BAB II PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT DI KOTA LHOKSEUMAWE
A. Hukum Jaminan Pada Umumnya 1. Pengertian Hukum Jaminan Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten.61 Dalam Keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan, bahwa istilah “hukum jaminan” itu meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun perorangan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, pengertian hukum jaminan yang diberikan didasarkan kepada pembagian jenis lembaga hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan pengertian hukum jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah hukum jaminan itu yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Tidak banyak literatur yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut Salim HS, hukum jaminan itu adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
61
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.62 Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, sebagaimana yang dikutip oleh Salim HS, mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah: “Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarenagi dengan adanya lembaga kredit dengan jumalh, besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah.”63 Pengertian lain dari hukum jaminan diberikan oleh Rachmadi Usman yang menyatakan bahwa hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur) sebagai akibat pembebanan suatu utang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu). Dalam hukum jaminan tidak hanya mengatur perlindungan hukum terhadap kreditur sebagai pihak pemberi utang saja, melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai pihak penerima utang.64 Dari pengertian hukum jaminan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hubungan antara pemberi jaminan dan peneriman jaminan guna menjamin suatu hutang atau fasilitas kredit tertentu dengan jaminan benda atau perorangan.
62
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 6 63 Ibid, hal 5-6 64 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 1-2
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian dari hukum jaminan tersebut di atas, terdapat beberapa unsur perumusan hukum jaminan, yaitu: (1) adanya ketentuan hukum (2) adanya pemberi dan penerima jaminan (3) adanya benda atau orang yang dijadikan jaminan (4) adanya hutang atau fasilitas kredit yang dijamin.
2. Asas-asas Hukum Jaminan Menurut Salim HS, berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, ada 5 asas penting dalam hukum jaminan, yaitu: (1) Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar; (2) Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atas atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu; (3) Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. (4) Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai; (5) Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi hak tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.65
65
Salim HS, Op.Cit, hal 9-10
Universitas Sumatera Utara
3. Pengaturan Hukum Jaminan Hukum jaminan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dnegan jaminan, dapat ditemukan dalam: (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK). (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Selain itu terdapat beberapa perundang-undangan yang tidak mengatur secara khusus mengenai lemabaga jaminan, namun ketentuan dalam pasal-pasalnya berkaitan dengan lembaga jaminan, yaitu diantaranya: (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Palayaran.
Universitas Sumatera Utara
B. Jaminan Atas Tanah Sebelum UU No. 4 Tahun 1996 Sebelum lahirnya Undang-Undangn Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, jaminan atas tanah diatur dalam Buku Kedua Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata tentang Hipotik dan dalam Staatsblad Tahun 1908 nomor 542 tentang ketentuan Creditverband. Dalam pasal 1162 KUH Perdata dirumuskan pengertian dari hipotik yang berbunyi: Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dari bunyi pasal 1162 KUH Perdata tersebut dapat diketahui bahwa hak hipotik itu merupakan hak jaminan kebendaan atas benda-benda tidak bergerak. Selanjutnya pasal-pasal KUH Perdata memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian hipotik. Dalam pasal 1167 KUH Perdata disebutkan benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotik. Selanjutnya dalam pasal 1168 KUH Perdata ditentukan bahwa hipotik tidak dapat diletakkan selainnya oleh siapa yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani. Pasal 1171 ayat (1) menyatakan hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang. Lebih lanjut dalam pasal 1175 ayat (1) KUH Perdata disebutkan hipotik hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotik atas benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari adalah batal. Dalam pasal 1176 ayat (1) KUH Perdata kemudian dinyatakan suatu hipotik hanyalah sah,
Universitas Sumatera Utara
sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan adalah tentu dan ditetapkan di dalam akta. Berdasarkan perumusan pengertian hipotik dari beberapa pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hipotik adalah hak kebendaan atas benda tidak bergerak (benda tetap), untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya.
