing wajib hadir secara fisik ke tempat tujuan investasi dengan membawa seluruh sumber daya yang dipergunakan, menjalankan usaha, dan turut mengendalikan kegiatan investasi. 38 2. Dasar hukum penanaman modal asing Potensi alam yang melimpah telah memikat berbagai negara asing untuk datang ke Indonesia. Pada zaman dahulu, kedatangan tersebut dimaksudkan untuk memanfatkan potensi alam dengan cara melakukan penjarahan sehingga menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat Indonesia. 39 Pasca kemerdekaan, pengelolaan potensi alam tersebut kemudian diambil alih oleh bangsa Indonesia sendiri untuk dikelola melalui penguasaan negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 40 Namun, dalam pengelolaan sumber daya
37
Dhaniswara K. Harjono, Op.Cit., hlm. 124. Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Hukum Penanaman Modal (Medan: Departemen Hukum Ekonomi USU, 2010). 39 Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia (Singapura: Gunung Agung, 1980), hlm. 79-183. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan penanaman modal asing di Indonesia pra-kemerdekaan dimulai oleh Portugis dan dilanjutkan oleh Belanda, Prancis, Inggris, serta Jepang. Sistem kerja yang diterapkan negara-negara tersebut dalam penyelenggaraan kegiatan penanaman modal asing sangat menyengsarakan rakyat di mana dalam pelaksanaan penanaman modal tersebut, mereka menggunakan kekuatan militer dan melakukan praktik monopoli untuk menguasai lahan dan potensi produksi. 40 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara, Pasal 33 ayat (2), (3), dan (4). Pasal tersebut menjadi dasar acuan atau rujukan bagi pengaturan penanaman modal di Indonesia 38
24
Universitas Sumatera Utara
alam tersebut, Indonesia tetap memerlukan dana awal yang besar serta membutuhkan dukungan teknologi sehingga harus mencari partner kerja yang sesuai untuk mendukung pengelolaan tersebut. Hal tersebut kemudian disikapi oleh Indonesia dengan melahirkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Pasal 62 Ketetapan MPRS tersebut menyatakan bahwa “Mengingat terbatasnya persediaan modal dalam negeri dibandingkan dengan kebutuhan pembangunan nasional, maka perlu segera ditetapkan Undang-Undang mengenai modal asing, termasuk domestik asing”. 41 Maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pada tanggal 10 Januari 1967 dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan modal bagi pembangunan nasional sekaligus sebagai payung hukum untuk melindungi dan menghindari keragu-raguan pihak asing dalam melakukan penanaman modal di Indonesia. Perkembangan hukum penanaman modal asing di Indonesia kemudian dilanjutkan dengan adanya perubahan dan penambahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970. 42 Perkembangan selanjutnya adalah diterbitkannya
dimana negara memiliki hak penguasaan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional untuk kemakmuran rakyat. 41 K. Wantjik Saleh. Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan MPRS/MPR (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 230. 42 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970, bagian Konsideran yang menyebutkan bahwa “guna meningkatkan pembangunan di Indonesia perlu segera diciptakan suatu iklim fiskal yang baik bagi pengusaha-pengusaha, khususnya bagi penanam modal.” Jadi, perubahan dan penambahan UU No. 1 Tahun 1967 menjadi UU No. 11 Tahun 1970 tersebut hanya
25
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin Perusahaan Penanaman Modal Asing yang diikuti dengan lahirnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional. 43 Pemerintah juga melakukan perubahan terhadap Keppres Nomor 17 Tahun 1986 tersebut menjadi Keppres Nomor 50 Tahun 1987. Perubahan terhadap Keppres tersebut juga diikuti oleh Ketua BKPM yang mengeluarkan SK Ketua BKPM Nomor 5 Tahun 1987 dimana prinsip pengaturannya sama dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1987, yaitu memberikan kelonggaran-kelonggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya kepada penanam modal asing sebagaimana yang telah diperoleh oleh penanam modal dalam negeri. 44 Upaya untuk menghadirkan penanam modal asing agar melakukan penanaman modal di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai upaya, termasuk menciptakan kebijakan investasi yang menarik. Salah satunya adalah melahirkan peraturan hukum mengenai kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, yaitu PP Nomor 20 Tahun 1994 yang memberikan kepastian hukum bagi investor asing untuk memiliki saham sebesar 100%. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diubah menjadi PP Nomor 83 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994
berkaitan dengan pengaturan pajak untuk menambah daya tarik dan minat penanam modal asing berinvestasi di Indonesia. 43 M. Alfianto Romdoni, Investasi dan Penanaman Modal, dimuat dalam http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2012/05/investasi-dan-penanaman-modal.html (diakses pada tanggal 19 Februari 2016). 44 Ibid.
