23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II PEMBAHASAN DAN ISI A.
Pendekatan Struktural
Teori struktural yang digunakan untuk menganalisis cerbung ini adalah teori struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur intrinsik fiksi menjadi tiga bagian, yaitu: fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra. Ia membagi unsur fakta cerita menjadi tiga, yaitu alur, tokoh, dan latar. Sedangkan sarana-sarana sastra terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme serta ironi.
1. Wengi Saya Larut a. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut: (1) Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Cerkak Wengi Saya Larut ini menggunakan alur maju. (a) Alur awal
commit to user
23
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahap ini pengarang mengawali cerita dengan memperkenalkan tokoh yang bernama Nandar. Ia adalah seorang suami dan juga ayah yang mempunyai lima anak. Pada alur awal ini di ceritakan tentang keadaan keluarganya yang 23
begitu bahagia, dan rumah yang selalu hangat dihuni oleh ketujuh penghuninya. Kutipan: “Wiwit sore mau tivine sengaja dipateni. Luwih seneng ngrungokake radio amatir. Lawang ngarepan dikunci. Lampu kamar tamu dipateni. Lampu ngeringan omah diuripake, banjur lungguh ana kamar tengah sing lumrahe kanggo kumpul-kumpul kala mangsane padha guyonan. Bojone mblater nyanyi. Utawa ngunekake harmonika banjur anake mbarep mbarengi nyanyi ora jengos, kepekso dheweke ngguyu. Pancen ora nduweni bakat swara becik” (ACMA hal 50). Terjemahan: “Dari sore tadi tvnya sengaja dimatikan. Lebih suka mendengarkan radio amatir. Pintu depan dikunci. Lampu kamar tamu dimatikan. Lampu pinggir rumah dihidupkan, kemudian duduk di kamar tengah yang biasanya untuk berkumpul jika ingin bercanda. Istrinya bernyanyi. Atau bermain harmonika lalu anak pertamanya bernyanyi tidak bagus, terpaksa dirinya tertawa. Memang tidak mempunyai bakat suara bagus” (ACMA hal 50). (b) Alur Tengah Pada alur ini Nandar yang sedang bekerja dikagetkan oleh berita istrinya yang jatuh sakit. Kutipannya sebagai berikut. “Dhadhane trataban. Awake krasa gemeter. Durung nganti takon maneh, terus ngringkesi garapane ndhuwur meja” (ACMA hal 52). Terjemahan: “Dadanya tiba-tiba tidak karuan. Badannya bergetar. Belum sempat bertanya lagi, kemudian membereskan pekerjaannya di atas meja” (ACMA hal 52). (c) Alur akhir
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahap ini pengarang memberikan pemecahan masalah yang dihadapi Nandar. Akhirnya Nandar lebih mengiklaskan semua keadaannya untuk anakanaknya. Kutipannya sebagai berikut. “Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anakanake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya” (ACMA hal 53). (d) Konflik Konflik dalam cerkak Wengi Saya Larut karya Ariesta Widya menceritakan istrinya yang jatuh sakit dan satu minggu kemudian meninggal. Kutipannya sebagai berikut. “Seminggu candhake bojone wis ora ketulungan. Sanadyan atine bisa pasrah, nanging rasa kamanungsan ora kena dipenggak. Penyakit sing dikandhakake dhokter nalika dirawat ing ruwang intensip kaya-kaya ngayawara. Pendharahan otak. Sawijiing penyakit sing ora nate mlebu pikirane keterangan saka dhokter sebab lan musababe ora mlebu atine” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Satu minggu ternyata istrinya tidak dapat ditolong. Meski hatinya bisa pasrah, namun rasa kemanusiaannya tidak bisa dihindari. Penyakit yang dikatakan oleh dokter waktu dirawat di ruang intensif tidak bisa dipercaya. Pendarahan otak. Salah satu penyakit yang tidak pernah masuk dalam pikirannya keterangan dari dokter sebab dan akibat tidak masuk hatinya” (ACMA hal 53). (e) Klimaks
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
Konflik utama dalam cerkak tersebut semakin meningkat karena setelah istrinya meninggal, dia merasa terpukul akibat perayaan ulangtahun dan supitan anaknya gagal karena faktor dana.
Kutipan: “Wis begjamu. Oh, Ted. Ning kowe rak mesakake bapak, ta?” pangrintihe. Nanging bocahe panggah kethap-kethip. “Kowe kepengen sekolah, ta? O, ya, tinimbang dhuwit sing samono dinggo rame-rame muspro luwih becik dicelengi.” Kabeh dadi amem. Ora ana sing gelem miwiti omong. Apa maneh anak-anake sing cilik mung mentheleng ora ngerti playunging rembug. “Kowe mesakake Bapak, ya? Yen mesakake Bapak kudune ora perlu ramerame.” “Tedi manthuk. Sepisan maneh anake dikekep-kekep. Bali luhe ambrol...”(ACMA hal 55). Terjemahan: “Sudah rejekimu. Oh, Ted. Namun kamu kasihan sama bapak kan?” rintihannya. Namun anaknya hanya berkedip. “Kamu ingin sekolah kan? O, ya, daripada uangnya untuk ramai-ramai tidak ada gunanya lebih baik ditabung.” “Semuanya jadi diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Apalagi anakanaknya yang masih kecil hanya melotot tidak tahu lari pembicaraannya kemana. “Kamu mengasihani bapak kan? Jika kasihan sama bapak seharusnya tidak perlu ramai-ramai. “Tedi menggangguk. Satu kali lagi anaknya dipeluk erat-erat. Kemudian air matanya tumpah...”.(ACMA hal 55). (2) Tokoh atau Karakter (a) Nandar (Suami) Seorang suami yang sangat mencintai anak-anak dan istrinya. Nandar adalah sosok suami yang memiliki sifat sabar, iklas, dan pasrah dalam menghadapi tragedi dalam hidupnya, meski harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa istrinya meninggal, namun dia mencoba untuk tegar demi anak-anknya. commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Seminggu candhake bojone wis ora ketulungan. Sanadyan atine bisa pasrah, nanging rasa kamanungsan ora kena dipenggak. Penyakit sing dikandhakake dhokter nalika dirawat ing ruwang intensip kaya-kaya ngayawara. Pendharahan otak. Sawijiing penyakit sing ora nate mlebu pikirane keterangan saka dhokter sebab lan musababe ora mlebu atine” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Satu minggu ternyata istrinya tidak dapat ditolong. Meski hatinya bisa pasrah, namun rasa kemanusiaannya tidak bisa dihindari. Penyakit yang dikatakan oleh dokter waktu dirawat di ruang intensif tidak bisa dipercaya. Pendarahan otak. Salah satu penyakit yang tidak pernah masuk dalam pikirannya keterangan dari dokter sebab dan akibat tidak masuk hatinya” (ACMA hal 53). Kutipan: “Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anakanake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA hal 53). Terjemahan: ”Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya” (ACMA hal 53). (b) Istri Mempunyai hati yang lembut dan manja dengan suaminya. Dia juga seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Kutipan: “Ora. Aku pengen mlaku-mlaku wong loro.” Swarane ngambang. Sing lanang mesem. Esem jero sing angel tanggohane. Banjur kelingan jaman pacaran. Alemane ngudubilah. Yen wis mlaku-mlaku betahe ora jamak. Banjur ndheprok pinggir dalan cedak makam pahlawan, warung kacang ijo. Suwene anggone lungguh karo anggone mangan kacang ijo ora sumbut”(ACMA hal 52).
commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Tidak. Saya ingin jalan-jalan berdua”. Suaranya mengambang. Suaminya tersenyum. Senyum yang dalam yang sulit ditemukan. Kemudian ingat saat pacaran. Manjanya. Kalau sudah jalan-jalan sangat betah. Kemudian duduk dipinggir jalan dekat makam pahlawan warung kacang hijau. Lebih lama mereka duduk daripada mereka makan kacang hijau” (ACMA hal 52). (c) Tedi Ibu mempunyai keinginan untuk merayakan acara sunatan Tedi dan juga merayakan ulangtahun adiknya yang nomer lima. Namun, semua rencana tersebut tidak terlaksana karena ibunya meninggal dan ayahnya menyarankan untuk membatalkan acara tersebut. Tedi mempunyai sifat yang patuh kepada orangtua meski keinginannya ingin merayakan acara sunatan tetapi melihat keadaan ayahnya dia mematuhi keinginan ayahnya. Kutipan: “Wis begjamu. Oh, Ted. Ning kowe rak mesakake bapak, ta?” pangrintihe. Nanging bocahe panggah kethap-kethip. “Kowe kepengen sekolah, ta? O, ya, tinimbang dhuwit sing samono dinggo rame-rame muspro luwih becik dicelengi.” Kabeh dadi amem. Ora ana sing gelem miwiti omong. Apa maneh anak-anake sing cilik mung mentheleng ora ngerti playunging rembug. “Kowe mesakake Bapak, ya? Yen mesakake Bapak kudune ora perlu ramerame.” “Tedi manthuk. Sepisan maneh anake dikekep-kekep. Bali luhe ambrol...”(ACMA hal 55). Terjemahan: “Sudah rejekimu. Oh, Ted. Namun kamu kasihan sama bapak kan?” rintihannya. Namun anaknya hanya berkedip. “Kamu ingin sekolah kan? O, ya, daripada uangnya untuk ramai-ramai tidak ada gunanya lebih baik ditabung.” “Semuanya jadi diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Apalagi anakanaknya yang masih kecil hanya melotot tidak tahu lari pembicaraannya kemana. “Kamu mengasihani bapak kan? Jika kasihan sama bapak seharusnya tidak perlu ramai-ramai.
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Tedi menggangguk. Satu kali lagi anaknya dipeluk erat-erat. Kemudian air matanya tumpah...”.(ACMA hal 55). (3) Latar/ Setting Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. (a) Setting tempat Cerkak Wengi Saya Larut memiliki setting tempat di Semarang yaitu di rumah. Hal tersebut dijelaskan pada kutipan berikut: “Ngarep omah isih rame swarane bocah-bocah dolanan. Ana sing lungguhan buk cedhak jagan karo gitaran”(ACMA hal 50). Terjemahan: “Depan rumah masih ramai suara anak-anak bermain. Ada yang duduk di gapura dekat teras sambil bermain gitar”(ACMA hal 50). Setting tempat juga ada di kantor, tempat sang suami bekerja. Saat itu suaminya yang sedang bekerja di datangi tetangganya dan membawa kabar buruk tentang istrinya. Kutipan: “Sedina iku anggone ngantor rasane aras-arasen. Gawang-gawange bojone. Nganti anggone gaweyan salah-salah terus... Lagi omong nyawang njaba weruh, Ganung anake tanggane mara. Bocahe isih lingak-linguk nalikane dheweke nyedaki. “Apa Nung?” “Anu, anu. Pun aturi kondur.” Dhadhane trataban. Awake krasa gemeter. Durung nganti takon maneh, terus ngringkesi garapane ndhuwur meja”(ACMA hal 52). Terjemahan: “Seharian itu dikantor rasanya tidak tenang. Terbayang-bayang istrinya. Sampai pekerjannya salah-salah terus... Baru berbicara melihat keluar melihat,
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ganung anak tetanggannya datang. Anaknya masih bingung saat dirinya mendekat. “Apa Nung?” “Begini, begini. Disuruh pulang.” Dadanya tidak karuan. Badanya gemetar. Belum sampai bertanya lagi, kemudian membereskan pekerjannya di atas meja” (ACMA hal 52). Setting tempat lainnya adalah di rumah sakit. Setelah suami pulang dan mendapati istrinya terbujur lemas tak beradaya, dia membawanya ke rumah sakit. Satu minggu istrinya berada di rumah sakit sampai akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya. Kutipan: “Wong-wong sing layat ditakon apa sebab-sebabe ora ana sing bisa aweh wangsulan. Dina iku putusane mlebu rumah sakit. Dhokter sing praktek cedhak omahe nayogyakake opname” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Orang-orang yang datang ditanya apa penyebabnya tidak ada yang memberikan jawaban. Hari itu keputusannya masuk rumah sakit. Dokter yang praktek dekat rumahnya menyarankan untuk diopname” (ACMA hal 53). (b) Setting waktu Setting waktu dalam Cerkak Wengi Saya Larut adalah sore, malam dan siang hari. Sore itu istrinya mengajak suaminya membicarakan tentang anakanakmya. Kutipan: “Sore iku bojone katon sigrak. Wiwit saka kamar mau. Mulihe pancen ratarata jam papatan. Kabeh amrih wismane bisa lumaku becik. Nalika bocah-
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bocah padha nonton tivi. Dheweke rembungan karo bojone ana kamar tengah”(ACMA hal 50-51). Terjemahan: “Sore itu istrinya tampak bugar. Mulai dari kamar tadi. Pulangnya memang rata-rata jam empat. Semua karena wismanya berjalan dengan baik. Ketika anak-anak sedang menonton tv. Dia berbicara dengan suaminya di kamar tengan” (ACMA hal 50-51). Setting waktu selanjutnya adalah siang hari. Saat suaminya bekerja dia didatangi oleh tetangganya utuk memberikan kabar buruk tentang istrinya. Kutipan: “Sedina iku anggone ngantor rasane aras-arasen. Gawang-gawange bojone. Nganti anggone gaweyan salah-salah terus... Lagi omong nyawang njaba weruh, Ganung anake tanggane mara. Bocahe isih lingak-linguk nalikane dheweke nyedaki. “Apa Nung?” “Anu, anu. Pun aturi kondur.” Dhadhane trataban. Awake krasa gemeter. Durung nganti takon maneh, terus ngringkesi garapane ndhuwur meja”(ACMA hal 52). Terjemahan: “Seharian itu dikantor rasanya tidak tenang. Terbayang-bayang istrinya. Sampai pekerjannya salah-salah terus... Baru berbicara melihat keluar melihat, Ganung anak tetanggannya datang. Anaknya masih bingung saat dirinya mendekat. “Apa Nung?” “Begini, begini. Disuruh pulang.” Dadanya tidak karuan. Badanya gemetar. Belum sampai bertanya lagi, kemudian membereskan pekerjannya di atas meja” (ACMA hal 52). Setting waktunya diakhiri pada malam hari. Disaat anaknya memimpikan ibunya dan malam yang semakin larut melubungi hatinya. Kutipan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
“Tembunge anake tetep nemplek ing batine. Banjur bali lungguh maneh ana kamar tengah. Nganti wengi lungsune lan keprungu jago kluruk. Klunthuhklunthuh awake dibrukke ing dhipan. Wengi sangsaya larut”(ACMA hal 55). Terjemahan: “Perkataan anaknya tetap membuat perih hatinya. Kemudian kembali lagi di kamar tengah. Sampai malam kesedihannya dan terdengar suara ayam berkokok. Sempoyongan badannya di jatuhkan ke tempat tidur. Malam semakin larut” (ACMA hal 55). (c) Setting peristiwa Setting peristiwa atau setting sosial pada cerkak Wengi Saya Larut adalah berlatar agama Nasrani yang taat. Cerkak ini digambarkan bagaimana tokoh Nandar menyikapi problematika dalam hidupnya dengan cara sabar, iklas, dan pasrah kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut: “Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anakanake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya” (ACMA hal 53). b. Sarana-sarana Sastra Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47). (1) Judul Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan karakter, latar, dan tema. Judul cerkak ini menggambarkan tentang lamunan seseorang pada malam hari karena ditinggal istrinya meninggal dan mempunyai lima anak yang masih kecil dan membutuhkan seorang ibu. Lamunan tersebut digambarkan dengan keadaan malam yang semakin larut. Kutipan: “Tembunge anake tetep nemplek ing batine. Banjur bali lungguh maneh ana kamar tengah. Nganti wengi lungse lan keprungu jago kluruk. Klunthuhklunthuh awake dibruke ing dhipan. Wengi sangsaya larut” (ACMA hal 55). Terjemahan: “Perkataan anaknya tetap melekat dihati. Kemudian duduk kembali di kamar tengah. Sampai malam dan terdengar suara ayam berkokok. Sempoyongan badannya dibaringkan di tempat tidur. Malam semakin larut” (ACMA hal 55). (2) Sudut Pandang Cerkak Wengi Saya Larut menggunakan sudut pandang orang ketiga tidak terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne yang dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir. (3) Gaya dan Tone
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan bahasa Jawa ngoko, selain itu penggunaan bahasa Indonesia yaitu penggunaan kata larut dipengaruhi oleh pengarang yang juga merupakan sastrawan Indonesia dan sudah membuat beberapa karya satra. Tone yang digunakan pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. Cerita yang diangkat penuh dengan penggambaran perasaan seseorang jika mengalami hal yang sama dengan cerkak Wengi Saya Larut.
(4) Simbolisme Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi tampak nyata. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya: (a) Sakkandang Sakkandang mempunyai arti satu kandang, dalam kalimat ini di gunakan untuk menerangkan jumlah anaknya yang banyak yaitu berjumlah lima anak. Kutipan: “Kok ora eling yen anake wis sakkandhang,” tembunge sing lanang” (ACMA hal 52). Terjemahan: “Kok tidak ingat anaknya sudah satu kandang,” perkataan sang suami” (ACMA hal 52). (b) Disumpet watu Disumpet watu di sini digunakan untuk memperjelas keadaan suaminya yang sangat terpukul melihat istrinya terbaring sakit. commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “... Gorokane kaya disumpet watu, nalika weruh sing ana dipan iku bojone pucet enyet ...” (ACMA hal 53). Terjemahan: “... Tenggorokanya seperti disumbat batu, ketika melihat yang ada ditempat tidur adalah istrinya yang pucat mati ...” (ACMA hal 53).