C. Hak Tanggungan Atas Tanah Menurut UU No. 4 Tahun 1996 a. Pengertian Hak Tanggungan Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah berserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah maka ketentuan dalam Buku Kedua Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata tentang Hipotik atas tanah dan dalam Staatsblad Tahun 1908 nomor 542 tentang ketentuan Creditverband dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tersebut, disebutkan bahwa:66 Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertendu terhadap kreditur-kreditur lain. Ada bebebara unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut, yaitu: 66
Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
(1)
Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
(2)
Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
(3)
Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
(4)
Hutang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
(5)
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dibandingkan dengan definisi Hak Tanggungan tersebut dengan definisi
hypotheek dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUH Perdata, bahwa “hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dalam definisi Hipotik tersebut di atas, disebutkan unsur-unsur Hipotik sebagai berikut: (1) Hipotik adalah suatu hak kebendaan. (2) Objek hipotik adalah benda-benda tak bergerak. (3) Untuk pelunasan suatu perikatan. Membandingkan antara definisi Hak Tanggungan dengan defines hipotik, ternyata pembuat Undang-Undang Hak Tanggungan lebih baik dalam membuat rumusan definisi Hak Tanggungan dari pada pembuat undang-undang KUH Perdata
Universitas Sumatera Utara
dalam membuat rumusan definisi hipotik, sebagaimana dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini berikut ini:67 Dalam rumusan definisi Hipotik banyak unsur-unsur dan hipotik yang belum dimasukkan, sehingga definisi tersebut masih sangat jauh untuk dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hipotik. Sekalipun rumusan definisi Hak Tanggungan lebih baik dari pada rumusan definisi Hipotik dalam KUH Perdata, tetapi belum semua unsur-unsur yang berkaitan dengan hak tanggungan telah dimasukkan dalam rumusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi Hak Tanggungan itu belum dimasukkan bahwa Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan. Sebagaimana diketahui, KUH Perdata Indonesia diambil dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang lama. BW Belanda yang lama pada saat ini telah diganti dengan BW Belanda yang baru, Nieuw Nederlands Burgelijk Wetboek (NNBW), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1992. Dalam NNBW, hak jaminan untuk pelunasan hutang juga disebut Hypotheek seperti BW yang lama disamping Pand. Definisi dari Hypotheek di dalam NNBW dirumuskan dalam Art. 227 (3.9.1.1) bersama-sama dengan Pand. Definisi Hypotheek dalam Art, 227 (3.9.1.1) NNBW adalah:68 Hak Pand dan hak hypotheek adalah hak-hak yang terbatas (beperkte rechten) yang dimaksudkan untuk dalam memperoleh pembayaran dari penjualan benda-benda dengan didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Apabila hak itu dibebankan di atas benda-benda yang terdaftar, hak itu adalah hypotheek, sedangkan apabila hak itu dibebankan atas benda-benda lain, hak itu adalah pand.
67
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Maasalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 1999., hal 12-13 68 Ibid, hal.13
Universitas Sumatera Utara
Setelah membaca definisi hypotheek dalam NNBW tersebut, ternyata rumusan definisi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan masih lebih baik dari pada NNBW.
b. Objek Hak Tanggungan Untuk dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, suatu benda haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:69 1. Dapat dinilai dengan uang atau bernilai ekonomis. Karena utang yang dijamin berupa uang, maka benda yang menjamin pelunasan utang tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang. 2. Mempunyai sifat dipindah tangankan Sifat ini harus melekat pada benda yang dijadikan agunan atau jaminan karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan tersebut akan dijual untuk pelunasan utang. 3. Benda mempunyai alas hak yang wajib didaftar, menurut ketentuan tentang pendaftaran tanah untuk memenuhi syarat publisitas. 4. Menunjukkan benda yang dapat dijamin tersebut, haruslah dengan penunjukan khusus dengan undang-undang. Dalam Undang-undang Pokok Agraria yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Oleh karena itu dalam pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria yang harus diatur dengan Undang-Undang
69
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, Djambatan, Jakarta,1997, hal., 386.