26
Universitas Sumatera Utara
tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Pergaulan global yang digeluti Indonesia terutama di bidang perdagangan internasional perlahan juga turut memberi dampak bagi perkembangan hukum penanaman modal asing di Indonesia. Salah satu dampak tersebut adalah kesepakatan para negara anggota WTO untuk menerapkan ketentuan TRIMs dalam substansi hukum penanaman modal nasional agar penanam modal asing merasa aman dengan tidak diperlakukan secara diskriminatif di host country. Indonesia selaku anggota WTO memiliki kewajiban untuk menyesuaikan kesepakatan tersebut ke dalam hukum nasional yang berlaku. Maka, diterbitkanlah UUPM pada tanggal 26 April 2007. Selain ketentuan yang terdapat dalam UUPM beserta peraturan pelaksananya, pengaturan tentang penanaman modal juga diatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral sesuai dengan sektor usaha penanaman modal, seperti: a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. c. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UUP). d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, dan lain sebagainya. Sejak era reformasi yang mengubah sistem pemerintahan menjadi desentralisasi, patut untuk diketahui pula secara teknis tentang adanya pembagian urusan 27
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan termasuk urusan penanaman modal yang semula berada di tangan Pemerintah Pusat beralih menjadi urusan Pemerintahan Daerah, baik di tingkat Pemerintahan Daerah Provinsi maupun di tingkat Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 45 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing Kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan nasional memang sangat besar. Keterbatasan dana yang tersedia di dalam negeri mengharuskan host country mencari dana asing sebagai pilihan alternatif dalam bentuk kegiatan penanaman modal langsung asing. Oleh karena itu, untuk mendapatkan dana asing melalui kegiatan penanaman modal, perlu diketahui dan dipahami lebih lanjut mengenai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keinginan penanam modal asing melakukan penanaman modal ke suatu negara. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penanam modal asing melakukan penanaman modal ke suatu negara pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu faktor penarik dan faktor pendorong atau disebut dengan istilah "pull and push theory." Faktor penarik merupakan keunggulan pasar dan kebijakan yang dimiliki host country, seperti adanya kestabilan di bidang sosial, politik dan ekonomi, iklim usaha dan investasi yang menarik, ketersediaan sumber daya alam dan manusia, potensi pasar, insentif dan fasilitas serta ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang diberikan pemerintah. Sedangkan faktor pendorong merupakan faktor kekondusifan home country, seperti adanya kebijaksanaan investasi berupa
45
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, bagian dasar hukum.
28
Universitas Sumatera Utara
aliran modal keluar, perkembangan sosial dan ekonomi, serta perkembangan lingkungan global. 46 Salah satu tokoh yang fokus menjelaskan tentang faktor pendorong adalah Thee Kian Wie. Wie kemudian mengemukakan bahwa penanam modal asing berkeinginan untuk melakukan penanaman modal ke luar negeri karena terdapat beberapa hambatan dan/atau kemudahan home country, seperti: 47 a. meningkatnya biaya lahan dan tenaga kerja di negara asal (home country) yang mengakibatkan hasil produksi tidak memiliki daya saing; dan b. sikap dan kebijakan negara asal (home country) yang mendorong terjadinya pengalihan investasi ke luar negeri. Misalnya, kebijakan rezim devisa bebas yang pernah diterapkan Taiwan dan adanya insentif bagi ekspansi usaha ke luar negeri. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat penanam modal asing yang perlu dipelajari oleh suatu host country yang membutuhkan dana asing adalah faktor penarik. Buu Hoan mengemukakan tentang faktor-faktor yang dapat menarik minat penanam modal asing untuk melakukan penanaman modal ke suatu negara, yaitu apabila terdapat: 48 a. b. c. d. e. f. g. h.
political and economic stability; stable and discipline labour force; access to local finance; ready availability of foreign exchange; stable currency value; existence of a good joint venture partner; government incentives, especially taxation; and duty free import.