(c) Mbalung sate Mbalung daging digunakan untuk menyatakan keadaan yang sendiri, dalam cerkak ini adalah menjadi duda. Setelah ditinggal mati istrinya Nandar menjadi seorang duda beranak lima. Kutipan: “Pa, arep terus mbalung sate, ta, Dhik? Bocah-bocah rak ora becik dadine yen mung dipasrahake batur, ta?” Dheweke mung mesem. Ewuh enggone arep nimbang. Pancen diakoni salawase iki sarwa kekuk. Kabeh kudu diayahi dhewe. Wiwit kebutuhan pawon nganti ngurusi bocah-bocah. Nanging suwalike yen ngenut tembunge tangga mau uga durung bisa ngyakinake yen kabeh bakal beres dadi becik” (ACMA hal 55). Terjemahan: “Apa. Mau sendirian terus, ta, Dik? Anak-anak tidak baik jadinya jika hanya diserahkan pembantu, ta?” Dirinya hanya tersenyum. Bingung caranya menimbang. Memang diakui selamanya memang tidak nyaman. Semua harus dilakukan sendiri. Dari kebutuhan dapur sampai mengurusi anak-anaknya. Namun sebaliknya jika mengikuti perkataan tetangganya tadi juga belum bisa mengiyakan jika semua akan selesai menjadi baik” (ACMA hal 55). (5) Ironi
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika tetangganya menggoda dengan status Nandar yang duda beranak lima. Karena anaknya bermimpi ditemui ibunya dan tidak ada yang boleh tinggal di rumahnya, Nandar mengurungkan niat tersebut. Kutipan: “Ngimpi, Ibu rawuh duka-duka. Ngendikane ora pareng ana wong manggon teng ngriki.” Atine kaya ditotog. Pancen seminggu kepungkur tangga ngarep omah nggeguyoni. “Pa, arep terus mbalung sate, ta, Dhik? Bocah-bocah rak ora becik dadine yen mung dipasrahake batur, ta?” Dheweke mung mesem. Ewuh enggone arep nimbang. Pancen diakoni salawase iki sarwa kekuk. Kabeh kudu diayahi dhewe. Wiwit kebutuhan pawon nganti ngurusi bocah-bocah. Nanging suwalike yen ngenut tembunge tangga mau uga durung bisa ngyakinake yen kabeh bakal beres dadi becik” (ACMA hal 55). Terjemahan: “Bermimpi, Ibu datang marah-marah. Ibu bicara tidak boleh ada yang ada disini.” Hatinya seperti dipukul. Memang satu minggu yang lalu tetangganya depan rumah bercanda. “Apa. Mau sendirian terus, ta, Dik? Anak-anak tidak baik jadinya jika hanya diserahkan pembantu, ta?” Dirinya hanya tersenyum. Bingung caranya menimbang. Memang diakui selamanya memang tidak nyaman. Semua harus dilakukan sendiri. Dari kebutuhan dapur sampai mengurusi anak-anaknya. Namun sebaliknya jika mengikuti perkataan tetangganya tadi juga belum bisa mengiyakan jika semua akan selesai menjadi baik” (ACMA hal 55). c. Tema Tema pada cerkak Wengi Saya Larut
ini adalah religi. Religiusitas
tersebut mewujudkan kepercayaan adanya kekuatan adikodrati, kekuatan yang menguasai manusia dan alam semesta. Cerkak Wengi Saya Larut bercerita kehilangan seorang istri. Bulan Januari, sepasang suami istri bercengkrama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
membahas anak-anaknya. Anak keduanya Tedi akan disunat dengan acara ramairamai seperti yang dahulu dilakukan disaat anak pertamanya sunat. Anaknya yang nomer lima bulan depan akan genap berusia dua tahun. Keduanyapun merencanakn acara untuk anaknya tersebut. Kutipan: “Sore iku anggone omong-omong dipungkasi rancangan kenceng, yen anake sing nomer lima bakal diulang tahuni. Semono uga anake sing nomer loro bakal diramek-ramekake kaya dhisik” (ACMA hal 51). Terjemahan: “Sore itu pembicaraannya diakhiri rencana matang, anaknya yang nomer lima akan dirayakan ulang tahunnya. Dan juga anaknya yang nomer dua akan dirayakan seperti dulu” (ACMA hal 51). Hari itu seperti biasanya sang ayah bekerja, namun tiba-tiba kedatangan tamu menyuruhnya untuk segera pulang. Istrinya terbaring lemah dan kemudian dibawa kerumah sakit. Satu minggu istrinya tidak kuat dan akhirnya meninggal. Meski hatinya bisa pasrah tapi mendengar penyakit istrinya pendarahan otak, membuatnya tidak bisa berpikir dan bersedih hati. Kutipan: “Seminggu candhake bojone wis ora ketulungan. Sanadyan atine bisa pasrah, nanging rasa kamanungsan ora kena dipenggak. Penyakit sing dikandhakake dhokter nalika dirawat ing ruwang intensip kaya-kaya ngayawara. Pendharahan otak. Sawijiing penyakit sing ora nate mlebu pikirane keterangan saka dhokter sebab lan musababe ora mlebu atine” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Satu minggu ternyata istrinya tidak dapat ditolong. Meski hatinya bisa pasrah, namun rasa kemanusiaannya tidak bisa dihindari. Penyakit yang dikatakan oleh dokter waktu dirawat di ruang intensif tidak bisa dipercaya. Pendarahan otak. commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Salah satu penyakit yang tidak pernah masuk dalam pikirannya keterangan dari dokter sebab dan akibat tidak masuk hatinya” (ACMA hal 53). Akhirnya dia sadar bahwa kesedihan tersebut harus dihilangkan dengan rasa pasrah dan percaya kepada Tuhan karena ada tiga anak yang sekarang sangat membutuhkannya. Semuanya diserahkan kepada Tuhan, karena Tuhan yang akan memberikan jalan terbaik.
Kutipan: “Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anakanake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya” (ACMA hal 53). d. Keterkaitan Antarunsur Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Wengi Saya Larut karya Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita. Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang diangkat. Tema cerkak Wengi Saya Larutadalah tentang religi. Secara spesifik mengacu pada religiusitas tokoh Nandar dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah. Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang digunakan penulis dalam cerkak Wengi Saya Larut karya Ariesta Widya adalah sudut pandang orang ketiga tidak terbatas, artinya, pengarang sepenuhnya mengetahui tentang semua seluk beluk dalam cerita. Pengarang dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir. Pengarang juga dapat muncul ketika tidak ada satu karakterpun yang hadir. Sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Wengi Saya Larut karya Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Bandha Gadhuhan a. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut: (1) Alur Cerkak Banda Gadhuhan memiliki alur flash back. (a) Alur awal Tahap ini pengarang menceritakan tentang persiapan penyambutan hari Natal. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak yaitu Wilis dan pembantu yang bernama Mbok Ru. Sedang membuat kue Natal dan bercengkerama penyambutan hari Natal. Kutipannya sebagai berikut: “Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen, genti driji panuduh lan panunggul. “Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh. “Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria, bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58). Terjemahan: “Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang gembira mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua tangan seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya.
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi. “Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58). (b) Alur tengah Tahap ini, pengarang bercerita tentang Wilis yang jatuh sakit dan kemudian dibawa ke poliklinik. Kutipannya sebagai berikut: “Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.” “Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61).
Terjemahan: “Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air matanya tidak bisa ditahan”. “Tuhan Yesus di kayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61). (c) Alur akhir Tahap ini, bercerita tentang meninggalnya Wilis dan membuat ayah dan ibunya sedih. Namun, akhirnya semuanya dipasrahkan kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut: “Kaya Ibu Maria wae.” Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62).
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Seperti Ibu Maria saja.” Menerima lahirnya bayi. Kemudian di salah satu waktu diambil dengan paksa. Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62). (d) Konflik Konflik yang terjadi pada cerkak ini adalah ketika Wilis jatuh sakit dan meninggal. Berikut kutipannya: “Nanging, garis wates mung tekan kono. Barang gadhuhan pengaji iku bali marang sing kagungan” (ACMS hal 61).
Terjemahan: “Namun, garis batas hanya sampai di sana. Barang titipan itu kembali kepada yang punya” (ACMA hal 61). (e) Klimaks Konflik
utama
semakin
meningkat,
setelah
satu
tahun
setelah
meninggalnya Wilis, sang ibu teringat akan Wilis sehingga membuatnya merasakan kesedihan dan menangis. Sang ibu teringat bagaimana pesan dokter dulu setelah Wilis lahir, dokter menyatakan bahwa sang ibu tidak bisa mempunyai anak lagi. Kutipan: “Nanging tembung iku malah kaya nampeg-nampega dhadha. Nalika Wilis iku lahir dhokter kandha kudu ngati-ati. Iki ateges manut etunge manungsa
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dhokter wis nyasmitani. Yen Wilis iku wiji sing kawitan lan pungkasan” (ACMA hal 62). Terjemahan: “Namun perkataan itu malah seperti memukul dadanya. Ketika Wilis lahir dokter berkata harus hati-hati. Itu artinya menurut perhitungan dokter sudah memberikan pesan untuk waspada. Jika Wilis itu satu yang pertama dan terakhir” (ACMA hal 62). (2) Tokoh atau Karakter (a) Ibu Seorang Ibu yang sangat menyayangi anaknya dan juga mempunyai hati yang lembut.
Kutipan: “Dhadhane kaya ditotog. Sajake tembunge anake ora trima mandheg tekan kono. Tembung iku katone arep njanjagi sepira jerone katresnan. Iku gagasane bareng krungu tembunge anake....” (ACMA hal 57). Terjemahan: “Hatinya seperti diketuk. Sepertinya perkataaan anaknya tidak berhenti sampai disitu. Perkataannya itu sepertinya mengukur berapa banyak kasih sayangnya. Itu angan-angan setelah mendengar perkataan anaknya....(ACMA hal 57). Dia adalah ibu yang sabar, iklas, dan pasrah. Meski ditinggal mati anak satu-satunya yaitu Wilis dia mencoba untuk menjadi kuat dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. “Kaya Ibu Maria wae.”
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62). Terjemahan: “Seperti Ibu Maria saja.” Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa. Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62). (b) Ayah Seorang ayah yang mempunyai iman yang kuat, meski mengalami tragedi kehidupan yang memilukan yaitu kehilangan seorang anak yaitu Wilis, tetapi dia menyikapinya dengan sabar, iklas, dan pasrah. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut: “Kaya Ibu Maria wae.” Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62). Terjemahan: “Seperti Ibu Maria saja.” Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa. Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62). (c) Wilis
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wilis adalah anak yang mempunyai sifat cerdas, meski masih kecil tetapi daya khayal dan pengetahuannya tentang agama sangat bagus. Dia selalu ingat tentang kisah Bapak Yusup, Ibu Maria, dan Tuhan Yesus. Kutipan: “Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen, genti driji panuduh lan panunggul. “Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh. “Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria, bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58). Terjemahan: “Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang gemira mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua tangan seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya. “Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi. “Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58). Bukan hanya itu saja, meski masih kecil Wilis mempunyai sifat sabar dan iklas. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut: “Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.” “Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61). Terjemahan: “Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air matanya tidak bisa ditahan”.
commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61). (d) Mbok Ru Seorang pembantu yang mempunyai selera humor yang baik. Kutipan: “Mosok kula dados lare angen. Ngke wedhuse rak nyedhak terus dikira rencange” (ACMA hal 59). Terjemahan: “Masak saya jadi teman hewan ternak. Nanti kambingnya mendekat terus dikira temannya” (ACMA hal 59).
(3) Latar/ Setting (a) Setting tempat Setting tempat pada cerkak Bandha Gaduhan ini adalah di Minahasa. Setting pertama berada di rumah dan di rumah sakit. Di rumah itu Ibu, Wilis dan pembantunya Mbok Rus sedang sibuk membuat roti untuk menyambut datangnya Natal. Kutipan: “Bali wong telu ngguyu latah. Omah sing wektu iku mung isi wong telu katon sigrak. Sigrak nlusuri ati kang kebak katresnan”(ACMA hal 59). Terjemahan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
“Kembali mereka bertiga tertawa lepas. Rumah yang waktu itu hanya di tempati tiga orang terlihat bahagia. Bahagia menulusuri hati yang banyak cinta”(ACMA hal 59). Kebahagian tersebut kemudia hilang setelah Wilis sakit dan dia harus dibawa ke rumah sakit. Kutipan: “Tangga nunggal ndhadhah sing sidane melu cawe-cawe. Wilis digladhang bablas menyang rumah sakit. Nanging awak sing panas iku ora enggal ento panggonan. Isih pirang-pirang aturan sing kudu dilakoni...”(ACMA hal 60). Terjemahan: “Tetangga yang seperti saudara yang akhirnya ikut membantu. Wilis diantar ke rumah sakit. Namun badannya yang panas itu tidak langsung mendapat tempat. Masih banyak aturan yang harus dilakukan...” (ACMA hal 60).
(b) Setting waktu Latar waktu pada cerkak Bandha Gaduhan siang dan pagi hari. Siang itu Ibu, Wilis dan Mbok Rus pembantunya sedang membuat roti dan bercanda di dapur. Kutipan: “Ayo, sakiki Wilis ora pareng ngrusuhi. Cuk ben rotine enggal rampung, ya." Mripat suci bening isih kraket mrepegi ibune....”(ACMA hal 57). Terjemahan: “Ayo, sekarang tidak boleh menganggu. Supaya rotinya cepat selesai, ya.” Mata suci bening masih melekat diingatan ibunya....” (ACMA hal 57). commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wilis yang kelelahan membantu ibunya membuat roti membuatnya jatuh sakit dan pada pagi harinya dia dibawa ibuya kerumah sakit. Kutipan: “Esuk iku mruput lunga dhokter langganane. Iba kagete nalika dhokter iku mrayogakake supaya langsung rumah sakit....”(ACMA hal 60). Terjemahan: “Pagi itu pergi ke dokter langganannya. Betapa kagetnya ketika dokter itu menyarankan supaya langsung ke rumah sakit...”(ACMA hal 60). (c) Setting peristiwa Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah latar agama Nasrani. Cerkak ini digambarkan bagaimana mereka menyambut hari Natal dan betapa religinya tokoh Wilis, ibu dan suaminya yang iklas dengan pilihan jalan dari Tuhan. Wilis yang masih kecil berusia kurang dari lima tahun sudah memahami hari Natal dan mengetahui cerita Tuhan Yesus dan Ibu Maria. Kutipan: “Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria, bapak dadi Bapak Yusup, lan aku.... hahak ... dadi Gusti Yesus.” Guyu renyah cilik iku njalari kentir melu ngguyu. Wong loro katon gayeng. Saka mburi Mbok Ru, mencungul terus ndeprok ana sandhinge” (ACMA hal 58). Terjemahan: “Kalau, Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Tuhan Yesus.” Tertawa renyah kecil itu membuat gila ikut tertawa. Mereka berdua terlihat asik. Dari belakang Mbok Ru, datang kemudian duduk disebelahnya”(ACMA hal 58). b. Sarana-sarana Sastra
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47). (1) Judul Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan karakter, latar, dan tema.Judul cerkak ini menggambarkan tentang titipan dari Tuhan yaitu anak yang tidak mau dirawat atau meninggal. Anak merupakan harta yang berharga dan anak tersebut hanyalah titipan (gadhuhan) dari Tuhan. Sesuai hal tersebut cerkak ini mengisahkan anak yang meninggal. (2) Sudut Pandang Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja. (3) Gaya dan Tone Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana meski terdapat beberapa perumpamaan. Kutipan: “Arep pamer bandha sing paling pengaji” (ACMA hal 57). Terjemahan:
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Ingin pamer harta yang paling berharga” (ACMA hal 57). Tone yang digunakan pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. Kutipan: “Kaya Ibu Maria wae.” Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62). Terjemahan: “Seperti Ibu Maria saja.” Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa. Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62). (4) Simbolisme Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi tampak nyata. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya: (a) Barang gadhuhan pengaji Barang gadhuhanpengaji di sini digunakan untuk menggambarkan harta yang paling berharga yaitu seorang anak. Kutipan: “Nanging, garis wates mung tekan kono. Barang gadhuhan pengaji iku bali marang sing kagungan” (ACMS hal 61). Terjemahan:
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Namun, garis batas hanya sampai di sana. Barang titipan itu kembali kepada yang punya” (ACMA hal 61). (b) Benang sutra Benang sutra di sini digambarkan ikatan batin antara seorang ibu dan anak. Kutipan: “Nanging ing slempitane atine sing lanang ora ngerti. Tandang gawe kaya ngono iku ateges njalari tabet lawas. Ana rasa gemes sing mrambat ing dhadha. Ana rasa jengkel sing nyenengake. Ana rasa sing gumandheng ing alam sing angel digambarake. Kabeh sinambung kanthi benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA 59). Terjemahan: “Akan tetapi dalam hatinya suaminya tidak tahu. Pekerjaan membuat kue seperti itu yang membuka luka lama. Dahulu pekerjaan seperti ini ada suara anak kecil yang hangat menyentuh hati. Ada rasa jengkel yang menyenangkan. Ada rasa yang bergandengan di alam yang susah digambarkan. Semua disambung dengan benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA hal 59).