Universitas Sumatera Utara
adalah Hak Tanggungan atas Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan.70 Di dalam praktik perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai seringkali pula oleh bank dan lembaga-lembaga pembiayaan dijadikan agunan kredit. Bank dan lembaga-lembaga pembiayaan mendasarkan kepada kenyataan bahwa Hak Pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) dan dapat dipindah tangankan. Namun, mengingat di dalam UUPA, Hak Pakai tidak disebutkan sebagai hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan, bank tidak dapat menguasai tanah Hak Pakai itu sebagai agunan dengan membebankan Hipotik atau Credietverband. Cara yang ditempuh oleh bank-bank adalah dengan melakukan pengikatan F.E.O (fiducia) dan/atau dengan meminta surat kuasa menjual dari pemiliknya.71 Kebutuhan praktik menghendaki agar supaya Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hak Tanggungan. Kebutuhan itu ternyata telah diakomodir oleh UndangUndang Hak Tanggungan. Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.72 Menurut Sutan Remy Sjahdeini: Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara saja, tetapi juga dari tanah orang lain, dengan membuat perjanjian antara pemilik 70
Penjelasan umum angka 5 alenia pertama UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal 57-58 72 Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 71
Universitas Sumatera Utara
tanah dengan pemegang Hak Pakai yang bersangkutan. Sedangkan kedua jenis Hak Pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya yang menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Karena itu, wajar bila hak pakai atas tanah Hak Milik dapat pula dibebani dengan Hak Tanggungan seperti halnya Hak Pakai atas tanah negara. Namun sudah barang tentu bahwa pelaksanaan hak tanggungan atas tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik itu baru dapat dilakukan apabila telah dikeluarkan ketentuan bahwa Hak Pakai atas tanah Hak Milik diwajibkan untuk didaftarkan.73 Mengenai kebutuhan masyarakat agar Hak Pakai dimungkinkan menjadi agunan, yang dalam UUPA tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan kebutuhan tersebut akhirnya ditampung dengan menetapkan Hak Pakai juga sebagai objek Hak Tanggungan, sebagaimana pada Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai berikut:74 “….Hak Pakai dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara. Sebagian dari Hak Pakai yang didaftar itu, menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan, yaitu yang diberikan kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata. Dalam undang-undang nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak Pakai yang dimaksudkan itu dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fiducia. …Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan objek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian Undang-Undang Pokok Agraria dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. Selain mewujudkan unificasi Hukum Tanah Nasional, yang tidak kurang pentingnya adalah, bahwa dengan ditunjuknya Hak Pakai tersebut sebagai objek Hak Tanggungan, bagi para pemegang haknya yang sebagian besar terdiri atas golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangungan, menjadi terbuka
73 74
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal 58-59. Penjelasan Umum angka 5 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
kemungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan dikemukakan, bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, karena sifatnya tidak dapat dipindah-tangankan bukan merupakan objek Hak Tanggungan. Hak Pakai yang demikian contohnya adalah Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan Sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara Asing. Mengenai ditunjuknya Hak Pakai atas tanah Negara sebagai objek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, Mariam Darus Badrulzaman telah mengemukakan ketidak setujuannya dengan mengemukakan sebagai berikut:75 1. Menurut UUPA, hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain (Pasal 41). Untuk tanah Hak Pakai atas Tanah milik Negara, untuk setiap peralihannya diperlukan izin dari Pejabat Negara (Pasal 43). Hak Pakai semula tidak termasuk Hak atas Tanah yang terdaftar. Berarti Hak Pakai itu bersifat pribadi yang melekat pada orangnya (right personam) dan tidak bendanya (righ in rem). Pada tahun 1966 (Permen Agraria No. 1) ditentukan bahwa Hak pakai Atas tanah Negara harus didaftarkan. Pendaftaran ini membawa akibat hak pakai dapat dialihkan. Namun, ada satu syarat yang menunjukkan bahwa hak pakai itu tidak dapat melepaskan diri dari”sifat pribadi”, yaitu untuk peralihannya diperlukan izin (Pasal 43 UUPA jo Permen Agraria No. 1 Tahun 1966 Pasal 2). Merupakan pertanyaan disini dengan adanya pendaftaran Hak Pakai atas Tanah Negara ini, seyogianya izin itu tidak 75
Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan” yang diseleggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung dan dalam Seminar Nasional Sehari “Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan”yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan.