46
Soetarto, Faktor-faktor pendorong dan penarik penanaman modal asing Jepang, Korea Selatan dan Taiwan di Indonesia. S2. diperoleh dari Perpustakaan Indonesia yang dimuat dalam http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-93638.pdf (diakses pada tanggal 19 Februari 2016). 47 Thee Kian Wie. Industrialisasi Di Indonesia Berbagai Kajian (Jakarta: LP3ES, 1996), Cetakan Kedua, hlm. 149. 48 Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
29
Universitas Sumatera Utara
Erman Radjagukguk juga memaparkan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi minat penanam modal asing untuk melakukan penanaman modal ke suatu negara, yaitu apabila terdapat: 49 a. Kesempatan ekonomi (economic opportunity), seperti sumber daya alam, ketersediaan bahan baku, pasar yang prospektif, upah buruh yang murah, insentif investasi, infrastruktur yang baik, dan lainlain. b. Stabilitas politik (political stability), seperti terciptanya suasana politik yang kondusif dan stabil, adanya kesadaran berpolitik yang tinggi, dan lain sebagainya. c. Kepastian hukum (legal certainty), seperti kepastian mengenai substansi hukum, kepastian dalam pelaksanaan putusan pengadilan, judicial corruption, dan lain-lain. Peraturan-peraturan yang terkait dengan penanaman modal di suatu negara terkadang bisa menimbulkan kekaburan hukum yang berlaku sehingga diperlukan kejernihan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dalam rangka menambah daya tarik dan meningkatkan modal asing ke suatu negara. 50 Sebab, penanam modal
asing biasanya
memperhatikan
unsur kepastian
hukum
sebagai
pertimbangan utama sebelum melakukan penanaman modal di suatu negara. Selain substansi hukum, kepastian akan penegakan atau pelaksanaan dari regulasi yang berlaku juga diperlukan. Dengan kata lain, adanya kebijakan dan regulasi yang promotif dan nondiskriminatif saja tidak serta merta menjadikan suatu negara atraktif bagi penanam modal asing selama penegakan atau pelaksanaan (law enforcement) dari regulasi tidak berlaku secara efektif dan tidak berlangsung secara konsisten. 51 Namun, dalam beberapa kasus pelaksanaan penanaman modal, melimpahnya kesempatan ekonomi mampu mengeliminasi kebutuhan akan 49
Ibid. Charles Himawan. Hukum Sebagai Panglima (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hlm. 113. 51 David Kairupan, Op.Cit., hlm. 6. 50
30
Universitas Sumatera Utara
adanya penegakan keamanan dan kepastian hukum bagi penanam modal asing saat melakukan penanaman modal di suatu negara. 52 4. Bentuk-bentuk penanaman modal asing Mengacu pada ketentuan Pasal 12 UUPM dapat diperoleh suatu gambaran tentang bentuk pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia. Pasal tersebut menyebutkan bahwa ada bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri. 53 Namun, terdapat pula ketentuan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, seperti persyaratan permodalan yang harus dilakukan secara bersama-sama antara modal asing dan modal dalam negeri. 54 Ismail Suny menjelaskan bahwa terdapat tiga macam bentuk kerjasama antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yaitu joint venture, joint enterprise, dan kontrak karya. 55 Istilah join venture merupakan istilah dalam kepustakaan hukum yang berarti modal patungan dimana perusahaan join venture terbentuk dari kerjasama modal yang bersumber dari perpaduan modal asing dengan modal dalam negeri yang didasari oleh suatu perjanjian yang bersifat 52
Media Indonesia, Indonesia Masih Menarik Investor Asing dalam Erman Radjagukguk, Op.Cit., hlm. 41. 53 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 12 ayat (3) dimana disebutkan bahwa bidang usaha yang tertutup bagi penanamam modal asing dan penanaman modal dalam negeri didasari oleh kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya yang selanjutnya diatur oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden. 54 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 12 ayat (5) dimana disebutkan bahwa Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. 55 Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998), hlm. 108.