(5) Ironi Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika suaminya menyuruh untuk membuat roti untuk perayaan Natal. Meski mengiyakan namun hatinya sangat sakit teringat dahulu waktu Wilis masih hidup pasti anak membuat suasana menjadi ramai. Kutipan: “Dheweke banjur ndungkluk. Saben-saben mengkono carane sing lanang yen ngakon. Ora tau cumeplos. Iku sing njalari atine sumanggem. Kaya wektu iku. Nanging ing slempitane atine sing lanang ora ngerti. Tandang gawe kaya ngono iku ateges njalari tabet lawas. Ana rasa gemes sing mrambat ing dhadha. Ana rasa jengkel sing nyenengake. Ana rasa sing gumandheng ing alam sing angel digambarake. Kabeh sinambung kanthi benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA 59). Terjemahan:
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Dirinya langsung merunduk. Ketika seperti itu cara suaminya menyuruh. Tidak pernah terucap. Itu yang membuat hatinya mengiyakan. Seperti waku itu. “Akan tetapi dalam hatinya suaminya tidak tahu. Pekerjaan membuat kue seperti itu yang membuka luka lama. Dahulu pekerjaan seperti ini ada suara anak kecil yang hangat menyentuh hati. Ada rasa jengkel yang menyenangkan. Ada rasa yang bergandengan di alam yang susah digambarkan. Semua disambung dengan benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA hal 59). c. Tema Tema pada cerkak Banda Gadhuhan ini adalah religi. Religiusitas tersebut mewujudkan kepercayaan adanya kekuatan adikodrati, kekuatan yang menguasai manusia dan alam semesta. Cerkak yang menggambarkan unsur religi ini merupakan ciri khas dari seorang pengarang yang bernama Ariesta Widya yang mempunyai latar belakang penganut agama Nasrani (Katolik) yang taat. Seorang anak perempuan yang sangat manis sedang bermanja-manja membantu ibunya yang sedang membuat roti. Anak yang bernama Wilis ini bercengkerama dengan ibu dan pembantunya membahas penyambutan datangnya Natal. Dengan daya khayal seorang anak kecil, Wilis berkhayal dalam pertunjukan nanti ayahnya akan berperan sebagai Bapak Yusup, Ibunya akan menjadi Ibu Maria, dan Wilis sendiri berperan sebagai Tuhan Yesus. Kutipan: “Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen, genti driji panuduh lan panunggul. “Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh. “Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria, bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58).
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang gemira mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua tangan seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya. “Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi. “Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58). Khayalan tersebut musnah karena tiba-tiba Wilis sakit panas dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Wilis diopname, ibunya yang khawatir menghibur anaknya. Dengan kepolosan dan hati yang masih suci Wilis mengatakan sesuatu yang membuat hati bergetar. Kutipan: “Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.” “Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61). Terjemahan: “Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air matanya tidak bisa ditahan”. “Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61). Beberapa hari dirawat di poliklinik, Wilis meninggal dan membuat ibunya sedih berlarut-larut. Namun suaminya menasehatinya dengan mengisahkan cerita Ibu Maria. Kutipan:
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kaya Ibu Maria wae.” Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62). Terjemahan: “Seperti Ibu Maria saja.” Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa. Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62). d. Keterkaitan Antarunsur Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Banda Gadhuhan karya Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita. Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang diangkat. Tema cerkak Banda Gadhuhan adalah tentang religi. Secara spesifik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
mengacu pada religiusitas tokoh Ibu dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah. Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang digunakan penulis dalam cerkak Banda Gadhuhan karya Ariesta Widya adalah sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja. Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Banda Gadhuhankarya Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
1. Cathetan Desember a. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut: commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Alur (a) Alur awal Tahap ini, pengarang bercerita tentang kesibukan Lusia Renwarin sebagai anggota koor di salah satu gereja di Maluku. Kesibukan tersebut, anaknya dititipkan kepada adiknya. Kutipannya sebagai berikut: “Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng Menado....” (ACMA hal 87). Terjemhan: “Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa. Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, lulusan seminari Pineleng Manado....” (ACMA hal 87).
(b) Alur tengah Lusia Renwari berlatih hingga sore hari, dia lupa bahwa harus segera bertemu dengan anaknya. Setelah pulang dia menemukan anaknya terbaring sakit, dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Kutipannya sebagai berikut: “Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih. Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.” “Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?” “Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92). Terjemahan:
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Hidup itu penuh cobaan. Banyak salib. Siapa yang tidak sedih. Namun tidak cukup seperti itu karena akan merugi saja”. “Memang, tetapi siapa yang bisa menghilangkan ini?” “Kita sendiri harus bisa seperti Ibu Maria, disaat melihat anaknya disalib. Menerima dengan iklas yang harus dijadikan contoh” (ACMA hal 92). (c) Alur akhir Menggunakan alur mundur atau flash back, cerita ini diakhiri dengan berpasrah kepada Tuhan dan mencoba melupakan kejadian yang terjadi satu tahun lalu. Kutipannya sebagai berikut: “Krungu tembunge sing lanang lambene blangkeman. Tembung iku nunjem atine. Banjur pupus. Lelakon sing mungkur setaun iku dicoba dikipatake” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Mendengar perkataan suaminya mulutnya terdiam. Perkataan yang mengena hati. Kemudian selesai. Mencoba melupakan kejadian yang sudah terjadi satu tahun yang lalu” (ACMA hal 92).
(d) Konflik Konflik pada cerkak ini adalah ketika Aldo jatuh sakit kemudian Lusia membawanya ke klinik. Kutipan: “Aldo ngapa?” Sing ditakoni isih njethu ana pawon. Banjur nalika krungu pitakon, atine sakala trataban. Mau pancen bocah iku awake rada anget.” (ACMA hal 91).
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Aldo kenapa?” Yang dipertanyai masih diam di dapur. Kemudian ketika mendengar pertanyaan, hatinya bergetar. Tadi anak ini agak hangat” (ACMA hal 91). (e) Klimaks Konflik utama semakin meningkat yaitu ketika Aldo jatuh sakit kemudian dibawa ke klinik, namun setelah itu Aldo meninggal. Kutipan: “Sidane bengi iku ndekem ana poliklinik susteran. Lan ya mung sewengi. Marga esuke kudu bali kanthi ati sing ajur mumur. Aldo wis adhem. Adhem banget. Lan omah iku dadi rame dadakan. Nanging kerameyan iku ndadekake atine bungah. Kepara suwalike. Nyedhihake” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Jadinya malam itu menginap di poliklinik suster. Dan hanya satu malam. Karena paginya harus pulang dengan perasaan yang hancur. Aldo sudah dingin. Dingin sekali. Dan rumah itu menjadi ramai. Tetapi keramaian itu membuat hati sedih. Karena sebaliknya. Menyedihkan” (ACMA hal 92). (2) Tokoh atau Karakter (a) Lusia Renwarin Seorang ibu yang sangat bertanggungjawab dengan pekerjaannya yaitu menjadi anggota koor sebuah gereja di Manado. Seperti hari itu Lusia pulang sore karena latihan koor dan menitipkan anakanya kepada adiknya. Kutipan:
commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyan sing dipasrahake wis rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh ubarampe ditata....” (ACMA hal 90). Terjemahan: “Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang dikerjakannya sudah selesai. Kemudian pikirannya teringat kalau harus mencari Aldo. Semua peralatan ditata....” (ACMA hal 90). Lusia juga seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya Aldo. Sore setelah pulang dari pekerjaannya, Lusia terkejut melihat anakanya yang sakit, cepat-cepat dia membawa anaknya ke poliklinik untuk mendapatkan pertolongan. Kutipan: “Ana rasa bingung sing teka dadakan. Sakala nyandhak lendhang. Aldo disaut. Ing batin mung kepengin enggal tekan poloklinik. Karo suster kepala poloklinik iku tepung becik....” (ACMA hal 91). Terjemahan: “Ada perasaan bingung datang tiba-tiba. Tanpa pikir panjang mengambil selendang. Aldo digendong. Di dalam hati hanya ingin segera sampai poloklinik. Dia kenal baik dengan suster....” (ACMA hal 91). Kematian anaknya Aldo, Lusia menjadi Ibu yang kuat. Dia mengiklaskan kematian anaknya dan memasrahkan semuaya kepada Tuhan. Kutipan: “Krungu tembunge sing lanang lambene blangkeman. Tembung iku nunjem atine. Banjur pupus. Lelakon sing mungkur setaun iku dicoba dikipatake” (ACMA hal 92).
commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Mendengar perkataan suaminya mulutnya terdiam. Perkataan yang mengena hati. Kemudian selesai. Mencoba melupakan kejadian yang sudah terjadi satu tahun yang lalu” (ACMA hal 92). (b) Aldo Merupakan anak yang patuh dan sangat dekat dengan Ibunya. Hari itu Aldo seperti biasanya bermanja-manja dengan ibunya, namun karena ibunya berlatih koor dia bermain dengan temannya. Kutipan: “Ayo dolan sik.” Suwarane sereng. Sing diatag panggah meneng. “Cepet dolan sik. Kana lho dienteni Beni.” Sikile jumangkah nyampar-nyampar jogan saka watu karang sing durung diejur. Bola-bali mripate nyawang ibune, nanging disawang api-api ora ngerti....” (ACMA hal 89). Terjemahan: “Ayo bermain dulu.” Suaranya serak. Yang diajak bicara terdiam. “Sana bermain dulu. Itu ditunggu Beni.” Kakinya berjalan menendang lantai yang terbuat dari karang yang belum halus. Bolak-balik matanya melihat ibunya, namun yang dilihat tidak mengerti....” (ACMA hal 89).
(c) Adik Lusia Seorang bibi yang sayang terhadap keponakannya, dia juga orang yang bertanggungjawab. Kutipan: “Aldo manthuk. Sirahe banjur diselehake ing pundhake. Piring iku babarpisan ora kalong....” (ACMA hal 91).
commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Aldo menunduk. Kemudian kepala Aldo didekapkan di pundaknya. Piring itu tidak berkurang sama sekali...” (ACMA hal 91). (d) Suami Lusia Seorang suami yang kuat menghadapi kenyataan bahwa anaknya telah meninggal. Dia suami yang sabar, iklas dan pasrah mempercayakan semuanya kepada Tuhan. Kutipan: “Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih. Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.” “Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?” “Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih. Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.” “Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?” “Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92). (3) Latar/ Setting Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. (a) Setting tempat Cerkak ini mempunyai setting tempat di Manado. Kutipan: “Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng Menado....” (ACMA hal 87). Terjemhan: “Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa. Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, keluaran dari seminari Pineleng Manado....”(ACMA hal 87). Pulang berlatih, Lusia menemukan anaknya yang sedang sakit kemudian dia membawanya ke poliklinik. Kutipan: “Ana rasa bingung sing teka dadakan. Sakala nyandhak lendhang. Aldo disaut. Ing batin mung kepengen enggal tekan poliklinik. Karo suster kepala poliklinik iku tepung becik. Tepung wiwit isih ana vonis. Karana iku nalika teka poliklinik terus njujug kantor” (ACMA hal 91). Terjemahan: “Ada rasa bingung yang datang tiba-tiba. Kemudian langsung mengambil selendang. Aldo digendong. Dalam hati hanya ingin cepat sampai poliklinik. Dengan suster kepala poliklinik sudah kenal baik. Perkenalannya dari dulu waktu masih di vonis. Karena itu ketika sampai poliklinik langsung ke kantor”(ACMA hal 91). (b) Setting waktu Setting waktu pada cerkak Cathetan Desember ini diawali di siang hari. Saat itu Lusia berlatih dengan teman-temannya. Karena anakanya ikut maka dia menyuruhnya untuk bermain dengan teman-temannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Kutipan: “Ayo, Aldo dolan sik, ta. Ja ngrusuhi mama. Ngko ra dadai kukis.” Nangging bocah iku durung gelem mingket. Malah lendhet-lendhet ibune. Banjur sepisan maneh tembunge metu. “Ayo, dolan sik.” Suwarane sereng. Sing diatag panggah meneng. “Cepet dolan sik. Kana lho dienteni Beni” (ACMA hal 89). Terjemahan: “Ayo, Aldo main dulu. Jangan menganggu mama. Nanti jadi kukis.” “Ayo, main dulu.” Suwaranya meninggi. Yang diajak bicara langsung diam. “Cepat main dulu. Itu ditunggu Beni” (ACMA hal 89). Sore hari Lusia pulang setelah pekerjaannya selesai semua. Kutipan: “Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyane sing dipasrahake wis rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh ubarampe ditata. Sawise nginep lawang mburisemperat lunga nyabrang lapangan....”(ACMA hal 90). Terjemahan: “Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang diberikan sudah selesai. Kemudian pikirannya baru ingat harus mencari Aldo. Semua peralatan ditata. Setelah menutup pintu belakang lalu pergi menyebrang lapangan....”(ACMA hal 90). (c) Setting peristiwa Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah penganut Nasrani. Nasrani yang taat, sampai mengorbankan waktu untuk mengabdi di gereja. Meski sedih karena kehilangan anak laki-lakinya Aldo dia kemudian mengiklaskan anaknya dengan mengingat cerita Ibu Maria yang juga kehilangan anaknya Yesus. commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih. Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.” “Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?” “Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92) Terjemahan: “Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih. Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.” “Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?” “Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92) b. Sarana-sarana Sastra Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47). (1) Judul Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan karakter, latar, dan tema.Judul cerkak ini menggambarkan tentang catatan bulan Desember. Dimana pada bulan ini orang-orang Katholik di Maluku sedang mempersiapkan perayaan Natal dengan berlatih koor. Lusia Renwari yang aktif di gerejanya tiba-tiba kehilangan seorang anaknya yang bernama Aldo. Hal ini menjadikannya sebuah Catatan di bulan Desember, yaitu kehilangan anak bernama Aldo. (2) Sudut Pandang
commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja. (3) Gaya dan Tone Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana dan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita . tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. Kutipan: “Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih. Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.” “Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?” “Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih. Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.” “Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?” “Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92). (4) Simbolisme
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya: (a) Adem Adem di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan Aldo yang sudah meninggal yaitu dingin pucat. Kutipan: “Sidane bengi iku ndekem ana poliklinik susteran. Lan ya mung sewengi. Marga esuke kudu bali kanthi ati sing ajur mumur. Aldo wis adhem. Adhem banget. Lan omah iku dadi rame dadakan. Nanging kerameyan iku ndadekake atine bungah. Kepara suwalike. Nyedhihake” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Jadinya malam itu menginap di poliklinik suster. Dan hanya satu malam. Karena paginya harus pulang dengan perasaan yang hancur. Aldo sudah dingin. Dingin sekali. Dan rumah itu menjadi ramai. Tetapi keramaian itu membuat hati sedih. Karena sebaliknya. Menyedihkan” (ACMA hal 92).