Universitas Sumatera Utara
lagi diperlukan, karena hak pakai itu sudah bersifat hak kebendaan. Jika izin masih diperlukan, berarti sifat hak pakai yang didaftarkan itu mengambang, dualitis, mengikat pribadi dan juga bendanya. Disini tidak ada kepastian hukum yang merupakan asas dalam hukum jaminan. 2. Dalam hak debitur ingkar janji, merupakan pertanyaan karena itu apakah untuk eksekusi tersebut diperlukan izin dari pejabat negara. Berhubung dengan pendapat tersebut, maka seyogianya segera dikeluarkan ketentuan perundang-undangan yang mengubah ketentuan Pasal 43 UUPA yang menentukan bahwa untuk setiap peralihan tanah Hak Pakai di atas tanah negara diperlukan izin dari pejabat negara. Apabila ketentuan itu belum diubah, unsur bagi terpenuhinya syarat untuk dapat menjadikan Hak Pakai atas tanah Negara sebagai objek Hak Tanggungan, tidak terpenuhi. Belum diubahnya ketentuan Pasal 43 UUPA itu akan menimbulkan ketidakpastian bagi eksekusi Hak Tanggungan yang dibebankan atas Hak Pakai atas tanah Negara. Tidak ada jaminan hukum bahwa pejabat negara yang dimaksudkan dalam Pasal 43 UUPA itu, akan memberikan izin yang diperlukan untuk peralihan Hak Pakai atas tanah Negara itu sebagai syarat dapat dilaksanakannya eksekusi Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan. Tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Selain yang tersebut di atas, hak milik bekas hak milik adat yang belum terdaftar dapat juga dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan. Hal ini dapat dilihat
Universitas Sumatera Utara
dari ketentuan pasal 10 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan, yang menyatakan: apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam penjelasan pasal 10 ayat (3) tersebut disebutkan, yang dimaksudkan dengan hak lama tersebut adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan.76 Dengan ketentuan ini terbukalah kemungkinan bagi pemilik tanah itu untuk menggunakan tanahnya sebagai jaminan kredit sehingga merekapun dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh lembaga perkreditan yang ada. Dalam pada itu pendaftarannya akan diberikan prioritas penanganannya.77 Dari uraian di atas maka objek-objek Hak Tanggungan adalah: (a) Hak Milik. (b) Hak Guna Usaha. (c) Hak Guna Bangunan . 76 77
Penjelasan Pasal 10 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan A.P. Parlindungan, Op.Cit, hal. 166
Universitas Sumatera Utara
(d) Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. (e) Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).
c. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan Menurut ketentuan pasal 8 Undang-Undang hak Tanggungan, bahwa pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai untuk hak melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian, karena objek hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah Negara, sejalan dengan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Hak Tanggungan itu yang dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah Negara. Untuk pihak yang akan menerima Hak Tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menentukan, bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat (1) tersebut harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran hak Tanggungan dilakukan. Menurut ketentuan pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemegang hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dengan demikian, yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata
Universitas Sumatera Utara
untuk memberikan utang, yaitu baik itu perserorangan warga negara Indonesia maupun orang asing.78
d. Pendaftaran Hak Tanggungan Pendaftaran objek Hak Tanggungan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 13 UUHT dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah Kota/Kabupaten setempat. Tanpa pendaftaran, Hak Tanggungan tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika pencatatan Hak Tanggungan belum dilakukan dalam buku tanah hak tanggungan di Kantor Pendaftaran Tanah, menurut Pasal 13 ayat (5) UUPA maka Hak Tanggungan itu belum ada. Karena Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu asas Hak Tanggungan yaitu asas publiksitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Pemberian Hak Tanggungan
yang sudah dalam proses pemasangan akan
tetapi belum didaftarkan dianggap belum ada dan tidak dapat dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 224 HIR.79 Pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan akta pemberian Hak Tanggungan.