31
Universitas Sumatera Utara
kontraktuil. 56 Perpaduan modal tersebut tidak mewajibkan perusahaan kerjasama dalam bentuk join venture untuk membuka badan hukum baru. Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa joint venture adalah suatu usaha kerjasama yang dilakukan dengan memadukan modal asing dengan modal dalam negeri berdasarkan perjanjian yang bersifat kontraktuil tanpa perlu membentuk suatu badan hukum baru. Kontrak kerjasama tanpa pembangunan badan usaha baru tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk kerjasama join venture berikut ini, yaitu: 57 a. Technical assistance (service) contract, yaitu suatu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method). b. Franchise and brand-use agreement, yaitu suatu bentuk usaha kerjasama yang digunakan apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti Mc’ Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya. c. Management contract, yaitu suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak modal asing dengan modal nasional yang berkaitan dengan pengelolaan suatu perusahaan khusunya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. d. Build, Operation, and Transfer (B.O.T), yaitu suatu bentuk kerjasama yang relatif baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama antara para pihak, dimana suatu objek dibangun, dikelola, atau 56
Erman Radjagukguk, et al. dalam Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 206. 57 Aminuddin Ilmar, Op. Cit., hlm. 61-62.
32
Universitas Sumatera Utara
dioperasikan selama jangka waktu tertentu lalu diserahkan kepada pemilik aslinya. Bentuk kerjasama join venture tersebut berbeda halnya dengan joint enterprise dimana untuk menjalankan usaha harus ada penggabungan modal asing dengan modal dalam negeri ke dalam satu badan hukum Indonesia baru yang harus dibentuk. Sedangkan kontrak karya (contract of work) adalah bentuk kerjasama usaha antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri dimana penanam modal asing harus membentuk badan hukum Indonesia terlebih dahulu dan badan hukum tersebut mengadakan kerjasama dengan suatu badan hukum yang menggunakan modal nasional. 58 Salah satu bentuk kerjasama Kontrak Karya adalah antara PT. Caltex Pacific Indonesia dengan PT. Pertamina Persero. 5. Bentuk badan hukum dan kedudukan usaha Pelaksanaan penanaman modal asing di suatu negara tentu harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku di host cuntry. Pemberlakuan prosedur hukum tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan host country dan penanam modal asing serta untuk memberikan kepastian hukum tentang hukum mana yang akan diberlakukan dalam penyelenggaraan kegiatan penanaman modal bilamana terjadi suatu sengketa. Beberapa prosedur hukum yang berlaku bagi pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia sendiri telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUPM yang berbunyi “Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”
58
Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit.
33
Universitas Sumatera Utara
Prosedur hukum penanaman modal yang berlaku berdasarkan ketentuan pasal tersebut mensyaratkan penanaman modal asing yang ingin melakukan penanaman modal di Indonesia untuk membentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Pelaksanaan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas tersebut selanjutnya dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas, membeli saham, atau melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59 Penentuan badan hukum berupa PT bagi penanaman modal asing di Indonesia didorong oleh suatu alasan bahwa Indonesia akan lebih mudah untuk menggugat perseroan secara langsung apabila terjadi suatu sengketa. Sebab, bentuk perseroan merupakan badan hukum yang dinilai dapat bertindak sebagai pendukung hak dan kewajiban “(rechtperson)” yang memiliki harta kekayaan tersendiri berupa modal alat-alat perusahaan dan lain-lain yang dapat dijadikan jaminan terhadap kelalaian dalam pemenuhan kewajiban. 60 Artinya, badan hukum perseroan memiliki suatu persona standi in judicio tersendiri yang dapat menggugat dan digugat. Pemilihan PT sebagai bentuk badan hukum untuk melaksanakan usaha di bidang penanaman modal juga dinilai sangat tepat karena memiliki tiga karakteristik dominan, yaitu pertanggungjawaban yang timbul semata-mata hanya dibebankan kepada harta kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi, adanya sifat mobilitas atas hak penyertaan pada perseroan, serta prinsip pengurusan yang 59
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 5 ayat (3). 60 Aminuddin Ilmar. Op.Cit., hlm. 127.