(b) Kebak salib Kebak salib di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan yang banyak cobaan, banyak rasa sakit. Seperti penggambaran dalam cerkak ini di mana banyak sekali cobaan hidup seperti kehilangan seorang anak. “Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih. Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.” “Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?” commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92) Terjemahan: “Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih. Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.” “Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?” “Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92). (5) Ironi Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika suaminya menyuruh untuk membuat roti untuk perayaan Natal. Meski mengiyakan namun hatinya sangat sakit teringat dahulu waktu Wilis masih hidup pasti anak membuat suasana menjadi ramai. Kutipan: “Dheweke banjur ndhungkluk. Saben-saben mengkono carane sing lanang yen ngakon. Ora tau cumeplos. Iku sing njalari atine sumanggem. Kaya wektu iku. Nanging ing slempitane atine sing lanang ora ngerti. Tandang gawe kaya ngono iku ateges njalari tabet lawas. Ana rasa gemes sing mrambat ing dhadha. Ana rasa jengkel sing nyenengake. Ana rasa sing gumandheng ing alam sing angel digambarake. Kabeh sinambung kanthi benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA 59). Terjemahan: “Dirinya langsung merunduk. Ketika seperti itu cara suaminya menyuruh. Tidak pernah terucap. Itu yang membuat hatinya mengiyakan. Seperti waku itu. “Akan tetapi dalam hatinya suaminya tidak tahu. Pekerjaan membuat kue seperti itu yang membuka luka lama. Dahulu pekerjaan seperti ini ada suara anak kecil yang hangat menyentuh hati. Ada rasa jengkel yang menyenangkan. Ada rasa yang bergandengan di alam yang susah digambarkan. Semua disambung dengan benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA hal 59). c. Tema
commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menceritakan sebuah keluarga di Maluku, keluarga tersebut kehilangan seorang anak laki-laki yang bernama Aldo. Lusia Renwarin, ibu dari Aldo merupakan anggota koor di gereja kecil di Maluku. Kutipan: “Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng Menado....” (ACMA hal 87). Terjemhan: “Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa. Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, keluaran dari seminari Pineleng Manado....” (ACMA hal 87). Rasa tanggungjawab dengan gerejanya membuat dia berlatih sampai sore menjelang. Dia lupa bahwa anaknya Aldo sedang menunggu kepulangannya. Kutipan: “Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyane sing dipasrahake wis rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh ubarampe ditata. Sawise nginep lawang mburisemperat lunga nyabrang lapangan....”(ACMA hal 90). Terjemahan: “Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang diberikan sudah selesai. Kemudian pikirannya baru ingat harus mencari Aldo. Semua peralatan ditata.
commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah menutup pintu belakang lalu pergi menyebrang lapangan....”(ACMA hal 90). Sampai di rumah Lusia dikagetkan oleh kondisi Aldo yang sakit panas. Cepat-cepat dia membawa anaknya ke poliklinik, kemudian Aldo dirawat inap disana. Aldo dirawat di poliklinik hanya satu hari. Karena keesokan harinya harus pulang dengan hati yang hancur. Aldo memang sudah tidak panas lagi, Aldo sudah dingin, dingin sekali, dan rumah tersebut dadakan menjadi ramai. Namun keramaian tersebut menandakan hatinya sedih, karena Aldo meninggal. Hidup memang banyak cobaan, banyak salib, siapa orang yang tidak sedih, namun tidak cukup hanya bersedih saja, karena hal tersebut sangatlah rugi. Semua harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu adalah ajaran yang bisa dijadikan cermin. Dari cerkak ini bisa kita petik hikmahnya bahwa kita harus iklas dan percaya kepada Tuhan. Semua milik Tuhan dan akan kembali kapada-Nya. Kutipan: “Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih. Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine”. “Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet iku?” “Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Hidup itu penuh cobaan. Banyak salib. Siapa yang tidak sedih. Namun tidak cukup seperti itu karena akan merugi saja”. “Memang, tetapi siapa yang bisa menghilangkan ini?” “Kita sendiri harus bisa seperti Ibu Maria, disaat melihat anaknya disalib. Menerima dengan iklas yang harus dijadikan contoh” (ACMA hal 92). d. Keterkaitan Antarunsur Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Cathetan Desember karya Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita. Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang diangkat. Tema cerkak Cathetan Desemberadalah tentang religi. Secara spesifik mengacu pada religiusitas tokoh Lusia Renwarin dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah. Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang digunakan penulis dalam cerkak Cathetan Desember karya Ariesta Widya adalahsudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja. Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Cathetan Desember karya commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
4. Ganda Semboja a. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut: (1) Alur Alur pada cerkak Ganda Semboja ini adalah alur maju. (a) Alur awal Tahap ini bercerita tentang kebaikan seorang ibu tiri terhadap anak-anak tirinya. Ayah kandung mereka sudah meninggal, namun ibu tirinya masih saja mengasihi anak-anaknya. Kutipannya sebagai berikut: “Sanadyan bapakmu wis ora ana aja banjur ngowah-owahi. Omah iki ya omahe bapakmu. Kebon mburi sekolahan kae. Apamaneh tegalan sing rambutan lan durene sing nyenengake. Kabeh kuwi darbekmu. Aku wis nglenggana.” “Akh, Ibu, ra sah ngendika ngono,” adhine sing dadi Kepala Sekolah ngrangkul karo prembik-prembik. “Tilikana aku. Ra sah kokoleh-olehi. Oleh-olehana katresnan sing salawase iki tinalenan. Aja nganti rantas” (ACMA hal 95). Terjemahan: “Walaupun bapakmu sudah tidak ada jangan dirubah. Rumah ini rumahnya bapakmu. Kebun belakang sekolah itu. Apalagi ladang yang rambutan dan durennya menyenangkan. Semua itu milikmu. Saya sudah jujur.”
commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Akh, Ibu, jangan berbicara seperti itu,” adiknya yang menjadi Kepala Sekolah memeluk dengan mata berkaca-kaca. “Jenguklah saya. Tidak perlu kalian membawakan oleh-oleh. Bawalah kasih sayang yang kekal ini terjalin. Jangan sampai putus” (ACMA hal 95). (b) Alur tengah Menceritakan ibu tirinya yang jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit. Ibunya kemudian meninggal dan membuat anak-ankanya bersedih. Kutipannya sebagai berikut: “Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah. Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki. Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98). Terjemahan: “Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga. Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98). (c) Alur akhir Tahap ini menceritakan anaknya yang bersedih dengan meninggal ibunya. Setelah bercengkerama dengan sahabatnya dan berbagi pengalaman hidup, anak tersebut sadar dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut: “Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryanti sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ana tegese.” Tembung-tembunge mlebu prungone. Cetha. Cetha banget. “Matur nuwun.” Ukarane cekak. Bubar iku wong loro dadi amem. Sareyan wis mungkur. Gandane kembang semboja wis ora nyogok irung....” (ACMA hal 99). Terjemahan:
commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua. Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang masuk dalam pendengarannya. Jelas. Jelas sekali. “Terima kasih.” Kalimat pendek. Setelah itu mereka terdiam. Pergi dari pemakaman. Bau kamboja sudah tidak menyenggat dihidung....” (ACMA hal 99). (d) Konflik Menceritakan sang anak mendapatkan kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit. Kutipan: “Nanging Kemis awan bali ponakane teka menggeh-menggeh. Ngandhakake yen wong wadon sing nggulawenthah iku mlebu rumah sakit” (ACMA hal 97). Terjemahan: “Namun Kamis siang kembali keponakannya datang terengah-enggah. Mengatakan bahwa perempuan yang merawatnya masuk rumah sakit” (ACMA hal 97). (e) Klimaks Konflik yang memuncak yaitu setelah ibunya masuk rumah sakit satu minggu kemudian beliau meninggal. Kutipan: “Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah. Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki. Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98). Terjemahan:
commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga. Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98). (2) Tokoh atau Karakter (a) Ibu Seorang Ibu tiri yang sangat menyayagi anak-anak tirinya. Dia adalah orang yang taat kepada Tuhan, dia meyakini cara dia berbakti kepada Tuhan adalah dengan menyayangi anak-anak tirinya. Kutipan: “Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih. Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa gothang...” (ACMA hal 95). Terjemahan: “Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu seperti kosong....” (ACMA hal 95). (b) Sadmoko Dia adalah anak yang sangat sayang kepada ibunya dan paling bersedih saat ditinggal ibu tirinya. Kutipan: “Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah. Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki. Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98). Terjemahan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
“Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga. Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98). Dia juga merupakan orang yang sabar, iklas, dan pasrah yakin akan jalan yang diberikan Tuhan. Kutipan: “Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryati sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ono tegese. Tembung-tembung mlebu prungone. Cetha. Cetha banget”(ACMA hal 90). Terjemahan: “Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua. Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang menusuk hati. Jelas. Jelas sekali” (ACMA hal 90). (b) Maryati Merupakan teman yang baik, mau berbagi kisah hidupnya yang kehilangan orang-orang yang disayanginya. Dia mempunyai sifat sabar, iklas, dan pasrah dalam menghadapi problematika hidup. Kutipan: “Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryati sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ono tegese. Tembung-tembung mlebu prungone. Cetha. Cetha banget”(ACMA hal 90). commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua. Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang masuk dalam pendengarannya. Jelas. Jelas sekali” (ACMA hal 90). (3) Latar/ Setting Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. (a) Setting tempat Setting tempat pada cerkak ini adalah di Semarang yaitu di rumah. Setelah ayahnya meninggal anak-anaknya pulang kerumah masing-masing, beliau berpesan untuk selalu menjenguk ibunya. Kutipan: “Sanadyan bapakmu wis ora ana aja banjur ngowah-owahi. Omah iki ya omahe bapakmu. Kebon mburi sekolahan kae. Apamaneh tegalan sing rambutan lan durene sing nyenengake. Kabeh kuwi darbekmu. Aku wis nglenggana” (ACMA hal 95). Terjemahan: “Walaupun bapakmu sudah tidak ada jangan merubahnya. Rumah ini rumahnya bapakmu. Kebun belakang sekolah itu. Apalagi ladang yang rambutan dan durennya menyenangkan. Semua itu milikmu. Saya sudah jujur”(ACMA hal 95).
commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setting tempat pada cerkak ini adalah di rumah sakit. Ibunya yang sakit dibawa ke rumah sakit dimana ibu kandung dan ayah kandungnya juga meninggal di rumah sakit tersebut. Kutipan: “... Yen ibune wis pindhah panggonan. Dipindhah mlebu ICCU. Dadakan atine trataban. Bubar saka pagaweyan terus bablas. Lontrang-lontrang rumah sakit iku wis apal banget. Wiwit rumah sakit iku isih kuna tinggalan zaman Landa....”(ACMA hal 98). Terjemahan: “... Jika ibunya sudah pindah ruangan. Dipindah masuk ICCU. Tiba-tiba hatinya deg-degan. Setelah pulang kerja kemudian pergi. Kesana-kesini rumah sakit itu sudah hafal sekali. Dari rumah sakit itu masih kuno tinggalan zaman Belanda....”(ACMA hal 98). Setting tempat selanjutnya adalah di makam. Ketika ibunya meninggal Nur mengantarkan pemakaman ibunya dan merasa kosong hatinya melihat dan mencium bau kembang kamboja. Kutipan: “Wong-wong ing sareyan wis entek. Ora krasa wong-wong sing padha nglancangi laku”(ACMA hal 98) Terjemahan: “Orang-orang di makam sudah tidak ada. Tidak terasa orang-orang yang sudah mendahului jalan”(ACMA hal 98).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
(b) Setting waktu Setting waktu pada cerkak ini adalah pada pagi hari. Saat itu anak pertama melamun di depan rumahnya. Kutipan: “Mau bengi lek-lekan. Sakjane bisa ninggal. Wong kangmas sing wis ora ngasta wis ngganteni tengah wengi. Akh, ati iki sing menging.” “Ngebyar ya, mas?”(ACMA hal 94). Terjemahan: “Tadi malam begadang. Sebenarnya bisa pergi. Kakak yang tidak bekerja sudah menggantikan tengah malam. Akh, hati ini yang menolak.” “Sampai pagi ya mas?” (ACMA hal 94). (c) Setting peristiwa Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah keluarga yang religius beragama Nasrani yang taat. Meski banyak cobaan dengan adanya peristiwa ditinggal mati orang-orang yang dicintainya. Meski ganda semboja atau bau kematian masih jelas melekat, gambaran orang-orang baik dan jahat ketika mati. Kutipan: “Tumlawang donga ilang kabuncang bebarengan gandaning kembang semboja. Pang-pange kaya wewangunan tangan-tangan ngranggeh langit. Banjur wit-wite memangung wong-wong sing polah marga lagi nandhang kalaran.” “Pikirane mabur menyang langit sap pitu. Apa kaya ngono iku wong-wong sing nampa pasiksan ing genining neraka marga urip sing ora mapan. Urip sing nalisir saka tataning kabecikan. Banjur mung bisa polah sarta pangrintih bebarengan suwara sing nyedhihake. Sedhih, pangrintih sing nuwuhake ati miris sing ora ngerti kapan wusanane. Tanpa sengaja pangangkluhe kawetu. Marga kaya-kaya dhirine sing tetangisan ing antarane wewayangan ing tengahing geni sing tansah murup” (ACMA hal 94). commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Terdengar doa hilang samar-samar bersamaan dengan bau bunga kamboja. Ranting-ranting seperti tangan-tangan yang menggapai langit. Kemudian pohon-pohonnya seperti orang-orang yang bergerak karena sedang mengalami kesakitan.” “Pikirannya terbang ke langit tujuh. Apa seperti itu orang-orang yang menerima siksaan di api neraka karena hidup yang tidak baik. Hidup yang jauh dari kebaikan. Sedih, rintihan yang membuat hati miris yang tidak tahu kapan selesainya. Perkataan di dalam hatinya tanpa sengaja keluar. Karena seperti dirinya yang menangis di antara keadaaan di tengah api yang selalu menyala” (ACMA hal 94). b. Sarana-sarana Sastra (1) Judul Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan karakter, latar, dan tema. Ganda semboja memiliki arti bau kamboja yang menandakan tentang kesedihan dengan adanya kematian. Cerkak ini bercerita tentang kesedihan karena kematian ibu tiri yang baik. Penggambaran tersebut sesuai dengan judul cerkak yaitu ganda semboja (bau atau kesedihan karena kematian). (2) Sudut Pandang Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga tidak terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne yang dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir. (3) Gaya dan Tone Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana namun ada beberapa perumpamaan dalam cerkak ini.
commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Tumlawung donga ilang kabuncang bebarengan gandaning kembang semboja. Pang-pange kaya wewangunan tangan-tangan ngranggeh langit. Banjur wit-wite memangung wong-wong sing polah marga lagi nandhang kalaran.” “Pikirane mabur menyang langit sap pitu. Apa kaya ngono iku wong-wong sing nampa pasiksan ing genining neraka marga urip sing ora mapan. Urip sing nalisir saka tataning kabecikan. Banjur mung bisa polah sarta pangrintih bebarengan suwara sing nyedhihake. Sedhih, pangrintih sing nuwuhake ati miris sing ora ngerti kapan wusanane. Tanpa sengaja pangangkluhe kawetu. Marga kaya-kaya dhirine sing tetangisan ing antarane wewayangan ing tengahing geni sing tansah murup” (ACMA hal 94). Terjemahan: “Terdengar doa hilang samar-samar bersamaan dengan bau bunga kamboja. Ranting-ranting seperti tangan-tangan yang menggapai langit. Kemudian pohon-pohonnya seperti orang-orang yang bergerak karena sedang mengalami kesakitan.” “Pikirannya terbang ke langit tujuh. Apa seperti itu orang-orang yang menerima siksaan di api neraka karena hidup yang tidak baik. Hidup yang jauh dari kebaikan. Sedih, rintihan yang membuat hati miris yang tidak tahu kapan selesainya. Perkataan di dalam hatinya tanpa sengaja keluar. Karena seperti dirinya yang menangis di antara keadaaan di tengah api yang selalu menyala” (ACMA hal 94). Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita . tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. (4) Simbolisme Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi tampak nyata. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya:
commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(a) Gandha kembang semboja Ganda di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sedih karena sebuah kematian. Kutipan: “Ukarane cekak. Bubar iku wong loro dadi amem. Sareyan wis mungkur. Gandane kembang semboja wis ora nyogok irung...” (ACMA hal 99). Terjemahan: “Kalimat pendek. Setelah itu mereka berdua jadi diam. Pergi dari pemakaman. Bau bunga kamboja sudah tidak tercium lagi...” (ACMA hal 99). (b) Mambu ati Mambu ati digunakan untuk menggambarkan tentang perasaan yang masih menyukai. Kutipan: “Akh, aja ngendhika ngono, Mas. Sapa ngerti bubar saka kondur iki bisa mucuki nyerat manh. Akh, aku melu seneng. Seneng banget.” Sadmoko ora wangsulan. Mung mesem sing diempet. Isih mambu ati” (ACMA hal 100). Terjemahan: “Akh, jangan berkata seperti itu, Mas. Siapa tahu setelah pulang ini bisa kembali mengarang. Akh, saya ikut senang. Senang sekali.” Sadmoko tidak menjawab. Hanya senyum yang ditahan. Perasaan itu masih ada” (ACMA hal 100).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
(5) Ironi Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika Maryati bertanya tentang kegemarannya menulis, sebenarnya Sadmoko senang dengan perkataan Maryati yang senang jika ia menulis kembali, namun hal tersebut ditahan karena masih menyipmpan perasaan. Kutipan: “Akh, aja ngendhika ngono, Mas. Sapa ngerti bubar saka kondur iki bisa mucuki nyerat maneh. Akh, aku melu seneng. Seneng banget.” Sadmoko ora wangsulan. Mung mesem sing diempet. Isih mambu ati” (ACMA hal 100). Terjemahan: “Akh, jangan berkata seperti itu, Mas. Siapa tahu setelah pulang ini bisa kembali mengarang. Akh, saya ikut senang. Senang sekali.” Sadmoko tidak menjawab. Hanya senyum yang ditahan. Masih menyukai” (ACMA hal 100). c. Tema Orang-orang yang menerima siksaan di api neraka karena hidupnya melenceng dari tata kehidupan yang baik digambarkan seperti pohon kamboja dimana ranting-rantingnya seperti tangan yang menggapai langit dan merasa kesakitan. Gambaran seperti ini ada dalam cerkak Ganda Semboja. Kutipan: “Tumlawung donga ilang kabuncang bebarengan gandaning kembang semboja. Pang-pange kaya wewangunan tangan-tangan ngranggeh langit. Banjur wit-wite memangung wong-wong sing polah marga lagi nandhang kalaran.” “Pikirane mabur menyang langit sap pitu. Apa kaya ngono iku wong-wong sing nampa pasiksan ing genining neraka marga urip sing ora mapan. Urip sing nalisir saka tataning kabecikan. Banjur mung bisa polah sarta pangrintih bebarengan suwara sing nyedhihake. Sedhih, pangrintih sing nuwuhake ati commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
miris sing ora ngerti kapan wusanane. Tanpa sengaja pangangkluhe kawetu. Marga kaya-kaya dhirine sing tetangisan ing antarane wewayangan ing tengahing geni sing tansah murup” (ACMA hal 94). Terjemahan: “Terdengar doa hilang samar-samar bersamaan dengan bau bunga kamboja. Ranting-ranting seperti tangan-tangan yang menggapai langit. Kemudian pohon-pohonnya seperti orang-orang yang bergerak karena sedang mengalami kesakitan.” “Pikirannya terbang ke langit tujuh. Apa seperti itu orang-orang yang menerima siksaan di api neraka karena hidup yang tidak baik. Hidup yang jauh dari kebaikan. Sedih, rintihan yang membuat hati miris yang tidak tahu kapan selesainya. Perkataan di dalam hatinya tanpa sengaja keluar. Karena seperti dirinya yang menangis di antara keadaaan di tengah api yang selalu menyala” (ACMA hal 94). Cerkak ini menceritakan kesedihan yang mendalam seorang anak dengan kematian. Setelah ditinggal mati ibu kandungnya, dia dan kedua adiknya ditinggal mati pula ayah kandungnya. Sebelum ayah mereka meninggal, dia meninggalakan seorang ibu tiri yang sangat baik. Dia merawat anak-anaknya sampai mereka menjadi orang yang sukses. Namun, suatu hari sang anak mendengar kabar buruk yaitu kematian sang ibu tiri. Perasaannya sangat sedih dan sangat terpukul. Kutipan: “Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih. Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa gothang...” (ACMA hal 95). Terjemahan: “Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu seperti kosong....” (ACMA hal 95). Dia sangat menyesali kematian ibunya, namun dia disadarkan oleh seorang sahabatnya yang menceritakan kehidupannya yang ditinggal mati oleh anakcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
anaknya. Hidup ini tidak berarti setelah ditinggal mati orang-orag yang disayangi, namun hidup harus dijalani dan jangan sampai berlarut-larut dalam kesedihan karena sebuah kematian. Kutipan: “Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryanti sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ana tegese.” Tembung-tembunge mlebu prungone. Cetha. Cetha banget. “Matur nuwun.” Ukarane cekak. Bubar iku wong loro dadi amem. Sareyan wis mungkur. Gandane kembang semboja wis ora nyogok irung....” (ACMA hal 99). Terjemahan: “Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua. Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang masuk dalam pendengarannya. Jelas. Jelas sekali. “Terima kasih.” Kalimat pendek. Setelah itu mereka terdiam. Pemakaman sudah pergi. Bau kamboja sudah tidak menyenggat lagi....” (ACMA hal 99). d. Keterkaitan Antarunsur Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Ganda Semboja karya Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita. Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang diangkat. Tema cerkak Ganda Sembojaadalah tentang religi. Secara spesifik mengacu pada religiusitas tokoh Sadmoko dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah. Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang digunakan penulis dalam cerkak Ganda Sembojakarya Ariesta Widya adalahsudut pandang orang ketiga tidak terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne yang dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir. Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Ganda Sembojakarya Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
5. Oh Renan, Oh Yaman a. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut: (1) Alur Cerkak ini menggunakan alur flash back. (a) Alur awal Tahap ini bercerita tentang awal bertemunya Albert dan Rebeka. Kutipannya sebagai berikut: “Tetepungan iku mucuki laku sing jablas nganti saiki iki. Cathetan wengi saka datasemen nggungah rasa lanange kepingin mecaki dalan penguripan bebarengan. Nanging....” (ACMA hal 129). Terjemahan: “Perkenalan itu yang berlanjut hingga sekarang. Catatan malam dari pertemuan membuat rasa laki-lakinya ingin membina rumah tangga. Namun....” (ACMA hal 129). (b) Alur tengah Tahap ini menceritakan orangtua Albert yang mendengar kabar buruk di luar tentang anakanya. Kutipan: “Bert, Albert. Aku lan bapakmu kepriye wae rak ya melu cawe-cawe yen ing njaba kabar-kabar sing rinasa ora kepenak.” Ibune omong sareh, ngendeh tembunge bapake. Kanthi ati adem, sing ditakoni mbacut kandha” (ACMA hal 130).
commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Bert, Albert. Sayadan bapakmu bagaimanapun megikutimu jika di luar ada kabar yang tidak enak.” Ibunya berkata lirih, menghindari perkataan ayahnya. Dengan hati yang dingin, yang ditanyai kemudian menjawab” (ACMA hal 130). (c) Alur akhir Tahap ini diakhiri dengan Albert dan Rebeka yang memutuskan untuk menikah dan meninggalkan rasnya masing-masing. Mereka pergi menjauh dari lingkungan asal mereka untuk meredam masalah. Kutipannya sebagai berikut: “Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan. Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131). Terjemahan: “Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain, untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131). (d) Konflik Konflik mulai terjadi, Albert dan Rebeka mulai jatuh cinta, namun perbedaan ras mereka membuat keduanya tidak bisa bersama. Kutipannya sebagai berikut: “Albert, Albert anakku. Aku sing luput. Aku sing luput. Saupama aku ora lair saka trah sing diingggati ing pasrawungan yaiku mbedak-mbedakake,
commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mesthine sing kokrasakake iku ora bakal dadi pepalang. Ora kalebu trah sing dianggep asor, trah in-reri” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Albert, Albert anak saya. Saya yang salah. Saya yang salah. Jika saya tidak lahir dari ras yang dihindari dalam masyarakat yaitu membeda-bedakan, harusnya yang kamu rasakan sekarang tidak akan menjadi penghalang. Tidak termasuk yang dianggap rendah, ras in-reri” (ACMA hal 130). (e) Klimaks Konflik utama mulai memuncak yaitu Rebeka dibuang oleh keluarganya dan rasnya karena lebih memilih Albert. Kutipan: “Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.” “Tenan, tenan kuwi?” Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131). Terjemahan: “Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.” “Benar, benar itu?” Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA hal 131).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
(2) Tokoh atau Karakter (a) Albert Seorang pemuda yang baik, dengan keyakinannya kepada Tuhan dia berani mengambil resiko dengan menikahi Beka yang berbeda ras dengannya. Meski menimbulkan masalah besar tapi dia mempercayakan semuanya kepada Tuhan. Kutipan: “Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi Pangandikane Gusti.” “Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.” “Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130). Albert memiliki sifat yang sabar, iklas, dan pasrah dibuktikan dengan dirinya yang kemudian menikah dan hidup jauh dari rasnya dengan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Kutipan: “Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan. Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: “Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain, untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131). (b) Rebeka Seorang gadis yang mempunyai keberanian untuk melangkah kepelamina meski tidak mendapatkan restu orang tuanya. Dia juga merupakan orang yang percaya akan takdir dari Tuhan sehingga dia mempercayakan semuanya kepada Tuhan. Kutipan: “Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.” “Tenan, tenan kuwi?” Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131). Terjemahan: “Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.” “Benar, benar itu?” Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA hal 131). (c) Ayah Albert Seorang ayah yang baik dan percaya dengan semua keputusan anaknya. Dia juga seorang ayah yang pengertian, memberikan restu kepada anaknya meski hal tersebut akan menjadi masalah besar karena perbedaan ras. commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi Pangandikane Gusti.” “Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Renan dan Yaman. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.” “Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130). (d) Ibu Albert Seorang ibu yang baik dan juga sabar, mencoba untuk bertanggungjawab akan anaknya yang menjalin cinta dengan ras lain. Kutipan: “Bert, Albert. Aku lan bapakmu kepriye wae rak ya melu cawe-cawe yen ing njaba kabar-kabar sing rinasa ora kepenak.” Ibune omong sareh, ngendeh tembunge bapake. Kanthi ati adem, sing ditakoni mbacut kandha” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Bert, Albert. Saya dan bapakmu bagaimanapun megikutimu jika di luar ada kabar yang tidak enak.” Ibunya berkata lirih, menghindari perkataan ayahnya. Dengan hati yang dingin, yang ditanyai kemudian menjawab” (ACMA hal 130).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
(3) Latar/ Setting (a) Setting tempat Setting tempat pada cerkak Oh Renan, Oh Yaman ini adalah di Manado, tepatnya di rumah. Kutipan: “Anggone ngenam gagasan wis wiwit esuk mau. Banjur metu ing tritisan karo nyawang wit cemara gunung sing ngadeg renteng-renteng mbanjeng ing pinggir lapangan. Dadakan saka njero bojone nyusul ngadeg ing lambe lawang karo ngucap” (ACMA hal 126). Terjemahan: “Caranya merencanakan gagasan sudah dari tadi pagi. Kemudian keluar di pinggiran dengan melihat pohon cemara gunung yang berdiri berjajar di pinggir lapangan. Tiba-tiba dari dalam istrinya menyusul berdiri di bibir pintu dengan berbicara” (ACMA hal 126). Setting tempat lainnya berada di jalan, dimana Albert dan Rebeka mulai bertemu, berkenalan, dan mulai tumbuh rasa cinta. Kutipan: “Sakiki lakune wis ora kaya wong wadon mlaku bebarengan. Apamaneh sing mlaku bebarengan iku wadon lan lanang. Nalika anggone mlaku wis rada adoh lan jangkahe kaya wong balapan lagi kawetu tembunge alon” (ACMA hal 128). Terjemahan: “Sekarang jalannya sudah tidak seperti perempuan berjalan bersama. Apalagi yang berjalan bersama itu perempuan dan laki-laki. Ketika berjalan sudah commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sedikit jauh dan langkahnya seperti orang balapan baru keluar perkataan pelan” (ACMA hal 128). (b) Setting waktu Setting waktu pada cerkak ini adalah pada malam hari. Dimana Albert dan Rebeka bertemu. Kutipannya sebagai berikut: “Nalika iku lakune arep ngliwati jaratan lakune sajak aweh sasmita. Marga gandane kembang semboja sing ngambar nerak-nerak wengi. Anggone mlaku wis reruntungan tanpa ukara. Nalika jaratan wis kliwatan kemput lakune lagi kaya ...” (ACMA hal 129). Terjemahan: “Ketika itu jalannya akan melewati jaratan langkahnya mulai waspada. Karena bau bunga kemboja yang menggambarkan suasana malam. Langkah kakinya sudah bergandengan tanpa ukara. Ketika jaratan sudah terlewati langkahnya baru seperti ...” (ACMA hal 129). Selain itu setting waktu lainnya adalah pada siang hari. Kutipannya sebagai berikut: “Anggone ngenam gagasan wis wiwit esuk mau. Banjur metu ing tritisan karo nyawang wit cemara gunung sing ngadeg renteng-renteng mbanjeng ing pinggir lapangan. Dadakan saka njero bojone nyusul ngadeg ing lambe lawang karo ngucap” (ACMA hal 126). Terjemahan: “Caranya merencanakan gagasan sudah dari tadi pagi. Kemudian keluar di pinggiran dengan melihat pohon cemara gunung yang berdiri berjajar di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
pinggir lapangan. Tiba-tiba dari dalam istrinya menyusul berdiri di bibir pintu dengan berbicara” (ACMA hal 126). (c) Setting Peristiwa Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Minahasa yang masih dibeda-bedakan anatara ras satu dengan yang lain. Dua insan manusia menjalin hubungan dengan rasa yang berbeda, maka akan dikucilkan oleh masyarakatnya. Hal itu tidak sesuai dengan ajaran agama Katholik yang tidak membeda-bedakan umatnya.
Albert dan
Rebeka mengambil keputusan untuk menikah dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut: “Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi Pangandikane Gusti.” “Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.” “Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130). b. Sarana-sarana Sastra (1) Judul Menceritakan tentang pertentangan pernikahan karena perbedaan ras. Namun, Renan dan Yaman atau ayah dan ibu memberikan restu kepada anaknya untuk menikah, maka dari itu cerkak ini sesuai dengan judul yang dibuat. Karena commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi di Minahasa, maka bahasa yang digunakanpun menggunakan bahasa Minahasa. (2) Sudut Pandang Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja. (3) Gaya dan Tone Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang sedikit rumit untuk bahasa yang digunakan pada judul, namun untuk bahasa cerita lugas sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana namun ada beberapa perumpamaan dalam cerkak ini. Kutipan: “Urip iki kaya prau ing tengahing segara” (ACMA hal 127). Terjemahan: “Hidup ini seperti perahu di tengah laut” (ACMA hal 127). Perumpaan ini digunakan untuk menjelaskan tentang kehidupan Albert dan Rebeka yang penuh dengan kesulitan terombang-ambing oleh kerasnya kehidupan. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita . tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan
commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. Berikut kutipannya: “Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan. Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131). Terjemahan: “Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain, untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131). (4) Simbolisme Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya: (a) Lambe lawang Lambe lawang di sini digunakan untuk menjelaskan posisi istrinya yang sedang berdiri di pinggir pintu. Kutipan: “Dadakan saka njero bojone nyusul ngadeg ing lambe lawang karo ngucap” (ACMA hal 126). Terjemahan: “Tiba-tiba dari dalam istrinya datang berdiri di bibir pintu dengan mengucap” (ACMA hal 126).
commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) Adu swara Adu swara di sini digunakan untuk menggambarkan suara lonceng yang nyaring. Kutipan: “Gumlonthanging lonceng kaya adu swara” (ACMA hal 131). Terjemahan: “Suara lonceng yang nyaring seperti beradu suara” (ACMA hal 131). (5) Ironi Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika Albert menanyakan keputusan Rebeka, meski senang bisa bersama laki-laki yang disayangi yaitu Albert namun, kenyataan lain yang membuat Rebeka sedih adalah Rebeka dibuang oleh keluarga dan rasnya. Kutipan: “Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.” “Tenan, tenan kuwi?” Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131). Terjemahan: “Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.” “Benar, benar itu?” Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA hal 131).
commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Tema Menceritakan kisah cinta yang berbeda status sosial, hampir seperti keadaan kasta di Bali. Keadaan ini dianggap tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. Latar cerkak ini berada di Manado, Maluku. Suatu ketika AURI yang mempunyai lapangan yang luas dan besar kedatangan rombongan seniman dari Jakarta. Rombongan tersebut mengadakan pertunjukan untuk tempat-tempat terpencil, sehingga para warga berkumpul untuk melihatnya. Berawal dari pertunjukan inilah yang menjadikan keduanya saling bertemu dan jatuh cinta, laki-laki yang berasal dari kampung Ohoijong yaitu Albert Henan dan perempuan yang berasal dari kampung Langgur yaitu Beka Renwarin. Albert yang berasal dari kasta rendah dan Beka yang berasal dari kasta tinggi menjadikan percintaan mereka terhalang. Kutipan: “Albert, Albert anakku. Aku sing luput. Aku sing luput. Saupama aku ora lair saka trah sing diingggati ing pasrawungan yaiku mbedak-mbedakake, mesthine sing kokrasakake iku ora bakal dadi pepalang. Ora kalebu trah sing dianggep asor, trah in-reri” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Albert, Albert anak saya. Saya yang salah. Saya yang salah. Seandainya saya tidak lahir dari garis keturunan yang dihindari dalam masyarakat yaitu membeda-bedakan, harusnya yang kamu rasakan sekarang tidak akan menjadi penghalang. Tidak termasuk yang dianggap rendah, ras in-reri” (ACMA hal 130).
commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Albert mengambil keputusan untuk menentang perbedaan garis keturunan di Maluku, karena bagi Albert yang beragama Katholik perbedaan ras tersebut tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Kutipan: “Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi Pangandikane Gusti” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan tata cara adatnya. Harapanku. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan” (ACMA hal 130). Albert dan Beka kemudian menikah, mereka yakin cinta yang dibangun dengan hati dan tujuan yang baik diberikan jalan yang terbaik dari Tuhan. Dan merekapun hidup bahagia dengan berkat dari Tuhan. Kutipan: “Kanggo
nginggati
kahanan
Sakramen
Perkawinan
ditindakake
ing
panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan. Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
100 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: “Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain, untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131). d. Keterkaitan Antarunsur Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Oh Renan, Oh Yaman karya Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita. Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang diangkat. Tema cerkak Oh Renan, Oh Yaman adalah tentang religi. Secara spesifik mengacu pada religiusitas tokoh Albert dan Rebeka dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah. Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang digunakan penulis dalam cerkak Oh Renan, Oh Yaman karya Ariesta Widya adalahsudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja. Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Oh Renan, Oh Yaman karya Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
6. Ing Citarum Mecaki Urip a. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut: (1) Alur Cerkak yang berjudul Ing Citarum Mecaki Urip menggunakan alur maju.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
(a) Alur awal Tahap ini diawali dengan Ibu Mari berdoa untuk kelancaran malam nanti untuk mengantar suaminya Pak Wid cek up ke rumah sakit Citarum. Kutipannya sebagai berikut: “Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal 166). Terjemahan: “Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA hal 166) (b) Alur tengah Pada tahap ini Ibu Mari pergi mengantar Pak Wid cek up di rumah sakit Citarum. Berikut kutipannya: “Bangku dawa ngarepan, ngarepane praktik daklungguhi. Jam lagi nuduhake jam pitu luwih seprapat. Yen kahanan normal mesthine rawuhe dhokter Arwedhi setengah wolu. Jam mrambat nganti jam wolu” (ACMA hal 168). Terjemahan: “Bangku panjang di depan, duduk di depan tempat praktik. Waktu baru menunjukkan jam tujuh lebih lima belas menit. Apabila keadaan normal harusnya datangnya dokter Arwedhi pukul setengah delapan. Waktu berjalan sampai pukul delapan” (ACMA hal 168). commit to user
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(c) Alur akhir Setelah menjenguk teman-temannya yang sakit, Ibu Mari dan Pak Wid merasa lebih beruntung. Mereka lebih memasrahkan kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Ah. Ada perasaan yang mengganjal, lha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). (d) Konflik Tahap ini bercerita tentang keadaan suaminya yang kurang baik. Ginjalnya mulai melemah. Kutipannya sebagai berikut: “Sedaya sae. Nanging sajakipun radi lemah, nggih?”. “Inggih, Dhok. Saking ruang HI prayoganipun 55 kilo. Lha, kok...” (ACMA hal 169). Terjemahan: “Semua baik. Namun sepertinya sedikit lemah, ya?”. “Iya, Dok. Dari ruang HI seharusnya 55 kg. Namun,...” (ACMA hal 169). (e) Klimaks Konflik mulai memuncak ketika menjenguk temannya yaitu Pak Marjo, cobaan yang dialami oleh Bu Marjo dan Pak Marjo membuat Ibu Mari merasa bersyukur atas kehidupan yang diberikan.
commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). (2) Tokoh atau Karakter (a) Ibu Mari Seorang Katolik yang taat, dia tidak pernah mengeluh, selalu sabar, iklas akan cobaan yang dihadapinya yaitu suaminya mengidap penyakit ginjal. Kutipan: “Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal 166). Terjemahan: “Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA hal 166).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
Ibu Mari mempunyai jiwa sosial yang tinggi, meski dirinya sedang mendapatkan cobaan yang besar dia masih mau menjenguk bahkan mendoakan teman-temannya yang sedang dirawat di rumah sakit. Kutipan: “Mas Wid dakajak tumuju ruange Pak Ngationo. Saelingku nomor 4. Tenan gumantung jeneng iku. Lawang dakthothok. Menga” (ACMA hal 169). Terjemahan: “Mas Wid saya ajak menuju ruangan Pak Ngationo. Seingatku nomor 4. Benar terpasang nama itu. Pintu saya ketuk. Terbuka” (ACMA hal 169). Tidak hanya itu saja Ibu Mari merupakan orang yang pandai bersyukur, ditengah keadaanya yang sulit dia masih merasa beruntung dibandingkan dengan temannya Bu Marjo yang memgalami banyak cobaan hidup. Kutipan: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). (b) Pak Wid Merupakan orang yang suka bergurau, tidak berlarut-larut dalam kesedihan dengan penyakit ginjalnya. Penyakit ginjalnya diterima dengan iklas, sabar, dan memasrahkan kepada Tuhan. commit to user
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Aku karo Bu Ngationo umyeng dhewe. Mas Wid gayeng-gayengan karo Pak Ngationo” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Saya dan Bu Ngationo sibuk sendiri. Mas Wid bercanda dengan Pak Ngationo” (ACMA hal 170). (c) Bu Marjo Sosok ibu dan istri yang kuat, sabar, iklas, dan pasrah. Meski baru saja mengalami kecelakaan, suaminya sakit keras bahkan anak kesayangannya meninggal namun dia adalah wanita yang kuat menghadapi semuanya. Kutipan: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). (3) Latar/ Setting Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
commit to user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(a) Setting tempat Setting tempat pada cerkak ini adalah di Semarang diawali di jembatan pasar, di mana tokoh mencari alat transportasi menuju rumah sakit. Kutipannya sebagai berikut: “Setengah pitu, mlaku mrambat tekan kreteg pasar mung ana becak siji. Daktolah-toleh ora ana sing nglakokake. Dadakan saka warung iku, ana nomnoman metu” (ACM hal 166). Terjemahan: “Setengah tujuh, berjalan pelan sampai jembatan pasar hanya ada satu becak. Sayamenengok sana-sini tidak ada tukang becaknya. Tiba-tiba dari warung itu, ada pemuda keluar” (ACMA hal 166). Setting tempat berada di rumah sakit Citarum. Tokoh Ibu Mari mengantar suaminya Pak Wid memeriksa penyakitnya dan sekaligus menjenguk temantemannya yang dirawat di rumah sakit tersebut. Kutipannya sebagai berikut: “Bangku dawa ngarepan, ngarepane praktik daklungguhi. Jam lagi nuduhake jam pitu luwih seprapat. Yen kahanan normal mesthine rawuhe dhokter Arwedhi setengah wolu. Jam mrambat nganti jam wolu” (ACMA hal 168). Terjemahan: “Bangku panjang di depan, duduk di depan tempat praktik. Waktu baru menunjukan jam tujuh lebih seperempat. Apabila keadaan normal harusnya datangnya dokter Arwedhi pukul setengah delapan. Waktu berjalan sampai pukul delapan” (ACMA hal 168).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
(b) Setting waktu Setting waktu pada cerkak ini pada sore hari, dimana Ibu Mari berdoa kepada Tuhan agar tidak hujan. Kutipan: “Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal 166). Terjemahan: “Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA hal 166). Setting waktu pada cerkak ini adalah pada malam hari. Kutipannya sebagai berikut: “Rumah sakit Citarum daktinggal sawise golek taksi ing ngarepan. Iki wis meh setengah sepuluh bengi” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Saya meninggalkan Rumah sakit Citarum setelah mencari taksi di depan. Ini sudah pukul setengah sepuluh malam” (ACMA 170). (c) Setting peristiwa Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah beragama katholik yang religius. Pak Wid dan Ibu Mari mempunyai sifat sabar, iklas, dan pasrah dalam menghadapai problematika hidupnya. Banyak dirundung masalah, Ibu Mari commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
selalu bersyukur melihat keadaan teman-temannya yang juga memiliki problematika dalam hidupnya. Kutipan: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). b. Sarana-sarana Sastra (1) Judul Keadaan Pak Wid yang menderita sakit ginjal membuatnya sedih istrinya. Namun, mereka kemudian mendapatkan pelajaran yang berharga setelah menjenguk teman-temannya yang dirawat disana. Mereka bersyukur dengan keadaan yang mereka jalani. Mereka harus tetapi menjalani hidup meski harus melewati perantara Citarum yaitu untuk berobat. (2) Sudut Pandang Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang pertama-utama. Pengarang menggunakan kata aku yang menyatakan orang pertama. Pengarang mengacu sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri.
commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(3) Gaya dan Tone Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana dan tidak ada perumpamaan Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita . tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. Berikut kutipannya: “Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal 166). Terjemahan: “Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA hal 166). (4) Simbolisme Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya sebagai berikut:
commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(a) Langite bening Langite bening di sini digunakan untuk menjelaskan cuaca yang cerah. Kutipan: “Sore iku langite bening” (ACMA hal 166). Terjemahan: “Sore itu langitnya bening” (ACMA hal 166). (b) Ngambang Ngambang di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan Pak Marjo yang tidak sepenuhnya sadar. Kutipan: “Pak Marjo sing sareyan katon pasuryane ngambang” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Pak Marjo yang terbaring terlihat wajahnya mengambang” (ACMA hal 170). (5) Ironi Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika Ibu Mari menjenguk Pak Marjo, meski ia merasa sedih dengan penyakit suaminya melihat keadaan Pak Marjo dan Bu Marjo membuat Ibu Mari sangat terpukul, meski di dalam hatinya terucap rasa syukur tidak mengalami cobaan seberat Pak Marjo. Berikut kutipannya: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170). Terjemahan:
commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, lha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). c. Tema Bercerita tentang kepasrahan kepada Tuhan atas penyakit yang diderita. Mereka berdoa dan beribadah meminta kesembuhan dan jalan terbaik dari Tuhan. Sudah lima bulan Ibu Mari tidak mengontrol penyakitnya suaminya, dan sore itu dia pergi ke rumah sakit Arwendi. Kutipan: “Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal 166). Terjemahan: “Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA hal 166) Penyakit suami Ibu Mari adalah ginjal, dan saat diperiksa oleh dokter penyakitnya semakin parah. Mendengar perkataan dokter Ibu Mari dan Pak Wid suaminya terlihat sedih. Mereka keluar dari ruangan dokter menuju lorong pasien, mereka menjenguk temannya yang sedang dirawat di rumah sakit yaitu Pak Ngationo. Pak Ngationo sakit demam berdarah dan tipes.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
Kutipan: “Piye bal-balane, Pak?” Iku hobine Pak Ngationo bal-balan. Anggone mlebu Citarum iya lagi mecaki bal-balan, “Wuah, aku ora ngira. Ya kuwi kaya biasane melu bal-balan. Dadakan awakku lemes. Mula bablas digawe mrene. Bareng dipriksa jebul kena DB isih ketambah tipes barang. Lha, iya njur klekaran kaya saiki iki”(ACMA hal 169). Terjemahan: “Bagaimana main bolanya, Pak?” Itu hobi Pak Ngationo bermain bola. Alasan masuk Citarum adalah bermain bola. “Wuah, saya tidak mengira. Ya itu seperti biasanya ikut bermain bola. Tibatiba badanku lemas. Maka langsung dibawa kesini. Setelah diperiksa ternyata sakit DB dan masih ditambah sakit tipes. Lha, iya langsung rebahan seperti sekarang” (ACMA hal 169). Usai menjenguk Pak Ngationo Ibu Mari dan Pak Wid menuju ruangan nomor 7. Keduanya masuk dan menjenguk temannya yang sakit juga yaitu Pak Marjo. Didalam hati Ibu Mari sedih dan sekaligus merasa beruntung daripada Bu Marjo. Bu Marjo baru saja mengalami kecelakaan, luka-luka akibat kecelakaan belum sembuh dan bahkan dia harus kehilangan dua jari kaki, sekarang harus menghadapi suaminya yang terbaring sakit selama 38 hari dan tidak bisa makan karena sakit ditenggorokannya. Kenyataan lain yang tidak kalah menyakitkan karena anak kesayangan Ibu Marjo yang berprofesi sebagai dokter meninggal. Ibu Mari kemudian mengajak semuanya berdoa untuk kesembuahan Pak Marjo dan Bu Marjo. Dari cerita inilah bisa kita petik bahwa kehidupan tidak selamanya bahagia, ada kesedihan, ada sakit, ada kehilangan karena ditinggal mati orang yang disayangi, namun semua dipasrahkan dan diiklaskan kepada Tuhan niscaya akan diberikan kelapangan dan jalan terbaik. Kutipan: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170). Terjemahan: “Ah. Ada perasaan yang mengganjal, lha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). d. Keterkaitan Antarunsur Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Ing Citarum Mecaki Urip karya Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita. Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang diangkat. Tema cerkak Ing Citarum Mecaki Urip adalah tentang religi. Secara spesifik mengacu pada religiusitas tokoh Ibu Mari dan Pak Wid dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
115 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang digunakan penulis dalam cerkak Ing Citarum Mecaki Urip karya Ariesta Widya adalah sudut pandang orang pertama-utama. Pengarang menggunakan kata aku yang menyatakan orang pertama. Pengarang mengacu sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Ing Citarum Mecaki Urip karya Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
B. Sosiohistoris dan Ideologi Pengarang 1. Sosiohistoris Ariesta Widya Lingkungan sosial Ariesta Widya sebagai salah satu pengarang atau sastrawan mempunyai keterkaitan langsung yang mempengaruhi suatu karya sastra yang dibuat. Sebuah karya sastra dibuat memiliki kaitan erat dengan keadaan masyarakat. Seperti yang dilakukan Ariesta Widya sebagai pengarang membuat gagasan-gagasan pembuatan karya sastranya berasal dari masyarakat sekitar. Masyarakat Manado dan Semarang yang memiliki tradisi dan sisi kehidupan yang berbeda, selain itu pengalaman hidup sendiri juga merupakan gagasan-gagasan beliau menciptakan karyanya. Lingkungan sosial Ariesta Widya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
dibagi menjadi dua, yaitu afiliasi Ariesta Widya sebagai sastrawan Jawa, dan lingkungan sosial Ariesta Widya yang berhubungan dengan ACMA. 2. Afiliasi Ariesta Widya Afiliasi mempunyai arti pertalian sebagai anggota (KBI, 2011: 6). Dalam sebuah karya sastra afiliasi mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Sebagai pencipta, dengan ciri-ciri aktivitas kreatif di satu pihak yang lain, maka yang lebih bermakna adalah latar belakang sebagai akibat afiliasi, sebagai kelahiran yang kedua. Bentuk afiliasi bermacam-macam, sesuai dengan kompleksitas struktur sosial, seperti: keluarga, profesi, intelektual, religi, ekonomi, hukum, dan sebagaimya. Pengarang dapat melepaskan diri dari kelompok asal, terlibat dalam kelompok lain, demikian seterusnya (Goldmann, 1981: 17). Ariesta Widya merupakan nama samaran dari Agustinus Moelyono Widyatama. Lahir di Semarang tanggal 12 April 1938 pada hari Senin Wage. Beliau seorang penganut agama Katholik, dan sudah berkeluarga dengan Dyah Maringin, S. H, yang dinikahinya pada tahun 1974 dan dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Catharina Dimasanti. Riwayat pendidikan beliau dimulai ketika bersekolah di Sekolah Rakyat dari tahun 1946 dan lulus tahun 1952, dilanjutkan ke SMP bagian B, tamat tahun 1955. kemudian dari SMP dilanjutkan ke SPG, dan lulus tahun 1958. Pada tahun 1958- 1961 mengajar di Katolik Langgur, dan pada tahun 1961-1964 Ariesta Widya melanjutkan ke tingkat Perguruan Tinggi dan lulus sebagai sarjana muda, jurusan Bahasa Indonesia di IKIP Manado. Tahun 1964-1967 beliau menjadi Kepala Sekolah di Katolik Langgur. Ariesta Widya dipindah ke SMP Ungaran pada tahun 1978. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
Keinginannya untuk belajar tidak pernah berhenti, pada tahun 1984 kemudian Ariesta Widya melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka, jurusan Administrasi Negara. Untuk mengisi kesibukannya Ariesta Widya sehari-hari selain menghasilkan tulisan-tulisan, beliau juga menjadi guru di SMA Negeri V di Semarang. Kegemarannya bermain drama hingga sekarang masih ditekuninya. Cerita ACMA menurut pengarang ditulis bermula dari suatu keharusan meskipun kemudian berubah arah. Ketika itu diawali dengan sebuah tugas sekolah pada tahun 1957, saat itu Ariesta Widya masih duduk di kelas 2 SPG, Don Bosko Semarang bersama dengan kawan-kawannya mendirikan majalah sekolah, kemudian oleh sekolahnya dipercayakan untuk mengasuh dan menjalankan agar majalah tersebut dapat terbit. Ariesta Widya merasakan betapa beratnya mendirikan majalah sekolah tersebut, karena merasa bertanggung jawab atas terbitnya Gema Keluarga Don Bosko (nama majalah tersebut), yang merupakan media komunikasi antarsekolah yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Berawal dari keharusan itulah, kemudian terciptalah sebuah karangan yang berbentuk cerita pendek. Keinginannya yang kuat untuk terus berkarya, membuat Ariesta Widya selalu bersemangat dan berkembang. Namun, sayang pada waktu itu belum terbit majalah berbahasa Jawa seperti pada saat ini. Hasil karyanya yang pertama kali diterbitkan ketika itu adalah naskah puisi anak-anak dimuat di Pembimbing Putra Jakarta asuhan Pak Pus tahun 1958. Tahun 1958, setelah lulus dari SPG rasa pengabdiannya pada masyarakat semakin tebal. Ketika itu Ariesta Widya memutuskan berangkat ke gugusan pulau-pulau Kei di Indonesia Timur yaitu tepatnya di Langgur, inilah awal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
kehidupannya sebagai guru di SMP pada yayasan Katholik. Keinginannya berkarya di daerah terpencil tidak luntur, tapi sayangnya komunikasi pada waktu itu tidak lancar, sehingga hasil karyanya banyak yang tidak sampai ke alamat tujuan apalagi pada waktu itu sisa-sisa gerombolan pengacau Permesta masih mengancam. Selama di Langgur, hanya sedikit karyanya yang terkirim dan dimuat di majalah, salah satunya beruba cerkak yang berjudul Rujak, dimuat di majalah Praba (majalah Katholik berbahasa Jawa) Yogyakarta, pada tahun 1960. Tahun 1961 Ariesta Widya mendapat tugas belajar di IKIP Manado, jurusan Bahasa Indonesia yang akhirnya berhasil menyandang gelar sarjana muda. Selama tinggal di Manado dan menjadi mahasiswa, tercatat kegiatannya banyak dilakukan seperti menulis puisi, mendirikan grup Studi Drama Mahasiswa (SDM), kemudian menjadi pengarang naskah drama. Tahun 1964, setelah menyelesaikan tugas belajarnya, Ariesta Widya kembali ke Langgur, dan diangkat sebagai kepala sekolah di sebuah SMP. Dalam hati kecilnya beliau ingin sekali dapat meneruskan kuliah hingga lulus, akan tetapi karena tidak lolos dari Inspeksi Pendidikan dan Kebudayaan Maluku, dengan berat hati beliau terpaksa menerima keputusan tersebut. Sebagai imbalannya, beliau diangkat menjadi kepala sekolah pada sebuah SMP. Selama menjadi Kepala Sekolah kegiatannya menulis untuk sementara dihentikan karena waktunya yang sangat padat. Tahun 1967, Ariesta Widya kembali ke Pulau Jawa, dan menjadi awal kebangkitannya di dunia karya sastra. Dengan perhatiannya yang sangat besar terhadap perkembangan dunia sastra Jawa, maka Ariesta Widya tergugah ingin berkarya melalui media bahasa Jawa. Sambil menungu Surat Keputusan dari yang berwenang untuk mengajar, Ariesta Widya telah mencipatkan beberapa karya di antaranya, Angin Lembah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
Gunung Klabat, Dudu Piwales, Dina-dina Kawuri Ora Bakal Lali yang terakhir dimuat di mingguan Dharma Kandha Solo. Tahun 1970 Ariesta Widya menetap di Semarang hingga saat ini, harapannya ingin melanjutkan ke IKIP Semarang (sekarang berubah menjadi UNNES), meskipun pada akhirnya tidak dapat tercapai. Untuk mengisi waktu luangnya, di samping gemar menulis, beliau terjun ke dunia radio sebagai penyiar radio swasta niaga pada tahun 1970-1974 milik Brigade 17 yang kemudian karyanya yang berbentuk cerkak dengan judul Pandanaran 17 tercipta. Selain itu beliau juga mengasuh acara pembacaan puisi dan cerita pendek pada akhir siaran radio di Brigade 17, tentu saja tidak ketinggalan mengasuh acara geguritan di akhir siarannya. Karya-karyanya yang mendapat apresiasi anatara lain dari DKS (Dewan Kesenian Surabaya), yang berjudul Srengenge Tengange tahun 1978, dan Ing Antarane Ombak-ombak tahun 1979. Kemudian dari Keluarga Penulis Semarang (KPS) yang berjudul Tempuling tahun 1982, serta dari Lembaga Javanologi Yogyakarta yang berjudul Dheweke Butuh Katresnan tahun 1983. Ariesta Widya juga telah menerbitkan naskah drama yang berjudul Di antara Baku-baku di Solo. Pada bulan April 1998 Ariesta Widya pensiun dari SMA Negeri V Semarang dan pada tahun 1998-2010 beliau kembali mengajar di SMA Masehi Semarang. 2010-sekarang berada dirumah karena sakit ginjal, namun masih aktif berkarya menciptakan berbagai karya sastra berupa prosa maupun puisi. Latar belakang kehidupan sosial pengarang perlu untuk diketahui, karena hal itu tentunya akan mewarnai hasil karyanya. Pengarang seperti halnya anggota masyarakat yang lain, tidak lepas dari sistem stratifikasi sosial dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
120 digilib.uns.ac.id
masyarakatnya. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengarang berasal dari kalangan stratifikasi sosial menengah ke atas, hal ini dapat diketahui berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan. Lebih jauh Soerjono Soekanto (1990: 231) berpendapat bahwa barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga di dalam jumlahnya yang banyak, akan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang menduduki lapisan atas. Dilihat dari latar kehidupan pengarang, tentu sikapnya lebih terbuka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan diri dengan perubahan sosial dan keadaan sosial tertentu. Karena kebudayaan di kota menciptakan pergaulan hidup yang setiap individu diserahkan untuk mengurus nasibnya sendiri-sendiri.