78 79
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal 79 Ibid., hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian, juga di dalam melakukan eksekusi Hak Tanggungan tata urutan pendaftaran Hak Tanggungan juga menentukan peringkat dari Hak Tanggungan itu. Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Hak Tanggungan, suatu objek Hak Tanggungan yang dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan maka peringkat dari masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Jadi Hak Tanggungan yang dibuat debitur terhadap beberapa orang kriditur, peringkatnya bukan dilihat dari tanggal pemberian Hak Tanggungan, tetapi dilihat dari urutan pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
e. Sertipikat Hak Tanggungan Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang sudah didaftarkan, oleh Kepala Kantor Pertanahan diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan yang bentuk dan isinya juga ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan. Di dalam Sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Irah-irah tersebut dimaksudkan agar Sertipikat Hak Tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Hal tersebut untuk memepertegas adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan
Universitas Sumatera Utara
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.
f. Hapusnya Hak Tanggungan Ada beberapa sebab yang menjadikan Hak Tanggungan hapus. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: 1. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan atau hapusnya perjanjian pokok. 2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan, yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan yang bersangkutan kepada pemberi Hak Tanggungan. 3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli tanah yang dijadikan jaminan dalam lelang. 4. Hapusnya hak tanah yang dibebani hak tanggungan. Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud di atas, maka harus dilakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya di Kantor Pertanahan (diroya). Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-
Universitas Sumatera Utara
sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.80 Selanjutnya proses yang harus dilakukan setelah pemberi Hak Tanggungan menerima pemberian pernyataan tertulis tersebut adalah pemberi hak tanggungan harus segera mengajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri Surat Pernyataan tertulis tersebut agar pernyataan tersebut dicatat pada buku tanah hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan bahwa hak tanggungan itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, hak tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi bagi pihak ketiga.81 Dalam pasal 19 Undang-Undang Hak Tanggungan diatur tata cara penghapusan Hak Tanggungan jika hasil penjualan objek Hak Tanggungan ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang yang dijamin. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa: Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga penjualan.
Tanpa diadakan
pembersihan, Hak Tanggungan tersebut akan tetap membebani objek Hak Tanggungan yang dibeli.
80 81
Pasal 22 Undang-Undang Hak Tanggungan. Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hal. 161
Universitas Sumatera Utara
g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Pada asasnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan sebagai yang berhak atas objek hak tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan dan tidak dapat hadir sendiri, hal itu wajib dikuasakan kepada pihak lain. Dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris atau PPAT, pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan
memberikan
kesempatan kepada pemberi hak tanggungan untuk menggunakan SKMHT. Pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai
muatannya
sebagaimana
ditetapkan
dalam
Undang-Undang
Hak
Tanggungan. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut mengakibatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan.
h. Eksekusi Hak Tanggungan Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Dalam pasal 6 tersebut ditentukan bahwa, apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Universitas Sumatera Utara
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cidera janji, tanah (hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual melalui lelang oleh pemegang Hak Tanggungan tanpa perlu persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. Ketentuan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu bukan saja memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi tidak perlu meminta penetapan dari Pengadilan untuk melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang debutur dalam hal debitur cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung mengajukan dan meminta kepada Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Karena kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuatan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan, atau oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih
Universitas Sumatera Utara
dari satu pemegang Hak Tanggungan.82 Hak pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Dengan kata lain, diperjanjian atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan.83 Sertipikat Hak Tanggungan, yang merupakan tanda bukti adanya hak Tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti groose acte hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Demikian ditentukan dalam pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Hak Tanggungan. Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat menggugat (proses litigasi) apabila debitur cidera janji. Penjualan objek Hak Tanggungan harus dilalukan melalui pelelangan di muka umum. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk penjualan Hak Tanggungan tersebut. Dengan pelelangan di muka umum juga diharapkan dapat terjadi keterbukaan dan pelaksanaan secara jujur agar tidak merugikan salah satu pihak dalam Hak Tanggungan tersebut.