34
Universitas Sumatera Utara
hanya melalui suatu organ. 61 Selanjutnya, kewajiban penanam modal untuk menjalankan usaha di wilayah Indonesia juga bertujuan untuk memudahkan Indonesia dalam menerapkan hukum positif bagi penanam modal apabila terjadi suatu sengketa dikemudian hari. Sebab, penanam modal akan terikat dengan asas teritorial yang berlaku dalam ketentuan hukum Indonesia yang memungkinkan pemberlakuan hukum bagi siapa saja yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam praktiknya dapat diartikan melalui penggunaan beberapa teori badan hukum. Salah satunya adalah teori organ yang dikemukakan oleh Otto von Gierke yang menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia yang menjelma dalam pergaulan hukum. 62 Badan hukum tersebut kemudian menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya sendiri melalui perantara alat atau organ-organ badan, seperti anggota pengurus yang mengucapkan kehendak melalui mulut atau menuliskan kehendak melalui perantara tangan lalu memutuskannya sebagai kehendak dari badan hukum tersebut. 63 Kehendak tersebut oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) hanya dapat dilakukan oleh Direksi sebagai salah satu organ perseroan yang melakukan pengurusan. 64
61
Rudi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 12. 62 Mulhadi, Bahan Ajar Hukum Perusahaan (Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013), hlm. 74. 63 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 32. 64 Republik Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 92 ayat (1) dan (2).
35
Universitas Sumatera Utara
B. Bidang Usaha Perikanan 1. Bidang-bidang usaha perikanan Ketentuan yang terdapat dalam Lampiran II Nomor 3 Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal mencantumkan Bidang Kelautan dan Perikanan sebagai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Bidang-bidang usaha yang terdapat dalam Bidang Kelautan dan Perikanan tersebut adalah: 65 a. Perikanan tangkap menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 GT, di wilayah perairan sampai dengan 12 mil. b. Usaha pengelolaan hasil perikanan yang dilakukan secara terpadu dengan penangkapan ikan di perairan umum. c. Pembesaran ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar. d. Pembenihan ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar. e. Usaha Pengelolaan Hasil Perikanan (UPI) berupa: 1) industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya; 2) industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya. f. Usaha Pengelolaan Hasil Perikanan (UPI) peragian, fermentasi, pereduksian/pengekstaksian, pengolahan surimi, dan jelly ikan. g. Usaha pemasaran, distribusi, perdagangan besar, dan ekspor hasil perikanan. h. Usaha perikanan tangkap: 1) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI); 2) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan laut lepas; 3) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di atas 30 GT di wilayah perairan di atas 12 mil. i. Pemanfaatan (pengambilan) dan peredaran koral/karang hias dari alam untuk akuarium. j. Pengangkatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam. k. Penggalian pasir laut.
65
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, Lampiran II Nomor 3.
36
Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dimana Usaha Perikanan didefinisikan sebagai “Semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.” Usaha di bidang pembudidayaan ikan tersebut dilakukan dalam suatu sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran serta dilakukan di air tawar, air payau, dan di laut. Usaha pembudidayaan ikan pada masing-masing tahap akan dijelaskan sebagai berikut: 66 a. pada tahap praproduksi, usaha yang dilakukan meliputi pemetaan lahan dan/atau pencetakan lahan pembudidayaan ikan; b. pada tahap produksi, usaha yang dilakukan meliputi pembenihan, pembesaran, dan/atau pemanenan ikan; c. pada tahap pengolahan, usaha yang dilakukan meliputi penanganan hasil, pengolahan, penyimpanan, pendinginan, dan/atau pengawetan ikan hasil usaha budidaya; d. pada tahap pemasaran, usaha yang dilakukan meliputi pengumpulan, penampungan, pemuatan, pengangkutan, penyaluran, dan/atau pemasaran ikan hasil pembudidayaan. Definisi tersebut memberi gambaran bahwa usaha perikanan yang ada di Indonesia terdiri dari dua bidang usaha, yaitu bidang usaha penangkapan ikan dan bidang usaha pembudidayaan ikan. Maka, katagori yang masuk dalam bidang usaha perikanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Nomor 3 Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal adalah:
66
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2007 tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan, Pasal 5 ayat (1), (2), (3), dan (4).