Ariesta Widya yang dilahirkan sebelum jaman
kemerdekaan tentunya boleh disebut ikut mengalami masa penjajahan serta revolusi fisik, meskipun saat itu masih kecil, sedikit banyak ikut mewarnai hasil karyanya. Sejak kecil Ariesta Widya telah menunjukkan kegemarannya dalam hal tulis menulis (mengarang). Pada mulanya karangan yang digemarinya berupa cerita cekak, geguritan, puisi, cerita landhung. Antara lain yang sudah diterbitkan melalui majalah Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Jaya Baya. Karyanya yang berupa cerkak dengan judul Setoran dimuat pada majalah Dharma Kandha Sala tahun 1979, bahkan mendapat perhatian yang cukup besar dari seorang kritikus sastra Jawa Murya Lelana. Cerita ini dengan berani mengisahkan jatuhnya seorang punggawa (Pamong) atau Lurah, karena berkaitan dengan masalah korupsi, yaitu seorang Lurah yang menyelewengkan setoran “Bimas” dari masyarakat. Menurut Ariesta Widya masalah ini timbul karena masalah sosial budaya pada masa itu, yaitu adanya ungkapan melik nggendhong lali, dan commit to user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebetulan terjadi pada diri seorang Lurah yang dipecat dari jabatannya. Ariesta Widya mengakui akan kekurangannya, yakni tidak semuanya disusun berupa file, karena sebelumnya ia sering berpindah tempat tinggal. 3. Ideologi Pengarang Ariesta Widya Marx (1947: 167) disebutkan bahwa dalam pengertian ideologi termuat segi memenuhi kebutuhan. Belum tentu kebutuhan tertentu itu diutarakan secara eksplisit dalam ideologi, yang sering dan biasanya berupa sistem gagasan penggambaran dunia atau pengungkapan patokan-patokan dan perasaan. Ideologi atau gagasan-gagasan pengarang Ariesta Widya berasal dari realitas kehidupannya dan juga masyarakat sekitar yang dijadikannya pedoman dan cita-cita hidup. “Sebenarnya kitab Injil dan Serat Ranggawarsita memiliki isi yang sama tentang manusia yang harus sabar, iklas, dan pasrah kepada Tuhan. Sebagai Katholik saya ingin menjadi Katholik yang taat dan menjadi orang Jawa yang baik pula sesuai yang dicantumkan pada Serat Ranggawarsita”(hasil wawancara dengan Ariesta Widya tanggal 2 Mei 2015).
a. Wengi Saya Larut Pengalaman pribadi pengarang Ariesta Widya dituangkan dalam cerkak yang berjudul Wengi Saya Larut. Pengarang mengalami tragedi kehidupan seperti yang diceritakan dalam cerkak ini. Kehilangan seorang ibu di umurnya yang masih kecil. Kesedihan seorang ayah yang kehilangan seorang istri dan mempunyai anak yang masih kecil, membuat cerkak ini terlihat tragis. Kejadian yang ingin merayakan sunatan anaknya menjadikannya masalah dan membuat ayahnya bersedih berlarut-larut. Namun, semuanya diyakini bahwa kehilangan itu bukanlah akhir segalanya, Tuhan mempunyai rencana lain yang lebih indah. Hal ini sesuai dengan dengan ideologi pengarang Ariesta Widya.
commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anakanake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA hal 53). Terjemahan: “Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya” (ACMA hal 53). b. Bandha Gaduhan Melihat masyarakat di Kei Langgur Minahasa yang selalu berantusias merayakan Natal, pengarang Ariesta Widya mendapatkan gagasan menciptakan cerkak Bandha Gaduhan. Menceritakan sebuah keluarga yang kehilangan seorang anak yang cantik bernama Wilis. Meski nama yang digunakan bukanlah nama orang Minahasa melainkan nama Jawa, tetapi hal ini terjadi di Minahasa. Wilis yang dalam arti Jawa hijau tua, menandakan bahwa seorang Wilis adalah anak yang pintar seperti rumput yang tumbuh subur berwarna hijau tua. Seperti dalam kutipan berikut, meski Wilis masih kecil tapi cara dia berbicara mencerminkan anak yang pintar. Kutipan: “Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.” “Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61)
commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air matanya tidak bisa ditahan”. “Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61). Perayaan Natal di Minahasa kebanyakan menampilkan teater yang mengisahkan Yesus dan Ibu Maria, maka dari itu Wilis juga berencana merayakan Natal dan membuat pertunjukan tentang Yesus dan Ibu Maria. Cerita ini sesuai dengan ideologi pengarang Ariesta Widya. Hal tersebut dijelaskan pada kutipan berikut: “Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria, bapak dadi Bapak Yusup, lan aku.... hahak ... dadi Gusti Yesus.” Guyu renyah cilik iku njalari kentir melu ngguyu. Wong loro katon gayeng. Saka mburi Mbok Ru, mencungul terus ndeprok ana sandhinge” (ACMA hal 58). Terjemahan: “Kalau, Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Tuhan Yesus.” Tertawa renyah kecil itu membuat gila ikut tertawa. Mereka berdua terlihat asik. Dari belakang Mbok Ru, datang kemudian duduk disebelahnya”(ACMA hal 58). c.
Cathetan Desember Pengarang Ariesta
Widya
menciptakan
cerkak
ini
berasal
dari
kehidupannya di Manado, Maluku. Setting tempat cerkak Cathetan Desember berada di Manado, Maluku. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut: “Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng Menado....” (ACMA hal 87). Terjemhan: “Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa. Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, keluaran dari seminari Pineleng Manado....”(ACMA hal 87). Nama-nama yang dipakai sebagai peraga adalah nama-nama orang Maluku, seperti Lusia Renwarin, Aldo, Anastasia Kelanit, Thomas Anastasia, dan Beni. Ariesta Widya merupakan seorang Katholik sehingga cerkak ini juga menggunakan istilah-istilah seperti seminari yang mempunyai arti sekolah untuk calon-calon pastur, novis yang mempunyai arti calon suster atau biarawan, novisiat yang mempunyai arti tempat atau asrama calon suster. Pengarang mendapatkan ide membuat cerkak ini, karena melihat lingkungan di Maluku banyak sekali kejadian orang-orang yang aktif di gereja kehilangan anak-anaknya, sehingga terciptalah cerkak Cathetan Desember.Cerita ini sesuai dengan ideologi pengarang Ariesta Widya. d. Ganda Semboja Ide pembuatan cerkak ini berasal dari pengalaman pengarang sendiri. Kesedihan akan kematian ayah, ibu kandung, dan ibu tirinya, membuat pengarang bersedih berlarut-larut hingga membuat kisahnya sendiri menjadi sebuah cerkak yang sangat bagus. Cerita ini menceritakan kisahnya di Semarang yang kehilangan ibu tirinya, sehingga setting dalam cerita ini adalah di Semarang. Amanat yang disampaikan merupakan pedoman hidup pengarang, gagasancommit to user
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gagasan pembuatan cerkak ini berasal dari pedoman hidup pengarang Ariesta Widya. “Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih. Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa gothang...” (ACMA hal 95) Terjemahan: “Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu seperti kosong....” (ACMA hal 95). e. Oh, Renan, Oh, Yaman Istilah yang digunakan pengarang ini sangat asing, Oh, Renan, Oh, Yaman, bukan istilah dari Jawa melainkan berasal dari Kota yang bernama Kei di Minahasa. Kata-kata tersebut mempunyai arti Oh, Ibu, Oh, Bapak. Potret masyarakat Minahasa dalam cerkak digambarkan dari sudut sosial dan budaya suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa unsur, misalnya unsur ras, akan dapat menimbulkan konflik sentimen, sehingga akan mempengaruhi suatu tata kehidupan bermasyarakat. Bahwa masyarakat Minahasa sejak dulu merupakan campuran dari berbagai pendatang yang berasal dari daerah sekitarnya. Seperti halnya kasta di Langgur yang menjadi kasta-kasta yang berbeda di sana tidak dapat menikah. Namun setelah agama Katholik masuk ke Langgur hal tersebut dapat dicegah, karena menurut agama Khatolik manusia tidak dibeda-bedakan karena suatu ras. Nama-nama tokoh juga terinspirasi dari nama-nama orang Minahasa seperti Albert dan Rebeka. Setting tempat juga berada di Kei Langgur tempat pengarang hidup di Minahasa.
commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Ing Citarum Mecaki Urip Pengalaman pribadi pengarang Ariesta kembali dituangkan dalam cerkak ini. Nama-nama tokoh adalah nama yang sebenarnya, nama Ibu Mari adalah anama istrinya sendiri yaitu Dyah Maringin, nama tokoh Pak Wid adalah nama asli pengarang yaitu Agustinus Moelyono Widyatama, dan nama-nama seperti Pak Marjo dan Bu Marjo merupakan nama asli sahabat dari pengarang yang mempunyai cerita sama dengan cerita, serta nama Pak Ngationo juga merupakan nama asli dari sahabat pengarang Ariesta Widya. Cerita yang dituangkan merupakan kisah nyata yang dihadapi pengarang dan sahabat-sahabatnya. Pengarang memiliki ideologi dari kisah realita hidupnya sendiri dan melihat masyarakat sekitar . C. Pandangan Dunia Pengarang Karya sastra sebagai struktur bermakna itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya (Goldmann: 1981). Goldmann mengembangkan konsep tentang pandangan dunia (vision du monde, world vision) yang terwujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang besar. Yang dimaksud dengan pandangan dunia pengarang ialah suatu struktur global yang bermakna. Suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitannya dan keutuhannya. Pandangan dunia ini, tidaklah sama dengan ideologi, bukan juga merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi esensinya merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan
commit to user
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial di hadapan kelompok sosial yang lain. Pendeknya: pandangan dunia itu merupakan abstraksi yang akan konkret dalam karya sastra dan filsafat. Pengarang Ariesta Widya mengalami kejadian yang sebenarnya, sehingga pengarang dapat menulis cerkak ini dengan pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitannya dan keutuhannya. Makna, kerumitan, dan keutuhan tersebutlah yang menjadikan pengarang mendapatkan gagasan dan aspirasi yang menyatukan suatu kelompok sosial di hadapan kelompok sosial lainnya. 1. Wengi Saya Larut Cerita cerkak ini berasal dari pengalaman hidupnya, sehingga pandangan pengarang tentang cerkak ini sesuai dengan keadaan hidupnya di Semarang. Pengarang menceritakan pahitnya hidupnya dan keluarganya setelah ditinggal mati ibunya. Setelah kesedihan ditinggal ibunya, terjadi konflik baru dengan anaknya karena persoalan sunatan. Keadaan ayahnya pada saat itu digambarakan dalam cerkak ini. Berikut kutipannya: “Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anakanake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA hal 53).
commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: ”Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya” (ACMA hal 53). Pengarang membuat tokoh Tedi untuk menggambarkan dirinya, sebagai anak yang menjadi konflik setelah ibunya meninggal. Sebelum ibunya meninggal beliau mempunyai keinginan untuk merayakan acara sunatannya. Tedi merupakan anak yang patuh kepada orangtua, terbukti dengan kutipan berikut: “Wis begjamu. Oh, Ted. Ning kowe rak mesakake bapak, ta?” pangrintihe. Nanging bocahe panggah kethap-kethip. “Kowe kepengen sekolah, ta? O, ya, tinimbang dhuwit sing samono dinggo rame-rame muspro luwih becik dicelengi.” Kabeh dadi amem. Ora ana sing gelem miwiti omong. Apa maneh anak-anake sing cilik mung mentheleng ora ngerti playunging rembug. “Kowe mesakake Bapak, ya? Yen mesakake Bapak kudune ora perlu ramerame.” “Tedi manthuk. Sepisan maneh anake dikekep-kekep. Bali luhe ambrol...”(ACMA hal 55) Terjemahan: “Sudah rejekimu. Oh, Ted. Namun kamu kasihan sama bapak kan?” rintihannya. Namun anaknya hanya berkedip. “Kamu ingin sekolah kan? O, ya, daripada uangnya untuk ramai-ramai tidak ada gunanya lebih baik ditabung.” “Semuanya jadi diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Apalagi anakanaknya yang masih kecil hanya melotot tidak tahu lari pembicaraannya kemana. “Kamu mengasihani bapak kan? Jika kasihan sama bapak seharusnya tidak perlu ramai-ramai. “Tedi menggangguk. Satu kali lagi anaknya dipeluk erat-erat. Kemudian air matanya tumpah...”.(ACMA hal 55). Cerita yang diangkat pengarang ini, sesuai dengan keadaan dirinya dan ayahnya yang sabar, iklas, dan pasrah ditinggal mati oleh ibunya. Selain itu, untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
129 digilib.uns.ac.id
mengobati rasa rindu kepada alamarhum ibunya, pengarang menciptakan tokoh ibu, penggambaran tokoh ibu ini sesuai dengan sifat ibu pengarang sesungguhnya. Kutipan: “Ora. Aku pengen mlaku-mlaku wong loro.” Swarane ngambang. Sing lanang mesem. Esem jero sing angel tanggohane. Banjur kelingan jaman pacaran. Alemane ngudubilah. Yen wis mlaku-mlaku betahe ora jamak. Banjur ndheprok pinggir dalan cedak makam pahlawan, warung kacang ijo. Suwene anggone lungguh karo anggone mangan kacang ijo ora sumbut” (ACMA hal 52). Terjemahan: “Tidak. Saya ingin jalan-jalan berdua”. Suaranya mengambang. Suaminya tersenyum. Senyum yang dalam yang sulit ditemukan. Kemudian ingat saat pacaran. Manjanya. Kalau sudah jalan-jalan sangat betah. Kemudian duduk dipinggir jalan dekat makam pahlawan warung kacang hijau. Lebih lama mereka duduk daripada mereka makan kacang hijau” (ACMA hal 52). Pengarang mempunyai cita-cita yang agung dalam menciptakan karya sastranya, selain berbagi kisah hidup dengan pembaca, pengarang menginginkan pembaca dapat memetik amanat yang baik dalam membaca karyanya dalam hal ini adalah sabar, iklas, dan pasrah yang dijadikan pengarang Ariesta Widya sebagai ideologinya menciptakan karya-karyanya. 2. Bandha Gaduhan Pandangan dunia pengarang tentang cerkak ini, merupakan kedaan masyarakat Minahasa yang semuanya beragama Katholik. Mempunyai cerita yang hampir sama dengan cerkak Cathetan Desember, dalam cerkak ini pengarang memasukkan unsur Jawa. Pengarang memandang nama Wilis merupakan nama Jawa yang mempunyai filosfi yang bagus. Mempunyai arti hijau tua, pengarang mendeskripsikan Wilis seperti pohon yang tumbuh dengan baik memiliki daun yang banyak dan berwarna hijau tua, selain itu melihat warna daun tersebut dapat commit to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menentramkan hati, pohon yang mempunyai daun yang rindang berfungsi untuk berteduh dari panasnya matahari dan menyejukkan yang kepanasan. Sesuai filosofi yang dibuat pengarang dengan nama tokoh yang bernama Wilis, tokoh Wilis memiliki watak yang sesuai dengan hal tersebuat yaitu anak yang cerdas, cerdas dalam banyak hal yang membuat orangtua dan orang disekelilingnya merasakan bahagia dan menilai berharganya anak yang bernama Wilis tersebut. Semua keistimewaan tokoh Wilis digambarkan dengan kutipan berikut: “Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen, genti driji panuduh lan panunggul. “Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh. “Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria, bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58). Terjemahan: “Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang gembira mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua tangan seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya. “Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi. “Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti Yesus” (ACMA hal 58). Pengarang menggambarkan tokoh Wilis anak yang cerdas, perkatannya yang lembut dan sangat menyentuh hati. Umurnya masih kecil tapi pengetahuan dan rasa cintanya kepada agamanya membuat Wilis sangat mengidolakan Bapak Yusup, Ibu Maria, dan Gusti Yesus. Bahkan, di saat dia sakit dia selalu menguatkan dirinya dengan mengingat kisah Ibu Maria dan Tuhan Yesus. Kutipannya sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
“Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.” “Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61) Terjemahan: “Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air matanya tidak bisa ditahan”. “Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61). Pandangan pengarang melihat keadaan orang-orang Katholik yang taat dan sangat aktif di gereja, mengalami banyak tragedi seperti kehilangan anak membuat pengarang mendapatkan inspirasi seperti cerita cerkak ini. Pengarang membuat tokoh Ibu dengan maksud untuk memberikan gambaran bagaimana menjalani kehidupan yang baik sesuai ajaran agamanya yaitu Katholik. Dalam menghadapi hidup ini haruslah bersikap sabar, iklas ,dan pasrah kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut: “Kaya Ibu Maria wae.” Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62). Terjemahan: “Seperti Ibu Maria saja.” Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa. Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62). commit to user
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengarang memiliki pandangan hidup, bahwa sesungguhnya Tuhan merencanakan hal lain yang lebih baik, meski tidak sesuai dengan keinginan kita. 3. Cathetan Desember Pengarang Ariesta Widya setelah lulus SPG, rasa pengabdiannya pada masyarakat semakin tebal. Ariesta Widya memutuskan berangkat ke gugusan pulau-pulau Kei Manado tepatnya di Langgur, inilah awal kehidupannya sebagai guru di SMP pada yayasan Katholik. Hidup bertahun-tahun di Manado Ariesta mengamati
dan
memahami
kehidupan
masyarakat
Manado.