82 83
Penjelasan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
D. Pelaksanaan Pemberian Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat di Kota Lhokseumawe 1. Gambaran umum Kota Lhokseumawe Kota Lhokseumawe merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe yang berlaku sejak tanggal 21 juni 2001. pada awal pembentukannya Kota Lhokseumawe mencakup 3 (tiga) Kecamatan yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua dan Kecamatan Blang Mangat. Kemudian kecamatan Muara Dua dimekarkan lagi yaitu Kecamatan Muara Satu sehingga Kota Lhokseumawe pada saat ini terdiri dari 4 (empat) Kecamatan, 9 (sembilan) Kemukiman, 6 (enam) Kelurahan dan 62 (enampuluh dua) Desa (Gampong). Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe menurut data tahun 2009 sebanyak 179.593 jiwa terdiri atas 90.012 jiwa penduduk laki-laki dan 88.581 jiwa penduduk perempuan.84 Kota Lhokseumawe terletak pada garis 96° 2’ - 97° 2’ Bujur Timur dan 04° 54’ - 05° 18’ Lintang Utara dengan luas daerah 181.06 KM². Sebelah utara Kota Lhokseumawe berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Kuta makmur (Kabupaten Aceh Utara), sebelah timur dengan Kecamatan Syamtalira Bayu (Kabupaten Aceh Utara) dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara (Kabupaten Aceh Utara).
84
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Kota Lhokseumawe Tahun 2009, yang dikeluarkan pada bulan April 2010.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Rekapitulasi Tanah Masyarakat Miskin yang belum bersertipikat di Kota Lhokseumawe tahun 2009 diperoleh data bahwa tanah-tanah masyarakat yang belum bersertipikat di Kota Lhokseumawe adalah sebanyak 2.173 persil. Tanahtanah yang belum bersertipikat tersebut adalah tanah hak milik adat yang dikuasai langsung oleh masyarakat diberbagai kecamatan dalam Kota Lhokseumawe. Adapun jumlah tanah yang belum bersertipikat tersebut terbagi dalam Kecamatan Banda Sakti sebanyak 445 persil, Kecamatan Muara Dua sebanyak 627 persil, Kecamatan Muara Satu sebanyak 593 persil dan Kecamatan Blang Mangat sebanyak 508 persil.85 Tabel 1. Rekapitulasi Tanah Masyarakat Miskin yang Belum Bersertipikat di Kota Lhokseumawe No
KECAMATAN
PERSIL
1
BANDA SAKTI
445
2
MUARA DUA
627
3
MUARA SATU
593
4
BLANG MANGAT
508 JUMLAH
2173
Sumber Bagian Pemerintahan Sekretariat Kota Lhokseumawe Tahun 2009
Tanah-tanah yang belum bersertipikat tersebut mempunyai alas hak yang bermacam-macam. Sebagian besar persil tidak mempunyai surat pembuktian secara formal karena tanah-tanah tersebut diperoleh secara turun temurun. Selebihnya mempunyai alas hak seperti Surat Keterangan dari Keuchik (Kepala Desa), Surat Keterangan Ahli Waris, Surat Keterangan Pembagian Faraidh, Akta Jual Beli, Akta
85
Pemerintah Kota Lhokseumawe, Data Pertanahan Kota Lhokseumawe 2009, Bagian Pemerintahan Setdako Lhokseumawe 2009
Universitas Sumatera Utara
Pembagian Hak Bersama, Akta Hibah, Surat Keterangan Hibah dan alas pembuktian lainnya.86 2. Tanah Yang Belum Bersertipikat Sebagai Objek Hak Tanggungan Tanah-tanah yang belum bersertipikat dalam praktek perbankan banyak yang diterima sebagai jaminan kredit. Tanah-tanah yang belum bersertipkat ini adalah tanah hak milik adat yang belum terdaftar akan tetapi telah memenuhi syarat untuk didaftarkan tetapi pendaftarannya belum dilakukan. Tanah hak milik adat itu telah ada hanya proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan.87 Tanah-tanah yang belum bersertipikat yang dapat diterima sebagai objek Hak Tanggungan adalah tanah-tanah hak milik adat atau juga disebut tanah bekas hak milik adat yaitu tanah-tanah yang dipunyai oleh masayarakat hukum adat baik yang dimiliki secara perorangan maupun yang dimiliki secara berkelompok. Tanah-tanah ini sebelum lahirnya UUPA tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum adat di masing-masing daerah dimana tanah tersebut terletak. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tetap mengakui tanah-tanah bekas hak milik adat. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat.