37
Universitas Sumatera Utara
a. Perikanan tangkap menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 GT di wilayah perairan sampai dengan 12 mil. b. Usaha pengelolaan hasil perikanan yang dilakukan secara terpadu dengan penangkapan ikan di perairan umum. c. Pembesaran ikan laut, ikan air payau, dan ikan air tawar. d. Pembenihan ikan Laut, ikan air payau, dan ikan air tawar. e. Usaha pemasaran, distribusi, perdagangan besar, dan ekspor hasil perikanan. f. Usaha perikanan tangkap: 1) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan ZEEI; 2) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan laut lepas; dan 3) menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di atas 30 GT di wilayah perairan di atas 12 mil. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 39 Tahun 2014 adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu. Syarat tertentu bagi bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal adalah bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK), bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan 38
Universitas Sumatera Utara
lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Salah satu bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus tersebut adalah bidang usaha perikanan tangkap di wilayah ZEEI bagi penanaman modal asing. 67 2. Kewenangan pengurusan izin usaha perikanan Pelaksanaan usaha perikanan diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.” Sistem bisnis perikanan tersebut dapat dilakukan oleh beberapa pihak. Secara umum, pihak yang dapat menjalankan usaha perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 adalah perorangan atau badan hukum. 68 Pihak-pihak tersebut dalam menjalankan usaha di bidang perikanan diwajibkan untuk memiliki beberapa surat izin, seperti Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI), kecuali bagi nelayan kecil. 69 Berbagai surat izin tersebut dapat dimiliki setelah pihak, baik perorangan atau pun badan hukum yang ingin melakukan penanaman modal di bidang usaha perikanan, mengajukan permohonan penerbitan izin kepada pihak yang berwenang melakukan pengurusan penerbitan izin tersebut. Pengaturan tentang pihak yang berwenang dalam pengurusan izin di bidang usaha perikanan tidak terlepas dari kehadiran Undang-Undang Nomor 23
67
Ramlan, Konsep Hukum Tata Kelola Perikanan (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 88. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Pasal 1 angka 1. 69 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 26, 27 ayat (5), dan 28. 68
39
Universitas Sumatera Utara
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang
tersebut
mengamanatkan bahwa penanaman modal merupakan salah satu bidang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 70 Konsekuensi hukum atas amanat undang-undang tersebut adalah terjadinya peralihan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam penanganan urusan penanaman modal. Peralihan kewenangan tersebut memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk turut melakukan pengurusan di bidang penanaman modal termasuk kewenangan mengurus penerbitan izin penanaman modal di bidang usaha perikanan. Pemberian kewenangan kepada daerah dalam hal melakukan pengurusan izin di bidang usaha perikanan juga dipertegas kembali oleh Pasal 65 UUP yang menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat memberikan tugas kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan”. Penyerahan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan kepada daerah tersebut diharapkan mampu meningkatkan peran daerah dalam mengelola wilayah laut sebagai aset daerah yang berpotensi menjadi penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) berikutnya. Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan juga telah ditentukan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Secara singkat dapat dijabarkan bahwa wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi untuk mengelola sumber daya perikanan adalah wilayah laut paling jauh 12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas. 70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 11 ayat (1) (2) dan Pasal 12 ayat (2).
40
Universitas Sumatera Utara
Namun, pengaturan tentang pihak-pihak yang berwenang dalam menerbitkan perizinan di bidang usaha perikanan secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Republik Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut adalah Pasal 13 ayat (3) PP Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan jo. Pasal 10-12 Permen KP Nomor 12 Tahun 2007 tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan jo. Pasal 14 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPRI). Ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal tersebut mengatur tentang pelimpahan wewenang penerbitan izin usaha di bidang perikanan kepada direktur jenderal (Dirjen), gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangan masing yang telah diberikan. Dirjen berwenang untuk menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran di atas 30 GT serta usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Selanjutnya, gubernur diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 10 GT sampai 30 dengan GT serta tidak menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing dalam pelaksanaan usahanya. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh bupati/walikota dalam bidang usaha perikanan adalah kewenangan untuk menerbitkan SIUP, SIPI, SIKPI untuk kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing dalam pelaksanaan usahanya. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 15 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012, penerbitan SIUP, SIPI, dan SIKPI tersebut harus tetap mempertimbangkan estimasi potensi 41
Universitas Sumatera Utara
dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP).