Kehidupan
dilingkunga gereja Langgur, banyak sekali tragedi kehidupan seperti halnya yang diceritakan pada cerkak ini. Orang-orang Katholik yang taat di Langgur kebanyakan dari mereka mengalami tragedi yaitu kehilangan seorang anak dikarenakan sakit. Pengarang mengisahkan cerita ini mewakili kelas sosial di Langgur Manado. Di dalam cerkak Cathetan Desember menggambarkan keadaan masyarakat Manado melalui tokoh Lusia Renwarin, Aldo, adik Lusia, dan suami Lusia. Problematika penting yang dijelaskan dalam cerkak ini yaitu mengenai tragedi kehidupan dimana tokoh-tokoh digambarkan sebagai orang yang sabar, iklas, dan pasrah. Pengarang menciptakan tokoh Lusia Renwarin sebagai tokoh Katholik yang taat dilihat dari tanggungjawabnya sebagai anggota koor gereja di Langgur. Pandangan dunia pengarang melalui tokoh Lusia Renwarin mengandung amanat yaitu sabar, iklas, dan pasrah terhadap tragedi kehidupannya. Seperti hari itu Lusia pulang sore karena latihan koor dan menitipkan anakanya kepada adiknya.
commit to user
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyan sing dipasrahake wis rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh ubarampe ditata....” (ACMA hal 90). Terjemahan: “Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang dikerjakannya sudah selesai. Kemudian pikirannya teringat kalau harus mencari Aldo. Semua peralatan ditata....” (ACMA hal 90). Rasa tanggungjawab Lusia Renwarin membuatnya berlatih sampai sore hingga menimbulkan problematika. Anaknya Aldo sakit, cepat-cepat dia membawa anaknya ke poliklinik untuk mendapatkan pertolongan. Kutipan: “Ana rasa bingung sing teka dadakan. Sakala nyandhak lendhang. Aldo disaut. Ing batin mung kepengin enggal tekan poloklinik. Karo suster kepala poloklinik iku tepung becik....” (ACMA hal 91). Terjemahan: “Ada perasaan bingung datang tiba-tiba. Tanpa pikir panjang mengambil selendang. Aldo digendong. Di dalam hati hanya ingin segera sampai poloklinik. Dia kenal baik dengan suster....” (ACMA hal 91). Aldo anaknya meninggal setelah dibawa ke poliklinik. Kematian anaknya, Lusia mengalami kesedihan mendalam, namun pengarang membuatnya menjadi tokoh yang iklas dan pasrah kepada Tuhan dengan perkataan suaminya sebagai berikut.
commit to user
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan: “Krungu tembunge sing lanang lambene blangkeman. Tembung iku nunjem atine. Banjur pupus. Lelakon sing mungkur setaun iku dicoba dikipatake” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Mendengar perkataan suaminya mulutnya terdiam. Perkataan yang mengena hati. Kemudian selesai. Mencoba melupakan kejadian yang sudah terjadi satu tahun yang lalu” (ACMA hal 92). Cerkak ini menggambarkan manusia yang sabar, iklas, dan pasrah dalam menghadapi tragedi kehidupan. Sesuai dengan hal tersebut, pengarang menceritakan keadaan masyarakat ketika kehilangan seorang anak dengan menciptakan tokoh suami Lusia Renwarin. Suami Lusia digambarkan sebagai seorang Katholik yang taat dengan memasrahkan semua tragedi dalam hidupnya kepada Tuhan. Kutipan: “Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih. Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.” “Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?” “Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92). Terjemahan: “Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih. Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.” “Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?” “Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92).
commit to user
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Ganda Samboja Cerkak ini merupakan pengalaman yang dialami pengarang Ariesta Widya sendiri. Setelah ditinggal mati ibu kandungnya, ayahnya menikah dengan perempuan yang sekarang menjadi ibu tirinya. Dirinya yang masih kecil terpengaruhi oleh omongan orang tentang kejamnya ibu tiri. Hal tersebut yang membuat pengarang berpikir bahwa ibu tirinya adalah ibu yang kejam. Dengan susah payah pengarang pergi menjauh dari ibu tirinya dengan pergi ke Langgur Manado. Namun, semua yang dipikirkan oleh pengarang merupakan kesalahan besar. Ibu tiri yang dianggapnya ibu yang kejam merupakan ibu yang sangat baik terhadap anak-anaknya. Meski ayah kandungnya meninggal, ibu tirinya tetap bersikap baik dan menyayangi anak-anaknya. Pengarang menciptakan tokoh ibu dengan maksud menggambarkan ibu tirinya yang baik, hal ini di gambarakan pada kutipan berikut: “Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih. Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa gothang...” (ACMA hal 95) Terjemahan: “Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu seperti kosong....” (ACMA hal 95). Kutipan tersebut merupakan curahan hati pengarang setelah ditinggal mati ibu tirinya. Bahkan setelah ayah kandung pengarang meninggal, pengarang menggambarkan kasih sayang kepadanya dan adik-adiknya dengan kutipan berikut:
commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Sanadyan bapakmu wis ora ana aja banjur ngowah-owahi. Omah iki ya omahe bapakmu. Kebon mburi sekolahan kae. Apamaneh tegalan sing rambutan lan durene sing nyenengake. Kabeh kuwi darbekmu. Aku wis nglenggana.” “Akh, Ibu, ra sah ngendika ngono,” adhine sing dadi Kepala Sekolah ngrangkul karo prembik-prembik. “Tilikana aku. Ra sah kokoleh-olehi. Oleh-olehana katresnan sing salawase iki tinalenan. Aja nganti rantas” (ACMA hal 95). Terjemahan: “Walaupun bapakmu sudah tidak ada jangan diganti-ganti. Rumah ini rumahnya bapakmu. Kebun belakang sekolah itu. Apalagi ladang yang rambutan dan durennya menyenangkan. Semua itu milikmu. Saya sudah jujur.” “Akh, Ibu, jangan berbicara seperti itu,” adiknya yang menjadi Kepala Sekolah memeluk dengan mata berkaca-kaca. “Jenguklah saya. Tidak perlu kalian membawakan oleh-oleh. Bawalah kasih sayang yang kekal ini terjalin. Jangan sampai putus” (ACMA hal 95). Ariesta Widya menceritakan dirinya lewat tokoh yang dibuatnya, beliau sangat sedih dengan kematian ibu tirinya. Beliau menggambarkan keadaannya setelah tragedi kematian ibunya dengan percakapannya dengan temannya, kutipannya sebagai berikut: “Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryati sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ono tegese. Tembung-tembung mlebu prungone. Cetha. Cetha banget”(ACMA hal 90). Terjemahan: “Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua. Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang menusuk hati. Jelas. Jelas sekali” (ACMA hal 90).
commit to user
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sesuai dengan kejadian sebenarnya, setelah mangalami tragedi dalam hidupnya pengarang memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Amanat yang ingin disampaikan pengarang supaya sabar, iklas, dan pasrah digambarakan dengan kutipan berikut: “Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah. Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki. Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98). Terjemahan: “Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga. Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98). Seorang Katholik yang taat beliau ingin menyampaikan bagaimana menjadi orang Katholik yang taat yang sabar, iklas, dan pasrah menghadapi tragedi dalam hidup dengan cerkak ini. 5. Oh Renan, Oh Yaman Potret masyarakat Minahasa dalam cerkak ini digambarkan dari sudut sosial dan budaya suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa unsur, seperti unsur ras, akan dapat menimbulkan konflik sentimen, sehingga akan mempengaruhi suatu tata kehidupan bermasyarakat. Bahwa masyarakat Minahasa sejak dulu merupakan campuran dari berbagai pendatang yang berasal dari daerah sekitarnya. Orang-orang yang berbeda ras tidak bisa menikah kecuali membuang derajat rasnya ke yang lebih rendah.
commit to user
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengarang menulis cerkak ini menggunakan istilah Minahasa yaitu di Kei Langgur. Oh Renan, Oh Yaman mempunyai arti Oh Ibu, Oh Ayah. Penggunaan istilah ini dipengaruhi oleh bahasa Minahasa. Problematika Minahasa yang dipengaruhi oleh ras tidak sesuai dengan ajaran Katholik yang tidak pernah membeda-bedakan umatnya dengan adanya ras. Pengarang membuat tokoh Albert, Rebeka, ayah, dan ibu untuk manggambarakan perubahan masyarakat Minahasa setalah agama Katholik masuk. Keadaan masyarakat Minahasa digambarkan melalui tokoh ayah, masyarakat Minahasa dibedakan melalui ras-rasa seperti kasta di Bali, sehingga jika dua manusia memiliki ras yang berbeda tidak dapat menjalin pernikahan. Kutipannya sebagai berikut: “Albert, Albert anakku. Aku sing luput. Aku sing luput. Saupama aku ora lair saka trah sing diingggati ing pasrawungan yaiku mbedak-mbedakake, mesthine sing kokrasakake iku ora bakal dadi pepalang. Ora kalebu trah sing dianggep asor, trah in-reri” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Albert, Albert anak saya. Saya yang salah. Saya yang salah. Jika saya tidak lahir dari ras yang dihindari dalam masyarakat yaitu membeda-bedakan, harusnya yang kamu rasakan sekarang tidak akan menjadi penghalang. Tidak termasuk yang dianggap rendah, ras in-reri” (ACMA hal 130). Melihat keadaan masyarakat Minahasa yang seperti itu pengarang membuat tokoh bernama Albert yang menggambil keputusan untuk menentang perbedaan
ras
tersebut.
Meski
menimbulkan
mempercayakan semuanya kepada Tuhan. commit to user
masalah
besar
tapi
dia
perpustakaan.uns.ac.id
139 digilib.uns.ac.id
Kutipan: “Renan lan Yaman. Anggonku wiwit nginggati rak merga Beka banget kaiket dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi Pangandikane Gusti.” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.” (ACMA hal 130). Tokoh ayah menyetujui keputusan anaknya untuk menentang perbedaan garis keturunan tersebut sesuai dengan ajaran agamanya Katholik. Kutipannya sebagai berikut: “Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130). Terjemahan: “Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130). Pandangan dunia pengarang, tentang keadaan masyarakat yang membuang masyarakatnya yang menikah dengan garis keturunan yang lebih rendah, digambarkan melalui tokoh Rebeka. Rebeka merupakan seorang gadis yang mempunyai keberanian untuk melangkah ke pelaminan meski tidak mendapatkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
140 digilib.uns.ac.id
restu orang tuanya. Dia juga merupakan orang yang percaya akan takdir dari Tuhan sehingga dia mengambil keputusan terberatnya yaitu meninggalkan keluarga dan rasnya. Kutipan: “Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.” “Tenan, tenan kuwi?” Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131). Terjemahan: “Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.” “Benar, benar itu?” Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA hal 131). Keputusan Albert, Rebeka, Renan, dan Yaman, membuat Albert dan Rebeka menikah. Meski harus meningglkan tempat tinggal mereka dan pergi jauh dari pemukiman agar tidak menimbulkan konflik baru, mereka hidup bahagia dengan memasrahkan hidupnya kepada Tuhan.Mereka yakin cinta yang dibangun dengan hati dan tujuan yang baik diberikan jalan yang terbaik dari Tuhan. Berikut kutipannya: “Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan. Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131). commit to user
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain, untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131). 6. Ing Citarum Mecaki Urip Pengarang mengalami kejadian sebenarnya yaitu sakit dari tahun 2010sekarang. Sakit yang diderita pengarang adalah ginjal, oleh karena itu beliau harus cuci darah setiap hari Senin dan Kamis. Citarum merupakan tempat pengarang melakukan cek up dan cuci darah. Pengarang membuat nama tokoh sesuai nama sebenarnya, seperti Pak Wid berasal dari namanya sendiri Widyatama, Ibu Mari berasala dari nama istrinya Dyah Maringin, serta nama Pak Ngationo, Pak Marjo dan Bu Marjo. Biasanya pengarang melakukan cek up di Rumah Sakit Citarum diantar istrinya Bu Mari. Sore itu sebelum berangkat ke rumah sakit Citarum, istrinya bedoa: “Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal 166). Terjemahan: “Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan
commit to user
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA hal 166). Pengarang menceritakan keadaan sebenarnya tentang penyakit ginjalnya, dengan membuat tokoh sopir taksi dan bercakap-cakap dengannya: Kutipan: “Gerah punapa, ta, Bu?” “Sakit ginjel criyose dhokter.” “Kraose kados pundi, Pak?” “Pripun nggih? Mpun pokoke mboten sekeca.” Aku nugel rembug. “Criyose dhokter niku ginjel sampun risak. Lha, risake mboten ngerti. Sedaya niku awit margi tetedhan makanan” (ACMA hal 167). Terjemahan: “Sakit apa, Bu?” “Kata dokter sakit ginjal.” “Rasanya seperti apa, Pak?” “Bagaimana ya? Pokoknya tidak enak.” Saya memotong pembicaraan. “Kata dokter ginjalnya sudah rusak. Lha, rusaknya tidak tahu. Semua berawal karena makanan” (ACMA hal 167). Pengarang menunjukkan pandangannya mengenai keadaan hidup manusia yang pasrah. Pandangan pengarang pasrah merupakan harga mahal, harga mati. Pengarang mengangkat cerita dirinya sendiri agar orang lain dapat memetik ajaran dalam cerkak ini. Penggambaran ini selain bercerita tentang hidup pribadi pengarang, terdapat pula cerita dari teman pengarang sendiri. Pak Ngationo yang mempunyai hobi bermain bola, tiba-tiba masuk rumah sakit. Berikut kutipannya: “Piye bal-balane, Pak?” Iku hobine Pak Ngationo bal-balan. Anggone mlebu Citarum iya lagi mecaki bal-balan, “Wuah, aku ora ngira. Ya kuwi kaya biasane melu bal-balan. Dadakan awakku lemes. Mula bablas digawe mrene. Bareng dipriksa jebul kena DB isih ketambah tipes barang. Lha, iya njur klekaran kaya saiki iki”(ACMA hal 169).
commit to user
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Bagaimana main bolanya, Pak?” Itu hobi Pak Ngationo bermain bola. Alasan masuk Citarum adalah bermain bola. “Wuah, saya tidak mengira. Ya itu seperti biasanya ikut bermain bola. Tibatiba badan saya lemas. Maka langsung dibawa kesini. Setelah diperiksa ternyata sakit DB dan masih ditambah sakit tipes. Lha, iya langsung rebahan seperti sekarang” (ACMA hal 169). Pandangan pengarang mengenai problematika hidup digambarakan dengan tokoh Ibu Mari, meski beliau mendapatkan cobaan yang besar dengan sakitnya Pak Wid, tokoh Ibu Mari masih merasa bersyukur dengan hidup yang dijalaninya. Kutipan: “Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti. Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170) Terjemahan: “Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170). Seperti yang dijelaskan oleh pengarang tentang pasrah merupakan harga yang mahal, harga mati. Tokoh-tokoh yang ada merupakan penjelasan tentang keadaan dirinya, dan orang disekelilingnya. Selain itu, pengarang yang beragama Katholik yang taat selain menggambarkan tentang religiusitasnya, juga menggambarkan tentang ajaran orang Jawa.
commit to user