86
Hasil wawancara dengan Bukhari, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Kota Lhokseumawe, pada tanggal 04 Agustus 2010, di Kota Lhokseumawe 87 Penjelasan pasal 10 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
Dengan berlakunya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum Agraria untuk seluruh wilayah tanah air, maka tanah-tanah hak milik adat tersebut harus dikonversikan ke dalam hak-hak yang terdapat dalam UUPA. Tanah-tanah bekas hak milik adat tersebut umumnya dikonversikan sebagai tanah Hak Milik menurut ketentuan UUPA. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik. b. Hak Guna Usaha. c. Hak Guna Bangunan . d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. e. Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah). Dari berbagai hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik ini dapat diproleh secara turun menurun dan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak milik yang saat ini dipunyai oleh masyarakat, dapat berasal dari berbagai macam latar belakang. Ada hak milik yang berasal dari konversi Hak Eigendom yang merupakan hak yang semula tunduk pada ketentuan BW, ada hak milik yang berasal dari konversi bekas hak milik adat yang semula tunduk pada ketentuan Hukum Adat dan ada juga hak milik yang diperoleh langsung dari pemberian hak yang dikuasai langsung oleh negara.
Universitas Sumatera Utara
Hak milik yang berasal dari bekas hak milik adat yang belum bersertipikat atau belum terdaftar menurut ketentuan pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan dapat dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan. Dalam pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Hak Tanggungan ditentukan bahwa apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam penjelasan pasal 10 ayat 3 tersebut disebutkan, yang dimaksudkan dengan hak lama tersebut adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan.88 Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk membuka kemungkinan bagi pemilik tanah yang berasal dari bekas hak milik adat yang haknya itu belum dikonversikan ke dalam hak-hak sesuai UUPA, untuk menggunakan tanahnya sebagai jaminan kredit sehingga merekapun dapat memanfaatkan fasilitas
88
Ibid, Penjelasan Pasal 10 ayat (3)
Universitas Sumatera Utara
yang disediakan oleh lembaga perkreditan yang ada. Oleh karena itu pendaftaran konversinya akan diberikan prioritas penangannnya.89 Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tanah-tanah tersebut dapat dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan adalah tanah-tanah tersebut dapat dialihkan.90 Selain itu tanah-tanah tersebut harus jelas status kepemilikannya (mempunyai alas hak yang cukup) dan mudah untuk dijual (marketable).91 Selain syarat-syarat tersebut di atas, sebelum tanah bekas hak milik adat yang belum terdaftar tersebut dijadikan jaminan, pihak Bank akan melakukan survey ke tanah bersangkutan dan bank juga mensyaratkan agar tanah tersebut dilakukan pengukuran terlebih dahulu oleh Kantor Pertanahan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kepemilikan atas tanah, batas-batas tanah dan luas tanah sebagaimana yang tertera dalam dokumen (alas hak) yang diberikan oleh debitur kepada Bank telah dapat dipastikan kebenarannya. Hal ini juga sekaligus untuk mengetahui apakah ada pihak lain yang akan mengajukan keberatan terhadap tanah tersebut pada saat dilakukan pengukuran oleh Kantor Pertanahan karena merasa mempunyai hak juga atas tanah bersangkutan.92
89
A.P. Parlindungan, Op.Cit, hal. 166 Hasil wawancara dengan Bukhari Muhammad, Notaris dan PPAT di kota Lhokseumawe tanggal 14 Juli 2010 di Kota Lhokseumawe. 91 Hasil wawancara dengan Safriyadi, Account Officer pada PT. Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh kantor Cabang Lhokseumawe, tanggal 14 Juni 2010, di Kota Lhokseumawe. 92 Hasil wawancara dengan Radian, Account Officer pada PT. Bank Rakyat Indonesia tanggal 10 Maret 2010, di Kota Lhokseumawe. 90
Universitas Sumatera Utara
3. Pelaksanaan Pemberian Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat di Kota Lhokseumawe Ada beberapa cara yang dilakukan untuk melakukan pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat di Kota Lhokseumawe. Pemberian Hak Tanggungan tersebut dapat dilakukan melalui Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan dapat juga langsung dilakukan dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pada umumnya pembebanan Hak Tanggungan atas tanah
yang belum
bersertipikat selalu didahului dengan pembuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Setelah penandatanganan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dilakukan antara pemberi Hak Tanggungan dengan Bank selaku kreditur, baru kemudian dilakukan pendaftaran hak atas tanah yang dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan. Pengurusan pendaftaran hak atas tanah tersebut biasanya dikuasakan oleh pemilik tanah kepada Notaris atau PPAT yang membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersbebut. Setelah sertipikat hak atas tanah tersebut keluar barulah dilakukan atau ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan. Penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dilakukan oleh Bank sendiri, baik selaku kuasa dari pemilik tanah (pemberi Hak Tanggungan) berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) dan juga sekaligus bertindak sebagai pihak yang menerima Hak Tanggungan. Pembebanan Hak Tanggungan yang dilakukan melalui SKMHT dikarenakan objek Hak Tanggungan tersebut masih mempunyai data-data yang kurang lengkap.