C. Pengaturan Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan Bidang usaha perikanan yang terdapat di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 PP Nomor 54 Tahun 2002 adalah bidang usaha perikanan tangkap dan bidang usaha pembudidayaan ikan. Bidang usaha perikanan tangkap merupakan bidang usaha yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan dan/atau kegiatan pengangkutan ikan. Kegiatan penangkapan ikan sangat mudah dilakukan bila berada di Indonesia. Selain dikarenakan oleh luas wilayah lautan yang mencapai jutaan km2, potensi perikanan yang terdapat dan tersebar di dalamnya juga begitu melimpah. 71 Oleh karena itu, bidang usaha perikanan tangkap merupakan salah satu bidang usaha yang sangat potensial diusahakan di Indonesia. Keberlimpahan sumber daya perikanan di Indonesia merupakan salah satu anugerah dari Tuhan yang patut dikelola dan dioptimalkan secara maksimal. Pengoptimalan potensi sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum akan berguna untuk meningkatkan pendapatan negara, baik bersumber dari pungutan pajak maupun dari pungutan non-pajak. 72 Pendapatan negara yang meningkat
71
Wilayah laut Indonesia terdiri dari laut teritorial seluas 0.3 juta km2, perairan nusantara (kepulauan) seluas 2,8 juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 yang kaya akan sumber daya perikanan. 72 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 48 ayat (1). Namun, ketentuan mengenai pungutan tersebut tidak berlaku bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil sebagaimana diatur pada ayat (2) pasal tersebut.
42
Universitas Sumatera Utara
tersebut pada akhirnya juga akan berpengaruh kepada peningkatan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan-kebijakan pembangunan negara. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan di wilayah Indonesia, khususnya di bidang perikanan tangkap di laut belum mampu dilakukan secara optimal dimana potensi perikanan tangkap sebesar 6,4 juta ton per tahun baru bisa dimanfaatkan sebesar 3,1 juta ton saja per tahun. 73 Banyak hal yang mempengaruhi jumlah tangkapan ikan tersebut. Salah satunya adalah keterbatasan sarana dan prasarana pendukung nelayan dalam menangkap ikan, seperti tidak memiliki modal yang cukup untuk melaut serta penggunaan kapal penangkap ikan yang berukuran sangat kecil sehingga penangkapan ikan hanya bisa dilakukan di seputaran bibir pantai hingga beberapa mil ke arah laut lepas. Kondisi tersebut kemudian diperparah lagi dengan fakta yang menyebutkan bahwa 36% diantara jumlah nelayan pengguna kapal kecil tersebut adalah pengguna kapal kecil tidak bermotor. 74 Ketidakmampuan dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi perikanan tangkap dengan segala hambatan tersebut menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan negara sebesar triliunan rupiah. 75 Hal tersebut kemudian diperparah lagi dengan adanya praktik illegal fishing oleh kapal asing di Indonesia. Kerugian Indonesia semakin bertambah besar termasuk kerugian terhadap kerusakan ekosistem dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh praktik illegal fishing tersebut. Kerusakan ekosistem dan lingkungan tempat sumber daya perikanan melangsungkan kehidupan yang terjadi dalam jangka 73
Supriadi dan Alimuddin, Op.Cit., hlm. 2. Ibid., hlm. 4-5. 75 Renstra KKP 2010 dalam Djoko Tribawono., Op.Cit., hlm. 150. 74
43
Universitas Sumatera Utara
waktu panjang tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi keberlanjutan hidup ikan. Apabila keberlanjutan hidup ikan sudah terganggu, maka eksistensi mata pencaharian ikan oleh nelayan pun akan berpotensi hilang. Mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUP bahwa untuk memajukan pengelolaan ikan, pemerintah dapat melakukan kerjasama internasional dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan. 2. Bekerjasama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup atau semi tertutup, dan wilayah kantong. 3. Memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan. Ketentuan yang terdapat pada pasal tersebut membuka kesempatan bagi Indonesia melalui pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan negara tetangga atau negara lain dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan di laut. Ketentuan tersebut sekaligus membuka peluang bagi negara asing untuk turut serta terlibat melakukan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia melalui kegiatan penanaman modal asing. Pelaksanaan penanaman modal asing di bidang perikanan tidak dilarang oleh konstitusi Indonesia dimana dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 diterangkan bahwa perekonomian nasional Indonesia harus dilselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan salah satu prinsipnya, yaitu kemandirian. Prinsip kemandirian yang dimaksud tidak berarti mengabaikan bantuan dana dan kerjasama pihak luar, sepanjang dana dari pihak luar tersebut berfungsi sebagai