Universitas Sumatera Utara
Data yang kurang lengkap itu dapat berupa data fisik dari tanah yang bersangkutan, dapat juga berupa data yuridis atau kepastian kepemilikan dari tanah tersebut berhubungan belum ada sertipikat hak atas tanah.93 Hal ini dilakukan untuk menghindari dari permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari apabila pendaftaran tanah bekas hak milik adat yang dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan tersebut terkendala dalam pendaftarannya. Pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang berasal dari hak milik adat juga dapat dilakukan dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) secara langsung. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan. Pemberian Hak Tanggungan yang langsung menggunakan Akta Pemberian Hak Tanggungan ini lebih memberikan kepastian hukum pada kreditur karena atas objek Hak Tanggungan tersebut telah ada ikatannya dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan, walaupun pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dalam buku tanah Hak Tanggungan belum dapat dilakukan karena masih menunggu penyelesaian pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Kalau hanya diikat dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), hal tersebut malah belum memberikan kepastian hukum bagi kreditur. Karena ikatan yang ada antara pemberi Hak Tanggungan dengan Bank selaku kreditur baru sebatas kuasa untuk
93
Hasil wawancara dengan Cut Nilawati, Notaris dan PPAT di Kota Lhokseumawe, pada tanggal 23 Juni 2010, di Kota Lhokseumawe
Universitas Sumatera Utara
membebankan Hak Tanggungan, belum sampai pada tahap pemberian Hak Tanggungan.94 Tabel 2. Rekapitulasi Pembuatan APHT Tanah Belum Bersertipikat Pada Bank BPD dan BRI di Kota Lhokseumawe Pada Tahun 2005 s/d 2010 Jumlah Tahun
Alas Hak
Bank
APHT
AJB
Hibah
APHB
1
2
3
4
5
Lainlain 6
2005
5
5
-
-
2006
53
43
3
2007
10
10
2008
24
2009
6
Keterangan
BRI
BPD
7
8
-
1
4
semua selesai
7
-
29
24
semua selesai
-
-
-
8
2
9 selesai, 3 gagal
20
1
3
-
19
5
21 selesai, 2 belum
2
1
3
-
2
4
4 selesai, 2 belum
2010 2 2 2 100 82 5 13 59 41 Jumlah Sumber : Kantor Notaris Taufik, SH Kota Lhokseumawe Tahun 2010
9
belum selesai
Ketentuan yang terdapat dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut selain memberikan rasa keadilan bagi masyarakat golongan ekonomi kecil, juga memberikan kepastian hukum dalam pemberian Hak Tanggungan bagi para pihak. Hal itu sejalan dengan asas dari Hak Tanggungan itu sendiri yang menghendaki adanya kepastian hukum dalam pemberian jaminan.
94
Hasil wawancara dengan Bukhari Muhammad, Notaris dan PPAT di Kota Lhokseumawe, pada tanggal 14 Juli 2010, di Kota Lhokseumawe.
Universitas Sumatera Utara