44
Universitas Sumatera Utara
pelengkap. 76 Penekanan terhadap peluang asing untuk melakukan penanaman modal di bidang usaha perikanan di Indonesia juga dapat dilihat dari ruang lingkup berlakunya UUP, yaitu: 1. Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang melakukan kegiatan perikanan di WPPRI. 2. Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang melakukan kegiatan perikanan di WPPRI. Kehadiran penanaman modal asing, khususnya penanaman modal asing secara langsung di suatu negara tentu memberikan keuntungan bagi host country. Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra terhadap kehadiran penanaman modal asing tersebut, secara teoritis dapat dikemukakan bahwa kehadiran penanaman modal asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier effect), seperti dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, menciptakan demand bagi produk dalam negeri, menambah devisa negara, menambah penghasilan host country dari sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of technology) serta alih pengetahuan (transfer of know how) sehingga dinilai sangat berperan dalam melakukan pembangunan ekonomi, khususnya di daerah tempat penanaman modal asing tersebut dilaksanakan. 77 Selain itu, peran penanaman modal asing secara langsung di suatu negara juga membawa manfaat lain, seperti: 78 1. Meningkatkan pembangunan di kawasan daerah-daerah tertinggal. 76
Sumantoro, Hukum Ekonomi (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 5. Hendrik Budi Untung, Op.Cit., hlm. 41-42. 78 Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Op.Cit. 77
45
Universitas Sumatera Utara
2. Adanya jaringan pasar internasional investor yang dapat dimanfaatkan. Manfaat penanaman modal yang akan diperoleh host country sebagaimana disebutkan di atas senilai dengan motif bisnis yang ingin dilakukan oleh penanam modal asing itu sendiri, yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagi penanam modal asing, potensi perikanan tangkap di laut Indonesia sudah sangat menarik untuk dijadikan basis pelaksanaan penananam modal sebab berpotensi mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Hal tersebut ditambah lagi dengan keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia, seperti memiliki upah buruh yang murah, pasar yang sangat besar, serta lokasi yang sangat strategis bagi penanaman modal. Pemerintah Indonesia juga dinilai memiliki upaya sungguh-sungguh untuk mendorong iklim investasi yang menarik dan kondusif, seperti tidak membatasi arus dana masuk dan keluar termasuk modal dan keuntungan yang diperoleh penanam modal asing. 79 Namun dalam praktiknya, paradigma penyelenggaraan penanaman modal asing yang hanya berorientasi mencari keuntungan sebesarbesarnya tersebut di host country akan melahirkan dua kepentingan, yaitu kepentingan bisnis oleh penanam modal asing dan kepentingan melindungi sumber daya perikanan oleh negara penerima modal (host country), seperti ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Ketentuan yang berlaku di Indonesia bagi penanaman modal asing di bidang usaha perikanan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUP dimana “Usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia hanya boleh 79
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 56.
46
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.” Pasal 29 ayat (2) lebih lanjut mengatur bahwa orang asing atau badan hukum asing tetap diberi kesempatan untuk melakukan usaha di bidang perikanan tangkap. Namun, wilayah penangkapan ikan tersebut dibatasi hanya dapat dilakukan di wilayah ZEEI. Ketentuan mengenai kewenangan pengelolaan usaha perikanan tangkap yang diperkenankan melalui PMA dipertegas kembali dalam Lampiran II Perpres Nomor 39 Tahun 2014 poin 8 pada Bidang Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan bahwa usaha perikanan tangkap yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan ZEEI harus dilakukan dengan perizinan khusus dimana syarat dan ketentuan tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan menteri yang dimaksud adalah Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 juga menentukan lebih lanjut bahwa jenis usaha perikanan tangkap yang diatur di Indonesia adalah usaha penangkapan ikan, usaha pengangkutan ikan, usaha penangkapan dan pengangkutan ikan, serta usaha perikanan tangkap terpadu. Usaha perikanan tangkap yang diperbolehkan bagi penananam modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 tersebut adalah usaha perikanan tangkap terpadu. 80
80
Ramlan. Op.Cit., hlm. 134-135.
47
Universitas Sumatera Utara